KuraKon - Jilid 4 Bab 1 Bagian 3 - Lintas Ninja Translation

Bab 1
Adik Kelas
(Bagian 3)

Jam pelajaran berakhir untuk hari ini, dan Saito akhirnya dapat menikmati kebebasan di ruang kelas 3-A. Akane punya rencana untuk nongkrong dengan Himari, tidak ada waktu untuk berbelanja sebagai pasangan suami istri. Shisei pergi berbelanja dengan orang tuanya, sehingga sopir pelayan datang menjemputnya. Dengan kata lain, begitu Saito keluar dari sekolah, ia bebas melakukan apa saja. Berjalan-jalan ke kota dengan Shisei memang menyenangkan, tetapi terkadang, Saito lebih suka sendirian. Misalnya…pada hari perilisan novel dengan konten erotis.

Itu merupakan bagian dari seri novel fiksi ilmiah dari luar negeri yang telah Saito ikuti selama beberapa waktu. Dengan luar angkasa sebagai temanya, memang cukup menarik, tetapi sampulnya itu agak terlalu seksi. Di novel itu juga terdapat banyak adegan seks, jadi membeli novel itu dengan seorang gadis muda yang ia anggap keluarga merupakan sesuatu yang ingin Saito hindari.

Selain membeli itu, Saito juga mempertimbangkan untuk menonton film, serta membeli beberapa suplemen di apotek, memang akan sempurna. Namun, tepat saat Saito terdiam dalam kegembiraan…

"Senpaaaai!"

Jeritan yang terdengar seperti hukuman mati bagi Saito terdengar di dalam kelas. Maho berdiri di pintu ruangan itu, melambaikan tangannya dari seberang Sungai Sanzu.

"Shisei, lari!" Saito melihat ke sampingnya, tetapi Shisei sudah tidak terlihat.

Dia sudah lari dengan kecepatan yang menyaingi kecepatan teleportasi langsung.

—Siapa sih tadi yang bilang 'Aku akan melindungi Abang bagaimanapun caranya', ya?!

Saito mengecam, tetapi itu merupakan keputusan bijak dari pihak Shisei. Bahkan seekor binatang kecil pun akan lari terbirit-birit saat menghadapi badai yang mendekat. Di saat yang sama, teman-teman sekelas yang masih ada di kelas menjadi heboh.

"Wah, dia sangat imut…"

"Anak kelas sepuluh?"

"Apa kita punya siswi yang sangat imut begitu di sekolah kita?"

"Mungkin saja dia murid pindahan?"

"Dia datang ke sini untuk mencari siapa?"

Semua tatapan anak laki-laki terfokus pada gadis itu. Terutama pada paha Maho, begitulah. Maho berkata sambil mulai gelisah, bertanya pada para siswa di dekat pintu.

“Em…Aku ke sini untuk bertemu dengan Houjou-senpai…Apa ia ada di sini…?" Maho menunjukkan ekspresi seorang gadis yang sedang jatuh cinta.

Namun, Maho pasti melihat Saito di sudut pandangnya, jadi semuanya jelas kalau itu hanyalah akting. Belum lagi tatapan yang dipenuhi kemarahan dan amarah yang terfokus pada Saito muncul sedetik kemudian.

"Houjo…Kamu lagi?!"

"Kamu masih belum puas dengan Ishikura, dan sekarang kamu juga menyikat adik kelas yang imut juga?!"

"Kamu binatang liar laknat! Walaupun para dewa mungkin memaafkanmu, tetapi kami jelas tidak akan memaafkanmu!"

"Memangnya apa yang telah aku lakukan?!"

Tidak ada yang mendengarkan keluhan Saito, lalu para siswa mendekatinya.

""'Hei-ho! Hei-ho! Hei-ho!"""

Bersamaaan dengan suara yang energik, para siswa itu menggendong Saito ke balkon. Sebagai sebuah kelompok, mereka mencoba melempar Saito.

"Bisa tenang, tidak, kalian?! Ini kan lantai 4!"

"""Kebencian kami akan mengutuk garis keturunan Houjo!"""

"Ocehan macam apa itu?! Seseorang tolong telepon KODIM! Tolong telepon bantuan!"

Tidak ada yang mau repot-repot mendengarkan permohonan Saito. Saito dikelilingi oleh para musuh dari semua sisinya.

"Tolong hentikan! Jangan lakukan apapun untuk menyakiti Houjo-senpai kesayanganku! Aku hanya ingin kami berdua bahagia!" Maho berteriak seperti seorang heroin dalam bahaya, tetapi itu hanya memberikan efek yang sebaliknya.

Para siswa itu mulai meneteskan tangisan darah, dan mengayunkan Saito lebih keras lagi. Mereka tidak hanya puas dengan mendorong Saito dari lantai empat, tetapi mereka juga ingin menembaknya seperti bola meriam. Sudah jelas kalau Maho sengaja mempermalukan anak-anak itu. Saito entah bagaimana berhasil membebaskan diri menggunakan kekuatannya sendiri, menginjak kepala mereka agar kembali bebas. Setelah itu, Saito meraih punggungnya sendiri, berlari keluar dari kelas. Maho tertawa terbahak-bahak, dan segera mengikuti Saito.

"Pasti sulit ya, Senpai~."

"Memanggilnya menurutmu ini salah siapa…" Saito memastikan kalau para siswa itu tidak lagi mengejarnya, dan menghela napas lega.

Kemungkinan besar mereka sudah ditangkap pada saat itu, dan tidak benar-benar berencana untuk membunuh teman sekelas mereka dengan darah dingin — mungkin saja.

"Jadi, apa yang kamu inginkan sekarang?" Saito bertanya, dan sedikit kekesalan memenuhi suaranya.

"Kamu bertanya padaku?! Baik sekali!" Maho menyatukan kedua tangannya di depan dadanya.

"Kalau aku tidak bertanya, kamu mungkin akan mengikutiku sampai aku mau, bukan?"

"Kamu ini sangat mengenalku ya~ Apa jangan-jangan kamu ini penggemarku?"

"Tidak sama sekali, dan yang paling bisa aku ketahui tentangmu adalah bahwa kamu bukan berasal dari tanah ini."

"Eh? Apa itu berarti kamu ingin mengenal lebih banyak tentangku? Kamu ingin tahu tentang setiap bagian dari tubuhku? Astaga, kamu ini sangat mesum!" Maho menepuk satu tangan di bahu Saito.

Pipi Saito berkedut karena marah. Maho terasa seperti jangkrik berkicau tepat di sebelah jendela Saito, tetapi keimutan itu membuat Saito merasa tidak mungkin untuk mengusir Maho.

"Baiklah, sekarang beri tahu aku alamat dan nomor teleponmu. Aku akan menegur orang tuamu."

"Hmm, aku rasa masih terlalu dini untuk mengenalkanmu pada orang tuaku. Kita bahkan masih belum punya anak."

"Kalau kita sudah punya anak, kita mungkin akan terlambat memberi tahu mereka, bukankah begitu?!"

Kalau itu akan menjadi tahap di mana pernikahan ingin direstui, bayangkan reaksi orang tua mereka. Namun, Maho cuma memperkenalkan dirinya sambil tersenyum.

"Jadiiii~ aku Maho! Siswi kelas sepuluh di SMA ini, dan pacar Senpai!"

"Kamu menambahkan beberapa informasi yang dibuat-buat di dalamnya!"

"Apa itu masalah? Kita cuma perlu mengenal lebih banyak tentang satu sama lain mulai sekarang…oke? Kita akan berjalan di jalan ini bersama-sama, berdampingan… oke?" Maho melontarkan omong kosong romantis, tetapi itu cuma asap dari api.

Maho sudah mengetahui informasi yang sangat pribadi tentang Saito, jadi mereka tidak berada di level yang sama lagi.

"Aku baru pindah ke sini hari ini, jadi aku tidak tahu apa-apa tentang sekolah ini. Itulah sebabnya aku datang ke sini untuk meminta Senpai untuk mengajakku berkeliling! Terima kasih sudah mau menerimanya!"

"Aku tidak pernah bilang apapun tentang mau menerimanya, oke. Mintalah teman sekelasmu saja kalau begitu."

"Siswi-siswi di kelasku sepertinya tidak terlalu menyukaiku…Meskipun aku ini sangat imut, itu aneh, bukan~?"

"Benar…"

Melihat Maho mengedipkan mata, Saito harus setuju. Walaupun Maho diperlakukan seperti seorang putri oleh seluruh siswa, para siswi pasti tidak akan senang karena dia memonopoli semua perhatian. Meskipun semua itu berkat perbuatannya, Saito tidak punya teman dekat di kelas, dan semua orang kecuali Akane dan Himari menjaga jarak darinya, jadi Saito mengerti bagaimana perasaan Maho. Saito ingat diasingkan oleh kelompok-kelompok di kelas di SD.

"Dimengerti, aku akan mengajakmu berkeliling."

"Karena aku ini imut?!"

"Karena aku merasa kasihan padamu."

"Jadi, apa itu karena cinta?!"

"Bukan karena cinta."

"Cuma hubungan fisik saja?! Sebenarnya, itu mungkin baik-baik saja untuk memulainya."

"Tidak sama sekali. Mungkin saja ini cuma aku, tetapi apakah orang-orang sering memberi tahumu seberapa percaya dirimu?"

Maho melompat kegirangan.

"Mereka memang memberi tahuku! Kamu tahu banyak tentangku, Senpai! Apa kamu penguntitku?!"

"Bagaimana bisa aku menguntit seseorang yang baru pindah ke sekolahku hari ini?"

"Kamu sudah membuat rencana untuk melakukan itu!"

"Bahkan kalau itu sebuah rencana, banyak hal yang tidak mungkin dilakukan, kamu mendengarku?"

Saito memang melihat dirinya sebagai seorang jenius, dan meski ia tidak dapat mencapai sesuatu yang melampaui akal dan logika. Saito mulai berjalan lagi, dengan Maho berjalan di sampingnya.

"Sebagai peserta didik baru, kamu mungkin harus ingat di mana itu kantor staf dan kantor kepala sekolah berada. Aku merasa mereka sering memanggilmu ke sana."

Maho mengangguk dengan puas.

"Kamu benar, masuk akal kalau para guru ingin sekali mengobrol dengan seseorang yang imut sepertiku~."

"Apa kamu ini tinggal di semacam negeri kayangan yang bahagia?"

"Tentu saja. Dan Senpai-lah yang akan menjadi pangeranku."

"Tolong jangan…" Saito lebih suka hidup di dunia nyata.

Saito membawa Maho, yang berisiknya setara dengan suara sepuluh orang, ke lantai pertama, dan mengajaknya berkeliling. Saito memulai dengan ruang kelas yang tidak asing, diikuti oleh kantor, ruang siaran sekolah. Fakta bahwa Maho baru saja pindah hari ini tampaknya memang benar, karena dia dengan penuh semangat mendengarkan semua penjelasan Saito.

"Permisi, aku punya pertanyaan! Kalau aku ingin bermesraan dengan Senpai, ruang kelas mana yang harus aku gunakan?!"

"Tidak akan pernah ada masa depan di mana hal itu akan terjadi, jadi aku tidak perlu menanggapi pertanyaan itu."

"Akan ada masa depan itu! Masa depan yang cerah di mana hanya ada kita berdua! Atau, apa kamu itu tipe orang yang senang melakukan hal itu di depan orang banyak?! Aku kecewa!"

"Iya, kecewalah sesuka hatimu."

Itu akan menyelamatkan Saito dari banyak masalah.

"Mana mungkin, mana mungkin! Aku masih sangat mencintaimu~!"

"Cewek ini..." Saito menahan keinginannya untuk meninggalkan Maho, tetapi ia tidak akan bisa melakukan hal itu begitu saja, lalu Maho menempel pada lengan Saito.

Akibatnya, mereka menarik banyak perhatian cuma dengan berjalan menyusuri lorong saja. Para siswa yang mereka lewati berhenti di jalur mereka, berbalik untuk melihat Maho. Maho seharusnya punya banyak pilihan untuk calon pacar. Namun, dia malah langsung mengakui perasaannya pada Saito pada hari pertamanya setelah pindah, jadi pasti ada sesuatu yang janggal. Akan aman untuk berasumsi kalau Maho menyembunyikan sesuatu.

"Mengapa kamu mengakui perasaanmu padaku?"

Memastikan kalau siswa-siswi lain tidak akan dapat mendengarnya, Saito bertanya pada Maho dengan suara pelan.

"Ehh? Karena aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama, aku rasa?" Maho menunjukkan senyuman yang malu-malu.

"Jangan mengelak dari pertanyaan itu. Aku itu tidak setampan itu." Saito mengungkapkan evaluasi dirinya yang jujur, namun Maho berjalan di depannya.

Maho menyatukan kedua tangannya di belakang punggungnya, lalu mengamati wajah Saito dengan cermat.

"A-Apa maksudnya itu…?"

"Maksudku… kamu itu cukup tampan. Penampilanmu cukup rupawan, setidaknya."

"Apa, terima kasih." Saito merasakan telinganya menjadi panas.

Namun, cara Maho yang secara aneh menekankan bagian terakhir itu membuatnya tampak seperti ada perasaan tidak enak yang terlibat atau malah sedikit permusuhan. Mungkinkah itu hanya bayangan Saito? Saito tahu memang berbahaya untuk mengambil kata-kata dan tindakan Maho begitu saja. Maho tahu informasi pribadi tentang Saito, jadi ia perlu hati-hati dalam menilai setiap tindakan Maho. Dengan pemikiran ini, mereka menuruni tangga, lalu Maho tiba-tiba menghilang.

"Senpai! Lihat lihat, lihat ini!" Maho duduk di pagar di bagian atas tangga.

Saito tidak diberi kesempatan untuk menghentikan Maho, saat dia meluncur turun dalam sekali jalan. Rambut Maho berkibar tertiup angin, roknya langsung terangkat di jalan.

"Hati-hati!"

Maho secara alami kehilangan keseimbangannya, dan hampir terjatuh, jadi Saito secara refleks menangkapnya. Tubuh Maho yang ramping melompat ke dalam pelukan Saito, rapuh melebihi apa yang dapat dia percaya, dan lebih lembut dari semacam awan. Maho tertawa sekuat tenaga, dan menatap Saito.

"Tangkapan yang bagus!"

"Dengkulmu! Apa sih yang kamu lakukan ini?!"

"Aku sudah lama ingin mencoba melakukan ini sebelumnya! Bukankah ini jauh lebih cepat daripada jatuh secara normal?"

"Memang benar, tetapi bagaimana kalau kamu terluka?!"

"Aku percaya kalau kamu akan menyelamatkanku, Senpai!"

"Mengapa kamu sangat percaya pada seseorang yang baru saja kamu temui beberapa jam yang lalu..."

Kepercayaan merupakan sesuatu yang kamu bangun dari pengalaman bersama orang lain, bukan sesuatu yang kamu kembangkan tanpa dasar apapun.

"Belum lagi… akan sia-sia untuk menahan sesuatu yang benar-benar ingin kamu lakukan, bukan? Lagipula, kita tidak akan pernah tahu kapan kita akan mati."

"Iya, kamu tidak salah..."

Meskipun begitu, mendengar kata-kata filosofis dari gadis yang acuh tak acuh dan riang seperti itu cuma membangkitkan perasaan tidak nyaman di dalam diri Saito.

"Benar, bukan? Karena itulah...ketika aku menyadari perasaanku pada Senpai, aku langsung mengakuinya!"

"Ini dan itu merupakan hal yang berbeda, kamu tahu?"

"Jadi Senpai, apa kamu tidak masalah kalau tidak pernah mengakui perasaanmu pada gadis yang kamu sukai, lulus sambil menderita perasaan yang bertepuk sebelah tangan, dan lalu berpikir 'Ya ampun, aku seharusnya mengakui perasaanku padanya' sepuluh tahun yang akan datang?"

"Aku tidak punya orang yang seperti itu, jadi aku tidak tahu."

Bersamaan dengan rasa sakit yang tajam di dadanya, Saito teringat pada gadis waktu itu, yang namanya bahkan belum ia tanyakan. Jika saja mereka setidaknya bertukar informasi kontak, sesuatu mungkin telah tumbuh dari saat itu, namun…

"Tidak menyukai seorangpun, sungguh hidup yang membosankan~."

"Kamu…"

"Jadi, kamu tidak punya perasaan apapun pada Akane-senpai meskipun kalian berdua tinggal bersama?"

Kata-kata Saito akhirnya tersangkut di tenggorokannya. Tentu saja, orang lain itu musuh bebuyutannya, jadi Saito jelas tidak memiliki perasaan padanya. Namun, mereka berdua telah menghabiskan terlalu banyak waktu bersama, saling mengenal lebih banyak, bagi Saito untuk mengabaikan hal itu dengan kata 'benci'. Saito merasa terkejut dengan keraguannya. Beberapa saat yang lalu, Saito akan dapat menjawab pertanyaan itu tanpa berpikir dua kali.

"Itu…bukan masalah suka atau benci."

"Iya, itu masuk akal sih. Keadaan yang berhubungan dengan keluarga memang tidak pernah mudah." Maho mengangguk.

Saito merasa cemas, tidak bisa menebak seberapa banyak yang gadis ini ketahui. Apa dia tahu tentang fakta kalau pernikahan ini telah dipaksakan kepada mereka oleh kakek-nenek mereka?

"Kalau begitu, kalau begitu! Mengapa kamu tidak jatuh cinta saja padaku saja! Itu akan membuat semuanya jauh lebih menarik, aku yakin!" Maho melompat ke arah Saito, mengunci lengan mereka.

Aroma wangi melayang ke hidung Saito, dan rambut panjang Maho bersinar, karena diterangi oleh sinar matahari. Maho bertingkah nakal sepanjang waktu, dan Saito tidak dapat menurunkan kewaspadaannya untuk sesaat karena dia jelas sedang merencanakan sesuatu, tetapi di saat yang sama, Saito tidak dapat mengusirnya pergi. Meskipun baru bertemu dengan Saito, Maho merasa sangat akrab dengan Saito.

"Jangan menempel padaku begitu."

"Karena itu akan membuatmu bersemangat?" Maho bertanya dengan nada yang menggoda.

"Tidak sedikitpun."

"Itu bohong~! Mendapati seorang gadis cantik sepertiku melekat padamu, tidak mungkin kamu tidak akan bersemangat! Kamu tampak seperti seorang perjaka, jadi jantungmu pasti berdetak kencang sekarang, bukan?"

"Aku akui kalau aku memang masih perjaka, tetapi aku sangat tenang sekarang." Atau begitulah katanya, terapi Saito merasakan tubuhnya memanas di dalam.

Maho menyadari hal ini, lalu dia menyeringai.

"Karena kamu sudah mengajakku berkeliling di sekolah, biarkan aku mentraktirmu makanan manis di kota."

"Aku tidak butuh rasa terima kasih."

Saito sudah terbiasa mengurus orang, dan Dedek Maho yang manja ini sangat mirip dengan Shisei.

"Kamu berencana untuk membuatku merasa bersalah, dan lalu meminta sesuatu yang lebih gila lagi nantinya?!" Maho memeluk tubuhnya ketakutan.

"Apa yang kamu maksud dengan lebih gila?"

"Menyelesaikan permasalahan pemakaian energi bumi!"

"Akan luar biasa kalau hal itu dapat diselesaikan."

"Mungkin kalau lima miliar orang mau melakukan yang terbaik dan menurunkan pemakaian energi mereka?"

"Aku merasa kasihan pada lima miliar orang itu."

"Tetapi, itu cuma perbedaan modern secara singkat saja, bukan?"

"Bisakah kamu berhenti tiba-tiba mengangkat topik serius begitu?"

Pada awalnya, Maho mungkin tidak tampak seperti orang paling cerdas, tetapi mungkin dia cuma berpura-pura. Saito tidak bisa mengerti siapa Maho sebenarnya.

"Dan juga, aku tidak pernah pergi ke pusat perbelanjaan di dekat sekolah, jadi bisakah kamu mengajakku berkeliling, Senpai? Untukku agar bisa bergaul dengan para siswi di kelasku, aku mesti punya pengetahuan tentang tempat-tempat bagus di sekeliling sekolah. Apakah itu akan berlebihan?" Maho berkedip beberapa kali, dan menatap Saito.

Sebagai seseorang yang merupakan seorang abang yang berpengalaman, Saito memang lemah terhadap permintaan seorang gadis yang lebih muda.

"…Baiklah kalau begitu."

"Yei! Ini kencan dengan Senpai!" Maho melompat kegirangan, sambil berpegangan pada lengan Saito.

"Ini bukan kencan."

"Ini pasti kencan~ Dua kekasih sedang pergi untuk bersenang-senang~."

"Pertama-tama, kita ini bukan kekasih."

"Kita sangat mencintai satu sama lain, sampai sekarang…Senpai, apa kamu kehilangan ingatanmu?!"

"Jangan mengarang kehilangan ingatan orang lain."

"Jadi kalau aku mendaratkan pukulan penuh ke kepalamu seperti saat itu, kamu akan mendapatkan kembali ingatanmu?!"

"Jadi kamulah alasan dari hilangnya ingatanku?!"

Namun Maho mengabaikan komentar itu, menarik Saito menuruni tangga. Maho seperti peluru, yang penuh dengan vitalitas. Dia mungkin bahkan tidak pernah masuk angin seumur hidupnya. Mereka berdua berjalan menjauh dari sekolah, menuju ke pusat perbelanjaan terdekat. Saito juga tidak tahu banyak tempat yang bergaya, tetapi ia melihat ke beberapa tempat saat berjalan-jalan dengan Shisei, atau berbelanja dengan Akane. Saito membandingkan kualitas dengan kinerja biaya dan membawa Maho ke toko makanan manis.

"Bagaimana kalau ini? Kue buah dan jeli buah itu enak, dengan kalori yang rendah dan cukup sehat, dan itu populer di kalangan anak sekolahan kita."

"Hei, hei, Senpai! Bagaimana kalau kita makan hamburger saja!" Maho menunjuk ke sebuah restoran cepat saji.

"Kamu menyuruhku untuk mengajakmu ke toko makanan manis, bukan?!" Saito merasa lelah.

"Tidak salah, tetapi bukankah burger yang berair itu lebih enak daripada beberapa makanan manis yang sehat?"

"Iya sih, aku juga lebih suka burger, tetapi…"

Sebenarnya, Saito cuma makan makanan manis untuk menyenangkan hati Shisei dan Akane saja, tetapi itu bukan pilihan pribadi Saito. Kalau Saito dapat memilih dengan bebas, maka ia pasti akan memilih daging.

"Benar, bukan? Bukankah yang baru ini terdengar sangat lezat? Burger piza potongan daging babi bistik!"

Mereka berdua melihat ke poster besar itu.

"Itu terdengar seperti menu yang bodoh."

"Hampir terasa seperti itu akan menurunkan KImu* cuma dengan memakannya, bukan? Bagaimana?" Maho menunjukkan kedipan, mengangkat ibu jarinya.

(TL Note: KI = Kecerdasan Intelektual, IQ)

"Mari kita pergi!"

"Ayo!"

Mereka berdua benar-benar mengesampingkan tujuan awal mereka, dan memasuki restoran cepat saji. Mereka berdua memesan satu porsi burger piza potongan daging babi bistik dengan beberapa kentang goreng dan minuman ringan (bukan yang nol soda, tentu saja), dan membawa makanan mereka ke atas meja. Burger di nampan mereka bahkan lebih banyak daripada yang tampak di poster di luar. Di antara kedua roti itu ada bistik, potongan daging babi, dan sepotong piza, yang hampir hancur kalau disentuh. Itu merupakan monster kalori dari protein, lemak, karbohidrat, dan nutrisi.

"Ini berbahaya." Saito menelan ludah.

"Oh~? Senpai, apa kamu takut~?" Maho menatap Saito, dan mengejeknya.

"Tidak. Dan juga, kamu sebaiknya tidak menangis di tengah jalan, oke?"

"Ini mudah sekali! Selamat makan~!" Maho mengambil burger itu dengan kedua tangannya.

Maho bahkan tidak peduli kalau mulutnya akan kotor, karena dia menggigit burgernya satu gigitan besar. Bahunya berkedut, dan kakinya mengepak ke atas dan ke bawah dengan riang gembira.

"Mmmmm! Lezat~!"

"Baiklah, biarkan aku gigit juga…" Saito juga menggigit hamburger raksasa itu.

Dari pizanya, Saito merasakan keju dan saus tomat yang melimpah, memanjakan lidahnya dengan rasa yang melimpah. Berlawanan dengan kelembutan itu adalah daging babi panggang, yang menunjukkan respons yang lebih kuat saat menggigitnya. Bistiknya mengeluarkan saus daging dengan rasa bawang putih di setiap gigitannya, menciptakan rasa perpaduan yang memberkati otak seseorang dalam rasa suka cita. Itu merupakan keteraturan di tengah kebingungan—kombinasi yang kacau balau.

Aku seorang karnivora—ini merupakan pemikiran yang timbul setelah menyantap hidangan ini, kaisar dari segala makanan cepat saji. Itu menciptakan keinginan berjuang tanpa batas dan kelaparan tanpa dasar.

"Ini… luar biasa."

"Ini lezat, bukan~? Aku bisa makan ini sampai sepuluh porsi!"

"Kamu tidak masalah kalau kamu nanti jadi gemuk?"

"Sebenarnya, aku bisa makan sebanyak yang aku mau, dan aku tetap tidak gemuk. Sepertinya kata diet itu merupakan legenda urban bagiku?” Maho mengangkat bahunya dengan percaya diri.

Seperti yang Maho katakan, anggota badan dan seluruh tubuhnya hampir sangat ramping, tidak ada satupun lemak di tubuhnya. Namun, Maho masih punya proporsi feminim yang tepat, membuatnya tampak seperti dia sengaja diberkati oleh kehidupan itu sendiri.

"Kamu akan dibunuh oleh semua gadis di dunia ini kalau mereka mendengarnya."

"Dan kamu akan melindungiku kalau itu yang terjadi, bukan?"

"Aku akan menyaksikan dari pinggir jalan."

"Kamu akan membiarkanku mati?"

"Aku yakin kalau kamu dapat keluar hidup-hidup."

"Aku ini gadis yang lemah dan rapuh, oke!" Maho memasukkan sedotan ke dalam mulutnya, meneguk semua minuman ringan itu dalam sekali teguk.

Setelah itu, Maho menggigit hamburger lagi, dan membuat kemajuan yang baik. Kebiasaan makan Shisei lebih seperti dia menyedot semua makanan seperti penyedot, tetapi menyaksikan Maho makan itu menyenangkan, dan membuat makanannya semakin enak.

"Fiuh… Makanan cepat saji memang yang terenak~."

"Makanan sehat memang lezat, tapi terkadang enak juga rasanya makan makanan yang seperti ini."

"Aku suka ramen gelas, tetapi aku cuma akan diomeli kalau aku memakannya di rumah… Katanya aku ini harus makan sesuatu yang lebih sehat lah dan sebagainya."

"Sama juga kalau di rumahku… Saat aku menyantap ramen gelas, aku langsung kena omel."

Maho cemberut.

"Apa yang masalah dari ramen gelas sih, serius deh. Sama seperti mi atau makanan manis biasa, aku ingin makan ramen gelas sebanyak itu sampai lidahku mati rasa karena bumbu buatan pabrik."

"Aku sangat mengerti, bumbu buatan pabrik merupakan kearifan umat manusia." Saito mengangguk.

Saito mungkin sebenarnya punya keyakinan yang sama dibandingkan dengan gadis itu. Di saat yang sama, Maho tersipu, dan menutupi pipinya dengan tangannya.

"Tentu saja, aku tahu Mbak-ku bilang begitu karena Mbak peduli padaku."

"Jadi kamu punya seorang kakak, ya."

"Tidak menduga hal itu?"

"Tidak, aku benar-benar menduganya. Kamu terasa seperti seorang adik."

"Karena aku sangat imut?!" Mata Maho berbinar gembira.

"Tetapi, menurutmu aku ini imut, bukan? Iya, kan?" Maho mendorong tubuhnya ke atas meja, mendekati Saito tanpa henti.

"Sisi sombongmu itu juga membuatmu tampak lebih seperti seorang adik."

"Jadi Shii-chan juga bandel sepertiku?"

"Dia mungkin gadis paling bandel di dunia ini, tetapi tidak masalah karena dia juga gadis terimut di dunia," Saito berbicara dengan keyakinan tak terbatas dalam suaranya.

"Benar-benar siscon~ Tetapi, gadis terimut di dunia ini ya Mbakku, lah!" Maho langsung protes.

"Kamu malah lebih siscon lagi."

"Lagipula Mbakku itu sempurna! Dia sangat baik, perhatian, dan bertingkah seperti orang dewasa tidak peduli apapun yang aku lakukan!"

Kebalikan dari Akane, adalah apa yang Saito pikirkan dengan cemburu.

(TL Note: Padahal orang yang sama, mungkin karena perlakuannya berbeda jadi si Saito nganggep dia berbeda.)

"Dia pasti orang yang hebat, aku ingin sekali bertemu dengannya."

"Aku tidak akan memberikan Mbak padamu, oke?"

"Aku juga tidak menginginkannya. Aku cuma ingin tahu orang seperti apa sih dia sampai-sampai kamu memujinya dengan penuh kasih sayang."

"Aku yakin kalau kamu pasti pernah bertemu dengannya sebelumnya, Senpai~."

"Jadi kita bersekolah di sekolah yang sama?"

Kalau dia kakaknya Maho, dia pasti sangat cantik. Saito penasaran apa ada siswi cantik yang seperti itu di sekolahnya. Satu-satunya orang yang muncul dalam benak Saito ialah Himari, tetapi ia tidak pernah mendengar kalau dia punya seorang adik.

"Mm, iya, kamu, pasti pernah…Tunggu sebentar! Kamu tidak boleh membicarakan gadis lain saat sedang berkencan denganku! Kamu itu yang terburuk, Senpai~!" Maho meraih meja dan memelototi Saito.

"Jangan ngawur begitu deh, kan kamu yang mengangkat topik tentang kakakmu."

"Ehhhh, benarkah? Aku tidak ingat sama sekali~!"

"Apa kamu itu seekor ayam?!"

"Senpai, ada saus di jarimu~ Biarkan aku yang menjilatnya sampai bersih~." Maho tiba-tiba memasukkan jari Saito ke dalam mulutnya.

"…?!" Tubuh Saito menggigil karena rangsangan yang datang.

Maho menggerakkan lidahnya di sepanjang jari Saito, mengisapnya seperti permen lolipop. Sensasi lidah Maho yang lembut dan rasa bibirnya yang manis menciptakan kandang yang manis untuk jari Saito. Karena reaksi Saito terlambat akan semua perkembangan yang tiba-tiba ini, Maho menggunakan celah itu untuk mengeluarkan ponsel pintarnya dan membentuk tanda damai dengan jari-jarinya. Setelah itu, Saito mendengar beberapa suara cekrik, yang akhirnya membuatnya menarik jarinya.

"Apa yang barusan kamu lakukan?!"

"Apa maksudmu? Aku sedang membersihkan jarimu~ Tentu saja, aku cuma melakukan ini untuk Senpai, jadi sebaiknya kamu bersyukur~." Maho menjilat bibirnya dengan menggoda.

Melihat gerakan licin dari ujung lidahnya, Saito dipenuhi dengan sensasi mesum.

"Tidak ada yang memintamu melakukan itu! Dan mengapa kamu memfotonya?!"

"Untuk meninggalkan kenangan tentang aku dan Senpai sebagai pasangan mesra."

"Kita ini bukan pasangan yang mesra sedikitpun! Hapus itu sekarang juga!"

"Kyaaa~ Senpai akan menyerangku~!"

Saito mencoba mengambil ponsel itu dari Maho, namun dia melarikan diri. Maho bergegas keluar dari restoran keluarga, ke jalan pusat perbelanjaan, dan segera menghilang.

"Sialan… Ke mana perginya dia?!" Saito berlari mengejarnya dan melihat sekeliling.

Kalau Maho menyebarkan foto itu, dan sampai ke Akane atau bahkan Tenryuu, Saito tidak akan bisa keluar dari situasi itu dengan aman. Karena Saito tidak dapat membaca motif dan pola pikir Maho, ia tidak tahu apa yang akan Maho lakukan dengan foto ini. Mungkin seseorang yang memiliki jabatan tinggi di Houjo Group mengirim Maho mendekati Saito untuk menghalangi pernikahannya, sehingga mendapatkan akses ke kursi kepala keluarga berikutnya.

Merasa frustrasi, Saito cuma bisa berlari seperti ayam buta. Namun, tidak butuh waktu lama baginya untuk menemukan Maho. Maho memasuki gang samping, tenggelam ke tanah, lalu dia terengah-engah.

"Jadi di sini tempat persembunyianmu..."

Saito berhati-hati terhadap kemungkinan kalau dia mencoba melarikan diri lagi dan mendekati Maho.

"Mengejar seorang gadis untuk membuatnya terengah-engah begini, kamu sangat mesum, Senpai…"

"Kamu itu melarikan diri atas kemauanmu sendiri! Bagaimanapun, aku akan memintamu menghapus foto-foto itu sekarang."

"Erk, mau bagaimana lagi…" Maho menunjukkan ponselnya pada Saito saat dia berusaha menghapus semua foto yang dia ambil.

"Kamu tidak membuat cadangan dari foto itu, kan?" Saito menegaskan, cuma untuk memastikan saja.

"Aku tidak punya waktu untuk melakukan hal itu!"

"Baiklah, kalau begitu biarkan aku mengajakmu berkeliling pusat perbelanjaan lagi."

"Eh? Kamu tidak marah padaku?" Mata Maho terbuka lebar.

"Tidak juga. Aku cuma tidak mampu membuatmu punya foto-foto itu."

Kalau Saito marah pada setiap tindakan egois yang kecil dari seorang gadis yang lebih muda darinya, ia mungkin tidak akan bertahan sebagai abangnya Shisei, yang pada dasarnya bertingkah seperti seorang putri yang datang dari luar angkasa.

"Hmmm…Meskipun kamu bertengkar dengan Akane-senpai pada setiap hal kecil, ternyata kamu orang yang sangat pemaaf…"

"Aku sebenarnya tidak ingin bertengkar dengan orang selain Akane, iya."

Karena Saito cuma ingin hidup damai, ia mengerti kalau tidak ada gunanya terus-menerus bertengkar dengan orang lain.

"Jadi itu berarti kecocokanmu dengan Akane-senpai memang seburuk itu?"

"Iya…kami pada dasarnya adalah musuh bebuyutan…"

Saito mengingat banyak hal yang mereka lakukan sejak mereka masuk ke SMA mereka.

"Namun kamu dipaksa untuk tinggal bersama, pasti sangat mereka… apa kamu lebih memilih untuk cerai?" Maho menatap tatapan Saito, dan bertanya.

"Aku juga tidak bisa melakukan hal itu. Keadaan ini tidak mengizinkanku." Saito mengangkat bahunya.


←Sebelumnya           Daftar Isi          Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama