KuraKon - Jilid 4 Bab 3 - Lintas Ninja Translation

Bab 3
Memikat

Ini terjadi di ruang kelas 3-A. Saat Saito sedang menikmati sedikit ketenangan, membaca buku, ia tiba-tiba merasakan desahan lembut menggelitik telinganya.

"?!" Saito tersentak dari bangkunya.

Berbalik, Maho menatap Saito dengan seringai yang menggoda.

"Pagi, Mas~."

"Kamu…kamu sedang apa sih…" Saito menutup telinganya dengan telapak tangannya.

"Cuma menyapa Mas saja? Karena Mas terkurung di sini, di Negeri Jepang ini, Mas mungkin tidak tahu, tetapi ini merupakan hal yang wajar di luar negeri!"

"Bukan hanya di luar negeri, ini pasti menjadi hal yang wajar di luar galaksi ini. Kembalilah sana ke planet tempat kamu dilahirkan!" Saito memelototi Maho tidak percaya.

Saito tadi sedang menikmati sedikit waktu luang sampai pembinaan wali kelas akan dimulai, namun sang pembuat onar itu sudah tiba saja. Melihat reaksi ini, Maho menutup mulutnya dengan tangannya, lalu menyeringai.

"Ahhh, Mas, Mas ini jadi sensitif karena aku meniup telinga Mas, kan~."

"Mas tidak begitu!"

"Mas jelas begitu~ Lihat, Mas sedang merinding~." Ujung jari Maho menyusuri leher Saito.

Saito segera mengambil tangan Maho.

"Bisakah kamu berhenti dengan pelecehan seksual yang terang-terangan itu saat kita sedang berada di sekolah…?"

"Kyaa~! Mencengkeram tanganku dengan sangat kuat…Mas ini sangat berani, ya!" Maho gelisah untuk menunjukkan rasa malunya.

Maho jelas melakukan hal ini dengan sengaja, tetapi itu lebih dari cukup untuk membuat tatapan mematikan dari semua teman-teman sekelas cowoknya mengerubungi Saito.

"Bajingan sialan itu ..."

"Bermain-main dengan adik kelas imut itu lagi…"

"Aku akan membunuhnya. Aku akan membunuhnya tanpa mendapat masalah hukum."

"Menempatkan natto segar ke dalam jusnya…"

"Isoflavon! Isoflavon!"

"Kalian ini jadi sangat tidak masuk akal sekarang, kalian tahu?!"

Saito mencoba protes, terapi tidak ada yang mau repot-repot mendengarkannya. Seluruh siswa menari-nari di atas telapak tangan cewek cantik (yang aslinya iblis) sekelas idola.

"Mas, Mas ini benar-benar dibenci di sekolah, ya! Aku merasa kasihan pada Mas."

"Memangnya menurutmu ini salah siapa…"

"Jangan terlalu menyalahkan diri Mas sendiri!"

"Maksud Mas itu kalau ini semua salahmu!"

"Benar, ini semua salahku karena aku ini sangat imut. Maafkan aku soal itu~." Maho meletakkan kedua jari telunjuknya di kedua pipinya, dan menjulurkan lidahnya.

Jelas kalau gerakan ini merupakan perhitungan sederhana, tetapi Maho masih benar-benar memasang posenya.

"""Imut sekali!!"""

Seluruh siswa berteriak serentak dan berlari keluar menuju lorong. Mereka didorong oleh hasrat yang meluap-luap. Atau mereka tidak ingin melihat Maho lebih lama lagi menempel di kaki Saito.

"Kamu benar-benar pandai dalam memikat anak cowok, sulit untuk percaya kalau kamu itu adiknya Akane…" Saito berkomentar dengan kekaguman dan rasa tidak percaya yang bercampur.

Maho memain-mainkan rambutnya.

"Aku tidak pandai sama sekali~ Para cowok itu begitu bodoh dan sederhana, mereka langsung menunjukkan motif tersembunyi, jadi mudah untuk memanfaatkannya~."

"Mas merasa seperti baru saja mendengar sesuatu yang menakutkan."

"Aah, bercanda! Aku suka betapa baiknya dan menawannya para cowok! Aku sangat menghormatinya~."

"Meskipun kamu mencoba mengoreksi diri sendiri, itu punya efek sebaliknya yang mutlak."

Saito perlahan membangun ketidakmampuan untuk mempercayai para wanita. Saito tahu kalau setiap manusia itu punya dua sisi, tetapi ia pun punya batasan terhadap seberapa banyak sisi gelap yang dimiliki Maho.

"Apa Mas sudah kepikiran untuk menikahiku?"

"Mana mungkin Mas mau menikahi seseorang yang secara terbuka akan memanfaatkan para cowok!"

"Aku tidak memanfaatkan mereka! Hanya mengubah mereka jadi pelayanku."

"Mas juga tidak mau menjadi pelayanmu, terima kasih."

"Aku tidak akan menjadikan Mas salah satu dari pelayanku! Malahan, aku akan jadi pelayan Mas! To-Tolong, perintahkan saya untuk melakukan apapun yang Anda inginkan, tuanku…" Maho menyatukan kedua tangannya, lalu dia menatap Saito dengan tatapan yang gemetar.

Kali ini, Saito menerima tatapan yang menyakitkan dari seluruh siswi di kelasnya.

"Houjo-kun memperlakukan adik kelas lain dengan buruk..."

"Aku mendengar sesuatu seperti menjadikan anak itu pelayannya?"

"Meminta seorang cewek yang lebih muda darinya memanggilnya Tuan itu... Jorok."

"Musuh dari semua wanita…"

"Jangan membuat kesalahpahaman ini jadi lebih buruk!" Saito meraih bahu Maho, mencoba berdiri, tetapi sekarang Maho malah bertingkah ketakutan.

"Ma-Maaf, Tuan…Saya akan melakukan yang terbaik untuk melayani Anda, jadi…!" Maho mengusap mulutnya, dan meneteskan air mata palsu.

Tatapan tajam para siswi itu berubah menjadi gelombang niat membunuh, yang akan meledak setiap saat. Kalau terus begini, nyawa Saito berada dalam bahaya. Di mata masyarakat, Saito mungkin sudah dipandang telah menggali kuburannya sendiri, tetapi sekarang kesehatan fisiknya akan ditarik ke dalam jurang yang dalam.

Sialan, apa ini? Bagaimana aku bisa membuktikan kalau aku tidak bersalah dan ini adalah salahnya?

Saat Saito dengan putus asa menggunakan otaknya, Himari memasuki kelas. Himari melihat Saito dan Maho, matanya bersinar saat dia berlari.

"Maho-chan! Lama tidak jumpa!"

"Himarin! Yei~!"

"Yeeei~!"

Maho dan Himari bersorak gembira, melompat-lompat dan mereka melakukan tos. Terbukti bahkan sebagai pengamat kalau mereka senang bertemu satu sama lain begini.

"Aku memang sudah dengar dari Akane kalau kamu sudah pulang, tetapi kamu ternyata sudah masuk ke sekolah kami, ya!"

"Itu benar~ aku cuma ingin membenamkan wajahku di dada Himarin!"

"Kalau begitu datanglah!"

"Yeeei!"

Himari membuka kedua tangannya, dengan Maho ke arahnya tanpa ragu-ragu. Maho memeluk dada Himari dengan tangannya, menggosokkan pipinya ke dua gundukan itu.

"Haaa, payudara Himarin memang yang terbaik! Itu lebih besar dari punyanya Mbak dan nyaman seperti hamparan awan! Namun itu juga sangat menggairahkan dan mesum!"

"Maaf kalau punya Mbak tidak dapat dibandingkan…" Akane muncul dengan urat keluar dari wajahnya.

Maho segera mengoreksi dirinya sendiri.

"Mak-Maksudku, payudara Mbak itu hebat dengan caranya sendiri! Itu pas di tanganku, dan itu selalu menenangkanku! Membuatku merasa kalau aku benar-benar pulang. Mbak mengerti, bukan?"

"Mbak benar-benar tidak mengerti!" Akane mengeluh dengan bahu yang gemetar.

"Mau membenamkan wajah Mas di dada Himarin juga, Mas?"

"Apa yang kamu katakan!?"

Saito merasa seperti ia punya panah yang diarahkan langsung ke kepalanya.

"Itu merupakan sesuatu yang perlu Mas alami setidaknya sekali! Rasanya luar biasa, Mas tahu? Mas tidak akan pernah dapat melepaskan Himarin!" Maho dengan cermat mengevaluasi dada teman Mbaknya.

"Ka-Kalau kamu ingin merasakannya… aku tidak keberatan?" Himari tersipu dengan agresif, membuka tangannya untuk menyambut Saito.

Dada Himari dipenuhi dengan pesona dewi, bergetar naik turun seakan-akan itu sedang mengajak Saito.

"Tidak…itu…" Saito bingung bagaimana harus bereaksi.

Biasanya, Saito akan menolak tawaran itu secara instan. Namun, Saito tahu tentang perasaan Himari padanya, dan ia mengerti kalau tawaran ini dibuat dengan sangat serius. Kalau Saito menolak tawaran ini dengan terlalu blak-blakan, ia mungkin akan menyakiti hati Himari. Meskipun begitu, setuju saja juga bukan pilihan yang tepat, karena itu akan membuat Akane marah besar, dan juga masih ada beberapa teman sekelas yang ada di kelas, menghujaninya dengan tatapan dingin. Saat Saito sedang mencari pilihan yang tepat, Akane memelototinya.

KuraKon-4-3-1


"Mengapa kamu ragu-ragu?! Mana mungkin dia akan membiarkanmu melakukan itu!"

Sepertinya Saito kehabisan waktu.

"Aku tidak keberatan, jadi…kalau Saito-kun mau, aku akan melakukan apapun…"

"Fiuh, Himarin sangat mencintai Mas, ya~ Betapa mengagumkan~." Maho mengangguk pada dirinya sendiri.

"Aku sudah penasaran dari tadi, tetapi mengapa kamu terus memanggil Saito-kun 'Mas'?" Himari tampak agak ragu.

"Ahh, itu karena Mas itu sua—"

"Kamu bodoooooooooooh!!"

Maho hendak menjatuhkan bom tentang pernikahan itu, jadi Saito dengan panik menutup mulutnya, memastikan kalau dia tidak dapat mengucapkan sepatah katapun.

"Mgh! Mghghgh!" Maho mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Saito.

Wajah Akane menjadi pucat, dan mata Himari terbuka lebar.

"Aku tidak menyangka kalau Saito-kun dan Maho-chan sedekat ini~."

Maho entah bagaimana berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Saito, dan terengah-engah.

"Kami memang sangat dekat! Benar kan, Mas?"

"Hahaha…" Saito tertawa kosong.

Melihat hal itu, Maho bahkan memberi lebih banyak tekanan padanya.

"Kami memang dekat, bukan? Bahkan kemarin, di kamar man…"

"Oh iya, kami memang! Kami itu pasangan sahabat terdekat di seluruh galaksi!"

"Galaksi!"

Saito mendapati dirinya terpaksa untuk sejajar dengan Maho, yang menunjukkan tanda perdamaian seperti biasanya. Mengubah Maho menjadi musuh di sini akan membuat segalanya hancur dan terbakar. Namun, Saito mendapati dirinya berdoa agar Maho segera pergi dan bepergian lagi.

"Himarin, Himarin! Mari kita jalan-jalan di suatu tempat akhir pekan depan~ Hanya kita berlima saja!"

Himari menghitung dengan jarinya.

"Kita berlima…Akane, Saito-kun, Maho-chan, dan aku…Tunggu, itu cuma empat orang, kamu tahu?"

Maho menundukkan kepalanya, dan bergumam dengan suara pelan.

"Ada…orang kelima yaitu hantu, tepat di belakang Mas…"

"Apa katamu…?" Saito merasakan getaran menjalar di punggungnya.

Seperti yang dikatakan Maho, Saito mendengarnya — langkah kaki samar di belakangnya. Saito merasakan kehadiran yang mendekat, berhenti tepat di belakang Saito. Pergelangan tangan Saito dicengkeram oleh telapak tangan kecil. Warnanya seputih salju, membuatmu berpikir tidak ada darah yang mengalir di dalamnya, sedingin es.

"Shisei ingin bergabung dengan kalian."

Ternyata itu Shisei. Shisei menyantap roti melon di mulutnya seperti sedang lomba makan roti, dan mengunyahnya. Ada beberapa hari yang Shisei habiskan lebih seperti binatang buas yang memakan makanan daripada manusia yang sebenarnya, dan hari ini sepertinya salah satunya.

"Apa, cuma Shisei toh…" Bahu Saito rileks.

"Memangnya Abang kira itu siapa? Taira no Ason Oda Kazusanosuke Saburou Nobunaga atau semacamnya?" Shisei dengan santai menyebutkan nama lengkap Oda Nobunaga.

"Abang tidak kenal orang bersejarah yang legendaris semacam itu."

"Meskipun Abang lah orang yang membunuhnya?"

"Ma-Mana mungkin Saito-kun menjadi orang yang mengerikan! Aku percaya padanya!"

"Percaya atau tidak… Itu terjadi 400 tahun yang lalu, dan saat itu aku belum hidup!"

Meskipun mereka berusaha sekuat tenaga untuk menjelaskan teori ini, perbedaan usianya itu terlalu jauh.

"Be-Benar, aku lega…"

"Aku khawatir padamu, Himari…Mungkin aku harus membantumu belajar lagi kapan-kapan…"

"Aku akan sangat senang dengan itu, tetapi…mengapa?" Himari menunjukkan kebingungan yang sebenarnya.

Jelas berbahaya meninggalkan orang yang bebal begitu saja. Ada kemungkinan besar dia tidak akan lulus.

"Kalau kita ingin bersenang-senang, mungkin kita harusnya tidak mengajak Saito, bukan?"

"Kamu benar-benar tidak menyesal sama sekali, ya." Saito memelototi Akane, yang melontarkan kata-kata ini.

"Hm? Apa kamu segitu inginnya dikelilingi oleh para cewek? Berencana untuk membawa mereka berdua pulang dan pergi bersama mereka?"

"Aku tidak pernah menyebutkan hal semacam itu."

"Pasti begitu! Aku dapat dengan tepat melihat semua yang kamu pikirkan! Bahkan tertulis 'Terangsang' di matamu!"

"Mendapati kata-kata yang terukir di bola mataku itu benar-benar ekstrem." Saito merasakan kejantanannya terstimulasi oleh ide itu.

"Tetapi kamu benar, aku yakin akan lebih menyenangkan kalau kalian berempat, para cewek yang pergi, jadi aku tidak usah ikut saja kali ini."

"Kami akan mengajak Mas bersama kami walaupun kami harus membuat seekor kuda menarik Mas."

"Apa ini, penyiksaan dari film Barat?!"

Maho melanjutkan dengan nada yang energik.

"Kami bahkan akan mengikat tangan dan kaki Mas untuk masing-masing kuda, dan kemudian~."

"Mas akan mati selamanya! Mereka akan membelah Mas menjadi beberapa bagian!"

Saito merasa takut dengan perbuatan jahat itu yang dilakukan di Eropa selama Abad Pertengahan.

"Aku…akan senang kalau Saito-kun bergabung dengan kami…" Himari berkomentar, sangat malu.

"Mbak, apa itu memang benar-benar tidak boleh…?"

"Akane…aku mohon…"

"Erk…"

Ditekan oleh adik dan sahabat tercintanya, Akane mulai goyah.

"Ba-Baiklah, mau bagaimana lagi kalau begitu! Kalau kalian akan menariknya bersama dengan seekor kuda, aku tidak keberatan!"

Menerima izin dari Akane, Maho dan Himari melompat kegirangan.

"Kita berhasil~! Terima kasih, Mbak!"

"Mengapa kalian sangat gembira?!" Saito berteriak ketakutan.

"Akane sangat baik!"

"Tidak ada secercah kebaikan yang dapat ditemukan di sini!" Saito menatap Himari dengan kaget.

"Sebagai praktik, mungkin kita benar-benar harus membagi Saito menjadi beberapa bagian melalui penarikan kuda?"

"Praktik itu akan segera berubah menjadi aksi nyata!"

Saito diserang oleh keinginan kuat untuk buru-buru pulang dan mengunci dirinya sendiri di loker. Menggunakan apa saja yang dapat digunakan sebagai senjata dan alat pertahanan, dan buat blokade agar mereka tidak dapat menariknya keluar.

"Dan, kita harus pergi ke mana, ya?" Himari melihat sekeliling dalam kelompok.

"Mungkin perpustakaan?" Akane berkomentar.

"Kamu cuma ingin belajar, bukan?" Saito melontarkan bantahan.

"Jadi? Apa kamu punya ide yang lebih baik lagi?"

"Toko buku."

"Kamu sama saja denganku!"

Percikan api terbang di antara Saito dan Akane. Maho mengamati ini dan mengangkat bahunya.

"Mbak dan Mas ini benar-benar pasangan yang serasi~."

""Pasangan yang serasi?!""

Dengan istilah yang tidak dapat dijelaskan  yang mereka dikategorikan ke dalamnya ini, baik Saito maupun Akane terkejut. Mereka mungkin sudah menikah, tetapi yang jelas mereka bukan pasangan, dan Saito tidak pernah melihat dirinya sebagai orang yang serasi. Di saat yang sama, Shisei mengangkat tangannya.

"Shisei ingin pergi ke pasar ikan."

"Pengetahuan Sosial? Kamu ingin belajar bahkan selama liburan kita, Shii-chan?"

"Tidak. Cuma makan banyak ikan dari pasar ikan." Shisei memang sangat serius, tetapi di matanya dan air liurnya.

"Shii-chan ini memang senang makan, ya?"

"Senang sekali. Shisei juga ingin makan Maho."

"Ehh~? Tentu saja, silakan~ Makanlah seluruh tubuhku~."

"Bagaimana kalau malam ini?"

"Kyaaaa! Shii-chan sangat berani~!"

Maho tampaknya menafsirkan keinginan Shisei sebagai sesuatu selain rasa lapar, yang kemungkinan besar menciptakan ketidaksinambungan yang dalam dalam percakapan di antara mereka berdua. Saat Shisei mengatakan malam ini, dia mungkin bermaksud untuk sarapan. Saito meraih bahu Maho, dan menggelengkan kepalanya.

"Walaupun itu cuma lelucon, kamu pasti tidak boleh membiarkan Shisei mengatakan hal semacam itu. Jangan pernah."

"Ma-Mas…? Wajah Mas itu membuatku takut." Warna wajah Maho seketika berubah karena terkejut.

Maho memang gadis yang kurang ajar kadang-kadang, tetapi meskipun begitu, Saito tetap tidak mau dia tiba-tiba menghilang di perut Shisei.

(TL Note: Shisei serem juga ya.)

"Tetap saja…kalau toko buku, perpustakaan, dan pasar ikan itu tidak bagus, lalu kita harus pergi ke mana…"

"Tidak seperti tempat-tempat ini yang benar-benar menawarkan banyak keseruan untuk kelompok, bukan?" Himari mengemukakan poin yang valid.

Saito mungkin hanya akan membeli buku dan kemudian segera pulang untuk membacanya, mengubah ini menjadi perjalanan belanja yang sederhana. Maho dengan penuh semangat melambaikan tangannya.

"Iya iya! Aku lebih suka ke taman hiburan!"

"Ta-Taman hiburan…?" Suara nyaring dapat terdengar dari Akane, bukan suara yang dapat dihasilkan manusia.

"Ngomong-ngomong soal kencan, kalian tidak dapat melupakan taman hiburan, bukan? Komidi putar, wahana yang berputar-putar di dalam cangkir kopi!"

"Kencan?! Ini kencan dengan Saito-kun?!" Mata Himari berbinar dengan gembira.

Maho melihat kesempatannya dan melanjutkan.

"Betul sekali. Ini akan menjadi kencan kelompok! Nikmati perjalanan romantis dengan komidi putar, lalu bersenang-senanglah!"

"Itu akan merusak suasana romantisnya, jadi aku mungkin akan tahan dengan itu selama perjalanan, tetapi…Taman hiburan itu terdengar bagus! Aku ingin sekali pergi ke sana!" Himari bergabung.

"Bagaimana dengan Shii-chan?" Maho menoleh ke arah Shisei.

"Curo, es krim renyah, berondong jagung, roti sosis, krim lembut…" Shisei menghitung semua makanan, tampak seperti cewek yang sedang jatuh cinta.

"Terdengar seperti persetujuan!"

"Kalau Shisei bisa makan, dia akan baik-baik saja bahkan ke gudang gandum." Saito berkomentar.

"Bagaimana kalau benar-benar memasak makanan?!"

"Shisei tidak keberatan."

"Shii-chan, kamu jauh lebih liar dari kelihatannya~!" Maho menunjukkan kekaguman. "Bagaimana denganmu, Mbak? Apa taman hiburan itu tidak masalah buat Mbak?"

"Iya…tidak masalah…Mbak akan pastikan telah menuliskan kata-kata terakhir Mbak untuk Ibu dan Ayah…" Akane memasang wajah seorang prajurit yang akan pergi berperang, dan siap mati.

Wajah Akane pucat, dan dia sedikit gemetar.

"Ada apa? Apa kamu tidak enak badan?"

"Aku baik-baik saja…ini cuma nasib buruk…Sejak aku lahir…" Akane tampak seperti sudah pasrah sepenuhnya.

Ini jelas bukan jenis ekspresi yang akan dipasang seorang siswi SMA ketika berbicara tentang taman hiburan.


Mereka sepakat untuk ketemuan di jalanan yang agak jauh dari stasiun kereta. Itu merupakan jalan yang populer dengan para turis yang berjalan mondar-mandir, atau sekadar berolahraga. Setelah berjalan sebentar, Saito bertemu Akane, Himari, dan Maho, yang sudah menunggu mobil yang diatur oleh Shisei dan keluarganya. Karena mereka pergi ke taman hiburan, menghabiskan hari di bawah matahari, pakaian cewek-cewek itu mencolok dan memicingkan mata. Berdiri di tengah mereka itu memenuhi Saito dengan rasa tidak nyaman yang parah.

Akane mengenakan gaun one-piece berwarna merah cerah, dengan sandal hitam yang menciptakan kontras, namun masih terlihat cemas. Akane memancarkan suasana lain dari terakhir kali mereka jalan-jalan, tetapi karena kepribadiannya yang mencolok dan penampilan luarnya, itu sangat cocok untuknya.

"…Bisakah kamu berhenti menatapku?" Akane memelototi Saito, jelas dalam sedang suasana hati yang muram.

"Aku tidak melihatmu. Kamunya saja yang terlalu percaya diri."

"Hah?! Apa kamu sedang mengajak berkelahi denganku?! Baiklah kalau begitu! Aku akan mengubah seluruh dunia menjadi lautan api!"

"Perkelahian macam apa yang akan mengarah pada hal itu?"

"Perkelahian yang akan berakhir membuat bumi terbelah menjadi dua!"

"Mengapa kamu melebih-lebihkan begitu..."

Saito tidak bisa mengatakan pada Akane langsung kalau pakaiannya tampak cocok untuknya, apalagi di depan semua orang. Mereka itu musuh bebuyutan, dan hubungan itu tidak dapat dibiarkan disalahpahami.

"Hei hei, kalian berdua, kita akan pergi ke taman hiburan, jadi cobalah untuk akur."

Dewi yang menyelamatkan Saito itu—ternyata Himari, yang memisahkan mereka berdua. Himari biasanya tampak bergaya tidak peduli apa saja yang dia kenakan, tetapi pakaian santainya merupakan pemandangan yang harus dilihat. Pakaian Himari memotong dan dijahit menggunakan tirai dengan kain tipis, dengan bahu terbuka untuk melihat. Himari mengenakan celana yang sangat pendek yang memperlihatkan pahanya. Selain itu, sepatu bot panjangnya yang mencapai lutut menciptakan tampilan yang halus.

"Mas, bagaimana penampilan Maho hari ini? Imut? Itu sempurna, bukan?" Maho menekankan penampilannya sendiri, memamerkan koordinasinya dengan penuh percaya diri. Dengan tali bahu, itu adalah atasan yang memperlihatkan pusarnya. Cara penampilannya dibuat untuk merayu seorang cowok, tampak sulit di mata dengan cara yang berbeda. Di antara celana pendek dan kaus kaki selututnya terpancar wilayah mutlak yang merupakan pahanya.

"Daripada adiknya Akane, kamu lebih terasa seperti adiknya Himari."

"Karena Mbak dan aku tidak punya hubungan darah, itu artinya kami bisa menikah, bukan?! Yei~ Mbak, mari kita menikah! Aku ingin setidaknya 50 orang anak!"

"Hah? Apa? Apa yang terjadi?" Akane tidak dapat mengikuti percakapan itu, dan jelas kebingungan.

Berhasil membingungkan iblis pemakan cowok ini...kerja bagus, pikir Saito dalam hati, tetapi ia juga kesulitan mengikuti percakapan ini, jadi ia tidak dapat berbicara banyak.

"Maksud Mas itu adalah jenis pakaianmu sangat cocok dengan Himari."

"Ah, itu! Itu karena Himarin itu guruku!"

"Hah?! Sejak kapan aku berubah jadi gurumu?!" Himari tampaknya kesulitan mengikuti percakapan itu.

"Kamu tahu, saat aku masih gadis cantik yang rapuh dan terasingkan, kamu sering datang menjengukku di rumah, bukan, Himarin?"

Mampu dengan bangga menyatakan dirinya sebagai cewek cantik pasti itu bagian dari pesona Maho. Himari pasti sudah terbiasa dengan hal itu, karena dia dengan blak-blakan membalas.

"Benarkah?"

"Iya! Aku benar-benar tidak punya banyak kesempatan untuk mengobrol dengan seseorang di luar keluargaku, jadi kamulah satu-satunya orang yang berhubungan denganku dari dunia luar. Betapa indahnya dirimu, betapa cerianya dirimu, aku sangat mengaguminya! Aku bermimpi! suatu hari nanti menjadi wanita yang sepertimu!"

"Ahaha… kamu membuatku merasa malu." Himari dengan malu-malu pipinya.

"Begitu… jadi semua kecenderungan seksual Maho itu dia pelajari dari Himari…"

"Benar!" Maho mengangkat ibu jarinya.

"Tidak tidak tidak?! Jangan salah paham, oke, Saito-kun?!"

"Aku penasaran… Lagipula, kamu juga punya kecenderungan ini…"

"Kamu itu salah paham~!” Himari merangkul lengan Saito, memohon padanya untuk mengerti, tetapi cara dia menekan dadanya ke arah Saito membuat seluruh sanggahannya itu sangat lemah.

Saat mereka berbicara bolak-balik, sebuah mobil melaju di jalan. Itu merupakan limusin yang dapat dengan mudah memuat sepuluh orang. Tubuh putihnya tampak dipoles untuk menciptakan kilau yang kuat. Kaca film itu perlahan turun, dengan Shisei menjulurkan kepalanya.

"Selamat pagi, maaf membuat kalian menunggu."

"Hah…?! Ini kah mobil yang kamu bilang pada kami?!" Mata Himari terbuka lebar.

"Iya, ini." Shisei mengangguk.

Maho berlarian menuju mobil dengan ketegangan tinggi seperti biasanya.

"Wah! Wah! Ini limusin! Pertama kalinya aku melihatnya secara langsung! Shii-chan benar-benar seperti nona kaya!"

"Rumah Shisei itu kediaman yang sepertinya dapat muncul langsung dari film horor gotik."

Tidak aneh kalau ada vampir yang melompat ke arah Saito begitu ia berbelok di tikungan. Sebaliknya, dengan semua boneka di mana-mana, tidak ada yang akan meragukan fakta bahwa vampir yang sebenarnya tinggal di sana. Sopir pelayan dari waktu itu membuka pintu itu, jadi Saito dan yang lainnya masuk ke dalam. Melihat sofa besar itu, Maho tanpa ragu memasukinya dengan tangan terbuka.

"Hebat! Hebat! Sangat empuk! Baunya seperti di film! Dan begitu banyak ruang seperti bus! Aku cuma akan tinggal di sini sekarang!"

"Kamu mungkin tidak seharusnya tinggal di sini, kamu akan mati." Saito berkomentar, mengetahui kecenderungan mengemudi sopir pelayan itu.

Saito menyesal tidak naik transportasi umum saja.

"Benar-benar sifat iblis yang energik yang kamu miliki. Tante akan berterima kasih kalau kalian datang untuk bermain dengan Shisei dari waktu ke waktu."

Ibu Shisei, Reiko, duduk di depan limusin, menyapa kelompok itu dengan kaki yang bersilang. Reiko mengenakan setelan dari ujung rambut sampai ujung kaki, dan sedang berada dalam mode bisnis.

"Apakah Tante ibunya Shii-chan? Cantik sekali~."

"Terima kasih, tetapi kamu sendiri juga imut."

"Hehe, aku sudah sering mendengarnya." Maho tertawa, terdengar sangat bahagia.

"Sepertinya kamu tidak akan terlalu berisiko."

"Berisiko? Maksud Tante apa? Aku ini cewek yang berbahaya, Tante tahu?"

"Kalau kamu mungkin tidak akan menghalangi — itulah yang Tante maksud."

"…?" Maho bingung dengan komentar Reiko.

Himari merasa tegang saat dia memperkenalkan dirinya.

"Se-Senang bertemu dengan Tante! Namaku Ishikura Himari! Salam kenal!"

"Halo. Tante sudah dengar banyak tentangmu dari Shisei. Kamu tampaknya ahli dalam merebut hati teman-teman sekelasmu."

"Bukan begitu…"

"Tetapi, kamu belum sepenuhnya merebut hati Saito-kun, apa Tante salah."

"Ap…"

"Tante?!" Saito bingung.

"Tante cuma mengatakan apa yang Tante rasakan, tetapi mungkinkah Tante terlalu blak-blakan?"

"Tidak kok..." Himari tampak sedih.

"Apa Tante akan ikut dengan kami ke taman hiburan?" Saito bertanya, sehingga Reiko mengangkat bahunya.

"Tante mau kalau Tante punya waktu, tetapi Tante punya pertemuan bisnis yang penting, jadi Tante nanti akan turun di tengah jalan. Tante hanya ingin bertemu dengan teman-temanmu, Saito-kun."

"Teman-temanku? Bukan teman-teman Shisei?"

"Iya, teman-temanmu." Reiko melihat sekeliling mobil.

Lalu tatapan Reiko sampai ke Akane, dia tersentak kaget.

"Senang bertemu denganmu, Sakuramori Akane-san.”

"I-Iya, senang bertemu dengan Tante…"

"Kamu punya hubungan yang sangat buruk dengan Saito-kun, bukan? Namun kamu ikut hari ini di hari libur sekolah, mengapa kamu mau ikut?"

"Itu…karena semuanya mau pergi bersama…"

"Hmmm...jadi kamu akan tahan dengan Saito-kun, apa begitu?"

"Iya…"

Itu mungkin cuma imajinasinya, tetapi Saito mendengar nada yang tajam dalam suara Reiko. Biasanya, Reiko memperlakukan Saito dengan penuh cinta dan kasih sayang, tetapi ada yang aneh dengannya hari ini. Tampaknya dia berhenti menjadi Reiko yang pribadi, dan berubah menjadi iblis pimpinan perusahaan.

Di saat yang sama, Akane anehnya patuh sejak dia masuk ke dalam mobil. Apa ini benar-benar pertemuan pertama mereka? Mungkin sesuatu terjadi tanpa sepengetahuan Saito. Di tengah suasana yang canggung ini, semua cewek tampak gugup dan lemah lembut. Kamu tidak akan menyangka kalau mereka sedang menuju ke taman hiburan yang populer. Saito lalu duduk di sebelah Reiko, dan berbisik.

"Tante, tolong jangan terlalu banyak merundung yang lain."

"Tante tidak merundung siapapun. Sebagai walimu, Tante cuma mau menilai teman-temanmu. Tante tidak bisa membiarkan keponakan Tante yang berharga bergaul dengan orang-orang yang berbahaya, bukankah kamu setuju?"

Sekarang setelah Reiko mengatakannya, Saito merasa kalau Reiko selalu bersikap protektif. Terutama dalam hal pertemanan Saito, di mana Reiko sering melihat orang-orang itu. Mungkin Reiko merasa berkewajiban untuk melindungi Saito menggantikan abangnya.

"Aku senang Tante mencoba untuk perhatian padaku, tetapi… usahakan seminimal mungkin, oke?"

"Mau bagaimana lagi kalau begitu, Tante akan membiarkan mereka lolos hari ini."

"Hari ini…" Saito merasa takut akan masa depan.


Limusin itu akhirnya sampai juga ke taman hiburan—dengan pengemudian yang sembrono seperti biasanya. Saito dan Akane merasa mereka sedang naik atraksi. Namun, cewek-cewek lain sangat bersemangat.

"Kita sampai! Inilah taman hiburan! Mari kita naik banyak wahana!"

"Ohhhh!"

Berdiri di gerbang masuk, Maho dan Himari mengeluarkan suara gembira. Tampak seperti gyaru, mereka tampaknya sangat berpengalaman dengan taman hiburan. Segera setelah itu, Maho menempel ke lengan Saito.

"Mari kita pergi, Mas! Ini merupakan awal dari kencan mesra kita! Tujuan kita hari ini adalah seratus kali ciuman!"

"Apa yang seru sih dari melakukan hal itu sebagai tujuan..."

"Pada dasarnya, Mas ingin berciuman bahkan tanpa tujuan?! Ciuman yang penuh gairah yang akhirnya akan membuat kita lupa hitungan?! Serahkan padaku! Mmmnn!"

"Jangan terlalu dekat dengan Mas, dasar cewek sesat!"

Maho mengerutkan bibirnya seperti tentakel gurita saat dia mendekati Saito, lalu dihentikan oleh cakar besi Saito. Himari yang menyaksikan pertukaran ini, jelas bingung.

"Em…Saito-kun dan Maho-chan, hubungan macam apa yang kalian berdua miliki?"

"Aku mengakui perasaanku, dan Mas bilang iya! Jadi pada dasarnya, kami itu pasangan!"

"Sa-Saito-kun…? Haruskah aku mengucapkan selamat…?" Tubuh Himari mulai gemetar.

"Mas tidak bilang iya, oke! Jangan mengarang kenyataan palsu!"

"Aneh…dalam ingatanku, Mas bilang iya…Kita melalui masa pernikahan emas kita, dan punya banyak cucu dan cicit…"

"Satu-satunya hal yang aneh di sini adalah ingatanmu." Saito merasa seperti ia melakukan perjalanan ke satu abad yang akan datang.

"Tetapi, dia mengakui perasaannya padamu, bukan?" Himari berusaha memastikan.

"…Iya."

"Itu berarti aku saingannya Himarin dalam hal cinta! Aku akan mendapatkan Mas pada tingkat ini, kamu tahu?" Maho berpegangan pada lengan Saito, dan menariknya ke arahnya.

"A-Aku tidak akan kalah!" Himari menarik lengan Saito yang lain.

"Oh, Himarin, kamu akhirnya termotivasi, iya! Aku tidak akan menahan diri cuma karena kamu itu guruku, oke?"

"Itulah yang aku harapkan! Saito-kun, siapa di antara kami yang kamu sukai?"

"Pasti aku, bukan~?"

"Bukan, itu aku."

KuraKon-4-3-2

Maho dan juga Himari secara bersamaan mengencangkan cengkeraman mereka ke lengan Saito, dan mendekatinya. Karena mereka berdua mengenakan pakaian yang relatif terbuka, rangsangannya sangat kuat. Suara aksesori yang saling bergesekan pun terdengar, dan aroma dewasa Himari dari parfumnya dan aroma harum Maho dari kulitnya bercampur, dan merangsang hidung Saito.

"Lepaskan aku, kalian mencekikku!"

"Ahaha~ Mas jadi merasa sangat malu~." Maho menusukkan jarinya ke pipi Saito.

"Kamu itu sebenarnya senang kan, Saito-kun?" Himari berbisik ke telinganya.

"Aku tidak merasa malu ataupun senang!"

Atau begitulah yang Saito nyatakan, tetapi ia jelas tidak merasa tidak enak menerima kasih sayang sebanyak ini dari dua cewek itu. Terutama karena Himari dan Maho adalah cewek yang menawan. Itu pasti terlihat di wajahnya entah bagaimana, karena—

"…Menjijikkan." Saito menerima tatapan dingin dengan kata-kata kasar dari Akane.

Ini seratus kali lebih buruk daripada hinaan yang biasa dilontarkan oleh Akane setiap hari, membuat Saito merasa seperti ia hanyalah sampah dalam bentuk manusia. Saito merasa sangat terisolasi, mengingat karena ia tidak punya sekutu. Tetapi tidak lama, dari loket tiket datang Shisei, yang sedang memegang tiket.

"Abang, aku telah membeli tiket bebas untuk semua orang."

"…Kerja bagus."

"Mgh."

Merasa emosional, Saito meremas Shisei dengan erat. Shisei mengeluarkan suara seperti dia sedang dihancurkan, tetapi Saito tidak terlalu peduli dengan itu. Di tengah semuanya melakukan apapun yang mereka inginkan dan menyalahkan Saito pada akhirnya, Shisei-lah  satu-satunya yang benar-benar memikirkan Saito. Saito sekali lagi menyadari kalau satu-satunya sekutu yang ia punya di dunia ini hanya Shisei.

"Mari kita pergi, Shisei! Kita akan menikmati taman hiburan sampai kita kenyang!"

"Tentu, mari kita makan semuanya sampai mereka kehabisan makanan."

Saito meraih tangan Shisei yang setia dan berjalan melewati gerbang masuk. Mereka mendapati pemindai membaca tiket mereka dan memasuki taman itu secara berurutan. Tepat setelah masuk, mereka disambut dengan alun-alun terbuka, sebuah monumen besar yang berdiri di tengah yang diterangi oleh matahari, dengan air mancur di sekelilingnya ke segala arah. Di depan monumen berdiri apa yang tampaknya menjadi maskot dari taman hiburan ini, dan menyambut pengunjung dan berfoto. Maskot itu dirancang seperti kucing dengan tampilan yang agak jahat di matanya. Namun, wajah Akane bersinar gembira.

"Benar-benar kucing yang imut! Mari kita minta foto kenang-kenangan dengan mereka!"

"…Imut?" Saito dipenuhi dengan keraguan.

"Dia itu imut! Itu merupakan matanya yang terbuka lebar yang mungkin telah mengering, dan dia menyeringai mirip seperti seseorang yang sedang merencanakan sesuatu yang jahat!"

"Karena itu kamu menganggapnya imut?"

"Itu membuatnya tampak imut, iya!"

"Walaupun kamu berpikir begitu, yang mengenakan kostum itu kemungkinan besar itu om-om."

"Mengapa sih kamu harus menghancurkan harapan dan impianku begitu?!" Akane mulai menangis.

Maho menunjukkan seringai nakal, menggoyangkan jari telunjuknya.

"Ck ck ck, Mas tidak boleh bilang begitu. Tidak ada orang di dalam kostum itu, Mas tahu?"

"Lalu apa yang ada di dalamnya, hah?"

"Organ, tentu saja!"

"Itu jelas terdengar aneh!"

"Itu tidak aneh sama sekali! Kita semua punya organ yang disatukan di dalam diri kita!"

"Ati ampela… lezat…" Shisei mulai mengiler.

"Jangan lapar sekarang…" Saito melindungi perutnya.

Adik sepupu Saito yang tampak polos ini sebenarnya tidak dapat membedakan antara apa yang bisa dia makan dan yang tidak bisa dia makan—atau lebih tepatnya, boleh dan tidak boleh dimakan. Di saat yang sama, Himari meletakkan satu jari di bibirnya, dan berpikir.

"Hmm, tidak ada jaminan kalau yang mengenakan kostum ini om-om, kamu tahu? Saat aku bekerja paruh waktu sebelumnya, aku sendiri harus memakai kostum semacam ini."

"Kamu benar-benar bekerja di mana-mana, ya."

"Yap! Apapun yang dapat memberiku uang, aku akan mencobanya!"

Meskipun tampak seperti seorang gyaru di luar, Himari itu cewek yang berkemauan keras. Masuk akal kalau seseorang yang sangat fokus dalam menabung seperti Akane akan memilihnya sebagai teman. Di saat yang sama, Akane dengan panik menyatakan.

"Apa yang ada di dalamnya itu tidak masalah! Ini kucing! Dan ada kucing di dalamnya juga! Dan di dalam kucing itu ada lebih banyak kucing! Jadi ini murni kucing 100%!"

"Memangnya apa ini, boneka matryoshka?" Saito membayangkan sekotak kucing dengan lebih banyak kucing di dalam kucing-kucing itu.

"Bagaimanapun! Aku ingin berfoto! Kalau aku tidak memotret kucing itu, aku akan gagal sebagai juru kamera tempur!"

"Sejak kapan kamu berubah menjadi juru kamera tempur..."

Akane pasti sudah kesurupan, karena dia tidak menanggapi, dan cuma berlari ke arah kostum kucing itu. Akane berbicara dengan staf terdekat, menyerahkan ponselnya, dan meminta untuk memotret foto bersama. Dengan badut kucing itu di tengah, Saito berdiri di sebelah kiri, dan Akane di sebelah kanan. Saito mendapati Maho dan Himari berpegangan pada kedua lengannya, Shisei bersandar di dadanya dengan bagian belakang kepalanya, menciptakan populasi yang sangat tinggi di sekitarnya. Staf wanita yang memegang ponsel itu menunjukkan tawa.

"Anda itu cukup populer, ya, Tuan~."

"Tidak sama sekali." Saito segera membantahnya.

Mengesampingkan Himari, Shisei itu adik sepupunya, Akane itu istrinya, dan Maho itu adik iparnya, jadi ini terasa lebih seperti perjalanan keluarga daripada apapun. Namun, Maho secara alami memberikan penjelasannya sendiri.

"Mas ini memang buaya darat! Dua dari cewek-cewek di sini sudah mengakui perasaannya padanya, dan dua lagi selalu tidur bersama dengannya!"

"Kamuuuuu?!"

Saito berusaha membungkam Maho, tetapi dia terus saja tertawa, berlarian sambil menghindari Saito. Sekali lagi, benar-benar keisengan yang nyata.

"Saito-kun?! Siapa dua cewek yang sering tidur bersamamu?!" Himari berteriak, warna wajahnya berubah drastis.

"Itu Shisei… saat kami masih kecil." Saito dengan enggan menjawab.

"Dan siapa yang satunya itu?!"

"Tidak ada… Dengan siapa aku akan tidur di luar kelompok ini…"

"Maukah kamu memberi tahuku semua detailnya, hmm?!"

Saito merasakan tekanan langsung di lengannya, dipegang erat oleh Himari. Saito khawatir Akane mungkin panik dan mengatakan sesuatu yang bodoh, tetapi orang yang dimaksud cuma menatap kostum kucing dengan mata mengantuk, tidak menangkap perkelahian yang terjadi. Meskipun mereka semua berteriak, kucing itu jauh lebih penting, ya. Di saat yang sama, suara yang dalam sampai ke telinga Saito.

"…Membusuklah di neraka."

"?!" Saito bingung dan melihat ke sekeliling untuk mencari sumber suara itu.

Tidak perlu diragukan lagi, kutukan ini datang dari orang yang ada di dalam kostum itu. Bahkan aura gelap terpancar ke luar kostum. Itu tidak dapat lebih jauh dari kucing yang imut, mirip gumpalan kemarahan dan dendam yang terpendam. Namun, tidak ada cewek yang menunjukkan reaksi apapun terhadap kutukan itu.

Apa ia mengatakan itu pada frekuensi yang cuma aku yang dapat menangkapnya?! Apa  taman hiburan ini benar-benar tanah fasilitas percobaan?!

Saito merasa seperti sampai ke teori konspirasi. Saat kekacauan terjadi begini, staf wanita menyiapkan ponsel pintar agar siap memotret.

"Baiklah semuanya, apa kalian sudah siap? Aku akan memotretnya~!"

"Aku sudah siap dari satu miliar tahun yang lalu!"

"Kamu akan berubah menjadi fosil pada saat ini!"

Akane tampak sangat bersemangat. Kedengarannya seperti hidup Akane bergantung pada pemotretan tunggal ini, tangannya di tas bahunya, dan sedikit memiringkan kepalanya, memamerkan senyuman yang sempurna. Tepat pada saat itu, Saito menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Badut kucing yang memancarkan frekuensi jahat melingkarkan tangannya di pinggang Akane, perlahan-lahan menggerakkannya ke bawah menuju bokongnya.

"Menjauhlah darinya!" Saito menarik tangan Akane, menjauh dari badut itu.

Di saat yang sama, staf wanita memotret, menciptakan suara cekrik.

"Hei?! Mengapa kamu mengacaukan foto itu?!" Akane menyerang Saito.

"Karena bajingan kucing itu akan meraba-rabamu!"

"Hah?! Seekor kucing tidak akan pernah melakukan hal semacam itu!"

"Dia itu bukan kucing!"

"Dia itu kucing!"

Saat mereka berdua beradu mulut, badut kucing yang dimaksud itu mengangkat cakarnya tinggi-tinggi, mengeluarkan suara ngeongan yang keras.

"Lihat kan, dia itu kucing!" Akane menekankan.

Orang bodoh ini!

Keinginan untuk menampar habis badut kucing memenuhi Saito, tetapi karena Akane bertindak sebagai perisai di antara mereka berdua, itu tidak mungkin. Namun di belakang Akane berdiri badut kucing itu, jelas mengacungkan jari tengahnya ke arah Saito. Ia bahkan tidak berusaha menyembunyikan niat buruk dan perasaan irinya.

(TL Note: Badut doang bikin emosi!)

"Silakan diperiksa fotonya~." Staf wanita itu mendekati mereka dengan ponsel pintar di tangan.

Tampil di layar ada Saito dan Akane, yang berpegangan tangan dengan posisi yang sempurna tepat setelah foto itu diambil.

"A-Aku ingin mengulang fotonya!" Akane memohon dengan wajah merah padam, tetapi staff itu terpaksa untuk menundukkan kepalanya.

"Saya minta maaf, tetapi kami sangat ramai sekarang..."

"Ah…"

Antrean panjang telah terbentuk di sekitar monumen, semua pengunjung menunggu untuk berfoto. Tatapan mereka sangat menyakitkan, dan mereka sepertinya siap untuk melempar batu ke kelompok itu kapan saja. Terutama ke Saito.

"Oke…ini saja cukup…" Akane menghela napas dan berjalan menjauh dari monumen.

Melihat Akane begitu sedih, Saito merasa bersalah.

"Kamu tahu… maafkan aku. Kalau kamu tidak menyukai foto itu, kamu bebas menghapusnya."

"Aku tidak akan melakukan itu…Aku harus terus hidup dengan ingatan yang tidak akan pernah dapat aku hapus…" Akane menunjukkan senyuman yang bermartabat namun sama rapuhnya.

Mungkin aku seharusnya menyuruh om-om itu menyentuh bokongku saja?!

Saito meragukan pilihan yang ia buat. Belum lagi ia seharusnya tidak peduli walaupun om-om itu melakukan sesuatu pada Akane. Namun, Saito malah ikut campur begitu karena beberapa alasan.

"Astaga… Mau bagaimana lagi." Akane melihat foto itu, mengangkat bahu sambil meletakkan ponsel pintar di tas bahunya.

Akane tidak menunjukkan banyak amarah di luar itu benar-benar pemandangan yang langka.

"Hei hei, mari kita cepat  naik suatu wahana!" Maho menarik lengan Saito, dan Himari melihat peta taman.

"Di sana ada wahana air hutan. Ini adalah jenis arung jeram juga. Haruskah kita memeriksanya?"

"Bagaimana kalau kita basah?!" Akane bertanya dengan ekspresi serius yang mematikan.

"Kita akan berada di dalam perahu besar, jadi tidak masalah."

"Kita mungkin akan menabrak gunung es..."

"Ini bukan Titanic, oke."

"Seekor buaya dari hutan mungkin akan menyerang kita…"

"Jangan khawatir, mereka tidak akan punya buaya asli di hutan taman hiburan."

"Ayolah, ayolah, tidak usah takut, Mbak!"

"M-M-Mbak tidak takut sama sekali!" Kata Akane, jelas ketakutan, tetapi Maho tanpa henti mendorongnya ke belakang.

Dengan waktu yang tepat, sebuah perahu yang mampu memuat lima orang tiba di depan kelompok itu di peron. Kelompok sebelum mereka meninggalkan perahu sambil mengatakan hal-hal seperti 'Itu gila!' atau 'Aku pikir aku akan mati!'. Percikan air kali ini tampak cukup ekstrem karena membasahi rambut dan celana mereka.

"Apa aku…akan mati…?" Akane tampak khawatir akan nyawanya.

"Kamu tidak akan mati. Ini merupakan wahana yang sangat aman dan terkendali."

"Tunggu sebentar, aku akan mencari kecelakaan di masa lalu secara daring."

"Aku rasa kamu cuma akan semakin takut kalau kamu membacanya…?" Himari berkomentar.

"Pengunjung yang terhormat, kapal akan pergi tanpa kalian dengan kecepatan begini~!"

Didesak oleh staf, kelompok Saito yang terdiri dari lima orang itu naik ke atas kapal. Bergerak mengikuti aliran air, perahu menjauh dari peron, menyusuri sungai buatan. Untuk menciptakan rasa orisinal yang kuat, mereka menambahkan patung binatang seperti harimau atau jaguar di kedua sisi sungai. Beberapa buaya menjulurkan kepala mereka keluar dari sungai, menyemprotkan air ke udara.

"Abang, ada ikan. Banyak sekali ikannya." Shisei mengiler, mendorong tubuhnya keluar dari perahu.

"…Jangan terjatuh, oke?" Saito meletakkan Shisei di pangkuannya, dan menahan Shisei.

"Ikan yang bagus, untung Shisei bawa jala."

"Jangan mulai memancing di atraksi taman hiburan, oke."

"Shisei berhasil meraihnya dengan tangannya, maukah Abang menggigitnya?" Shisei mendorong makhluk kenyal dan bergerak (masih hidup), yang tidak tampak seperti ikan itu ke mulut Saito.

"Jangan dekatkan makhluk itu pada Abang!"

"Ahhhh."

Saito mengambil makhluk hidup itu dari Shisei, melemparkannya menjauh. Saito ingin menjauhkan segala kemungkinan bahaya dari keluarga dan teman-temannya. Di saat yang sama, Maho menarik lengan Saito.

"Mas, Mas! Ada gajah di sana yang melakukan senam kelompok sambil menari!"

"Mana mungkin ada…"

Saito berasumsi kalau itu cuma omong kosong karangan Maho lagi, tetapi saat ia melirik ke sana, ternyata benar. Sekelompok gajah sedang melakukan senam berkelompok sambil menari. Yang pertama, gajah berkepala tiga, lalu gajah berkepala dua, dan pada anak tangga terakhir di bawah mereka berdua ada gajah bermahkota, yang berdiri dengan kaki terbuka dan tangan bersilang, menggoyangkan pinggulnya dengan keras. Gajah di atas kelompok itu menggunakan belalainya sebagai penyiram air, menyemprotkannya ke mana-mana.

"Siapa yang merancang tempat ini?!"

Sebagai calon pemilik dan manajer, Saito merasakan dorongan kuat untuk mempertanyakan beberapa pengambilan keputusan di balik wahana ini. Entah membuat hutan tampak realistis, atau menjalankannya dengan membuat perasaan yang lebih fantastis, tetapi buatlah itu menjadi salah satu dari keduanya.

"Kita akan berakhir jatuh, bukan?! Kita pasti akan basah kuyup!"

"Itu membuatku ingat, mereka menjual jas hujan di pintu masuk... haruskah kita membelinya?" Himari mengemukakan sebuah ide.

"Sudah terlambat untuk itu!"

"Kita harus turun dari perahu ini!"

"Kalau begitu kalian pasti akan basah!" Saito mencengkeram pakaian Akane, menghentikan penyelamannya.

"Terserahlah! Mari kita semua basah! Ahoi!"

"Ahoi."

Maho dan Shisei mengangkat genggaman tangan mereka, saat perahu itu menabrak tepat ke area efek oleh alat penyiram. Percikan air yang lebih kuat dari yang diperkirakan menghantam perahu itu, membuatnya tidak seperti alat penyiram, dan lebih seperti tornado.

"Abang…mari kita bertemu lagi di suatu tempat…"

"Jangan mati di depan Abang!"

Shisei hampir terbawa oleh arus air, jadi Saito melakukan yang terbaik yang ia bisa untuk memeluk Shisei erat-erat. Maho dan Himari bersorak, dan Akane berteriak ketakutan. Itu benar-benar kekacauan di manapun kamu melihatnya.

"Siapa yang baru saja menyentuh bokongku?! Saito?!"

"Itu bukan aku! Aku tidak menyentuh siapapun!"

"Ah, itu aku!" Maho mengangkat tangannya.

"Kamu lagi!" "Kamu lagi!"

Di tengah semua kekacauan ini, dengan perahu yang bergetar hebat, tidak seorangpun yang punya waktu untuk melindungi diri mereka dari kemungkinan pelecehan seksual. Di depan semua kesenangan dan kegembiraan, umat manusia jadi tidak berdaya, dan begitu pula hukum. Pada akhirnya, mereka turun dari perahu sebagai orang yang basah kuyup di akhir perjalanan. Kemeja Maho menempel di kulitnya, memperlihatkan celana dalamnya di bawahnya. Tetesan air di bahu dan paha Maho menciptakan pesona yang aneh. Namun, Maho tidak menunjukkan penyesalan apapun, dan cuma menarik celananya sambil tertawa.

"Ahahaha! Itu tadi menyenangkan! Bahkan celana dalamku sampai basah kuyup!"

"Maho! Hati-hati dengan bahasamu!"

"Maksudku, itu memang benar, bukan? Bahkan celana dalam Mbak juga basah kuyup, iya kan Mbak?"

"Hentikan itu!" Akane mencoba menangkap Maho, tetapi dia terus kabur sambil cekikikan.

Saito mencoba yang terbaik untuk tidak melihat cewek-cewek yang basah kuyup, itulah sebabnya ia menjauhkan arah pandangannya. Namun, Akane tidak puas dengan upaya ini, dan tetap memelototi Saito.

"Jangan lihat ke sini! Sampai pakaian kami semua kering, kamu tidak boleh melihat!"

"Kalau begitu bagaimana caranya aku berjalan?!"

"Kamu bisa menggunakan suara ultrasonik, bukan?!"

"Memangnya aku bisa!"

Shisei mengangkat tangannya.

"Shisei bisa."

"Seriuskah?!"

Yang paling gila dari mereka semua itu Shisei yang mungkin benar-benar dapat melakukannya.

"Aku… tidak masalah walaupun Saito-kun melihat, kamu tahu…?" Himari bergumam malu-malu, menarik pakaiannya agar lebih menempel ke kulitnya, menekankan dadanya yang besar hingga tidak dapat diabaikan. Cara rambut Himari yang basah menempel ke pipinya juga cukup memikat.

Maho mendengar ini dan meletakkan jari-jarinya di dagunya.

"Ohh? Jadi Himarin mau muncul dalam mimpinya Mas sebagai penenang seksual?!"

"Hah?! Itu… aku akan senang kalau memang begitu.

"Himari mesum!"

"Ya ampun! Aku ini tidak mesum sama sekali!"

KuraKon-4-3-3

Maho dan Himari menyatukan tangan mereka, dan melompat-lompat. Sangat menyenangkan melihat kedua gyaru itu bersenang-senang, tetapi sebagai topik pembicaraan itu, yang Saito rasakan hanyalah rasa malu. Belum lagi Akane mengirimi Saito tatapan tajam dengan niat membunuh.

"…Orang mesum."

"Tetapi aku tidak melakukan apa-apa?!" Saito mengaku tidak bersalah dengan sekuat tenaga.

"Kamu mungkin punya mimpi yang mesum tentang aku, bukan?!"

"Jelas... bukan... begitu...?"

Itu memang terjadi sebelumnya. Namun, itu di luar kendali Saito, jadi ia berharap ada sedikit pengertian dari pihak Akane.

"Mengapa kamu meraba-raba kata-katamu sendiri begitu?! Seperti yang aku pikirkan…kamu mungkin membuatku mengenakan kostum kelinci di mimpimu, bukan?!" Akane mundur selangkah.

Fantasi Akane, seperti sebelumnya, masih di tingkat SD.

"Segitu saja seharusnya tidak apa-apa, bukan?!"

"Sama sekali tidak boleh! Aku melarangmu tidur mulai hari ini!!"

"Jangan konyol!"

Saito bukanlah seorang manusia super yang dapat hidup tanpa tidur. Kalau Akane melarang Saito dari tidur, itu pasti akan mempengaruhi kehidupannya di sekolah.

"Semuanya, mari kita coba wahana yang itu selanjutnya!" Maho menunjuk ke sebuah bangunan di dekatnya.

Itu merupakan bangunan kompak dengan atap yang berbentuk kubah. Dindingnya dipenuhi dengan gambar beruang kutub dan penguin, bertuliskan 'Rumah Es'.

"Kita akan… masuk ke dalam sana? Tertulis kalau ini merupakan dunia dengan suhu minus 30°C."

"Kita semua masih basah kuyup karena perjalanan di wahana hutan tadi, jadi kita mungkin akan mati kedinginan saat ini, kamu tahu…?"

Baik Saito maupun Himari ragu-ragu.

"Kalian berdua ini benar-benar tidak mengerti, ya! Ini seru karena kita kedinginan!"

"Apanya yang seru dari melakukan itu ?!”

"Terserahlah, terserahlah~ Mari kita kedinginan, semuanya!" Maho menarik semuanya.

Maho kemungkinan besar sangat suka pergi ke taman hiburan, karena dia bahkan lebih bersemangat dari biasanya, tidak dapat menahan diri. Mereka berjalan melalui pintu plastik yang tembus pandang ketika mereka terkena gelombang udara yang dingin. Pakaian mereka yang basah segera mengeras. Bagian dalam gedung terbuat dari dinding balok es, dan jalannya hampir seperti labirin. Beberapa patung es menampilkan Sinterklas, rusa kutub, atau beruang kutub. Maho menggerakkan telapak tangannya ke sepanjang dinding es.

"Lihat, lihat, Mbak! Tanganku menempel ke dinding!"

"Hentikan itu! Kamu tidak akan dapat melepaskannya!"

"Kalau begitu aku dapat melepaskan kulitku!"

"Apa kamu yakin mau begitu?!" Akane dengan hati-hati menjauhkan Maho dari es.

Akane menyatukan tangannya dengan tangan Maho, seperti sedang memegang kaca, dan menggosoknya sebaik mungkin.

"Apa kamu baik-baik saja? Kamu tidak terluka di manapun, kan? Apa kamu merasakan sakit?"

"Aku baik-baik saja, kok~! Mbak hanya terlalu khawatir!" Maho tertawa dengan sepenuh hati, dan berjalan ke depan.

"Astaga..." Akane menghela napas.

Saito melihat ini dari samping, dan menekankan kekaguman.

"Kamu itu benar-benar kakak yang baik, ya."

"Apa? Apa kamu menyerang kepribadianku?"

"Aku tidak, kok! Mengapa kamu berpikir begitu?!"

Akane menyipitkan matanya, dan menatap Saito.

"Kita akan bertemu di pengadilan."

"Kedengarannya seru, tetapi tolong jangan ada tuntutan hukum."

"Kalau begitu aku akan memberimu penilaian di sini, sekarang juga."

"Aku rasa kalau itu akan menjadi hukuman mati."

"Tepat."

"Tolong jangan."

Sekali lagi, dari lubuk hatinya, Saito senang karena Jepang merupakan negara dengan pemerintahan konstitusional. Kalau pemerintahan diserahkan kepada iblis seperti Akane, Saito pasti sudah mati sepuluh kali lipat  sekarang.

"Hei… Ke mana Shisei-chan pergi…?"

Mendengar kata-kata Himari, Saito dan Akane sama-sama berhenti.

"Sekarang kalau dipikir-pikir... aku belum melihatnya lagi untuk beberapa lama..."

"Mungkin dia baru saja pergi?" Saito menatap Akane.

"Aku berjalan di depan sepanjang waktu ini!" Maho berbalik arah.

"Kita semua memasuki tempat ini bersama-sama, bukan?"

"Iya, aku rasa dia tepat di sebelah Saito-kun."

Akane menyilangkan tangannya, menunjukkan wajah seorang detektif saat dia mulai menyimpulkan.

"Ada juga kemungkinan kalau dia dimakan oleh beruang kutub…"

"Tidak, itu tidak mungkin."

"Itu bisa saja, bukan?! Beruang kutub kan makan daging, ingat?!"

"Mana mungkin. Mereka tidak punya beruang kutub sungguhan di sini." Saito segera merusak suasana hati detektif Akane.

Kalau memang ada area pemeliharaan untuk beruang kutub di sini, akan ada korban terus-menerus dengan pengunjung.

"Shisei! Kamu ada di mana?! Shisei!" Saito berteriak, tetapi cuma keheningan yang kembali sebagai jawaban.

Himari menjadi pucat.

"Jangan bilang... apa dia akhirnya tersesat...?"

"Di ruangan sempit ini?!" Saito mengeluarkan ponsel pintarnya, hendak menelepon Shisei.

"Ah! Di sana! Itu Shii-chan!"

Maho menunjuk ke suatu arah, memperlihatkan Shisei yang telah pingsan di depan tali sudut pameran. Seperti sebuah boneka, Shisei bahkan tidak berkedip, anggota tubuhnya terentang, dam membeku kaku. Rambut panjangnya sudah mulai membeku di lantai, membuatnya terlihat seperti roh es. Di belakangnya berdiri patung es Sinterklas, mulutnya terbuka saat ia tertawa.

"Bertahanlah!"

Saito menarik Shisei dari lantai es, yang menciptakan suara pecahan es. Dengan bibir yang pucat, Shisei bergumam.

"Pembunuhnya... itu Sinterklas ini..."

"Abang akan segera mencairkanmu!" Saito membawa Shisei keluar dari labirin es, dan meninggalkan gedung.

Saito meletakkan Shisei di bangku yang terkena banyak cahaya matahari, lalu es di tubuh Shisei mulai mencair. Shisei akhirnya dapat bergerak lagi, dan meregangkan setiap bagian tubuhnya.

"Abang benar-benar membantu Shisei di sana. Aku ingin makan es, dan berbaring lalu aku membeku di lantai."

"Abang juga berpikir kamu akan melakukan itu..."

"Aku makan es sebelum aku benar-benar beku."

"Kamu pasti kuat."

Bahkan setelah menjadi siswi SMA, Shisei masih terlalu berbahaya untuk ditinggal sendirian. Saito sepenuhnya mengerti bagaimana perasaan Akane dalam menjaga Maho. Setelah Rumah Es, mereka selanjutnya pergi ke kereta luncur (rollercoaster). Saito memang tidak terlalu nyaman dengan itu, tetapi setidaknya itu lebih baik daripada yang dilakukan oleh sopir pelayan Shisei. Tidak seperti wahana sensasi yang sangat aman ini, duduk di mobil itu sebenarnya dapat mengancam jiwa.

"Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku dan Mbak naik kereta luncur! Aku tidak sabar ingin naik lagi!"

"Iya…Mbak juga tidak sabar…" Akane diseret oleh Maho, tidak menunjukkan sedikitpun rasa gembira dalam ekspresinya.

Kaki Akane gemetaran, seperti akan dipenggal guillotine.

"Wuhu! Baris pertama terbuka! Mari kita duduk di sini! Kita benar-benar beruntung!"

"Mbak merupakan orang yang paling beruntung di dunia ini..." Akane tampak seperti dia akan mati sebentar lagi, dengan Himari ada di belakangnya, dan satu baris di belakang mereka ada Saito dan Shisei.

Saito terlalu khawatir dengan Shisei untuk meninggalkannya sendirian, jadi ia harus menjaga Shisei.

"Abang, aku lapar..."

"Setelah kita turun, Abang akan membelikanmu curo, oke."

"Sudah beli nih. Cuma tinggal dimakan kalau begitu."

"Mari kita makan itu setelah kita turun, oke!" Saito memasukkan curo itu kembali ke saku Shisei setelah dia mencoba mengeluarkan curo itu.

"Dapat menikmati pemandangan indah sambil makan merupakan salah satu kenikmatan hidup."

"Kamu tidak akan punya waktu untuk menikmati pemandangan. Dilarang makan selama perjalanan."

"Shisei cuma akan memasukkan curo itu ke pipiku, dan menelannya setelah turun."

"Apakah kamu ini sejenis hamster?"

Saat mereka berdua mengobrol, kereta mulai bergerak. Itu bergerak ke puncak dan berhenti total dengan suara metal. Tepat setelah itu, kereta luncur itu meluncur ke bawah. Tidak lama kemudian mereka merasakan kaki Saito melayang, dan perasaan tidak nyaman yang aneh karena organ-organmu bergerak. Himari dan Maho menjerit. Shisei tidak menunjukkan reaksi apapun, cuma mengobrol dengan Saito.

"Mereka rupanya menjual taiyaki yang asli di sini. Bagian dalamnya terbuat dari okonomiyaki, menggunakan saus yang rasanya seperti makanan laut."

"Jangan mencoba melanjutkan obrolan santai di sini!"

"Mengapa? Shisei ingin mengobrol banyak dengan Abang."

"Pikirkan sikon-nya dulu sebelum itu!"

Tidak seperti Shisei, yang terbiasa dibawa berkeliling oleh pelayan gila itu, Saito membutuhkan segalanya untuk menghadapi pengalaman kereta luncur ini. Karena Saito lebih menyukai perdamaian daripada perang, ketenangan daripada pertempuran, ia tentu saja tidak menyukai wahana semacam ini. Kalau bisa, Saito lebih suka membaca buku di hutan, dan mengonsumsi beberapa protein. Bahkan Akane, yang tampak ketakutan sebelum menaiki kereta ini, tidak berteriak sedikitpun. Akane cuma duduk tegak di bangkunya, selalu menjadi yang pertama yang melayang ke bawah.

Mungkin Akane benar-benar jago dalam hal ini?

Saito menganggap hal ini sebagai hal yang tidak terduga, lalu dia bersiap untuk menuruni jalur berikutnya. Melanjutkan beberapa putaran, kereta itu mencapai garis finis. Setelah dampak yang lebih besar, kereta itu berhenti total.

"Ahhh, itu terasa luar biasa~."

"Ini yang terbaik di kala kamu ingin menghilangkan stres~."

Maho dan Himari tampaknya merupakan pengunjung tetap dalam urusan kereta luncur ini, menuju ke pintu keluar dengan senyuman yang cerah. Shisei acuh tak acuh seperti sebelumnya, mengeluarkan curo itu dan mengunyahnya. Di saat yang sama, Akane tidak bergerak sedikitpun.

"Tunggu, apa dia ingin melakukan putaran kedua setelah ini…?" Saito mendekati Akane, menatap wajahnya.

Di sana, Saito melihat Akane dengan mata tertutup, menunjukkan ekspresi damai.

"Akane pingsan?!" Saito berteriak, sehingga Akane perlahan membuka matanya, melihat sekelilingnya dengan tatapan yang bingung.

"Oh, kita bahkan belum berangkat?"

"Belum lagi dia kehilangan ingatannya!?"

“Jangan berdiri begitu, masuklah, Saito. Sesuatu semacam ini sama sekali tidak menakutkan. Naik kereta luncur ini semudah membuat sarapan." Akane berlagak tangguh, lalu Saito berjuang keras untuk menahan air mata.

"Akane…pertarungannya telah berakhir…"

"Pertarungan? Apa yang kamu bicarakan? Menaiki kereta luncur itu semudah menaiki sepeda roda tiga. Aku ini tipe cewek yang tidak punya masalah dengan kereta luncur!"

"Aku mengerti…Aku mengerti, jadi mari kita pergi…" Saito menyeret cewek yang bisa saja menaiki kereta luncur itu menuju pintu keluar.

Bahkan staf yang menyaksikan pertukaran ini terjadi menyeka mata mereka, mengatakan 'Em, mungkin akan lebih baik baginya untuk tidak naik kereta luncur sesering itu…' dan Saito mengangguk dalam diam, mengambil keputusan kalau ia tidak akan membuat Akane memaksakan dirinya begitu sampai begini lagi.

"Mari kita coba ini selanjutnya!"

"Kamu masih belum puas, ya?!" Perasaan jujur Akane tumpah tepat saat Maho mulai berjalan.

Wahana yang Maho tunjukkan saat ini jauh lebih jinak daripada kereta luncur. Itu merupakan Komidi Putar dengan gondola yang terpasang, perlahan membentuk lingkaran.

"Katanya kita cuma bisa naik berempat, tetapi bagaimana kita membagi kelompoknya?" Himari bertanya, dan Akane mengangkat tangannya.

"Ah, kalau begitu aku akan menunggu kalian di sini saja. Kalian bisa pergi tanpa aku—"

"Tidak, Mbak! Mbak harus ikut dengan kami! Aku tidak ingin meninggalkan Mbak." Maho berkata dengan ekspresi serius, dan membentuk kepalan tangan.

"Erk…Terima kasih…Maho…"

"Astaga, jangan menangis karena ini, Mbak! Inilah yang dapat diharapkan dari adik Mbak!" Maho dengan malu-malu mengangkat bahunya.

Namun, Saito dapat dengan mudah menebak kalau air mata ini tidak keluar karena kegembiraan dan emosi, melainkan dari ketakutan dan kesedihan yang sederhana.

"Baiklah, mari kita berpisah dalam kelompok kalau begitu!"

Mereka melakukan suten singkat dengan hasil akhir, Maho, Himari, dan Shisei berakhir dalam satu kelompok, dan Saito dengan Akane di kelompok yang lain, menjadikannya kelompok yang beranggotakan tiga dan dua orang. Setelah memasuki gondola, Akane menyatukan ujung sandalnya, tidak bergerak satu milimeterpun dari tempat dia duduk. Meskipun mereka tidak banyak bergerak dari permukaan, Akane mungkin berpikir kalau dia akan kalah kalau dia melihat ke permukaan, karena Akane terus menatap ke arah langit.

"Kamu itu… benar-benar buruk dalam hal-hal semacam ini, ya?" Saito mulai benar-benar merasa kasihan.

"A-Aku baik-baik saja! Aku cuma tidak bisa fokus saja pada hal ini! Pergi dari titik A ke titik B dan menggunakan listrik, itu buruk bagi lingkungan."

"Kok kamu tiba-tiba berubah menjadi pemerhati lingkungan, ya."

"Ini salah kita umat manusia karena membuat hal semacam itu! Akar dari semua kejahatan itu adalah umat manusia… Andai saja manusia itu tidak ada…" Akane mulai terdengar seperti bos terakhir dari kelompok lingkungan.

Akane tidak punya niat untuk menjadi jujur, jadi Saito harus menggunakan metode yang kuat.

"Sebagai perwakilan dari umat manusia yang jahat ini, izinkan aku membagikan kisahku ketika Komidi Putar itu berhenti di udara. Itu terjadi ketika aku dan Shisei masih berusia enam tahun, saat gondola mencapai ke bagian atas, dan—"

"Hentikan itu!!" Akane menutup telinganya.

Akane menempelkan punggungnya ke dinding, dan memeluk lututnya, lalu dia masuk ke mode pertahanan, dan mengakui segalanya.

"Itu benar! Baik itu kereta luncur, Komidi Putar, aku tidak dapat menangani banyak wahana! Bunuh saja aku! Dan selesaikan itu!"

"Aku tidak akan membunuhmu…"

"Jadi, kamu ingin aku menurunkan kewaspadaanku dan kemudian mendorongku keluar dari Komidi Putar ini, begitu! Selamatkan akuuu! Seseoraaaang!"

Pertama, Akane ingin dibunuh, sekarang dia malah memohon untuk diselamatkan, dia benar-benar terbelah di antara dua pilihan itu. Tetapi mungkin, Akane juga bingung dengan dirinya sendiri.

"Tenang, tidak akan ada yang datang meskipun kamu berteriak, dan kita akan segera kembali ke permukaan."

"Komidi Putar ini tidak begitu nyaman untuk dibangun dengan tujuan itu!"

"Tentu saja nyaman. Kalau kamu memang seburuk itu dengan taman hiburan secara umum, mengapa kamu setuju untuk bergabung?" Saito bingung.

Akane menunjukkan ekspresi terganggu, dan memalingkan wajahnya.

"Aku ingin… membuat Maho bahagia."

"Benar-benar Siscon."

"Jangan mengejekku."

"Aku tidak mengejekmu, kok."

Mengikuti kereta luncur yang membuatmu pingsan cuma karena mau membuat orang lain bahagia, sebenarnya itu sesuatu yang sangat mengagumkan. Terlebih lagi, mempertimbangkan kalau ini Akane, yang takut akan segalanya.

"Cewek itu menyukai hal-hal seperti taman hiburan atau festival, apapun yang akan memberinya banyak kesenangan. Dan, dia lebih suka pergi dalam sekelompok orang. Mungkin karena dia selalu sendirian, dan terbaring di ranjang."

"Mundur ke masa lalu, ya…"

"Maho telah melalui banyak hal, itulah sebabnya aku ingin membuatnya bahagia sebaik mungkin." Akane menggigit bibirnya seakan-akan dia sedang menghidupkan kembali kenangan yang pahit itu.

Bagi Akane, rasa sakit adiknya harus sama dengan rasa sakitnya sendiri. Itulah betapa Akane peduli dengan Maho, membuat Saito merasa iri karena suatu alasan.

"Tetapi, aku rasa kamu tidak perlu memaksakan dirimu sebanyak ini. Kamu dapat menyerahkan Maho pada kami, dan—"

"Maho sudah sejauh ini, dan sekarang dia akhirnya dapat kembali ke Jepang. Itu merupakan mimpi Maho untuk bepergian ke luar Jepang, jadi aku ingin dia bebas, tetapi…aku kesepian. Setidaknya saat dia ada di rumah, aku ingin bersamanya sesering mungkin." Akane mengangkat bahunya sambil tersenyum.

Biasanya, Akane memang menonjol karena kelebihannya, tetapi hari ini dia benar-benar seperti seorang kakak. Namun, wajah Akane pucat, dan lututnya gemetaran. Bahkan saat mereka berdua mengobrol, Akane berusaha sekuat tenaga untuk tidak melihat ke arah bawah. Saito memperhatikan cewek itu, tidak mampu menahan senyuman masam.

"Haruskah kita berpegangan tangan?"

"Hah?! Me-Mengapa tiba-tiba begitu?! Jangan mencoba melakukan hal-hal aneh hanya karena kita sedang berduaan saja!"

"Aku rasa kamu tidak akan terlalu takut kalau kita berpegangan tangan."

"U-Urus saja urusanmu sendiri…" Akane cemberut, tetapi masih dengan enggan menerima tangan Saito.

KuraKon-4-3-4

Ketika Saito memegang tangan Akane dengan erat, ia dapat merasakan Akane gemetar lebih sedikit dari sebelumnya.

Kamu selalu berusaha terlalu keras.

Sambil merasakan telapak tangan lembut Akane di dalam telapak tangannya sendiri, Saito melihat ke luar jendela. Gondola yang mereka naiki mencapai puncak, membuatnya tampak seperti berdiri diam. Orang-orang di tanah tampak seperti semut kecil, memenuhi bumi di bawah mereka. Saito mendengar napas samar Akane. Akane menutup matanya, dan menyerah pada Saito.

Meskipun dia sangat imut saat dia tetap tenang…

Melihat musuh bebuyutannya sangat tidak berdaya, Saito tidak dapat menahan diri untuk tidak terpesona. Waktu damai yang singkat di antara mereka itu terasa sangat memuaskan, Saito mendapati dirinya berharap kalau waktu berhenti sepenuhnya. Bahkan sebelum menyadarinya, gondola sudah kembali ke permukaan. Dengan suara pintu terbuka, mata Akane terbuka. Akane dengan panik menarik tangannya dari Saito, menyerbu keluar dari gondola sampai dia hampir jatuh. Karena itulah, Himari memiringkan kepalanya.

"Hah? Akane, apa kamu baru saja berpegangan tangan dengan Saito-kun?"

"A-Aku tidak, kok! Mana mungkin aku melakukan itu dengan Saito!"

"Oke…Kamu tahu, itu jelas tampak seperti itu."

"Mana mungkin! Tanganku akan membusuk!" Akane berteriak, wajahnya semerah tomat.

Saito ingin protes pada bagian terakhir itu, tetapi akhirnya menyimpannya untuk dirinya sendiri. Saito cuma menganggap Akane lucu untuk sesaat, jauh di lubuk hati, mereka itu masih musuh bebuyutan. Saito cuma tertipu sementara karena kecantikan Akane. Di saat yang sama, Maho berpegangan pada lengan Akane.

"Mbak, Mbak, mari kita periksa wahana rumah hantu selanjutnya! Ini terkenal sebagai wahana rumah hantu paling menakutkan di seluruh dunia!"

"Di seluruh dunia?!"

"Itu benar! Mereka menyewa para profesional, jadi ketika kalian masuk, ada peringatan kalau kalian mungkin akan pingsan dan tidak akan bangun selama dua pekan ke depan! Aku sangat menantikannya!"

"…………" Mulut Akane membuka dan menutup seperti dia mengalami hiperventilasi, lalu dia melirik ke Saito.

Tatapan Akane langsung berteriak 'Selamatkan aku'. Walaupun mereka itu musuh bebuyutan, Saito tidak dapat meninggalkan Akane begini.

"Akane bilang kalau dia punya sesuatu untuk diurus, jadi Mas yang akan memeriksa rumah hantu bersamamu."

"Sesuatu yang harus diurus? Apa itu?"

"Em…itu…kamu tahulah, belajar."

"Aku rasa Mbak dapat melewatkan itu sekarang! Kita sedang berada di taman hiburan, Mas tahu?!"

"Sebagai pekerja keras dia, Akane itu punya gejala sarak kalau dia tidak cukup belajar dalam sehari. Akane akan menyerang orang secara acak."

"Mbak, sejak kapan Mbak…" Maho menatap Akane dengan sedih dan kasihan.

"Ba-Baiklah, kalau begitu mari kita pergi. Sampai jumpa lagi, Akane."

"Cobalah untuk tidak melakukan pembunuhan apapun, oke."

Himari dan Shisei juga mengucapkan selamat tinggal pada Akane.

"Terima kasih…"

Atau begitulah yang Akane katakan, tetapi tatapannya berteriak 'Aku akan membunuhmu 3000 kali lagi nanti!'. Saito ingin mendapatkan beberapa poin bonus dari Akane, tetapi karena ia tidak dapat menemukan alasan yang tepat, itu tampaknya cuma akan menjadi bumerang.

"Mau bagaimana lagi kalau begitu, aku akan membiarkan Mas yang mengambil alih~ Lagipula, aku ini orangnya toleran!"

"Kamu ini benar-benar terdengar sombong."

"Cuma bercanda, bercanda! Mari kita banyak bermesra-mesraan!"

"Mas tidak terlalu yakin kalau kita punya waktu untuk melakukan itu jika kita pingsan..."

Maho dan Saito memasuki rumah hantu itu bersama-sama. Bagian dalamnya ditutupi oleh kegelapan, memungkinkanmu untuk cuma melihat beberapa meter ke depan. Beberapa tangan putih muncul dari dinding, gemetaran seakan-akan itu nyata. Bahkan ada beberapa suara erangan yang samar yang dapat terdengar. Cuma cahaya kecil yang tampak di depan jalan. Noda darah bersinar dalam cahaya, mewarnai kedua sisi jalan itu. Dari dalam datang bayangan mendekat, tangan terbuka untuk menyerang mereka berdua. Bau busuk dan tekanan yang kuat bertiup ke arah mereka.

"Ada yang datang! Ini buruk! Lakukan sesuatu tentang itu!"

"Apa yang harus Mas lakukan tentang ini?!"

"Mas akan jadi umpan dan biarkan aku melarikan diri!"

"Kamu saja deh yang jadi umpan!"

"Apa Mas tahu kerugian macam apa yang akan dialami dunia kalau seorang cewek imut sepertiku meninggal dunia?!"

"Akan lebih memalukan kalau dunia kehilangan otak Mas!"

"Mas itu kan masih bisa menumbuhkan otak dari tanah, jadi tidak masalah!"

"Memangnya kamu bisa! Itu terlalu menakutkan."

Saito dan Maho mendiskusikan nilai mereka pada dunia meskipun dalam situasi yang mengerikan. Meskipun mereka ingin melarikan diri, mereka menggunakan kesempatan mereka dan berdiri di tempat. Akhirnya, bayangan itu semakin dekat, dan menyerang mereka.

"Kishaaaaaaaaaaa!"

""………""

Mereka menatap bayangan hitam itu. Kedua bola matanya hampir jatuh dari rongga matanya, tubuhnya membusuk di mana-mana, menyerupai zombi biasa.

"Kishaaaaaaaaaaa!"

""………""

"Guhaaaaaaaaaaa!" Zombi itu mengayunkan satu bola matanya, meludahkan cairan ungu.

"Woah, ini dibuat dengan sangat bagus!" Maho bersorak-sorai, membuat zombi itu bingung. "Hei, hei, Mas, aku belum pernah melihat zombi yang begitu realistis sepertinya!"

"Seperti yang aslinya ya... Tidak Mas sangka kalau itu bisa diludahkan begitu..." Saito mengamati zombi itu dengan cermat.

Itu merupakan musuh yang umum dalam gim, tetapi melihatnya dari dekat terasa segar bagi Saito. Maho meniru zombi itu, dan mengangkat kedua tangannya.

"Kishaaaa! Tadi itu akting yang bagus!"

"Dilakukan dengan sempurna. Itulah yang Abang suka lihat dari pengelolaannya." Saito berpendapat dari sisi pengelolaan.

"Tolong beri aku tanda tanganmu! Dan biarkan aku berfoto denganmu!" Maho mendekati zombi itu, menunjukkan tanda damai.

Mereka bertiga berdiri bersama, berswafoto. Dengan kilatan lamu kamera, dinding berwarna merah darah menyala.

"Waaaaaaah…" Zombi itu sendiri menangis dan berlari kembali ke tempat asalnya.

(TL Note: Langsung down, zombinya.)

"Tidak melupakan aktingnya dalam perjalanan kembali... seorang profesional memang begitu."

"Meskipun itu juga terdengar seperti ia menangis sungguhan..."

Saito menyesal karena tidak bertingkah lebih takut lagi dari itu, tetapi itu merupakan musuh yang familiar dari gim yang biasa ia mainkan, jadi ia cuma bisa bilang padanya "Sampai jumpa lagi!". Tidak lama kemudian, Saito dan Maho melanjutkan perjalanan mereka melewati rumah hantu itu.

"Mas! Ada kepala yang terpenggal! Itu terbang ke arah kita! Sangat menggemaskan!"

"Mas tidak melihat senar piano, jadi Mas penasaran bagaimana bisa mereka melakukannya… Mas tertarik dengan pengaturannya."

"Wah! Aku menginjak sesuatu! Itu mayat!"

"Hmm…dilihat dari kondisinya, dia mungkin meninggal sekitar dua hari yang lalu…"

"Oh! Lihat semua boneka itu berjalan-jalan!"

"Mengapa ada boneka Barat dan Jepang yang dicampur di sana? Setidaknya buatlah konsepnya yang jelas dari awal."

Sambil mendiskusikan ini dan itu dari rumah hantu, rasanya kurang seperti upaya melarikan diri, dan lebih seperti jalan-jalan. Meskipun ini seharusnya menjadi rumah hantu paling menakutkan di dunia, tidak ada satupun dari mereka merasakan ketegangan.

"…Apa kamu yakin kalau kamu mesti berjalan melewati rumah hantu dengan sikap begitu?"

Tanpa ditakuti, rumah hantu itu terasa seperti hanya kediaman yang sederhana.

"Ehh? Mengapa? Aku memang suka rumah berhantu, kok, dan aku suka melihat reaksi ketakutan dari orang-orang yang berjalan-jalan denganku!"

"Perundungan yang tidak terduga macam apa ini!"

Maho mengangkat dagunya, memutar-mutar jari telunjuknya.

"Ini sama sekali bukan perundungan, ini cinta murni! Mendapati seorang cewek yang ketakutan menempel padamu dalam ketakutan itulah yang terbaik, bukankah begitu?"

"Mas tidak tahu apa yang kamu bicarakan."

"Baiklah, baiklah, itulah sebabnya Mas masih perjaka~."

"Kamu itu dara..."

Saito digoda dengan lagu improvisasi, sekarang menarik pipi Maho. Saito memang tidak masalah dengan menjadi perjaka, tetapi dipanggil begitu berulang kali membuatnya kesal.

Mungkin aku harus meninggalkannya sendirian di rumah hantu ini untuk memberinya pelajaran? Tidak, dia mungkin tidak akan menerima banyak kerusakan dari hal itu...

Saat Saito sedang berpikir, Maho tiba-tiba berjongkok, meletakkan tangannya di lantai, lalu bahunya naik turun, dan terengah-engah.

"Ada apa?"

"Mm…Aku tiba-tiba merasa tidak enak badan…Mungkin aku terlalu bersenang-senang hingga kelelahan menyerangku…"

"Kamu akan baik-baik saja?"

"Aku rasa aku tidak dapat berjalan sendiri… Gendong aku…" gumam Maho dengan suara yang hampir menghilang.

Hanya beberapa detik yang lalu, Maho masih penuh dengan tenaga, jadi tiba-tiba 180 derajat membuat Saito bingung.

"Mau bagaimana lagi. Naiklah." Saito berjongkok di depan Maho, punggungnya menghadap ke arah Maho.

Maho melingkarkan lengannya di leher Saito, menempel padanya dengan kekuatan yang nyaris tidak ada. Saito meletakkan tangannya di paha Maho, mendorong tubuhnya. Sensasi lembut paha telanjang Maho langsung tersampaikan ke tangan Saito, saat paha itu menempel padanya. Aroma wangi melayang dari Maho, menutupi Saito seluruhnya.

Menggendong Maho di punggungnya, Saito berlari menuju pintu keluar. Sebelumnya, Saito mesti menggendong Akane yang sakit-sakitan melewati hujan ke rumah sakit. Dibandingkan dengan itu, Maho terasa lebih ringan. Lengan dan kaki Maho terasa sangat kurus, dan napasnya semakin melemah sehingga membuat Saito benar-benar khawatir. Setelah meninggalkan rumah hantu, terik matahari membuat Saito merasa pusing sejenak.

"Seharusnya ada tempat beristirahat di dekat sini…gendong aku ke sana." Maho menunjuk ke sebuah bangunan di kejauhan.

Di bawah atap berwarna krem bangunan itu ada papan reklame, yang bertuliskan 'Ruang istirahat'. Bergerak melalui pintu masuk, beberapa sofa sudah menunggu, dengan karpet yang padat di lantai. Karena ini terletak di sudut taman, tidak ada seorangpun kecuali Saito dan Maho yang ada di situ. Saito dengan hati-hati menurunkan Maho ke sofa. Maho menutupi matanya dengan lengan rampingnya, dan terengah-engah. Kaki Maho jatuh ke sofa, mengangkat kain celana pendeknya. Saito memanggil Maho.

"Apa kamu butuh obat? Mas akan menelepon Akane, jadi—"

"Haha cuma bercanda! Aku cuma ingin Mas menggendongku~!" Maho melompat, melompat-lompat ke arah Saito.

"Ap…? Bercanda…?"

"Terjatuh ke dalam jebakan bahkan untuk kebohongan yang sederhana seperti ini, itu sebabnya Mas masih perjaka~!" Maho tertawa.

Tampaknya sangat lucu sehingga Maho mulai menangis, menusukkan jarinya ke pipi Saito. Namun Saito tidak merasakan hal yang sama, karena amarah mulai naik dari dalam perutnya.

"Jangan pura-pura sakit! Mas khawatir padamu!"

"…Hah? Khawatir…? Padaku?" Maho tampak bingung.

"Tentu saja! Walaupun itu cuma lelucon, ada hal-hal yang boleh dan tidak boleh kamu lakukan! Bagaimana kalau Mas tidak akan mempercayaimu jika kamu benar-benar jatuh sakit? Bagaimana kalau ambulans datang terlambat? Maka semuanya akan berakhir karena satu lelucon bodoh ini!"

"Ma-Mas tidak perlu semarah itu…"

"Tentu saja Mas akan begitu. Dan Mas akan terus marah sampai kamu memahaminya."

"Erk… Lihat, lihat! Aku baik-baik saja, kan!" Maho berputar-putar di depan Saito.

Karena Maho tiba-tiba bangun begitu, kakinya masih goyah, lalu dia terjatuh ke arah Saito, yang menghela napas panjang.

"Pokoknya, tidak ada lagi lelucon yang begini, oke?"

"…Yep, maafkan aku." Maho menundukkan wajahnya.

Daun telinga Maho berubah warna menjadi merah cerah.

KuraKon-4-3-5


Setelah berjalan di sekitar taman hiburan lagi, ketika mereka kembali ke rumah, di luar sudah gelap gulita. Akane langsung jatuh ke sofa dengan pijakan yang tidak stabil.

"Aku lelah… Aku ingin tetap di rumah selama sepuluh tahun ke depan…"

"Bertaruh."

Akane melakukan yang terbaik untuk memenuhi semua keinginan Maho, meskipun Saito tidak mengatakannya dengan lantang. Setelah kejadian di rumah hantu, mereka diseret ke sekitar ruang bersepeda, ayunan 360°, teater, dan wahana lain yang merangsang, serta melelahkan, sehingga membuat Akane berteriak setiap saat.

"Aku masih belum cukup bersenang-senang! Aku menemukan gim yang menarik, jadi mari kita mainkan bersama!" Maho mengangkat paket gim dengan zombi yang digambar di bagian depan.

"Mungkin…lain kali saja…" Akane terbata-bata, tampak seperti habis dibangunkan oleh seorang anak pada hari Minggu pagi.

Akane bahkan tidak punya waktu untuk menutup ide itu sepenuhnya karena dia sangat lelah.

"Aku akan menyiapkan makan malam untuk malam ini."

"Apa kamu mencoba untuk membunuhku?!"

Saito cuma ingin menunjukkan kebaikannya yang jarang-jarang, akan tetapi mata Akane terbuka lebar karena terkejut.

"Apa maksudmu?"

"Kamu mungkin kepikiran untuk membuat bubur nasi dengan ditambah banyak protein, bukan?"

"Apa ada yang salah dengan itu?"

"Jangan beri aku tatapan bingung begitu! Rata-rata manusia manapun tidak akan mengonsumsi protein sebanyak ini di malam hari!"

"Kedengarannya cukup subjektif bagiku. Menurut perhitunganku, ada setidaknya setengah dari semua orang yang mengonsumsi protein saat makan malam."

"Tidak ada lagi bubur nasi…" Maho mulai gemetaran.

"Dan tidak ada protein…" Akane mengerang.

"Seburuk itu kah?"

Ditolak oleh kedua kakak beradik itu, Saito terpaksa mengambil pendekatan baru. Saito percaya kalau makanan apapun itu makanan yang baik, tetapi juga akan sia-sia untuk meninggalkan makanan yang dapat dimakan dengan sempurna.

"Tidak terlalu cocok dengan seleraku, tetapi…Aku dapat membuat kare dengan jagung, wortel, paprika hijau, dan beberapa daging cincang. Tanpa protein tentu saja. Apa kalian tidak masalah dengan itu?"

"Benar-benar puas! Kamu seharusnya buat itu dari awal!"

"Itu bukan hidangan yang seimbang."

"Setidaknya itu lebih baik daripada bubur nasi dengan protein!"

"…Sepertinya begitu."

Meskipun mereka berkelahi berdasarkan pendapat mereka lagi, itu cuma akan membuat mereka berdua lebih lelah. Mungkin tidak pada tingkat Akane, yang dipaksa melewati semua wahana di taman hiburan, tetapi Saito sendiri kelelahan.

"Mas, apa kepala Mas…?"

"Itu benar, kepalanya..."

Saito mengabaikan kakak beradik kasar yang berbisik di belakang punggungnya, dan langsung memasak. Saito menambahkan beras dan air ke penanak nasi, menyalakan tombol masak cepat. Saito tidak repot-repot mencuci beras, karena jumlah nutrisi akan turun selama tindakan itu. Saito memang belum pernah melihat jagung atau paprika hijau ditambahkan ke dalam kare, tetapi ia membaca di sebuah buku kalau semakin banyak warnanya, semakin seimbang gizi makanannya.

Tentu saja, tidak ada perasa, karena itu tidak masuk akal. Walaupun kamu menyesuaikan rasanya, tingkat makanannya tidak akan berubah, dan Saito juga tidak akan tahu bagaimana cara melakukannya. Saito menaruh kepercayaan penuh pada kekuatan bubuk kare Jepang. Setelah sekitar tiga puluh menit, kare kelas atas yang efisien selesai dimasak, disajikan di atas meja.

"Ini…rasanya seperti nasi kare…!"

"Itu karena itu memang nasi kare."

"Tidak ada rasa protein dan suplemen yang tersisa! Ini... merupakan hidangan yang normal! Saito, kamu akhirnya berhasil memasak sesuatu yang normal!" Akane benar-benar menangis.

"Aku selalu tahu caranya memasak, oke. Saat masih SD, aku selalu memasak ramen gelas instan."

"Iya, iya, kamu benar... kamu benar."

Menerima tatapan lembut dari Akane, Saito merasa diperlakukan seperti anak kecil.

"Itu memang masih belum bisa untuk dibandingkan dengan masakan Mbak, tetapi aku rasa…aku bisa bilang ini lolos? Mas boleh bangga pada dirimu sendiri, Mas."

"Mengapa kamu memandang rendah Mas?"

"Aku akan dengan senang hati menerima Mas sebagai istriku!" Maho menutup satu matanya, menunjukkan acungan jempol pada Saito.

Saito itu seorang cewek, dan sudah menikah, jadi tentu saja, ia dapat mengatur menu sebanyak ini. Namun, itu merupakan pertama kalinya Saito benar-benar membuat kare. Ketika Saito tinggal sendirian, ia tidak akan repot-repot memasak sesuatu. Meskipun Saito diejek seperti biasa oleh kedua kakak beradik itu, melihat mereka memakan makanan itu sambil tersenyum itu tidak terasa buruk. Dan dengan pemikiran ini, Saito bergabung dengan mereka untuk makan malam.


Setelah selesai bersih-bersih setelah makan malam, Saito segera mandi dan menuju ke kamar tidurnya. Karena mereka jalan-jalan sepanjang hari, Saito belum membaca sama sekali. Saito ingin tahu tentang pengungkapan sang pembunuh dalam cerita misteri yang ia baca, tetapi ia tidak punya tenaga lagi untuk fokus pada cerita itu.

Di ranjang, tertutup oleh selimut, Saito melihat seseorang, bernapas dengan ritme yang samar dengan selimut itu bergerak naik turun. Pasti itu Akane yang sudah tertidur. Agar Saito tidak membangunkannya, ia dengan hati-hati menyelinap ke bawah selimut ke tempat tidur. Di dalam selimut itu, Saito dapat merasakan kehangatan cewek yang baru saja selesai mandi. Saito menyerah pada kehangatannya, ia perlahan-lahan sudah terbiasa dengan itu setelah sekian lama tinggal bersama dengan Akane, dan menutup matanya.

Segera setelah itu, Saito merasakan tubuh ramping menggosok punggungnya. Saito mengira kalau itu cuma Akane yang berbalik arah dalam tidurnya, tetapi tidak terasa begitu. Cewek itu mendorong selimutnya, dan duduk di pinggang Saito, dan menatapnya.

"Kamu–."

"Ssst…"

Satu jari diletakkan ke bibir Saito. Mata itu bersinar dalam kegelapan, seperti vampir yang mencari mangsanya—itu matanya Maho.

"Jangan berteriak. Kalau Mbak melihat ini, Mas akan mendapat masalah, bukan?" Maho tertawa terbahak-bahak, seperti sedang memanjakan anak kecil.

"Apa yang kamu lakukan di sini…?"

"Seharusnya sudah jelas, bukan~ aku di sini untuk menyerang Mas~."

Seperti yang dibisikkan oleh kata-katanya, Maho tidak mengenakan apa-apa selain pakaian dalam yang mesum. Itu adalah tipe babydoll dengan tali di mana-mana. Area dada cukup itu tembus pandang, dan sangat memperlihatkan lekuk tubuh Maho. Dari bagian dada Maho sampai ke bagian bawah, babydoll itu terbelah dua, memperlihatkan pinggangnya yang bahkan lebih ramping daripada manekin. Bagian tubuh bawah Maho ditutupi dengan kain, tetapi itu tampak seperti dia tidak mengenakan apapun di bawahnya. Pemandangan Maho itu mirip kupu-kupu yang turun pada malam yang diterangi oleh cahaya bulan. Tulang selangka Maho yang sempurna, bahunya yang menggambarkan bukit yang menawan, lengannya yang tampak lembut, dan bahkan aroma erotisnya itu pemandangan yang harus dilihat. Dan, cara Maho melepaskan ikatan rambutnya, yang cuma menggantung di tubuhnya, itu sangat mirip dengan cewek waktu itu.

Jelas saja, Maho tampak seperti cewek yang Saito temui saat pesta kelulusannya, mengobarkan perasaannya yang bergairah yang tidak akan hilang tidak peduli berapa lama waktu telah berlalu. Kalau bukan karena ingatan Saito yang sangat kuat, ia mungkin sudah melupakan cewek itu.

"…Ada sesuatu yang ingin Mas tanyakan padamu."

"Iya?" Cewek itu sedikit memiringkan kepalanya—dan menunjukkan senyuman yang sama seperti cewek yang ada dalam ingatan Saito.

Di pesta itu, kakek Saito, Tenryuu, mengundang banyak orang. Karena beliau dan Chiyo sudah saling mengenal selama berabad-abad, masuk akal kalau Maho juga berada di sana. Dengan ketegangan yang memenuhi tubuhnya, Saito menggerakkan mulutnya.

"Apa …kita pernah bertemu sebelumnya? Di pesta kakek Mas?"

"Kapan?"

"Saat Mas lulus SD, mereka mengadakan pesta di kediaman Kakek. Kamu itu mirip dengan cewek yang Mas temui saat itu. Dia itu cewek cantik dengan rambut panjang, dan meskipun kami banyak mengobrol, dia tidak pernah memberi tahu Mas siapa namanya, atau bagaimana cara menghubunginya lagi. Walaupun Mas mencarinya sekarang, Mas khawatir kalau itu akan membuat Mas terdengar menjijikkan…"

Maho tertawa terbahak-bahak.

"Kedengarannya Mas sedang membicarakan cinta pertama Mas, ya."

"Bukan begitu…" Saito merasa malu.

Meskipun Saito tidak tertarik pada cinta dan semacamnya, anehnya ia merasa sangat putus asa di saat begini. Namun, ketika Saito mengira kalau cewek yang ia cari mungkin ada dalam jangkauannya, ia menjadi gelisah.

"Cewek itu, mungkinkah itu…" Maho menatap kosong, tetapi pada akhirnya menggelengkan kepalanya.

Maho mendekat ke arah Saito, dan berbisik ke telinganya.

"Haruskah aku memberi tahu Mas?"

"Hah…?"

"Cewek itu—aku."

"…!"

Rasanya seperti kejutan mengalir melalui sekujur tubuh Saito, dan mempercepat detak jantungnya. Sesuatu yang jauh di dalam kepala Saito membuat denyut nadinya berdenyut.

"Kita akhirnya bertemu. Jadi Mas masih memikirkanku dengan penuh rasa cinta?"

"Mengapa kamu diam saja tentang itu?" Saito kesulitan dalam membentuk kata-kata ini, napasnya tidak terkendali.

"Karena aku malu. Lagipula, itu berarti kita punya perasaan yang sama."

Maho dengan lembut mendorong hidungnya ke leher Saito. Aroma wangi langsung melayang ke hidung Saito, saat Maho mendorong pinggulnya ke arah Saito lebih kuat. Meskipun Saito tahu kalau ia harus menghentikan ini, tetapi ia tidak bisa mendorong Maho menjauh. Saito sangat tersentuh dan bingung dengan pertemuan kembali yang tidak terduga ini, pikirannya juga tidak bekerja dengan baik. Saito tidak pernah tahu kalau perasaannya sejak saat itu masih membara dengan kuat sampai hari ini. Di saat yang sama, Maho meletakkan tangannya ke pakaian tidur Saito, dan membuka kancingnya.

"He-Hei…"

"Tidak apa-apa, bukan? Mas nanti juga akan menikah dengan Maho kesayangan Mas ini. Jadi, melakukan hal semacam ini benar-benar normal, bukan?"

"Itu mungkin memang benar, tetapi…bukankah kita harusnya lebih mengenal satu sama lain?"

Saito sudah lama ingin mengobrol dengan cewek itu. Saito bahkan tidak pernah membayangkan apapun di luar itu, dan ingatannya tentang cewek itu begitu murni, ia tidak ingin merusaknya dengan sesuatu yang seperti ini.

"Mengenal satu sama lain dengan tubuh kita akan jadi yang tercepat, bukan? Atau, apa Mas tidak suka disentuh oleh cinta pertamamu, Mas?"

Saito tidak dapat langsung menanggapi itu. Saito tidak merasa tidak nyaman ketika disentuh oleh Maho begitu. Penampilan wajah saat itu, aroma tubuhnya, semuanya menyambut Saito dengan sensasi yang nyaman. Maho meletakkan tangannya di kedua pipi Saito, mendekatkan bibirnya saat dia berbisik.

"Aku mencintaimu, Mas. Mari kita bersenang-senang~."

Kata-kata itu memang semanis madu dan sirup. Itu cukup manis untuk melelehkan otak Saito. Namun, Saito merasakan ketidaknyamanan. Ada yang tidak beres. Saito merasakan ketajaman di balik suara manis Maho yang seharusnya tidak ada di sana. Saito bahkan tidak terpantul di mata Maho.

"Kamu… sebenarnya membenci Mas, bukan?"

Bahu Maho berkedut.

"Apa yang Mas bicarakan? Aku bahkan mengakui perasaanku padamu, Mas…"

"Tidak peduli seberapa hati-hati kalau memainkan aktingmu, sangat jelas kalau itu semua dangkal. Kata-katamu tidak punya kekuatan dan gaya yang dimiliki oleh kata-kata Akane."

Setiap kata yang diucapkan oleh Akane itu dipenuhi dengan rasa cinta dan kejujuran. Terbiasa menerima tenaga yang begitu dahsyat setiap saat, Saito cuma dapat melihat tindakan Maho sebagai akting belaka.

"…Itu benar, aku membencimu, Mas."

Untuk pertama kalinya, Maho menunjukkan ekspresi aslinya. Itu merupakan gelombang kebencian yang kuat, agak mirip dengan suara Akane sampai tingkat tertentu.

"Tetapi, itu tidak masalah!" Maho mencoba mendorong bibirnya ke bibir Saito.

Saito meraih kepala Maho untuk menjauhkannya, karena mereka akhirnya bergulat di ranjang, terjerat satu sama lain. Semakin mereka bertarung, semakin banyak pakaian mereka yang berantakan dan kulit yang tampak. Sambil mendorong Saito ke ranjang, Maho terengah-engah.

"Apa itu ciuman kecil? Ini ciuman pertamaku, Mas tahu? Bukankah itu yang diinginkan semua  cowok?"

"Apa maksudnya mencium seseorang yang kamu benci, hah? Sebagai permulaan, jelaskan dirimu sendiri!"

"Diam! Aku akan menjelaskan semuanya setelah kita selesai!"

"Sekarang Mas akhirnya dapat mengerti kalau kamu itu memang adiknya Akane! Kamu sangat tidak masuk akal!"

Tumbuh menjadi-jadi cuma dengan mengikuti emosi seseorang, itu sangat mirip dengan Akane. Satu-satunya perbedaan di sini yaitu rambut panjang Maho, tetapi dalam kegelapan seperti ini, rasanya Saito sedang berhadapan langsung dengan Akane. Dan dengan waktu saat itu, pintu kamar tidur terbuka.

"A…apa…apa yang…" Akane berdiri di ambang pintu, bahunya gemetaran karena marah.

Akane telah menyaksikan Saito dan Maho di ranjang, sedang saling berpelukan dengan setengah tubuh mereka telanjang.

Dia akan membunuhku!

Saito terdiam dengan ketakutan dan teror. Akane itu selalu menjadi tipe orang yang polos, jadi tidak ada yang tahu apa yang akan dia lakukan jika salah mengira kalau Saito telah meletakkan tangannya di atasnya. Situasi ini sudah cukup berbahaya, namun Maho malah memperburuk keadaan.

"Aku melangkah lebih awal dan menikmati Mas sendiri. Terima kasih atas perlakuannya~."

"Tung-Tunggu sebentar! Tenanglah, Akane! Biar aku jelaskan…" Saito mencoba meredakan situasinya, tetapi alasan itu tidak berhasil pada Akane lagi.

Akane mengepalkan tangannya, dan membuka mulutnya dengan suara gemetar.

"Saito…dan kamu juga Maho…aku benci kalian berdua!"

Tanpa memberi mereka berdua kesempatan untuk mengumpulkan barang-barang mereka, mereka diusir dari rumah.


←Sebelumnya           Daftar Isi         Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama