Bab 4Kasih Sayang Adik
Saito dan Maho menunggu di depan pintu masuk, tetapi pintu itu sudah terkunci rapat, tidak menunjukkan tanda-tanda akan terbuka lagi, tidak peduli berapa lama mereka menunggu. Meskipun begitu, mereka dapat meredakan amarah Akane yang ganas bahkan melalui pintu yang tebal.
"Itu akan memakan waktu lama sampai dia tenang..."
Kalaupun begitu, Saito merasa khawatir kalau hari seperti itu tidak akan pernah datang.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang? Tidur di luar?"
Bahkan dalam situasi begini, Maho tampak bersemangat membayangkan berkemah di luar ruangan. Kamu tidak akan mengira kalau Maho pernah sakit parah pada satu titik dalam kehidupannya, melihat berapa banyak tenaga yang dia punya sekarang.
"Laporan cuaca mengatakan kalau akan ada hujan malam ini, jadi Mas ingin menghindarinya."
Belum lagi lingkungan sekitar akan memperhatikan mereka, jadi mereka tidak dapat tidur di depan rumah mereka sendiri begitu saja. Saito mungkin telah mengenakan pakaian tidurnya, tetapi Maho masih dalam penampilan babydoll-nya. Kalau seseorang melihat mereka di sini, itu akan menyebabkan keributan bagi semua orang yang terlibat.
"Mas akan pergi membeli beberapa pakaian, kamu tunggu di sini saja."
Saito menggunakan ponsel pintarnya yang untungnya berhasil ia ambil di tengah semua kekacauan tadi, dan mulai berjalan.
"Aku akan ikut dengan Mas!" Maho menyatakan.
"Kamu tetap di sini! Bagaimana jika kemungkinan itu menangkap kita?!"
"Bagaimana kalau ada orang asing yang menyerang kita?!"
"Kamu cuma perlu berteriak kalau begitu, Akane akan menyelamatkanmu."
"Aku lebih khawatir pada Mas!"
"Mas tidak lihat ada alasan untuk khawatir akan hal itu."
Namun Maho melontarkan komentar yang penuh gairah.
"Kalau itu aku, aku pasti sudah menyerang Mas! Apalagi dengan pakaian seksi Mas itu!"
"Kamulah satu-satunya penjahat di seluruh dunia yang akan melakukan hal itu."
Saito memperbaiki pakaiannya yang berantakan. Saito benar-benar lupa kalau Maho telah membuka kancing kemejanya. Kalau Saito terus berjalan begitu, ia pasti akan dilaporkan.
—Maho mungkin merasa seperti aku mencuri kakaknya darinya.
Sambil mencari toko serba ada terdekat, Saito mulai berpikir. Mereka berdua mungkin sangat dekat sebagai kakak beradik. Ini mungkin lahir dari ikatan yang mereka tempa saat Akane merawat Maho yang sakit-sakitan, tetapi Maho sekarang sangat menempel dengan kakaknya. Sekarang setelah kakaknya menikah dengan cowok acak, Maho mungkin merasa disingkirkan dan dilupakan. Itulah sebabnya Maho berusaha untuk memenangkan Saito dengan tujuan memisahkannya dari Akane. Pasti ini alasan untuk tindakan Maho malam ini. Dan kalau memang begitu, Maho sudah berhasil dengan itu.
Saito memasuki toko serba ada terdekat, mencari pakaian yang dapat digunakan. Tentu saja, dia tidak dapat mencari celana atau rok. Saito malah mengambil kaus ukuran pria, membayarnya dengan ponsel pintarnya. Mensyukuri peradaban modern dalam hal ini. Setelah kembali ke rumahnya, Saito mendapati Maho menunggunya, duduk di lantai. Maho mengenakan kaus itu, dan karena itu terlalu besar untuknya, setidaknya itu menutupi pahanya dengan aman. Orang yang lewat yang baik hati mungkin mengira Maho cuma mengenakan kaus dengan celana pendek di bawahnya. Namun, orang yang dimaksud sepertinya tidak terlalu menyukai kaus itu, karena dia menurunkan ujung kausnya.
"Wah, ini terlihat sangat payah~ Mas itu tidak punya selera sama sekali."
"Berhentilah mengeluh, itu cuma untuk sementara saat ini."
"Maksudku, pakaian yang Mas kenakan selama perjalanan kita ke taman hiburan itu juga sama saja. Sepertinya Mas mengenakan pakaian-pakaian yang populer sepuluh tahun yang lalu. Aku tahu kalau pakaian-pakaian itu setidaknya mahal~."
"Kakek yang mengirimnya pada Mas."
"Orang yang tidak punya selera seharusnya berjalan-jalan tanpa pakaian~."
"Kamu tidak bisa menipu Mas."
Saito dan Maho pergi menjauh dari rumah mereka. Jauh di dalam distrik perumahan ini, kamu hampir tidak menemukan mobil apapun. Lampu jalan mengeluarkan suara yang mendengung, lalu beberapa serangga beterbangan di sekitar mereka. Aroma samar bunga melayang ke arah mereka dari pagar yang tidak terlihat. Setelah jalan mereka diterangi oleh lampu malam yang berkala, mereka berdua berjalan menyusuri jalan yang gelap.
"Mas itu harus berpakaian dengan benar. Aku akan mengajari Mas dasar-dasarnya lain kali~."
"Tidak terima kasih. Mas melihat tidak ada gunanya untuk tampil bergaya."
"Mas akan lebih populer di kalangan para cewek?"
"Tidak perlu itu."
Sekarang Saito sudah menikah, ia hanya akan membuat lebih banyak masalah kalau ia terlibat dengan urusan cinta. Seperti malam ini, contohnya.
"Mas dapat membuat semua cewek di dunia menghujani Mas dengan uang?"
"Mas tidak mau menjalani gaya hidup yang buruk begitu."
"Sungguh, Mas ini cowok yang tidak berguna…" Maho menghela napas tidak percaya.
Saito bingung mengapa Maho sebegitu tidak percayanya. Maho tidak sepenuhnya menyangkal ide dan nilai dari gaya, tetapi itu tidak membantu dalam mewujudkan mimpinya, jadi Saito lebih suka mengumpulkan informasi yang lebih berharga dengan membaca buku.
"Dan juga, kamu bisa kembali ke rumahmu sendiri, bukan? Mas akan mengantarmu."
"Kyaaa~ Mas berencana untuk menyerang rumahku dan memperkosaku~." Maho memeluk tubuhnya sendiri, berbalik arah dan berputar-putar.
"Mas tidak tahu apa yang kamu bicarakan."
"Mengantarku pergi ke makamku?"
"Mas kira kamu masih hidup."
"Mengirim kapibara ke rumah?"
"Kedengarannya itu cukup aman buat Mas."
"Mengirim jamur ke rumah?"
"Bagaimana Mas dapat melakukan hal itu, Mas bahkan tidak dapat bergerak."
Saito bukanlah jamur, ia itu manusia biasa.
"Bagaimana denganmu, Mas? Apa Mas akan kembali ke rumah keluarga utama Mas? Kalau memang begitu, maka aku akan pergi dengan Mas! Aku ingin menginap di rumah Mas~ Deg deg~."
Saito sangat percaya bahwa orang yang menggunakan onomatopoeia* dalam ucapan mereka tidak dapat dipercaya. Seperti biasa, menurunkan kewaspadaan Saito di sekeliling Maho dapat berakibat fatal.
(TL Note: Onomatopoeia, itu kata yang terdengar seperti apa yang dimaksud atau kata-kata yang secara fonetis mengintimidasi bunyi yang mereka gambarkan, misalnya kwek-kwek, guk-guk, dll.)
"Mas tidak bisa kembali ke sana. Sekarang setelah Mas menikah, mereka telah mengganti kunci masuk di pintu depan."
Maho meletakkan satu tangan di mulutnya.
"Ap… orang tua Mas tidak menyukai Mas?"
"Begitulah... Kurang lebih begitu."
"Ha-Hah…Kalau begitu…maaf?"
"Itulah satu-satunya bagian di mana kamu bisa tertawa!"
Itu merupakan topik serius bagi Saito, jadi ia merasa tertekan dengan reaksi yang sangat serius itu. Saito memang sudah menyerah untuk punya harapan apapun dari orang tuanya, tetapi ini sudah setengah tahun tanpa diperhatikan.
"Akan sangat bagus kalau kita bisa menginap di rumah Shisei, tetapi…Mas tidak ingin merepotkan mereka selarut ini. Mas cuma akan mencari kafe acak untuk melewatkan malam ini."
"Aku akan ikut dengan Mas, kalau begitu! Aku akan merasa tidak enak kalau Mas pergi sendirian." Maho mengepalkan tinjunya di dadanya.
"Tidak, tolong pulang saja." Saito melambaikan tangannya dengan ekspresi yang serius.
"Mas tidak perlu menahan diri! Aku baik-baik saja!"
"Mas sendiri saja tidak apa-apa."
"Tidak baik menahan diri! Percayakan saja padaku saat Mas kesepian!"
"Tolong, pulang saja."
Saito lebih suka mengantar Maho pulang ke orang tuanya, tetapi sayangnya ia tidak tahu alamatnya. Memaksa Maho untuk membawa Saito ke sana juga bukan pilihan yang tepat.
"Ayolah, Mas, mari kita melihat-lihat kota di malam hari!" Maho berpegangan pada lengan Saito, mengangkat kepalan tangannya. "Ohh!"
"Ohhh…" Saito tidak terlalu bersemangat.
Rasanya seperti Saito diseret oleh seorang pemabuk yang ingin mengunjungi bar berikutnya. Kalau itu Saito sendiri, ia bisa saja menetap di warung internet, dan membaca manga sepanjang malam, tetapi membawa seorang cewek bersamanya begini, Saito tidak terlalu suka.
"Mau bagaimana lagi kalau begitu, mari kita cari hotel."
"Hotel cinta?! Pasti hotel cinta, bukan?!" Mata Maho berbinar karena kegembiraan.
"Cuma hotel bisnis biasa."
"Ehhh, sama sekali tidak romantis~."
"Selama kita punya tempat berlindung, cuma itu yang akan Mas butuhkan."
"Aku maunya hotel cinta! Aku rela mati demi melihat ranjang yang berputar itu!"
"Ditolak. Kalau kamu punya keluhan, maka kembalilah ke rumahmu sendiri."
Hubungan Saito dengan Akane sudah berada di titik terendah, jadi kalau ia membawa adik Akane ke hotel cinta, itu cuma akan memperburuk keadaan, dan mungkin akan membunuh Saito dalam prosesnya. Melangkah keluar di jalan raya, Saito menggunakan ponselnya untuk mencari hotel bisnis terdekat. Pada akhirnya, Saito menemukan sebuah gedung sederhana berlantai sepuluh. Di tempat parkir yang luas, ada beberapa truk telah berhenti, sisa garasi diisi oleh mobil pengunjung.
"Terserah, itu akan berhasil. Ini tetap tidak mengubah fakta bahwa aku dan Mas akan menginap bersama, jadi kita mungkin akan menaiki tangga sampai ke masa kedewasaan!" Maho berkata, melewati pintu masuk otomatis.
Saito memesan dua kamar untuk satu orang, menyerahkan satu kunci pada Maho.
"Ini." Saito mengangkat tangannya, memberikan salam perpisahan sesingkat mungkin, dan memasuki kamarnya.
"Ma-Ma-Mas, dasar bodoh! Perjaka tak bertulang!"
Saito mendengar raungan amarah Maho dark balik pintu, tetapi ia tidak punya waktu untuk menanggapinya. Saito akhirnya berhasil mendapati kedamaian untuk dirinya sendiri. Lalu ia menurunkan pinggangnya ke ranjang yang kokoh, ia menghela napas dan melihat ke sekeliling ruangan. Dari luar, hotel itu memang tampak seperti hotel biasa, tetapi interiornya itu ternyata cukup mewah. Ada meja yang ditempatkan di dinding, dengan televisi yang berharga tinggi. Selain itu, ada sofa yang dapat memuat dua orang, dengan meja mini, dan lampu lantai unik di mana-mana.
Kamar mandinya agak kecil, terhubung ke ruang penyiram, tetapi Saito sudah mandi di rumah, jadi ia belum membutuhkannya. Kulkasnya penuh dengan air mineral gratis, jadi Saito seharusnya baik-baik saja sampai pagi. Saito meletakkan ponselnya di pengisi daya, mengeluarkan sebotol air mineral untuk diminum ketika seseorang sedang mengetuk pintu.
"Ah…iya, aku ada." Saito menggelengkan kepalanya dan memberikan jawaban yang tidak jelas.
"Aku tahu kalau Mas ada! Buka pintunya! Kalau tidak, aku akan mendobrak masuk!" Maho berteriak dari balik pintu.
"Lakukan saja apa yang kamu mau. Mas ragu kamu dapat mendobrak pintu hingga terbuka dengan kakimu yang rapuh itu."
"Tidak dengan kakiku! Aku akan menggunakan alat pemadam api ringan dari lorong!"
"Kamu akan ditangkap karena merusak properti hotel!"
"Mas yang akan ditangkap karena aku akan berteriak!"
"Kamu sudah berteriak..."
Maho jelas akan mengganggu pelanggan lain di hotel ini, mengingat ini sudah larut malam.
"Aku akan berteriak kalau Mas membawaku ke hotel ini tanpa izin orang tuaku! Mas sebut apa ini, penculikan anak? Aku juga cumq mengenakan kaus, menurut Mas apa yang akan dipikirkan polisi, hah?!"
"Baiklah, mari kita bicarakan semuanya, silakan?!" Saito dengan panik membuka pintu.
Maho menggunakan celah terkecil untuk menyelinap, dan melompat masuk ke dalam kamar Saito. Di tangannya, Maho masih membawa alat pemadam api ringan. Maho benar-benar berencana mendobrak pintu. Kesadaran ini membuat punggung Saito merinding.
"Ha ha ha, sekarang aku ada di sini, aku akan menjadi penguasa! Aku telah menaklukkan kamar ini!"
"Bisakah kamu berhenti mengarahkan selang alat pemadam api ringan itu ke arah Mas?"
"Tidak masalah! Aku memang tahu cara menggunakan benda ini, tetapi aku tidak tahu cara menghentikannya!"
"Itu tipe orang yang paling berbahaya!"
Kalau seluruh ruangan ditutupi dengan busa alat pemadam api ringan, biaya perbaikannya pasti akan memakan biaya setengah harga. Polisi akan datang, dan kemudian orang tua mereka juga akan diberi tahu. Saito berusaha mengambil alat pemadam api ringan itu dari Maho, berlari ke arah Maho. Di saat yang sama, Maho menghindari Saito, melompat ke ranjang, menendang bangku, dan jatuh ke sofa. Namun, ini merupakan kamar satu orang yang sempit, jadi Maho tidak dapat melarikan diri selamanya. Setelah beberapa menit, Saito berhasil mencuri alat pemadam api ringan dari Maho, menahan kedua tangan Maho dalam prosesnya.
"Sekarang, ini saatnya bagimu untuk keluar..."
"Jadi, bahkan Mas… juga akan mengusirku…?" Air mata mengalir ke pipi Maho.
"Hen-Hentikan air mata palsu itu." Saito berkata tetapi sangat ketakutan.
"Ini bukan air mata palsu! Apa salahnya kalau aku ingin bersama dengan Mas sebentar?! Apa Mas sekarang juga membenciku?!" Maho tenggelam di ranjang, bahunya gemetaran saat dia menangis.
Semakin banyak tetes air yang jatuh, mewarnai seprai itu.
"Em…apa itu sangat mengejutkan? Kamu tahu, saat Akane mengatakan kalau dia membencimu."
"Itu benar! Ini pertama kalinya Mbak mengatakan hal semacam ini padaku! Tidak peduli candaan macam apa yang akan aku mainkan pada Mbak, Mbak tidak pernah benar-benar marah! Namun... Mbak sekarang... Mbak sekarang benar-benar membenciku... Mbak tidak akan pernah berbicara lagi denganku." Maho menangis seperti anak kecil yang dimarahi oleh orang tuanya.
Sikapnya yang energik dan nakal yang biasa tidak ditemukan di manapun.
—Benar-benar cewek yang merepotkan…
Saito menghela napas. Saito memang tidak senang digoda setiap waktu, tetapi setidaknya ia lebih suka begitu daripada berurusan dengan cewek yang sedang menangis. Itu membuat Saito merasa seperti ia telah melakukan sesuatu yang buruk.
"Ini terjadi dari waktu ke waktu. Belum lagi Akane bilang pada Mas setiap hari kalau dia membenci Mas."
"Mas bercanda…"
"Itu benar. Mbakmu itu mengharapkan kematian Mas setiap hari, dan dibangunkan dengan teriakan amarah itu sudah menjadi rutinitas harian Mas."
"Bagaimana Mas bisa tahan dengan itu? Dibenci oleh orang tua Mas, dibenci oleh istri Mas, kalau aku jadi Mas, aku sih lebih baik mati daripada terus hidup seperti itu…"
"Iya, kamu memang tidak salah. Mas sering memikirkan hal itu ketika Mas sudah tenang."
Terlebih lagi karena teman-teman sekelas Saito juga tidak tahan dengannya, jadi sulit buat Saito sendiri. Namun, Saito punya Shisei. Hanya dengan punya seorang sekutu di sisi Saito pada saat tertentu, ia sama sekali tidak merasa kesepian. Saito dapat mengatakan pada dirinya sendiri kalau ia baik-baik saja.
"Akane mungkin sedikit ekstrem dengan gerakannya sekarang, dan sering putus asa, akan tetapi Mbakmu itu cepat tenang, jadi Mas yakin kalau Mbakmu itu akan segera memaafkanmu."
"Benarkah…?" Maho menatap Saito dengan mata yang berair.
"Iya. Meskipun itu akan memakan waktu tambahan sebelum Mbakmu memaafkan Mas. Lagipula dia sudah membenci Mas untuk waktu yang lama."
"Maaf…"
"Tidak... Tidak usah khawatir tentang itu."
Mendengar permintaan maaf yang jujur dari Maho membuat Saito merasa gelisah. Itu cuma akan menunjukkan betapa lemah dan rapuhnya Maho sekarang. Bagi Maho, Akane pasti segalanya. Tidak dapat benar-benar merespons dengan apapun, Saito cuma bisa menggerutu atas respons yang mungkin, saat Maho tiba-tiba melepas kausnya.
"Apa yang kamu lakukan?!"
"Melepas pakaianku."
"Mas juga bisa melihatnya! Mengapa?!"
"Ini salahku, Mas diusir dari rumah, jadi aku pikir setidaknya aku harus bertanggung jawab…dan menawarkan tubuhku pada Mas…"
"Tidak perlu!"
"Apa aku ini… tidak cukup menawan?" Bahu Maho bergetar.
Pakaian dalam Babydoll itu ditarik di sepanjang kaus yang coba Maho lepas, memperlihatkan dua batas putih dan pinggangnya yang ramping. Melihat Maho menangis di ranjang dengan pakaian begini, sangat memikat untuk membangkitkan naluri cowok manapun.
"Kamu itu memang sangat menawan, tetapi mana mungkin Mas dapat melakukan hal semacam itu dengan anak kecil yang sedang menangis!"
"A-Aku bahkan tidak menangis lagi! Dan aku sudah dewasa, jadi aku bisa melakukannya dengan baik!" Maho tampaknya gelisah dengan komentar Saito, dengan paksa mencoba melepaskan celana Saito.
"Hentikan itu! Memangnya kamu itu apa, semacam pemerkosa?! Lepaskan tanganmu dari Mas!" Saito dengan putus asa memegangi celananya.
"Mas sudah harus melepaskannya! Kalau Mas tidak diam dan berbaring, aku akan memotongnya!"
"Menakutkan! Mana mungkin Mas bisa berbaring di sebelah seseorang yang mengancam Mas begitu!"
"Diamlah! Aku mencoba melayani Mas sebagai ucapan terima kasih, jadi diamlah dan terima saja!"
Maho mengajukan argumen yang konyol satu per satu, karena mereka berdua terus berjuang sampai-sampai mereka berdua terengah-engah. Karena ini masih hari yang sama setelah perjalanan mereka ke taman hiburan, mereka berdua kehabisan stamina.
"Mas tidak akan mencoba mengusirmu lagi, jadi mari kita tidur saja, oke?"
"Maukah Mas membuatku tertidur…?"
"Apapun yang kamu mau."
"Bahkan dengan bantal lengan?" Maho meminta seperti biasanya dilakukan Shisei.
"Iya… Mas rasa Mas bisa."
Kalau Saito tidak menganggapnya sebagai adik kelasnya, tetapi cuma sebagai adiknya sendiri, ia tidak akan merasakan emosi jahat sama sekali. Saito berbaring di ranjang, Maho berbaring tepat di sebelahnya. Maho masih belum selesai menangis, karena dia terus terisak dengan hidungnya, membenamkan wajahnya di dada Saito.
—Kalian kakak beradik memang selalu menyebabkan keributan begitu…
Saito menghela napas, dan dengan lembut membelai kepala Maho.
Bagian dalam lengan Saito terasa berat. Sesuatu yang lembut dan menyenangkan menempel di tubuh Saito. Terdengar santai, napas yang samar, dengan ritme tenang, sampai ke telinga Saito. Merasa kalau semua kelelahan dari malam sebelumnya masih belum sepenuhnya hilang, Saito perlahan membuka kelopak matanya yang berat. Dari tirai jendela masuk sinar matahari pagi yang redup. AC di ruangan itu tampaknya bukan yang terbaik, karena udara di ruangan yang remang-remang itu terasa pengap, tetapi juga punya aroma wangi yang melayang di dalamnya.
Saito menurunkan pandangannya ke dirinya sendiri, melihat Maho menempel padanya seperti kucing manja—dan terkejut. Maho sedang telanjang. Bukan cuma satu kaus yang Saito belikan, Maho juga telah melepas pakaian dalam babydoll-nya yang tipis. Kulit Maho yang licin menempel pada Saito. Pinggang Maho yang ramping melingkari Saito.
—Sial, apa aku mengacaukannya…?!
Saito merasa jantungnya terdiam. Tidur bersama di ranjang yang sama dengan adik iparnya saja sudah hampir tidak dapat diterima, tetapi kalau mereka melewati batas di sini, Saito sama sekali tidak memiliki alasan pembenaran. Maho akan melaporkan keadaannya pada Akane, dan Akane akan menghancurkan semua yang telah mereka (Akane dan Saito) kerjakan dengan susah payah. Mungkin semua yang terjadi semalam itu merupakan tujuan Maho. Seluruh perkiraannya sehingga Saito akan menunjukkan momen kecerobohannya.
Saito panik dan memastikan penampilannya sendiri. Saito masih mengenakan pakaian tidur dan celana dalam di bawahnya dengan benar, seprai tampak bersih seperti sebelumnya, jadi mereka mungkin tidur dengan posisi begini sejak tadi malam. Saito menghela napas lega saat ia menyadari kalau tubuh Maho terasa sangat panas. Maho mengenakan selimut seperti dia sudah berada di sauna selama tiga jam terakhir, dan napasnya terasa lambat dan tidak teratur. Ekspresi wajah Maho berubah kesakitan.
"Hei, apa kamu baik-baik saja? Apa kamu tidak enak badan?" Saito bertanya, dan Maho dengan enggan membuka matanya.
"Biasanya aku minum obat itu setiap malam, tetapi… aku tidak dapat melakukannya kemarin."
"Mas kira kamu sudah pulih dari penyakitmu?"
"Iya…Selama aku meminum obat itu, aku dapat hidup seperti orang lain…Aku cuma sedikit lebih mudah lelah, tetapi kalau aku tidak berlebihan, aku akan baik-baik saja…"
Itu tidak terdengar seperti Maho benar-benar pulih. Saito ingat bagaimana Maho sering kehabisan napas atau terengah-engah setelah berlarian. Apalagi pada saat di rumah hantu sebelumnya, yang mungkin saja kalau Maho benar-benar sakit, dan bukan cuma berpura-pura. Maho cuma mempermainkan Saito, mencoba menyembunyikan hal ini—cewek pembohong ini.
"Mengapa kamu tidak meminum obat itu?"
"Aku tidak sempat."
"Di mana obat itu?"
"Di rumah Mas. Aku tidak membawanya saat kita diusir. Aku kira aku akan baik-baik saja kalau tidak meminumnya setidaknya satu malam... tetapi aku rasa tidak begitu, haha." Maho menunjukkan senyuman yang lemah.
Maho telah kehilangan semua kekuatannya yang biasanya, senyumannya akan menghilang seperti obor, menunjukkan kalau dia bertindak keras. Melihat hal ini, Saito mengambil ponsel pintarnya di sebelah bantalnya.
"Mas perlu menelepon ambulans—."
"Hentikan!!"
Sebuah teriakan terdengar. Itu pasti beban yang berat di tubuh Maho, karena dia meringkuk di ranjang, dan batuk-batuk hebat. Saito dengan lembut mengusap punggung Maho. Saito tidak ragu-ragu lagi saat ini, tetapi ia merasa khawatir. Punggung Maho terasa begitu lembut dan rapuh, Saito merasa kalau ia dapat memecahkan kulitnya dengan mudah seperti kaca.
"Kalau Mas menelepon ambulans, mereka akan menghubungi keluargaku… dan itu akan menyebabkan keributan. Mbak juga akan tahu…"
"Ini jelas bukan waktunya untuk bilang begitu, bukan?"
"Ini terjadi dari waktu ke waktu…Dokter bilang kalau aku baik-baik saja, dan aku masih bisa hidup normal…"
"Benarkah?"
"Sungguh. Aku masih punya banyak hal yang ingin aku lakukan, jadi aku tidak akan berbohong tentang hal semacam ini…"
"Baiklah, kalau kamu bilang begitu..."
Karena hotel ini merupakan hotel bisnis, mereka telah membayar untuk menginap pada malam sebelumnya. Saito menelepon resepsionis, meminta mereka untuk memanggil taksi, dan membantu Maho mengenakan pakaiannya. Kulit Maho terasa panas terbakar sampai-sampai Saito akan membakar jari-jarinya. Mengangkat lengannya saja tampaknya merupakan pekerjaan yang berat buat Maho, dan kepalanya berayun ke depan dan ke belakang, tidak dapat diapa-apakan. Maho bahkan tidak dapat berjalan sendiri. Saito menerima informasi kalau taksi yang menjemput mereka telah tiba, jadi ia menjemput Maho.
"Ahaha…gendongan putri, ini yang pertama buatku. Sepertinya Mas itu sudah terbiasa, ya…"
"Karena Mas pernah melakukan ini pada kakakmu sebelumnya."
Maho berkedip karena bingung.
"Tunggu, jadi Mas dan Mbak sebenarnya tidak dalam hubungan yang buruk itu…?"
"Kami telah menjadi musuh bebuyutan sejak lama. Sekarang... Mas sendiri juga benar-benar tidak tahu."
"Karena Mas itu masih perjaka?"
"Diamlah."
Saito tidak ingin Maho membuang tenaga berharganya dengan omong kosong singkat itu, jadi ia dengan paksa membungkam Maho. Meskipun Maho dimarahi, dia tampaknya senang dengan itu, melingkarkan lengannya ke leher Saito. Namun, lengan itu segera kehilangan kekuatannya. Saito naik lift ke aula masuk, menempatkan Maho ke dalam taksi. Saito menyuruh sopir untuk membawa mereka ke rumah sakit, dan taksi itu mulai berjalan. Di dalam, bahu Maho bersandar ke bahu Saito, membuatnya jelas kalau dia bahkan hampir tidak bisa duduk tegak.
Saito menyandarkan kepala Maho ke pangkuannya, menelepon rumah sakit. Maho tampaknya masih menderita demam, karena dia masih menggenggam erat pakaian Saito seperti anak kecil. Sesampainya di rumah sakit, Maho langsung dibawa ke ruang periksa. Maho akhirnya dimarahi karena dia tidak meminum obatnya, dan karena dia berpakaian sangat tipis, dan kemudian diperiksa dengan lebih detail. Seperti yang dikatakan oleh Maho, tidak ada bahaya bagi hidupnya, tetapi dia masih harus dirawat di rumah sakit untuk sementara waktu. Baik dokter maupun perawat sepertinya sudah mengenalnya, menciptakan suasana 'Kembali lagi, ya?' begini.
"Aku rasa aku benar-benar mengacaukannya…" Maho berbaring di ranjang kamar rumah sakit, dan bergumam sambil menatap langit-langit.
Maho disuruh mengganti kausnya yang tipis, dan diberi kaus rumah sakit berwarna merah muda pudar. Maho sudah jauh lebih mendingan dibandingkan sebelumnya, tetapi napasnya masih terasa agak berat.
"Orang tuamu akan tiba di sini dalam tiga puluh menit. Semuanya cuma akan menjadi rumit kalau Mas ada di sini, jadi Mas akan pergi sekarang."
"Tung-Tunggu!" Maho menghentikan Saito, tepat saat ia ingin pergi.
"Apa?"
"Tolong…jangan beri tahu Mbak soal ini…"
"Kalau kamu sedang dirawat di rumah sakit?"
"Dan kalau aku pingsan."
"Akane ingin datang mengunjungimu."
Karena impian Akane untuk menjadi seorang dokter, dia pasti akan merawat Maho dengan seluruh keahlian dan kemampuannya. Alasan Akane bercita-cita menjadi dokter adalah agar dia dapat menyelamatkan orang-orang yang menderita seperti adiknya.
"Mas tidak boleh memberi tahu Mbak. Karena aku ini memang selalu sangat lemah, aku telah merepotkan Mbak sejak lama. Mbak selalu harus menjagaku, itulah sebabnya Mbak tidak pernah punya waktu untuk bermain dengan teman-temannya, apalagi berteman dengan orang banyak."
"Itu tidak terdengar seperti satu-satunya alasan, tetapi… masalah terbesarnya itu tampaknya ada pada kepribadiannya."
"Mbak itu sangat baik hati. Hampir terlalu baik...dan aku tidak ingin membuat Mbak khawatir lagi. Aku ingin Mbak fokus pada dirinya sendiri, daripada khawatir padaku." Maho memohon dengan sekuat tenaga.
Tidak ada tanda-tanda sikap Maho yang biasanya yang dapat ditemukan di sini. Saito merasa seperti inilah Maho sebenarnya.
"…Dimengerti, Mas tidak akan memberi tahu Akane."
"Oke…Dan maaf karena sudah merepotkan Mas begini."
Saat keluar dari ruangan, ekspresi dan gerak tubuh Maho tampak sangat sedih dan kesepian, membuat dada Saito terasa sakit.
Setelah meninggalkan rumah sakit, Saito beranjak ke jalan raya, dipenuhi dengan asap knalpot, lalu ia menelepon Shisei. Akane mungkin masih marah, jadi Saito perlu mengamankan tempat menginap untuk sementara.
'Apa?'
Shisei dengan cepat menjawab panggilan itu.
"Abang tidak bisa pulang ke rumah Abang sebentar. Kamu tidak masalah membiarkan Abang menginap?"
'Apa Abang sedang bertengkar dengan Akane?'
"Iya. Pertengkaran yang serius kali ini."
"Mau bercerai?"
"Cerai ya... siapa tahu."
Saito ingin berpikir kalau semua ini tidak seburuk itu. Tidak ada yang mengalahkan juara perdamaian. Kalau Tenryuu dan Chiyo mengetahui situasi ini, itu akan menjadi neraka.
'Shisei sedang ada di luar untuk jalan-jalan naik mobil sekarang, jadi tetaplah di sana. Kami akan mengantar Abang ke pengadilan.'
"Sekali lagi, kami belum memutuskan untuk bercerai!"
'Tidak perlu menahan diri begini. Aku akan kenalkan Abang pada pengacara hebat kita. Ia punya tingkat kemenangan 120% di pengadilan, dan ia dapat mengubah setiap kasus hitam menjadi kasus putih.'
"Bagaimana ia mendapatkan tambahan poin 20% itu, hah?"
'Tidak tahu, tetapi jargonnya kalau itu bukan kejahatan selama tidak ada orang yang tahu.'
"Ia harus segera kamu pecat, ya."
Bahkan Houjo Group hidup di bawah prinsip tidak memilih metode mereka cuma menggunakan hukum dan orang-orang sebagai alat, tetapi pengacara itu bahkan lebih buruk. Saito duduk di bemper sebuah mobil, sambil menunggu mobil itu tiba lalu mobil Shisei datang. Itu merupakan mobil putih kelas mewah. Bahkan suara pintu terbuka terdengar dari kasta atas. Tentu saja, sopir pelayan agresif yang sama sedang duduk di belakang kemudi.
"Maaf sudah menunggu, Saito-sama. Saya sudah berusaha sekuat tenaga untuk menembus penghalang suara untuk sampai ke sini, tetapi…"
"Kamu tidak perlu melakukan semua itu."
"Tentu saja, sambil mematuhi pedoman keselamatan berkendara."
"Aku ingin mempercayaimu, tetapi begitu kamu mencoba menembus penghalang suara itu, memang benar-benar terlalu sulit bagiku."
"Saya cuma ingin tahu batasan manusia."
"Hukum kecepatan itu batasnya!"
Saito duduk di bangku belakang, menutup erat sabuk pengamannya. Semua ini untuk melindungi hidup Saito sendiri. Siapa tahu, mungkin sopir pelayan itu telah meletakkan roket di bagian belakang mobil, jadi Saito membutuhkan keamanan apapun yang dapat ia dapatkan. Sekali lagi, mobil itu melesat ke jalanan. Di saat yang sama, Shisei menatap Saito yang mengenakan pakaian tidurnya dengan tatapan yang ragu.
"Kapan Abang bertengkar dengan Akane?"
"Tadi malam. Macam-macam hal terjadi, dan dia mengusir Abang karena ini itu."
"Di mana Abang tidur semalam?"
"Di hotel bisnis acak."
"…Dengan seseorang?"
Tidak menduga kalau akan ada pertanyaan itu, Saito terdiam. Bagaimana Shisei menyadari kalau Saito tidak sendirian? Terkadang, Shisei itu terlalu tajam.
"Itu…sudah jelas…kamu tahu?" Saito menunjukkan kedipan, mencoba untuk menutupi hal itu.
Segera, aura dingin di sekitar Shisei semakin kuat. Itu membuat punggung Saito merinding, membuatnya merasa seperti masuk ke dalam pembeku (freezer) raksasa. Shisei pindah ke atas pangkuan Saito, menempelkan hidungnya ke leher Saito.
"Aroma seorang cewek. Bukan Akane. Jadi Abang menghabiskan malam dengan cewek lain selain Akane."
"A-Apa yang kamu..."
"Karena Abang mengenakan pakaian, aromanya seharusnya tidak sekuat itu… Cewek lain itu pasti telanjang, dan Abang juga…"
Saito mencoba membantah kalau ia mengenakan pakaian pada saat itu, tetapi ia menggigit bibirnya dan membungkam dirinya sendiri. Ini jelas merupakan pertanyaan utama, dan Saito akan mengikuti arus permainan Shisei. Kemampuan deduktif Shisei cuma berada di urutan kedua setelah Saito, jadi Saito tidak bisa jatuh ke dalam perangkap Shisei. Dengan pemikiran begitu, Saito ingi menggunakan sel otak kelas atas, tetapi—Shisei memanggil sopir pelayan itu.
"Tambah 300 km/jam lagi sampai Abang menjadi jujur."
"Dimengerti." Sopir pelayan itu menginjak pedal gas, saat lampu merah muncul di luar.
"Tunggu tunggu tunggu!"
Lagipula ini bukan adu otak. Ini merupakan ancaman dan paksaan sederhana. Sopir pelayan itu mengayunkan kemudinya, dan mengumumkan.
"Saya sebenarnya membeli beberapa nitro baru-baru ini."
"Jangan membuat itu terdengar seperti 'Oh, saya sebenarnya membeli tas baru baru-baru ini~', oke?!"
Nama umum: Nitro. Ini adalah sistem yang, dengan mesin ekstra, memungkinkanmu mendapatkan akselerasi eksplosif.
"Saya sebenarnya menggunakan sebagian besar gaji saya untuk meningkatkan perawatan ini dengan cara apapun yang memungkinkan."
"Apa kamu itu bodoh?!"
Sopir pelayan itu dengan tenang menggelengkan kepalanya.
"Ini merupakan keputusan yang sangat masuk akal. Daripada memompa mobil dalam kisaran harga saya sendiri, kalau saya terus meningkatkan mobil Keluarga Houjou, saya dapat menciptakan kecepatan yang jauh lebih tinggi. Tidak peduli seberapa sembrono saya mengemudi, keluarga ini akan membayar semua biaya perawatannya."
"Tuanmu ini mendengarkan, kamu tahu?"
"Nona muda itu sekutu saya."
Shisei mengangguk dengan kuat.
"Shisei itu sekutunya. Walaupun dia membakar mobil ini selama perjalanan, aku tetap tidak akan marah."
"Kamu sebenarnya harus marah karena hal itu!"
"Walaupun itu berarti menyalahgunakan anggaran perusahaan."
"Itu dianggap sebagai kejahatan, kamu tahu?!"
"Shisei memang marah padanya saat dia makan pudingku tanpa bertanya."
Sopir pelayan itu sangat menundukkan kepalanya, dan tidak melihat ke jalanan lagi.
"Maafkan saya dengan tulus. Saya pribadi ingin melihat nona muda marah sesekali, dan…itu jauh lebih menggemaskan daripada yang saya duga, jadi saya berpikir untuk melakukan hal serupa lagi dalam waktu dekat."
"Benar-benar hobi yang buruk..."
Di saat yang sama, itu sangat mirip dengan Shisei yang menghargai puding lebih tinggi daripada mobil mewah.
"Iya, sebenarnya saya belum menguji sistem nitro ini, lihat."
Melihat sopir pelayan itu menjulurkan jari-jarinya ke sekitar tombol dengan simbol tengkorak di atasnya, Saito segera mengakui dosanya. Saito memberi tahu Shisei tentang Maho yang menyelinap ke ranjangnya, bagaimana mereka ketangkap basah oleh Akane di saat yang sangat disayangkan, bagaimana Akane mengusir mereka, bagaimana mereka menginap di hotel, bagaimana Maho tiba-tiba jatuh sakit, dan seterusnya.
"Nona muda, apa yang harus kita lakukan? Menempatkan kepalanya yang dipenggal di depan umum?"
"Itu akan berlebihan. Kubur saja Abang di beton."
"Kedua hal ini terlalu berlebihan!"
Tatapan dari sopir pelayan dan Shisei itu menyakitkan. Saito setidaknya berharap pelayan itu fokus pada jalanan di depan.
"Tidak masalah, Shisei benar-benar mengerti. Abang tidak dapat puas hanya dengan seorang cewek cantik sebagai istri, jadi Abang juga mengincar adik ipar Abang yang imut. Oh betapa malunya Shisei karena punya abang yang seperti itu." Shisei menjauh dari Saito.
"Bisakah kamu berhenti bertingkah jijik begitu? Abang tidak bisa menahannya—" kata Saito, memohon pengampunan.
"Sebagai hukuman, Abang harus tidur telanjang dengan Shisei malam ini."
"Kalau begitu saya yang akan menjadi fotografer yang bertanggung jawab."
"Mengapa kalian mengubah ini menjadi sesi pemotretan?!"
"Untuk menciptakan kenangan yang berharga tentunya?" Shisei memiringkan kepalanya.
"Abang tidak membutuhkan kenangan yang pada akhirnya akan menciptakan skandal."
"Cuma Abang saja yang telanjang, jadi itu tidak masalah."
"Abang melihat banyak masalah di sini."
"Jadi Abang mau Shisei telanjang juga? Shisei akan melakukan yang terbaik."
"Untuk sekali saja dalam hidupmu, kamu tidak perlu melakukan yang terbaik!"
"Lalu Abang akan menggigit karet gelang, dengan—"
"Itu bukan hukuman lagi namanya, tetapi hukuman taruhan yang sederhana."
Merasakan kecemasan mutlak yang tidak kunjung hilang, Saito tetap duduk di jebakan maut yang bergerak sampai mereka sampai ke kediaman Shisei.
Akane menemukan Saito di lorong sekolah, dan bergegas ke arahnya.
"Hei, aku punya sesuatu untuk ditanyakan!"
"A-Apa itu?" Saito menunjukkan ketidaktertarikan yang nyata, ingin melarikan diri secepat mungkin.
Namun, Akane mendekatkan jarak di antara mereka, menarik dasi Saito agar ia tidak dapat melarikan diri.
"Apa kamu tahu Maho ke mana? Dia belum muncul lagi di sekolah sejak saat itu, dan dia juga tidak ada di rumahku sendiri."
"Tidak tahu... Mungkin kamu seharusnya bertanya pada orang tuamu?" Saito mengangkat bahunya.
"Aku sudah tanya mereka. Tetapi baik Ibu maupun Ayah bilang 'Dia kembali bepergian', dan tidak memberiku jawaban yang tepat."
"Kalau mereka bilang begitu, maka itu pasti benar, bukan?"
"Dia akan pamit padaku sebelum dia pergi. Aku tidak bisa menghubunginya dengan panggilan telepon, dia bahkan tidak membaca pesanku, ada yang tidak beres…" Akane menggertakkan giginya.
Akane mungkin takut kalau Maho akan mulai membencinya setelah Akane mengusirnya. Tetapi, Akane juga punya hak untuk marah. Lagipula, Akane belum setuju kalau Maho dapat menggantikannya sebagai istri Saito.
"Dia akan segera kembali ke rumah, bukan?"
"Bagaimana kamu bisa tahu? Kamu tahu sesuatu, bukan?"
"Tidak… cuma perasaanku saja." Saito menggaruk kepalanya.
"Kamu itu bukan tipe orang yang percaya hal semacam itu. Kamu juga sangat dekat dengan Maho, jadi kamu pasti tahu sesuatu."
"Kami tidak sedekat itu."
"Itu bohong! Kamu … melakukan hal-hal mesum dengan adikku, bukan?!"
"Aku tidak melakukan itu!"
"Kamu benar-benar melakukan itu! Kalian saling berpelukan, dan setengah telanjang di tempat tidur…Muh!" Akane diinterupsi oleh Saito yang meletakkan tangannya di mulutnya.
Dengan ekspresi yang pucat, Saito berseru.
"Jangan berbicara buruk tentang orang-orang begitu. Bagaimana kalau orang lain mendengar kita?"
Akane mendorong tangan Saito menjauh, dan memelototinya.
"Tetapi memang itu kenyataannya, bukan?"
"Pokoknya, aku tidak melakukan hal semacam itu."
"Kalau begitu kamu dan Maho seharusnya menjelaskan semuanya padaku! Biarkan aku bertemu dengannya!"
"Aku tidak bisa membantumu dalam hal itu."
"……!"
Akane tampaknya merasa gelisah karena cuma dia yang ketinggalan informasi, merasakan perutnya terbakar karena marah. Meskipun Akane sangat mengkhawatirkan Maho, dia bahkan tidak tahu di mana Maho berada. Akane mulai membuat asumsi kalau mungkin Maho pingsan lagi, atau penyakitnya semakin parah, itulah sebabnya Maho tidak menemui Akane.
"Jam pelajaran akan segera dimulai, jadi aku akan kembali ke ruang kelas."
"Lebih baik kamu menunggu! Kapan kamu berencana untuk—"
Akane mencoba bertanya pada Saito tentang kapan ia pulang, tetapi memaksa dirinya untuk menyuarakan kata-kata ini. Orang yang mengusir Saito itu dirinya sendiri. Akane tidak bisa memintanya untuk pulang dengan cepat. Shisei mampir untuk mendapatkan barang-barangnya seminimal mungkin, jadi mungkin Saito berencana untuk tidak pernah kembali. Sekarang baik Maho maupun Saito sama-sama membenci Akane. Akane dan Saito memang selalu dalam hubungan yang buruk, tetapi hubungan mereka telah meningkat pesat akhir-akhir ini. Namun, semuanya telah hancur sekarang. Semua orang telah meninggalkan Akane.
Akane tidak mungkin mengatakan hal semacam itu. Akane dipenuhi dengan penyesalan, menutupi pandangannya yang kabur dengan telapak tangannya.
Karena Akane tidak tahu tentang situasi Maho, Saito-lah orang yang mengunjunginya setiap hari. Setelah jam pelajaran berakhir, Saito meninggalkan ruang kelas, menaiki bus tua ke luar kota. Di dalam bus, ada seorang kakek-kakek yang menonjol. Dua orang cewek yang tampak seperti siswi SD duduk dengan gugup di bangku mereka. Mereka tampak sangat mirip, jadi mereka kemungkinan kakak beradik.
Karena Saito diminta pergi berbelanja untuk Maho, ia turun dari bus satu sebelum ke rumah sakit, dan mampir ke rumah makan cepat saji, dan kemudian tiba di rumah sakit. Itu merupakan rumah sakit yang besar dengan 12 lantai, dan aula resepsi itu ramai dengan para pembesuk. Saito naik lift, memeriksa dirinya di cermin. Meskipun Maho menjadi alasan mengapa Saito diusir dari rumahnya sendiri, anehnya ia tidak dapat meninggalkan Maho sendirian. Mungkin Saito masih menyimpan perasaan pada Maho pada saat ia bertemu dengan Maho di pesta, itu benar-benar membingungkan.
Maho sedang berbaring di ranjang, dan menatap langit-langit. Saat Saito memasuki ruangan, Maho menatap ke atas, dan dengan panik menyeka matanya agar tersenyum pada Saito.
"Yaho, Mas. Datang untuk menemuiku lagi? Mas itu sangat menyukaiku, ya~."
"Kamu barusan menangis, bukan?"
"A-Aku tidak menangis, kok~ Air hujan barusan membasahi mataku."
"Kita sedang di dalam ruangan."
Ketidakmampuan untuk berkata jujur, sebenarnya Maho dapatkan dari kakaknya. Maho tidak tampak seperti orang yang punya banyak teman, jadi dia mungkin sedih karena kakaknya tidak datang membesuk. Saito memindahkan meja kecil di samping ranjang, meletakkan makanan cepat saji di atasnya.
"Ini, Mas bawakan kamu oleh-oleh."
"Yeeei~ Makanan yang mereka sajikan di sini pada dasarnya rasanya seperti apapun, dan cuma sayuran saja~." Maho dengan antusias membuka kantong plastik itu, dan mengeluarkan isinya.
"Cuma minuman ringan dan satu burger? Aku bilang kalau aku ingin kentang goreng juga~."
"Kalau Mas terlalu memanjakanmu, Mas-lah yang akan ditegur oleh dokter dan orang tuamu."
"Tetapi Mas akan mendapatkan banyak cinta dariku, bukan?"
"Mas tidak memerlukan itu."
"Mas mendengarkan permintaanku karena Mas ingin dicintai, bukan?"
"Itu karena kamu tidak akan membiarkan Mas sendirian."
Karena Maho sangat bersikeras ingin makan hamburger ketika Saito akan datang lain kali, Saito tidak melihat pilihan lain selain menyerah. Makanan sehat dan seimbang dari rumah sakit mungkin lebih baik untuk kesehatan Maho, tetapi - menyenangkan hatinya juga penting. Maho mungkin kekurangan tenaga untuk menggigit banyak, karena dia mengunyah hamburger dengan perlahan, dan mengangkat suara gembira.
"Mmmm! Ini dia! Makan makanan cepat saji secara diam-diam dari dokter tidak pernah tua~!"
"Apa kamu meminta Akane begini sebelumnya?"
"Mbak tidak akan pernah membelikannya untukku, Mas tahu. Mbak malah menyuapiku makanan laut yang aneh, jamur, atau embel-embel makanan sehat lainnya." Maho memasukkan sesedot minuman ringan ke dalam mulutnya, dan menyesapnya dalam-dalam. "Mekdi yang ada di Amerika itu sangat berbeda dari yang ada di Jepang."
"Benarkah?"
"Mereka menjual burger steik pertama di pagi hari, dan walaupun Mas memesan minuman ukuran S, Mas akan mendapatkan yang setara dengan ukuran L di Jepang, dan mereka punya lebih banyak kentang."
"Kamu pasti tahu banyak."
"Lagipula, aku ini seorang perantau yang kembali." Maho membusungkan dadanya dengan percaya diri.
Maho meletakkan hamburger yang setengah dimakan itu ke atas meja, menatapnya dengan tatapan yang tajam. Maho mungkin masih ingin memakan semuanya, tetapi tubuhnya tidak mengizinkannya.
"Kalau kamu masih selemah itu, mengapa kamu berkeliling dunia?"
"Itu merupakan mimpiku. Karena Ibu dan Ayah sudah banyak bekerja, menghasilkan uang untuk operasiku yang mahal, akhirnya aku berhenti terbaring di ranjang, tetapi…aku masih belum sepenuhnya kembali normal."
"Lalu mengapa kamu memaksakan dirimu..."
"Aku takut."
"Takut apa?"
Maho memegang lengannya, sedikit gemetar.
"Takut kalau aku mungkin tidak bisa bangun lagi suatu hari nanti. Aku tidak tahu kapan ajal menjemputku. Jadi, aku ingin melakukan semua yang aku mau selagi aku masih bisa."
"…Benar."
Saito merasa ia mulai mengerti dari mana tenaga yang tidak berujung Maho berasal. Maho didorong oleh perasaan panik dan tekanan. Maho cuma mencoba lari dari ketakutannya sendiri.
"Dan, saat aku bepergian keliling dunia, Mbak juga akan merasa damai. Kalau aku akhirnya sakit lagi, setidaknya Mbak tidak akan melihatku dalam keadaan begitu."
"Apa kamu juga merahasiakan semua itu dari Mbakmu?"
"…Iya. Aku selalu membuat Mbak khawatir sejak aku kecil… Mbak itu terlalu menyayangiku…"
Namun Maho sangat menyayangi Akane, itulah yang Saito pikirkan. Karena mereka saling peduli satu sama lain, mereka nyaris tidak merindukan satu sama lain, menyakiti perasaan mereka dalam prosesnya. Benar-benar pemikiran yang aneh kalau terlalu banyak rasa sayang dapat menyakiti orang lain.
"Jadi kamu mencoba merayu Mas itu demi Akane, ya?"
"Ap…"
"Awalnya, Mas kira kamu cuma cemburu karena Mas mencuri kakakmu darimu. Tetapi, ternyata bukan itu. Kamu cuma... ingin Mbakmu bahagia."
Maho menundukkan kepalanya, menyatukan kedua tangannya di atas selimut.
"…Bagaimana Mas bisa tahu?"
"Apa yang membuat Mas terganggu itu kurangnya rasa permusuhan yang kamu miliki terhadap Mas. Memang jelas kalau kamu tidak menyukai Mas, tetapi itu tidak sekuat yang Mas duga. Lagipula, Mas sudah merasakan rasa permusuhan sejati yang diarahkan pada Mas setiap hari, jadi Mas bisa tahu."
Meskipun Saito sangat berharap kalau ia tidak mendapatkannya. Setelah menghabiskan satu tahun di kelas yang sama dengan Akane, dan menikahinya, Saito menjadi cukup ahli dalam membedakan tingkat permusuhan yang ditujukan padanya.
"Aku menyerah." Maho menghela napas. "Mas benar sekali. Aku mendengar sesuatu tentang seorang cowok yang membuat Mbak marah. Karena ia, Mbak tidak bisa berada di posisi teratas di angkatannya, dan Mbak selalu merasa frustrasi karena cowok itu. Namun, Mbak dipaksa untuk menikah dengannya, itu terlalu kejam."
"…Iya, itu merupakan cerita yang konyol."
Mereka (Tenryuu dan Chiyo) itu memaksa air untuk bercampur dengan minyak. Meskipun motif mereka memberikan cinta yang tidak terpenuhi dengan cara yang berbeda, itu terlalu konyol.
"Kalau Mbak cuma akan menderita melalui pernikahan ini, jadi aku rasa akan lebih baik kalau aku menggantikan posisi Mbak. Sehingga Mbak dapat menjalani kehidupannya seperti yang dia inginkan."
"Walaupun itu berarti kamu harus menikahi Mas, dan tidak pernah bersama dengan orang yang mungkin membuatmu jatuh cinta suatu hari nanti?"
"Asalkan itu dapat membuat Mbak bahagia, maka tidak apa-apa." kata Maho tanpa ragu-ragu.
Akhirnya, gambaran tentang cewek anggun, jujur, dan sakit-sakitan, yang diceritakan dari Akane, tumpang tindih dengan gadis yang ada di depannya. Sikap Maho yang polos dan nakal hanyalah topeng palsu, dan inilah dia yang sebenarnya.
"Tetapi… aku rasa aku telah melakukan kesalahan. Mbak tampak sangat marah. Mbak bahkan bilang kalau dia membenciku sekarang. Aku kira... semuanya sudah berakhir sekarang." Air mata mulai menumpuk di mata Maho, bibirnya bergetar.
"Dia masih menyukaimu sampai saat ini. Dan itu tidak akan berubah apapun yang kamu lakukan."
Sama seperti Saito yang tidak akan pernah membenci Shisei, meskipun Shisei sering kali merepotkan. Ikatan mereka tidak akan hancur hanya karena satu atau dua pertengkaran.
"Tetapi…"
"Jangan khawatir. Mas akan ada di sini, jadi kamu tidur saja. Cepatlah sembuh, lalu temui Akane." Saito memberi tahunya, sehingga Maho akhirnya berbaring.
Tangan Maho yang ramping menyembul dari balik selimut. Saito ingat saat ia menggenggam tangan Akane dan sekarang menggenggam tangan Maho. Saat Maho membungkus telapak tangan Maho yang kecil ke dalam kedua tangannya, Maho dengan tenang menutup matanya.
"Tangan Mas… terasa sangat nyaman. Ini berbeda dari tangan Mbak, tetapi sangat menenangkan…"
"Mas sering melakukan ini pada Shisei sampai dia tertidur."
"Mengapa Mas menjagaku begini? Padahal, yang aku lakukan itu cuma menyusahkan Mas…"
"Itu…"
Saito sendiri juga tidak begitu yakin akan hal itu. Saito jelas tidak membenci Maho, dan ia sadar akan bahaya kalau ia meninggalkan Maho sendirian. Tetapi, tampaknya bukan cuma itu. Saito tidak dapat membiarkan Maho sendirian. Saito merasa harus bertanggung jawab dan menjaga Maho. Itulah yang Saito rasakan.
—Ahh, begitu.
Saito akhirnya sadar. Kebangkitan emosi ini yang tidak pernah ia bayangkan akan memilikinya, Saito bingung. Meskipun pihak lain itu orang yang membenci Saito lebih daripada orang lain.
"Mas juga…berharap akan kebahagiaan Akane."
"Mas juga begitu…?" Maho berkedip bingung.
"Saat kamu kehabisan tenaga seperti biasanya, dan menderita di tempat semacam ini, dia akan sedih. Dan… Mas tidak ingin senyumannya menghilang."
"Senyuman Mbak memang sangat imut."
"Iya, sehingga harus Mas akui."
Saito dan Maho saling tersenyum satu sama lain.
"Kamu mungkin khawatir kalau pernikahan ini akan merampas kebahagiaan Akane, tetapi Mas tidak berencana membuatnya menderita. Mas juga tidak akan mencuri kakakmu darimu. Itu sebabnya, berhentilah khawatir padanya."
Meskipun tanpa kasih sayang, tanpa cinta, bukan apa-apa selain pernikahan paksa, mereka berdua masih tinggal bersama sampai sekarang. Karena mereka berdua punya nasib yang sama, Saito ingin Akane bahagia, dan menjalani kehidupannya dengan damai. Saito ingin orang yang ia temui setiap pagi menyambutnya dengan senyuman.
"…Apa, aku merasa seperti orang bodoh sekarang. Mungkin aku seharusnya tidak pulang ke Jepang." Maho menunjukkan sikap mencela diri sendiri, tetapi Saito menggelengkan kepalanya.
"Itu tidak benar. Akane sangat sedih karena dia tidak dapat bertemu denganmu untuk waktu yang lama. Itu sebabnya Mas tahu kalau dia akan bersamamu apapun yang terjadi."
"Bisakah aku benar-benar bersama Mbak?" Maho bertanya, terdengar takut akan jawabannya.
"Tentu saja. Karena itu merupakan bagian dari kebahagiaan Akane."
Menjadi baik pada segelintir orang itu tidak selalu merupakan hal yang buruk. Merawat seseorang yang merasa sangat kuat dapat membentuk kebahagiaan orang lain.
"Bagaimana denganmu, Mas? Apa Mas tidak masalah kalau ada aku di sekitar Mas?"
"Mas cukup menikmati bermain-main seperti orang bodoh denganmu."
"…Aku juga." Maho menunjukkan wajahnya dari bawah selimut, menunjukkan senyuman yang malu-malu.
Setelah mengikuti Saito sampai ke rumah sakit, Akane mendengarkan percakapan mereka. Akane tidak dapat membiarkan mereka menjauh darinya dan tidak senang dengan kenyataan Saito memegang tangan Maho. Jadi, Akane ingin masuk, mengamuk karena marah sekali lagi, lalu—
"Mas juga…berharap akan kebahagiaan Akane."
Mendengar kata-kata ini dari Saito, Akane meragukan telinganya. Akane tidak percaya Saito akan mengatakan hal semacam itu. Akane beranggapan kalau Saito cuma peduli dengan kebahagiaannya sendiri. Namun, Akane tidak membenci ini. Detak jantung Akane semakin cepat, dan dia merasa gelisah. Bagian dalam dada Akane terasa seperti terbakar, panas memenuhi seluruh tubuhnya, membuatnya tidak yakin harus bereaksi bagaimana.
Saito berpikir kalau senyumannya tampak imut. Saito juga berharap Akane bisa terus bersama Maho. Menerima kata-kata lembut macam itu dari cowok di kelasnya yang paling dia benci, tentu saja, Akane jadi bingung. Meskipun Akane harus membenci Saito, meskipun dia selalu ingin Saito pergi.
"Mas akan keluar membeli minuman." Saito meninggalkan kamar rumah sakit.
"Ah…"
"Akane?!" Saito terdiam karena terkejut.
Akane tidak tahu harus berkata apa, wajah macam apa yang harus dia pasang. Karena refleks, Akane cuma berlari menyusuri lorong, langsung masuk ke dalam lift. Jantung Akane berdetak dengan sangat cepat sampai-sampai dia khawatir kalau jantungnya akan copot dari dadanya. Karena Akane menekan lift untuk naik, lift itu tidak bergerak satu incipun. Meskipun kaki Akane berdiri kokoh di tanah, lututnya gemetar ke kiri dan ke kanan, dan kata-kata lembut Saito menggema jauh di dalam telinganya.
—Apa ini…?!
Akane menatap wajahnya di cermin. Wajahnya semerah stroberi.