KuraKon - Jilid 4 Bab 2 (Versi Lengkap) - Lintas Ninja Translation

Bab 2
Kakak Beradik

"Mbaaak!"

"Kyaa?"

Seperti tembakan peluru dari pistol, Maho berlari ke arah Akane. Tidak dapat melawan momentum itu, Akane jatuh ke belakang, dan Maho meringkuk ke arahnya.

"Aku kembali, aku kembali, aku kembali! Ini sudah sangat lama! Aku tidak sabar untuk bertemu Mbak lagi! Aku sangat ingin memeluk Mbak!"

"Ma-Maho…tahanlah sedikit…"

Dipeluk dengan erat oleh Maho, Akane mulai pucat. Akane sudah mulai menampar telapak tangannya di lantai, menandakan kalau dia sudah menyerah. Namun Maho membenamkan wajahnya ke dada Akane, dan mengambil napas dalam-dalam.

"Ngus…Ngus…Haaaaaa, bau Mbak…baunya sangat harum…"

"Ayolah…kamu ini memang gadis yang manja, Maho."

"Hanya padamu, Mbak…Ayolah, elus kepalaku…"

"Mau bagaimana lagi, sini." Akane dengan lembut mengelus kepala Maho.

Apa sih... yang aku lihat di sini...?

Saito berdiri terdiam kaku di pintu masuk depan, merasa sangat bingung. Saito belum pernah melihat Akane bertingkah sealim seperti saat ini, dan ia merasa ragu apa orang yang dilihatnya itu benar-benar Akane. Maho juga telah benar-benar kehilangan sikap nakalnya, dan berubah menjadi makhluk yang tujuan utamanya adalah untuk menggosok dirinya sendiri pada Akane. Belum lagi persentuhan kulit mereka ternyata melampaui batas normal kakak beradik seusia mereka. Pada titik tertentu, Maho tidak bisa puas lagi cuma dengan menggosokkan pipinya ke dada Akane, sekarang beralih ke membelai payudaranya di atas seragamnya.

"Payudara Mbak, sangat lembut! Dan sepertinya sudah tumbuh lebih besar~."

"Be-belum kok…"

Saat Saito menyentuh dada Akane dengan satu jari, Akane hampir mengeksekusi Saito di tempat, tetapi Akane tidak menunjukkan perlawanan terhadap pelecehan seksual Maho, dan hanya menerimanya. Sekali lagi, Saito merasakan ketimpangan yang menimpa bumi ini.

KuraKon4-2-1


"Pasti sudah tumbuh~ Tubuhku ini mengingat ukuran payudara Mbak~."

"As-Astaga…Saito sedang menyaksikan…"

"Jadi tidak masalah kalau Si Mas tidak ada~? Sebelah sini, sini~." Maho menjadi lebih tegas, sekarang menjulurkan jarinya ke dada Akane seperti orang mesum.

"Hiyan!?" Bahu Akane tersentak.

"Ahhh, Mbak itu sangat menggemaskan! Aku tidak dapat menahan diri lagi, aku akan mencicipinya secara langsung!" Maho bergerak di atas Akane, mencoba membuka kancing blus Akane.

"Bisakah kamu beristirahat sejenak!" Setelah merasa cukup, Akane mendorong Maho menjauh.

Maho jatuh di pintu masuk. Saat Maho dengan lemah mengangkat tubuhnya, dia menatap Akane dengan mata berkaca-kaca.

"Erk, itu sakit, Mbak…"

"Ah, ma-maaf! Apa kamu terluka?" Akane bingung.

"Cuma bercanda! Aku baik-baik saja kok! Karena Mbak menahan diri, aku tidak terluka sama sekali!" Maho melompat, dan menempel pada Akane lagi.

"Kamu cuma…" Tinju Akane bergetar karena marah, tetapi dia tidak mencoba untuk menujukannya ke Maho.

Akane tiba-tiba menjadi Akane yang damai, yang belum pernah Saito lihat sebelumnya. Saito sendiri masih agak bingung dengan tindakan tiba-tiba dari adik kakak itu tetapi mengatakan satu hal yang membuatnya penasaran.

"Jadi kamu punya dua orang adik?"

"Hah? Aku cuma punya satu orang adik, kamu tahu?"

"Betul sekali! Mbak cuma butuh aku sebagai adiknya!"

Akane menunjukkan tatapan ragu, saat Maho memeluknya dengan lebih agresif.

"Tetapi… adikmu itu… seharusnya sudah meninggal sejak lama, bukan?"

Kalau begitu, lalu siapa gadis yang ada di depan mata Saito? Kalau dia itu memang hantu, maka jasadnya pasti punya sifat fisik yang aneh.

"Aku tidak pernah bilang sekalipun kalau dia sudah meninggal."

"Kamu bilang dia pergi ke suatu tempat yang sangat jauh, dan kamu tidak dapat bertemu dengannya lagi, dan kamu tampak seperti hampir menangis."

"Karena aku melakukan kunjungan ke luar negeri!" Maho menimpali.

"Kunjungan…ke luar negeri…?"

"Benar sekali! Saat aku meminta pada Nenek dengan manis seperti biasanya, Nenek memberiku banyak uang untuk uang sakuku! Itu sebabnya aku bepergian sejak kelas sembilan SMP, jadi sudah lama sekali sejak aku pulang ke Jepang!" Maho dengan penuh semangat menunjukkan tanda V dengan jarinya.

"Benarkah…" Saito kehilangan seluruh tenaganya.

Saito beranggapan kalau Akane merasa sedih dan dalam suasana hati yang buruk karena dia ingat fakta kalau adiknya sudah wafat, itulah sebabnya ia membuat rencana untuk mereka berdua berekreasi, membelikannya cincin sebagai hadiah, mencari cincin itu, dan mengalami lebih banyak masalah. Namun, semua itu hanyalah kesalahpahaman Saito. Meskipun itu membantu memperbaiki dan meningkatkan hubungannya dengan Akane, jadi pada akhirnya semuanya baik-baik saja.

"Tetapi, gambaran yang aku punya benar-benar berbeda. Dari cerita yang kamu bilang padaku, dia itu seharusnya seorang gadis rapuh yang anggun, jujur, dan imut…" Saito melihat ke setiap bagian Maho, dan mengangkat satu alis matanya.

"Ehh? Aku anggun, jujur, dan imut, bukan? Lihat, lihat, lihat~" Maho meletakkan kedua jari telunjuknya di pipinya, menunjukkan seringai yang memprovokasi.

Gerakan itu memang imut, tetapi getaran nakal itu lebih kuat dari itu.

"Dengarkan, seseorang yang bisa disebut anggun itu tidak menggunakan pagar sebagai perosotan dan juga tidak mencekik kakak mereka sendiri dengan keras."

"Ayolah, aku tidak mencekik Mbak sama sekali~ Itu cuma pelecehan seksual biasa!"

"Maho?!" Akane berteriak bingung.

"Setidaknya kamu mengakuinya secara terbuka..."

Maho menyilangkan kedua tangannya, berbicara dengan bangga.

"Tentu saja! Itu hak khusus seorang adik cewek untuk melecehkan kakak mereka secara seksual!!"

"Negara mana yang punya hak ini tertulis di dalam konstitusi mereka?"

"Konstitusi di Tanah Maho!"

"Benar... kamu punya negaramu sendiri demi dirimu sendiri..."

Maho dapat bertindak sebagai saingan yang baik melawan Shisei, yang langsung memegang kupon gratis untuk seluruh dunia di tangannya. Mungkin proses berpikir semua adik cewek di dunia ini agak selaras.

"Dengar… Maho. Pelecehan seksual itu bukanlah sesuatu yang harus kamu lakukan, oke?" Akane mencoba mengajari adiknya sesuatu yang bahkan lebih mendasar daripada pendidikan wajib.

Namun, Maho cuma berkedip polos, dan memiringkan kepalanya.

"Mengapa?"

"Me-Mengapa? Karena orang lain tidak menikmatinya."

"Apa Mbak tidak suka saat aku menyentuhmu, Mbak…?"

"Mbak tidak membencinya, tetapi…"

"Maafkan aku, Mbak…Aku tidak mau Mbak membenciku, jadi aku tidak akan menyentuh Mbak lagi…Aku akan rindu memeluk Mbakku tersayang, tetapi aku akan…berusaha menahannya kembali…" Maho mulai menangis dengan satu tangan di depan mulutnya.

Melihat reaksi adiknya itu, Akane jadi panik.

"Tung-Tunggu sebentar, jangan menangis! Tidak apa-apa, kamu tidak perlu menahan diri!"

"Betulkah…? Aku masih boleh menyentuh Mbak…?"

"Tentu saja kamu boleh!"

"Aku juga boleh…menyentuh payudara Mbak…?"

Akane ragu-ragu sejenak.

"E-Em… kalau itu cuma sedikit…"

"Bisakah aku… membelainya…?"

"Sedikit saja…"

"Mbak…" Maho menempel pada lengan Akane, dan tubuh Akane bergetar.

Pemandangan itu memang sangat merusak, saat Maho menggunakan mode adiknya, bahkan Saito dapat melihat kalau meteran kakaknya Akane naik.

"Ahh, baiklah kalau begitu! Belai mereka sebanyak yang kamu mau!"

"Yei~!"

"Kyaaaaaa?!"

Dengan izin yang diterima oleh Maho, air matanya langsung mereda, saat dia melompat ke arah Akane. Dengan kecepatan yang bahkan mesin pemijat tidak bisa dibandingkan dengannya, Maho membelai dada Akane. Sepuluh menit kemudian, Akane terjatuh ke lantai, wajahnya pucat karena dia kehabisan tenaga.

