KuraKon - Jilid 4 Bab 1 - Lintas Ninja Translation

Bab 1
Adik Kelas

Saito sedang membaca buku di halaman sementara matahari menyinarinya dengan cahaya yang terik. Selama istirahat makan siang, tidak banyak orang yang datang ke halaman, begitu pula Akane yang bertengkar dengannya, sehingga memungkinkan Saito membaca bukunya dengan tenang. Angin sepoi-sepoi yang dipenuhi oleh aroma rumput dan bunga menggelitik pipi Saito, saat ia membalik halaman demi halaman. Tepat saat Saito menikmati keheningan ini yang bahkan dirasakan di rumahnya sendiri, seseorang memanggil Saito dari belakang punggungnya.

"Senpaaaai~."

Itu merupakan suara sengau yang imut. Seharusnya tidak ada orang yang menyapa Saito dengan cara begitu. Penasaran siapa itu, Saito berbalik arah. Setelah melakukannya, Saito disambut oleh seorang gadis berambut panjang, yang mengunci tangannya di belakang punggungnya, dan mendorong tubuhnya ke arah Saito. Dia masih punya sentuhan polos di wajahnya, tetapi dia punya keimutan seorang idola. Matanya yang besar dipenuhi dengan tenaga, dan hampir menggoda. Alasan dia menyimpan suasana masa muda ini buatnya kemungkinan besar adalah karena dua jepit rambut berbentuk hati yang dia gunakan untuk mengikat rambutnya menjadi dua kepang. Namun, sosoknya yang ramping itu ditekankan di tempat yang seharusnya, memberinya pesona dewasa, dan pahanya yang ditutupi dengan sabuk garter itu sangat memikat, setidaknya.

Tak lama setelah melihat, Saito disambut dengan perasaan deja-vu. Meskipun Saito bahkan tidak mengenal gadis, rasanya seperti mereka pernah bertemu sebelumnya. Saito menelusuri ingatannya, dan menemukan petunjuk. Dia mirip dengan seorang gadis yang membuat Saito tertarik pada pandangan pertama sebelumnya. Saat pesta yang diadakan untuk merayakan kelulusan Saito yang diadakan di vila Tenryuu, Saito pernah melihat gadis berambut panjang seperti dia sebelumnya. Pada saat itu, dia pasti masih duduk di bangku SD, tetapi masuk akal kalau sekarang dia tumbuh seperti ini.

KuraKon4-1-1


"…Siapa kamu?" Saito bertanya, dan bingung.

Sebagai tanggapan, gadis itu menutup mulutnya, dan matanya terbuka lebar karena terkejut.

"Eh, Senpai, kamu tidak kenal siapa aku? Ayolah, ini aku! Maho!"

"Ma-siapa, lebih seperti! aku belum mengenalmu!"

"Kamu yakin belum pernah mendengar tentangku sama sekali? Aku Maho, orang pertama yang berhasil terbang ke luar angkasa tanpa menggunakan roket apapun!"

"Kalau begitu, aku pasti yakin pasti pernah mendengarnya!"

Selama Saito tidak kehilangan ingatannya dari salah satu serangan Akane, ini tentu menjadi pertemuan pertama mereka. Saito jadi ragu apakah ini semacam penipuan atau bukan. Sebagai tanggapan, gadis yang menyebut dirinya sebagai Maho ini meletakkan jari-jarinya di bibirnya, dan bergumam.

"Hmm… begitu. Iya, begini saja juga tidak terlalu buruk."

"Aku tidak tahu apa yang membuatmu begitu bersemangat, tetapi... apa yang kamu inginkan dariku?"

Menghadapi pertanyaan Saito, Maho berjalan di depan Saito. Wajah Maho yang rupawan semakin mendekat ke Saito, bibir Maho yang memerah itu merangsang mata Saito. Dari kulit Maho tercium aroma harum, saat dia secara samar-samar menggerakkan bibirnya, dan berbisik.

"Aku tertarik pada Senpai, jadi aku ingin kamu jadi pacarku~."

"Haaah!?" Tubuh Saito melesat ke belakang.

"Hei, apa yang membuatmu begitu terkejut? Itu menyakitkan tahu~."

"Bolehkah kamu menyalahkanku…? Seorang gadis yang bahkan tidak aku kenal tiba-tiba mengajakku pacaran."

Lebih dari apapun, dia mirip dengan gadis waktu itu. Saito merasa jantungnya berdetak lebih cepat.

"Tetapi aku sudah tahu banyak tentang Senpai?"

"…Benarkah?"

Maho dengan penuh semangat duduk di sebelah Saito, kakinya berayun ke atas dan ke bawah.

"Iya! Senpai itu selalu menjadi yang teratas di angkatannya, bukan? Tidak hanya di SMA tetapi juga di SD dan di SMP! Seorang cowok yang pintar itu sangat keren~! Aku tidak bisa apa-apa selain menghormatimu!"

"Be-Benar…" Disambut dengan pujian langsung begitu, Saito menggaruk pipinya.

Saito selalu menjadi yang teratas dalam hal belajar, tetapi karena tidak banyak orang yang benar-benar memujinya karena itu dengan sungguh-sungguh, menerimanya sekarang cuma akan membuatnya merasa gelisah. Meskipun ini merupakan pertemuan pertama mereka, gadis itu duduk cukup dekat dengan Saito, sehingga tubuh mereka dapat bersentuhan kapan saja. Maho kemungkinan besar menyadari—menyadari kalau dia sangat menawan, dan cuma dengan duduk sedekat ini akan memberi tekanan pada cowok itu.

"Belum lagi kamu itu calon kepala keluarga berikutnya dari Houjo Group, bukan? Kamu berada di kelompok pemenang kehidupan! Kamu pasti populer di kalangan gadis-gadis."

"Tetapi, aku rasa bukan itu masalahnya."

"Itu bohong. Aku sudah mendengarnya, kamu tahu? Kamu ditembak oleh Himari-senpai dari kelas dua belas, namun kamu menolaknya. Padahal dia itu cantik, baik, dan populer di kalangan semua orang, jadi mengapa kamu menolaknya~? Dasar cowok tamak~." Maho membanting sikunya ke samping Saito, menggilingnya terus menerus.

"Itu…"

"Aku tahu alasannya, sebenarnya. Karena kamu tinggal bersama dengan Akane-senpai, bukan?"

"…?!" Tubuh Saito sangat mematung.

Tidak seorangpun di luar anggota keluarga terdekat mereka yang seharusnya tahu tentang hal ini, dan tidak seorangpun yang diperbolehkan untuk mengetahui fakta ini. Saito dengan panik melihat sekeliling, khawatir seseorang mungkin mendengar mereka. Seakan-akan dia telah menerawang itu, Maho tersenyum.

"Tidak apa-apa, tidak ada orang di sekitar kita."

"Bagaimana kamu bisa tahu…?" Saito bertanya dengan suara yang tegang.

"Aku tahu semua yang perlu diketahui tentang Saito-senpaiku yang tercinta~." Maho memasang tanda damai dengan satu mata, dan menunjukkan kedipan dengan mata yang lain.

Maho melakukannya dengan sempurna, menciptakan gerakan yang imut, tetapi itu hanya membuat Saito lebih kesal.

"Jangan main-main. Penjelasan itu masih belum cukup."

"Sejak awal, aku memang tidak niat menjelaskannya sih~."

"Dari siapa kamu mendengar hal itu?"

"Nenek~."

"Berhenti bercanda! Sekarang karena kamu sudah tahu…Aku perlu membungkammu dan memastikan kalau kamu tidak pernah bicara lagi…!" Saito meraih bahu Maho.

"Kyaaa~ aku mendapat hukuman yang cabul~."

"Memangnya siapa yang akan melakukan hal itu!" Saito segera melepaskan tangannya lagi.

Namun, Maho tidak menunjukkan tanda-tanda untuk mencoba kabur. Malah sebaliknya, dia tampak sangat menikmati situasi ini, dengan kakinya yang mengepak ke atas dan ke bawah. Maho jelas meremehkan apa artinya membuat seorang pria marah.

"Kamu itu... siapa sih?"

"Ya, Maho lah!"

"Aku sedang tidak membicarakan namamu..." Anehnya Saito merasa kelelahan.

Tidak mengetahui tujuan Maho itu seperti berurusan dengan kartu liar (wild card). Kata-kata dan tindakan Maho  itu terlalu berlebihan, Saito tidak bisa memperkirakan bagaimana cara menghadapi Maho. Di saat yang sama, Maho meletakkan tangannya di pangkuan Saito, dan mendekatkan wajahnya ke wajah Saito.

"…Jadi, maukah kamu pacaran denganku?"

"Mengapa kamu berpikir kalau aku akan mengiyakan setelah seluruh pembicaraan yang sebelumnya ini?!"

"Maksudku, aku tahu tentang rahasiamu dan Akane-senpai~ Jadi dengan kata lain…kalau kamu tidak mau mendengarkan permintaanku…kamu tahu lah?"

"Ka-Kamu...jangan bilang..." Keringat dingin mengalir di punggung Saito.

"Tepat~!" Maho menyeringai.

Maho mengambil napas dalam-dalam dan membusungkan dadanya, lalu membuka mulutnya lebar-lebar seakan-akan menjadi megafon manusia, dan mengangkat suara yang cukup keras sehingga mencapai seluruh gedung sekolah.

"Semuanyaaaaa! Dengarkan ini! Saito-senpai dari kelas dua belas sebenarnya—."

"Tunggu tunggu tunggu!" Saito dengan panik menghentikan Maho, dan menutup mulutnya.

Dengan momentum yang Saito gunakan, tubuh Maho terjatuh, berakhir dengan punggung di bangku. Rambut panjang Maho sampai ke tanah, dan menjuntai di udara. Pesona Maho tidak sesuai dengan usianya sebagai adik kelas, dan sensasi bibirnya itu menyegarkan, memanas dalam pikiran Saito. Sambil terdorong ke bawah, Maho tertawa terbahak-bahak.

"Waaah, Senpai ini sangat berani~ Apa ini yang kamu maksud dengan membungkamku~?"

"Ini cuma darurat, jadi mari kita bicarakan ini…' Saito lebih merasa seperti menginjak ranjau darat, ketimbang mendorong seorang gadis.

Kalau Saito salah mengambil langkah, ia akan meledakkan dirinya sendiri tanpa dapat terselamatkan.

"Apa bibirku itu lembut?"

"Tidak ada yang membicarakan bibirmu!"

"Apa kamu ingin mencoba merasakannya lagi? Mungkin dengan bibirmu kali ini?"

"Apa…"

Maho meraih dada Saito, menarik dirinya ke atas, dan mendorong bibirnya lebih dekat ke arahnya. Karena kejadian yang tiba-tiba ini, Saito tidak berhasil menghindari Maho tepat waktu. Tepat saat tubuh mereka mendekat, sesuatu seperti proyektil terbang di antara mereka berdua. Tidak, itu bukan proyektil apa pun, itu adalah tubuh Shisei yang terangkat dari tanah dengan kecepatan yang luar biasa. Shisei menabrak bangku taman, mendorong Saito dan Maho menjauh satu sama lain. Dengan jeritan, Maho terjatuh dari bangku itu. Di saat yang sama, Shisei berdiri di bangku taman itu laksana raja dengan tangan bersilang, dan menyeka keringat di dahinya.

KuraKon4-1-2


"Itu berbahaya. Abang, apa Abang baik-baik saja?"

"Shisei…!"

Sungguh sosok yang berani. Benar-benar tindakan heroik. Saito merasa seperti seorang gadis yang diselamatkan oleh seorang hero. Saito sepenuhnya menyadari kalau ekspresinya berubah menjadi seperti seorang protagonis wanita dalam manga shoujo. Di saat yang sama, Shisei menyatakan dengan ekspresi yang dapat diandalkan.

"Shisei akan melindungi Abang. Tidak peduli siapa yang akan melawan Shisei, aku akan mengalahkan siapapun musuh itu, dan membuat mereka menyermgh!"

Tepat saat Shisei sedang menyatakan tekadnya, Maho tiba-tiba melompat, memeluk Shisei erat-erat, dan memutar-mutar Shisei dalam pelukannya.

"I…Imut sekali! Apa-apaan dia ini?! Bulu matanya sangat panjang! Pipinya sangat halus! Kulitnya mulus sekali! Dia ini terlalu menggemaskan! Apa dia ini peri?! Atau, boneka?!"

"Dia itu adik sepupuku Shisei…Bisakah kamu berhenti menggoyang-goyangnya begitu?"

Mata Shisei telah berubah menjadi kelereng kecil karena pusing. Seperti seekor binatang kecil, Shisei pasti menyadari kalau semua perlawanan itu sia-sia, dan membiarkan kakinya menjuntai di udara. Maho bertanya sambil berharap dengan suaranya.

"Bisakah aku membawanya pulang?!"

"Tidak, kamu tidak bisa membawanya."

"Aku akan membahagiakannya! Aku akan membangun kuil kecil untuknya, dan memberinya makan marsymelow setiap hari!"

"Aku sangat ragu Shisei akan menganggap itu sebagai kehidupan yang bahagia."

"Tidak masalah, bukan?! Aku menginginkannya, aku sangat menginginkannya! Aku mungkin saja akan menculiknya!"

"Jangan culik dia." Saito dengan paksa mencuri kembali Shisei dari Maho, yang hendak melarikan diri.

Takut akan hal ini, Shisei berpegangan pada Saito sambil gemetar ketakutan. Maho membentuk genggaman yang gemetaran, dan menatap Saito.

"Grrr…Houjo Saito, aku sangat cemburu…"

"Apa kamu datang ke sini itu untuk mengakui perasaanmu padaku, atau untuk menculik Shisei?!"

"Untuk mengakui perasaanku pada Senpai, tentu saja! Tetapi, masuk akal bagiku untuk menculik dan memanjakan gadis manis seperti dia ini, bukan?!"

"Kamu lebih berbahaya daripada yang aku duga…!"

"Shii-chan itu sangat imut…Aku ingin membelai…payudara Shii-chan…"

"Seorang pemerkosa?!"

Maho menggerakkan tangannya seperti tentakel kecil, dan mendekati Shisei. Saito mencoba yang terbaik untuk melindungi Shisei dari Maho, memeluknya. Namun, ini malah memungkinkan Shisei untuk membelai semua dada Saito, jadi Shisei-lah yang pemerkosa.

"Shisei…bisakah kamu melepaskan tanganmu dada Abang?"

"Shisei menolak. Seorang adik (perempuan) punya tugas untuk membuat dada abangnya tumbuh."

"Abang tidak pernah dengar tugas semacam itu... Dan juga, dada Abang tidak akan tumbuh lebih jauh dari ini!"

"Abang masih dalam masa pertumbuhan. Menyangkal kemungkinan seseorang itu merupakan pemikiran yang bodoh." Shisei tidak berani mengubah cara berpikir abangnya.

Saito sadar kalau dia harus mengomeli Shisei nanti. Di saat situasi dan suasana hati sedang kritis begini, bel berbunyi, menandakan istirahat makan siang telah berakhir. Sebagai tanggapan, Maho menurunkan tangannya, dan menghapus postur bertarungnya.

"Kamu berhasil lolos kali ini, Senpai, tetapi ini bukanlah akhir, oke? Ini baru permulaan."

"Jangan mengeluarkan frasa begitu seperti bos terakhir."

Dunia sudah cukup bermasalah dengan bos terakhir yang dikenal sebagai Akane.

"Sampai jumpa nanti, Senpai~." Maho mengedipkan mata, dan berjalan pergi.


Bahkan saat Saito kembali ke kelas, guru untuk jam pelajaran ke-5 masih belum juga datang. Para siswa bersemangat karena istirahat makan siang bulan Januari yang biasanya tidak kamu harapkan, mendiskusikan pengalaman mereka terus menerus. Adapun Akane, dia masih dalam suasana hati yang baik seperti pada pagi ini, saat dia berbicara dengan Himari. Saito penasaran dengan apa yang terjadi, tetapi ia tidak bisa tiba-tiba menanyakan hal ini.

"Apakah gadis yang barusan itu tipe Abang?" Shisei duduk di meja Saito, dan bertanya padanya.

"Tidak sama sekali."

"Tetapi, Abang tampak bahagia saat dia mendekati Abang. Abang memasang ekspresi mesum di wajah Abang."

"Abang tidak begitu!"

"Abang begitu. Shisei percaya pada tatapanku sendiri."

"Memang sangat bagus kalau kamu percaya diri, tetapi tidak bagus kalau kamu menuduh Abang dengan tidak masuk akal."

Saito tidak mengingat pernah begitu.

"Bang, kok Abang tidak benar-benar mencoba menghindari gadis itu. Apa Abang akan mencium gadis manapun selama dia itu imut?" Shisei dengan samar memiringkan kepalanya.

Mata Shisei yang bening dan berwarna safir menatap langsung ke arah Saito. Tatapan Shisei yang murni membuat Saito merasa seperti Shisei dapat menerawang semua keinginan nakalnya.

"Dia tiba-tiba melompat ke arah Abang begitu, jadi reaksi Abang berakhir terlambat."

"Itu tidak masuk akal. Abang yang biasa pasti akan memukulinya sampai mati tanpa ragu-ragu."

"Jangan membuat Abang terdengar seperti seorang pembantai! Abang tidak akan pernah melakukan hal semacam itu."

"Abang, apa Abang menyukai tipe cewek yang nakal begitu?"

"Begitulah... Setidaknya, penampilannya tidak buruk."

Maho mirip dengan gadis waktu itu, yang pernah membuat Saito tertarik. Lagipula, gadis itu lebih murni dan pantas daripada nakal.

"Jadi, Abang menilai perempuan berdasarkan penampilan mereka. Abang berpikir dengan bagian bawah tubuh Abang. Shisei akan ingat itu."

"Jangan ingat itu!"

"Mau mencium Shisei juga?" Shisei mendorong bibirnya ke arah Saito, mengedipkan matanya dengan bulu mata yang panjang.

Kalau orang-orang dari klub penggemar Shisei menyaksikan hal ini, Saito pasti sudah jadi mayat.

"Abang tidak akan mencium adik Abang sendiri."

"Tidak masalah, Akane sedang tidak melihat sekarang," bisik Shisei.

Napas Shisei yang harum menggelitik bibir Saito.

"Abang tidak khawatir kalau akan ketahuan olehnya."

"Meskipun kita sering berciuman saat kita masih muda?"

"Iya, tekankan pada frasa "masih muda". Dan itu juga bukan di bibir, itu merupakan ciuman keluarga, di pipi."

"Jadi kita dapat melakukannya sekarang, bukan?"

"Tidak di sini."

"Shisei tidak masalah kapanpun dan di manapun."

"Tolong jangan katakan hal-hal yang akan mengundang kesalahpahaman, oke." Saito meraih jari-jari Shisei, dan menjauhkannya dari bibirnya sendiri.

Shisei ini sudah sangat mirip penganiaya, oke, Saito berkomentar dalam benaknya.

Kalau saja Saito tidak terbiasa dengan kecantikan Shisei yang tidak terbantahkan, ia mungkin tidak akan bisa melindungi dirinya dari serangan itu. Akhirnya, Shisei turun dari meja, yang hampir menyebabkan roknya terangkat, jadi Saito mendorong rok itu ke bawah. Meskipun bertingkah sangat tegas, Shisei masih punya jiwa kekanak-kanakan dalam dirinya, itulah sebabnya Saito tidak dapat meninggalkannya sendirian.

"Cewek itu baunya berbahaya. Berhati-hatilah."

"Iya, lagipula, dia sudah siap untuk menculikmu."

"Bukan begitu maksud Shisei." Shisei berkata dan kembali ke tempat duduknya.


Jam pelajaran berakhir untuk hari ini, dan Saito akhirnya dapat menikmati kebebasan di ruang kelas 3-A. Akane punya rencana untuk nongkrong dengan Himari, tidak ada waktu untuk berbelanja sebagai pasangan suami istri. Shisei pergi berbelanja dengan orang tuanya, sehingga sopir pelayan datang menjemputnya. Dengan kata lain, begitu Saito keluar dari sekolah, ia bebas melakukan apa saja. Berjalan-jalan ke kota dengan Shisei memang menyenangkan, tetapi terkadang, Saito lebih suka sendirian. Misalnya…pada hari perilisan novel dengan konten erotis.

Itu merupakan bagian dari seri novel fiksi ilmiah dari luar negeri yang telah Saito ikuti selama beberapa waktu. Dengan luar angkasa sebagai temanya, memang cukup menarik, tetapi sampulnya itu agak terlalu seksi. Di novel itu juga terdapat banyak adegan seks, jadi membeli novel itu dengan seorang gadis muda yang ia anggap keluarga merupakan sesuatu yang ingin Saito hindari.

Selain membeli itu, Saito juga mempertimbangkan untuk menonton film, serta membeli beberapa suplemen di apotek, memang akan sempurna. Namun, tepat saat Saito terdiam dalam kegembiraan…

"Senpaaaai!"

Jeritan yang terdengar seperti hukuman mati bagi Saito terdengar di dalam kelas. Maho berdiri di pintu ruangan itu, melambaikan tangannya dari seberang Sungai Sanzu.

"Shisei, lari!" Saito melihat ke sampingnya, tetapi Shisei sudah tidak terlihat.

Dia sudah lari dengan kecepatan yang menyaingi kecepatan teleportasi langsung.

—Siapa sih tadi yang bilang 'Aku akan melindungi Abang bagaimanapun caranya', ya?!

Saito mengecam, tetapi itu merupakan keputusan bijak dari pihak Shisei. Bahkan seekor binatang kecil pun akan lari terbirit-birit saat menghadapi badai yang mendekat. Di saat yang sama, teman-teman sekelas yang masih ada di kelas menjadi heboh.

"Wah, dia sangat imut…"

"Anak kelas sepuluh?"

"Apa kita punya siswi yang sangat imut begitu di sekolah kita?"

"Mungkin saja dia murid pindahan?"

"Dia datang ke sini untuk mencari siapa?"

Semua tatapan anak laki-laki terfokus pada gadis itu. Terutama pada paha Maho, begitulah. Maho berkata sambil mulai gelisah, bertanya pada para siswa di dekat pintu.

“Em…Aku ke sini untuk bertemu dengan Houjou-senpai…Apa ia ada di sini…?" Maho menunjukkan ekspresi seorang gadis yang sedang jatuh cinta.

Namun, Maho pasti melihat Saito di sudut pandangnya, jadi semuanya jelas kalau itu hanyalah akting. Belum lagi tatapan yang dipenuhi kemarahan dan amarah yang terfokus pada Saito muncul sedetik kemudian.

"Houjo…Kamu lagi?!"

"Kamu masih belum puas dengan Ishikura, dan sekarang kamu juga menyikat adik kelas yang imut juga?!"

"Kamu binatang liar laknat! Walaupun para dewa mungkin memaafkanmu, tetapi kami jelas tidak akan memaafkanmu!"

"Memangnya apa yang telah aku lakukan?!"

Tidak ada yang mendengarkan keluhan Saito, lalu para siswa mendekatinya.

""'Hei-ho! Hei-ho! Hei-ho!"""

Bersamaaan dengan suara yang energik, para siswa itu menggendong Saito ke balkon. Sebagai sebuah kelompok, mereka mencoba melempar Saito.

"Bisa tenang, tidak, kalian?! Ini kan lantai 4!"

"""Kebencian kami akan mengutuk garis keturunan Houjo!"""

"Ocehan macam apa itu?! Seseorang tolong telepon KODIM! Tolong telepon bantuan!"

Tidak ada yang mau repot-repot mendengarkan permohonan Saito. Saito dikelilingi oleh para musuh dari semua sisinya.

"Tolong hentikan! Jangan lakukan apapun untuk menyakiti Houjo-senpai kesayanganku! Aku hanya ingin kami berdua bahagia!" Maho berteriak seperti seorang heroin dalam bahaya, tetapi itu hanya memberikan efek yang sebaliknya.

Para siswa itu mulai meneteskan tangisan darah, dan mengayunkan Saito lebih keras lagi. Mereka tidak hanya puas dengan mendorong Saito dari lantai empat, tetapi mereka juga ingin menembaknya seperti bola meriam. Sudah jelas kalau Maho sengaja mempermalukan anak-anak itu. Saito entah bagaimana berhasil membebaskan diri menggunakan kekuatannya sendiri, menginjak kepala mereka agar kembali bebas. Setelah itu, Saito meraih punggungnya sendiri, berlari keluar dari kelas. Maho tertawa terbahak-bahak, dan segera mengikuti Saito.

"Pasti sulit ya, Senpai~."

"Memanggilnya menurutmu ini salah siapa…" Saito memastikan kalau para siswa itu tidak lagi mengejarnya, dan menghela napas lega.

Kemungkinan besar mereka sudah ditangkap pada saat itu, dan tidak benar-benar berencana untuk membunuh teman sekelas mereka dengan darah dingin — mungkin saja.

"Jadi, apa yang kamu inginkan sekarang?" Saito bertanya, dan sedikit kekesalan memenuhi suaranya.

"Kamu bertanya padaku?! Baik sekali!" Maho menyatukan kedua tangannya di depan dadanya.

"Kalau aku tidak bertanya, kamu mungkin akan mengikutiku sampai aku mau, bukan?"

"Kamu ini sangat mengenalku ya~ Apa jangan-jangan kamu ini penggemarku?"

"Tidak sama sekali, dan yang paling bisa aku ketahui tentangmu adalah bahwa kamu bukan berasal dari tanah ini."

"Eh? Apa itu berarti kamu ingin mengenal lebih banyak tentangku? Kamu ingin tahu tentang setiap bagian dari tubuhku? Astaga, kamu ini sangat mesum!" Maho menepuk satu tangan di bahu Saito.

Pipi Saito berkedut karena marah. Maho terasa seperti jangkrik berkicau tepat di sebelah jendela Saito, tetapi keimutan itu membuat Saito merasa tidak mungkin untuk mengusir Maho.

"Baiklah, sekarang beri tahu aku alamat dan nomor teleponmu. Aku akan menegur orang tuamu."

"Hmm, aku rasa masih terlalu dini untuk mengenalkanmu pada orang tuaku. Kita bahkan masih belum punya anak."

"Kalau kita sudah punya anak, kita mungkin akan terlambat memberi tahu mereka, bukankah begitu?!"

Kalau itu akan menjadi tahap di mana pernikahan ingin direstui, bayangkan reaksi orang tua mereka. Namun, Maho cuma memperkenalkan dirinya sambil tersenyum.

"Jadiiii~ aku Maho! Siswi kelas sepuluh di SMA ini, dan pacar Senpai!"

"Kamu menambahkan beberapa informasi yang dibuat-buat di dalamnya!"

"Apa itu masalah? Kita cuma perlu mengenal lebih banyak tentang satu sama lain mulai sekarang…oke? Kita akan berjalan di jalan ini bersama-sama, berdampingan… oke?" Maho melontarkan omong kosong romantis, tetapi itu cuma asap dari api.

Maho sudah mengetahui informasi yang sangat pribadi tentang Saito, jadi mereka tidak berada di level yang sama lagi.

"Aku baru pindah ke sini hari ini, jadi aku tidak tahu apa-apa tentang sekolah ini. Itulah sebabnya aku datang ke sini untuk meminta Senpai untuk mengajakku berkeliling! Terima kasih sudah mau menerimanya!"

"Aku tidak pernah bilang apapun tentang mau menerimanya, oke. Mintalah teman sekelasmu saja kalau begitu."

"Siswi-siswi di kelasku sepertinya tidak terlalu menyukaiku…Meskipun aku ini sangat imut, itu aneh, bukan~?"

"Benar…"

Melihat Maho mengedipkan mata, Saito harus setuju. Walaupun Maho diperlakukan seperti seorang putri oleh seluruh siswa, para siswi pasti tidak akan senang karena dia memonopoli semua perhatian. Meskipun semua itu berkat perbuatannya, Saito tidak punya teman dekat di kelas, dan semua orang kecuali Akane dan Himari menjaga jarak darinya, jadi Saito mengerti bagaimana perasaan Maho. Saito ingat diasingkan oleh kelompok-kelompok di kelas di SD.

"Dimengerti, aku akan mengajakmu berkeliling."

"Karena aku ini imut?!"

"Karena aku merasa kasihan padamu."

"Jadi, apa itu karena cinta?!"

"Bukan karena cinta."

"Cuma hubungan fisik saja?! Sebenarnya, itu mungkin baik-baik saja untuk memulainya."

"Tidak sama sekali. Mungkin saja ini cuma aku, tetapi apakah orang-orang sering memberi tahumu seberapa percaya dirimu?"

Maho melompat kegirangan.

"Mereka memang memberi tahuku! Kamu tahu banyak tentangku, Senpai! Apa kamu penguntitku?!"

"Bagaimana bisa aku menguntit seseorang yang baru pindah ke sekolahku hari ini?"

"Kamu sudah membuat rencana untuk melakukan itu!"

"Bahkan kalau itu sebuah rencana, banyak hal yang tidak mungkin dilakukan, kamu mendengarku?"

Saito memang melihat dirinya sebagai seorang jenius, dan meski ia tidak dapat mencapai sesuatu yang melampaui akal dan logika. Saito mulai berjalan lagi, dengan Maho berjalan di sampingnya.

"Sebagai peserta didik baru, kamu mungkin harus ingat di mana itu kantor staf dan kantor kepala sekolah berada. Aku merasa mereka sering memanggilmu ke sana."

Maho mengangguk dengan puas.

"Kamu benar, masuk akal kalau para guru ingin sekali mengobrol dengan seseorang yang imut sepertiku~."

"Apa kamu ini tinggal di semacam negeri kayangan yang bahagia?"

"Tentu saja. Dan Senpai-lah yang akan menjadi pangeranku."

"Tolong jangan…" Saito lebih suka hidup di dunia nyata.

Saito membawa Maho, yang berisiknya setara dengan suara sepuluh orang, ke lantai pertama, dan mengajaknya berkeliling. Saito memulai dengan ruang kelas yang tidak asing, diikuti oleh kantor, ruang siaran sekolah. Fakta bahwa Maho baru saja pindah hari ini tampaknya memang benar, karena dia dengan penuh semangat mendengarkan semua penjelasan Saito.

"Permisi, aku punya pertanyaan! Kalau aku ingin bermesraan dengan Senpai, ruang kelas mana yang harus aku gunakan?!"

"Tidak akan pernah ada masa depan di mana hal itu akan terjadi, jadi aku tidak perlu menanggapi pertanyaan itu."

"Akan ada masa depan itu! Masa depan yang cerah di mana hanya ada kita berdua! Atau, apa kamu itu tipe orang yang senang melakukan hal itu di depan orang banyak?! Aku kecewa!"

"Iya, kecewalah sesuka hatimu."

Itu akan menyelamatkan Saito dari banyak masalah.

"Mana mungkin, mana mungkin! Aku masih sangat mencintaimu~!"

"Cewek ini..." Saito menahan keinginannya untuk meninggalkan Maho, tetapi ia tidak akan bisa melakukan hal itu begitu saja, lalu Maho menempel pada lengan Saito.

Akibatnya, mereka menarik banyak perhatian cuma dengan berjalan menyusuri lorong saja. Para siswa yang mereka lewati berhenti di jalur mereka, berbalik untuk melihat Maho. Maho seharusnya punya banyak pilihan untuk calon pacar. Namun, dia malah langsung mengakui perasaannya pada Saito pada hari pertamanya setelah pindah, jadi pasti ada sesuatu yang janggal. Akan aman untuk berasumsi kalau Maho menyembunyikan sesuatu.

"Mengapa kamu mengakui perasaanmu padaku?"

Memastikan kalau siswa-siswi lain tidak akan dapat mendengarnya, Saito bertanya pada Maho dengan suara pelan.

"Ehh? Karena aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama, aku rasa?" Maho menunjukkan senyuman yang malu-malu.

"Jangan mengelak dari pertanyaan itu. Aku itu tidak setampan itu." Saito mengungkapkan evaluasi dirinya yang jujur, namun Maho berjalan di depannya.

Maho menyatukan kedua tangannya di belakang punggungnya, lalu mengamati wajah Saito dengan cermat.

"A-Apa maksudnya itu…?"

"Maksudku… kamu itu cukup tampan. Penampilanmu cukup rupawan, setidaknya."

"Apa, terima kasih." Saito merasakan telinganya menjadi panas.

Namun, cara Maho yang secara aneh menekankan bagian terakhir itu membuatnya tampak seperti ada perasaan tidak enak yang terlibat atau malah sedikit permusuhan. Mungkinkah itu hanya bayangan Saito? Saito tahu memang berbahaya untuk mengambil kata-kata dan tindakan Maho begitu saja. Maho tahu informasi pribadi tentang Saito, jadi ia perlu hati-hati dalam menilai setiap tindakan Maho. Dengan pemikiran ini, mereka menuruni tangga, lalu Maho tiba-tiba menghilang.

"Senpai! Lihat lihat, lihat ini!" Maho duduk di pagar di bagian atas tangga.

Saito tidak diberi kesempatan untuk menghentikan Maho, saat dia meluncur turun dalam sekali jalan. Rambut Maho berkibar tertiup angin, roknya langsung terangkat di jalan.

"Hati-hati!"

Maho secara alami kehilangan keseimbangannya, dan hampir terjatuh, jadi Saito secara refleks menangkapnya. Tubuh Maho yang ramping melompat ke dalam pelukan Saito, rapuh melebihi apa yang dapat dia percaya, dan lebih lembut dari semacam awan. Maho tertawa sekuat tenaga, dan menatap Saito.

"Tangkapan yang bagus!"

"Dengkulmu! Apa sih yang kamu lakukan ini?!"

"Aku sudah lama ingin mencoba melakukan ini sebelumnya! Bukankah ini jauh lebih cepat daripada jatuh secara normal?"

"Memang benar, tetapi bagaimana kalau kamu terluka?!"

"Aku percaya kalau kamu akan menyelamatkanku, Senpai!"

"Mengapa kamu sangat percaya pada seseorang yang baru saja kamu temui beberapa jam yang lalu..."

Kepercayaan merupakan sesuatu yang kamu bangun dari pengalaman bersama orang lain, bukan sesuatu yang kamu kembangkan tanpa dasar apapun.

"Belum lagi… akan sia-sia untuk menahan sesuatu yang benar-benar ingin kamu lakukan, bukan? Lagipula, kita tidak akan pernah tahu kapan kita akan mati."

"Iya, kamu tidak salah..."

Meskipun begitu, mendengar kata-kata filosofis dari gadis yang acuh tak acuh dan riang seperti itu cuma membangkitkan perasaan tidak nyaman di dalam diri Saito.

"Benar, bukan? Karena itulah...ketika aku menyadari perasaanku pada Senpai, aku langsung mengakuinya!"

"Ini dan itu merupakan hal yang berbeda, kamu tahu?"

"Jadi Senpai, apa kamu tidak masalah kalau tidak pernah mengakui perasaanmu pada gadis yang kamu sukai, lulus sambil menderita perasaan yang bertepuk sebelah tangan, dan lalu berpikir 'Ya ampun, aku seharusnya mengakui perasaanku padanya' sepuluh tahun yang akan datang?"

"Aku tidak punya orang yang seperti itu, jadi aku tidak tahu."

Bersamaan dengan rasa sakit yang tajam di dadanya, Saito teringat pada gadis waktu itu, yang namanya bahkan belum ia tanyakan. Jika saja mereka setidaknya bertukar informasi kontak, sesuatu mungkin telah tumbuh dari saat itu, namun…

"Tidak menyukai seorangpun, sungguh hidup yang membosankan~."

"Kamu…"

"Jadi, kamu tidak punya perasaan apapun pada Akane-senpai meskipun kalian berdua tinggal bersama?"

Kata-kata Saito akhirnya tersangkut di tenggorokannya. Tentu saja, orang lain itu musuh bebuyutannya, jadi Saito jelas tidak memiliki perasaan padanya. Namun, mereka berdua telah menghabiskan terlalu banyak waktu bersama, saling mengenal lebih banyak, bagi Saito untuk mengabaikan hal itu dengan kata 'benci'. Saito merasa terkejut dengan keraguannya. Beberapa saat yang lalu, Saito akan dapat menjawab pertanyaan itu tanpa berpikir dua kali.

"Itu…bukan masalah suka atau benci."

"Iya, itu masuk akal sih. Keadaan yang berhubungan dengan keluarga memang tidak pernah mudah." Maho mengangguk.

Saito merasa cemas, tidak bisa menebak seberapa banyak yang gadis ini ketahui. Apa dia tahu tentang fakta kalau pernikahan ini telah dipaksakan kepada mereka oleh kakek-nenek mereka?

"Kalau begitu, kalau begitu! Mengapa kamu tidak jatuh cinta saja padaku saja! Itu akan membuat semuanya jauh lebih menarik, aku yakin!" Maho melompat ke arah Saito, mengunci lengan mereka.

Aroma wangi melayang ke hidung Saito, dan rambut panjang Maho bersinar, karena diterangi oleh sinar matahari. Maho bertingkah nakal sepanjang waktu, dan Saito tidak dapat menurunkan kewaspadaannya untuk sesaat karena dia jelas sedang merencanakan sesuatu, tetapi di saat yang sama, Saito tidak dapat mengusirnya pergi. Meskipun baru bertemu dengan Saito, Maho merasa sangat akrab dengan Saito.

"Jangan menempel padaku begitu."

"Karena itu akan membuatmu bersemangat?" Maho bertanya dengan nada yang menggoda.

"Tidak sedikitpun."

"Itu bohong~! Mendapati seorang gadis cantik sepertiku melekat padamu, tidak mungkin kamu tidak akan bersemangat! Kamu tampak seperti seorang perjaka, jadi jantungmu pasti berdetak kencang sekarang, bukan?"

"Aku akui kalau aku memang masih perjaka, tetapi aku sangat tenang sekarang." Atau begitulah katanya, terapi Saito merasakan tubuhnya memanas di dalam.

Maho menyadari hal ini, lalu dia menyeringai.

"Karena kamu sudah mengajakku berkeliling di sekolah, biarkan aku mentraktirmu makanan manis di kota."

"Aku tidak butuh rasa terima kasih."

Saito sudah terbiasa mengurus orang, dan Dedek Maho yang manja ini sangat mirip dengan Shisei.

"Kamu berencana untuk membuatku merasa bersalah, dan lalu meminta sesuatu yang lebih gila lagi nantinya?!" Maho memeluk tubuhnya ketakutan.

"Apa yang kamu maksud dengan lebih gila?"

"Menyelesaikan permasalahan pemakaian energi bumi!"

"Akan luar biasa kalau hal itu dapat diselesaikan."

"Mungkin kalau lima miliar orang mau melakukan yang terbaik dan menurunkan pemakaian energi mereka?"

"Aku merasa kasihan pada lima miliar orang itu."

"Tetapi, itu cuma perbedaan modern secara singkat saja, bukan?"

"Bisakah kamu berhenti tiba-tiba mengangkat topik serius begitu?"

Pada awalnya, Maho mungkin tidak tampak seperti orang paling cerdas, tetapi mungkin dia cuma berpura-pura. Saito tidak bisa mengerti siapa Maho sebenarnya.

"Dan juga, aku tidak pernah pergi ke pusat perbelanjaan di dekat sekolah, jadi bisakah kamu mengajakku berkeliling, Senpai? Untukku agar bisa bergaul dengan para siswi di kelasku, aku mesti punya pengetahuan tentang tempat-tempat bagus di sekeliling sekolah. Apakah itu akan berlebihan?" Maho berkedip beberapa kali, dan menatap Saito.

Sebagai seseorang yang merupakan seorang abang yang berpengalaman, Saito memang lemah terhadap permintaan seorang gadis yang lebih muda.

"…Baiklah kalau begitu."

"Yei! Ini kencan dengan Senpai!" Maho melompat kegirangan, sambil berpegangan pada lengan Saito.

"Ini bukan kencan."

"Ini pasti kencan~ Dua kekasih sedang pergi untuk bersenang-senang~."

"Pertama-tama, kita ini bukan kekasih."

"Kita sangat mencintai satu sama lain, sampai sekarang…Senpai, apa kamu kehilangan ingatanmu?!"

"Jangan mengarang kehilangan ingatan orang lain."

"Jadi kalau aku mendaratkan pukulan penuh ke kepalamu seperti saat itu, kamu akan mendapatkan kembali ingatanmu?!"

"Jadi kamulah alasan dari hilangnya ingatanku?!"

Namun Maho mengabaikan komentar itu, menarik Saito menuruni tangga. Maho seperti peluru, yang penuh dengan vitalitas. Dia mungkin bahkan tidak pernah masuk angin seumur hidupnya. Mereka berdua berjalan menjauh dari sekolah, menuju ke pusat perbelanjaan terdekat. Saito juga tidak tahu banyak tempat yang bergaya, tetapi ia melihat ke beberapa tempat saat berjalan-jalan dengan Shisei, atau berbelanja dengan Akane. Saito membandingkan kualitas dengan kinerja biaya dan membawa Maho ke toko makanan manis.

"Bagaimana kalau ini? Kue buah dan jeli buah itu enak, dengan kalori yang rendah dan cukup sehat, dan itu populer di kalangan anak sekolahan kita."

"Hei, hei, Senpai! Bagaimana kalau kita makan hamburger saja!" Maho menunjuk ke sebuah restoran cepat saji.

"Kamu menyuruhku untuk mengajakmu ke toko makanan manis, bukan?!" Saito merasa lelah.

"Tidak salah, tetapi bukankah burger yang berair itu lebih enak daripada beberapa makanan manis yang sehat?"

"Iya sih, aku juga lebih suka burger, tetapi…"

Sebenarnya, Saito cuma makan makanan manis untuk menyenangkan hati Shisei dan Akane saja, tetapi itu bukan pilihan pribadi Saito. Kalau Saito dapat memilih dengan bebas, maka ia pasti akan memilih daging.

"Benar, bukan? Bukankah yang baru ini terdengar sangat lezat? Burger piza potongan daging babi bistik!"

Mereka berdua melihat ke poster besar itu.

"Itu terdengar seperti menu yang bodoh."

"Hampir terasa seperti itu akan menurunkan KImu* cuma dengan memakannya, bukan? Bagaimana?" Maho menunjukkan kedipan, mengangkat ibu jarinya.

(TL Note: KI = Kecerdasan Intelektual, IQ)

"Mari kita pergi!"

"Ayo!"

Mereka berdua benar-benar mengesampingkan tujuan awal mereka, dan memasuki restoran cepat saji. Mereka berdua memesan satu porsi burger piza potongan daging babi bistik dengan beberapa kentang goreng dan minuman ringan (bukan yang nol soda, tentu saja), dan membawa makanan mereka ke atas meja. Burger di nampan mereka bahkan lebih banyak daripada yang tampak di poster di luar. Di antara kedua roti itu ada bistik, potongan daging babi, dan sepotong piza, yang hampir hancur kalau disentuh. Itu merupakan monster kalori dari protein, lemak, karbohidrat, dan nutrisi.

"Ini berbahaya." Saito menelan ludah.

"Oh~? Senpai, apa kamu takut~?" Maho menatap Saito, dan mengejeknya.

"Tidak. Dan juga, kamu sebaiknya tidak menangis di tengah jalan, oke?"

"Ini mudah sekali! Selamat makan~!" Maho mengambil burger itu dengan kedua tangannya.

Maho bahkan tidak peduli kalau mulutnya akan kotor, karena dia menggigit burgernya satu gigitan besar. Bahunya berkedut, dan kakinya mengepak ke atas dan ke bawah dengan riang gembira.

KuraKon-4-1-3

"Mmmmm! Lezat~!"

"Baiklah, biarkan aku gigit juga…" Saito juga menggigit hamburger raksasa itu.

Dari pizanya, Saito merasakan keju dan saus tomat yang melimpah, memanjakan lidahnya dengan rasa yang melimpah. Berlawanan dengan kelembutan itu adalah daging babi panggang, yang menunjukkan respons yang lebih kuat saat menggigitnya. Bistiknya mengeluarkan saus daging dengan rasa bawang putih di setiap gigitannya, menciptakan rasa perpaduan yang memberkati otak seseorang dalam rasa suka cita. Itu merupakan keteraturan di tengah kebingungan—kombinasi yang kacau balau.

Aku seorang karnivora—ini merupakan pemikiran yang timbul setelah menyantap hidangan ini, kaisar dari segala makanan cepat saji. Itu menciptakan keinginan berjuang tanpa batas dan kelaparan tanpa dasar.

"Ini… luar biasa."

"Ini lezat, bukan~? Aku bisa makan ini sampai sepuluh porsi!"

"Kamu tidak masalah kalau kamu nanti jadi gemuk?"

"Sebenarnya, aku bisa makan sebanyak yang aku mau, dan aku tetap tidak gemuk. Sepertinya kata diet itu merupakan legenda urban bagiku?” Maho mengangkat bahunya dengan percaya diri.

Seperti yang Maho katakan, anggota badan dan seluruh tubuhnya hampir sangat ramping, tidak ada satupun lemak di tubuhnya. Namun, Maho masih punya proporsi feminim yang tepat, membuatnya tampak seperti dia sengaja diberkati oleh kehidupan itu sendiri.

"Kamu akan dibunuh oleh semua gadis di dunia ini kalau mereka mendengarnya."

"Dan kamu akan melindungiku kalau itu yang terjadi, bukan?"

"Aku akan menyaksikan dari pinggir jalan."

"Kamu akan membiarkanku mati?"

"Aku yakin kalau kamu dapat keluar hidup-hidup."

"Aku ini gadis yang lemah dan rapuh, oke!" Maho memasukkan sedotan ke dalam mulutnya, meneguk semua minuman ringan itu dalam sekali teguk.

Setelah itu, Maho menggigit hamburger lagi, dan membuat kemajuan yang baik. Kebiasaan makan Shisei lebih seperti dia menyedot semua makanan seperti penyedot, tetapi menyaksikan Maho makan itu menyenangkan, dan membuat makanannya semakin enak.

"Fiuh… Makanan cepat saji memang yang terenak~."

"Makanan sehat memang lezat, tapi terkadang enak juga rasanya makan makanan yang seperti ini."

"Aku suka ramen gelas, tetapi aku cuma akan diomeli kalau aku memakannya di rumah… Katanya aku ini harus makan sesuatu yang lebih sehat lah dan sebagainya."

"Sama juga kalau di rumahku… Saat aku menyantap ramen gelas, aku langsung kena omel."

Maho cemberut.

"Apa yang masalah dari ramen gelas sih, serius deh. Sama seperti mi atau makanan manis biasa, aku ingin makan ramen gelas sebanyak itu sampai lidahku mati rasa karena bumbu buatan pabrik."

"Aku sangat mengerti, bumbu buatan pabrik merupakan kearifan umat manusia." Saito mengangguk.

Saito mungkin sebenarnya punya keyakinan yang sama dibandingkan dengan gadis itu. Di saat yang sama, Maho tersipu, dan menutupi pipinya dengan tangannya.

"Tentu saja, aku tahu Mbak-ku bilang begitu karena Mbak peduli padaku."

"Jadi kamu punya seorang kakak, ya."

"Tidak menduga hal itu?"

"Tidak, aku benar-benar menduganya. Kamu terasa seperti seorang adik."

"Karena aku sangat imut?!" Mata Maho berbinar gembira.

"Bagaimana kamu bisa selalu bersemangat tentang segala hal, sih."

"Tetapi, menurutmu aku ini imut, bukan? Iya, kan?" Maho mendorong tubuhnya ke atas meja, mendekati Saito tanpa henti.

"Sisi sombongmu itu juga membuatmu tampak lebih seperti seorang adik."

"Jadi Shii-chan juga bandel sepertiku?"

"Dia mungkin gadis paling bandel di dunia ini, tetapi tidak masalah karena dia juga gadis terimut di dunia," Saito berbicara dengan keyakinan tak terbatas dalam suaranya.

"Benar-benar siscon~ Tetapi, gadis terimut di dunia ini ya Mbakku, lah!" Maho langsung protes.

"Kamu malah lebih siscon lagi."

"Lagipula Mbakku itu sempurna! Dia sangat baik, perhatian, dan bertingkah seperti orang dewasa tidak peduli apapun yang aku lakukan!"

Kebalikan dari Akane, adalah apa yang Saito pikirkan dengan cemburu.

(TL Note: Padahal orang yang sama, mungkin karena perlakuannya berbeda jadi si Saito nganggep dia berbeda.)

"Dia pasti orang yang hebat, aku ingin sekali bertemu dengannya."

"Aku tidak akan memberikan Mbak padamu, oke?"

"Aku juga tidak menginginkannya. Aku cuma ingin tahu orang seperti apa sih dia sampai-sampai kamu memujinya dengan penuh kasih sayang."

"Aku yakin kalau kamu pasti pernah bertemu dengannya sebelumnya, Senpai~."

"Jadi kita bersekolah di sekolah yang sama?"

Kalau dia kakaknya Maho, dia pasti sangat cantik. Saito penasaran apa ada siswi cantik yang seperti itu di sekolahnya. Satu-satunya orang yang muncul dalam benak Saito ialah Himari, tetapi ia tidak pernah mendengar kalau dia punya seorang adik.

"Mm, iya, kamu, pasti pernah…Tunggu sebentar! Kamu tidak boleh membicarakan gadis lain saat sedang berkencan denganku! Kamu itu yang terburuk, Senpai~!" Maho meraih meja dan memelototi Saito.

"Jangan ngawur begitu deh, kan kamu yang mengangkat topik tentang kakakmu."

"Ehhhh, benarkah? Aku tidak ingat sama sekali~!"

"Apa kamu itu seekor ayam?!"

"Senpai, ada saus di jarimu~ Biarkan aku yang menjilatnya sampai bersih~." Maho tiba-tiba memasukkan jari Saito ke dalam mulutnya.

"…?!" Tubuh Saito menggigil karena rangsangan yang datang.

Maho menggerakkan lidahnya di sepanjang jari Saito, mengisapnya seperti permen lolipop. Sensasi lidah Maho yang lembut dan rasa bibirnya yang manis menciptakan kandang yang manis untuk jari Saito. Karena reaksi Saito terlambat akan semua perkembangan yang tiba-tiba ini, Maho menggunakan celah itu untuk mengeluarkan ponsel pintarnya dan membentuk tanda damai dengan jari-jarinya. Setelah itu, Saito mendengar beberapa suara cekrik, yang akhirnya membuatnya menarik jarinya.

"Apa yang barusan kamu lakukan?!"

"Apa maksudmu? Aku sedang membersihkan jarimu~ Tentu saja, aku cuma melakukan ini untuk Senpai, jadi sebaiknya kamu bersyukur~." Maho menjilat bibirnya dengan menggoda.

Melihat gerakan licin dari ujung lidahnya, Saito dipenuhi dengan sensasi mesum.

"Tidak ada yang memintamu melakukan itu! Dan mengapa kamu memfotonya?!"

"Untuk meninggalkan kenangan tentang aku dan Senpai sebagai pasangan mesra."

"Kita ini bukan pasangan yang mesra sedikitpun! Hapus itu sekarang juga!"

"Kyaaa~ Senpai akan menyerangku~!"

Saito mencoba mengambil ponsel itu dari Maho, namun dia melarikan diri. Maho bergegas keluar dari restoran keluarga, ke jalan pusat perbelanjaan, dan segera menghilang.

"Sialan… Ke mana perginya dia?!" Saito berlari mengejarnya dan melihat sekeliling.

Kalau Maho menyebarkan foto itu, dan sampai ke Akane atau bahkan Tenryuu, Saito tidak akan bisa keluar dari situasi itu dengan aman. Karena Saito tidak dapat membaca motif dan pola pikir Maho, ia tidak tahu apa yang akan Maho lakukan dengan foto ini. Mungkin seseorang yang memiliki jabatan tinggi di Houjo Group mengirim Maho mendekati Saito untuk menghalangi pernikahannya, sehingga mendapatkan akses ke kursi kepala keluarga berikutnya.

Merasa frustrasi, Saito cuma bisa berlari seperti ayam buta. Namun, tidak butuh waktu lama baginya untuk menemukan Maho. Maho memasuki gang samping, tenggelam ke tanah, lalu dia terengah-engah.

"Jadi di sini tempat persembunyianmu..."

Saito berhati-hati terhadap kemungkinan kalau dia mencoba melarikan diri lagi dan mendekati Maho.

"Mengejar seorang gadis untuk membuatnya terengah-engah begini, kamu sangat mesum, Senpai…"

"Kamu itu melarikan diri atas kemauanmu sendiri! Bagaimanapun, aku akan memintamu menghapus foto-foto itu sekarang."

"Erk, mau bagaimana lagi…" Maho menunjukkan ponselnya pada Saito saat dia berusaha menghapus semua foto yang dia ambil.

"Kamu tidak membuat cadangan dari foto itu, kan?" Saito menegaskan, cuma untuk memastikan saja.

"Aku tidak punya waktu untuk melakukan hal itu!"

"Baiklah, kalau begitu biarkan aku mengajakmu berkeliling pusat perbelanjaan lagi."

"Eh? Kamu tidak marah padaku?" Mata Maho terbuka lebar.

"Tidak juga. Aku cuma tidak mampu membuatmu punya foto-foto itu."

Kalau Saito marah pada setiap tindakan egois yang kecil dari seorang gadis yang lebih muda darinya, ia mungkin tidak akan bertahan sebagai abangnya Shisei, yang pada dasarnya bertingkah seperti seorang putri yang datang dari luar angkasa.

"Hmmm…Meskipun kamu bertengkar dengan Akane-senpai pada setiap hal kecil, ternyata kamu orang yang sangat pemaaf…"

"Aku sebenarnya tidak ingin bertengkar dengan orang selain Akane, iya."

Karena Saito cuma ingin hidup damai, ia mengerti kalau tidak ada gunanya terus-menerus bertengkar dengan orang lain.

"Jadi itu berarti kecocokanmu dengan Akane-senpai memang seburuk itu?"

"Iya…kami pada dasarnya adalah musuh bebuyutan…"

Saito mengingat banyak hal yang mereka lakukan sejak mereka masuk ke SMA mereka.

"Namun kamu dipaksa untuk tinggal bersama, pasti sangat mereka… apa kamu lebih memilih untuk cerai?" Maho menatap tatapan Saito, dan bertanya.

"Aku juga tidak bisa melakukan hal itu. Keadaan ini tidak mengizinkanku." Saito mengangkat bahunya.


Dari pusat gim hingga toko aksesori, kotak karaoke, dan kafe, pada saat Saito mengajak Maho ke lokasi manapun yang mungkin diperlukan untuk melakukan interaksi sosial, hari sudah mulai gelap. Berjalan menyusuri jalan utama kawasan bisnis, Maho merentangkan tangannya.

"Mmmm~ Ini menyenangkan~! Jepang benar-benar hebat!"

"Tunggu sebentar, kamu bukan orang Jepang?" Saito melirik ke sosok Maho.

Maho memang punya kecantikan yang jarang ditemukan, tetapi dia juga tidak tampak memiliki darah Barat seperti Shisei. Namun Maho tidak menjawab pertanyaan Saito, dan tersenyum.

"Senpai, kamu benar-benar hebat sebagai pendamping! Aku benar-benar puas!"

"Senang mendengarnya."

Melihat Maho sebahagia ini, Saito merasa senang karena ia mengorbankan sebagian waktu luangnya dengan sebaik-baiknya. Maho memang dapat sedikit menjengkelkan dari waktu ke waktu, tetapi menghabiskan waktu bersamanya tidak membuat Saito sakit kepala pada akhirnya. Maho menabrakkan bahunya ke Saito, menatapnya dari samping.

"Jangan bilang, Senpai, apa kamu benar-benar terbiasa berkencan? Seorang cowok flamboyan (playboy)?"

"Gadis sepertimu seharusnya tidak menggunakan kosakata semacam itu."

"Ah, begitu ya~ Jadi kamu terus-terusan bermain dengan gadis-gadis bahkan selain Akane-senpai~."

Saito merasakan daun telinganya semakin panas.

"Aku cuma sering nongkrong dengan adikku, oke."

"Iya iya iya, aku akan berhenti sampai di situ saja~." Maho menunjukkan ekspresi seakan-akan dia mengerti segalanya.

Karena Saito tidak benar-benar tertarik pada cinta dan segala sesuatu yang semacamnya, itu merupakan kecurigaan yang tidak ingin ia biarkan. Jika Saito punya waktu untuk bermain-main dengan cinta dan romansa, akan jauh lebih efisien untuk membaca buku yang menenangkan. Kalau Saito begitu terpaku pada cinta, ia mungkin akan memprotes lebih keras ketika pembicaraan tentang pernikahan muncul juga. Di pintu masuk pusat perbelanjaan, Saito menghentikan langkahnya.

"Baiklah, aku akan berpisah di sini. Kamu tahu arah jalan pulang, bukan?"

"Eh? Aku belum mau pulang, aku akan mengikuti Senpai ke rumahmu~." Maho tampak benar-benar bingung, berbicara seakan-akan sudah jelas.

"Hah…? Aku sudah selesai mengajakmu berkeliling, bukan?"

Maho mulai gelisah dan canggung.

"Tetapi, aku ketinggalan kereta terakhir..."

"Ini masih belum kemalaman, bukan?!"

"Kereta terakhir di sini berangkat pukul 3 sore, oke!"

"Desa terlindung macam apa di ujung dunia ini, semestinya hah?!"

"Masuk akal untuk mengakhiri kencan dengan hal-hal mesum di rumah pacar, bukankah begitu?!"

"Aku tidak pernah mendengar kalau hal semacam itu masuk akal!"

Paling tidak, tidak di dunia ini, tempat mereka tinggal. Saito berusaha pergi, tetapi Maho berpegangan pada lengannya, menginjak tanah.

"Aku akan berteriak kalau ini bersenggama!"

"Kita bahkan tidak melakukannya?!"

"Ini versi kencannya! Senpai, bodoh! Tidak berguna! Orang bodoh yang bejat!"

"Ap…"

Mereka mulai menarik perhatian dari orang-orang di sekitar mereka, yang membuat Saito panik. Para pengamat melihat seorang gadis yang menawan dan cantik, dengan seorang pria yang mencoba melarikan diri, jadi tentu saja penampilan mereka tajam. Bahkan ada yang sudah menyiapkan ponsel pintar untuk berfoto. Petugas polisi di depan pos polisi juga memberi Saito tatapan tajam. Saito mendorong wajahnya ke arah Maho, dan berbisik.

"Apa sih yang kamu incar…?"

"Bayinya Senpai lah…" Maho kembali dengan suara pelan.

"Maaf, tetapi aku belum punya anak..."

"Kita yang akan membuatnya mulai sekarang..." Maho mengatakan ini dengan wajah datar.

Meskipun ini merupakan ajakan dari cewek cantik yang akan membuat kepala semua orang menoleh, Saito masih baru bertemu dengan Maho hari ini. Tentu saja, Saito merasakan ketakutan sampai ke tulangnya. Tidak dapat membaca niat Maho merupakan hal yang membuat Maho paling menakutkan, dan menjadi ancaman terbesar. Maho mendekatkan bibirnya cukup dekat untuk menyentuh telinga Saito dan berbisik dengan suara yang imut.

"Senpai, apa kamu yakin…? Aku mungkin harus memberi tahu semua orang di sekolah kalau kamu dan Akane-senpai tinggal bersama…?"

"Jadi sekarang kamu mengancamku."

"Ini bukan ancaman, semacam pertukaran~." Maho mencibir seperti penyihir. "Senpai yang lembut ini pasti akan menerima permintaan seorang gadis yang ingin mengunjungi rumah pacar tercintanya, bukan…?"

Maho meminta dengan imut, tetapi dia punya aura 'Kalau tidak mau, kamu akan mati' yang terpancar dari sekujur tubuhnya, benar-benar merusak penampilannya yang imut. Memang, dia itu bencana, bencana alami.

"Cih... lakukan saja apa yang kamu mau."

"Yeeeei~ Aku mencintaimu, Senpai~." Maho tersenyum, dan menempel ke lengan Saito.

Saito dapat mengatakan kalau ini bukan cara Maho untuk menunjukkan kasih sayang, melainkan sebagai cara untuk menahannya, karena jumlah kekuatan yang Maho berikan pada genggaman itu memberi tahu Saito. Berpapasan dengan Akane begini akan menjadi skenario terburuk. Mengetahui betapa gilanya Akane terhadap moral dan semacamnya, dia mungkin akan mengajukan surat cerai. Satu-satunya pilihan lain adalah mengambil jalan memutar yang besar dalam perjalanan pulang dan berdoa kepada para dewa agar Maho muak dengan itu. Dengan pemikiran itu, Saito hendak menginjakkan kaki ke arah yang berlawanan dari rumahnya. Namun, Maho berhenti.

"Senpai? Ada apa, rumahmu tidak ke arah situ, kamu tahu?"

"Kamu tahu di mana aku tinggal…?" Saito merasakan ketakutan yang nyata.

Namun, Maho cuma berseru dengan tenang.

"Tentu saja aku tahu? Semua orang akan mencari di mana orang yang kamu suka tinggal, bukan?"

"Mungkin seorang penguntit yang akan melakukan hal itu..."

"Aku juga tahu nomor rumah Senpai."

"Siapa yang memberi tahumu?!"

"Dan juga nomor ponselmu."

Saito kepikiran untuk menelepon Shisei untuk membawa Akane, tetapi tepat pada saat dia meraih telepon di sakunya, Maho dengan erat meraih tangannya.

"Senpai? Kamu tidak akan menghubungi gadis lain saat kita berkencan, bukan?"

"Bagaimana kamu bisa tahu…?" Keringat dingin mengalir di punggung Saito.

Maho benar-benar cuma berpura-pura bodoh. Jauh di lubuk hatinya, Maho itu ahli strategi dan pintar.

"Aku tahu semua yang perlu diketahui tentang Senpai~ Bagaimanapun juga, aku sangat mencintaimu!"

"Kalau kamu bilang ini cinta, maka aku sendiri tidak pernah ingin mengalaminya!"

"Kamu mengatakannya lagi~ Kamu sangat mudah merasa malu, Senpai~." Maho menahan tangan kanan Saito dengan lengan kirinya, menempel pada Saito sampai ia tidak dapat menggerakkannya sama sekali.

Biasanya, remaja laki-laki manapun akan senang menikmati situasi ini, tetapi jantung Saito tidak deg-degan karena cinta, tetapi ia takut akan nyawanya. Akhirnya, mereka sampai di rumah Saito, dan Maho membunyikan bel pintu tanpa ragu-ragu. Langkah kaki mendekat, dengan Akane yang membuka pintu.

"Kamu terlambat sekali. Apa yang kamu—" Akane berkata, lalu melihat Maho berada di sebelah Saito, mata Akane terbuka lebar karena terkejut.

Maho masih memeluk Saito, dan bersandar padanya. Meskipun Saito dan Akane hanya menikah secara hukum, ini benar-benar pemandangan terburuk yang mungkin ditunjukkan pada Akane setelah Saito kembali ke rumah.

"A-Apa maksudnya ini…?" Bahu Akane bergetar.

Saito mati-matian mencari jalan keluar dari situasi yang membahayakan ini. Karena Maho sudah tahu tentang keadaan mereka, mungkin Saito harus berterus terang kalau ia sedang diancam. Namun, apa Akane akan menerima hal itu sebagai kebenaran?

"Akane, dengarkan aku, ada alasan bagus untuk ini—" Tepat saat Saito mencoba mencari alasan, Akane berteriak.

"Mengapa kamu pulang bersama dengan adikku, Saito?!"

"…Apa?" Saito meragukan telinganya. "Adik...Mu?"

"Iya, adikku! Dia itu Sakuramori Maho! Apa dia tidak memberi tahumu?!"

"Sakuramori...?" Saito melihat ke arah Maho.

Sekarang setelah Akane menunjukkannya, Saito  dapat melihat kemiripan yang samar dengan Akane pada tampak wajah Maho. Namun, kemungkinan itu adalah—

"Ah, aku ketahuan deh~." Sakuramori Maho menjulurkan lidahnya seperti iblis kecil.


←Sebelumnya           Daftar Isi         Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama