Kurasu no Daikirai na Joshi to Kekkon Suru Koto ni Natta - Jilid 5 Bab 3 - Lintas Ninja Translation

Bab 3
Suara

Setelah mereka selesai makan malam, waktu yang menyenangkan tiba bagi mereka. Saito sedang membaca buku di sofa, dan Akane duduk di sebelahnya, memelototi buku paketnya. Ini mengejutkan karena mereka sedikit bertengkar pada malam sebelumnya, namun Akane sekarang tidak kabur ke ruang belajarnya, tetapi tetap berada di ruang bersama mereka. Makan malam juga tidak terdiri dari ramen gelas dan ternyata menu yang cukup membuatnya tampak seakan-akan Akane telah berusaha keras untuk itu. Saito juga tidak merasakan niat membunuh atau permusuhan apapun yang terpancar dari Akane. Anehnya, ini membuat Saito jauh lebih gelisah dari biasanya.

Rumor-rumor seputar mereka berdua yang tinggal bersama mulai mereda lewat kencan palsu Saito dengan Himari, tetapi mereka masih tidak bisa bersantai. Kalau teman sekelas kebetulan melihat Akane dan Saito sedang bersama, itu akan merusak segalanya. Mereka bahkan tidak dapat mengobrol ketika mereka berada di luar. Saito menutup bukunya dan berbicara pada Akane.

"Oh iya, kita masih belum bertukar informasi kontak kita. Kamu keberatan memberi tahuku?"

"A-Apa kamu mau menggebetku…?" Akane dengan erat memeluk buku paketnya dan menjauh dari Saito.

"Buat apa aku menggebet istriku sendiri?!"

"Memangnya kamu mau melakukan apa…?" Akane tampak ketakutan.

"Tidak ada apa-apa! Aku cuma mau bilang kalau kita tidak dapat berkomunikasi saat kita berada di luar rumah!"

"Kamu benar… Akan lebih baik kalau kamu dapat memberi tahuku kalau kamu mau menginap di rumah Himari…" Akane memberi Saito tatapan bersalah.

"Aku tidak menginap! Aku pulang kemarin malam, ingat?"

"Tetapi kamu sebenarnya tidak mau pulang, bukan?! Aku yakin kamu pasti lebih suka masakan Himari ketimbang masakanku!"

"Siapa dan apa yang kamu tandingkan di sini…?"

Mungkin Akane benar-benar tidak tahan dengan kenyataan bahwa Saito pulang dalam keadaan sudah makan. Akhir-akhir ini, Akane bertingkah aneh.

"Karena kita tidak akan bisa pergi berbelanja bersama untuk sementara waktu, aku rasa berkomunikasi melalui obrolan akan lebih nyaman buat kita. Kamu dapat memberi tahuku kalau kamu mau aku membeli sesuatu, bukan?"

"Begitu, alasan semacam itu pasti berhasil..."

"Sekali lagi, aku tidak akan menggebetmu. Aku bersikap realistis di sini."

"Ba-Baiklah, kalau begitu…" Akane tampaknya masih belum yakin sepenuhnya, tetapi dengan enggan mengeluarkan ponselnya agar mereka bisa bertukaran identitas (ID). "…Mengapa baru sekarang kita bertukaran identitas…?"

Salah satu alasannya itu karena mereka tidak menganggapnya perlu sampai saat ini, tetapi di luar itu…

"Aku rasa kamu akan merasa jijik kalau aku memintamu." kata Saito.

"Iya, aku memang merasa agak jijik."

"Kamu tidak mesti mengatakan itu!"

"Aku kepikiran buat melaporkanmu ke polisi."

"Aku bukan penyusup mencurigakan yang berjalan di sekitar sekolah pada malam hari, oke."

Mereka mungkin musuh bebuyutan, tetapi diperlakukan seperti sesuatu yang lebih rendah dari tahi oleh cewek seusianya memang menyengat buat Saito.

"Tetapi…" Akane menatap ponselnya, dan pipinya memerah. "Ini pertama kalinya aku bertukaran identitas dengan seorang cowok."

"A-Aku mengerti."

Tiba-tiba, sikap Akane berubah 180 derajat, karena dia sekarang tampak bahagia karena suatu alasan, sehingga membuat Saito bingung  harus bereaksi bagaimana. Mengetahui bahwa nama dan foto Akane terdaftar di ponselnya membuat Saito gelisah.

"Akan buruk kalau seseorang dari kelas kita melihat namamu muncul saat kamu meneleponku, jadi aku akan mengganti namanya."

"Dimengerti."

Akane mengerahkan lebih banyak tenaga ke jari-jarinya yang memegang telepon.

"B-o-d-o-h, yap."

"Jangan panggil aku begitu!" Saito memprotes.

"D-u-n-g-u, kalau begitu."

"Jangan begitu juga."

"Aku tidak bisa memikirkan hal lain, jadi tolong kasih aku saran."

"Pasti ada banyak pilihan lain lagi, kan! Seperti 'Si Jenius Terhebat dalam Sejarah' atau 'Penguasa Luhur dan Mutlak', bukan?!"

"Kalau begitu... 'Sang Jenius Seksi Terhebat yang Melampaui Waktu dan Ruang'?"

"Lupakan saja, itu terlalu memalukan."

Mengembalikan kata-kata ironi pada lelucon langsung menunjukkan kalau serangan Akane semakin jauh lebih fleksibel. Daripada serangan verbal buta, Akane mulai merencanakan strateginya.

"Jadi, kamu punya emosi yang mirip dengan rasa malu, kalau begitu?"

"Bisakah kamu tidak membuat itu terdengar seperti aku tidak tahu malu?"

"Aku kira kamu itu tipe orang yang hobinya berkeliaran sambil telanjang."

"Hobiku itu membaca, mengerti?!" Saito mencoba membaca bukunya lagi lalu ponselnya bergetar.

Memeriksa isinya, Saito mendapatkan pesan dari Akane.

'Selamat malam.'

Akane memegang ponsel pintarnya dengan kedua tangannya, memberi Saito tatapan antisipasi dan kegembiraan.

Apa dia ini ingin mengobrol atau semacamnya…?

Kalau Saito mengabaikan pesan itu dan membiarkan Akane menerima status dibaca, Akane akan segera melihat itu, dan Saito menilai kalau ini merupakan satu langkah bagi mereka untuk akur dengan lebih baik. Jadi, Saito memilih untuk menjawab.

'Malam.'

'Apa kabar?'

'Baik-baik saja.'

'Siapa namamu?'

'Houjo Saito.'

Saito merasa seperti sedang mengobrol dengan bot. Namun, yang mengejutkannya, orang yang mengirim pesan ini yaitu istri Saito, yang saat ini menyeringai sendiri. Namun Akane seharusnya menjadi orang yang berada di urutan kedua setelah Saito dalam hal nilai. Akane mengirim pesan lagi.

'This is a pen.'

'Mengapa kamu beralih ke bahasa Inggris?'

Belum lagi itu bahasa Inggris di tingkat SMP.

'I am a pen.'

"Sejak kapan kamu berubah menjadi alat tulis?"

Saito sudah mendapat kesan yang salah selama ini.

'Apa kamu sudah makan malam?'

'Kita memakannya bersama, ingat? Tahanlah dirimu.'

Saito menambahkan stiker dengan gambar kucing dan tatapan jahat, menanyakan 'Kamu baik-baik saja?'. Akane memegang ponselnya dengan kedua tangannya, dan bahunya bergoyang ke kiri dan ke kanan dengan gembira.

'Apa yang kamu makan, malam ini?'

'Kamu yang membuatnya, ingat? Itu steik hamburger.'

'Menurutmu, steik hamburger jenis apa itu?'

'Ap...Err...Daging sapi...?'

'Daging sapi?'

Saito merasa merinding cuma karena Akane mengulangi kata-katanya, tetapi Akane dalam suasana hati yang baik seperti biasanya. Mengapa Akane tersenyum sendiri begitu?

KuraKon-5-3-1

'Beri aku sebuah petunjuk. Aku akan coba menebaknya.’

'Sebuah petunjuk... Ia punya 50 kaki, dengan 90 mata.'

'Sekarang aku jadi semakin bingung.'

Ini tidak terdengar seperti makhluk hidup yang berjalan di bumi ini. Akane berdiri dari sofa dan bersembunyi di balik pintu ruang tamu. Segera setelah itu, Saito menerima panggilan telepon dari Akane . Saito menjawab lalu ia mendengar Akane berbisik seperti mata-mata.

'…Halo? Ini aku. Bisakah kamu mendengarku?'

'Kita tinggal di bangunan yang sama, jadi mari kita berbicara saja seperti biasa!" Saito merasakan kesemutan.

'Itu tidak akan terjadi. Ini itu latihan.'

"Latihan buat apa?!"

'Jika kamu terjebak dalam beton, ini merupakan satu-satunya cara kita dapat menghubungi satu sama lain.'

"Dan aku yakin kamulah yang membuatku terjebak di sana dari awal!"

'Aku tidak akan melakukan hal semacam itu, aku ini kan orang yang baik.'

"Akane dan kata baik itu tidak bisa dicampur…"

Saito tahu kalau Akane mungkin tidak akan ragu sedetikpun untuk memasukkannya ke dalam beton.


"Maaaaas!"

Saito sedang sibuk makan siang bersama Shisei di halaman sekolah lalu Maho melompat ke arah Saito dari belakang. Saito meletakkan kotak makan siangnya dengan kecepatan kilat dan menghindari rudal yang masuk. Bertemu dengan udara kosong, Maho berguling-guling di tanah dengan senyuman yang lebar di wajahnya. Maho berbalik arah dan berdiri, menatap Saito dengan tajam.

"Mas, Mas sudah semakin jago dalam menghindar…"

"Karena kamu menyerang Mas setiap hari, Mas tentu saja akan terbiasa."

Saito bahkan tidak dapat makan siang dengan tenang. Dan karena Saito tidak dapat menikmati makanan buatan Akane di sekolah, ia mesti puas dengan kotak makan siang yang ia beli dalam perjalanan ke sekolah. Dan meskipun begitu, itu hampir tidak cukup untuk mengisi perut Saito. Sebagai tanggapan, Maho cuma menunjukkan tanda damai yang jahat lainnya.

"Aku berusaha meningkatkan kemampuan menghindar Mas, makanya aku terus-terusan menyerang Mas."

"Mas tidak setuju sama sekali."

"Aku ketahuan! Aku cuma terangsang!"

"Jaga bahasamu!"

"Sebagai permintaan maaf karena telah membohongi Mas, aku akan memeluk Mas dengan erat!"

"Tidak usah, terima kasih…" Saito menolak mentah-mentah tawaran itu, tetapi Maho tidak mau mendengarkan dan menempel pada Saito sekali lagi.

Maho mengusapkan pipinya ke arahnya dengan sekuat tenaga, sehingga menimbulkan aroma wangi melayang ke hidung Saito. Shisei menggunakan kesempatan ini untuk menyantap habis sisa makanan Saito.

Apa mereka berdua kongkalikong…?!

Saito menjadi ketakutan. Namun, Shisei segera memisahkan mereka berdua.

"Jangan menempel pada Abang begitu. Berhentilah menandai Abang dengan aromamu."

"Apa masalahnya? Kamu juga biasanya menandai Mas dengan aromamu juga, bukan?" Maho memberikan bantahan.

"Itu kewajiban seorang adik."

"Tetapi Abang belum pernah dengar argumen itu sebelumnya?!"

"Nah, hari ini giliranku! Mas sendiri yang bilang begitu!"

"Mas tidak ingat pernah bilang begitu!"

Terkunci dari kedua sisi oleh serangan ganda adik cewek, Saito tidak dapat bergerak sedikitpun dan bahkan tidak dapat memakan makan siangnya. Diamati oleh para penggemar cewek Shisei dan para penggemar cowok Maho, Saito merasa seperti akan dieksekusi setiap saat sekarang. Oleh karena itu, Saito menyingkirkan mereka dan menyuruh mereka duduk di bangku taman.

"Shii-chan, A--'.~" (*Pakai nada mau nyuapin ya!)

"Nyam."

Maho mengeluarkan pangsit dari apa yang tampak misterius dan melemparkannya ke udara, yang kemudian ditangkap oleh mulut Shisei. Dilihat dari itu, sepertinya mereka berdua berhubungan baik.

"Tetapi, Mas senang kamu datang hari ini. Ada sesuatu yang ingin Mas tanyakan padamu."

"Oh, mau tahu siapa yang aku taksir? Itu mudah, karena jawabannya itu kamu, Mas! Tehe~." Maho meletakkan kedua tangannya ke pipinya dan dengan liar menggoyangkan tubuhnya.

Kalau kamu menganggap Maho serius bahkan untuk sesaat, kamu akan berakhir sebagai pecundang.

"Kamu pasti sudah tahu siapa cewek yang Mas temui di pesta itu, bukan?"

"…!"

Bahu Shisei berkedut. Maho membuka telapak tangannya untuk menutupi mulutnya.

"O-Oh? Iya, aku mungkin saja tahu, aku mungkin saja tidak tahu, aku rasa?"

Maho tidak memberikan jawaban yang jelas, tetapi menjadi jelas kalau dia setidaknya tahu sesuatu. Agar Maho tidak dapat melarikan diri, Saito segera meraih tangan Maho.

"Ma-Mas…?" Maho bingung.

"Bisakah kamu beri tahu Mas? Mas tidak keberatan menuruti permintaanmu sebagai gantinya."

"Hah? Ka-Kalau begitu…apa yang mesti aku minta, ya…Mungkin sesuatu yang gila?"

"Apa yang Abang rencanakan setelah Abang tahu?" Shisei bertanya.

"Tidak ada. Abang tidak bermaksud untuk bertemu dengannya, abang juga tidak berencana untuk mengganggu Maho atau cewek itu. Hanya saja… Abang tidak tahan ingin tahu secepatnya, cuma itu."

Saito punya hipotesis tertentu. Kedengarannya tampak mustahil, tetapi peluang kalau memang begitu juga tidak sepenuhnya nol. Karena pesta untuk merayakan kelulusan SD ini juga sampai membuat Tenryuu bukan cuma menelepon anggota keluarga tetapi juga kenalannya, Saito punya gagasan kalau mungkin cewek itu merupakan cucu Chiyo, yaitu Maho. Namun, orang lain juga akan cocok dengan spesifikasi itu adalah—Akane.

Saito merasakan kemiripan tertentu dengan cewek itu saat ia melihat Maho, jadi itu mungkin dapat menjelaskan karena mereka berdua itu kakak beradik. Kalau cewek itu memotong rambutnya yang panjang, dia akan tampak mirip dengan Akane. Iya, tidak seperti Akane, cewek itu penurut dan lembut, bertingkah seperti bidadari yang terlahir kembali.

"Mas…jadi Mas benar-benar ingin tahu?"

"Iya."

"Apa Mas akan melakukan apa saja? Walaupun aku minta dipeluk sekarang?"

"Kalau segitu saja tidak masalah." Saito mendekati Maho untuk memeluknya.

Maho tampaknya tidak menduga hal itu, karena dia terhuyung mundur dengan wajah yang merah.

"Tung-Tunggu sebentar! Sejak kapan Mas jadi sangat berani?!"

"Kamu tidak pernah menahan diri saat memeluk Mas, bukan?"

"Karena aku tidak masalah dengan itu! Tetapi… ini memalukan, atau semacamnya!" Maho mengepakkan tangannya dengan panik.

Melihat Maho yang malu begini tampak sedikit berbeda dari tindakannya yang biasa, tetapi itu juga imut. Maho menarik napas dalam-dalam dan menatap Saito.

"Si-Silakan!"

"Kalau begitu…" Saito mendekat, dan Maho memejamkan matanya.

Tepat saat Saito hendak merangkul Maho, Shisei memisahkan mereka berdua dan meraih lengan Maho.

KuraKon-5-3-2

"Maho, berkencanlah dengan Shisei. Sekarang juga."

"Hah?! Sekarang juga?!" Mata Maho terbuka lebar karena terkejut.

"Iya. Sekarang juga."

"Ehh, apa yang merasukimu, Shii-chan?! Apa kamu akhirnya jatuh hati pada pesonaku?! Kamu sangat menyayangiku sehingga kamu akhirnya ingin menjadi boneka dandananku?!"

"Sama sekali tidak. Cuma ingin mengobrol denganmu."

"Wuuuhu, berkencan dengan Shii-chan! Aku akan melakukannya! Mari kita bolos sekolah sekarang juga!"

Maho meraih tangan Shisei dan pergi.

"Hei, bagaimana dengan Mas…?" Saito ditinggal.

Saito tidak tahu mengapa Shisei tiba-tiba menawarkan hal ini pada Maho, tetapi jelas kalau cewek itu tidak dapat menolak pesona Shisei. Saito menghela napas panjang lalu ponselnya bergetar. Tampil di layar ponselnya ada pesan masuk dari Akane.

'Kamu membiarkan gorden terbuka di ruang tamu! Berapa kali lagi aku mesti memberi tahumu? Aku tidak mau orang lain melihat masuk ke dalam, jadi tutup gordennya begitu kamu meninggalkan rumah!'

'Maaf, aku kelupaan.'

Karena cuacanya sangat cerah di pagi hari, Saito memutuskan untuk menikmati pemandangan dan melupakan panasnya saat itu.

'Aku juga melihat beberapa benang di lantai lorong! Itu bukan dari salah satu pakaianku, jadi kamulah yang meninggalkannya di sana, bukan?!'

'Bagaimana kamu bisa menemukannya?! Iya, salahku, aku akan membersihkannya begitu aku sampai ke rumah. Nanti.'

'Tunggu sebentar! Aku juga menemukan sehelai rambutmu di kamar mandi! Seprai di bagianmu juga tidak dirapikan, cangkirmu ditinggal di atas meja, dan remote televisi tidak diletakkan di tempat yang biasanya, dan juga, dan juga…'

'Sekarang kamu cuma mengajukan keluhan padaku karena masalah itu!'

Saito kewalahan dengan serangan yang tak berujung keluhan. Akane telah berevolusi dari seorang ibu rumah tangga menjadi seorang istri komputer. Pesan yang masuk tidak pernah berhenti, yang merampas waktu istirahat makan siang Saito yang berharga.

—Iya, mana mungkin kalau Akane ini merupakan cewek itu.

Saito menatap pesan masuk dan tersenyum pahit.


Sepulangnya dari sekolah, Saito langsung mendapatkan panggilan telepon dari kakeknya Tenryuu. Saito sudah menjalankan syaratnya, jadi ia lebih suka untuk tidak berurusan dengan diktator itu untuk saat ini. Saito cuma ingin kembali membaca dan mendapatkan tenaga kembali. Namun, setelah Saito mengabaikan panggilan di ponselnya, sekarang telepon rumah mereka berdering. Saito membiarkan dan mengabaikan itu juga, lalu televisi di ruang tamu tiba-tiba menyala, menampilkan wajah Tenryuu.

"Apa kamu sudah menjawab panggilan sialmu?"

"Waaaaaaaaaaah?!" Saito menjerit ketakutan.

Saito telah waspada kalau kakeknya telah menyiapkan beberapa peralatan tersembunyi saat datang ke rumah ini, tetapi ini hampir terasa seperti pemerasan.

"Kakek… televisi ini punya kamera? Apa Kakek mengamati kami tanpa memberi tahu kami?"

"Ha ha ha! Mana mungkin Kakek melakukan itu. Ini cuma panggilan televisi biasa."

"Aku bahkan tidak tahu fungsi itu ada sampai saat ini, jadi tampaknya aku tidak dapat mempercayai kata-kata Kakek!"

"Itu sudah tertulis di manual, kamu tahu? Lihat, itu ada di rak paling atas di lemari."

Saito mencari itu dan dengan cepat menemukannya. Namun, Saito harus berdiri untuk membacanya, sehingga membuatnya jelas kalau itu sengaja disembunyikan di sana. Apa yang sebenarnya direncanakan oleh kakeknya? Tenryuu mungkin cuma ingin bersenang-senang berencana mengerjai cucunya.

"Apa yang Kakek mau?"

"Apa Kakek tidak boleh meneleponmu tanpa alasan yang serius?"

"Tindakan pacar Kakek tidak akan berhasil." Saito menggigil.

Orang lain di sini bukanlah seseorang yang baru saja mengikuti obrolan santai. Setiap detik relaksasi dapat berakibat fatal bagi Saito, begitulah sang monster Tenryuu.

"Hari Sabtu depan akan menjadi ulang tahun sepupu Kakek yang ke-70, dan seluruh anggota Keluarga Houjo akan datang. Kamu, tentu saja, juga akan datang."

"Sepupu yang membantu menyatukan keluarga itu, bukan?"

"Benar. Ia yang membungkam mereka yang berani membantah keputusan manajemen. Kalau kamu ingin menggantikan Kakek, kamu tidak akan mampu menjadikannya musuhmu."

"Dimengerti, aku akan pastikan untuk membawa kado."

Tenryuu selalu licik di belakang layar. Dan karena Tenryuu memilih untuk menjadikan Saito sebagai penggantinya, ia mencoba memberi Saito koneksi dan dukungan latar belakang lainnya. Kalau dipikir-pikir lagi, pesta di kediaman terpisah bertahun-tahun yang lalu kemungkinan besar merupakan metode lain dari itu. Di antara para monster di Keluarga Houjou, Saito saat ini cuma batu kerikil kecil di sungai. Setelah Saito memutuskan panggilan, Akane memasuki ruang tamu.

"Aku mendengarmu berbicara dengan seseorang…apa kamu berbicara sendiri? Pasti kesepian tanpa teman."

"Kamu tidak semestinya memperlakukanku seperti seorang penyendiri yang tidak pernah punya siapapun untuk diajak bicara. Kakek tadi meneleponku, cuma itu kok."

"Kalian berdua itu cukup dekat, ya?" Akane menunjukkan tatapan hangat dan penuh kasih sayang pada Saito.

"Tidak. Sama sekali tidak dekat."

"Nenekku sering menyanyikan lagu Nina Bobo untuk membuatku tertidur. Apa beliau melakukan hal yang sama padamu?"

"Itu terdengar seperti neraka."

Membayangkannya saja sudah membuat punggung Saito merinding, karena ia merasakan dorongan untuk melarikan diri. Membayangkan kakek-kakek iblis itu yang menyanyikan lagu Nina Bobo mungkin akan berakhir dengan musik metal kematian, sebagai gantinya.

"Akan diadakan acara kumpul-kumpul kerabatku segera, dan Kakek mengundangku. Kamu juga harus ikut?"

"Hah? Mengapa aku harus ikut?"

"Karena aku mesti memperkenalkanmu pada para kerabatku?"

Saito berbicara tanpa maksud yang lebih dalam, tetapi Akane segera memerah.

"Mem-Memperkenalkan?! Kamu membuatnya terdengar seperti kita sudah menikah!"

"Karena kita memang sudah menikah?"

"Kita belum menikah!"

"Kalau begitu, mengapa kita tinggal bersama begini?"

"Itu karena... Kamu terus-terusan masuk tanpa izin!"

"Kalau begitu, mengapa kamu masih belum melaporkanku?!"

"Tidak masalah kalau aku melaporkannya!" Akane menempelkan telinganya ke ponsel pintarnya.

"Jangan menganggap itu serius?!"

Cuma pada saat-saat begini Akane mau mendengarkan Saito, jadi Saito mencoba mengambil ponsel itu dari tangan Akane. Namun, Akane memegang ponsel itu seakan-akan hidupnya bergantung pada benda itu.

"Ini mungkin memang acara kumpul-kumpul Keluarga Houjo, tetapi itu sama seperti perjamuan lainnya. Rekan lama mengobrol dengan rekan lama, jadi kamu tidak perlu khawatir dengan etiket dan semacamnya. Makanan di sana juga kelas atas, jadi kamu dapat ikut sambil mengisi perutmu."

Akane memegangi kepalanya.

"Erk…aku belum mempersiapkan diri secara mental…"

"Mempersiapkan diri secara mental…? Mengapa kamu mesti lakukan itu? Shisei juga akan datang ke sana."

"Maka ibunya Shisei-san juga akan datang, iya kan…?"

"Aku rasa, iya."

Saat mereka pergi ke taman hiburan sebelumnya, Akane bertemu dengan ibu Shisei untuk pertama kalinya di mobil itu, jadi dia mungkin takut pada Reiko saat ini. Secara pribadi, Saito mau Akane keluar rumah sesering mungkin. Mereka sama sekali belum berbelanja bersama akhir-akhir ini, jadi mengurangi beban Akane dengan cara tertentu akan membuatnya lebih patuh di rumah.

"Aku tidak mau memaksamu, tetapi… Kita akan menginap semalam di lokasi, jadi apakah kamu tidak akan merasa kesepian menghabiskan malam tanpaku?"

Akane menyilangkan tangannya dan membuang muka.

"Me-Mengapa aku akan merasa begitu?! Malahan, aku akan mengalami satu malam dalam hidupku karena kamu tidak ada di rumah!"

"Kamu yakin tidak apa-apa? Aku khawatir kalau kamu akan mati kalau listrik padam."

"Aku tidak akan mati! Memangnya menurutmu aku ini apaan?!"

"Kamu itu seperti kucing yang ketakutan."

"Sama sekali tidak begitu! Meskipun hantu mendekatiku, aku akan mengusirnya dalam hitungan detik!"

"Aku tidak tahu kamu itu seorang pengusir hantu."

Fakta lain yang diketahui tentang Akane yang belum pernah Saito dengar. Awalnya, Saito senang melihat sisi baru Akane, tetapi mungkin itu berbeda. Wajah Akane tampak pucat, gemetaran karena ngeri. Akane ketakutan.

"Kamu akan baik-baik saja, kan? Bisakah kamu menjaga rumah sendiri saat aku tidak ada?"

"Apa kamu menghinaku?!"

"Aku khawatir. Aku dapat membuat jimat untukmu."

"Aku tidak mau jimat tipuanmu!"

"Ini bukan tipuan. Para hamba yang setia akan diselamatkan, apapun yang akan terjadi."

"Terdengar lebih mencurigakan!" Akane dengan blak-blakan menyangkal niat baik Saito.

"Lagipula aku mau bersenang-senang dengan Himari, jadi itu sempurna! Baik itu sehari ataupun sebulan, menetaplah selama yang kamu mau, aku tidak masalah sama sekali!" Bahu Akane gemetaran karena marah.


Limusin Shisei telah berhenti di depan rumah mereka. Secara pribadi, Saito lebih suka naik alat transportasi resmi, atau setidaknya pengawalan dari keluarga Tenryuu, tetapi Shisei bersikeras untuk menjemput Saito. Cuma dengan memikirkan tentang didorong dan dipaksa masuk ke dalam mobil yang dikendarai oleh sopir pelayan itu saja sudah membuat Saito merasa pusing. Yang cukup mengejutkan, Akane mau mengantar Saito sampai ke depan pintu masuk.

"Aku akan berangkat."

"…………"

Saito cuma bermaksud untuk berpamitan pada Akane, tetapi Akane memasang ekspresi yang aneh. Akane mungkin khawatir akan ditinggal sendirian di rumah sebesar itu.

"Kamu tidak apa-apa?"

"Apa maksudmu? Aku sedang sibuk, jadi berangkat saja sana!"

Kata-kata Akane tetap dingin seperti biasanya. Melihat tidak ada pilihan lain, Saito naik limusin itu dan berangkat ke kediaman utama Keluarga Houjo. Shisei sudah menunggu di dalam mobil, mengenakan gaun, cocok dengan ibunya, Reiko, yang mengenakan jas. Dengan Reiko ada di mobil itu, sopir pelayan untungnya tahu cara menghindari pengekangan, memungkinkan perjalanan yang senyaman mungkin.

Kediaman utama Keluarga Houjo mirip dengan kediaman samurai, memancarkan tekanan besar semakin dekat mereka. Dinding mortar putih membentang tanpa ujung, dengan atap bata berwarna hitam berkilau. Di luar gerbang megah, ada taman Jepang, dengan akumulasi keindahan. Cabang-cabang gelap dari pohon pinus melengkapi ikan koi yang berenang di kolam. Lorong papan menyebar ke segala arah mata angin, melewati sungai kecil dengan jembatan batu.

"Selamat datang kembali, Tuan Saito."

"Kami telah menunggu kedatangan Anda, Nyonya Reiko."

"Kami senang melihat Anda kembali, Nona Shisei."

Para pelayan kediaman berbaris di pintu masuk depan, dan menyapa kelompok itu. Mereka menerima tas tangan Reiko dan membantu Shisei melepas sepatunya dengan hati-hati. Reiko dan Shisei mungkin saja sudah terbiasa menjadi calon keluarga kerajaan, tetapi Saito, yang orang biasa saja, tidak dapat menghadapi semua ini.

"Aku ini tidak kembali, kalian tahu..."

Reiko mengangkat bahunya.

"Bagi keluarga utama, kamu itu putra dari tempat ini. Ayah juga mencoba mengadopsimu berkali-kali, ingat?"

"Iya… dan aku selalu bilang tidak sebelum pemikiran itu membuatku takut."

Tenryuu bersedia membiayai kehidupan cucunya sebanyak yang ia mau, jadi kalau ia juga akan mendapatkan hak asuh atas Saito, semuanya akan berakhir. Saito mungkin akan diseret ke pesta demi pesta setiap malam, dibawa terjun lenting (bungee jumping) dari helikopter tanpa tali tambang. Walaupun orang tuanya tidak menyayanginya, itu jauh lebih baik ketimbang apapun yang dilakukan oleh Tenryuu.

"Abang, mari kita berski."

Shisei melompat-lompat ke lorong yang dipoles dengan baik dan meluncur ke lantai dengan perutnya. Semua pelayan menjerit keras di sepanjang barisan "Nona, tolong berhenti sekarang juga!" atau "Itu bukan makanaaaan!!" tetapi Shisei tidak keberatan dan cuma melirik Saito. Shisei menyuruh Saito untuk bergabung dengannya.

"Baiklah kalau begitu!"

Saito mengikuti Shisei dan meluncur di lantai. Bagi siapapun yang merupakan bagian dari dunia bisnis keuangan ini, rumah ini mungkin sarang singa, tetapi bagi mereka berdua, rumah ini cuma rumah kakek mereka. Aula besar yang berfungsi sebagai lokasi perjamuan itu semewah dan boros seperti yang kalian harapkan, seukuran satu kamar di sebuah istana. Gorden lipat dari emas tempa bergambar naga atau harimau, dengan ornamen emas menggantung di langit-langit. Tenryuu duduk di kursi ketua, dan sudah minum.

Di sebelahnya, ada adik sepupunya Shizu. Beliau sudah mencapai usia 70 tahun yang luar biasa, namun kecantikan bawaannya membuatnya sulit untuk menebak usianya cuma dari penampilannya. Karena beliau masih tampak sama persis seperti pada saat Saito pertama kali melihat beliau, Saito mulai melihat beliau sebagai jenis binatang abadi.

"Hei, Saito, Shisei! Duduklah di sini!" Tenryuu memberi isyarat pada mereka, jelas sedang dalam suasana hati yang baik.

"Aku lebih suka tidak duduk di sebelah pemabuk."

"Kami semua akan mabuk malam ini! Sudahlah menyerah saja."

Karena Tenryuu telah memutuskan ini, tidak ada gunanya berdebat. Apalagi tidak di depan keluarga dan tamu utama pada malam itu, jadi Shisei dan Saito mendekati Tenryuu.

"Sudah lama, Selamat atas ulang tahun Nenek yang ke-70."

"Selamat. Mudah-mudahan, Nenek dapat terus bersama kami dalam waktu yang lama."

Baik Saito maupun Shisei menyerahkan kado mereka, sehingga membuat Shizu tersenyum.

"Terima kasih. Nenek kira Nenek dapat terus hidup selama ribuan tahun lagi."

"Ha ha ha, itu benar-benar tidak terdengar seperti lelucon saat kamu mengatakannya!" Tenryuu tertawa, tetapi Saito cuma bisa setuju. "Jadi, di mana istrimu? Apa dia masih belum datang?"

"Akane tidak akan datang hari ini. Dia itu terlalu malu untuk diperkenalkan pada kerabat kita."

"Ya ampun, itu sangat menggemaskan." Shizu terkekeh.

"Kalian berdua akur? Kapan Kakek dapat mendambakan cicit Kakek?" tanya Tenryuu.

"Tidak dalam waktu dekat. Pernikahan itu memang syaratnya, tetapi kami tidak berada dalam hubungan yang seperti itu."

"Mengapa kalian menyia-nyiakan waktu kalian? Kalian itu pengantin baru, ingat? Ini merupakan waktu terbaik dalam hidup kalian. Kalian paling tidak sudah mandi bersama, bukan?"

"Kami belum!" Saito merasakan darah mengalir deras ke kepalanya.

Kalau semuanya sudah berjalan jadi seperti ini tanpa perjamuan dimulai, Saito mungkin harus mempersiapkan dirinya untuk beberapa rasa malu yang pasti nanti di malam hari.

"Biarkan saja, Tenryuu. Anak-anak muda zaman sekarang itu cukup sensitif." Shizu membungkam si kakek pemabuk.

Di dunia zaman sekarang ini, satu-satunya yang dapat melawan Kaisar Tenryuu itu Shizu. Mungkin itu sebabnya kerabat lainnya sangat percaya pada Shizu.

"Tidak bisakah Nenek Shizu juga memarahi Kakek karena telah memaksa cucunya menikah tanpa persetujuan darinya?" Saito memohon pada Shizu.

"Nenek sudah memberikan Kakekmu sedikit pemikiran Nenek sejak awal. Iya, Nenek memilih untuk mengikuti Tenryuu selama sisa hidup Nenek, jadi Nenek seharusnya tahu apa yang Nenek hadapi."

"Nenek tidak menentangnya?"

"Chiyo mungkin cuma orang biasa saja lima puluh tahun yang lalu, tetapi sekarang dia itu nyonya dari Keluarga Sakuramori, yang dapat menyipitkan matanya pada aset negara. Tidak ada ruginya kalau kedua keluarga kami mencapai kesepakatan bersama. Pastikan untuk menjaga istrimu dengan baik, oke?"

Tenryuu mungkin telah bertindak dengan alasan pribadi, tetapi Shizu selalu memikirkan manfaat dan kehormatan bagi Keluarga Houjo. Saito juga tidak tertarik, tetapi ia juga tidak berniat melawan dua individu yang berpengaruh ini. Shizu melanjutkan.

(TL Note: Ini cuma opini pribadi Mimin, mungkin Tenryuu itu juga punya kehidupan yang sama dengan Saito dulu, perempuan yang akan istrinya Tenryuu itu bagaikan Akane, Chiyo itu bagaikan Himari, dan Shizu itu bagaikan Shisei, sementara yang hubungannya sama dengan Maho belum kami temukan, sekali lagi, ini cuma opini pribadi Mimin, jangan dipedulikan.)

"Nenek beranggapan kalau kamu pada akhirnya mungkin akan menikah dengan Shisei, kamu tahu?"

"Hah, mana mungkin…" Saito menunjukkan senyuman pahit saat ia melihat ke arah Shisei.

"……!" Wajah Shisei jadi merah padam.

"Ada apa?" tanya Saito.

"Apa maksud Abang?"

"Maksud Abang, wajahmu itu memerah..."

"Tidak ada apa-apa sama sekali kok. Shisei cuma memakan sejumput cabai merah utuh, cuma itu."

"Bagaimana kamu dapat menyelundupkan benda itu ke sini?"

“Shisei itu kan penguasa ruang dan waktu, aku dapat membawa benda apapun dari dunia paralel ke dunia kita kapan saja."

"Kalau kamu punya kekuatan yang luar biasa, mungkin kamu harusnya gunakan untuk sesuatu yang lebih berharga, oke?"

Mengapa kamu membatasinya pada cabai merah?

KuraKon-5-3-3

(TL Note: Ah imut amat muka Shisei yang sedang tersipu ini.)

"Apa kamu merasa malu?"

"Sama sekali tidak kok." Shisei berjalan ke bangkunya dan duduk di bantal lantai.

Shisei mungkin mencoba untuk mendapatkan kembali ketenangannya, tetapi telinganya menjadi merah padam, dan tubuhnya gemetaran. Saito belum pernah melihat Shisei sebingung ini sebelumnya, itu sudah jelas. Saito maju dan duduk di sebelah Shisei.

"Itu cuma bercanda, jangan khawatirkan itu."

"…Jadi Abang tidak memikirkannya sama sekali?"

"Ini jauh lebih baik daripada Kakek yang terus-terusan melecehkan Abang."

"…Oh begitu."

Tinjuan kecil Shisei menghantam tepat ke mulut Saito. Meskipun Saito tidak mengalami kerusakan langsung, Shisei terus memegangi sehingga Saito tidak dapat bergerak. Selain itu, Shisei bahkan mendorong dan menyeret tinjunya.

"Me-Mehh...Apa yang kamu..." Saito mengerang.

Shisei menarik kembali tinjunya, dan menyandarkan kepalanya ke pangkuan Saito.

"Shisei meminta Abang untuk mengusap kepalaku."

"Abang tidak keberatan, Abang rasa…" Saito agak bingung tetapi tetap setuju untuk memberikan pelayanan yang Shisei minta.


Akhir-akhir ini, Akane merasa seakan-akan dia dan Himari sedang mengobrol melewati satu sama lain. Kata-kata dan ekspresi Himari sama seperti sebelumnya, tetapi ada yang tidak beres. Sejak SD, Himari belum pernah menunjukkan ekspresi negatif di wajahnya, dan selalu tertawa dalam situasi apapun, tetapi selama beberapa hari terakhir ini, Akane tidak dapat menebak apa yang sebenarnya dirasakan oleh Himari. Oleh karena itu, saat Saito saat sedang tidak ada di rumah, Akane menggunakan kesempatan itu untuk mengundang Himari. Akane ingin mengobrol baik-baik dengan Himari, dan memastikan kalau ikatan mereka tidak putus.

Akankah dia datang, aku penasaran...?

Akane menunggu dalam ketidakpastian dan kecemasan lalu bel pintu berbunyi. Detak jantung Akane semakin cepat lalu dia bergegas ke pintu, dan membukakannya.

"Senang kamu bisa ke sini, Hima—."

Himari melompat ke arah Akane sebelum dia bahkan dapat menyelesaikan kalimatnya. Itu merupakan pelukan erat seakan-akan mengatakan kalau Himari tidak akan pernah melepaskan Akane lagi. Dan Himari tidak membiarkan Akane bergerak sedikitpun.

"He-Hei, apa yang merasukimu…?"

"Aku sangat senang kamu memanggilku… aku kira kamu bakal mulai membenciku!" Lengan Himari sedikit gemetaran saat dia memeluk Akane.

"Mana mungkin aku membencimu! Mengapa kamu mengira bakal begitu?"

Malahan, Akane-lah yang khawatir kalau dia mungkin telah menyakiti Himari.

"Karena aku pulang bersama Saito-kun pada kencan itu…bahkan mengajaknya ke rumahku sampai larut malam…aku takut kalau kamu bakalan marah padaku…"

"Tentu saja, aku tidak marah! Aku tahu kalau kamu melakukan ini demi kami! Apa yang kamu lakukan dan ke mana kamu pergi dengan Saito itu tidak ada hubungannya denganku!"

"Sungguh…?"

"Sungguh!" Akane menyatakan dengan sekuat tenaga.

Akane tidak dapat menyangkal fakta kalau dia merasa sedikit gelisah saat bilang begitu, tetapi dia memutuskan untuk menelan perasaan itu karena dia tidak ingin kehilangan sahabatnya. Yang paling Akane hargai di sini yaitu hubungannya dengan Himari.

"Syukurlah… aku sayang kamu, Akane."

"Aku juga sayang kamu."

Mereka berdua meletakkan tangan mereka di pipi mereka satu sama lain, dan tersenyum. Cuma dengan membuat Himari begitu dekat saja, Akane merasakan kehangatan yang menyenangkan memenuhi dadanya. Tidak peduli apapun situasinya, Akane tidak boleh kehilangan hubungan ini.

"Ini akan baik-baik saja, bukan…? Apapun yang terjadi, kita akan selalu menjadi sahabat…?"

"Ten-Tentu saja, apa yang kamu bicarakan?"

Akane mencoba meyakinkan Himari, tetapi saat dia mempertanyakan hatinya sendiri, dia tiba-tiba merasa cemas. "Tidak peduli apapun yang terjadi." Apa yang dimaksud Himari dengan itu? Akane ingin tahu tetapi juga tidak ingin tahu.

Tidak apa-apa, kami akan selalu bersahabat.

Akane menutup bayangan yang mengintai di lukanya dan mengajak Himari masuk. Untuk saat ini, Akane tidak mau memikirkan hal yang tidak perlu. Himari menyediakan waktunya sekarang, jadi Akane tidak ingin menyia-nyiakannya untuk hal lain.

"Apa yang mesti kita lakukan hari ini?" tanya Himari.

"Aku sudah beli banyak stroberi segar hari ini, jadi aku rasa kita bisa membuat kue mangkuk. Mau ikut denganku?"

"Tentu saja, tentu saja! Dan aku juga bawa teh herbal Darjeeling sebagai tambahan!"

"Itu akan sangat cocok dengan kue mangkuknya."

Mereka berdua mendiskusikan ini dan itu saat mereka mulai membuat kue mangkuk. Akane menambahkan beberapa krim mentah ke dalam mangkuk, mengaduknya sampai berbusa. Sementara itu, Himari menambahkan telur mentah ke mangkuk lain, serta gula pasir, mengaduknya. Walaupun mereka tidak membahas hal-hal secara langsung, mereka sudah selesai membagi peran mereka. Ini merupakan kerja sama yang telah mereka peroleh selama bertahun-tahun.

"Sudah aku duga, adanya kamu di sini merupakan hal yang terbaik, Himari."

"Aku benar-benar mengerti~! Kamu memang yang terhebat, Akane. Rasanya seperti kamu akan memaafkanku apapun kesalahanku!"

"Aku tidak akan memaafkanmu atas segalanya."

"Ah, ayolah. Maafkan aku."

"Oke, mau bagaimana lagi~."

Melihat senyuman Himari yang berseri-seri, Akane merasa seperti dia dapat dengan tulus memaafkan apapun kesalahan Himari. Mereka berdua memasukkan adonan ke dalam cangkir kecil dan memasukkannya ke dalam oven. Butuh waktu 15 menit lagi untuk menyelesaikan ini, jadi mereka duduk di dekat oven untuk mengawasi segalanya.

"Oh iya! Mari kita ambil foto lalu kita kirimkan ke Saito-kun!" Himari mengambil ponsel pintarnya dari meja dan mengambil foto kue mangkuk di oven, dan menambahkan beberapa kata tambahan.

"Hi-Himari…kamu dan Saito bertukaran identitas (ID)?"

"Hmm? Iya, beberapa waktu yang lalu."

"Beberapa waktu yang lalu?!" Akane benar-benar bingung.

Akane secara membabi buta beranggapan kalau, selain Shisei, dialah satu-satunya oleh yang punya alamat kontak Saito. Namun, Himari telah mendahului langkahnya.

Tukang selingkuh s*alan itu...!

Pemikiran itu terlintas dalam benak Akane, tetapi dia dengan cepat menggelengkan kepalanya untuk menyingkirkan hal itu. Saito tidak selingkuh dengan cara apapun, karena ia dan Akane bahkan tidak pacaran. Dan bertukaran informasi kontak sama saja dengan selingkuh merupakan jalur pemikiran yang menghujat, dari awal. Begitu Saito menjadi kepala Keluarga Houjo, ia mesti bertukar identitas (ID) dengan sekretarisnya dan bawahan lainnya, dan pasti ada banyak lagi wanita yang bercampur di sana.

Aku yakin ia pasti akan mendapatkan seorang sekretaris yang cantik dan seksi…! Saito itu tipe cowok yang begitu! Menjijikkan!

Cuma membayangkannya saja sudah membuat Akane mendidih karena marah.

"…Akane? Mungkin aku seharusnya menghapus ID Saito-kun saja, ya…?" Himari bertanya dengan nada khawatir, sehingga membuat Akane kembali ke dunia nyata.

Akane pasti memasang wajah yang buruk karena Himari beranggapan kalau Akane sedang marah.

"Ti-Tidak! Tidak usah! Selama Saito tidak terlalu mengganggumu…"

"Tentu saja tidak! Malahan, akulah yang mengiriminya pesan setiap malam!"

(TL Note: Pelakor.)

"Setiap malam?!"

"Iya. Tadi malam, aku mengiriminya foto tepat setelah aku keluar dari kamar mandi~." Himari menunjukkan layar ponselnya pada Akane.

Ada Himari, yang cuma mengenakan jubah mandinya, sambil dia duduk di lantai. Karena jubah Himari sangat pendek, pahanya terlihat jelas, dan kamu bisa melihat sekilas belahan dadanya. Pipi Himari juga memerah.

"Mengapa kamu tidak memberi tahuku?!" Akane meraih bahu Himari dengan air mata di matanya.

"A-Apa maksudmu?"

"Ia memerasmu, bukan?! Makanya ia memaksamu untuk mengirimkan foto mesum kapanpun ia mau, bukan?!"

"Tentu saja tidak! Aku merasa kalau aku mungkin dapat membuat jantungnya berdebar, jadi aku mengiriminya foto itu."

"Ka-Kamu melakukan sejauh itu…?"

"Tentu saja. Aku tidak dapat memilih metodeku untuk memenangkan cowok yang aku sukai. Iya, soalnya ia benar-benar mengabaikanku…" Himari menggaruk pipinya.

"Memaksa sahabatku melalui rasa malu dan perasaan malu begitu… aku tidak akan memaafkannya…!"

"Aku tidak apa-apa, sungguh. Selama ia tidak memblokirku, itulah yang terpenting. Ah, aku mendapat balasan!"

Pesan Saito muncul di ponsel Himari.

'Kalian sedang membuat kue? Bagus.'

Himari menyeringai sendiri saat membaca pesan itu.

'Aku buat bagianmu jadi tertutup. Dipenuhi dengan cinta, tentu saja.'

'Aku tidak butuh cinta.'

'Kalau begitu aku akan mengirimimu cinta sebelum itu!' Himari terus mengirimi Saito arus stiker hati yang tidak ada habisnya.

Saito membalas saat mengirim stiker tengkorak, dan spam stiker tidak berujung dimulai.

Apa-apaan ini?!

Bahu Akane gemetaran saat dia melihat mereka berdua dan percakapan mereka yang aneh. Akane dan Saito telah bertukaran informasi kontak beberapa waktu lalu, namun Saito belum pernah menghubungi Akane sekalipun. Setiap kali Akane mengirimi Saito pesan, ia akan memberikan tanggapan yang blak-blakan dan singkat, benar-benar memutuskan semua kontak. Namun, perbedaan macam apa yang Akane lihat sekarang? Mungkin Saito lebih menikmati obrolan dengan Himari. Mata Himari langsung terpaku pada ponselnya, jadi Akane mengurus kue mangkuknya, mengeluarkan kue itu dari oven dan mengeluarkannya dari cetakan. Setelah itu, Akane meletakkannya di jaring. Himari meletakkan ponselnya dan bergegas mendekat.

"Maaf membuatmu melakukan semua itu sendirian! Biarkan aku membantu."

"Tidak apa-apa…Aku tidak bisa apa-apa dalam hal mengobrol…Parameter obrolanku terlalu rendah…"

"Apa itu parameter obrolan?!"

Mereka menyimpan kue mangkuk itu agar dingin. Akane terus mengocok krim, dan Himari yang mendekorasi kue mangkuknya. Bahkan saat mereka melanjutkan pekerjaan mereka, Akane terus-menerus memperhatikan ponselnya, dan dia melirik ponselnya.

Mengapa Saito tidak mengirimiku pesan…? Ia setidaknya dapat memberi tahuku kalau ia berhasil sampai ke keluarga utama dengan selamat…

Namun, menghubungi Saito terlebih dahulu membuat ini tampak seperti Akane sedang kesepian.

'Kikikik...aku tahu itu, kamu kesepian dan ketakutan, bukan? Seperti yang aku bilang.'

Akane membayangkan seringai jahat Saito saat ia mengirimkan pesan itu, sehingga membuat Akane marah sekali lagi.

"Aku tidak kesepian!" Akane menghantamkan tinjunya tepat ke mainan empuk di dekatnya.

"Akane?! Apa yang terjadi?!" Himari menatap Akane dengan terkejut.

"Ti-Tidak ada apa-apa kok…" Akane mengambil mainan empuk itu dan meminta maaf.

Beberapa kapas keluar dari mulut mainan itu. Akane mesti memperbaiki mainan itu nanti saat dia punya waktu luang.

"Apa kamu…menunggu Saito-kun menghubungimu?"

"Bu-Buat apa aku begitu?!"

Himari memukul tepat sasaran yang membuat Akane memerah dengan marah.

"…Akane, apa kamu tahu lawan kata dari 'Suka'?"

"Itu 'Benci,' bukan?"

Itulah yang Akane rasakan terhadap Saito.

"Bukan itu."

"Ap…?"

"Lawan kata dari menyukai seseorang adalah bersikap acuh tak acuh terhadap mereka. Kamu tidak akan membenci seseorang yang tidak kamu pedulikan, bukan?"

"Itu... tetapi bagaimana dengan itu...?"

Untuk pertama kalinya, senyuman lembut Himari benar-benar membuat Akane ketakutan. Haruskah Akane benar-benar bertanya apa yang Himari coba katakan? Mungkin kebenaran yang mengerikan akan menantinya kalau Akane mengikuti utas itu. Karena beberapa alasan, lutut Akane gemetaran. Himari menghela napas.

"Mari kita tambahkan stroberi untuk bagian atasnya?"

"Iya…"

Akane kembali membuat kue mangkuk itu. Biasanya, Akane akan merasa senang dan bersemangat setiap kali dia melihat stroberi, tetapi baru hari ini, ada sesuatu yang aneh dari dirinya. Dan lebih dari itu, Akane masih kesal karena Saito tidak menghubunginya. Ponsel pintar Akane yang diletakkan di atas meja tidak mengeluarkan suara.

Aku yakin ia sangat bersenang-senang dengan beberapa cewek atau kerabat imut! Baiklah, kalau begitu jangan pernah pulang lagi!

Akane memelototi ponsel pintarnya seakan-akan memanggil sebuah pesan.


"Hari ini menyenangkan! Mari kita lakukan ini lagi!"

"Iya! Sampai jumpa!"

Himari melambaikan tangannya dengan senyuman yang berkilau saat dia meninggalkan teras depan. Bagian dalam rumah ini terasa jauh lebih gelap sekarang, karena matahari mulai terbenam. Berkat kehadiran Himari, Akane mungkin sudah lupa sampai saat ini, tetapi dia akan sendirian malam ini. Akane merangkul lengannya saat dia merasakan hawa dingin yang samar dan menuju ke ruang belajarnya.

Tetapi dengan adanya Saito, aku tidak bisa banyak belajar! Mungkin sekarang aku akhirnya dapat mendahuluinya!

Akane meletakkan segunung buku referensi di mejanya, menggenggam pena dengan erat, dan mengalihkan pikirannya ke mode belajar. Namun, Akane masih tidak dapat fokus karena suatu alasan. Rasanya seperti ada kekosongan besar di dalam hati Akane. Akane teringat akan obrolan hangat dan menyenangkan Himari dan Saito melalui teks dan melihat ke ponsel pintarnya. Akane membuka obrolannya dengan Saito, memeriksa beberapa kali apakah dia sudah mendapat pesan darinya atau belum.

Aku tidak… kesepian.

Akane memalingkan wajahnya dari ponsel pintar itu dan meninggalkan ruang belajarnya. Ingin mendapatkan ketenangan pikiran, Akane menuju ke lantai satu, ke dapur, dan menyeduh teh segar. Akane duduk di kursi dan meletakkan cangkirnya di meja. Teh yang dibawa Himari benar-benar enak, tetapi…

Aku penasaran apa yang akan ia pikirkan kalau ia meminumnya seteguk. Apa ia akan menceritakan kisah tentang daun teh, ataukah mungkin ia tidak dapat membedakan rasanya?

Pemikiran sederhana itu terlintas dalam benak Akane. Selama hari lain, Saito sekarang akan duduk di sofa di ruang tamu, dan membaca buku. Akane membaca buku referensinya, bertukar beberapa patah kata dengan Saito di sana-sini, berakhir dengan pertengkaran dengannya, dan kemudian menonton film bersama. Namun, Saito tidak ada di sana saat ini. Saito berada di suatu tempat yang jauh di sebuah apartemen yang mahal, dikelilingi dengan makanan lezat. Saito mungkin tidak peduli dengan Akane sama sekali.

Sejak kapan Akane selalu memikirkan Saito? Setelah pernikahan mereka? Tidak, bahkan sebelum itu. Sejak masa kelas sepuluh SMA mereka, Akane terus memikirkan cara untuk mengalahkan Saito setiap malam. Akane ingin menjatuhkan cowok yang sombong itu, semuanya agar Saito mengakui Akane.

Aku tidak kesepian.

Akane meneguk sisa tehnya dan kembali ke lantai dua. Dercit papan lantai menyakiti telinga Akane. Keheningan yang menyesakkan memenuhi rumah Akane, membuat itu terasa seperti semua umat manusia telah lenyap. Tepat setelah memasuki ruang belajarnya, mata Akane tertuju pada ponselnya. Tidak ada lampu berkedip untuk memberi tahu Akane tentang sebuah pesan. Akane mengebut aplikasi, dan dia bertemu dengan hasil yang sama. Frustrasi mulai muncul dari dalam diri Akane, lalu dia membuang ponselnya. Catatan Akane masih terbuka lebar, tetapi dia cuma meletakkan kepalanya ke atas meja, membenamkan wajahnya ke lengannya.

"Aku tidak… kesepian sama sekali." Akane bergumam dengan suara tangisan.


Perjamuan di kediaman utama keluarga Houjo berlanjut.

"Ah, Kan-chan keluar!"

"Betapa tidak sesuai dengan usianya!"

"Aku akan membalaskan dendam untuk Kan-chan!"

"Seseorang membawa tong anggur baru!"

"Ume-yan juga keluar!"

Para tamu undangan yang sudah tua perlahan namun pasti tumbang. Para orang jenius dari keluarga Houjo, memegang cengkeraman besi pada perusahaan mereka seperti penguasa yang menakutkan dan meneror, sekarang mabuk sampai tepat, berteriak dan menari bersama para anggota keluarga lainnya. Setiap hari, mereka mengeluarkan tekanan dengan cuma berada dalam ruangan yang sama dengan yang lainnya, tetapi sekarang semua belenggu sudah terlepas. Sementara itu, para pelayan membawa lebih banyak alkohol dan makanan, menyiapkan seorang dokter untuk berjaga-jaga. Pekerjaan Saito saat ini yaitu menyerahkan orang-orang yang mabuk pada sopir mereka.

"Aku belum mau pulang! Aku masih ingin minum lebih banyak!"

"Iya, iya. Pulang saja sana dan minumlah air, oke?"

Saito mendorong pimpinan yang berpengaruh  dari sebuah perusahaan berskala besar itu ke dalam mobil mewahnya dan menutup pintunya sebelum pemabuk itu dapat merangkak keluar lagi. Karena sopir itu tidak akan berani memperlakukan bosnya sedemikian rupa, tugas jaga-jaga ini merupakan tugas Saito. Setelah kembali ke aula perjamuan, Saito duduk dan menghela napas. Shisei sudah memakan semua yang ada, sekarang tidur di bantal lantai Saito.

Semakin banyak makanan datang ke piring, tetapi Saito sudah bosan bahkan cuma dengan melihat piringnya. Saito merindukan makanan sehat dan sederhana Akane di rumah. Saito menatap ke ponsel pintarnya, memikirkan apa ia mesti mengirimkan pesan pada Akane.

Mungkin dia cuma akan kesal kalau aku menghubunginya? Aku rasa Aku tidak harus menghubunginya…

Akane pasti sedang sibuk bermain dengan Himari atau belajar, jadi selama itu tidak penting, pesan apapun cuma akan mengganggu Akane. Belum lagi Saito dan Akane belum pernah berhubungan baik dalam mengobrol. Saat Saito memelototi ponsel pintarnya, Tenryuu meletakkan tangannya ke atas bahu Saito.

"Kamu juga, ayo minum beberapa lagi!"

Napas Tenryuu berbau alkohol. Penguasa mutlak dalam keluarga itu sekarang tidak lebih dari seorang kakek-kakek.

"Aku masih di bawah umur."

"Kakek tahu itu, apa yang Kakek suruh kamu minum itu…" Tenryuu menyediakan Saito satu gelas berisi cairan misterius.

"Teh ulong sayur!"

"Apa saja yang Kakek campur di sana?"

Cairan tersebut berwarna kuning kecoklatan. Cairan itu mengeluarkan bau yang mengocok perut, tampak lebih dari mencurigakan.

"Itu akan baik buat kesehatanmu! Kakek khawatir dengan cucu Kakek, jadi betapa teganya dirimu kalau kamu tidak mau menerima rasa terima kasih dari Kakek?"

"Kakek cuma mencoba menari di atas penderitaanku, bukan?"

Tenryuu mengangkat jempolnya.

"Tentu saja."

"Aku tidak keberatan kalau Kakek menjadi sedikit lebih mendukungku."

Kalau Saito mau minum minuman spesial yang sehat, ia bisa saja bergantung pada protein kocok nabatinya. Lagipula, Akane tidak mengerti pemikiran di baliknya, dan dengan masakan rumahan Akane, Saito tidak punya alasan untuk meminum minuman yang misterius ini.

"Sekarang, menderitalah demi Kakek, cucuku!"

"Aku menolak!"

Saito melarikan diri dari genggaman kakeknya, menggotong Shisei, dan berlari keluar dari aula perjamuan. Berjalan melalui koridor luar, mereka menuju ke dalam kamar yang disiapkan untuk Shisei. Kamar itu terdiri dari suar gaya barat dengan ranjang mewah dan kubah yang terpasang, diisi dengan boneka-boneka yang cocok dengan selera Shisei. Sopir pembantu yang terkenal itu duduk di kursi, dan membaca majalah otomotif.

"Terima kasih banyak. Sepertinya Nona Muda itu cukup lelah." Dia menerima Shisei dari Saito, meletakkan tubuh kecil Shisei ke ranjang.

Cara dia menutupi Shisei dengan selimut itu membuatnya tampak kurang seperti seorang pembantu dan lebih seperti seorang ibu.

"Mengapa Anda tidak beristirahat bersamanya? Saya yakin Nona Muda itu akan bahagia begitu dia bangun."

"Dan kalau begitu kamu tidak akan punya tempat untuk tidur, bukan?"

"Saya tidak keberatan menikmati Anda berdua pada saat yang sama, Tuan Saito."

"Apa sih sebenarnya yang akan kamu nikmati?!"

Pelayan itu sama sekali tidak menunjukkan ekspresi dengan kenampakan wajahnya yang halus.

"Saya sedang membicarakan tentang harem. Seharusnya menjadi impian seorang pria untuk menikmati putri dan pelayan pada saat yang sama, bukan?"

Saito sayangnya cuma melihat mereka sebagai adiknya dan seorang pengemudi yang kejam saja.

"Ranjangnya terlalu sempit untuk itu, jadi aku akan tidur di kamar sebelah saja."

"Hormat saya, inilah mengapa perjaka seperti Anda…"

"Kamu bilang sesuatu?"

"Tidak ada sama sekali. Saya tidak bisa apa-apa selain menghormati Anda, itu membuat dada saya bergetar. Sungguh, Anda itu orang yang luar biasa." Kata pelayan itu, tetapi suaranya sama monotonnya dengan mesin penjawab.

"Sangat jelas kalau kamu cuma mengada-ada, kamu tahu?"

"Selamat malam, Tuan Saito. Saya berharap Anda bermimpi indah." Pelayan itu dengan samar mengangkat di samping dasi kupu-kupunya yang bersahaja dan mengantar Saito keluar.

Tepat setelah itu, Saito mendengar sopir pelayan itu meringkuk ke ranjang Shisei, diikuti oleh suara gemerisik aneh yang mencapai telinga Saito ke luar pintu.

"Bikin kesal saja…"

Saito memasuki kamar di sebelah kamar Shisei. Kamar ini sudah didekorasi atas perintah Tenryuu agar sesuai dengan preferensi Saito. Kamar itu punya konsol gim yang lebih tua, bersamaan dengan rak yang penuh dengan gim dan buku. Ketika Saito masih muda, ia selalu datang ke sini untuk menikmati semua koleksi ini, tetapi sekarang ia sadar kalau kakeknya kemungkinan besar cuma mencoba untuk merayu Saito. Karena masih terlalu dini untuk tidur, Saito bergerak maju dan mengambil sebuah buku dari rak buku. Susunannya juga telah berubah dari terakhir kali Saito datang berkunjung.

Menurut apa yang diberitahukan pada Saito, para pembantu dari keluarga utama secara teratur memeriksa preferensi Saito untuk terus memperbarui pilihan di sini. Bagaimana mereka mendapatkan data itu masih menjadi misteri bagi Saito. Setelah menemukan sebuah buku yang menarik minatnya, Saito berbaring di ranjang. Tepat saat Saito akan mulai membaca, ponselnya bergetar. Muncul di layar ponsel itu ada nama Akane. Dengan tergesa-gesa, Saito menjawab panggilan itu.

"Ada apa? Apa terjadi sesuatu?"

'Ti-Tidak ada apa-apa...'

"Apa kamu mau mendengar suaraku?" Saito mengatakannya sambil bercanda.

'A-Ap...Tidak, tentu saja tidak!' Akane dengan panik menyangkalnya, dan kemudian keheningan mengiringi.

Saito dapat mendengar napas Akane yang hangat. Meskipun mereka berjauhan, keberadaan Akane terasa seperti dia berada tepat di sebelah Saito.

'A-Aku tidak dapat tenang kalau kita belum bertengkar.'

"Kamu tidak dapat tenang…?"

'Itu benar. Kita kan sudah bertengkar sejak masa kelas sepuluh kita, jadi saat sehening ini, aku tidak dapat bersantai sama sekali.'

"Aku kira kamu akan lebih senang kalau aku tidak ada?"

'Memang begitu, tetapi itu cuma...' Akane melanjutkan dengan suara yang akan menghilang ke udara tipis. "Cepatlah pulang, oke?"

"…Iya."

Akane menutup panggilan, membawa kesadaran Saito kembali ke situasi saat ini. Saito masih bisa mendengar suara-suara sorak dari aula perjamuan. Suara ikan berenang di kolam, dipasangkan dengan cahaya yang tampak melalui pintu geser.

"Pulang, ya…"

Saito melirik ke rak buku besar, menggigit kata-kata itu. Pada awalnya, tempat itu cuma penjara yang Saito cuma diseret masuk untuk tinggal bersama dengan teman sekelas yang paling ia tidak sukai. Namun, bagi Akane dan Saito sendiri, tempat itu telah berubah menjadi rumah mereka. Keluarga asli Saito tidak pernah menunggunya pulang. Mereka tidak ada di rumah ketika Saito pulang sekolah, apalagi menjemputnya, mereka tidak memberinya perhatian seperti Akane, dan mereka bahkan tidak mau repot-repot memasak buatnya. Saito tidak dibutuhkan oleh siapapun. Namun, Akane menunggu Saito. Cuma dengan memikirkan fakta itu, Saito merasa dadanya menjadi hangat.

"…Satu hal lagi yang aku pelajari tentang dia, ya?"

Akane itu sosok yang keras kepala, pekerja keras, dan selalu merasa malu. Dan mulai hari ini, Saito tahu kalau Akane itu orangnya mudah kesepian.


Akane berguling-guling di ranjangnya. Bukannya memeluk bantal, Akane mati-matian berpegangan pada boneka miliknya, menyimpan penggorengan sebagai alat pertahanan diri di samping bantalnya. Akane juga memakai jimat pelindung tipuan yang dibuat Saito untuknya.

Aku tidak bisa tidur… Sudah berapa lama sejak aku tidur sendirian ya…

Ketika Akane masih tinggal dengan keluarga aslinya, dia selalu tidur sendirian, namun sekarang dia sudah terbiasa tidur di sebelah Saito. Ranjang dengan ukuran ini terasa terlalu besar buat dia tidur sendiri, dan tidak ada kehangatan Saito seperti biasanya. Tiba-tiba, dia mendengar suara yang berderit dari langit-langit.

Aku tidak tahan lagi! Semua suara aneh ini…

Akane memakai penyuara jemalanya (headphone), memainkan musik yang membuatnya tidur nyenyak dengan volume yang maksimal. Hantu itu tidak ada, begitu juga dengan tikus. Apa yang Akane tidak dapat dengar itu tidak ada. Akane terus mengatakan itu pada dirinya sendiri, memaksa matanya untuk tertutup. Akane membuka matanya lagi, berpikir kalau dia mungkin juga minum cokelat panas...saat dia melihat bayangan di luar jendela.

Apa?! Hah?! Maling?!

Akane bangun dari ranjang, melepas penyuara jemalanya. Bayangan di luar berusaha membuka jendela. Bagaimana dia bisa naik ke lantai dua begini? Mana ada manusia yang akan menerobos masuk ke kamar orang lain. Itu bisa jadi seorang penyusup, pencuri, atau pembunuh... Akane bahkan tidak punya waktu untuk menelepon polisi. Pelaku itu akan berhasil masuk terlebih dahulu. Dan Akane juga tidak memiliki kepercayaan diri untuk menangkapnya saat melarikan diri.

Kalau saja Saito ada di sini, ia pasti akan menyelamatkanku...!

Akane gemetaran ketakutan, lalu dia menggenggam penggorengannya. Akane merasa takut. Ketakutan, malah. Pada saat ini, Saito tidak ada di sini untuk melindungi Akane. Saito memang sombong dan sering tidak berguna, tetapi ia tidak akan pernah kalah melawan beberapa penyusup. Akhirnya, jendela dibuka, gorden dibuka, dan tangan seorang pria terulur ke dalam kamar.

"Dasar kamu maling sialan...!" Akane mengayunkan penggorengannya, mencoba membantingnya ke cowok itu.

"Wah?!"

Orang yang diduga maling mengangkat suara kaget, menghindari penggorengan itu, dan kehilangan keseimbangan. Dan kemudian, wajahnya menjadi tampak.

"Saito?!"

Akane dengan panik menggenggam tangan Saito  lalu menariknya ke atas. Tubuh cowok Saito mungkin hampir terlalu berat buat Akane, teyapi dia tetap tidak melepaskan Saito tidak peduli seberapa besar itu akan mencabik-cabiknya. Akane akhirnya berhasil membawa Saito masuk ke kamar. Mereka berdua terengah-engah lalu mereka terkapar ke lantai. Pakaian Saito menjadi kotor di sana-sini, dan beberapa bagian bahkan ada yang robek.

"Apa yang sudah kamu lakukan?!" Akane bertanya dengan sangat bingung.

Saito, yang seharusnya berada di kediaman utama keluarga Houjo, sekarang tiba-tiba muncul di depan Akane, hampir terjatuh dari lantai dua. Akane tidak dapat mengerti apa yang baru saja terjadi.

"Pintu depan dikunci dengan rantai, jadi aku tidak bisa masuk."

"Kalau begitu bunyikan saja bel pintunya!"

"Aku sudah membunyikannya. Beberapa kali, sebenarnya."

"Ah…Aku tidak mendengarnya karena aku memakai penyuara jemala…"

"Kamu juga tidak menjawab teleponku, jadi aku kira kamu sudah tidur."

Tetapi itu bukan berarti Saito dapat naik begitu saja ke lantai dua.

"Aku kira kamu akan tidur di kediaman utama hari ini?" Akane bertanya.

"Itu niatku, tetapi… aku naik bus untuk pulang."

"Jadi busnya masih beroperasi?"

"Cuma setengah jalan saja, jadi sisanya aku mesti berjalan kaki."

"Kamu berjalan kaki?! Berapa lama yang kamu habiskan untuk ke sini?!"

"…Sekitar dua jam?"

"Apa kamu ini bodoh?!"

Saito dengan canggung menggaruk pipinya.

"Em… Tepat seperti yang kamu katakan, aku merasa gelisah saat kita berdua tidak bertengkar."

"…!" Akane merasakan dadanya sesak.

"Aku banyak berkeringat, jadi biarkan aku mandi dulu."

"O-Oke."

Saito menuju ke lantai satu, meninggalkan Akane di kamar tidur. Dari lantai bawah, Akane dengan cepat mendengar suara air mengalir. Cuma karena dengan adanya Saito di dalam kamar, rasa dingin yang samar yang Akane rasakan tiba-tiba menghilang, dan itu membuatnya merasa tenang. Bahkan suara berderit dari langit-langit tidak mengganggu Akane lagi. Akane juga menuruni tangga, memasuki area ganti baju kecil sebelum mandi. Melalui kaca berkabut, Akane dapat melihat gerakan Saito. Saito akan berkeramas, dan akan meluncur di sepanjang lantai yang basah, menyenandungkan melodi asli sendiri.

Lantai tempat Akane berdiri ada pakaian Saito yang berserakan di mana-mana. Biasanya, dia akan marah karena hal ini, namun Akane sekarang santai dan baik-baik saja.

Seceroboh biasanya…

Akane mengambil pakaian Saito dan memasukkannya ke dalam keranjang cucian. Pakaian itu benar-benar kotor di manapun Akane melihatnya dan berbau keringat. Namun, Akane tidak terlalu mempermasalahkan hal ini. Akane mengambil handuk mandi dari rak terdekat dan meletakkannya ke depan ruang mandi. Karena Saito sepertinya sudah mau selesai mandi, Akane bergegas kembali ke kamar tidur mereka. Tidak lama setelah itu, Saito memasuki kamar. Akane duduk di ranjang, menyapa Saito seakan-akan dia telah duduk di sini selama ini.

"Ce-Cepat sekali, ya?"

"Bukankah kamu di kamar mandi beberapa menit yang lalu?"

"Aku tidak kok! Apa kamu mau bilang kalau aku melihatmu mandi?!"

"Tidak pernah bilang begitu…Tetapi mengapa kamu seperti orang yang kehabisan napas?"

"Ka-Karena… aku sedang menari!"

"Ini sudah larut malam?! Kamu masih punya banyak tenaga yang tersisa, ya! Kalau begitu tunjukkan tarian itu padaku." Saito sangat tertarik.

"Aku lebih suka tidak! Dan aku juga tidak akan menunjukkannya padamu!" Akane merasa seperti dia akan mati karena malu.

Lagipula, Akane sendiri tidak tahu mengapa dia pergi ke kamar mandi. Karena Akane kesepian? Ataukah karena dia ingin bersama Saito secepat mungkin? Itu seharusnya tidak mungkin, namun…

"He-Hei…Bagaimana kalau kita mengobrol sebentar? Apa yang terjadi di perjamuan, dengan siapa saja kamu mengobrol, maukah kamu memberi tahuku sedikit?"

"…Zzz."

Ajakan Akane disambut dengan keheningan karena Saito telah tertidur. Saito bahkan hampir tidak menarik selimut sampai ke bahunya. Akane menghela napas tidak percaya dan menariknya buat Saito.

Ia pasti kelelahan. Sungguh, benar-benar bodoh…

Tetap di kediaman akan jauh lebih mudah bagi Saito, namun ia bergegas pulang karena Akane merasa kesepian. Saito pulang ke rumahnya. Fakta itu saja sudah membuat Akane senang tak terkira. Jauh di dalam dada Akane, kehangatan mulai terbentuk, saat jantungnya deg-degan, hampir membuatnya memeluk Saito. Namun, Saito akan bangun kalau Akane melakukan itu. Akane akan merasa malu kalau Saito mengetahuinya, dan dia ingin membiarkan Saito beristirahat dengan nyenyak. Sebaliknya, Akane mendekat ke telinga Saito, berbisik lembut.

"…Selamat datang kembali."

KuraKon-5-3-4



Aku mendengar sesuatu yang gila…

Saito merasa seluruh tubuhnya memanas. Saito kebetulan terbangun sesaat, penasaran mengapa Akane terasa sangat dekat dengannya. Dan bukan cuma itu, Saito tiba-tiba mendengar suara lembut dan ramah yang tidak pernah ia duga datang dari Akane. Saito tidak tahu apa ini waktu yang baik atau buruk, tetapi ia yakin kalau ia akan mati kalau Akane tahu kalau ia mendengar suara itu. Itu, tentu saja, merupakan sesuatu yang ingin Saito hindari, terutama karena ia sudah merasa lelah karena semua tekanan dari pesta. Oleh karena itu, satu-satunya pilihannya yaitu berpura-pura tidur, seperti hidupnya bergantung pada hal itu. Saito tidak bisa membiarkan Akane tahu. Bahkan saat rambut Akane menggelitiknya, Saito tidak dapat menunjukkan reaksi apapun.

—-Tetapi suara barusan itu, dan cara bicaranya…kedengarannya sangat akrab…

Memang, kedengarannya persis seperti cewek itu yang Saito temui bertahun-tahun yang lalu di pesta itu.


←Sebelumnya           Daftar Isi          Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama