Kurasu no Daikirai na Joshi to Kekkon Suru Koto ni Natta - Jilid 5 Bab 1 - Lintas Ninja Translation

Bab 1
Rumor

Ruang kelas 3-A seketika heboh dengan kekacauan seperti sarang semut yang baru saja meledak.

"Akane-chan dan Saito-kun tinggal bersama?!"

"Yang benar saja?!"

"Dua orang jenius di kelas yang selalu bertengkar satu sama lain!?"

"Dan karena mereka jago dalam hal belajar, mereka mungkin akan jago juga dalam melanjutkan keturunan, bukan!?"

Dengan segudang pernyataan ini, seluruh siswa-siswi sangat bersemangat melampaui batas keyakinan mereka. Di tengah-tengah kejadian itu ada Akane, yang tersipu dengan warna merah cerah saat dia menggelengkan kepala sambil marah, dengan Saito yang terdiam kaku karena ketakutan. Tidak ada yang tahu kapan Akane akan mengamuk. Ketika saat itu datang untuk menenangkan situasi dan memanaskan amarahnya, Akane tidak boleh jadi orang yang terburuk yang dibayangkan.

"A-A-Aku dan Saito tidak tinggal bersama! Kalau aku tinggal dengan cowok yang berlendir sepertinya, aku sendiri pasti sudah berubah jadi lendir!"

Saito biasanya akan tampak mengeluarkan bantahan terhadap penghinaan itu, tetapi ia sedang berusaha untuk tidak menambah minyak ke dalam api. Menunggu badai berlalu merupakan tindakan terbaik yang paling mungkin untuk dilakukan.

"Tetapi, aku sudah pernah melihat mereka berduaan sebelumnya! Mereka berjalan ke pusat perbelanjaan bersama-sama."

"Wah, mereka sedang berkencan?"

"Ini tidak terbantahkan lagi!"

Tertekan dengan bukti yang lebih lanjut, Akane berteriak.

"Aku keberatan, itu cuma desas-desus! Dan juga, itu bukan kencan! Ia menguntitku! Aku juga sudah mempertimbangkan untuk segera melaporkannya ke polisi!"

"Houjo-kun itu seorang penguntit?"

"Betul sekali! Ia mengikutiku ke rumahku, melihat-lihat melalui kulkasku saat aku sedang tidak menyadarinya!"

"Houjo-kun itu gila…"

"Ia bahkan mengintipku melalui celah-celah tembok ubin!"

"Benar-benar iblis..."

Itu beberapa tuduhan gila yang kamu tujukan untukku. Apa lagi, hah, ia akan memotong jariku?—Saito mengutuk di dalam hati. Walaupun Akane berusaha meredam segalanya demi mereka berdua, pencemaran yang Saito terima terlalu besar. Saito sudah dapat merasakan celah yang melebar antara dirinya dan para siswi lain di kelasnya. Beberapa dari mereka bahkan sudah mulai berbagi informasi menggunakan ponsel pintar mereka. Ini sudah mencapai tingkat yang dapat dituntut ke pengadilan dalam kasus pencemaran nama baik. Saito memutuskan untuk melihat pilihannya untuk memastikan kalau ia mendapatkan tim kuasa hukum yang tepat yang benar-benar tahu apa yang mereka lakukan. Untungnya, seorang siswa benar-benar memberikan kesaksian yang tepat yang mematahkan tuduhan Akane yang tidak sah.

"Aku ragu kalau ia seorang penguntit. Aku pernah melihat mereka berdua ketemuan di gerbang belakang beberapa hari yang lalu."

"Ketemuan…?!" Akane menjadi pucat.

Saito juga mulai bercucuran keringat. Saito yakin kalau mereka sudah waspada dengan sekeliling mereka, namun ternyata salah satu dari teman-teman sekelas mereka malah kebetulan melihat mereka.

"Ketemuan? Itu pasti kencan!"

"Mereka pacaran!"

"Mana mungkin mereka tidak tinggal bersama!"

Siswa-siswi lain jadi lebih bersemangat.

"Kami tidak pacaran!"

"Tetapi kalian berdua itu sangat dekat, bukan?"

"Sama sekali tidak! Kami selalu ingin mencekik satu sama lain! Betul kan, Saito?!"

"Aku tidak berusaha membunuhmu, jangan halangi jalanku!" Saito masuk.

"Iya, kalau aku sih sama sekali tidak akan menahan diri!" Akane menggeram.

"Aku juga tahu soal itu dengan sangat baik!"

Saito melihat ini sebagai keajaiban karena ia masih hidup. Di saat yang sama, teman-teman sekelas mereka saling memandang.

"Mereka itu cukup dekat sebagai orang yang bertengkar setiap hari, bukan?"

"Iya, iya. Dan mereka itu selalu mengobrol."

"Aku rasa mereka itu pasangan yang cocok!"

"Ka-Kami itu bukan… pasangan yang cocok…!"

Akane tampaknya telah mencapai batasnya karena dia bahkan tidak berusaha untuk membantahnya lagi. Akane cuma menutup genggaman tangannya erat-erat, gemetaran karena marah. Saito memutuskan kalau ialah yang mesti meredakan situasi ini dan angkat bicara.

"Tenang, semuanya. Mana mungkin aku pacaran dengan cewek yang seperti dia."

"Haaah?! Maksud kamu apa bilang begitu?!" Akane memelototi Saito.

"Persis seperti apa yang aku bilang. Aku tidak akan pernah dapat jatuh cinta dengan cewek yang ngawur sepertimu."

"Kamulah yang ngawur! Kamu itu selalu saja bertingkah seakan-akan rumah kita itu ru—"

Saito dengan panik menutup mulut Akane sebelum dia dapat menyelesaikan kalimatnya.

KuraKon-5-1-1

"Bisakah kamu tidak membuat situasinya semakin buruk?"

"Itu karena kamu mencoba merendahkanku!"

"Aku tidak begitu kok. Aku berusaha untuk membebaskan kita dari kekacauan ini."

"Aku tidak mau! Coba bilanglah dengan sesuatu yang akan memujiku, sebagai gantinya! Panggil aku cewek yang akan sia-sia kalau dipacari olehmu!"

(TL Note: Gitu banget Mbak, tadi suamimu lu jelek-jelekin, doi biasa aja.)

"Kalau begitu, mereka malah cuma akan semakin meragukan kita!"

Tetapi bahkan saat mereka berdua ini berdebat sambil marah tentang itu, teman-teman sekelas mereka menyeringai pada mereka.

"""Lihat, kalian itu sangat dekat, bukan!""" Seluruh teman-teman sekelas mereka berkata dengan serempak.

"~~~?!"

Akane sudah mencapai batasnya dan berlari keluar kelas. Saito kehilangan kesempatan untuk melarikan diri dan langsung dikepung oleh teman-teman sekelasnya.

"Houjo-kun…? Aku harap aku bisa dengar seluruh detail menarik darimu..."

"Untuk memperjelas detail Akane barusan, tentu saja."

"Sudah seberapa jauh  kalian berdua...?"

Karena ruangnya untuk melarikan diri tertutup, Saito cuma bisa mengencangkan tubuhnya untuk melunakkan dampak ini.


Saito mungkin saja sudah selamat dari rentetan interogasi, tetapi situasi ini masih jauh dari kata bersih. Dikarenakan mereka berdua (Saito dan Akane) terus saja mendapatkan nilai tertinggi di angkatan mereka sejak hari mereka masuk ke sekolah mereka, mereka selalu saja punya tingkat perhatian tertentu yang mengikuti mereka. Dengan skandal semacam itu muncul ke publik, tidak heran kalau seluruh siswa-siswi tertarik pada obrolan cinta dan semacamnya akan segera mengikuti teori ini. Karena Saito juga tidak bisa fokus pada bacaannya di kelas, ia harus mengungsi ke halaman sekolah, dan di sana, ia bertemu dengan Akane yang sama-sama kelelahan.

"Mengapa kamu ada di sini? Kamu itu menghalangi saja, kembali saja ke kelas sana."

"Mana mungkin aku bisa duduk tenang dan menjernihkan pikiran di sana."

"Itu juga berlaku untukku. Ini semua salahmu rumor aneh ini beredar."

"Kamu yang mengacau, ingat? Kamu menyuruhku untuk pulang."

Bahu Akane gemetar karena marah.

"Hah?! Kamu menyalahkanku atas hal ini?! Kalau begitu jangan pernah pulang lagi!"

"Kok kamu jadi begini sih?!"

"Berburu celeng saja di hutan dan hidup jauh-jauh dari peradaban! Kamu pasti bisa, bukan?!"

"Memangnya apa sih yang kamu harapkan dariku?!"

"Aku tahu kalau kamu bisa! Kamu itu punya aura manusia gua yang memancar darimu setiap saat!"

"Apa maksudnya sih aura manusia gua itu?!"

Saito dan Akane mendekat untuk saling memelototi satu sama lain. Setelah diusir dari rumahnya, Saito berharap kalau mereka berdua dapat berbaikan, namun ternyata inilah hasilnya. Itu sekali lagi mengingatkan Saito tentang betapa rendahnya kecocokan (chemistry) yang dimiliki oleh mereka berdua. Dan ternyata itu saja masih belum cukup, mereka sekarang mendengar suara para siswa-siswi dari lorong.

"Ah! Saito-kun dan Akane-chan sedang bermesraan lagi!"

"?!"

Mereka berdua membeku seperti balok es.

"Tunggu, di mana?!"

"Iya, kamu benar!"

"Bukankah itu pertemuan rahasia?!"

"Itu sudah pasti, Nonaku!"

"Jadi mereka belum cukup saling bercumbu di rumah, dan sekarang mereka ketemuan di sekolah juga?!"

"Sangat mesra.~"

Semakin banyak kepala yang keluar dari jendela, tampak laksana ikan yang menunggu untuk diberi makan. Mata mereka terdorong oleh rasa ingin tahu semacam ini merupakan satu-satunya berita terbesar dalam kehidupan mereka sampai saat ini. Belum lagi beberapa dari para siswa-siswi bersorak ke arah mereka.

"""Lagi, lagi, lagi!"""

"Apanya yang lagi?!" Saito sama sekali tidak menikmati sorakan semacam ini dalam berbagai artian.

Dan niat membunuh Akane, yang sudah mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, tentu saja tidak membantu masalah Saito.

"Kalian semua tunggu saja di sana… aku akan membantai kalian satu per satu…"

"Tolong, jangan bunuh orang-orang!" Saito meraih tangan Akane tepat saat dia hendak pergi.

"Lepaskan aku! Kalau kamu bekerja sama dengan orang-orang itu, maka kamu itu akan jadi musuhku juga! Aku akan mengutukmu sehingga kamu tidak akan pernah bisa mengeluarkan tanganmu lagi dari sakumu!"

"Benar-benar kutukan yang mengerikan!"

"Apa kamu lebih suka dengan kutukan yang akan membuatmu mengenakan kaus kaki di kaki yang salah?!"

"Kedua kutukan itu terdengar mengerikan!"

Siswa-siswi di sisi jendela jadi semakin berteriak.

"Mereka berpegangan tangan di sekolah!"

"Houjou-kun itu sangat berani!"

"Aku dapat merasakan adanya cinta di antara mereka~."

"Mereka itu benar-benar pasangan kekasih yang cocok."

"Lebih seperti suami istri!"

"Kami. Bukan. Suami. Istri!!" Akane berteriak dengan seluruh kemampuan vokalnya, tetapi mereka itu memang sudah suami istri.


Dikejar-kejar oleh para pemirsa yang kepo sepanjang hari, membuat Saito kelelahan dan terasa seperti ia habis lari maraton. Setiap kali Saito kebetulan berpapasan dengan Akane di lorong, orang-orang di sekitar mereka akan membuat kehebohan lagi, dan bersorak, "Pertemuan rahasia?!" atau "Pertemuan yang ditentukan?!" karena mereka terus mengikuti mereka berdua. Dengan begitu banyak orang yang menelusuri perjalanan gila itu, tentu saja tidak ada lagi ruang aman yang tersisa di sekolah.

"Mari kita pulang." Shisei membawa tasnya di bahunya, dan berdiri di depan meja Saito.

"Iya…"

"Sangat merasa tidak enak, Bang?"

"Sudah pasti… ada paparazi yang mengikuti Abang ke manapun Abang pergi…"

Meskipun jam pelajaran telah berakhir, sejumlah besar siswa-siswi masih tetap berada di dalam kelas, semua melirik ke arah Saito dan Akane dengan waspada dan semangat. Mereka tampaknya tidak ingin melewatkan kesempatan untuk mendapatkan satu momen emas pun, karena mereka semua telah menyiapkan dan memuat ponsel pintar mereka.

Kalian tidak akan mendapatkan apa-apa, jadi berdengung sajalah kalian laksana ngengat!

Saito sama sekali tidak tertarik pada berita dan rumor selebritas, namun ia ditempatkan ke pusat wahana gosip terbaru, itu benar-benar misteri baginya. Shisei tampaknya relatif acuh tak acuh tentang hal ini, rupanya, karena dia cuma mengacungkan jempolnya.

"Tidak masalah. Ada yang bilang kalau rumor cuma akan bertahan selama 75.000 hari."

"Abang lebih berharap kalau rumor ini akan hilang setelah 200 tahun. Kalau tidak, rumor ini akan menjadi legenda atau mitos."

"Abang dan Akane nantinya akan diabadikan sebagai nama rasi bintang."

"Dengkulmu."

Perkataan yang benar itu kalau rumor cuma akan bertahan selama 75 hari, dan itu masih terlalu lama bagi Saito. Akhirnya, mereka berdua pergi melalui gerbang depan. Saat mereka sedang dirahmati dengan cuaca cerah sore ini, aroma bunga yang terbawa oleh angin memang menenangkan. Shisei meraih tangan Saito saat dia berlari di sampingnya. Tidak peduli dengan situasi yang Saito hadapi sekarang, sikap Shisei terhadap Saito tidak berubah. Satu-satunya tempat yang dapat Saito kembali itu ya di sisi Shisei.

Saito beranggapan kalau ia akan aman dari paparazi setidaknya dalam perjalanan pulang, namun pemikiran itu ternyata naif. Saito dapat  mendengar suara langkah kaki yang terburu-buru, gemerisik dedaunan, suara foto yang diambil, dan gumaman samar dari kejauhan. Saat Saito sedang berhenti di jalurnya, langkah kaki itu juga berhenti, tak lama mulai kembali begitu ia mulai berjalan sekali lagi.

"Shisei…Apa kamu merasakan itu?" Saito berbisik sambil melihat ke depannya.

"Yap. Tiga orang sedang membuntuti kita."

"Abang cuma dapat menangkap keberadaan dua orang..."

"Shisei bisa tahu. Aku ini memang profesional dalam hal dikuntit." Shisei berkata dengan bangga.

"Abang tidak merasa kalau kamu mesti berlagak sombong dalam hal itu."

"Karena Shisei mendapati orang-orang yang mengikutiku setiap saat, itu sebenarnya jauh lebih aman bagiku…kata para satpam."

"Dan kamu percaya pada orang-orang itu?"

"Tentu saja. Karena banyak para penguntit yang andal yang terampil dan sangat nafsu untuk mengikuti Shisei telah diurus oleh mereka."

Saito merasa lebih khawatir setelah mendengar kata-kata itu. Saito ingin adik sepupunya yang berharga itu tumbuh di lingkungan yang lebih aman daripada apapun yang diberikan padanya. Dan lagi, Saito paham betul bagaimana paras wajah Shisei bisa membuat orang-orang tergila-gila. Di saat yang sama, Shisei mengajukan pertanyaan.

"Bagaimana dengan orang-orang yang menguntit itu? Haruskah kita memanggil unit penembak jitu?"

"Tolong jangan perlakukan teman-teman sekelas kita seperti teroris. Kamu seharusnya tidak memanggil mereka ke sini untuk sesuatu yang masih dalam skala ini."

"Shisei juga akan memanggil mereka ketika ada hadiah yang aku inginkan di kios tembak menembak selama festival."

"Itu bahkan dalam skala yang lebih kecil lagi!"

Saito cuma bisa merasa menyesal karena pemilik kios itu dirampok oleh seorang profesional.

"Orang-orang dari unit penembak jitu juga senang. Mereka bilang kalau mereka akan menembak semua orang selama itu membuat Shisei senang."

"Abang rasa kalau mereka telah berubah menjadi pasukan pribadimu, daripada melayani keluarga secara penuh."

Saito sekali lagi menyadari bahwa, bahkan setelah ia menjadi kepala keluarga, ia tidak akan pernah membiarkan dirinya menjadikan Shisei menjadi musuhnya. Kalau Saito merusak suasana hati Shisei dengan cara apapun, ia akan menghadapi kudeta pada hari berikutnya, dan kantornya akan diserbu oleh pasukan pribadi Shisei.

"Orang-orang yang membuntuti kita mungkin ingin memeriksa apa Abang dan Akane benar-benar tinggal bersama. Akan buruk kalau mereka mengikuti kita lebih lama lagi…"

"Mau tinggal di rumah Shise sebentar? Kedengarannya bagus bukan. Dapat jatah makan tiga kali sehari, tidur siang dengan Shisei, dan sekelompok pelayan cantik yang akan melayani Abang." Shisei berseru dengan penuh semangat—dan tanpa ekspresi sedikitpun.

"Abang lebih suka kalau tidak tinggal di tempat lain terlalu lama."

"Abang tidak ingin pelayan ya? Kami punya mantan pembalap, mantan militer, mantan pembunuh, dan masih banyak lagi mantan-mantan lainnya."

"Abang benar-benar mempertanyakan prasyarat untuk bekerja di bawahmu."

Dan Saito ingat kalau ia mungkin sudah pernah bertemu dengan mantan pembalap itu sebelumnya. Sebagai bonus tambahan dari mantan pembunuh itu mungkin yang akan dia  kirim padamu sampai kamu tidur nyenyak.

"Abang… tidak ingin tinggal bersama Shisei?"

"Bukan itu masalahnya. Kalau Abang tidak segera kembali ke rumah, Kakek dan yang lainnya mungkin akan mulai meragukan kami."

Akan buruk kalau mereka menilai kalau Saito dan Akane tidak memenuhi syarat pernikahan mereka. Itu akan merampas hak Saito untuk menjadi pewaris Houjo Group, dan Akane tidak akan menerima biaya pendidikan untuk masuk ke sekolah kedokteran.

"Kalau begitu, kita cuma bisa menyingkirkan mereka. Serahkan saja pada Shisei." Shisei berkata dengan percaya diri sambil  membenturkan satu kepalan tangan ke dadanya.

"Kamu sudah punya ide, ya?"

Karena Shisei membanggakan dirinya sebagai si jenius terhebat di keluarga, dia pasti akan membuat rencana pelarian yang sempurna. Atau begitulah Saito menaikkan harapannya, akan tetapi…

"Abang cuma perlu memberi Shisei gendongan putri sambil berlari dengan kecepatan penuh."

"Itu tidak terdengar kalau dengan begitu akan berhasil dengan baik."

"Yang sederhana itu efektif. Berjuang, berjuang."

"…Baiklah, kalau begitu."

Saito mulai berlari, dengan Shisei menempel padanya untuk mencapai titik gabungan. Meskipun Saito tidak yakin apa ini benar-benar memenuhi syarat kalau ini dapat disebut sebagai gendongan putri. Namun, tindakan yang tiba-tiba ini tampaknya berhasil dengan cukup baik, karena langkah kaki yang mengikuti mereka tampak sepenuhnya kacau. Saito mencoba mempercepat langkah untuk membuat jarak di antara mereka, tetapi ternyata sia-sia.

"Bukankah akan lebih cepat kalau Abang berlari tanpa menggendongmu?!"

"Tanpa beban, ini bukan olahraga yang tepat untukmu, Bang."

"Kapan Abang bilang kalau Abang ingin ini jadi olahraga?!"

"Olahraga itu penting. Sebagai calon kepala Keluarga Houjo, Abang harus cukup kuat untuk mengalahkan naga dengan tangan kosong."

"Kamu itu berharap sedikit terlalu banyak, Abang jadi takut!"

Saito bukanlah seorang pahlawan ataupun pembunuh naga. Shisei menunjuk ke truk sampah yang sedang melakukan mengangkut di sebelah trotoar.

"Sembunyi di sana. Itu akan menjauhkan Abang dari para penguntit kita."

"Kita nantinya malah akan jadi kacau dan terjepit dalam prosesnya, tahu."

"Biarkan Shisei mengurus tubuhmu, Bang. Aku akan memperbaikinya."

"Abang menghargai kesediaanmu untuk mengambil langkah sejauh itu demi Abang, tetapi Abang tidak merasa kalau kamu akan mampu melakukannya."

"Shisei akan mampu melakukannya. Aku pernah belajar cara membuat zombi dari buku-buku yang aku baca."

"Abang tidak ingin jadi zombi, jadi tidak usah repot-repot!"

Saito mengangkat pinggang kecil Shisei dan berbelok tajam ke ujung. Sebuah bus kebetulan sedang parkir di halte bus di depannya, baru saja ingin berangkat. Saito tidak mau melompat ke truk sampah, tetapi bus itu pilihan yang lebih baik. Saito masuk ke dalam bus dan menutup pintu di belakangnya. Memastikan keselamatannya, Saito terengah-engah dan melihat teman-teman sekelasnya yang mengutuk. Shisei turun ke lantai dan melihat ke sekeliling dengan bingung.

"Ohh. Sudah lama sekali sejak Shisei terakhir kali naik bus. Bisakah kita pergi ke New York?"

"Kita mesti menyeberangi Samudra Pasifik, jadi Abang rasa itu tidak akan berhasil."

"Kalau begitu Shisei akan membakar samudra sampai rata dengan tanah."

"Itu akan memusnahkan jutaan spesies dan mungkin akan membunuh kita juga dalam prosesnya. Bagaimanapun, kita akan turun di tempat perhentian berikutnya."

"Shisei tidak mau ah."

"Kamu tidak mau? Ini bukan waktunya untuk egois."

"Itu tidak ada hubungannya dengan menjadi egois atau semacamnya. Kalau New York terlalu berlebihan, maka setidaknya gendong Shisei sampai ke tempat perhentian terakhir." Shisei duduk di lantai, dan menunjukkan betapa keras kepalanya dia.

Shisei tampak seperti anak kecil yang memprotes karena tidak mendapatkan permen yang dia inginkan, dan tentu saja menarik perhatian penumpang lain.

"Baiklah, kalau begitu…" Saito membangunkan Shisei dan membuatnya duduk di jok.

"Hehe…kemenangan lagi untuk Shisei."

"Ini sama sekali bukan kemenangan."

Saito menyentil dahi Shisei saat dia meletakkan bahunya ke bahu Saito. Dan lagi, tanpa ada urusan mendesak lainnya yang mesti diurus, mengambil jalan memutar pasti akan membantu mengusir orang-orang yang mengejar mereka.


...Namun, pemikiran semacam itu memang lebih dari naif. Setelah turun di pemberhentian terakhir, mereka berakhir di suatu tempat jauh di pegunungan. Tidak ada orang lain selain mereka di sana, dan rumah-rumah pemukiman telah lama menghilang. Cuma hutan lebat dan bendungan yang tersisa. Belum lagi bus yang mereka tumpangi telah pergi, dengan bus yang berikutnya akan tiba pada siang hari di esok hari.

"Kita... ada di mana?!"

"New York?" Shisei memiringkan kepalanya dengan bingung.

"Abang cukup yakin kalau ini bukan New York."

"Benarkah…? Bisakah Abang mengatakan itu dengan lebih percaya diri…?"

"Abang berani bertaruh dengan sejumlah uang untuk hal itu, oke."

Saito tidak ingat kalau ia telah layar melintasi lautan. Bus tadi juga tidak dilengkapi baling-baling atau alat penerbangan lainnya. Itu merupakan bus lokal rata-rata yang berkendara di jalanan.

"Kamu dapat memesan penginapan di luar sana, Shisei?"

"Tidak."

"Abang rasa kita cuma bisa berjalan kembali dari sini…?" Saito terdengar menelan ludah.

Dengan bus saja, perjalanan ini menghabiskan waktu tiga jam, belum lagi dengan banyak tanjakan dan turunan saat mereka masih naik bus di jalanan gunung. Berapa lama waktu yang dibutuhkan bagi mereka untuk berjalan kembali sejauh itu? Namun Shisei tampak tidak keberatan dengan semua itu, dan cuma mendorong genggaman tangannya.

"Semangat!"

"Kamu cuma akan berjalan tepat di sebelah Abang, mengerti?!"

"Shisei tidak bisa berjalan. Aku menembakkan peluru ke jantungku sambil melindungi Abang."

"Yah, kalau kamu sudah meninggal, berarti Abang dapat meninggalkanmu di hutan sini, ya?"

"Abang itu sangat kejam. Setidaknya ambillah tulang belulang Shisei."

Saat Saito mulai berjalan ke depan, Shisei mengunci kemejanya dan menariknya. Shisei bahkan tidak keberatan dengan fakta kalau pakaiannya jadi kotor.

"Ini malah semakin membuat Abang lelah. Tidak bisakah kamu setidaknya berjalan dengan normal?"

"Shisei cuma mau dimanjakan oleh Abang…apa  itu berlebihan?" Mata Shisei berbinar dengan polos saat dia menatap Saito seperti peri.

Tidak ada satupun manusia yang dapat menahan keinginan untuk melindungi Shisei.

"Ini cuma karena kamu merengek-rengek…" Saito berjongkok dan membiarkan Shisei naik ke punggungnya.

"Abang telah bilang apa yang Abang mau, tetapi Abang masih saja tidak akan membantah Shisei, ya?"

"Abang mungkin akan meninggalkanmu di sini untuk selamanya."

"Abang tidak akan pernah melakukan hal itu. Abang sangat menyayangi Shisei, bukan?" Shisei berkata sambil melingkarkan tangannya di punggung Saito agar dapat menjuntai di dadanya.

Persis seperti yang Shisei bilang, Saito tidak punya kata-kata untuk bantahan yang cerdas. Rambut perak Shisei yang panjang menyentuh leher dan bahu Saito, saat aroma wangi yang mirip aroma susu melayang ke hidung Saito. Dengan Shisei di punggungnya, Saito mulai menuruni gunung. Syukurlah Saito cuma mesti mengikuti jalur jalanan yang beraspal, namun ia dikelilingi hutan oleh lebat di kiri dan kanannya. Matahari perlahan mulai terbenam, merentangkan bayangan panjang melintasi area yang tidak dikenalnya.

Keheningan mulai memenuhi area itu dan cuma sesekali terdengar suara seekor burung yang tampaknya ingat tugasnya untuk berkicau. Namun, tidak ada suara mobil yang terdengar, cuma ada suara hampa dari sepatu Saito dan napas Shisei. Setelah berjalan beberapa saat, mereka kemudian sampai di sebuah jembatan kecil sekitar dua meter. Air dari sungai menyapu bebatuan di bawah jembatan itu. Wajah gunung yang nyata juga terlihat, dengan akar-akar pohon yang menggali masuk ke dalam tanah. Lampu jalan yang redup menerangi batang pohon, yang mengumpulkan ngengat, serta beberapa jenis kumbang seperti kumbang badak. Kalau ada anak kecil yang ingin berburu serangga, ini akan menjadi sarang emas. Shisei menunjuk ke salah satu titik di tempat ini.

"Abang, bisakah Abang tangkapkan kumbang badak untuk Shisei?"

"Kena kamu."

Saito melompati lereng kecil dan menyambar seekor kumbang yang sedang beristirahat di batang pohon. Tubuh kumbang itu bersinar terang dengan warna hitam pekat, dan tanduknya yang indah menunjuk lurus. Meskipun Saito tidak seusia itu lagi, namun ia masih merasa bersemangat untuk menangkap spesies yang begitu indah.

"Apa kamu punya sesuatu ketertarikan pada kumbang badak atau semacamnya?"

"Tidak tahu juga sih, tetapi Shisei mungkin bisa saja akan mulai menyukai mereka." Shisei mengambil kumbang itu dengan satu tangan dan membuka mulutnya lebar-lebar.

Saito merasa menggigil dan segera mengambil kumbang itu dari Shisei, dan melepaskannya ke alam bebas.

"Mengapa Abang melepaskannya? Shisei jadi marah, tahu."

"Abang tidak merasa kalau kamu akan benar-benar mencoba dan memakannya mentah-mentah!"

"Memang apa gunanya coba, selain untuk dimakan?"

"Kamu bisa menangkap mereka, memelihara mereka, dan membesarkan mereka, apa sajalah! Kumbang Badak itu sangat keren!"

"Shisei tidak dapat memahami alur pemikiran itu. Itu menjijikkan."

"Jadi kamu baru saja ingin memakan serangga secara acak?! Abang tidak mengerti proses berpikirmu!"

Di samping pemangsa alami ini membuat Saito kepikiran. Jujur saja, Saito bahkan jadi semakin khawatir tentang keselamatannya sendiri, dan kalau Shisei mungkin saja akan mulai mengunyah kepalanya.

"Untuk memperjelas saja… lebih baik kamu tidak memakan Abang, oke?" tanya Saito.

"Shisei akan lakukan yang terbaik."

"Jangan coba-coba! Berjanjilah pada Abang!"

"Mengapa?"

"A-Apa maksudmu mengapa…?"

Saito tidak dapat menyaring makna di balik kata-kata itu. Yang Saito tahu hanyalah bahwa ia harus sudah sampai ke pemukiman manusia sebelum Shisei kehilangan kemampuannya untuk bernalar karena perutnya yang kosong. Kalau tidak, hidup Saito mungkin akan benar-benar dalam bahaya. Dengan rasa bahaya yang besar memenuhi tubuhnya, Saito menambah kecepatan berjalannya. Saito merasakan iler Shisei mengalir di lehernya, tetapi ia cuma menepisnya saat Shisei tertidur. Saito dengan panik mengatakan pada dirinya sendiri kalau Shisei sedang tidak kelaparan dan benar-benar mempertimbangkan untuk memakannya. Saito tidak terlalu takut dengan tempat atau area yang gelap, tetapi cuma berduaan dengan Shisei begini, tiba-tiba berubah menjadi skenario yang horor bagi Saito.

Saat mereka mencapai telah kaki gunung, memperlihatkan cahaya yang jauh dari sebuah pom bensin, Saito menghela napas lega. Di sekelilingnya ada rumah-rumah kosong dan kuno, tetapi cahaya pemukiman itu memberinya sedikit harapan. Begitu ia menyadari ponselnya akhirnya ada pesan masuk, ia segera memeriksa peta.

"Kita akan keluar dari bagian belakang gunung…" Saito duduk saat ia kehilangan kekuatan di kakinya.

"Jadi kita sudah sampai di Brasil sekarang?"

"Kita tidak berjalan melalui pusat bumi. Kita baru saja sampai di arah yang berlawanan dari gunung. Untuk pulang, kita mesti pergi jauh-jauh ke belakang dan kemudian ke arah lain."

"Tidak bisakah kita menelepon taksi?"

"Ongkosnya mungkin akan setengah mahal, tetapi itu satu-satunya pilihan kita, Abang rasa…"

Saito mencoba menelepon layanan taksi, tetapi sambungannya terputus terus-menerus, yang membuatnya kesulitan untuk melewati jalan. Dengan begini, ia bahkan tidak bisa menelepon taksi.

"Sialan, itu tidak bagus!" Saito memasukkan ponselnya kembali ke sakunya.

Saito lebih suka tidak membuang waktunya yang tidak perlu dan ponselnya sudah kehabisan daya baterai. Di saat yang sama, Shisei menarik celana Saito.

"Abang, tidak masalah. Shisei ada di sini bersama Abang."

"Terima kasih…"

"Walaupun kita mesti tinggal di hutan belantara, Shisei tidak keberatan, kok."

"Tolong merasa terganggu, setidaknya sedikit?!"

"Shisei mau jadi seekor beruang kalau kita melakukan itu." Shisei mengangkat tangannya, mencoba untuk berpose menggeram, tetapi itu tampak lucu seperti biasanya. Namun, sebagai abangnya, merupakan tugas Saito untuk membawa Shisei kembali ke pemukiman manusia dan keluarganya.

"Abang rasa kita cuma bisa berjalan…"

"Shisei sarankan untuk menumpang. Ada mobil yang datang dari arah sana."

"Apa mobil itu akan berhenti untuk kita, aku bertanya-tanya..."

Jauh di pegunungan, belum lagi sudah larut malam begini, lebih dari berbahaya untuk menumpang dengan orang asing secara acak. Terutama pada saat-saat terakhir ketika kehidupan berbahaya di setiap ujung jalan, Saito tidak akan terkejut kalau, mobil itu melesat begitu saja melewati mereka.

Shisei berdiri di pinggir jalan, melompat seperti kelinci sambil mengepakkan tangannya. Saito benar-benar ingin Shisei berhenti, tetapi juga mengagumi keimutannya. Cukup mengejutkan, mobil itu terus melaju kencang, membunyikan klakson dengan keras. Saito mengambil Shisei dan melompat ke samping saat mobil berhenti tepat di depan tempat Shisei sebelumnya berdiri.

"Apa yang kamu lakukan?! Apa kamu buta?!" Saito meraung marah saat seorang sopir wanita muncul dari mobil.

Itu merupakan wajah yang familier, dan mengenakan pakaian yang familier—sopir pelayan yang Saito temui sebelumnya.

"Saya datang untuk menjemput Anda, Nona Muda. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya atas keterlambatannya."

"Jadi itu kamu!"

"Oh, kerja bagus, kerja bagus."

Sopir pelayan mengambil Shisei dari lengan Saito, membuatnya duduk di dalam mobil.

"Bagaimana kamu bisa tahu di mana kami berada?"

"Nona Muda punya alat pelacak yang terpasang padanya. Karena kepulangan Nona tampaknya sangat terlambat, saya menggunakan fungsi pencarian, dan melihat Anda jauh di sini."

"Alat pelacak…?" Shisei memeriksa bagian dalam blusnya dan mengangkat roknya untuk memeriksa bagian bawahnya.

Shisei sendiri tampaknya juga tidak tahu tentang fakta itu.

"Paling tidak, itu membantu kita keluar dari kekacauan ini. Kita mungkin akan terdampar di pegunungan kalau terus begini."

"Saya senang karena saya dapat melayani Anda. Kalau begitu, mari kita berangkat." Kata sopir pelayan dan menutup pintu mobil.

Tentu saja, tanpa peduli masih ada Saito yang belum masuk. Dia bersiap untuk melesat tanpa Saito.

(TL Note: Dih ditinggalin, yang sabar ya, Bang.)

"Hei, hei, hei! Beri aku tumpangan juga saat kamu sudah di sini, oke?!" Saito mengejar mobil itu dengan seluruh tenaga yang ia punya.


Sudah tiga hari berlalu sejak rumor tentang Saito dan Akane yang mungkin tinggal bersama menyebar. Saat ini, pasokan makanan darurat di rumah mereka sudah semakin menipis. Karena mereka tidak tahu kapan dan di mana teman-teman sekelas mereka mungkin akan melihat mereka, mereka jadi tidak bisa untuk berbelanja dengan benar, apalagi meninggalkan rumah bersama-sama. Jalan-jalan singkat juga bukan pilihan, tidak dapat membiarkan mereka berdua punya kehidupan yang layak. Meskipun Saito dan Akane berhasil berbaikan setelah perkelahian mereka sebelumnya, hari-hari mereka terasa tegang seperti sebelumnya.

"Sebentar lagi… kita akan kehabisan beras… Kita akan mati kelaparan!"

Akane melirik ke dalam bakul dengan matanya diwarnai keputusasaan.

"Kita tidak akan mati kelaparan."

"Saito, apa kamu sudah berpengalaman dalam budidaya padi...?"

"Tidak perlu begitu. Dan sepertinya kita juga tidak akan berhasil tepat waktu."

"Jadi ini sudah terlambat…Dunia sudah akan kiamat, ya…" Akane memeluk tempat sampah dan meneteskan air mata.

"Tahan dirimu dulu, oke. Aku cuma perlu beli beras dari toko serba ada terdekat."

"Harganya itu 1,5 kali lipat dari harga beras pasar swalayan pada umumnya! Kita akan bangkrut!"

"Kita itu tidak semiskin itu!"

Mereka menerima uang dengan jumlah yang lebih dari cukup dari Tenryuu untuk menutupi biaya hidup mereka.

"Kalau kalian kehabisan beras, buat kue saja sana, nyam nyam." Shisei mengisi pipinya dengan semangkuk nasi putih.

Shisei masih ada sisa nasi jagung yang menempel di kedua pipinya, mengunyah itu tanpa rasa penyesalan. Belum lagi porsinya untuk posisi beberapa orang.

"Ini salahmu, kita kehabisan beras, ingat?"

"Shisei sangat menyesal menyelinap ke sini untuk makan lima kilo nasi."

"Di mana kamu menyimpan semua makanan itu?"

"Shisei bahkan dapat memakan sebuah tank."

"Apakah kamu itu Godzilla?"

"Shisei akan bertanggung jawab dan jadi darah dan daging Abang." Shisei duduk di lantai dan menyatukan kedua tangannya seperti sedang berdoa.

Akane menatap Shisei sambil kaget.

"Jangan bilang… kalau Keluarga Houjo itu mempraktikkan kanibalisme?!"

"Bisakah kamu berhenti mengarang omong kosong itu?!"

"Abang…memangnya Abang tidak mau makan Shisei…?" Shisei berbisik dengan nada yang menggoda, sambil menarik kemeja Saito.

"Tidak mau."

"Abang juga bisa makan aku dengan ditambah banyak krim. Shisei tidak keberatan dengan permintaan apapun yang Abang punya."

"Saito…? Apa kamu sudah biasa memakan adik sepupumu dengan tambahan krim? Kamu sudah gila!"

"Abang benar-benar gila."

Akane melompat menjauh dari Saito, dengan Shisei yang berjongkok. Sekali lagi, reputasi Saito mendapat pukulan telak. Dan jika itu masih belum cukup buruk...mereka tiba-tiba mendengar suara berdecit datang dari lantai atas.

"?!" Akane secara alami terdiam.

Wajah Akane menjadi pucat, saat dia menatap ke langit-langit.

"A-Apa kamu... dengar suara yang barusan...?"

"Iya. Itu mungkin cuma tikus atau semacamnya."

"Itu pasti penyusup! Semua orang dari kelas kita menyelinap ke rumah kita!"

"Apa kamu benar-benar berpikir kalau orang-orang itu akan melakukan pelanggaran sampai sejauh itu?!" Saito membalas, tetapi Akane sudah kehilangan semua akal sehatnya.

"Aku harus menyingkirkan mereka…Setiap orang pun dari kelas kita…!"

Akane menyerbu keluar dari dapur, dan Saito mengejarnya. Tidak ada yang tahu apa yang akan Akane lakukan dalam keadaan ini.

"Di mana…? Di mana mereka…? Aku tidak akan membiarkan kalian kabur…" Akane berlari menaiki tangga, memeriksa ruang belajarnya sendiri, dan diikuti oleh ruang belajar Saito, serta ruang kosong di lantai yang sama.

Mata Akane yang haus akan darah menatap ke mana-mana, karena dia mirip iblis yang haus darah. Kalau Akane kebetulan bertemu dengan penyusup, dia mungkin akan segera membantai mereka saat melihat itu. Saat mereka masuk ke kamar tidur, mereka melihat selimut di ranjang yang tampak besar.

"Ada seseorang… yang bersembunyi di bawah sana, bukan?"

Untuk jaga-jaga sebagai tindakan pertahanan diri, Akane membawa tongkat pemukul logam.

"Aku rasa tidak begitu?"

"Aku bisa tahu! Sembunyi itu sia-sia, jadi tunjukkan diri kalian!"

Akane mengayunkan tongkat pemukul logam dengan kekuatan yang sedemikian rupa sehingga menembus angin dan menciptakan penyok di ranjang. Akane kemudian melepas selimut, memastikan apa ada sesuatu di bawahnya, dan menghela napas lega.

"Bagaimana kalau seseorang benar-benar bersembunyi di bawah itu?!"

"Bunuhlah sebelum terbunuh! Kalau perlu, Kita akan hidup dalam Zaman Negara-Negara Berperang!" Akane menyatakan itu tanpa penyesalan.

"Perang itu sudah lama berakhir. 400 tahun yang lalu, tepatnya."

"Zaman Negara-Negara Berperang-ku itu masih belum berakhir!"

"Baiklah, baiklah! Singkirkan saja tongkat pemukul sialan itu, oke!"

Kalau Akane terus mengayunkan senjata pembunuh itu, dia mungkin akan memenggal Saito dalam prosesnya. Akane memukul ranjang itu sekali lagi, tak lama dia memastikan saat dia mendekati jendela dan dengan samar membuka gorden.

"Sa-Saito, lihat!"

"Apa lagi sekarang?" Saito mendekati Akane saat dia sedang menunjuk orang asing di luar.

"Mereka melihat ke arah kita! Pasti dikirim oleh teman-teman sekelas kita."

"Apa ini gambaran yang kamu punya tentang kelas kita? Mereka tidak akan mengirim seorang pembunuh untuk mengejar kita."

"Itu mungkin saja…"

"Tentu saja tidak mungkin. Pikirkan lagi tentang itu, mana mungkin nenek-nenek itu dapat membunuh seorang pria."

Akane menunjuk ke seorang nenek yang pasti sudah berusia 80-an. Dia menaiki kursi roda elektronik dengan kecepatan 20 km/jam. Namun, Akane masih tampak ragu, atau setidaknya sedikit.

"...Dia pasti seorang pembunuh!"

"Aku terus menyuruhmu untuk tetap tenang!"

"Aku sudah tenang, memikirkannya lagi, dan masih sampai ke kesimpulan yang sama!"

"Itu... menakutkan." Saito merasakan keringat dingin mengalir di tulang punggungnya.

"Itu pasti semacam riasan khusus. Dia mungkin tampak seperti nenek, tetapi dia bisa jadi balita di dalamnya…"

"Balita itu tidak akan jadi ancaman."

"Itu mungkin tiruan (klon) balita, tetapi dikendalikan oleh seseorang yang berusia dua puluh tahunan. Itu merupakan senjata biologis rahasia. Pemerintah mengincar kita. Kita akan terbunuh."

"Kamu sudah gila, ya?!" Saito dengan agresif mengguncang bahu istrinya, yang sudah benar-benar gila.

Namun, Akane sepertinya sudah tenggelam dalam pemikirannya, tidak menunjukkan tanda-tanda pemikiran yang masuk akal. Ketakutan dan emosi negatif yang memenuhi diri Akane telah merampas pilihan itu.

"Dan juga, apa yang akan diterima oleh orang-orang dari kelas kita kalau mereka membunuh kita?"

"Sekarang kalau dipikir-pikir lagi... mereka cuma menginginkan bukti bahwa kita berdua tinggal bersama..."

"Benar, kan?" Saito menghela napas lega setelah ia melihat sedikit alasan kembali ke Akane.

"Kalau mereka tidak ada di dalam rumah kita, lalu…? Saito, apa kamu memancarkan gelombang radio yang aneh?"

"Tidak, aku tentu saja tidak!"

"Kamu berbohong! Jadi selama ini kamu itu mata-mata musuh, ya?! Ada alat sadap di dalam pakaianmu!!" Akane menuju ke arah Saito dengan mata berkaca-kaca.

Akane mencoba merobek kemeja Saito. Saito terpeleset dan mendarat di bokongnya, dengan Akane berada di atasnya. Akane menekan paha Saito ke bawah agar tidak ada jalan keluar sambil membuka kancing kemeja Saito dengan sekuat tenaga.

"Lihat saja kamu... Aku akan mengungkap alasan rapuhmu..."

"Bukankah kamu itu sangat menentang pelecehan seksual?! Standar ganda macam apa ini!"

"Apa yang aku lakukan ini bukanlah pelecehan seksual! Ini penyiksaan!"

"Itu bahkan lebih buruk! Tidak bisakah kamu berhenti?!"

Tepat saat Saito berhasil mendorong Akane sedikit, ia mendengar suara cekrikan kamera. Maho berdiri di pintu masuk ruangan itu, dan mengambil foto bukti.

KuraKon-5-1-2

"Mbak dan Mas melakukan hal-hal mesum di siang bolong! Aku harus mengunggahnya ke Insta!"

"Eeeeek?!" Akane segera menyingkir dari Saito. "Ka-Kamu salah! Kami tidak melakukan sesuatu yang mesum, Mbak cuma mencoba mengulitinya!"

"Jangan coba mengulitiku hidup-hidup!"

Namun Maho mengangguk seakan-akan dia tidak peduli sama sekali.

"Oke, aku mengerti. Tetapi keperjakaan Mas itu punyaku, oke!"

"Kamu tidak mengerti sama sekali!"

Disaksikan pada saat yang menegangkan seperti itu, wajah Akane jadi merah padam.

"Kapan kamu datang kembali? Mas tidak mendengar suara bel pintu berbunyi…" Saito mengambil inisiatif.

"Mengapa aku harus melakukannya? Ini kan rumahku juga!"

"Mas tidak merasa kalau ini rumahmu juga...?"

Shisei juga punya kunci cadangan untuk rumah ini, yang membuat Saito khawatir kalau keamanan di rumah ini itu terlalu rendah. Saito juga tidak terlalu berniat untuk menghabiskan waktu berduaan dengan Akane, tetapi ia merasa kalau privasi di rumah ini sangat kurang.

"Himarin juga ada di sini!"

"Aku masuk, ya!" Himari menampakkan wajahnya dari belakang Maho.

"Ah…" Ekspresi Akane mulai tegang.

"Karena rumor kalian berdua tinggal bersama, semuanya jadi sangat berantakan, ya? Kami datang ke sini dengan harapan untuk berusaha mematahkan rumor itu."

"Maho, kamu ini…" Saito terkejut melihat begitu banyak perhatian dan kebaikan dari Maho.

"Mana mungkin aku mengabaikan sesuatu yang begitu menarik—sangat merepotkan."

"Sialan kamu…" Saito menggosokkan kedua tinjunya ke kepala Maho yang membuatnya menjerit kesakitan.

Namun, Maho tampak tertawa dan menikmatinya sendiri. Setelah itu, Saito melirik ke arah Himari.

"Iya… sepertinya aku harus minta maaf padamu."

"Hah? Mengapa?" Himari mengedipkan matanya dengan bingung.

"Aku merahasiakan fakta bahwa aku dan Akane tinggal bersama. Aku tidak bermaksud untuk menipumu, tetapi memang tidak ada cara lain."

Himari dengan panik melambaikan tangannya ke arah depan.

"Kamu tidak bersalah sama sekali! Lagipula, aku juga punya firasat kalau ada sesuatu yang terjadi di antara kalian berdua."

"Benarkah?" tanya Saito.

"Iya! Bekal makan siang kalian selalu sama, aroma rambut kalian seperti dari sampo yang sama, dan kamu Saito* sepertinya juga akrab dengan rumah ini. Itu cukup jelas."

(TL Note: Gak tau apa ini kesalahan penulisan cerita atau penerjemahan ke bahasa Inggris, di situ tertulis nama "Akane", kami putuskan untuk ganti ke "Saito", karena kita sama-sama tahu, kalau Himari pernah datang ke rumah ini sebelumnya sebagai rumah Akane, lihat Jilid 3.)

"Astaga..." Saito memegangi kepalanya.

Saito beranggapan kalau mereka telah melakukan tugas yang cukup baik dalam menyembunyikan pernikahan mereka, tetapi  ternyata itu tidak sepenuhnya benar. Ditambah lagi, Himari selalu peka dan cepat dalam menangkap hal sekitar.

"Dan juga, alasan kalian berdua tinggal bersama itu karena beberapa keadaan rumit memaksa kalian, bukan? Bukan karena kalian berdua saling suka."

"Bagaimana kamu bisa tahu?"

Untuk berpikir kalau Himari telah mengerti bahkan sampai sedetail itu.

"Akane pernah meminta saranku, dia bilang 'Seandainya keluargamu memaksamu untuk menikah dengan seseorang yang tidak kamu cintai, bagaimana cara kamu mengatasinya?', kamu tahu."

(TL Note: Kalau yang ini silakan kembali ke Jilid 1 untuk detail lebih lanjut.)

"Akane…" Saito memelototi Akane dengan jijik.

"A-Aku memang bilang begitu, tetapi cuma 'Seandainya', oke!"

"Jangan minta saran padanya sejak awal, oke!"

Akane-lah orang yang membocorkan informasi ini sejak awal, sepertinya.

"Mengetahui kamu itu putra dari Houjo Group yang terkenal, aku merasa kalau ini itu pernikahan melalui perjodohan, Saito-kun. Aku mengerti kalau kamu tidak dapat memberi tahu orang lain tentang keadaan keluargamu."

Melihat betapa baik dan berpemikiran terbukanya Himari, rasa bersalah Saito semakin bertambah. Saito memutuskan akan lebih baik untuk mengungkapkan semuanya sekaligus.

"Ini bukan pernikahan yang terpaksa. Kakekku dan neneknya Akane punya rasa saling suka  ketika mereka masih muda, tetapi mereka tidak dapat bersama. Untuk mewarisi perasaan nakal mereka berdua, mereka sekarang memaksakannya pada cucu-cucu mereka."

"Aku mengerti. Jadi pada dasarnya, sama sekali tidak ada rasa cinta di antara kalian berdua?"

"…Iya."

Himari mendorong tubuhnya ke arah Saito. Mereka sampai jarak yang hampir menyentuh bibir mereka. Aroma wangi namun sangat bergairah merangsang hidung Saito, dan membungkusnya.

KuraKon-5-1-3

"Itu artinya… aku masih punya kesempatan, bukan?"

"Emm…" Saito berusaha memberikan jawaban, tetapi Akane mengintervensi.

(TL Note: Cemburu nih ye!)

"Ma-Mari kita turun saja, oke?! Tidak ada gunanya kita berdiri sambil mengobrol di sini! Aku akan buatkan teh untuk kita semua!"

"Kami juga membawa kue! Aku dan Himarin membelinya dalam perjalanan menuju ke sini~." Maho berlari ke bawah dengan kaki yang enteng, dan Akane pun mengikutinya.

Meskipun begitu, kalau mereka meninggalkan kue di lantai pertama, itu mungkin sudah jadi korban Shisei. Dan lagi, itu lebih baik daripada tetap di kamar tidur dari semua tempat.

"…Aku rasa kita harus pergi dari sini?"

"…Iya." Himari berkata sambil menatap ke ranjang pasangan itu.


Akane buru-buru menyeduh teh dan menyiapkannya ke atas meja. Duduk mengelilingi meja ada Saito, Himari, Maho, dan kemudian Shisei. Shisei sudah lama selesai memakan jatah kuenya sendiri, berusaha menggigit jatah kue Saito. Di saat yang sama, Himari berbicara dengan nada minta maaf.

"Maaf, Akane…Ini semua salahku. Kalau aku tidak mengatakannya di kelas, semua ini tidak akan terjadi."

"Ini bukan salahmu, Himari! Kami-lah yang seharusnya disalahkan karena kami merahasiakan hal ini darimu!"

"…Kami?" Alis mata Himari berkedut.

"Hah? A-Apa aku mengatakan sesuatu yang aneh?"

"Tidak, bukan apa-apa. Bagaimanapun, aku juga sedikit bersalah dalam hal ini, jadi aku akan membantu mengendalikan semuanya! Beri tahu saja aku kalau ada yang bisa aku bantu!"

Akane mendengarkan ini dengan kaget dan bertanya.

"Kamu… tidak marah?"

"Apa ada alasan bagiku untuk marah?"

"Maksudku, kami telah berbohong selama ini…"

"Ayolah, aku tidak akan marah cuma karena hal ini!" Himari menunjukkan senyum bahagia, tetapi Akane tetap gelisah.

Apa dia…benar-benar tidak marah…?

Kalau Akane berada di posisi yang sama, dia pasti akan marah besar. Akane akan sangat terluka dan kecewa karena sobat karibnya tidak pernah berkonsultasi dengannya. Walaupun rasa takut dibenci itu masih yang terbesar. Memikirkannya lagi, Himari tidak pernah menunjukkan tanda-tanda akan marah. Akane tidak pernah menunjukkan perasaan jujurnya, dan cuma melarikan diri. Akane tidak pernah bertengkar dengan Himari sejauh ini.

"Baiklah, mari kita mulai pesta ini! Ini akan menjadi pertemuan bertemakan 'Bagaimana kita menghilangkan rumor seputar Mbak dan Mas' yang ke-152!"

"Jadi, kalian telah mengadakan 151 pertemuan? Ini benar-benar kacau kalau kita masih belum menemukan solusinya."

"Mhm." Shisei mengangkat tangannya.

"Oke, Shii-chan! Ada ide?"

"Tangkap seluruh siswa-siswi yang menyebarkan desas-desus dan hilangkan otak mereka!"

"Bukan cuma ingatan mereka!? Mereka semua akan mati!" Saito membalas.

"Mereka tidak akan mati. Mereka akan mendapatkan otak elektronik yang ditanamkan di kepala mereka."

"Mereka masih akan tetap mati!"

"Kalau begitu otak mereka akan diganti dengan spons."

"Itu bahkan lebih buruk!"

Saito sangat takut dengan ide dan potensi Shisei yang mungkin benar-benar melakukan hal itu, dan memperlebar jarak di antara mereka. Namun, Shisei masih semakin dekat, duduk di pangkuan Saito. Mereka berdua masih sedekat biasanya.

"Aku ingin menghindari ide mengambil otak itu, tetapi aku tidak membenci ide itu secara umum."

"Bahkan ide itu secara umum sudah kacau…" Saito juga menjauh dari Akane.

"Kita akan menulis pesan di meja mereka, menaruh otak di sana..."

"Otak apa?!"

"Ada banyak! Beberapa budaya menggunakan otak untuk bahan masakan."

"Aku tahu, tetapi ini terlalu menakutkan untuk digunakan sebagai ancaman, jadi jangan."

Akane tiba-tiba bangkit.

"Mengapa?! Kalau kamu ingin mengalahkan musuh, pastikan mereka tidak akan pernah bangkit lagi!"

"Aku tidak ingin menjadikan seluruh siswa-siswi itu sebagai budakku. Dan kalau mereka tahu itu perbuatan kita, kita mungkin akan dikeluarkan."

"Itu memang benar sih, tetapi…"

Akane tidak suka dibantah oleh Saito. Itu membuat Akane merasa seperti dia mengalah.

"Kalau kamu punya masalah dengan ide-ideku, lalu mengapa kamu tidak mengemukakan ide sendiri?!"

"Kalau kalian ingin menimpa beberapa skandal di mata publik, kalian perlu menciptakan sesuatu yang akan menutupi fakta itu."

"Kalau begitu kita mulai dengan mengambil otak!"

"Itu akan berakhir buruk, jadi tidak."

Akane mulai berpikir.

"Kalau begitu mungkin ginjal…atau mungkin hati?"

"Berhenti memikirkan tentang organ, dasar psikopat!"

"Kamu benar, lagipula, mungkin keduanya mengandung terlalu banyak lemak…"

"Apakah kita sedang mengobrol tentang masakan sekarang? Tidak bisakah kamu hilangkan saja dari seluruh ide itu dari dalam pikiranmu…?"

Kelompok itu menyatukan kepala mereka sekali lagi. Di tingkat ini, rumor ini pada akhirnya akan sampai ke guru mereka dengan sendirinya, yang dapat menyebabkan konflik yang parah, serta kemungkinan skorsing dari sekolah. Kalau ini dapat berdampak negatif pada jalur masuk Akane ke sekolah kedokteran, tidak ada jalan untuk mengambilnya lagi. Jadi mereka mesti mengambil metode apapun yang ada untuk menghapus rumor ini secepat mungkin. Himari memecahkan keheningan yang panjang ini dengan menepuk tangannya.

"…Aku tahu! Mungkin ini agak melenceng sih, tetapi aku punya ide."

"Ada apa?" tanya Maho.

"Kalau rumor itu tentang Akane dan Saito-kun berpacaran ditambah tinggal bersama, maka kita cuma harus melakukan kebalikan dari apa yang rumor itu katakan."

"Jadi menghilangkan api sebelum menjadi asap. Dan bukti pasti kalau kami tidak pacaran yaitu...kematian Saito?!" Akane menampakkan seringai yang cerah.

"Berhenti menggunakan kesempatan dalam kesempitan untuk membunuhku dengan darah dingin!" Saito mundur dari kelompok itu ke belakang sofa.

Mereka masih dalam tahap pembuatan rencana, namun Saito sudah mengkhawatirkan hidupnya. Namun Himari menunjukkan senyuman yang masam.

"Kamu tidak perlu melakukan sejauh itu. Saito-kun cuma perlu mendapatkan pacar selain dirimu."

"Pa-Pacar?!"

Untuk sepersekian detik, pemikiran "Saito akan selingkuh?!" muncul dalam benak Akane, tetapi dia segera membuangnya. Mereka mungkin sudah menikah, tetapi itu cuma sah di mata hukum, jadi tidak ada yang dapat disebut selingkuh. Himari melanjutkan.

"Tentu saja, itu tidak mesti jadi pacar sungguhan. Cuma pura-pura saja seharusnya tidak masalah."

"Aku mengerti! Jadi kalau Mas kedapatan bermesraan cewek lain di sekolah, itu akan membuat yang lain berpikir kalau rumor ini tidak beralasan! Himarin, kamu itu sangat cerdik!"

"Bukan ide yang buruk."

Baik Maho maupun Saito menghujani Himari dengan kekaguman, dia mendapati dirinya menggaruk-garuk pipinya.

"Ehehe. Aku cukup baik dalam hal ini. Memanipulasi, kamu tahu?"

"Oh iya, waktu di SMP dulu, kamu berhasil menyingkirkan rumor buruk di sekitar teman-teman sekelas kita, dan menghentikan kasus perundungan yang sedang berlangsung, bukan?" Akane ikut menimpali.

"Apa kamu itu seorang penuntas (fixer)?!" Saito memprotes.

"Apa itu penuntas?" Himari tampak bingung.

"Itu berarti kamu sangat imut sekali dan Mas menyayangimu!" Maho menyeringai, mencoba memaksakan definisi yang tidak akurat sedikitpun.

"Ya ampun, kamu membuatku tersipu, Saito-kun…" Himari gelisah dengan canggung.

"Itu sama sekali tidak cocok dengan makna aslinya, tetapi…tentu saja, terserahlah." Saito tidak bisa mengganggu untuk berdebat.

"Tetapi, siapa yang akan berperan sebagai pacar palsu Saito?" Akane bertanya.

"Aku akan melakukannya, ini bukan masalah besar!" Maho mengangkat satu tangan.

"Shisei akan melakukannya."

"A-Aku tidak keberatan membantu, kamu tahu?" Himari semakin gelisah.

"Kalian bertiga…"

Mengapa tiga cewek yang sangat sehat menawarkan diri mereka sebagai tumbal untuk cowok yang beracun dan tidak berguna macam Saito? Itu benar-benar di luar pemikiran Akane, yang sekarang memelototi Saito.

"Pasti kamu merasa sangat hebat menjadi sepopuler ini, ya? Tetapi ingat, ya, ini cuma pura-pura! Tidak lebih dari pacar palsu!"

"Dan mengapa kamu terdengar sangat kesal?"

"Karena aku tidak melihat cukup rasa terima kasih darimu! Dan asal kamu tahu saja, aku tidak akan memaafkanmu kalau kamu berani meletakkan tangan kotormu itu pada sahabat ataupun adikku!"

"Aku tidak keberatan merasakan tangan itu, Mas!"

"Secara pribadi… aku sendiri akan menyambut baik kedatangan tanganmu, hihi…"

Tidak mengejutkan siapapun, kata adik dan sahabat Akane yang tampaknya tidak terganggu dengan ide ini. Pada tingkat ini, mereka cuma akan menjadi korban hasrat Saito, mencapai tempat di mana mereka tidak akan dapat kembali.

"Err… Shisei, bolehkah Abang meminta bantuanmu dalam hal ini?"

"Tentu saja, serahkan pada Shisei."

Peran pacar palsu itu pun dengan cepat diserahkan pada Shisei, dan Akane menghela napas lega.


Saat Saito sedang menyantap sarapannya di ruang tamu, ia tiba-tiba merasakan niat membunuh yang tajam diarahkan ke punggungnya. Saito segera berusaha menjauh dari kursi, lalu bahunya dicengkeram dengan kecepatan kilat. Kekuatan cengkeraman yang mengesankan dari orang lain memungkinkan Saito terangkat dari tanah, saat ia ketakutan mendengar akan tulangnya retak.

"Si-Siapa…?" Saito berusaha setidaknya menoleh untuk menatap wajah penyerang, yang ternyata merupakan sopir pelayan. Dia tidak menunjukkan emosi di wajahnya, dan menatap Saito dengan ekspresi yang kosong.

"Saito-sama, saya datang untuk mengantar Anda."

"…Untuk mengantarku ke alam lain?"

Sambutan semacam ini cuma dapat mengarah pada satu kesimpulan. Saito merasa kalau hidupnya di dunia ini akan segera berakhir.

"Untuk mengantar Anda ke sekolah, tentu saja. Mulai hari ini, Anda akan bertindak sebagai pacar palsu dari Nona Muda, jadi saya beranggapan kalau berangkat ke sekolah bersama akan menjadi aktivitas rutin."

"Alasan yang kuat, tetapi mengapa kamu mencoba menghancurkan bahuku?"

"Saya tidak melakukan hal yang semacam itu, saya mencoba untuk menghancurkan tulang Anda."

"Itu bahkan lebih buruk! Apa kamu itu punya dendam kesumat terhadapku atau semacamnya?!"

Niat membunuh yang dipancarkan oleh sopir pelayan itu semakin kuat.

"Tidak sama sekali. Saya cuma percaya kalau manusia keji yang berani bermain-main dengan Nona Muda pantas untuk mendapatkan hukuman terberat yang dapat terbayangkan. Pemikiran logis bukan, tidak bisakah Anda mengerti?"

“Apa Shisei itu bagaikan dewi bagimu…?"

"Kira-kira semacam itu. Semua makhluk hidup harus bersumpah setia kepada Nona kita, saya berani bilang."

"Namun, nantinya kamu akan makan puding Shisei secara teratur?"

"Itu merupakan ungkapan rasa sayang. Saya suka menggoda Nona karena dia itu sangat imut."

Saito tidak yakin apa ini benar-benar rasa hormat atau sesuatu yang lebih dari itu. Di saat yang sama, Akane akhirnya memutuskan untuk angkat bicara, duduk di seberang meja.

"Kalau kamu ingin membunuh Saito, bisakah kamu melakukannya di luar? Aku lebih senang kalau aku tidak harus bertanggung jawab atas pembersihannya..."

"Dimengerti."

"Jangan cuma setuju saja?! Dan kamu juga, Akane! Jangan menjualbelikan anggota keluargamu dengan mudah!"

"Ke-Keluarga…?" Akane menatap Saito dengan kaget dan bingung.

Namun Akane tidak mau repot-repot membantu Saito selama permohonan bantuannya. Saito diseret keluar dari ruang tamu oleh pelayan, karena ia tidak punya cara untuk melawan pelayan yang secara teratur menyingkirkan orang-orang yang mencurigakan di sekitar Shisei. Jika Saito berani memberontak, ia akan terbunuh dalam sekejap mata. Di luar, Saito disambut dengan limusin putih, di mana Shisei sudah menunggu di dalam, sedang memegang ponsel pintarnya.

"Shisei sudah mengirimi Abang beberapa pesan. Mengapa Abang tidak keluar-keluar?"

"Tunggu, apa?" Saito duduk di sebelah Shisei, dan memeriksa ponsel pintarnya.

Seperti yang Shisei bilang, Saito telah menerima beberapa pesan darinya, mengatakan 'Kami datang untuk menjemput Abang,' 'Kami sudah sampai,' dan 'Apa yang sedang Abang lakukan?'.

"Maaf, Abang terlalu fokus dengan sarapan Abang jadi Abang belum sempat memeriksa ponsel Abang."

"Tidak perlu mencari-cari alasan. Abang mungkin Abang mungkin sudah main ronde kedua dengan Akane dan tidak punya waktu untuk memeriksa itu."

"Ronde kedua macam apa?!"

"Biohazard VS?"

"Abang mana punya waktu buat hal semacam itu…"

Ada kalanya Saito memutuskan untuk bersenang-senang sendiri kalau ia bangun pagi-pagi, tetapi ia dan Akane tidur sampai alarm berbunyi, kelelahan setelah dikejar paparazi selama berhari-hari tanpa akhir. Tidak lama setelah itu, sopir pelayan meraih kemudi, menatap Saito melalui cermin.

"Saito-sama, apa Anda sudah mempersiapkan diri?"

"Tidak sama sekali, jadi tolong tahan dirimu, ya?!"

Saito tidak sekuat itu untuk mampu menangani perjalanan kereta luncur di pagi hari. Dia menginjak pedal gas seperti tidak ada lagi hari esok, dan mobil itu melaju kencang. Dengan 3x teknik mengemudi yang sembrono yang sudah biasa dialami Saito, mobil itu mendorong tubuhnya ke jok. Mobil itu melaju ke gerbang depan, dan tiba-tiba berhenti. Shisei turun dari mobil terlebih dahulu dan kemudian berbalik ke arah Saito.

"Kita sedang menuju pertempuran sekarang. Apa Anda siap untuk kinerja hidup Anda?"

"Iya. Aku rasa berpegangan tangan akan menjadi awal terbaik bagi kami."

"Sepakat. Berpegangan tangan layaknya sepasang kekasih itu kedengarannya bagus."

"Berpegangan tangan layaknya sepasang kekasih?"

Saito belum pernah mendengar istilah itu sebelumnya. Saito telah membaca kamus bahasa Jepang selama bertahun-tahun, jadi kata ini tidak asing baginya.

"Dalam budaya manusia, ini yang dilakukan sepasang kekasih, tampaknya." Shisei berbicara seperti alien yang mengamati kemanusiaan saat dia meraih tangan Saito.

Jari-jari Shisei yang ramping dan putih terjalin dengan jari-jari Saito. Itu jauh lebih intim dari pegangan tangan daripada yang biasa Saito lakukan, memberinya rasa geli. Shisei mengangkat tangannya yang terbuka, menunjuk ke gedung sekolah.

"Maju ke medan pertempuran."

"Dimengerti."

Saito dan Shisei mengambil sikap bangga saat mereka menuju ke pintu depan. Mereka berganti ke sepatu dalam ruangan mereka, menuju ke kelas mereka sambil berpegangan tangan. Seluruh siswi yang mereka lewati memanggil Shisei.

"Pagi, Shisei-chan!"

"Kamu itu imut seperti biasanya, ya!"

"Mau makan sarden?"

"Atau mungkin ayam?"

"Aku juga punya kue!"

"Biarkan aku mengusap kepalamu!"

Seperti biasanya, popularitas Shisei tidak tertandingi. Saku rok Shisei, tas sekolahnya, saku behanya, dan setiap saku lainnya yang perlahan diisi dengan banyak makanan. Rupanya, ini dianggap sebagai semacam persembahan, karena siswi-siswi yang mengusap kepala Shisei sekarang menyatukan tangan mereka untuk berdoa. Begitu saja sebenarnya tidak masalah, tetapi…

"…Tidak ada yang peduli, ya?!"

Tidak ada satu orangpun yang bereaksi terhadap fakta kalau Saito dan Shisei sedang berpegangan tangan. Tidak ada yang mulai membicarakan kemungkinan mereka berdua pacaran.

"Mungkin mereka tidak peduli tentang apapun selain Shisei…Dan keberadaan Abang itu terlalu lemah…"

"Apa kamu menghina Abang?! Apa Abang punya keberadaan yang lemah?!"

"Abang itu jelas transparan... Itu sebabnya Abang tidak pernah tertangkap basah saat Abang menyelinap masuk ke pemandian wanita..."

"Yang mana belum pernah Abang lakukan,  ngomong-ngomong!"

Saito mungkin tampak seperti cowok rata-rata di sebelah Shisei, tetapi ia tidak ingat kalau pernah berlatih sebagai ninja.

"Mungkin Abang sudah mati? Abang itu hantu dan itulah sebabnya tidak ada yang dapat melihat Abang?"

"Abang benci menu sarapan pagi ini, dan itu tidak menembus keluar di ujung tubuh yang lain."

"Jadi itu berarti Abang itu zombi. Aku tahu itu kalau Abang sudah mati."

"Tidak bisakah kamu membuat alur yang nyaman yang sesuai dengan narasimu?"

Saito tidak merasakan penyakit di dalam atau di luar tubuhnya dan dia tidak punya ingatan kalau ia telah mati. Napas dan denyut nadinya juga baik-baik saja. Mereka berdua tetap berpegangan tangan saat memasuki ke kelas 3-A. Mereka menyapa beberapa teman sekelas yang sudah datang, tetapi tidak ada satupun dari mereka mengomentari fakta ini.

"…Apa yang sedang terjadi?" Saito duduk di bangkunya, dan memiringkan kepalanya dengan bingung.

"Sepertinya berpegangan tangan saja belum cukup berdampak. Kita harus lebih pamer lagi."

"Lebih pamer lagi? Jadi hal-hal seperti kamu menyuapi Abang?"

Shisei mengeluarkan kukis bungkus yang dia terima sebelumnya, dan menyerahkannya pada Saito.

"Begitu saja masih belum cukup, kita harus melakukannya dari mulut ke mulut. Abang melunakkan kukis itu dan memberikannya pada Shisei."

"Bagaimana caranya, dari mulut ke mulut?"

"Tidak perlu malu. Setiap penguin melakukan semua itu."

"Iya, Abang bukan penguin sih!"

"Shisei tidak masalah disuapi oleh Abang melalui paruh burung ini."

"Abang cukup peduli! Dan juga, manusia itu tidak punya paruh!"

Catatan sampingan, penguin juga tidak punya paruh. Kalau itu cuma dari mulut ke mulut yang biasa saja, maka seharusnya tidak ada masalah khusus, Saito menilai. Faktanya, ada banyak waktu saat Shisei mencuri makanan yang Saito mulai makan, yang dapat dianggap sebagai ciuman tidak langsung. Menilai begitu, Saito meletakkan kukis itu di antara giginya. Shisei melompat ke pangkuan Saito, meletakkan tangannya ke bahu Saito.

"Terima kasih atas suguhannya, Abang…" bisik Shisei dengan nada yang imut.

"I-Iya."

Saito sudah terbiasa dengan kehadiran Shisei, tetapi mendapatinya sedekat ini merupakan pengalaman yang menegangkan bagi Saito. Mata Shisei yang berwarna safir telah memikat Saito, saat tampak wajah Shisei yang cantik perlahan mendekat pada Saito. Tangan Shisei yang kecil menopang pipi Saito, lalu napas samar keluar dari bibir Shisei—Tepat setelah itu, Shisei menunjukkan giginya yang putih.

"?!"

Saito memiringkan kepalanya 80° ke kanan, menghindari gigitan Shisei. Kukis itu benar-benar menghilang jauh di dalam perut Shisei, begitu juga bibir Saito kalau ia tidak menghindar. Ini terasa lebih seperti dari mulut ke mulut dengan seekor ikan piranha. Tidak ada unsur romansa yang ditemukan.

"Mengapa Abang menghindar?"

"Karena Abang tidak ingin mati!"

"Abang tidak akan mati cuma karena hal semacam ini. Bibir Abang bisa beregenerasi berkali-kali."

"Tidak, bibir Abang tidak bisa!"

"Abang itu seperti bintang laut atau kadal, Abang bisa melakukannya."

"Abang itu sama sepertimu, manusia juga!"

"Shisei itu berasal dari keluarga kadal."

"Itu menjelaskan banyak hal."

Itu akan menjelaskan fakta kalau tidak ada akal sehat yang melewati otak Shisei. Paling tidak, kejadian ini sepertinya telah menarik perhatian para siswi lain di kelas mereka.

"Shisei-chan itu sangat imut! Seperti seekor ikan piranha!"

"Aku juga ingin Shisei-chan memakan bibirku!"

"Aku sangat iri pada Houjo-kun."

"Hak eksklusif seorang abang, ya~."

Mengapa mereka cemburu padaku?! — Saito meraung dalam pikirannya, meragukan kewarasan semua penggemar Shisei di luar sana. Jantung Saito masih berdegup kencang, dan Shisei menggertakkan giginya seperti sedang menunggu gigitan yang lagi. Belum lagi Shisei juga tidak menunjukkan niat untuk turun dari pangkuan Saito.

"Namun, ada masalah dengan reaksi itu. Itu tidak menimbulkan kehebohan apapun dari yang kita lakukan. Dan itu karena kita biasanya memang selalu sedekat ini!"

"Shisei sudah tahu itu sejak awal."

"Kalau begitu bilang pada Abang?!" Saito memprotes.

"Abang tidak akan setuju kalau kita tidak menguji teori ini. Dan kita tidak dapat melanjutkan ke tahap berikutnya."

"Yang mana…?"

"Kita harus pamer ke semua orang dengan cara yang lebih lebai. Abang harus mencium Shisei. Sini." Shisei menggerakkan jarinya di sepanjang bibirnya, mendekati wajah Saito.

"Tidak, tidak, tidak! Itu terlalu berlebihan!"

"Bibir Shisei itu rasanya enak, tahu?"

"Abang tidak berbicara soal rasanya! Kita mungkin sepupuan, tetapi berciuman itu sudah berlebihan!"

"Itulah yang membuatnya efektif. Itu akan membuat rumor lainnya mereda, dan Shisei akan dengan senang hati menawarkan bibirnya untuk hal ini." Shisei menatap Saito tanpa khawatir sama sekali.

Saito menghela napas dan meletakkan tangannya ke bahu Shisei.

"Kamu harus lebih menghargai itu."

"Buat apa?"

"Begitu kamu menemukan cowok yang dapat menjagamu, dan ia mengetahui kalau kamu memberikan ciuman pertamamu pada abang sepupumu, ia pasti akan sakit hati, bukan?"

"Seorang cowok yang dapat menjaga Shisei? Apa yang akan Abang lakukan selanjutnya? Akankah Abang berhenti menjaga Shisei?"

"Tentu saja. Abang akan merasa tidak enak karena selalu berada di sekitarmu... Gyaaaah?!"

Shisei menancapkan giginya ke telinga Saito, yang menjerit kesakitan. Shisei melompat dari pangkuannya, membalikkan punggungnya ke arah Saito, dan bergumam.

"…Itu sudah terlambat."

"Untuk apa?"

"Shisei tidak akan membiarkan siapapun merawatku selain Abang. Tidak ada orang yang lebih peduli padaku selain Abang. Meskipun itu setelah seratus atau dua ratus tahun lagi, Shise akan terus duduk di pangkuan Abang."

"Dua ratus tahun... Kamu berencana untuk jadi abadi?"

"Itu akan mudah buat Shisei."

Shisei tampak gelisah akan sesuatu, saat dia berjalan pergi dengan punggung menghadap ke arah Saito. Para penggemar cewek Shisei segera menyaksikan ini sebagai pilihan untuk mengelilinginya, merasakan camilannya dan semacamnya.

"Abadi, ya..."

Dengan kemampuan matematika Shisei yang tidak manusiawi, itu jelas bukan tidak mungkin. Dan dengan mimpi Saito yang masih jauh di masa depan, ia tidak dapat menertawakan hal itu sedikitpun.

 *

Saat istirahat makan siang berikutnya, Saito dan geng berkumpul di atap. Karena itu cuma akan menambahkan lebih banyak minyak ke api kalau seseorang melihat Saito dan Akane berduaan di suatu tempat, mereka memilih tempat yang terisolasi untuk ketemuan, sementara berada dalam kelompok besar. Shisei, Himari, dan Maho semuanya ada di sana.

"Shisei dan aku sudah berusaha semampu kami, tetapi…"

"Apa yang kalian lakukan?! Apa Mas melakukan sesuatu yang tidak dapat diubah dengan Shii-chan, ya?!" Maho berteriak.

Saito cuma bisa mendorong wajah Maho menjauh saat Maho mendekatinya sambil terengah-engah.

"Tidak seperti yang kamu harapkan, Maho."

"Abang melakukan segala macam hal padaku. Itu kasar." Shisei meletakkan kedua tangannya ke pipinya, pura-pura merasa malu.

Ekspresinya datar seperti biasanya.

"Saito?!"

"Saito-kun?!"

Akane dan Himari secara bersamaan menghujani Saito dengan tatapan yang hina.

"Kami tidak melakukan sesuatu yang aneh! Lagipula kalian berdua juga ada di dalam kelas  dan menyaksikan kami, bukan?!"

Saling menyuapi, memberikan Shisei gendongan putri, menerima bantal pangkuan dari Shisei sambil menyenandungkan lagu pengantar tidur, mereka mencoba segala macam teknik, tetapi tidak ada yang membuat teman-teman sekelas mereka tertarik.

"Iya, kami ada di sana… tetapi, kamu tahu?"

"Benar…"

Himari dan Akane saling memandang, menunjukkan ekspresi yang rumit. Mereka tampaknya punya pemikiran mereka masing-masing tentang hal itu.

"Jujur saja padaku. Apa yang kurang dari kami?" tanya Saito.

"Ini lebih karena kalian itu terlalu berlebihan."

"Terlalu berlebihan?"

"Kamu dan Shisei-chan itu selalu agak lengket, jadi meskipun kalian berdua berpegangan tangan, kalian berdua terlihat seperti sepasang adik kakak biasa, dan bukan pasangan kekasih."

"Aku tahu itu… Jadi Shisei dan aku harus mulai dari sebagai orang asing…"

Shisei meraih tangan Saito, dan menggelengkan kepalanya.

"Tidak mau. Shisei tidak akan tahan menjadi orang asing bagi Abang."

"Abang juga begitu…"

"Abang…"

Himari memperhatikan mereka berdua saling memandang, dan menyeringai.

"Kalian berdua benar-benar berhubungan baik."

"Mungkin itu terlalu berlebihan, kalau kamu tanya padaku…" Akane cemberut.

"Ngomong-ngomong, Shii-chan tampaknya tidak dapat berperan sebagai pacar palsu Mas, bukan? Aku akan dengan senang hati mengambil alih!" Maho dengan suka cita mengangkat tangannya.

"Mas lebih memilih tidak." Saito tidak membuang-buang napas.

"Mengapa?!"

"Lagipula, tidak ada yang tahu apa yang akan kamu lakukan pada Mas."

"Tidak lebih dari hal-hal yang mesum!"

"Dan Mas tidak berencana untuk membiarkan semuanya akan berjalan sejauh itu."

"Sejauh itu? Seberapa jauh? Apa Mas meninggikan harapan Mas secara kebetulan~?" Maho memegang lengan Saito sambil  menyeringai.

"Sialan kamu..."

"Ah, apa itu sesuatu yang tidak bisa Mas katakan? Apa Mas akan membuatku melakukan sesuatu yang gila pada Mas?" Maho menusukkan jarinya ke pipi Saito.

Seringai Maho yang jahat itu seperti seringai setan.

"Mas sama sekali tidak punya harapan begitu, jadi kembalilah ke neraka!"

"Tidak mau~."

Saito mencoba mendorong Maho, dari atap, tetapi Maho tidak akan membiarkan Saito menangkapnya. Akane menatap Himari.

"Tetapi…kalau Shisei-san dan Maho tidak bisa…"

"Cuma… tinggal aku saja, bukan?" Himari dengan canggung menunjuk dirinya sendiri.

"Kalau kamu tidak mau, maka kita akan mencari metode lain."

Saito jelas ragu-ragu, mengetahui kalau menanyakan hal ini pada cewek yang ia tolak itu terlalu kejam.

"Tidak, kalau aku dapat membantumu, maka aku lebih dari senang! Biarkan aku melakukannya!" Himari melompat ke arah Saito dan meraih tangannya.

"Apa kamu yakin?"

"Iya! Mulai besok, aku akan menjadi pacarmu! Aku akan menawarkan semua yang aku miliki, jadi pastikan untuk ikuti alurnya."

"Di-Dimengerti…" Saito dengan canggung mengangguk, melihat betapa energiknya Himari.



←Sebelumnya           Daftar Isi          Selanjutnya→


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama