Yumemiru Danshi wa Genjitsushugisha [WN] - Seri 3 Bab 83.1 - Lintas Ninja Translation

baca-yumemiru-danshi-wa-genjitsushugisha-wn-ch-83.1-di-lintas-ninja-translation

Bab 83.1
Hukuman yang Sesuai

(TL Note: Kok balik lagi, Min? Iya, ini bab yang admin bilang cuma ada di versi LN, tetapi bukan bab ekstra, dan karena posisinya di tengah belum sempat kami back-up, tetapi sekarang sudah ketemu back-upannya.)

[Sajocchi sialan itu... ...Ia pasti tidak merenungkannya.]

[Kok bisa ia sangat positif soal segalanya, aku penasaran...]

[Ia mesum! Aku akan melaporkannya ke polisi!]

"Ahahaha..."

Melihat Kei melontarkan beberapa ancaman serius dengan emoji imut membuatku tertawa terbahak-bahak. Bukannya aku tidak marah atau semacamnya, tetapi Kei cukup banyak menahan amarahku sendiri, jadi aku cuma menyaksikan olok-olokan mereka.

Beberapa hari telah berlalu sejak uji coba kunjungan sekolah. Kei, Wataru, dan aku mulai mengirim pesan secara teratur di grup obrolan kami yang baru, dan aku terus-menerus melihat layar ponsel pintarku menunggu ada pesan atau yang baru. Aku punya ponsel pintarku sendiri saat aku mulai masuk masa SMA, jadi mengirim pesan dengan teman-temanku dalam grup terasa masih baru buatku.

Dan lalu, kejadian ini terjadi. Saat aku membuka grup obrolan, ikon pada akun Wataru sudah berubah jadi sesuatu yang sangat menakutkan, dan namanya berubah jadi sesuatu yang tidak masuk akal. Saat aku menulis di grup obrolan kami, baik Wataru maupun Kei tidak menanggapi, dan aku pun tidak mendapat pemberitahuan kalau pesanku sudah baca... ...Tampaknya ponselku bermasalah. Menyadari ada sesuatu yang salah, aku menghubungi Kei via japri dan meneleponnya beberapa kali sampai dia akhirnya menjawab dengan 'Ini cuma keisengan yang mengerikan!", dan benar-benar marah.

Setelah beberapa saat. Wataru tampaknya juga menyadarinya, lalu ia menambahkan 'Aku tidak punya alasan' pada pesan sebelumnya. Dia memang meminta maaf, tetapi nada formal dari jawabannya membuatnya terdengar seperti ia tidak peduli sama sekali, yang membuatku agak marah. Iya, begitulah kekurangan meminta maaf lewat pesan saja. Kei tampaknya merasakan hal yang sama, karena dia bicara soal memberi hukuman pada Wataru, lalu menyerahkannya padaku. Wataru tampaknya cukup termotivasi karena beberapa alasan, tetapi karena aku belum siap untuk itu, aku mulai panik. Jadi, aku memutuskan untuk mengesampingkan hukuman itu di kemudian hari, dan begitulah akhirnya kami sampai di sini.

[Jadi, apa yang akan kamu minta, Aichi? Haruskah kami dari Ekskul Bola Voli menyerang rumahnya?]

[Tidak, tidak, tidak! Kakaknya ada di sana, ingat!??]

[Ah, itu benar.]

Kalau Kei mengumpulkan teman-teman, mereka mungkin akan mendengarkannya, tetapi itu cuma akan menyusahkan tetangga mereka. Belum lagi keluarga Wataru akan ada di sana, sampai-sampai kami dibenci oleh Wakil Ketua OSIS tidak akan menguntungkan siapa-siapa.

[Kalau begitu, kita akan menyebarkan rumor kalau ia mengintip kamar ganti wanita!]

[Te-Tenanglah!] Aku dengan panik menghentikan Kei, karena dia sudah melampaui batas untuk memainkan keisengan sederhana.

Aku memang senang dia bersedia jadi sekutuku dalam hal ini, tetapi apa yang dia rencanakan itu terlalu berlebihan. Aku tidak mau Wataru menderita begitu Semester Kedua dimulai. Dan juga, apa Kei benar-benar marah...? Aku merasa dia cuma menikmati hal ini.

"Ibu pulang, Aika."

"Kakak!"

"Ah, Ibu. Selamat datang kembali. Kamu juga, Airi."

Saat aku mengobrol dengan Kei, Ibu dan Airi kembali dari perjalanan mereka, lalu Airi berlari ke arahku. Dia membuka lengannya, jadi aku menggendongnya tinggi-tinggi, dan segera menurunkannya.

"Ehhh? Lagi, lagi!"

"Kamu harus cuci tangan dulu."

"Okeee..."

Setelah melihat Airi berlari menuju kamar mandi, Ibu menunjukkan senyuman pahit dan mengikutinya. Tidak peduli betapa imutnya dia, kalian harus mencuci tangan setelah datang daro luar. Apalagi kalau itu Airi yang sedang kita bicarakan ini. Aku tidak mau dia pilek, karena itu akan memaksaku untuk izin tidak masuk sekolah.

"Kakak! Aku sudah mencuci tanganku!"

"Airi! Kamu masih harus mengeringkannya!"

"Eumm~!"

"Eumm tidak akan membuat tanganmu kering."

Meskipun ini musim panas, Airi itu anak manja yang selalu menempel padaku. Mungkin aku terlalu memanjakannya, tetapi... lagipula dia itu imut. Aku tidak bisa lanjutkan ini, tetapi dia itu imut. Tangannya yang basah kuyup berada di dadaku, dan aku tidak pernah merasa cukup.

"Kakak! Lebih tinggi lagi, lebih tinggi lagi!"

"E-Eh? Lebih tinggi lagi?"

"Yang sangat tinggi! Yang sangat tinggi!"

"Eum..."

Gendongan yang "sangat tinggi" yang dia bicarakan itu yang dilakukan Wataru padanya sebelumnya. Mengangkatnya tinggi-tinggi sambil menggendongnya, aku rasa ia menyebutnya 'Gendongan Dinamis' atau semacamnya, tetapi aku tidak punya kekuatan untuk mengangkat seorang seusia Airi yang setinggi itu. Ibu juga tidak mampu melakukannya, dan... Ayah mungkin akan didorong olehnya. Sejak saat itu, tidak ada yang bisa melakukannya kecuali Wataru. Lagipula Iihoshi-san baru saja didorong ke lantai.

"Maaf, tetapi cuma Abang yang waktu itu yang bisa melakukan itu."

"Ehh... Abang?"

"Itu benar, Abang. Kamu ingat dengannya, bukan?"

"Abang..."

Ha-Hah...? Airi tidak ingat pada Wataru? Melihat Airi menengadah ke udara sambil mengingat, aku jadi khawatir. Saat aku kira Airi sudah melupakan Wataru, aku merasakan sakit yang menusuk di dadaku.

"...Abang?"

"Itu benar, orang yang menggendongmu sangat tinggi sebelumnya."

"...Sajou-?"

"Benar! Kamu ingat!"

"...Abang?"

"Eh?"

Aku tidak bisa menahan rasa terkejutku. Reaksi Airi sangat imut — Tunggu, bukan itu. Aku rasa... Airi tidak menganggap Wataru sebagai Abang. Itu membuatku ingat, Airi juga tidak pernah memanggil Wataru dengan sebutan 'Abang'. Aku rasa itu masuk akal, tidak seperti Wataru, Sasaki-kun itu 'Abang' sungguhan... ...Wataru bertingkah lebih seperti cowok seusia Airi ketimbang cowok yang lebih tua.

"Aku mau main!"

"Eh... ...Hah!? Eum... ...dengan Wa-Wataru...?"

"Wataru...?"

"Ah... apa kamu mau main dengan Sajou-?"

"Aku mau main!"

"Be-Begitu ya..."

Membiarkan Wataru bertemu dengan Airi—Kalau dipikir-pikir lagi, aku pasti sudah melakukan sesuatu yang gila. Aku memang mengajak beberapa teman sekelasku sebelumnya, tetapi mengajak seorang cowok ke rumahku bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan candaan. Menyadari langkah berani macam apa itu, kepalaku mulai terasa panas.

"...Kakak?"

"Ah...! Jadi, kamu mau main dengan Sajou..."

"Ayolah Kakak! Itulah yang aku katakan!"

Saat itu, aku merasa putus asa karena ada sesuatu di dalam diriku yang tidak bisa aku terima. Makanya aku dengan paksa menyeret Wataru ke sini... ...Tetapi, mengajaknya ke sini lagi akan menambah makna yang lain. Sebelumnya, aku mau ia datang, tetapi sekarang aku cuma merasa malu.

"Be-Benar... ...Itu dia!"

—Aku melihat kalender di dinding, yang berisi pengaturan dan acara keluarga kami tertulis di atasnya. Melihat rencana Ayah dan Ibu, dalam dua hari, mereka berdua mesti bekerja di sore hari, jadi rumah akan kosong.

Saat aku memikirkan aku akan mengajak Wataru ke sini sendirian, aku merasakan perasaan aneh dan tidak enak di dalam dadaku. Tetapi, segalanya akan lain kalau Kei ada bersama kami. Meskipun begitu, kalau Ibu dan Ayah ada di rumah, aku masih merasa malu untuk mengajak Wataru ke sini. Pertama kali, aku bisa mengecilkan rasa maluku dengan bilang kalau ia cuma teman sekelas, tetapi itu mungkin tidak akan berhasil untuk kedua kalinya.

"I-Ibu."

"Hmm? Apa?"

"Besok lusa... apa Ibu akan pergi sepanjang hari?"

"Ah, iya, Ibu lupa memberi tahumu, tetapi Ibu diundang makan siang bersama Kimaru-san dan keluarganya, jadi bisakah kamu menjaga Airi?"

"Aku tidak keberatan, tetapi... ...kapan Ibu akan pulang?"

"Mungkin larut malam. Begini, dengan kami yang sudah Ibu-Ibu di sana, kami akan banyak mengobrol. Memangnya siapa yang Ibu-Ibu itu?"

"Ah, ma-maaf... Tunggu, Ibu yang bilang sendiri!"

"Fufu."

Sepertinya Ibu tidak akan ada di rumah hari itu. Karena Ayah selalu di luar setiap larut malam, aku juga tidak perlu khawatir soal Ayah. Kalau memang benar begitu, maka—Kei bicara soal  'hukuman' untuk Wataru, tetapi memanggilnya begitu saja mungkin agak egois dariku... dan kalau aku gunakan hukuman ini sebagai kepura-puraan, aku tidak akan merasa bersalah karena mengajaknya... ....Aku rasa begitu? Mungkin?

[Kei, dengar—]

[Eh!? Yang benar!?]

Tidak lama setelah itu, hukuman Wataru diputuskan.

TL Note: Sekali lagi Admin mohon maaf atas keterlambatannya. Selamat membaca.

Support kami: https://trakteer.id/lintasninja/

←Sebelumnya          Daftar Isi           Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama