Bab 1Rumor
(Bagian 7)
Saat Saito sedang menyantap sarapannya di ruang tamu, ia tiba-tiba merasakan niat membunuh yang tajam diarahkan ke punggungnya. Saito segera berusaha menjauh dari kursi, lalu bahunya dicengkeram dengan kecepatan kilat. Kekuatan cengkeraman yang mengesankan dari orang lain memungkinkan Saito terangkat dari tanah, saat ia ketakutan mendengar akan tulangnya retak.
"Si-Siapa…?" Saito berusaha setidaknya menoleh untuk menatap wajah penyerang, yang ternyata merupakan sopir pelayan. Dia tidak menunjukkan emosi di wajahnya, dan menatap Saito dengan ekspresi yang kosong.
"Saito-sama, saya datang untuk mengantar Anda."
"…Untuk mengantarku ke alam lain?"
Sambutan semacam ini cuma dapat mengarah pada satu kesimpulan. Saito merasa kalau hidupnya di dunia ini akan segera berakhir.
"Untuk mengantar Anda ke sekolah, tentu saja. Mulai hari ini, Anda akan bertindak sebagai pacar palsu dari Nona Muda, jadi saya beranggapan kalau berangkat ke sekolah bersama akan menjadi aktivitas rutin."
"Alasan yang kuat, tetapi mengapa kamu mencoba menghancurkan bahuku?"
"Saya tidak melakukan hal yang semacam itu, saya mencoba untuk menghancurkan tulang Anda."
"Itu bahkan lebih buruk! Apa kamu itu punya dendam kesumat terhadapku atau semacamnya?!"
Niat membunuh yang dipancarkan oleh sopir pelayan itu semakin kuat.
"Tidak sama sekali. Saya cuma percaya kalau manusia keji yang berani bermain-main dengan Nona Muda pantas untuk mendapatkan hukuman terberat yang dapat terbayangkan. Pemikiran logis bukan, tidak bisakah Anda mengerti?"
“Apa Shisei itu bagaikan dewi bagimu…?"
"Kira-kira semacam itu. Semua makhluk hidup harus bersumpah setia kepada Nona kita, saya berani bilang."
"Namun, nantinya kamu akan makan puding Shisei secara teratur?"
"Itu merupakan ungkapan rasa sayang. Saya suka menggoda Nona karena dia itu sangat imut."
Saito tidak yakin apa ini benar-benar rasa hormat atau sesuatu yang lebih dari itu. Di saat yang sama, Akane akhirnya memutuskan untuk angkat bicara, duduk di seberang meja.
"Kalau kamu ingin membunuh Saito, bisakah kamu melakukannya di luar? Aku lebih senang kalau aku tidak harus bertanggung jawab atas pembersihannya..."
"Dimengerti."
"Jangan cuma setuju saja?! Dan kamu juga, Akane! Jangan menjualbelikan anggota keluargamu dengan mudah!"
"Ke-Keluarga…?" Akane menatap Saito dengan kaget dan bingung.
Namun Akane tidak mau repot-repot membantu Saito selama permohonan bantuannya. Saito diseret keluar dari ruang tamu oleh pelayan, karena ia tidak punya cara untuk melawan pelayan yang secara teratur menyingkirkan orang-orang yang mencurigakan di sekitar Shisei. Jika Saito berani memberontak, ia akan terbunuh dalam sekejap mata. Di luar, Saito disambut dengan limusin putih, di mana Shisei sudah menunggu di dalam, sedang memegang ponsel pintarnya.
"Shisei sudah mengirimi Abang beberapa pesan. Mengapa Abang tidak keluar-keluar?"
"Tunggu, apa?" Saito duduk di sebelah Shisei, dan memeriksa ponsel pintarnya.
Seperti yang Shisei bilang, Saito telah menerima beberapa pesan darinya, mengatakan 'Kami datang untuk menjemput Abang,' 'Kami sudah sampai,' dan 'Apa yang sedang Abang lakukan?'.
"Maaf, Abang terlalu fokus dengan sarapan Abang jadi Abang belum sempat memeriksa ponsel Abang."
"Tidak perlu mencari-cari alasan. Abang mungkin Abang mungkin sudah main ronde kedua dengan Akane dan tidak punya waktu untuk memeriksa itu."
"Ronde kedua macam apa?!"
"Biohazard VS?"
"Abang mana punya waktu buat hal semacam itu…"
Ada kalanya Saito memutuskan untuk bersenang-senang sendiri kalau ia bangun pagi-pagi, tetapi ia dan Akane tidur sampai alarm berbunyi, kelelahan setelah dikejar paparazi selama berhari-hari tanpa akhir. Tidak lama setelah itu, sopir pelayan meraih kemudi, menatap Saito melalui cermin.
"Saito-sama, apa Anda sudah mempersiapkan diri?"
"Tidak sama sekali, jadi tolong tahan dirimu, ya?!"
Saito tidak sekuat itu untuk mampu menangani perjalanan kereta luncur di pagi hari. Dia menginjak pedal gas seperti tidak ada lagi hari esok, dan mobil itu melaju kencang. Dengan 3x teknik mengemudi yang sembrono yang sudah biasa dialami Saito, mobil itu mendorong tubuhnya ke jok. Mobil itu melaju ke gerbang depan, dan tiba-tiba berhenti. Shisei turun dari mobil terlebih dahulu dan kemudian berbalik ke arah Saito.
"Kita sedang menuju pertempuran sekarang. Apa Anda siap untuk kinerja hidup Anda?"
"Iya. Aku rasa berpegangan tangan akan menjadi awal terbaik bagi kami."
"Sepakat. Berpegangan tangan layaknya sepasang kekasih itu kedengarannya bagus."
"Berpegangan tangan layaknya sepasang kekasih?"
Saito belum pernah mendengar istilah itu sebelumnya. Saito telah membaca kamus bahasa Jepang selama bertahun-tahun, jadi kata ini tidak asing baginya.
"Dalam budaya manusia, ini yang dilakukan sepasang kekasih, tampaknya." Shisei berbicara seperti alien yang mengamati kemanusiaan saat dia meraih tangan Saito.
Jari-jari Shisei yang ramping dan putih terjalin dengan jari-jari Saito. Itu jauh lebih intim dari pegangan tangan daripada yang biasa Saito lakukan, memberinya rasa geli. Shisei mengangkat tangannya yang terbuka, menunjuk ke gedung sekolah.
"Maju ke medan pertempuran."
"Dimengerti."
Saito dan Shisei mengambil sikap bangga saat mereka menuju ke pintu depan. Mereka berganti ke sepatu dalam ruangan mereka, menuju ke kelas mereka sambil berpegangan tangan. Seluruh siswi yang mereka lewati memanggil Shisei.
"Pagi, Shisei-chan!"
"Kamu itu imut seperti biasanya, ya!"
"Mau makan sarden?"
"Atau mungkin ayam?"
"Aku juga punya kue!"
"Biarkan aku mengusap kepalamu!"
Seperti biasanya, popularitas Shisei tidak tertandingi. Saku rok Shisei, tas sekolahnya, saku behanya, dan setiap saku lainnya yang perlahan diisi dengan banyak makanan. Rupanya, ini dianggap sebagai semacam persembahan, karena siswi-siswi yang mengusap kepala Shisei sekarang menyatukan tangan mereka untuk berdoa. Begitu saja sebenarnya tidak masalah, tetapi…
"…Tidak ada yang peduli, ya?!"
Tidak ada satu orangpun yang bereaksi terhadap fakta kalau Saito dan Shisei sedang berpegangan tangan. Tidak ada yang mulai membicarakan kemungkinan mereka berdua pacaran.
"Mungkin mereka tidak peduli tentang apapun selain Shisei…Dan keberadaan Abang itu terlalu lemah…"
"Apa kamu menghina Abang?! Apa Abang punya keberadaan yang lemah?!"
"Abang itu jelas transparan... Itu sebabnya Abang tidak pernah tertangkap basah saat Abang menyelinap masuk ke pemandian wanita..."
"Yang mana belum pernah Abang lakukan, ngomong-ngomong!"
Saito mungkin tampak seperti cowok rata-rata di sebelah Shisei, tetapi ia tidak ingat kalau pernah berlatih sebagai ninja.
"Mungkin Abang sudah mati? Abang itu hantu dan itulah sebabnya tidak ada yang dapat melihat Abang?"
"Abang benci menu sarapan pagi ini, dan itu tidak menembus keluar di ujung tubuh yang lain."
"Jadi itu berarti Abang itu zombi. Aku tahu itu kalau Abang sudah mati."
"Tidak bisakah kamu membuat alur yang nyaman yang sesuai dengan narasimu?"
Saito tidak merasakan penyakit di dalam atau di luar tubuhnya dan dia tidak punya ingatan kalau ia telah mati. Napas dan denyut nadinya juga baik-baik saja. Mereka berdua tetap berpegangan tangan saat memasuki ke kelas 3-A. Mereka menyapa beberapa teman sekelas yang sudah datang, tetapi tidak ada satupun dari mereka mengomentari fakta ini.
"…Apa yang sedang terjadi?" Saito duduk di bangkunya, dan memiringkan kepalanya dengan bingung.
"Sepertinya berpegangan tangan saja belum cukup berdampak. Kita harus lebih pamer lagi."
"Lebih pamer lagi? Jadi hal-hal seperti kamu menyuapi Abang?"
Shisei mengeluarkan kukis bungkus yang dia terima sebelumnya, dan menyerahkannya pada Saito.
"Begitu saja masih belum cukup, kita harus melakukannya dari mulut ke mulut. Abang melunakkan kukis itu dan memberikannya pada Shisei."
"Bagaimana caranya, dari mulut ke mulut?"
"Tidak perlu malu. Setiap penguin melakukan semua itu."
"Iya, Abang bukan penguin sih!"
"Shisei tidak masalah disuapi oleh Abang melalui paruh burung ini."
"Abang cukup peduli! Dan juga, manusia itu tidak punya paruh!"
Catatan sampingan, penguin juga tidak punya paruh. Kalau itu cuma dari mulut ke mulut yang biasa saja, maka seharusnya tidak ada masalah khusus, Saito menilai. Faktanya, ada banyak waktu saat Shisei mencuri makanan yang Saito mulai makan, yang dapat dianggap sebagai ciuman tidak langsung. Menilai begitu, Saito meletakkan kukis itu di antara giginya. Shisei melompat ke pangkuan Saito, meletakkan tangannya ke bahu Saito.
"Terima kasih atas suguhannya, Abang…" bisik Shisei dengan nada yang imut.
"I-Iya."
Saito sudah terbiasa dengan kehadiran Shisei, tetapi mendapatinya sedekat ini merupakan pengalaman yang menegangkan bagi Saito. Mata Shisei yang berwarna safir telah memikat Saito, saat tampak wajah Shisei yang cantik perlahan mendekat pada Saito. Tangan Shisei yang kecil menopang pipi Saito, lalu napas samar keluar dari bibir Shisei—Tepat setelah itu, Shisei menunjukkan giginya yang putih.
"?!"
Saito memiringkan kepalanya 80° ke kanan, menghindari gigitan Shisei. Kukis itu benar-benar menghilang jauh di dalam perut Shisei, begitu juga bibir Saito kalau ia tidak menghindar. Ini terasa lebih seperti dari mulut ke mulut dengan seekor ikan piranha. Tidak ada unsur romansa yang ditemukan.
"Mengapa Abang menghindar?"
"Karena Abang tidak ingin mati!"
"Abang tidak akan mati cuma karena hal semacam ini. Bibir Abang bisa beregenerasi berkali-kali."
"Tidak, bibir Abang tidak bisa!"
"Abang itu seperti bintang laut atau kadal, Abang bisa melakukannya."
"Abang itu sama sepertimu, manusia juga!"
"Shisei itu berasal dari keluarga kadal."
"Itu menjelaskan banyak hal."
Itu akan menjelaskan fakta kalau tidak ada akal sehat yang melewati otak Shisei. Paling tidak, kejadian ini sepertinya telah menarik perhatian para siswi lain di kelas mereka.
"Shisei-chan itu sangat imut! Seperti seekor ikan piranha!"
"Aku juga ingin Shisei-chan memakan bibirku!"
"Aku sangat iri pada Houjo-kun."
"Hak eksklusif seorang abang, ya~."
Mengapa mereka cemburu padaku?! — Saito meraung dalam pikirannya, meragukan kewarasan semua penggemar Shisei di luar sana. Jantung Saito masih berdegup kencang, dan Shisei menggertakkan giginya seperti sedang menunggu gigitan yang lagi. Belum lagi Shisei juga tidak menunjukkan niat untuk turun dari pangkuan Saito.
"Namun, ada masalah dengan reaksi itu. Itu tidak menimbulkan kehebohan apapun dari yang kita lakukan. Dan itu karena kita biasanya memang selalu sedekat ini!"
"Shisei sudah tahu itu sejak awal."
"Kalau begitu bilang pada Abang?!" Saito memprotes.
"Abang tidak akan setuju kalau kita tidak menguji teori ini. Dan kita tidak dapat melanjutkan ke tahap berikutnya."
"Yang mana…?"
"Kita harus pamer ke semua orang dengan cara yang lebih lebai. Abang harus mencium Shisei. Sini." Shisei menggerakkan jarinya di sepanjang bibirnya, mendekati wajah Saito.
"Tidak, tidak, tidak! Itu terlalu berlebihan!"
"Bibir Shisei itu rasanya enak, tahu?"
"Abang tidak berbicara soal rasanya! Kita mungkin sepupuan, tetapi berciuman itu sudah berlebihan!"
"Itulah yang membuatnya efektif. Itu akan membuat rumor lainnya mereda, dan Shisei akan dengan senang hati menawarkan bibirnya untuk hal ini." Shisei menatap Saito tanpa khawatir sama sekali.
Saito menghela napas dan meletakkan tangannya ke bahu Shisei.
"Kamu harus lebih menghargai itu."
"Buat apa?"
"Begitu kamu menemukan cowok yang dapat menjagamu, dan ia mengetahui kalau kamu memberikan ciuman pertamamu pada abang sepupumu, ia pasti akan sakit hati, bukan?"
"Seorang cowok yang dapat menjaga Shisei? Apa yang akan Abang lakukan selanjutnya? Akankah Abang berhenti menjaga Shisei?"
"Tentu saja. Abang merasa tidak enak karena selalu berada di sekitarmu... Gyaaaah?!"
Shisei menancapkan giginya ke telinga Saito, yang menjerit kesakitan. Shisei melompat dari pangkuannya, membalikkan punggungnya ke arah Saito, dan bergumam.
"…Itu sudah terlambat."
"Untuk apa?"
"Shisei tidak akan membiarkan siapapun merawatku selain Abang. Tidak ada orang yang lebih peduli padaku selain Abang. Meskipun itu setelah seratus atau dua ratus tahun lagi, Shise akan terus duduk di pangkuan Abang."
"Dua ratus tahun... Kamu berencana untuk jadi abadi?"
"Itu akan mudah buat Shisei."
Shisei tampak gelisah akan sesuatu, saat dia berjalan pergi dengan punggung menghadap ke arah Saito. Para penggemar cewek Shisei segera menyaksikan ini sebagai pilihan untuk mengelilinginya, merasakan camilannya dan semacamnya.
"Abadi, ya..."
Dengan kemampuan matematika Shisei yang tidak manusiawi, itu jelas bukan tidak mungkin. Dan dengan mimpi Saito yang masih jauh di masa depan, ia tidak dapat menertawakan hal itu sedikitpun.
*
Saat istirahat makan siang berikutnya, Saito dan geng berkumpul di atap. Karena itu cuma akan menambahkan lebih banyak minyak ke api kalau seseorang melihat Saito dan Akane berduaan di suatu tempat, mereka memilih tempat yang terisolasi untuk ketemuan, sementara berada dalam kelompok besar. Shisei, Himari, dan Maho semuanya ada di sana.
"Shisei dan aku sudah berusaha semampu kami, tetapi…"
"Apa yang kalian lakukan?! Apa Mas melakukan sesuatu yang tidak dapat diubah dengan Shii-chan, ya?!" Maho berteriak.
Saito cuma bisa mendorong wajah Maho menjauh saat Maho mendekatinya sambil terengah-engah.
"Tidak seperti yang kamu harapkan, Maho."
"Abang melakukan segala macam hal padaku. Itu kasar." Shisei meletakkan kedua tangannya ke pipinya, pura-pura merasa malu.
Ekspresinya datar seperti biasanya.
"Saito?!"
"Saito-kun?!"
Akane dan Himari secara bersamaan menghujani Saito dengan tatapan yang hina.
"Kami tidak melakukan sesuatu yang aneh! Lagipula kalian berdua juga ada di dalam kelas dan menyaksikan kami, bukan?!"
Saling menyuapi, memberikan Shisei gendongan putri, menerima bantal pangkuan dari Shisei sambil menyenandungkan lagu pengantar tidur, mereka mencoba segala macam teknik, tetapi tidak ada yang membuat teman-teman sekelas mereka tertarik.
"Iya, kami ada di sana… tetapi, kamu tahu?"
"Benar…"
Himari dan Akane saling memandang, menunjukkan ekspresi yang rumit. Mereka tampaknya punya pemikiran mereka masing-masing tentang hal itu.
"Jujur saja padaku. Apa yang kurang dari kami?" tanya Saito.
"Ini lebih karena kalian itu terlalu berlebihan."
"Terlalu berlebihan?"
"Kamu dan Shisei-chan itu selalu agak lengket, jadi meskipun kalian berdua berpegangan tangan, kalian berdua terlihat seperti sepasang adik kakak biasa, dan bukan pasangan kekasih."
"Aku tahu itu… Jadi Shisei dan aku harus mulai dari sebagai orang asing…"
Shisei meraih tangan Saito, dan menggelengkan kepalanya.
"Tidak mau. Shisei tidak akan tahan menjadi orang asing bagi Abang."
"Abang juga begitu…"
"Abang…"
Himari memperhatikan mereka berdua saling memandang, dan menyeringai.
"Kalian berdua benar-benar berhubungan baik."
"Mungkin itu terlalu berlebihan, kalau kamu tanya padaku…" Akane cemberut.
"Ngomong-ngomong, Shii-chan tampaknya tidak dapat berperan sebagai pacar palsu Mas, bukan? Aku akan dengan senang hati mengambil alih!" Maho dengan suka cita mengangkat tangannya.
"Mas lebih memilih tidak." Saito tidak membuang-buang napas.
"Mengapa?!"
"Lagipula, tidak ada yang tahu apa yang akan kamu lakukan pada Mas."
"Tidak lebih dari hal-hal yang mesum!"
"Dan Mas tidak berencana untuk membiarkan semuanya akan berjalan sejauh itu."
"Sejauh itu? Seberapa jauh? Apa Mas meninggikan harapan Mas secara kebetulan~?" Maho memegang lengan Saito sambil menyeringai.
"Sialan kamu..."
"Ah, apa itu sesuatu yang tidak bisa Mas katakan? Apa Mas akan membuatku melakukan sesuatu yang gila pada Mas?" Maho menusukkan jarinya ke pipi Saito.
Seringai Maho yang jahat itu seperti seringai setan.
"Mas sama sekali tidak punya harapan begitu, jadi kembalilah ke neraka!"
"Tidak mau~."
Saito mencoba mendorong Maho, dari atap, tetapi Maho tidak akan membiarkan Saito menangkapnya. Akane menatap Himari.
"Tetapi…kalau Shisei-san dan Maho tidak bisa…"
"Cuma… tinggal aku saja, bukan?" Himari dengan canggung menunjuk dirinya sendiri.
"Kalau kamu tidak mau, maka kita akan mencari metode lain."
Saito jelas ragu-ragu, mengetahui kalau menanyakan hal ini pada cewek yang ia tolak itu terlalu kejam.
"Tidak, kalau aku dapat membantumu, maka aku lebih dari senang! Biarkan aku melakukannya!" Himari melompat ke arah Saito dan meraih tangannya.
"Apa kamu yakin?"
"Iya! Mulai besok, aku akan menjadi pacarmu! Aku akan menawarkan semua yang aku miliki, jadi pastikan untuk ikuti alurnya."
"Di-Dimengerti…" Saito dengan canggung mengangguk, melihat betapa energiknya Himari.