KuraKon4-2-2

"…Kamu baik-baik saja?" Saito mendekati Akane, dan berjongkok.

"…Aku baik-baik saja…"

Mata Akane telah berubah menjadi titik-titik, jelas kalau dia tidak baik-baik saja. Namun Maho tampak puas, karena dia menunjukkan peregangan yang puas.

“Haaa, aku sudah terisi penuh sekarang~ Aku merindukan Energi Mbak ini~ Karena kita sudah lama tidak bertemu, aku kelaparan~!"

"Apa kamu itu iblis yang menyedot energi kehidupan manusia?"

"Hah? Aku imut seperti iblis?! Aku benar-benar mengerti~!"

"Kamu tidak mengerti apa-apa."

Bahkan kata-kata itu pun tidak sampai pada Maho. Itu mungkin dapat dengan mudah diterjemahkan ke dalam bahasa Tanah Maho-nya.

"Aku benar-benar mengerti~ Karena aku sangat serius membelai payudara Mbak, Mas jadi cemburu, bukan? Jangan khawatir, aku juga akan merasakan payudara Mas dengan baik!" Maho menggerakkan jarinya seperti tentakel saat dia mendekati Saito, yang dengan panik bergerak mundur.

Kalau bisa, Saito ingin menghindari berakhir seperti Akane.

"Tidak perlu. Dan juga, jangan tiba-tiba memanggilku Mas begitu."

"Mas itu kan suaminya Mbak, jadi itu membuat Mas menjadi abang iparku, bukan begitu Mas."

"Iya, kamu tidak sepenuhnya salah sih, tetapi..."

Cara Maho terus memanggil Saito dengan sebutan "Senpai" sampai saat ini kemungkinan besar hanya dimaksudkan sebagai penyamaran. Apa alasan Maho melakukan itu, Saito tidak tahu, tetapi itu mungkin keisengan yang dimaksudkan untuk mengejutkan Saito dan Akane.

"Belum lagi Mas itu tipe orang yang senang dipanggil "Mas" oleh cewek cantik sepertiku, bukan? Sampai-sampai membuat Mas mengeluarkan iler!"

"Sa-Saito…?"

"Aku tentu saja tidak begitu!"

Menerima tatapan maut dari Akane, Saito dengan keras menyangkal pernyataan itu. Saito tidak dapat membiarkan Akane salah paham kalau ia punya ketertarikan jahat begitu. Itu dapat merusak hubungan mereka. Namun Maho mengangkat tinjunya ke kanan, penuh dengan energi.

"Kalau begitu, aku akan memeriksa kehidupan macam apa yang Mbak dan Mas jalani di sini!"

"Memeriksa…? Apa kamu diminta oleh Nenek?" Akane bertanya, jelas ketakutan mendengar jawabannya.

Saito juga mempersiapkan dirinya. Kalau ini merupakan semacam investigasi yang diperintahkan oleh Tenryuu atau Chiyo, mereka tidak dapat menunjukkan apapun yang mencurigakan.

"Tidak kok~ Sebagai adik Mbak, aku cuma ingin mempelajari gaya hidup pernikahan macam apa yang dibagikan kakakku dengan suaminya, Mbak tahu?"

"Ga-Gaya hidup pernikahan…" Akane mengernyit.

"Untuk saat ini, aku akan menggerebek kamar Mbak! Kalau ada pakaian tidur Mas yang tergeletak di sekitar, itu berarti Mbak dan Mas tidur bersama tadi malam! Deduksi yang luar biasa kalau aku sendiri yang mengatakannya!" Maho menyerbu ke lantai dua.

"Tung-Tunggu sebentar!"

"Aku tidak akan menunggu~! Lagipula ini kan kunjungan kejutan~!"

Akane dengan panik mencoba menghentikan Maho, tetapi dia tidak mau berhenti. Maho membuka setiap pintu yang dapat dia temukan, akhirnya menemukan kamar tidur dan menyerbu masuk.

"Ketemu~! …Tunggu, apa-apaan ini?! Dua bantal dan ranjang dua sisi?! Ranjangnya besar pula!" Mata Maho terbuka lebar karena terkejut.

"I-Iya, itu kan…untuk dua orang…, jadi…" Akane gelisah.

"Dua orang?! Jangan bilang, Mbak dan Mas tidur bersama setiap malam?!"

"Se-Setiap malam…"

"Seberapa jauh kalian sudah melakukannya?!"

"Ka-Kami belum pernah melakukan apa-apa!"

Maho meraih bahu Akane, dan mengguncangnya.

"Itu bohongkan! Mbak dan Mas pasti melakukannya, bukan! Tidur bersama setiap malam tanpa terjadi apa-apa, itu mustahil! Waaaah, keperawanan Mbak! Bunuh! Aku akan membunuhmu, Mas!" Maho melompat ke arah Saito.

Saito dengan mudah menghindari ini, dan menyebabkan Maho terbanting ke dinding, hampir mematahkan hidungnya. Maho berbalik arah dengan mata berkaca-kaca, dan memelototi Saito sambil melolong seperti binatang buas.

"Saat ini, Mas menjadikan seluruh Maho di dunia ini sebagai musuh Mas…!"

"Ada berapa banyak dari kalian di dunia ini sih?"

"Tujuh miliar orang! Dan masing-masing dari mereka itu Maho yang tak tergantikan!"

"Maaf, Mas tidak dapat mengikuti logika itu sedikitpun." Saito benar-benar bingung.

"…Jadi, apa itu enak?"

"…Hah?"

Bahu Maho bergetar karena marah.

"Aku bertanya apa malam pertama dengan Mbak itu enak, oke?!"

"Jangan tanyakan hal itu pada Mas?!"

"Aku akan tanyakan itu pada Mas! Aku ingin tahu bagaimana rasanya!"

"Dan Mbak tadi kan sudah bilang kalau kami belum melakukannya!" Akane berteriak dengan wajah yang merah padam.

"Benarkah? Sungguh?"

"Benar! Mbak dan Mas Saito dipaksa untuk menikah! Atas perintah kakek-nenek kami, kami memang harus menggunakan ranjang yang sama, tetapi tidak mungkin kami akan melakukan sesuatu yang mesum!"

Maho mendekat ke Akane, menatap matanya dalam-dalam.

"Kalian bahkan belum berciuman?"

"Tentu saja belum! Mbak tidak akan pernah melakukan sesuatu yang begitu menjijikkan!"

"Bagaimana dengan berpegangan tangan?"

"Be-Belum pernah…" Akane mengalihkan wajahnya.

Sensasi lembut telapak tangan Akane saat mereka jalan-jalan sambil berpegangan tangan kembali ke Saito. Akane sendiri pasti ingat itu, lalu dia mengepalkan tangannya dengan erat.

"Begitu~ Jadi Mas itu semacam orang cerewet yang tidak tertandingi dan tidak tersaingi sampai-sampai Mas sendiri bahkan tidak akan meletakkan tangan Mas pada gadis imut yang Mas tiduri setiap malam!"

"Iya, maaf tentang itu…"

Senyuman cerah dan lega Maho menembus dada Saito.

"..Tidak dapat memanjangkannya*?" Maho tiba-tiba menggunakan nada peduli dan perhatian yang aneh.

(TL Note: Kalian tahu lah ya, gak perlu Mimin jelasin)

"Tidak!"

"Maaf, Mas…kalau aku tahu…Aku tidak akan mengatakan sesuatu yang akan menyakiti perasaan Mas…Pfft."

"Kamu menyakiti perasaan Mas saat ini juga, kamu tahu?!"

Saito setidaknya berharap kalau Maho akan menahan tawanya sampai akhir kalau dia ingin menunjukkan kebaikan palsu.

"Tetapi, aku masih belum bisa istirahat dengan tenang, jadi aku akan menyelidiki pertunjukan malam kalian!"

"Tidak akan ada yang dapat kamu saksikan!"

"Mungkin sampai saat ini, tetapi tidak ada jaminan kalau itu tidak akan pernah terjadi, bukan? Mungkin Mas atau Mbak setengah tertidur, jadi kalian kebetulan~ Atau mungkin kalian terhanyut oleh hal-hal mes~ tertentu begitu."

"Tidak mungkin ada suasana yang seperti itu di antara Mbak dan Saito." Akane dengan keras membantah asumsi Maho.

"Eh, Mbak yakin? Mbak dan Mas ini cukup rupawan loh, jadi kalian pasti punya setidaknya fantasi mesum satu sama lain."

"Tidak akan terjadi." "Tidak pernah."

Akane dan Saito segera mengalihkan pandangan mereka dari satu sama lain.

Bagaimana dia bisa tahu…?!

Saito mulai berkeringat deras. Saito mungkin tinggal bersama dengan musuh bebuyutannya, tetapi ia juga siswa SMA yang sehat, dan Akane itu gadis yang imut dan feminim, itulah sebabnya pemikiran seperti ini tidak dapat terhindarkan. Saat Akane muncul dalam mimpinya pada satu titik, Saito tidak dapat melihat wajahnya sepanjang hari karena rasa bersalah dan penyesalan.

"Untuk memastikan kalau tidak ada hal aneh yang terjadi, aku akan berjaga-jaga. Itu akan membuat segalanya jauh lebih aman, bukan?"

"Segalanya akan lebih aman kalau kamu tidak tinggal di sini terlalu lama."

"Eh, apa, tunggu, apa itu berarti Mas mungkin akan menyerangku, ya?! Kyaaa, Mas ini memang binatang buas~."

Akane tersentak, sepenuhnya dan bangkit kembali.

"Saito?! Kalau kamu berani meletakkan tanganmu di atas adikku, aku akan menarik organ tubuhmu tanpa anestesi dengan operasi!

"Itu seharusnya penyiksaan, bukan operasi!"

Kalian jelas tidak boleh membiarkan cewek ini mempelajari perawatan operasi dalam bentuk atau jenis apapun, Saito merasakan bahaya yang merayapi tubuhnya. Ia siap untuk melarikan diri kapan saja.

"Mbak, aku mohon…Aku ingin makan masakan Mbak, sudah lama sekali aku tidak memakannya…dan mandi bersama, dan saling membasuh tubuh kita…" Mata Maho berbinar kegirangan, dan memohon pada Akane.

Tidak dapat menahan diri, Akane dengan liar memeluk Maho.

"Tentu saja kamu boleh! Tinggal selama yang kamu mau! Ini juga rumahmu, Maho!"

"Yeeeeei, Mbak itu memang sangat baik deh~!" Maho menempel pada Akane, dan menjulurkan lidahnya pada Saito.

Ekspresi memanjakan diri ini cuma membuat perut Saito mendidih karena marah.

"Cewek ini…" Saito menarik pipi Maho, tetapi dia bersembunyi di belakang Akane, mencari perlindungan.

Betapa kurang ajarnya dia menggunakan seekor naga sebagai perisai.

"Oleh karena itu, karena rumah ini telah menjadi rumahku dan Mbak, aku sudah waktunya bagimu untuk pindah, Mas!"

"Kamu lupa kalau rumah ini itu rumah Mas juga?!"

Karena rumahnya sendiri dicuri darinya, Saito menekankan hak pribadinya atas kepatutan ini. Pada akhirnya, Saito tidak akan pernah dapat lengah sekali pun ketika Maho ada di sekitarnya.

"Benarkah? Aku dan Mbak sudah tinggal di rumah ini sejak kami berdua lahir, bukan?"

"Iya, betul itu… Katakan, siapa sih kamu sebenarnya…?"

Akane dan Maho sama-sama memandang Saito seakan-akan ia adalah penyerbu rumah. Kakak beradik itu menyatukan tubuh mereka, mengancam Saito dengan tekanan besar.

"Bisakah kalian berhenti bertingkah seakan-akan aku ini orang asing?" Saito mulai merasa benar-benar terluka.

Kehilangan rumahmu, satu-satunya tempat di mana kamu dapat pulang, merupakan salah satu kengerian terbesar yang dapat kamu alami. Namun Maho tertawa terbahak-bahak, mengetukkan tinjunya yang melengkung ke dada Saito.

"Cuma bercanda~ Apa itu mengejutkanmu, Mas?"

"Daripada terkejut, Mas ketakutan."

"Kalau aku tidak bercanda, sih…" Akane berkomentar dengan kata-kata yang menakutkan seakan-akan itu bukan masalah.

Mungkin aku harus mulai menulis namaku di seluruh rumah untuk memastikan aku tidak benar-benar diusir.

Saito sedang mempertimbangkan mengamankan bukti untuk hak tinggalnya. Karena Saito sudah diusir dari rumah keluarganya, jika ia kehilangan tempat ini, ia akan berakhir tidur di jalanan. Memasuki dapur, Akane mengenakan celemek, dan mengikat pita di punggungnya.

"Baiklah, aku akan buat banyak bubur nasi kalau begitu."

"Untuk makan malam?!"

Itu jauh dari makan malam yang biasanya yang akan Akane siapkan. Biasanya, makan malam mereka itu daging, kalau tidak daging, atau mungkin beberapa daging.

"Iya, itu karena Maho sudah pulang ke Jepang." Akane tersenyum lembut.

Saito berpikir kalau Maho pasti sangat menyukai bubur nasi, tetapi ketika ia melihat ke arah Maho…

"Tidak! Apapun selain bubur nasi!" Wajah Maho menjadi pucat seperti nasi putih.

"Kamu harus makan apa yang ada di atas meja. Bubur nasi itu sangat baik untuk tubuhmu."

"Aku tidak akan pilih-pilih makanan, tetapi setidaknya jangan bubur nasi! Jangan lagi!" Maho berpegangan pada Akane, terdengar seperti dia memohon untuk hidupnya.

"Mengapa kamu itu sangat benci bubur nasi? Apakah Akane menambahkan racun atau semacamnya?"

"Tentu saja aku tidak! Memangnya menurutmu aku itu apa?!"

"Seorang pembunuh…?"

"Kasar sekali! Kamu sebaiknya berhati-hati saat sedang di luar malam ini!"

Akane bahkan terdengar seperti seorang pembunuh.

"Waktu masih kecil, aku terus-menerus disuapi bubur nasi, aku tidak tahan lagi… Rasanya juga tidak banyak, dan itu lengket seperti nori…"

"Baik."

"Mbak…!"

Akane sepertinya sudah menyerah, sehingga membuat wajah Maho berseri-seri sambil berharap.

"Cuma untuk hari ini, Mbak akan menambahkan acar plum kering."

"Bukan itu masalahnya di sini!" Maho, Si Gadis Nakal, itu hampir menangis.

Maho telah mengusili dengan Saito sepanjang hari, jadi sekarang Saito melihat kesempatannya untuk membalas Maho, dan berdiri di sisi Akane.

"Mas juga ingin makan bubur nasi. Karena kami berdua cuma makan hamburger dalam perjalanan pulang, sesuatu yang ringan di perut itu akan lebih baik sekarang."

"Maho?! Mbak kan sudah bilang kalau kamu tidak boleh makan sesuatu seperti hamburger, itu buruk untuk kesehatanmu!"

"Mas keparat! Bisa-bisanya Mas berganti pihak, ya!" Maho menyerang Saito dengan mata berkaca-kaca.

Saito menghindari ini, dan mengungsi ke belakang meja.

"Ehehe…Aku memang suka bubur nasi Mbak, Mas tahu? Aku cuma harus membuat diriku berpikir begitu, dan semuanya akan baik-baik saja…"

Melihat Maho, yang duduk di sudut ruangan, menggumamkan sesuatu pada dirinya sendiri, Saito merasa segar dan puas. Saito mengetahui bahwa satu-satunya tindakan balasan terhadap Maho yaitu bubur nasi.

"Mungkin beberapa protein tambahan itu tidak ada salahnya... apa kita masih punya telur, aku penasaran?" Akane membuka pintu kulkas.

Di dalamnya ada tubuh Shisei, yang meringkuk. Akane menjerit, yang membuat tubuh Shisei jatuh dari kulkas.

"Tung-Tunggu, Shisei-san?! Mengapa kamu ada di sini?!"

"Jangan bilang… Akane, apa kamu..." Saito segera menatap Akane dengan keraguan dan kecurigaannya sendiri.

"Aku tidak melakukan apa-apa! Aku punya alibi!"

"Orang yang pertama kali mengemukakan alibi dialah orang yang paling mencurigakan."

"Itu benar! Aku juga tidak punya motif apapun! Aku punya banyak cara lain untuk membunuhmu, sih!"

"…………Hm." Saito memutuskan kalau ia tidak mendengar bagian terakhir itu, karena ia terlalu takut untuk bertanya tentang itu.

Saito mendekati tubuh Shisei, dengan lembut menyentuh pipinya.

"Dia…dingin…"

"Kulkas kita masih baru dan sangat berfungsi…" Akane dengan hati-hati melirik ke tubuh Shisei.

Ketampakan wajah cantik bawaan Shisei tidak bergerak sama sekali, tampak seperti boneka bahkan lebih dari biasanya. Untuk memastikan apa Shisei masih bernapas, Saito dengan hati-hati meletakkan pipinya di atas bibir Shisei. Dari bibir itu terdengar suara samar.

"Shisei membutuhkan pijatan jantung dari Abang."

"Iya, dia baik-baik saja. Masih hidup dan aktif." Saito mencoba menjauh dengan cepat, namun pergelangan tangannya dicengkeram oleh Shisei.

"Shisei akan mati. Karena itu, cepatlah, Abang. Abang bisa melakukannya secara langsung."

"Memangnya Abang bisa! Kamu seharusnya lebih malu untuk melakukan hal-hal semacam ini!"

"Shisei tidak mengerti bagaimana memberikan pijatan jantung dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang memalukan."

"Apakah jantungmu terbuka atau apa?"

"Itu benar, sehingga membuat jantung itu lemah dan rapuh. Pijat jantungnya dengan ritme yang teratur."

Saito mencoba yang terbaik untuk melawan Shisei, yang mencoba dengan paksa meletakkan tangan Saito ke dadanya. Saito berjuang melawan hal yang terbungkus dalam pelecehan seksual yang dipaksakan padanya. Karena Saito tidak tertarik pada adiknya, atau merasakan nafsu apapun padanya, itu sendiri tidak akan menjadi masalah, tetapi ia punya saksi mata sekarang. Ada kemungkinan besar kalau itu akan mengundang terlalu banyak kesalahpahaman yang menyakitkan.

"Mengapa kamu ada di dalam kulkas…?" tanya Saito.

"Shisei sedang mencari beberapa sisa makanan yang dibuat oleh Akane, lalu aku akhirnya terjebak di dalam kulkas, tidak dapat keluar. Itu sering terjadi."

"Mana ada begitu. Tubuhmu itu terbuat dari apa sih, serius deh."

Shisei memiringkan kepalanya.

"Apa Abang ingin menganalisisnya?"

"Tidak terima kasih."

"Haruskah Shisei buka pakaian."

"Tolong jangan."

Shisei menempel pada Saito, yang tidak mampu mendorongnya menjauh, saat perpaduan mereka dimulai.

"Ini Shii-chan, waaaaaaah!" Maho ikut heboh, ternyata sudah pulih dari trauma bubur nasi.

Shisei langsung bersembunyi ke dalam kulkas lagi, dengan Maho berusaha membuka pintu.

"Kalau begitu, aku yang akan melakukan pijatan jantung untukmu! Serta pernapasan buatan!"

"Tidak terima kasih. Satu-satunya orang yang diizinkan untuk mencium Shisei itu hanyalah Abang."

"Saito?! Kamu…!" Akane memegang centong nasi hitamnya seperti pedang legendaris yang digunakan untuk mengusir Raja Iblis.

"Bukan begitu, oke?!" Saito melolong, jelas tidak ingin terkena amarah Akane.

Namun, Akane jelas tidak mendengarkannya. Dengan kecepatan kilat, Akane mengayunkan centong nasi, dan menghantam pilar di belakang Saito.

"Tidak aku sangka Mas bukan cuma mengambil Mbak, tetapi juga Shii-chan…Tidak dapat dimaafkan." Maho memandang Saito dengan jijik, lalu Shisei berkomentar.

"Hehe… Shisei itu saluran pengeluaran Abang untuk dorongan seksualnya."

"Mengapa kamu mencoba memperburuk situasi ini?!"

"Yang pasti aku tidak memperburuk situasi. Untuk menjaga situasinya tetap samar, Shisei akan menembakkan serangan meteor dan menghancurkan kota secara keseluruhan."

"Abang juga akan mati nantinya, kamu tahu itu, bukan?!"

Saito jelas tidak punya kekuatan pertahanan yang diperlukan untuk bertahan dari serangan meteor begitu. Shisei keluar dari kulkas, dan bersembunyi di belakang Saito. Maho meraih dua sumpit panjang di dekatnya, dan perlahan mendekati Saito.

"Mas, serahkan Shii-chan padaku… Aku pasti akan merawatnya…!"

"Caramu merawatnya itu berbau sangat ilegal menurut Mas, jadi Mas tidak akan menyerahkannya!"

"Setidaknya itu lebih baik dari apa yang Mas lakukan! Aku akan menjadikan dia peliharaanku plus boneka mainanku plus kekasihku!"

"Sebagai abangnya, Mas tidak akan pernah membiarkanmu mengambil adik Mas!" Saito menggunakan seluruh tubuhnya untuk melindungi Shisei.

Kecuali jika orang yang melamar Shisei itu diberkati dengan kecerdasan dan kecakapan, dikaruniai dengan kepribadian yang sempurna, dan punya segunung uang yang mereka punya, Saito tidak berniat menyerahkan Shisei.

"Mengapa…dia memanggil Abang 'Mas'…?" Shisei mengeluarkan suara yang sangat dingin, saat dia berlindung di dalam rangkulan lengan Saito.

"Karena aku itu adiknya Mas?"

"Cuma Shisei… sajalah yang merupakan adiknya Abang…"

"Mas itu kan kekasihnya Mbak, jadi itu otomatis membuatnya menjadi Mas-ku. Benar begitu, Mas?" Maho tidak ragu sedetikpun untuk berpegangan pada lengan Saito.

"Itu…tempatnya Shisei…"

"… Shii-chan?"

"…Shisei?"

Fluktuasi beku yang aneh itu dipancarkan dari Shisei. Meskipun Shisei sekarang sering menunjukkan ekspresinya, dia jelas marah—Bukan, merajuk. Dengan ekspresi ini, dia menunjuk Maho.

KuraKon4-2-3


"…Kontes."

"Kontes macam apa? Kita akan menggelitik satu sama lain sampai orang pertama pingsan? aku terima!"

"Mengapa kamu mau melakukan itu…" Saito melangkah di depan Shisei, dan menghalangi Maho.

"Ini merupakan kompetisi kekuatan adik untuk melihat siapa yang layak menjadi adiknya Abang yang sesungguhnya."

"Aku mengerti~! Jadi kita harus memutuskan aturannya. Menghancurkan bola mata itu tidak apa-apa, kan ya?"

"Oke." Shisei mengangguk.

"Tunggu sebentar, jangan ubah ini menjadi pertarungan mematikan."

"Tidak masalah, aku tidak akan menghancurkan bola mata Shii-chan. Aku akan melakukan itu pada Mas sebagai gantinya."

"Santai aja."

Maho dan Shisei setuju akan hal ini.

"Dengan cara apa ini seharusnya akan membuat Abang santai, ya?"

Saito mulai berpikir kalau kekuatan adik yang mereka bicarakan sebenarnya itu 'kekuatan pembunuh Abang'. Kemudian lagi, Saito tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Di saat yang sama, Maho menyilangkan tangannya, dan mulai berpikir.

"Mmm, kesulitannya ini… kalau menghancurkan mata itu tidak bagus, maka tidak ada lagi yang dapat aku lakukan…"

"Siapa kamu, alat penyiksaan khusus yang menghancurkan mata?"

"Setelah menghancurkan mata Mas, aku akan dengan lembut merawat Mas! Ini akan meningkatkan kasih sayang Mas padaku, dan aku akan diterima sebagai adik yang terhebat! Atau semacam itu."

"Ide itu memang benar-benar kacau sejak awal, jadi Mas senang kamu tidak benar-benar mencoba melakukannya," seru Saito dari lubuk hatinya.

Diperlakukan dengan baik setelah disiksa tentu saja tidak akan meningkatkan kasih sayang Saito. Sebaliknya, itu akan membuat Saito tidak akan pernah mempercayai manusia.

"Baiklah, ayo langsung saja! Aku akan mulai duluan!"

"……?!"

Maho mulai berlari, langsung menutup jarak di antara dia dan Saito. Aturan yang menghancurkan mata itu memang dilarang, tetapi serangan fisik lainnya masih menjadi pilihan. Saito meletakkan tangannya di depan wajahnya dalam bentuk X, siap untuk memblokir setiap serangan yang masuk dengan penjagaan yang kuat. Setelah menjalani berbagai perkelahian melawan Akane, Saito sudah menjadi cukup baik dalam bertahan. Namun, dampak yang diharapkan itu tidak pernah tiba. Saat ia memeriksanya, Maho telah menghilang.

Apa dia menyelinap ke sekitarku?!

Saito merasakan tekanan aneh dari belakangnya, dan berbalik arah, lalu Maho tiba-tiba menempel padanya. Lengan Maho melingkari leher Saito, dan Maho berbisik ke telinganya dengan nada yang imut.

"Hei, Mas…Kalau Mas menjadikan Maho sebagai adik Mas, aku akan melakukan sesuatu yang akan terasa sangat enak, Mas tahu…?"

"Maaf, tetapi Mas tidak akan merasa senang kalau mata Mas hancur." Saito berkata, cuma untuk memastikan.

"Aku tidak akan melakukan hal semacam itu~ Memijat bahu Mas, membersihkan telinga Mas, memijat seluruh tubuh Mas… sesuatu semacam ini, Mas tahu?" Tangan Maho menyelinap ke dalam kemeja Saito.

Jari-jari Maho yang ramping memijat kulit Saito.

"He-Hei, Maho?! Apa yang sedang kamu lakukan?!" Akane berteriak tidak percaya.

"Ini merupakan pijatan untuk Mas~."

"Menjauhlah! Ini berbahaya! Tanganmu akan meledak!"

"Bagaimana bisa aku membuat tangannya meledak…" Saito berkomentar tetapi merasa lega saat Akane menarik Maho menjauh.

"Bagaimana dengan itu, Mas? Kekuatanku sebagai adik benar-benar kuat, bukan? Berapa poin untuk itu?"

"Nol."

"Haaaah?! Mengapa?!"

"Itu terlalu erotis untuk seorang adik."

"Itulah bagian terbaiknya! Setiap anak laki-laki akan lebih suka adik perempuan yang melakukan hal-hal mesum pada mereka! Aku tahu itu!"

"Pengetahuanmu juga terlalu naif. Nol poin."

"Aku rasa aku memang harus menghancurkan mata Mas! Apa Mas tidak masalah dengan itu?!"

Saito mencegat lengan Maho yang datang untuk menyerangnya, dan berusaha mendorongnya menjauh. Alih-alih kontes kekuatan adik, itu berubah menjadi kontes kekuatan lengan. Tidak lama setelah itu, kekuatan Maho pun habis, dan dia terjatuh ke lantai.

"Apa kamu baik-baik saja…?" Akane berjongkok di sebelahnya.

Dengan suara yang gemetar, dan hampir menghilang, bibir Maho bergerak samar.

"Aku tidak dapat berjuang lagi, jadi Mbak…Tolong balaskan dendamku…"

"Iya, serahkan saja pada Mbak. Tidak peduli metode apa yang diperlukan, aku akan mengalahkanmu, Saito."

"Aku tidak pernah melakukan hal yang salah, bukan?!"

Maho mulai meneteskan air mata kesakitan.

"Iya, Mas itu memang tidak bersalah… Yang salah itu aku, karena tidak bisa menolak Mas kesayanganku…"

"Saito, tidak ada lagi makan malam untukmu selama seratus tahun ke depan!"

"Tolong jangan begitu?!" Saito memohon.

Saito mulai menantikan masakan Akane setiap hari. Saito mungkin sudah dijinakkan oleh masakan Akane yang terampil dan lezat. Shisei menggelengkan kepalanya dengan bermartabat.

"Maho tidak cocok sama sekali. Shisei-lah orang yang layak menjadi adiknya Abang."

"Shii-chan… serangan mesum macam apa yang kamu rencanakan untuk menyerang Mas?!"

"Lupakan omong kosong tentang serangan mesum itu."

"Tidak perlu melakukan hal itu. Saksikan kekuatan adik Shisei yang tidak tertandingi." Shisei menyatakan.

Shisei bergerak menuju Saito, tergelincir dengan cara yang mencolok, dan terjatuh. Shisei berusaha mendorong dirinya sendiri, tetapi terjatuh lagi. Upaya lain pun diikuti tetapi tetap tidak berhasil. Pemandangannya itu cuma bisa dibandingkan dengan—seorang bayi kecil yang mencoba langkah pertamanya. Keinginan Saito untuk melindungi pun tumbuh semakin Shisei mencobanya. Saito tahu kalau ia tidak dan membantunya dan Shisei harus berdiri dengan kekuatannya sendiri, tetapi Saito secara perlahan mendorong tangannya ke arah Shisei. Saito telah mengawasi pertumbuhan Shisei sejak dia masih kecil, jadi rasa nostalgianya cukup kuat. Dengan mata yang gemetar, Shisei menatap Saito.

"Abang... gendong Shisei?"

"Erk…!" Saito menerima kerusakan yang merugikan.

Dan Shisei belum selesai dalam melancarkan aksinya. Suara keroncongan yang samar dari perut Shisei dapat terdengar. Shisei punya bakat khusus untuk membuat perutnya keroncongan kapanpun dia mau. Karena Saito telah menghabiskan hidupnya untuk menyediakan camilan pada Shisei setiap kali dia memintanya, saat Saito mendengar suara keroncongan ini, ia merasakan dorongan tanpa syarat untuk menyuapi Shisei sesuatu. Cara Shisei terjatuh, dan perutnya yang keroncongan, itu membuat Saito gelisah. Kalau Saito tidak dapat menyelamatkan manusia yang lemah dan rapuh ini, dia mungkin akan mati kelaparan di suatu tempat. Situasi ini membangkitkan naluri ini, yang berasal dari hati seorang abang. Seakan-akan Shisei telah memperkirakan semua itu, dia dengan lembut menarik pakaian Saito.

"Gendong………"

"Poin penuh!!" Saito menggendong Shisei.

Atau lebih tepatnya, Saito melemparkan Shisei ke udara. Itu bercandaan abang dan adiknya. Shisei menunjukkan tanda V dengan ekspresi datar seperti biasanya. Maho terpaksa menggertakkan giginya.

"Aku memang benci mengakuinya…tetapi keimutan Shii-chan itu ada di level yang berbeda…aku ingin menjadikan Shii-chan sebagai adikku sendiri…"

(TL: Gak bisa lah, Dek, umur lu aja lebih muda dari doi.)

"Tidak apa-apa, Maho, bagi Mbak, kamu itu akan selalu menjadi adik nomor satu di dunia ini."

"Mbak…! Dan Mbak itu memang Mbak nomor satuku di dunia ini!"

Akane dan Maho menyatukan tangan mereka, menciptakan suasana kakak beradik yang benar-benar yang tidak akan dapat diinvasi oleh siapapun.

"Jadi, bolehkah aku mencium Mbak~?"

"Hah?! I-Itu agak…"

"Tidak apa-apa, ciuman tanpa lidah saja kok!"

"Ka-Kalau begitu, mungkin… tidak apa-apa…? Tunggu, tidak!"

"Sekarang, tidak apa-apa~ Serahkan saja semuanya padaku, Mbak. Mbak diam saja~."

Akane berusaha melawan, tetapi Maho sudah mendorong bibirnya lebih dekat ke arah Akane.

"Kalian berdua benar-benar dekat, ya."

"Kriuk! Kriuk!"

Shisei telah mengambil beberapa keripik kentang dari orang entah siapa, memakannya tanpa peduli—atau lebih tepatnya, itu ternyata itu lobak daikon. Saito juga memakan beberapa, dan menyaksikan adegan cinta itu di depan mereka yang terungkap itu seperti sedang menonton film di televisi.

"Kalian berdua! Berhenti menonton dan selamatkan aku!"

"He he he~ Tidak ada yang akan menyelamatkanmu, Mbak~ Mari kita pergi ke suatu tempat di mana hanya ada kita berdua~." Maho pergi bersama Akane.


Pada akhirnya, mereka berdua berakhir di ruang belajar Akane.

"Fiuh~ Akhirnya cuma ada kita berdua! Perasaan lega ini cuma aku dapatkan di rumahku sendiri~." Maho duduk di kursi Akane, berputar-putar. Maho bersandar di antara kedua paha Akane, meregangkan kakinya lalu mengayunkannya ke atas dan ke bawah. Cuma dari itu saja, Maho tidak tampak seperti siswi kelas sepuluh SMA.

"Dengar, Maho, Mbak rasa ciuman antara adik kakak itu tidak…" Akane berusaha membujuk Maho, yang cuma tertawa terbahak-bahak.

"Jangan khawatir tentang itu, Mbak~ aku cuma bercanda."

"Be-Benarkah…?"

"Tentu saja~! Aku tidak akan melakukan apapun yang Mbak tidak mau. Meskipun aku senang melihat kalian semua bingung."

"Karena menangis dengan keras… Bisakah kamu berhenti menggoda Mbak?" Akane menghela napas.

"Salahku, salahku. Tetapi, kita selalu dapat melakukannya kalau Mbak mau~." Maho mengedipkan mata, melemparkan ciuman Akane.

Dengan seberapa jauh Maho telah tumbuh dan menjadi cantik, Akane khawatir tentang masa depannya.

"Kalau kamu berencana untuk datang berkunjung, kamu seharusnya memberi tahu Mbak. Mbak akan menyiapkan sesuatu untukmu."

"Aku ingin mengejutkan Mbak~ Apa aku berhasil?" Maho menatap Akane.

"Tentu saja… Terutama saat kamu berdiri di pintu depan, dan bergandengan tangan dengan Saito."

"Itu wajar~ lagipula, kami habis berkencan dalam perjalanan pulang."

"Kencan?! Dengan Saito?!" Akane bingung.

Saito menolak ajakan Himari untuk berkencan, namun dia menanggapi Maho. Tentu saja, Maho punya banyak pesona, tetapi tetap saja.

"Sebut saja ini kencan, atau mungkin sedikit penyelidikan. Aku ingin melihat orang seperti apa yang akhirnya Mbak nikahi. Cowok macam apa ia, dan bagaimana perasaannya pada Mbak."

"Mbak penasaran... bagaimana perasaan Saito tentang Mbak?" Akane anehnya penasaran tentang itu.

Mereka memang masih musuh bebuyutan yang sama seperti sebelumnya. Namun, Saito telah bertindak seperti kebalikannya akhir-akhir ini. Membuat rencana untuk jalan-jalan dan menghibur Akane, membelikan cincin sebagai bukti perdamaian mereka—Akane tidak dapat membaca apa yang Saito rasakan.

"Yang lebih penting, aku punya tawaran untukmu, Mbak."

"Apa itu?"

Maho mendorong tubuhnya ke depan, mengintip ke wajah Akane. Saat ini, ekspresi Akane telah berubah menjadi sangat serius, sesuatu yang tidak kamu duga darinya.

"Haruskah aku menikahi orang itu?"

"Ap………" Akane benar-benar kehilangan kata-kata, tidak menyangka akan hal itu.

"Tujuan kakeknya dan nenek kita adalah agar cinta pertama mereka yang belum tercapai diwujudkan melalui cucu-cucu mereka, bukan?"

"Sejujurnya menyakitkan untuk memikirkan hal ini, tetapi begitulah adanya, ya."

"Kalau memang begitu, maka aku seharusnya dapat mengganti posisi Mbak, bukan? Bernegosiasi dengan Nenek, dan bayar biaya pendidikan Mbak dan segalanya sebagai hadiah. Bagaimana kedengarannya?" Maho meraih tangan Akane, dan bertanya padanya.

"Eeeeem…" Akane tidak dapat langsung menjawabnya.

Pikiran Akane benar-benar terhenti, dan bahkan pemandangan di depannya itu terasa begitu kabur dan jauh. Sejauh ini, Akane berasumsi kalau dia terpaksa menjalani kehidupan pernikahan dengan Saito untuk mencapai mimpinya sendiri, jadi dia tidak pernah membayangkan akan kemungkinan itu.

"Jadi, em…Mbak rasa dia bukan pasangan yang cocok untukmu…" Akane menjelaskan dengan kata-kata yang tidak jelas.

"Mengapa?"

"Ia benar-benar egois. Ia juga harus memastikan kalau ia yang terbaik, dan memandang rendah orang-orang di sekitarnya…" Akane berkata, mengingat kegiatan Saito yang biasanya, dan mulai marah.

"Tidak masalah! Ia mungkin yang paling pintar dari kami berdua, tetapi aku jauh lebih imut, jadi aku bisa menang! Aku akan membuatnya jatuh cinta padaku dengan pesonaku!" Maho berkata dengan penuh percaya diri.

Dengan betapa Maho mencintai dirinya sendiri, dia mungkin dapat menyaingi cinta Saito untuk dirinya sendiri. Akane terus mengeluh tentang Saito.

"Ia benar-benar aneh dalam hal kebersihan, mengatakan kalau tidak perlu mencuci mangkuk nasi setelah sepanjang waktu."

"Itu berarti aku cuma harus tenang dalam hal pekerjaan rumah~."

"Ia juga tidak bisa memasak banyak, dan begitu Mbak membuang muka, ia lebih memilih untuk membuat ramen gelas."

"Aku suka ramen gelas, jadi aku sangat senang tentang itu!"

"Ia sering memainkan gim zombi yang menjijikkan begini."

"Kedengarannya seru, menembak zombi begitu!"

"………"

"Apa?" Maho memiringkan kepalanya saat Akane tiba-tiba terdiam.

Saito dan Maho mungkin akan benar-benar cocok. Paling tidak, mereka tidak bertengkar sebanyak Akane dan Saito.

"Apa kamu… tidak masalah dengan itu? Menikahi seseorang yang bahkan tidak kamu sukai?"

“Hah~? Haruskah Mbak benar-benar menjadi orang yang mengatakan itu?"

"Mbak… Mbak tidak tertarik pada cinta. Selama Mbak bisa mencapai impian Mbak, ini merupakan pengorbanan yang diperlukan."

"Benar, Mbak itu memang tipe orang yang begitu, ya."

"Apa itu buruk?"

"Tidak, itu meyakinkan~." kata Maho sambil tersenyum.

"Meyakinkan? Dalam hal apa?"

"Bahwa Mbak belum berubah sama sekali dibandingkan sebelumnya, dan Mbak masih belum dewasa."

"Kamu mengolok-olok Mbak, bukan?"

"Sama sekali tidak! Aku suka cara Mbak yang tidak punya ketertarikan seksual sama sekali, tanpa ada laki-laki yang tertarik pada Mbak, jadi Mbak mungkin akan berakhir sendirian sebagai seorang nenek-nenek!"

"Itu... bukan sesuatu yang Mbak sebut sebagai pujian." Akane bingung.

Akane ingin hidup dengan dikelilingi oleh teman dan kucing, meskipun satu-satunya teman yang dapat diandalkannya hanyalah Himari.

"Memang, aku tidak terlalu mengenalnya, tetapi setidaknya wajahnya itu tipeku."

"Ha-Hah, Mbak mengerti…"

"Kalau soal gaya rambutnya, ia memang tidak punya kepedulian sama sekali, tetapi ia punya kemampuan untuk menjadi tampan, bukan? Kalau aku dapat mengatur modenya dengan benar, ia mungkin akan menjadi cowok yang tidak akan pernah membuatku malu ke manapun kami pergi."

"Dan ke mana kalian akan pergi, kalau begitu."

"Luar angkasa, aku rasa?"

"Kalian berdua akan mati."

"Kami dapat menggunakan fungsi pernapasan di dalam ruang hampa, bukan?"

"Apa kamu tahu kalau kalian hanyalah manusia?"

Akane khawatir kalau Maho mungkin melihat dirinya sendiri sebagai robot.

"Karena wajahnya itu tipeku, aku dapat dengan mudah melakukan hal-hal mesum dengannya, jadi tidak ada masalah, bukan?"

"Ha-Hal-hal mesum..." Akane merasakan kekayaan bersih Saito jadi memanas setelah mendengar kata-kata yang terang-terangan adiknya.

Maho meletakkan lututnya di kursi, dan memeluk kakinya yang indah.

"Jika kalian sudah menikah, kalian harusnya melakukan hal-hal mesum, bukan? Tanpa seks, kalian hanya akan berakhir dengan perceraian. Apa Mbak berencana untuk menjadi pasangannya selama sisa hidup Mbak?"

"Itu…Ia juga tidak menginginkan itu, dan pernikahan kami cuma sah di mata hukum, itulah yang kami setujui…"

"Aku benar-benar berpikir kalau pernikahan yang tulus akan membuat kalian berdua bahagia~."

"Erk…"

Itu terlalu masuk akal, Akane tidak punya cara untuk membantah. Orang tuanya memang tampak dekat, dan pasangan yang sakinah. Akane tidak dapat memungkiri kalau hubungan dan pernikahan mereka dapat dibilang ideal. Hubungan Akane dengan Saito tidak dapat jauh dari itu.

"Ayolah, ayolah, lihat ini~ Kami berdua sudah sampai sedekat ini~." Maho mengeluarkan ponsel pintarnya, menunjukkan sebuah foto pada Akane.

Foto itu menunjukkan Maho di mana dia sedang mengisap jari Saito, menunjukkan tanda damai. Saito tidak mencoba menyangkal itu, karena ia menunjukkan ekspresi yang kesulitan tetapi bahagia.

"A-Apa ini…" Akane meragukan matanya.

"Ia ada saus hamburger yang menempel di jarinya, jadi aku menjilatnya sampai bersih. Ia senang, bilang kalau aku 'imut seperti orang yang bahagia'."

"Ti-Tidak mungkin...Saito tidak akan pernah..."

Mengesampingkan Shisei, Saito tidak akan pernah membuka hatinya dan menunjukkan kelemahannya begitu pada gadis lain. Akane tidak pernah bisa membayangkan kalau Saito melakukan hal semacam itu. Saito lebih dari orang yang keras kepala dari apapun.

"Itu benar. Aku benar-benar mengisap jarinya!" Kata Maho memperagakan kembali gerakan yang dia lakukan.

Cara lidahnya bergerak di sepanjang jarinya benar-benar tampak mesum. Kalau seorang cewek dengan penampilan seperti Maho melakukan itu pada seorang cowok, mereka akan langsung jatuh ke dalam pesonanya.

"Kalian itu baru saja bertemu, bukan…?"

"Iya! Tetapi, aku kira kami cuma punya kecocokan yang hebat. Kami langsung segera akrab! Sekarang kami cuma perlu menikah, menjadi pasangan suami istri yang mesra, dan Mbak akan bisa hidup dengan tenang, bukan?"

"Iya, itu akan… melegakan, Mbak rasa?"

Setidaknya mereka akan menjadi pasangan yang lebih baik daripada Saito dan Akane yang selalu bertengkar.

“Aku senang~! Serahkan saja ia padaku, kami akan benar-benar akur~!"

"Ah…"

Akane mencoba meraih tangan Maho dalam upaya untuk menghentikannya, tetapi Maho sudah menyerbu keluar ruangan. Langkah kaki Maho terdengar berlari menuruni tangga.

Mengapa…mengapa aku mencoba menghentikannya?

Akane bingung dengan tindakannya sendiri. Dan itu bukan satu-satunya hal yang membuatnya bingung. Mengapa dia tidak dapat segera menanggapi ketika Maho menawarkan untuk menikahi Saito sebagai gantinya? Itu merupakan kesempatan sempurna untuk menyingkirkan teman sekelas cowok yang paling dia benci, dan menggapai impiannya dengan biaya pendidikan yang akan dia terima. Dan kalau itu masih belum cukup...saat dia melihat foto Maho dan Saito, mengapa dadanya jadi sakit? Rasa sakit itu belum hilang, mencabik-cabik Akane sebagai perasaan tidak nyaman yang tajam.

"Mungkin… aku hanya sedang tidak enak badan." Akane menekan tangannya di dadanya, dan berdiri di sudut ruangan.


Saito memasukkan tubuhnya ke dalam air hangat, lalu ia mengendurkan semua anggota tubuhnya. Bahkan ketika ia tinggal di kediaman utama, ini merupakan salah satu tempat di mana ia bisa sendirian. Itu memungkinkannya untuk menghindari niat buruk dari orang tuanya, dengan kamar dan kamar mandinya adalah satu-satunya area privasi. Mungkin ia telah jatuh cinta pada membaca buku karena itu memungkinkannya untuk menikmati sedikit kesendirian cuma dengan menikmati berbagai dunia yang ia baca. Itu juga berlaku untuk mandi, itu memungkinkannya untuk melarikan diri dari medan perang yang terus menerus yaitu rumahnya.

Tidak peduli situasinya, bahkan Akane tidak akan menyerbu ke dalam bak mandi, jadi Saito  benar-benar dapat menikmati momen kedamaian dan ketenangan ini. Karena Shisei dan Maho akan menginap, ia memutuskan untuk benar-benar menikmati kebebasan ini selama yang ia bisa.

"Mas! Maho-nya Mas yang menggemaskan telah datang untuk membasuh punggung Mas!"

Pintu kamar mandi terbuka, benar-benar menghancurkan ketenangan yang damai yang Saito nikmati beberapa menit sebelumnya. Maho menyembunyikan bagian sensitifnya dengan handuk, dan menyerbu ke dalam bak mandi. Meskipun begitu, dua buah gunung miliknya menonjol dari balik handuk. Saito segera mengalihkan wajahnya.

"Mas sudah membasuh punggung Mas, jadi pergilah!"

"Jadi aku harus mencuci tempat yang lebih gila lagi?! Mas, dasar mesum!"

"Tempat apa yang kamu bicarakan?!"

"Usus dua belas jari Mas!"

"Itu mustahil..." Saito menelan ludah.

Saito sangat bingung, ia kehilangan kesempatan untuk mengusirnya.

"Memaksa seorang cewek untuk mencuci usus dua belas jari, mas itu benar-benar mesum!"

"Siapa sih yang punya fetis seperti itu?!"

"Di bagian mana Mas mau aku memasukkan sikatnya? Bagian atas atau bawah?"

"Jangan keduanya, tolong?!" Saito memohon karena hidupnya bergantung pada hal ini, yang secara teknis memang begitu.

Saat beberapa langkah cepat tiba di telinga Saito, Maho mendekati bak mandi.

"Nah, sekarang, Mas tidak perlu malu~ Lagipula, kita sangat dekat sekali, Mas."

"Dalam hal apa."

"Kita ini lahir di planet yang sama?"

"Itu menunjukkan kalau kita hanyalah orang asing."

Itu merupakan hubungan yang sama yang dimiliki Saito dan tujuh miliar orang lainnya di muka bumi.

"Karena kita dilahirkan di dunia paralel yang sama?"

"Itu membuat kita semakin jauh lagi!”

"Dan hari ini, kita menjadi sepasang kekasih!"

"Jelas saja tidak!"

"Kita benar-benar sepasang kekasih! Karena aku yang memutuskan begitu! Hak untuk menyangkal? Mas tidak punya itu!"

"Apakah kamu itu Permaisuri jahat?! Pergi! Sekarang juga!" Saito berteriak seperti sedang mencoba mengusir hantu.

Dari belakang, lengan Maho melingkari leher Saito. Lengan Maho yang putih, bersinar cukup terang untuk membutakan Saito, lalu Maho menggerakkan jari-jarinya di sepanjang tubuh Saito. Napas yang lebih hangat dari udara musim panas menggelitik telinga Saito.

"Kalau Mas mengusirku, aku akan memberi tahu Mbak kalau Mas menyerangku, oke?"

"?!" Tubuh Saito berkedut. "Akane bukan tipe orang bodoh yang percaya omong kosong semacam itu…"

"Aku penasaran tentang itu~ Kata-kata siapa yang akan Mbak percayai? Kata-kata dari orang yang dia tidak senangi, yang mana itu kata-kata Mas, atau kata-kataku, kata-kata adik yang Mbak sayangi?"

"Kata-kata Mas, tentu saja………" Saito berbicara dengan nada seperti robot dan datar.

Akane selalu saja meragukan ketika itu berkaitan dengan Saito, jadi tidak mungkin Akane benar-benar memberinya waktu untuk menjelaskannya sendiri, apalagi mendengarkan dengan cermat. Maho meletakkan tangannya di depan mulutnya, bertingkah seakan-akan dia sedang menangis.

"Ahhh, betapa kasihannya kamu, Mas. Mas akan dilaporkan ke polisi, dimasukkan ke penjara, dan menjalani hukuman 350 tahun!"

"Mas akan mati pada saat hukuman Mas berakhir!"

"Sampai Mas sepenuhnya menjalani hukuman Mas, Mas akan terus dihidupkan kembali sampai berulang kali."

"Benar-benar seperti neraka hidup."

Saito setidaknya menginginkan empati manusia dan membiarkannya terbunuh di tempat. Itu memang fakta bahwa, kalau Saito menjadikan Maho musuhnya, hidup bersama dengan Akane akan berubah menjadi neraka yang lebih buruk daripada yang seharusnya. Belum lagi cewek ini mungkin sangat serius ketika dia memutuskan untuk melakukan sesuatu.

"Lalu akan jadi apa ini nantinya? Tentunya, kita berdua akan hidup rukun, bukan…?" Maho dengan lembut berbisik di telinganya, tetapi ini jelas tidak lain merupakan ancaman.

"…Lakukan apa yang kamu mau." Oleh karena itu, Saito tidak punya pilihan lain selain menyerah.

"Yei~! Aku akan melakukan apapun yang aku mau dengan Mas!"

"Mas tidak bilang setuju dengan itu! Basuh saja punggung Mas dan pergi dari sini!"

"Ya ampun, dingin sekali~ aku tahu kalau Mas sebenarnya senang."

"Tidak sedikitpun."

Kalau itu siswa di kelas Saito, mereka pasti akan sangat ingin mengalami situasi semacam ini, tetapi situasi Saito saat ini berbeda. Kalau Akane mengetahui kalau Saito sedang mandi dengan adiknya, semuanya akan kacau balau. Apalagi Maho masih duduk di bangku SMA seperti mereka.

"Kalau Mas sudah membasuh punggung Mas sendiri, maka Mas boleh membasuh tubuhku kalau Mas mau?"

"Tidak, terima kasih, Mas cuma ingin menikmati mandi yang tenang."

"Meskipun Mas akan membasuh Shii-chan?"

"Itu sudah lama terjadi di masa lalu."

"Hah, jadi Mas pernah melakukan itu sebelumnya. Setiap sudut tubuhnya…"

"Mas tidak melakukannya karena Mas mau, oke. Itu karena Shisei tidak dapat melakukan apapun sendiri…"

Maho meletakkan tangan kanannya di pipinya karena dia tersipu.

"Mas, itu mesum~."

"Erk…"

Mendengar kata itu dari cewek itu dari semua orang memang sangat mengganggu. Sebagai adiknya Akane, Maho mungkin tahu persis di mana harus menyerang agar itu menyakitkan. Maho duduk di bangku kecil, dan mulai berkeramas. Sementara Maho memejamkan mata, Saito dapat melarikan diri dari bak mandi, jadi ia bangun.

"…Mas? Kalau Mas mencoba melarikan diri, aku akan memberi tahu Mbak, oke?"

"Haha…Mas rasa pilihan itu juga gagal." Saito tertawa lemah dan pasrah, dan kembali ke bak mandi.

Saito tidak tahu apa cewek itu benar-benar cerdik atau tidak. Sekarang setelah ini, Saito harus pastikan untuk memuaskan segala keinginan Maho. Di saat yang sama, Maho membilas rambutnya, menggunakan spons untuk membasuh tubuhnya selanjutnya. Saito mencoba yang terbaik untuk mengalihkan pandangannya, tetapi pemandangan itu masih terus muncul dalam tatapannya.

"Ah, Mas menatap sangat keras~."

"Mas perlu memastikan kalau kamu tidak tiba-tiba menyerang Mas saat Mas membelakangimu."

"Iya iya, aku mengerti~." Maho berkomentar dengan nada yang menggoda.

"Kamu jelas tidak mengerti."

"Mas dapat menatap sebanyak yang Mas mau. Lagipula, kita kan pasangan." Maho mengangkat tangannya, dan memamerkan ketiaknya yang menawan, dan lalu membasuhnya.

Setelah itu, Maho mendorong kakinya yang telanjang seakan-akan dia ingin pamer, menjalankan spons itu di sepanjang kakinya juga. Meskipun itu sangat provokatif, penampilan Maho memberinya semua hak untuk melakukannya. Saito tidak dapat terpesona oleh Maho, dan Maho juga tidak dapat menunjukkan reaksi apapun, karena itu juga akan menandai kekalahannya. Kalau Saito terjebak dalam kejenakaan Maho, Saito tidak tahu apa yang akan Maho lakukan padanya. Belum lagi Saito masih belum tahu tujuan Maho melakukan semua ini.

"Baiklah…" Maho selesai membasuh tubuhnya, meletakkan embernya, dan melihat ke arah Saito.

Bibir Maho bergerak sedikit, dan membentuk senyuman predator.

"Maaf sudah membuat Mas menunggu."

"Mas tidak menunggumu kok. Mas sedang sibuk menghafal kamus."

"Lupakan saja itu, dan mari kita lakukan sesuatu yang lebih menarik…oke?" Jari-jari kaki Maho menyentuh bak mandi, lalu kakinya yang panjang dan ramping tenggelam jauh ke dalam air panas.

Paha Maho yang mempesona tampak dibuat dengan gading, sangat ramping, dan setiap bagian tubuhnya memancarkan pesona yang memikat. Cuma karena Maho memasuki bak mandi, Saito merasakan suhu airnya naik. Atau, mungkin suhu Saito sendiri yang naik itulah semua yang ia tahu.

Maho - itu cantik. Sangat cantik sehingga dia dapat dengan mudah menyaingi kakaknya. Yang paling menakutkan dari semua itu ialah Maho tidak membenci Saito. Maho duduk menghadap Saito, menenggelamkan tubuhnya ke dalam air hangat. Dengan lutut sampai ke dadanya, Maho meletakkan tangannya di atas lututnya, menatap Saito dengan sedikit rasa penasaran.

"Apa Mas sudah pernah mandi dengan Mbak?"

"…Belum."

Saito tidak tahu harus menatap ke mana. Bahkan dengan terpaksa mengalihkan pandangannya mungkin membuat Saito tampak seperti ia terlalu sadar pada Maho, itulah sebabnya ia ragu-ragu untuk melakukan itu. Kalau Maho memastikan kalau dia lebih unggul, dia mungkin akan sepenuhnya memainkan kartunya begitu.

"Bagaimana dengan cewek lain? Di luar keluargamu."

"Belum pernah."

"Itu berarti aku orang yang pertama buat Mas, kalau begitu. Dan juga, Mas juga orang yang pertama buatku." Maho menunjukkan senyuman yang polos.

Permukaan air bergerak sedikit, memperlihatkan tubuh Maho yang seputih salju di bawahnya. Pinggang Maho terlihat cukup ramping sehingga Saito dapat mengangkatnya dengan kedua tangan saja. Maho menghela napas pelan, lalu menatap Saito.

"…Hei, Mas. Mau menikah denganku?"

"Ap…? Apa yang kamu bicarakan?" Saito jadi bingung, dan berbalik bertanya.

"Nenek kami dan kakek Mas mau cucu-cucu mereka menikah satu sama lain, bukan?"

"Iya, Mas pikir begitu."

"Kalau begitu kalau denganku seharusnya tidak masalah, bukan?" Maho meletakkan satu tangannya ke lantai bak mandi, mendorong tubuhnya maju menuju Saito.

Bahu Maho yang telanjang mendekat ke arah Saito, lalu aroma wangi melayang dari keberadaannya.

"Apa Mas tidak muak selalu bertengkar dengan Mbak?"

"…Iya. Mas tidak pernah punya waktu untuk bersantai setelah masuk SMA."

"Daripada dengan Mbak, yang bahkan tidak dapat membuat Mas bersimpati, menikah denganku seharusnya akan jauh lebih menyenangkan, bukan?"

"Kamu sendiri itu pembuat onar."

Setelah Maho muncul, semakin banyak kelelahan yang terkumpul di dalam Saito. Sepertinya kedua kakak beradik itu punya keterampilan dalam memanipulasi cowok.

"Aku itu tipe orang yang benar-benar menawarkan dirinya kepada orang yang aku sukai, jadi aku akan melakukan apapun yang Mas mau, Mas tahu?" Maho menatap Saito.

Tidak ada secercah kebohongan yang dapat dilihat di mata Maho yang lebar. Di rambut panjang Maho ada tetesan air yang jatuh ke bak mandi.

"Apapun yang Mas mau..."

Meskipun dikelilingi oleh air, tenggorokan Saito terasa kering.

"Apapun. Selama Mas bilang 'Iya', tubuh ini menjadi milik Mas. Mas juga dapat bermain dengannya sebanyak yang Mas mau, dan aku akan melakukan apa saja." Maho menggunakan tangannya yang basah untuk menyentuh pipi Saito.

Lutut Maho terdorong di antara kedua kaki Saito, membuatnya tampak seperti sedang memeluknya.

"Tidak dapat melakukan apapun saat hidup bersama dengan cewek cantik seperti Mbak, pasti berat buat Mas?"

"Kami bahkan tidak berada dalam hubungan yang seperti itu sejak awal."

"Itu menyedihkan. Kalian sudah menikah, bukan? Apa Mas tidak punya ketertarikan pada cewek?"

"Mas tidak akan bilang kalau Mas sama sekali tidak punya, tetapi..."

Karena Saito itu anak SMA yang sangat sehat, ia punya keinginannya sendiri. Kalau Saito tidak tinggal bersama dengan musuh bebuyutannya,  Akane, ia mungkin tidak akan tahu seberapa jauh keadaan telah berubah sebaliknya.

"Iya, kan? Lalu, aku yang akan mengambil alih dan membebaskan Mas." Maho berbisik dengan nada yang menggoda, dan penuh gairah.

"……!"

Godaan Maho terlalu kuat. Seperti yang Maho katakan, Maho akan mampu menawarkan Saito kehidupan yang jauh lebih damai daripada dengan musuh bebuyutannya, Akane. Selama Saito menikahi cucu dari Keluarga Sakuramori, Tenryuu akan menawarkan Saito, Houjo Group. Maho terkadang dapat sedikit menyebalkan dan kurang ajar, tetapi mereka jelas tidak akan bertengkar setiap hari. Kalaupun begitu, cara Maho yang dengan tegas mendekati Saito membuat Saito merasa senang, dan ia juga tidak mengeluh tentang penampilannya. Namun–

"Biarkan Mas... pikir-pikir dulu." Saito meletakkan telapak tangannya di dahinya.

"Mengapa Mas harus memikirkannya? Aku ini jauh lebih nyaman daripada Mbak, bukan?" Maho merengut.

"Jangan menyebut dirimu itu sebagai cewek yang nyaman."

"Itu kebenarannya. Akankah Mbak mandi bersama Mas? Akankah Mbak mau menerima semua keinginan dan harapan Mas? Mbak tidak akan melakukannya, bukan? Tetapi, aku akan melakukannya." Maho memeluk Saito.

Dada Maho yang lembut ditekan ke Saito, berubah bentuk. Sensasi tiba-tiba ini membuat darah Saito mendidih.

"Aku… akan menjadi cermin dari semua keinginan Mas." Maho dengan samar-samar bergumam.


Merasa sangat lelah, Saito langsung pergi ke kamar tidur. Lalu ia meringkuk di bawah selimut, dan menghela napas. Ia bahkan tidak punya tenaga atau waktu untuk membaca buku sebelum tidur seperti biasanya.

"Kamu kelihatannya lelah, apa ada sesuatu terjadi?" Akane sudah memasuki ranjang sebelum Saito, menutup buku referensinya sambil bertanya pada Saito.

"Adikmu itu terlalu banyak bermain-main denganku. Tidak tahu apa dia itu terlalu bebas, atau terlalu energik."

Saito tidak memberi tahu Akane tentang tawaran Maho untuk menikah dengannya. Kalaupun ia memberi tahunya, tidak akan ada apapun yang akan berubah, dan mungkin akan lebih baik untuk memberi tahu Akane kalau ia sudah serius mempertimbangkannya, namun ia mendapati dirinya ragu-ragu karena suatu alasan.

"Kamu tahu, aku senang dapat melihatnya seaktif ini."

"Pasti ada batasannya, bukan?"

"Setidaknya ini lebih baik daripada melihatnya sedih sepanjang waktu. Saat dia masih muda, dia selalu sakit-sakitan, selalu terbaring di ranjang, jadi aku selalu khawatir padanya."

Akane berbalik ke kamar tamu tempat Maho tidur, menunjukkan ekspresi nostalgia tetapi juga ekspresi kesulitan. Saat Akane membimbing Maho ke kamar itu, dia sudah menyiapkan perlengkapan tidur dan pakaian tidur yang akan membuatnya tetap hangat dengan segala cara. Perhatian dan kekhawatiran Akane terhadap adiknya mungkin masih kuat seperti sebelumnya.

"Maho itu selalu sangat rapuh, bukan?"

"Maho memang begitu, dan dia juga menderita penyakit parah saat dia lahir. Saat masih duduk di bangku SD, dia bahkan hampir tidak bisa menghadirinya, dan juga, satu-satunya orang yang bisa dia ajak bicara secara teratur hanyalah aku."

"Itu sebabnya dia berubah menjadi siskon seperti itu..."

Melihat betapa terbuka dan komunikatifnya Maho saat ini, sulit dipercaya kalau dia pernah terkurung di dalam kamarnya. Saito tidak bisa tidak penasaran dari mana Maho mendapatkan tenaga tanpa akhir itu. Akane cuma melanjutkan sambil tersenyum.

"Kalau dia dapat hidup bahagia, maka itulah yang terpenting bagiku. Dia memang dapat menjadi sedikit egois dari waktu ke waktu, tetapi aku ingin menanggapi keegoisannya meskipun begitu. Aku ingin dia menjalani kehidupan yang damai dan bahagia."

"Anehnya kamu baik sekali kalau dengan adikmu." Saito merasa kagum dengan fakta itu.

"Apa maksudmu anehnya!"

"Aku bilang kalau aku ingin melihat beberapa kebaikan itu diarahkan padaku sesekali."

"Hah? Bisakah kamu berhenti mengatakan hal-hal yang menjijikkan begitu?" Akane menatap Saito seperti ia itu sampah masyarakat.

"Itulah yang aku maksud…"  Saito mulai merasa terluka dan kalah.

Kalau Akane menunjukkan setidaknya 10% dari kebaikan yang dia fokuskan pada adiknya itu pada Saito, kehidupan mereka bersama yang damai akan meningkat sepuluh kali lipat. Mereka berdua terdiam di saat yang sama, keheningan memenuhi kamar tidur itu. Akane pasti merasa mengantuk sekarang, karena dia habis bermain banyak gim dengan Maho dan Shisei sepanjang waktu setelah makan malam, dan malam itu juga berkembang cukup pesat. Tepat saat Saito siap untuk tertidur, Akane mengeluarkan suara yang tidak diduga.

"He-Hei, begini… ada yang ingin aku tanyakan." Suara Akane terdengar penuh dengan ketegangan dan kecemasan.

"Apa?"

"Apa kamu... ingin bercerai denganku...?"

"Hah?" Saito bingung.

Saito penasaran apa Akane mungkin mendengar apa yang Saito dan Maho bicarakan di kamar mandi. Kalau Akane mungkin tahu mereka sedang mandi bersama. Keringat dingin dan panas membara menjalar ke tubuh Saito.

"Mengapa… kamu menanyakan itu padaku?" Saito tidak tahu seberapa banyak yang Akane tahu, jadi ia harus memprosesnya dengan hati-hati.

"A-Aku cuma penasaran."

"Mengapa?"

"Ada apa! Jawab saja aku! Lagipula kamu kan tidak punya privasi apapun!"

"Aku sangat berharap kalau aku punya."

"Kamu tidak punya! Kamu itu seperti seekor monyet di kebun binatang yang diawasi sepanjang hari!"

Tempat ini bukanlah kebun binatang, dan Saito jelas bukan seekor monyet. Saito setidaknya menginginkan sedikit privasi.

"Jika aku bilang kalau aku ingin cerai, apa kamu akan setuju dengan itu?"

"Em…itu…" Akane ragu-ragu dengan jawabannya.

"Apa itu? Kalau kamu bertanya padaku, maka kamu juga harus sudah menyiapkan jawabanmu sendiri, bukan?"

Agar Akane tidak tahu apa yang terjadi di kamar mandi, Saito dengan paksa memojokkan Akane dengan pertanyaan itu. Tampaknya, itu menunjukkan efeknya, lalu Akane mengernyit.

"E-Erk… Terserahlah! Tidur saja sana!"

"Aku akan melakukan itu."

Saito dan Akane saling membelakangi, dan tidak lama tertidur.


←Sebelumnya          Daftar Isi           Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama