KuraKon - Jilid 3 Bab 4 - Lintas Ninja Translation

Bab 4
Cincin

Di kamar Shisei, Saito mengirim data terjemahan yang sudah selesai ke penyunting yang bertanggung jawab. Saito tidak menggunakan surat konvensional, melainkan aplikasi obrolan yang hanya digunakan di dalam lingkungan perusahaan. Pesan Saito langsung dibaca, dengan pimpinan perusahaan mengirimkan tanggapan.

'Terima kasih banyak. Merupakan suatu kehormatan untuk menerima bantuan murah hatimu untuk proyek ini, Saito-sama. Kami akan mencoba yang sebaik mungkin agar layak dengan bantuanmu, dan kami tidak akan pernah melupakan bantuan ini...'

Saito dengan canggung membaca teks ini yang sepertinya tidak terdengar seperti akan dikirim ke karyawan paruh waktu.

"Begitu banyak informasi yang tidak perlu… Buatlah menjadi singkat dan efisien." Saito mengerang.

Di saat yang sama, Shisei mengintip ke layar ponsel Saito.

"Mau bagaimana lagi. Karena Abang berhubungan dengan Hojou Group, pada dasarnya Abang dapat memutuskan hidup dan mati untuk mereka. Mereka mungkin ingin mendapatkan sisi baik Abang."

"Paling tidak buatlah itu menjadi samar, ini cuma akan menyakitkan..."

"Hal yang sama juga terjadi pada Shisei. Mereka memberiku permen."

"Abang rasa mereka punya niat lain selain mendapatkan sisi baikmu."

Saito sangat mempertanyakan struktur perusahaan ini kalau bahkan putri pimpinan perusahaan saja diperlakukan seperti satwa di kebun binatang. Tidak lama, Shisei menempel ke leher Saito.

"Abang, ayo main dengan Shisei. Aku ini gadis yang baik dan menunggu Abang menyelesaikan pekerjaan Abang."

"Kena kamu. Kamu mau main apa memangnya?"

"Concentration Satu Orang."

Saito tidak pernah mendengar kombinasi macam itu sebelumnya.

"Bukankah kalau begitu seharusnya kamu memainkan permainan itu sendiri?"

"Shisei akan makan camilan sementara Abang bermain Concentration Satu Orang."

"Mari kita main Old Maid saja, oke?"

"Oke." Shisei duduk di pangkuan Saito.

"Bagaimana kita bisa bermain dengan posisi begini?"

"Tidak perlu bermain, ini akan memperdalam ikatan kita."

"Abang rasa kita tidak membutuhkan ikatan yang lebih dalam dari ini." Saito membangunkan Shisei, dan membuatnya duduk di bantal di depannya.

Kamu tidak boleh meremehkan permainan kartu semacam itu. Dengan kemampuan berhitung Shisei yang menakjubkan, permainan Old Maid yang biasa ini dipenuhi dengan strategi tingkat tinggi, menciptakan sensasi yang tidak seperti permainan kartu lainnya. Karena mereka dapat berpikir, mereka suka pertempuran yang sungguh-sungguh dan serius begini. Setelah bermain kartu sebentar begitu, Reiko pun tiba.

"Kerja bagus. Tante mendapat laporanmu yang sudah mengirimkan berkas. Ini gajimu."

Diserahkan sebuah amplop yang tebal, Saito terkejut.

"Apa Tante yakin tidak mau mengecek ini?"

Reiko tertawa terbahak-bahak.

"Apa kamu tipe orang yang suka salah hitung uang, Saito-kun?"

"Aku mencoba untuk menjadi yang selengkap mungkin."

"Benarkah? Kesalahan apapun tidak dapat kamu temukan, mana mungkin itu dilakukan oleh karyawan kita. Itu mungkin cuma Tante saja."

"Kalau begitu, aku akan dengan senang hati menerima ini." Saito memasukkan amplop itu ke dalam tas sekolahnya.

Mengetahui dari mana asalnya dokumen-dokumen ini, pimpinan perusahaan mungkin tidak akan repot-repot memeriksanya.

"Kamu akan makan malam bersama kami, bukan?" Reiko bertanya, seakan-akan itu merupakan hasil yang jelas.

Saito melihat ke arah jam. Saat ini, Saito harus sudah sampai ke toko perhiasan sebelum tutup. Karena Saito sudah bekerja keras untuk cincin itu, ia tidak mau cincin itu terjual habis.

"Tidak, aku akan pulang lebih awal hari ini. Kalau tidak, rumahku akan berubah menjadi medan perang."

"Apa kamu memberi tahu cewek itu tentang kamu bekerja di sini?"

Dengan panggilan 'cewek itu', Reiko pasti sedang membicarakan Akane. Reiko tampaknya tidak senang menggunakan nama Akane.

"Aku merahasiakannya kok."

"Hmmm…Kalau begitu mengapa dia bisa…" Reiko sedang memikirkan sesuatu. "Mau bagaimana lagi, Tante akan membiarkanmu pulang hari ini. Sebagai gantinya, kamu akan segera mengunjungi kami lagi, oke?"

"Iya, aku akan segera mampir lagi. Lagipula aku benar-benar berterima kasih atas segalanya."

"Ya ampun, kamu itu tidak usah sungkan begitu. Tante cuma berharap atas kebahagiaanmu, Saito-kun." Reiko dengan lembut memeluk Saito, dan mengelus kepalanya.

Orang yang paling menjaga Saito menggantikan orang tua Saito itu Reiko. Karena Saito tahu kalau Shisei dan Reiko ada untuknya, Saito dapat melewati hari-hari suram karena menyendiri.

Setelah meninggalkan pintu depan, sopir pelayan sudah menunggu, dan Shisei menawarkan bantuan pada Saito.

"Abang, lakukan yang terbaik."

"Iya."

Saito dengan lembut memberikan Shisei tos kecil, dan masuk ke dalam mobil. Saito turun di dekat pusat perbelanjaan, dan menuju toko perhiasan. Dengan sedikit kecemasan mengganggunya, Saito mencari koper itu, dan untungnya masih menemukan cincin yang tersisa. Ia menghela napas lega, dan memanggil seorang pegawai.

"Permisi, aku ingin membeli cincin ini."

"Hadiah buat pacarnya, ya Mas!?" Pegawai itu tampaknya lebih dari sekadar penasaran, dan bergegas menuju Saito.

Namun Saito tersendat.

"Bu-Bukan, ini bukan untuk pacarku."

"Jadi buat kakaknya, atau ibunya mungkin?"

"Bukan, bukan keduanya juga..."

Saito tidak dapat mengakui kalau cincin ini akan dijadikan hadiah buat istrinya. Pegawai itu tampak bingung, tetapi tetap memasang senyuman bisnis yang sempurna.

"Dimengerti. Bisakah Anda memberi tahu saya ukuran jari orang terkasih Anda itu?"

"Ukuran…!?" Saito bingung.

Saito tidak pernah sekalipun memikirkan hal itu. Karena ini merupakan pertama kalinya ia membeli cincin, ia cuma memikirkan harganya dan tidak ada yang lain lagi. Keringat dingin mengalir di punggung Saito. Paling tidak, Saito tahu kalau jari Akane itu kecil.

"Yang S, tolong…"

"Kalau cincin yang ini, kami punya dari ukuran 5 sampai ukuran 10…"

"Erk…"

Pegawai itu memasang wajah bersalah, pada dasarnya mengatakan 'Pasti sulit bagi seorang perjaka untuk membeli cincin begini'. Begitu saja sudah membuat Saito ingin kabur di tempat.

Haruskah aku kembali lagi setelah mengukur ukurannya...? Tetapi kalau aku melakukan itu, aku akan merusak kejutannya… Belum lagi dia sendiri mungkin tidak mengetahuinya…

Saito masih punya pilihan lain untuk mengukur ukuran saat Akane sedang tidur, tetapi kalau Akane bangun di tengah jalan, Saito akan dibunuh dengan tuduhan pelecehan seksual. Saat Saito tengah berada di jalan buntu, pegawai itu menunjukkan senyuman.

"Tidak apa-apa, bahkan kalau ukurannya tidak cocok, Anda masih dapat menyesuaikannya, atau mendapatkan cincin yang berbeda."

Diperlakukan dengan baik cuma akan melukai harga diri Saito.

"Apa kamu punya sampel ukuran yang bisa aku lihat? Aku akan dapat mengetahuinya dengan sampel itu." Saito bertanya.

"Kecuali Anda seorang veteran, menebak ukuran cuma dengan melihat saja itu cukup sulit..."

"Tidak apa-apa."

Dengan begitu, pegawai itu mengeluarkan model dengan contohnya. Setelah memeriksa berbagai sampel, Saito menambahkan informasi yang ia dapatkan dari jari Akane dengan kode visual di depannya. Karena Saito memperhatikan Akane memasak beberapa kali, ia ingat kalau jari-jari Akane itu sangat ramping. Membandingkan ukuran cincin itu dengan tampilan jari Akane saat dia memegang pisau dan peralatan masak lainnya, Saito menebak ukuran cincin itu. Saito tidak akan membuat kesalahan dengan begini.

"…Tolong yang ukuran 5."

"Dimengerti."

Pegawai itu mulai membungkus cincin itu dengan sutra, memasukkannya ke dalam kotak kecil, dan menghiasinya dengan pita.

"Anda juga punya pilihan untuk menambahkan kartu secara gratis. Kamu bisa memilih antara 'Cinta Abadi' dan 'Untuk orang yang aku sayang', mana yang Anda pilih?"

"Aku tidak membutuhkan keduanya!"

"Saya yakin pacar Anda akan sangat senang melihat kartu semacam itu. Ini cara terbaik untuk menyampaikan cintamu."

"Ini bukan buat pacarku!"

Dan juga, tidak ada cinta semanis apapun yang terlibat di dalamnya. Menerima kantung plastik dengan desain toko perhiasan di atasnya,  Saito pun pergi. Saito berhasil melewati rintangan pertama, tetapi ia masih belum berada di lampu hijau. Memberikan Akane cincin itu merupakan hal yang terpenting. Namun, Saito khawatir kalau ia dapat melakukannya dengan semulus yang ia inginkan.

Saat memasuki pintu depan, wajah Saito gemetar dengan suasana tegang memenuhi rumahnya. Berdiri di lorong yang menuju ke ruang tamu—ada Akane. Akane berdiri di sana dengan tangan bersilang, menyerupai penampilan sang legendaris Musahibou Benkei, yang berdiri di Jembatan Gojo. Bibir Akane terangkat ke atas menjadi seringai yang menakutkan, membentuk wajah mengerikan yang dapat kamu lihat pada iblis.

–Mati aku!

Segera setelah melihat hal ini, Saito menyesal tidak mendaftar asuransi jiwa. Dan lagi, diasuransikan pun tidak akan menyelamatkan Saito dari kematian tertentu, jadi pada akhirnya itu tidak ada gunanya. Tidak lama, dengan suara yang seperti itu datang langsung dari neraka, tenggorokan Akane bergerak.

"Kamuuu…Mengapa kamu tidak menjawab panggilanku…?"

"Panggilan…? Apa yang kamu bicarakan sih…?"

"Jangan pura-pura bodoh! Kamu bilang kalau kamu sedang sibuk, padahal kamu mungkin sedang bermesraan dengan Shisei-san, bukan!? Kamu sedang melakukan sesuatu yang mesum, bukan!?"

"Em…" Saito bingung.

Namun, melihat Akane yang sedang mengambek, dan sudah menangis, Saito menyadari kalau jawaban setengah-setengah cuma akan mengarah pada malapetaka tertentu.

"Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku berada di rumah Shisei?"

"Kekuuuuuatan superku!"

"Kekuatan super?"

Saito mengira kalau Akane cuma mengarang sesuatu, tetapi menyangkal kalau itu mungkin akan bertindak seperti menuangkan lebih banyak minyak yang ke dalam api yang menyala. Akane memelototi Saito.

"Kalau kamu sangat menyukai Shisei-san, mengapa kamu tidak menikahinya saja!? Maka kamu pasti akan mendapatkan perusahaan itu!"

"Aku rasa kamu salah paham akan sesuatu, tetapi Shisei dan aku tidak dalam hubungan semacam ini!"

"Kalau kamu tidak ingin pulang lagi, maka menjauh saja! Aku akan tinggal di sini sendiri! Karena aku dapat menabung untuk biaya makan dan biaya hidup, aku tidak perlu khawatir lagi setelah aku tua!" Akane menginjak-injak lantai sambil marah.

Akane cuma mengoceh demi nasibnya pada saat ini. Akane mungkin sangat kesepian di sini tanpa kehadiran Saito. Tidak, mengetahui kalau ini Akane, itu pasti bukan alasan yang konyol.

Sekarang setelah sampai pada titik ini, menyembunyikannya lebih jauh lagi bukanlah pilihan yang tepat. Kalau Saito mengungkapkan semuanya di sini, ia akan mendapatkan lebih sedikit cedera. Saito bergerak untuk membuka ranselnya dengan cincin di dalamnya, tidak lama tangannya terhenti.

Aku akan memberikan Akane...sebuah cincin? Aku…untuk Akane…?

Tepat di garis finis, Saito jadi gugup. Saito tidak pernah benar-benar memikirkannya, tetapi bukankah itu masalah besar bagi seorang anak laki-laki untuk memberikan seorang anak perempuan, cincin yang mahal sebagai hadiah? Akane mungkin akan salah mengira niat Saito sebagai sesuatu yang lain pada tahap itu. Saito pun jadi ragu-ragu. Meskipun begitu... kembali saat ini juga bukanlah pilihan yang tepat.

Saito ingin menghabiskan hari-harinya bersama Akane dengan damai. Saito tidak ingin melihat Akane marah sepanjang waktu, malahan ingin menikmati senyumannya selamanya. Itu merupakan perasaan jujur Saito, dan ia ingin menghargai semuanya. Sambil mencoba menahan jantungnya yang berdebar kencang, Saito menunjukkan Akane kotak kecil itu.

"Ini... hadiah buatmu."

"Eh…?" Akane bingung. "Bo-Bom…?"

"Bukan, jadi silakan buka saja."

"O-Oke…" Akane dengan hati-hati membuka kotak kecil itu, lalu mendapati cincin yang berkilau di dalamnya. "Ini... yang aku lihat waktu itu..."

"Aku bekerja paruh waktu untuk tanteku sebagai penerjemah. Karena suatu syarat, aku mesti bekerja di rumah Shisei selama waktu itu, aku akhirnya pulang terlambat. Maaf tentang hal itu."

"E-Eh…? Mengapa…? Untuk apa semua ini…?" Akane menatap ke cincin itu sambil sangat tidak percaya.

Akane jelas tidak menduga akan hal semacam ini. Akane memeluk cincin itu di dadanya, dan berlari keluar ruangan seperti dia habis dikejar iblis.

Mungkin saja…bagaimanapun juga dia akan merasa jijik, bukan…?

Tampaknya negosiasi damai telah berakhir dengan kegagalan. Saat Saito tengah diserang oleh perasaan lesu yang parah, Akane tiba-tiba kembali. Akane menjulurkan kepalanya keluar dari kusen pintu yang baru saja dia lewati, wajahnya jadi merah padam. Akane barusan tampak hampir meledak karena malu, saat dia menyatakannya dengan suara gemetaran.

"Te…Te-Terima kasih!"

Kali ini, Akane tampaknya sudah mencapai batasnya, dan menjerit sambil melarikan diri.

Apakah ini berarti…aku sudah berhasil…?

Saito tidak begitu yakin, tetapi pipinya terasa panas.


Sinar mentari pagi langsung menyinari kelopak mata Saito. Karena Saito sudah bekerja sampai larut selama beberapa hari terakhir ini, ia pasti sangat kelelahan. Tepat saat rasa kantuk hendak menariknya ke waktu tidur yang lain, Saito merasakan sesuatu di sebelahnya bergerak. Ia entah bagaimana berhasil membuka kelopak matanya yang sulit untuk dibuka, dan tak lama mendapati ada Akane yang mengenakan pakaian tidurnya, dan tampak gelisah. Akane duduk di ranjang seperti saat wawancara pernikahan, dan menoleh ke arah Saito dengan mata yang berbinar.

"…Ada apa?"

"Mm!"

Saat Saito mengangkat tubuhnya, Akane menunjukkan tangan kanannya. Di jari manis Akane berkilau cincin yang dibelikan Saito untuk Akane, memancarkan kilauan yang luar biasa. Ukuran cincin itu terlihat sangat pas, sehingga membuat Saito dapat menghela napas lega.

"Ba-Bagaimana…? Apakah ini tampak bagus buatku…?" Akane bertanya, karena bingung.

"Iya, itu tampak bagus buatmu."

KuraKon3-4-3

"Ehehe…"

Melihat senyuman yang dapat mencairkan es itu sangat menenangkan, Saito merasa semua kelelahannya telah sirna. Ini merupakan senyuman yang ingin Saito lihat. Saat Saito mendapati Akane tersenyum di depannya, ia tidak lagi merasakan kesakitan atau penderitaan. Di saat yang sama, Akane meletakkan tangannya di bibirnya, dan kakinya mulai gemetar.

"Mengapa… kamu membelikanku cincin ini?"

"Em…ya…sebagai bukti perdamaian?"

"Bukti perdamaian?"

"Aku ingin kita bersikap baik satu sama lain, dan bersenang-senang bersama-sama." Saito merasa sangat gelisah.

Meskipun Saito tidak punya niat lain dari hadiah ini, menyuarakan emosinya begini itu terlalu memalukan baginya untuk tetap tenang.

"Kamu ingin… akrab denganku?"

"Kalau bisa…"

"A-Aku mengerti…" Akane mengalihkan pandangannya.

Suasana canggung "terlalu manis untuk kebaikanmu sendiri" semacam ini memenuhi kamar tidur. Saito merasa lebih dekat dengan Akane dari sebelumnya, dan merasakan kehangatan manis darinya. Akane turun dari ranjang, dan menginjak lantai dengan kaki telanjang. Mengenakan pakaian tidurnya yang tipis, Akane memunggungi Saito.

"Apa kamu akan terlambat hari ini juga?"

"Tidak, pekerjaan paruh waktuku sudah tuntas dan selesai. Aku akan pulang sama seperti biasanya."

Tantenya memang meminta Saito untuk melanjutkan pekerjaannya sedikit lebih lama, tetapi Saito tidak membutuhkan uang itu. Selama ini Saito hanya menggunakan uangnya untuk membeli buku dan gim, jadi ia sama sekali tidak mau menghambur-hamburkan uangnya.

"Kalau begitu, aku akan membuatkanmu makan malam yang lezat malam ini."

Daun telinga Akane berubah merah tua saat dia melangkah keluar dari kamar tidur.


Tepat setelah pulang ke rumah, Akane mengunci diri di ruang belajarnya. Akane mengeluarkan sebuah kotak kecil dari lacinya, dan duduk di kursi. Merasa seperti dia berada di atas awan, Akane memasang cincin itu di jari manis tangan kanannya. Karena perasaan Akane benar-benar kacau sehari sebelumnya, dan karena dia sibuk pagi ini, dia tidak punya banyak waktu untuk memeriksa cincin itu dengan cermat. Akane dengan lembut membelai bagian atas cincin itu, sehingga membuatnya merasa geli. Saat Akane memegang batu permata yang berbentuk hati ke arah jendela, batu itu menyala dengan warna merah cerah.

"Indah sekali…" gumam Akane.

Ini merupakan pertama kalinya Akane menerima hadiah dari seorang anak laki-laki. Belum lagi kalau cincin ini jelas dari anak laki-laki yang paling Akane benci di seluruh kelasnya. Meskipun begitu, Akane tidak benci mendapat hadiah dari Saito. Akane tahu betapa kerasnya Saito bekerja demi dia. Namun, Akane marah pada Saito karena sering pulang terlambat, dan sekarang merasa menyesal karena melakukan hal itu. Memikirkan tentang bagaimana Saito mati-matian berusaha untuk membuat ini menjadi kejutan, Akane tidak dapat tidak menganggap Saito sedikit lucu. Hanya dengan melihat cincin itu, Akane merasakan kalau pipinya mengendur.

Saito dan Shisei saat ini sedang bermain gim di ruang tamu, namun Akane tidak terlalu terganggu dengan hal itu. Tidak seperti sebelumnya, saat Saito keluar ke rumah Shisei, Akane sekarang bisa menerima mereka melakukan hal yang seperti ini. Memikirkan hal ini secara rasional, adik-kakak (sepupu) yang akur merupakan suatu hal yang indah dan pantas untuk dihargai.

Akane merasakan keinginan untuk menyimpan foto diam-diam dari cincin ini, dan mengebut aplikasi kamera ponselnya. Karena Akane belum pernah memakai cincin sebelumnya, dia tidak tahu pasti dari sudut mana dia harus mengambil foto itu. Menempatkan cincin di sapu tangan, dia mencoba segala macam cara memfoto.

"Makan malam apa yang akan kamu buat untuk malam ini?"

"Kyaaaaaa!?"

Saito tiba-tiba membuka pintu ruangan Akane, sehingga membuat bahu Akane tersentak kaget. Akane dengan panik menyembunyikan ponsel pintar dan tangannya di antara kedua pahanya.

"Ja-Jangan mengintip ke dalam ruanganku, dasar mesum!"

"Aku sudah mengetuk pintunya beberapa kali..."

"Itu bohong, dasar kamu penyusup!"

"Mungkin kamu saja yang terlalu fokus pada hal lain sampai-sampai kamu tidak mendengarku?"

"Aku bukannya tidak fokus atau semacamnya!"

Saito pasti tidak diperbolehkan untuk mengetahui kalau Akane begitu kegirangan karena hadiah yang ia berikan sampai-sampai Akane jadi sesenang ini. Kalau Saito menyadari hal ini, ia mungkin akan lebih memandang rendah diri Akane. Saito mungkin mengancam Akane, dan mengubah Akane menjadi sesuatu seperti hewan peliharaannya. Itu merupakan sesuatu yang tidak dapat Akane biarkan terjadi.

"Memangnya apa yang sedang kamu lakukan?"

"Bukan apa-apa kok! Sudah keluar saja!" Akane melemparkan mainan lembut terdekat ke Saito.

Sebelum itu bisa mengenainya, Saito dengan terampil menutup pintu itu, dan menghindar. Menghadapi hal itu, Akane menghela napas lega. Akane baru akan mengeluarkan ponsel pintarnya dari bawah pahanya, lalu dia mendapati Shisei sedang duduk tepat di bawahnya.

"Shi-Shisei-san…?"

Seperti biasanya, Shisei tidak menunjukkan emosi apapun di wajahnya, tiba-tiba muncul entah dari mana. Entah apakah Shisei punya keahlian khusus yang memungkinkan dia untuk menghapus keberadaannya, atau perawakannya yang kecil mungil memungkinkan dia untuk menyelinap dengan lebih mudah. Si Shisei itu  saat ini sedang menatap tangan kanan Akane.

"Abang yang membelikan cincin ini buatmu? Indahnya."

Akane segera mulai membual.

"Be-Benar? Aku melihat ini di toko perhiasan, dan langsung jatuh cinta pada pandangan pertama."

"Singkatnya, kamu melihatnya saat kamu sedang berkencan dengan Abang."

"Itu bukan kencan! Kami cuma jalan-jalan singkat!"

"Berduaan saja?"

"I-Iya... Berduaan saja."

Meskipun tidak ada makna yang lebih dalam dari fakta itu, menuangkannya ke dalam kata-kata terasa sangat memalukan.

"Dengan seseorang dari bintang Hemekoputerus?"

"Siapa!? Aku tidak kenal alien apapun! Cuma aku dan Saito kok!"

"Terdengar seperti kata-kata yang akan keluar dari mulut seorang pacar."

"Kami bukan pasangan!" Akane terengah-engah.

Akane mencoba untuk tetap tenang dan rasional dengan hal ini, tetapi setiap alasan telah hancur lebur begitu dia mengambil foto cincin itu.

"Shisei juga ingin bersenang-senang dengan Abang. Mari kita jalan-jalan bertiga lain kali." Shisei bertanya, wajahnya polos seperti anak kecil.

"Aku tidak keberatan. Jauh lebih tenang daripada saat cuma ada aku dan Saito."

"Yei. Shisei juga mau cincin itu."

"Kamu tidak akan mendapatkan cincin itu!" Akane bingung dengan permintaan Shisei yang konyol ini.

"Mengapa?"

"Karena aku bilang begitu!"

"Karena itu cincin yang kamu dapatkan dari Abang?" Shisei memiringkan kepalanya.

"Ti-Tidak juga, aku cuma sangat menyukai cincin ini!"

"Kalau begitu Shisei akan membelikan cincin yang sama."

"Kalau begitu, kamu saja yang memakainya sendiri!?"

"Karena kamu ingin memakai cincin itu yang merupakan hadiah dari Abang?" Shisei meletakkan kedua tangannya di pangkuan Akane, mendorong tubuhnya ke depan.

Mata Shisei yang besar dan bulat sama menggemaskannya seperti biasanya, tetapi dia jelas-jelas sedang mempermainkan Akane. Meskipun Shisei tampak seperti binatang yang menggemaskan di luar, dia tetaplah wanita yang berbahaya.

"Po-Pokoknya, tidak bisa! Aku bilang kalau tidak akan boleh memilikinya, jadi begitu saja!" Akane dengan panik mendorong Shisei menjauh, saat tubuhnya memanas dengan panas yang menyengat.


Baru-baru ini, istri Saito sedang berada dalam suasana hati yang sangat baik. Ketika Saito bangun di pagi hari, ia mendengar suara dengungan dari dapur. Bersamaan dengan itu, ia mendapati ritme penggunaan pisau dapur, dengan langkah berjalan yang samar-samar. Itu cuma menunjukkan betapa Akane sangat senang membuat sarapan. Saat Saito memasuki dapur, Akane menoleh ke arahnya. Akane menata rambutnya, mengenakan celemek di atas seragamnya, dan dia menunjukkan senyum berseri-seri pada Saito.

"Pagi, Saito. Sarapannya akan selesai dalam sekejap mata~."

"O-Oke."

Suasana hati Akane yang sangat positif membuat Saito bingung. Efek dari cincin itu sebagai hadiah buatnya sejujurnya cukup menakutkan. Saito menyadari kalau bekerja paruh waktu seperti itu pasti ada kesepadanannya sendiri, tetapi ia juga takut untuk mengatakan sesuatu yang salah dan merusak semuanya.

"Ini dia! Menu istimewa untuk orang yang istimewa! Silakan dimakan~." Akane membuka kedua tangannya, dan tampak senang dengan karyanya.

Tertata di atas meja dengan uap yang mengepul darinya yaitu steik yang berair, tampak seperti yang dapat kamu temukan di artikel ensiklopedia.

"Steik sebagai makanan pertama di pagi hari bukankah itu sedikit…" Saito merasakan ketakutan memenuhi tubuhnya.

"Kamu sangat suka steik, bukan?"

"Tentu saja…iya, tetapi…bukankah ini terlalu berat untuk dinikmati di pagi hari?"

"Mungkin saja, iya. Tetapi mengangkat penggorengan itu juga kerja keras, kamu tahu."

"Aku sedang membicarakan steik itu akan berat di perut…"

"Apa kamu tidak akan memakan steik ini...?" Bahu Akane bergetar.

Astaga jangan!

Saito mempunyai firasat buruk, dan rasa bahaya merayap di kulitnya. Saito meraih pisau dan garpu dengan kecepatan kilat, dan menjejalkan pipinya dengan steik itu.

"As-Astaga, ini luar biasa lezat! Aku bisa makan steik setiap hari, bahkan di pagi hari!"

Seluruh mulut Saito dipenuhi dengan steik itu, dengan ukuran yang bahkan tidak memungkinkannya untuk mengeluarkan suara, tetapi ia tidak boleh mundur saat ini. Kedamaian dunia ini dapat berubah menjadi neraka, kedamaian di rumah itu jauh lebih penting, dan Saito harus menjamin hal itu meskipun yang ia lakukan itu mungkin akan mengorbankan nyawanya.

"Saito makannya banyak sekali, yeeeei~." Akane meletakkan dagunya di tangannya, dan menunjukkan senyuman yang bak bunga yang baru saja mekar.

Akane tampak seperti bocah berusia tiga tahun yang sedang melihat hewan langka diberi makan, atau pertunjukan sirkus. Fakta bahwa Akane mengatakan sesuatu seperti 'Yeeeei' menunjukkan betapa tidak teraturnya situasi saat ini.

Saito entah bagaimana berhasil menelan seluruh steik itu, dan berlari keluar dari dapur sebelum Akane dapat menyiapkan yang kedua dan seterusnya. Saito merasa senang melihat Akane senang dengan hadiah itu, tetapi dipaksa untuk makan begitu banyak steik di pagi hari akan mengancam nyawanya. Akane yang mengantuk dan bahagia mungkin jauh lebih berbahaya ketimbang Akane yang pemarah.

Saito berganti pakaian ke seragamnya, dan berangkat secara terpisah dari Akane. Tepat setelah Saito memasuki ruang kelas 3-A, sebuah suara terkejut hampir keluar dari mulutnya. Akane masih memakai cincin itu.

Mengapa dia lupa melepas cincin itu!?

Saito mulai berkeringat deras. Kalau itu cuma cincin biasa, tidak akan jadi masalah, tetapi cincin itu terlalu mahal untuk dibeli oleh seorang siswa SMA biasa. Kalau ada teman sekelas yang melihat itu, mereka pasti akan terus bertanya tentang dari siapa Akane mendapatkan cincin itu. Secara alami, Akane pada akhirnya akan menyerah, dan mengungkapkan segalanya.

Untungnya, tidak ada siswa-siswi lain di sekitar Akane saat ini. Namun begitu Himari yang sangat teliti tiba, Saito dan Akane akan kurang beruntung. Saito harus memperingatkan Akane saat ini, jadi ia mendekati Akane, dan berbicara.

"Hei... di jarimu."

"Pagi! Akane, Saito-kun!"

Di belakang Saito, sebuah suara yang energik bergema, membuat Saito terdiam kaku. Saito menggunakan upaya terakhirnya dan secara refleks meraih tangan kanan Akane, untuk menyembunyikan cincin itu.

"A-Apa!? Jangan tiba-tiba menyentuhku seperti itu! Dasar mesum! Pelaku pelecehan seksual!"

"Apanya yang pelaku pelecehan?!"

Akane dengan panik berusaha untuk melepaskan Saito, tetapi ia tidak mau melepaskan dirinya meskipun begitu. Teman-teman sekelas di sekitar mereka menjadi heboh.

"Saito-kun melecehkan Akane-chan…"

"Pasangan komedi sudah sampai ke tahap selanjutnya..."

"Tidak apa-apa, lakukan lagi!"

"Sepertinya sudah ada kesepakatan mutlak di antara mereka!"

"Belum ada kesepakatan mutlak di antara kami!"

Akane mati-matian berusaha menyangkal kata-kata itu, tetapi teman-teman sekelas mereka dipenuhi dengan rasa ingin tahu. Sekarang karena mereka telah mendapat banyak perhatian, mereka harus terus menyembunyikan cincin itu sedikit lebih lama lagi. Di saat yang sama, Himari menyipitkan matanya.

"Aku rasa kalian seharusnya tidak melakukan hal itu di depan umum, kalian tahu?"

"Himari! Lakukan sesuatu dengan cowok ini! Serang ia!"

"Ehh? Aku tidak ingin menyerang Saito-kun."

"Jadi kamu tidak masalah kalau aku akan ternodai di depan semua orang!?"

"Aku tidak mau melakukan hal semacam itu!"

Saito sama sekali tidak punya niat buruk dengan hal ini, namun ia diperlakukan sebagai penjahat. Betapa kejamnya dunia ini. Belum lagi ada beberapa siswa-siswi lain yang mengeluarkan ponsel pintarnya, siap untuk memfotonya.

"Mmm…maka sebanyak ini seharusnya sudah cukup, bukan? Ambil ini~." Himari tiba-tiba menempel di punggung Saito.

"…!?" Tubuh Saito berkedut dengan sensasi lembut yang tiba-tiba menghantamnya.

Sensasi lembut itu tentu saja merujuk pada payudara Himari. Meskipun Himari seharusnya mengenakan beha, Saito dapat merasakan kelembutan dan volumenya hampir secara langsung.

"Di sana, dan di sana." Himari terus menempel pada Saito, mencoba dengan paksa memisahkannya dari Akane.

Napas Himari mencapai telinga Saito, lalu ia merasakan darahnya mendidih karena gairah. Bahkan Shisei menatap Saito dengan tatapan dingin.

"Dipegang oleh satu cewek cantik, lalu berpegangan tangan dengan cewek cantik yang lain… Abang sangat serakah."

"Abang tidak melakukan ini karena Abang mau!"

Tatapan para siswa (laki-laki) di sekitar mereka berkisar mulai dari "Minat" sampai "Niat membunuh", menandakan bahwa kehidupan Saito yang seperti obor kecil sedang di tengah badai. Jangankan Akane yang memiliki peringkat kecantikan tinggi, mendapatkan semua perhatian dari gadis populer Himari, jelas para siswa tidak akan menyukainya.

"Biarkan Shisei ikut juga."

Kali ini, Shisei menempel di perut Saito.

"Jangan memperburuk keadaannya!!"

Saito merasakan tatapan dari penggemar cewek Shisei, bawahan, penjaga, atau apalah itu, dan ia hampir teralihkan karena aura gelap dari niat membunuh. Itu merupakan topan, dan akhir dunia. Kiamat. Semua kata-kata ini memenuhi kepala Saito, saat ia entah bagaimana berhasil lolos dari cengkeraman mematikan Himari dan Shisei. Cuma Akane yang terus ia pegang, menyeretnya keluar dari ruangan itu.

"Lepaskan! Lepaskaaan!"

Akane masih menolak perlakuan ini, saat Saito dengan terampil menghindari paparazi, berlari menyusuri lorong. Mereka sampai ke bayang-bayang sebuah gedung tanpa ada orang lain di sekitarnya, dan akhirnya berhenti di sana. Segera setelah itu, Akane mulai memprotes.

"Mem-Membawaku ke sini…A-Apa kamu ingin menghukumku!?"

Imajinasi Akane sama mengerikannya seperti biasanya. Saito memastikan sekelilingnya, dan berbisik ke telinga Akane.

"Cincin itu."

"Cincin…?" Akane memiringkan kepalanya dengan bingung.

"Jangan pakai cincin itu ke sekolah."

"Ah." Akane akhirnya menyadari, dan melepaskan cincin itu dengan tergesa-gesa.

"Aku senang kalau kamu menghargainya sebanyak ini, tetapi akan merepotkan kalau seseorang melihatmu memakai cincin itu.,"

"A-Aku bukannya menghargainya atau semacamnya! Aku sebenarnya cuma benar-benar lupa tentang itu, itulah saking aku tidak pedulinya!" Akane berteriak dengan wajah yang merah padam.

"Jadi kamu tidak peduli…" Saito merasa sedikit tertekan mendengarnya.

"Betul sekali! Aku sangat tidak peduli dengan cincin itu seperti halnya aku dengan air dan udara!"

"Aku rasa kamu membutuhkan keduanya untuk bertahan hidup?"

"Ja-Jangan asal ngomong! Bukan begitu maksudku! Aku dapat hidup tanpa air dan udara!"

"Itu sangat luar biasa…"

Akane sudah melewati batas manusia.

"Kamu mungkin harus meletakkan cincin itu di tasmu..."

"Aku tahu itu tanpa kamu memberi tahuku. Aku akan memasukkannya ke dalam kantung sebelumnya, cuma untuk memastikan kalau aku tidak kehilangan cincin itu."

Meskipun Akane mengeluh sepanjang waktu, sepertinya dia memang menghargai cincin itu.


Sekembalinya ke rumah, Akane membuka tas sekolahnya. Akane melepaskan cincin itu saat di sekolah, tetapi karena dia sekarang sudah di rumah, dia ingin memakainya kembali. Rasanya seperti Akane tidak banyak bertengkar dengan Saito selama dia memakai cincin itu. Hampir seperti cincin itu dipenuhi dengan sihir, itu memenuhi diri Akane dengan kebaikan. Akane memasukkan tangannya ke dalam tas sekolahnya, dan mencari kantung tempat dia meletakkan cincin itu.

"......Hm?"

Kantung itu hilang. Akane kira kalau kantung itu mungkin telah bergerak lebih dalam ke dalam tas, tetapi dia tidak dapat menemukannya. Diserang dengan firasat buruk, Akane mengeluarkan semua barang dari tas sekolahnya, namun masih gagal dalam menemukan kantung itu. Bahkan setelah membalikkan tas itu, tidak ada barang lagi yang keluar.

"Cincin itu…seharusnya aku yang menaruhnya di dalam kantung itu…tetapi kantung itu sendiri sekarang hilang…" Akane merasakan semua darah mengalir dari wajahnya.

—Apa? Mengapa? Di mana aku menjatuhkannya?

Tas itu benar-benar kosong. Kaki Akane semakin goyah, dia harus menopang dirinya sendiri dengan meletakkan satu tangan di atas meja. Akane punya sedikit harapan yang tersisa dan melihat ke seluruh ruangan, di bawah meja, di belakang rak buku, tetapi semuanya sia-sia. Bahkan setelah menuruni tangga dan menuju pintu masuk—masih tidak ada.

—Saito membelikan cincin itu buatku…itu merupakan hadiah darinya buatku…

Akane duduk di ruang tamu, memegangi kepalanya. Suasana hatinya yang baik telah benar-benar lenyap, dan sekarang dia merasa seperti tenggelam ke dasar danau, menggigil ketakutan dan putus asa. Kalau saja Saito mengetahui hal ini, Akane tidak tahu lagi bagaimana cara menghadapi Saito lagi.

"Apa ada sesuatu yang terjadi?" Saito mengintip ke dalam ruang tamu.

Akane mengira jantungnya akan copot dari dadanya.

"Ti-Tidak ada apa-apa kok!"

"Tidak mungkin itu benar. Wajahmu saja benar-benar sepucat cat putih."

Mendengar jawaban ini, Akane menyembunyikan wajahnya.

"Aku hanya merasa tidak enak badan!"

"Kalau begitu kamu tidur saja. Aku dapat membuat makan malam untukku sendiri hari ini."

Dari setiap waktu, Saito harus memberikan kata-kata baik kepada Akane, yang hanya akan memperkuat rasa bersalah Akane. Akane membentuk kepalan tangan, dan mengamuk marah.

"Aku bilang semuanya baik-baik saja! Itu bukan urusanmu! Tolong tinggalkan aku sendiri!"

"O-Oke…Maaf soal itu." Saito melangkah mundur, tampaknya sedikit terluka karena hal itu.

"Aku akan keluar sebentar!" Akane melewati Saito, mencari di luar rumah.

Akane merasa payah. Meskipun Akane sendiri yang bersalah, dia bertindak sekejam ini pada Saito. Saito cuma bermaksud baik untuk membantu Akane, namun Akane menepisnya seperti biasa.

—Tetapi, aku tidak bisa padanya kalau aku kehilangan cincin itu…!

Akane menggertakkan giginya, dan berlari melewati distrik perumahan. Akane berjalan menuju sekolah, dan memeriksa apakah dia menjatuhkan kantung di manapun saat perjalanan pulang. Akane ragu kalau seseorang akan repot-repot mencuri kantung itu, tetapi cincin itu merupakan masalah yang berbeda. Akane harus menemukan kantung itu sebelum orang jahat dapat menemukannya duluan.

Setelah tiba di sekolah, Akane terengah-engah, lalu dia terjatuh ke tanah. Dari pintu masuk ke lorong, bahkan setelah kembali ke kelas, pencarian Akane terbukti masih sia-sia. Upaya terakhir Akane adalah memeriksa laci mejanya, tetapi tidak ada. Di sana, ada sekelompok gadis yang melewati kelas, dan tertawa. Karena beberapa alasan, Akane merasa kalau mereka menertawakannya.

Apa mereka mencurinya…?

Keraguan memenuhi diri Akane, tetapi dia segera menggelengkan kepalanya. Meskipun Akane sudah pernah dirundung waktu SD, itu tidak terjadi lagi saat ini. Meskipun Akane tidak benar-benar disukai oleh teman-teman sekelasnya, mereka tidak menyimpan rasa dendam padanya. Perhentian berikutnya, Akane menuju ke kantor staf, meminta untuk melihat kotak barang yang hilang dan ditemukan. Namun, dia juga tidak dapat menemukan apapun di sana.

Akane menyerah mencarinya di sekolah, kemudian pergi ke pos polisi terdekat, tetapi kantung itu juga tidak diserahkan ke sana. Akane menggunakan ponsel pintarnya untuk memanggil pos polisi lain di dekatnya, tetapi mereka juga tidak menemukan apa-apa. Hampir seperti cincin itu telah lenyap dari dunia ini sepenuhnya. Di saat yang sama, itu berarti hadiah yang Akane terima dari Saito—dibatalkan olehnya juga.

—Apa yang harus aku lakukan…?

Akane cuma bisa berjalan sampai matahari terbenam, ke arah kota. Mungkin Akane harus mencari pekerjaan paruh waktu, dan membeli cincin baru? Tepat saat Akane sedang memikirkan itu, dia melihat sebuah pamflet tergantung di jendela sebuah toko serba ada. Gaji per jam adalah seribu yen. Bahkan kalau dia bekerja setiap hari sepulang sekolah, itu akan memakan waktu terlalu lama untuk membeli sebuah cincin. Saat itu, Saito pasti sudah menyadari kalau cincin itu hilang. Saat Akane tenggelam dalam pikirannya, seorang cowok asing tiba-tiba mendekatinya.

"Hei, hei, apakah kamu sedang mencari pekerjaan paruh waktu?"

Cowok itu punya tindikan di telinga dan bibirnya, rambutnya yang panjang diwarnai dengan warna dingin yang cerah, memberikan getaran yang sangat mencurigakan. Rambut pirang Himari bersinar di bawah sinar matahari, namun rambut cowok ini tampak kotor dan tidak alami. Meskipun ini merupakan pertemuan pertama mereka, cowok itu sedikit memperpendek jarak di antara mereka berdua.

"Aku punya pekerjaan paruh waktu yang hebat yang dapat aku tawarkan padamu, maukah kamu mendengarkanku?"

"Pekerjaan macam…apa itu…?" Akane memancarkan kehati-hatian yang nyata dalam suaranya.

"Ah, jangan takut! Tidak apa-apa kok! Ini sangat aman dan terjamin! Kamu cuma perlu berbicara dengan beberapa pria dewasa, dan mungkin mengambil beberapa foto! Karena kamu ini sangat imut, mungkin kamu akan segera mendapatkan satu juta yen!" Cowok itu menyeringai, dan mencoba meraih bahu Akane.

Cowok itu telah memojokkan Akane ke dinding tanpa dia sadari.

"…!" Akane tidak segan-segan melakukan tendangan tajam tepat ke perutnya.

"Aduh!? Apa yang kamu lakukan!? Aku akan memperkosamu, lalu menjualmu, dasar jalang!"

Saat cowok itu mengamuk marah, Akane melarikan diri dengan kecepatan penuh. Akane akhirnya kehabisan napas di tengah jalan, dan mengevakuasi ke pos polisi terdekat. Akane berjongkok, dan mulai menangis karena rasanya semua orang dan semua benda berbalik melawannya.

—Membeli cincin yang baru…itu tidak akan berhasil…

Cincin itu merupakan satu-satunya cincin yang Saito berikan pada Akane, dan itu cuma ada sekali di seluruh dunia ini. Saito berharap kalau mereka berdua dapat hidup rukun, belajar dengan giat, bekerja keras dalam pekerjaan penerjemahannya, dan membelikan cincin itu buat Akane. Saito bahkan diam tentang hal itu untuk membuat ini menjadi kejutan, dihujani dengan kemarahan Akane sebagai gantinya. Itulah betapa pentingnya hadiah ini. Bahkan kalau Akane berhasil mendapatkan cincin yang sama lagi, itu tetap tidak akan sama.

—Aku harus menemukan kantung itu bagaimanapun caranya...sebelum Saito mengetahuinya.

Akane menggertakkan giginya.


Hari ini, Akane kembali mencari cincin berbentuk hati itu. Akane bahkan tidak punya waktu untuk belajar setelah jam pelajaran selesai. Akane memang merasa jengkel memikirkan kekalahan melawan Saito dalam hal nilainya, tetapi cincin itu punya prioritas yang lebih utama sekarang. Akane berjalan ke dan dari sekolah berulang-ulang kali, memeriksa setiap bayangan, setiap tempat tersembunyi, sehingga dia tidak akan melewatkan apapun. Dia menelepon setiap hari ke pos polisi di sekitarnya, dan bertanya kepada orang-orang di pusat perbelanjaan. Namun, kantung itu tidak dapat ditemukan. Akane duduk di bangku di taman umum, dan menghela napas.

"Haaaa…"

"Fiuh…"

Akane mendengar helaan napas dari sampingnya, dan melihat ke atas, lalu mendapati Shisei sedang duduk di bangku di sebelahnya. Shisei memegang sesuatu seperti bungkus roti di tangannya, seperti sedang dalam kesedihan.

"Shi-Shisei-san…? Apa yang sedang kamu lakukan?"

"Latihan menghela napas."

"Begitu…" Akane tidak punya tenaga untuk menanyakan detailnya.

"Itu bohong. Akane tampak sedang kesulitan akan sesuatu, jadi Shisei penasaran apa yang sedang kamu lakukan."

"Tidak apa-apa, aku tidak sedang kesulitan."

Kalau Akane dapat memberi tahu Shisei tentang masalahnya, Shisei pasti akan mengungkapkan hal ini kepada Saito. Tepat saat Akane hendak bangun, Shisei menyatakan.

"Tidak perlu khawatir, Shisei tidak akan memberi tahu Abang."

"Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku sedang memikirkan itu!?"

Di hadapan keterkejutan Akane, Shisei cuma memiringkan kepalanya.

"Apa kamu ingin tahu penjelasan mengenai proses berpikir secepat kilat Shisei? Kebanyakan orang tidak dapat mengikutinya, dan berakhir dengan kesehatan jiwa mereka yang memburuk."

"Tidak, tidak usah deh…"

Akane lebih senang menjaga kesehatan jiwanya dalam kondisi yang sebaik mungkin. Cukup melihat Saito dan metode belajarnya saja itu sudah membuat Akane sangat pusing. Shisei meraih tangan kanan Akane, dan memeriksanya dengan cermat.

"…Kamu menghilangkan cincin itu, ya?"

"…!" Tubuh Akane terpaku. "A-Aku tidak kehilangannya. Aku juga tidak cukup peduli untuk memakai cincin itu."

"Kamu sangat menyukai cincin itu. Kamu bahkan sampai memakainya ke sekolah, itulah sebabnya Abang harus menyembunyikannya."

"Erk…Jadi kamu juga mengetahuinya…?"

Persepsi Shisei tentang sekelilingnya memang sangat menakutkan. Penampilannya mungkin tidak lebih dari sekadar siswi SMA biasa, tetapi apa yang ada di dalamnya mungkin lebih jauh dari itu. Di saat yang sama, Shisei melompat dari bangku taman itu.

"Shisei akan membantumu mencari cincin itu."

"Eh…mengapa…?"

Itu berarti Akane cuma akan menghalangi waktu Shisei bersama Saito.

"Akane selalu membuatkan makanan enak untuk Shisei. Kamu itu orang yang baik. Shisei tidak ingin kamu sedih."

"Aku merasa kalau kamu itu terlalu mudah untuk dimenangkan..."

Akane tidak tahu apakah Shisei itu bersikap dewasa atau kekanak-kanakan. Mungkin melihat Shisei sebagai sesama manusia merupakan kesalahan pertama dalam persamaan.

"Kalau kita tidak segera menemukan cincin itu, kamu akan berakhir bertengkar dengan Abang lagi. Tetapi, Shisei ingin Abang hidup dengan damai."

"Kamu sangat menyukai Saito, ya."

"Sangat suka. Shisei sayang Abang."

Shisei meletakkan tangannya di belakang pinggulnya, dan mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, saat dia menyatakan dengan kejujuran yang murni di matanya. Ekspresi Shisei tampak sedikit lebih lembut daripada sebelumnya, memungkinkan Akane untuk melihat senyuman yang tipis.

KuraKon-3-4-1


Akane mendapati dirinya merasa cemburu. Cemburu terhadap kejujuran, kelucuan, dan kekuatan Shisei dalam mencintai seseorang sebanyak ini. Alasan Shisei populer di kalangan teman-teman sekelasnya tentu bukan cuma karena penampilannya. Meskipun Shisei mungkin tidak menunjukkannya, dia terasa jauh lebih dalam daripada orang lain.

Dengan begitu, mereka berdua mulai mencari cincin itu. Mereka mulai dari ruang kelas 3-A, melakukan rute yang biasa. Tempat sampah sekolah, di dalam lemari alat kebersihan, di balkon, Akane memeriksa segala macam tempat, dan Shisei melihat lokasi yang bisa dia pikirkan. Shisei bahkan tidak peduli dengan rambut indahnya yang akan berakhir kotor, saat dia merangkak di halaman halaman.

Meski begitu, kantung itu masih tidak dapat ditemukan. Matahari mulai terbenam, dan tubuh Shisei bergetar lembut karena angin sepoi-sepoi. Saat aroma kota di malam hari telah memenuhi udara, Akane merasa menyesal karena membawa gadis kecil ini begini hingga larut malam. Kalaupun ada, mengandalkan kebaikan Shisei merupakan tindakan yang egois. Shisei juga menginginkan cincin itu. Atau lebih tepatnya, Shisei ingin mengabdikan seluruh dirinya untuk Saito, dia lebih pantas mendapatkan cincin itu ketimbang Akane. Shisei tidak akan kehilangan hadiah dari Saito, menghargainya selamanya.

Namun, Shisei masih memutuskan untuk membantu Akane. Shisei mengutamakan perasaannya, dan berusaha sekuat tenaga agar Saito dan Akane bisa hidup bersama dengan damai. Akane tidak dapat mengandalkan Shisei lebih dari ini. Ini akan berlebihan. Baik bagi Akane, maupun Shisei. Itulah sebabnya Akane terhenti, di tengah kegelapan yang mulai muncul.

"…Maaf, tetapi itu sudah cukup."

"Cukup? Apa kamu menyerah pada cincin itu?" Shisei berkedip.

"Aku tidak akan menyerah begitu saja. Tetapi, aku tidak dapat merepotkanmu lebih dari ini. Aku akan terus mencarinya sendiri."

"Itu kebiasaan burukmu mencoba untuk menangani semuanya sendiri."

"Ini salahku, tanggung jawab yang harus dipikul olehku. Aku harus menjadi orang yang menemukannya, dan hanya aku saja." Akane membentuk kepalan tangan.

Itu benar, ini semua salah Akane. Akane menerima cincin untuk pertama kalinya, dan sangat bersemangat karena hal itu. Akane mengabaikan semua perasaan yang dimasukkan ke dalam cincin itu, dan merusak semuanya karena dia ceroboh. Akane seharusnya lebih berhati-hati. Akane seharusnya lebih menghargainya. Seharusnya begitu—Akane mulai membenci dirinya sendiri, saat rasa bersalah dan penyesalan memenuhi tubuhnya.

"Mengapa tidak meminta bantuan Abang saja? Abang pasti dapat menyelesaikan masalah apapun, Shisei yakin itu."

"Itu satu-satunya hal yang tidak dapat aku lakukan!" Akane menggelengkan kepalanya dengan kekuatan penuh.

Saito mengetahui hal itu akan menjadi skenario terburuk. Dua teman sekelas yang saling membenci satu sama lain tiba-tiba menikah, mencoba menemukan titik temu, dan sekarang entah bagaimana berhasil hidup bersama dengan cukup damai. Kalau terus begini, semua kasih sayang yang mungkin dimiliki Saito untuk Akane akan hilang, dan hubungan mereka akan pecah lagi. Sebelumnya, Akane akan baik-baik saja dengan hal itu, tetapi saat ini...dia takut akan hal itu.


Saito mengeluarkan kare yang dingin dari kulkas, meletakkannya di piring, dan meninggalkannya di atas meja. Menghangatkannya pasti akan membuat lebih enak, tetapi ketika cuma ada dirinya sendiri untuk makan malam, Saito tidak punya motivasi untuk melakukan hal itu. Saito cuma membiarkan berita diputar di televisi, sambil makan kare.

Akhir-akhir ini, Akane sering pulang larut malam. Biasanya, Akane akan langsung pulang dari sekolah dan belajar, tetapi sepertinya menghindar dari hal itu. Ketika Saito menanyakan pertanyaan, Akane akan selalu menghindarinya dengan dingin "Urus saja urusanmu sendiri". Mengetahui betapa rajin dan sungguh-sungguhnya Akane, dia mungkin tidak melakukan sesuatu yang biasa di malam hari. Entah Akane sedang belajar di tempat lain, atau dia terjebak dalam semacam kekacauan karena dia mengajak berkelahi yang tidak perlu dengan seseorang.

—Meskipun tidak ada dirinya seharusnya akan jauh lebih nyaman…

Meskipun begitu, apa alasan di balik perasaan gelisah yang mengganggu Saito sekarang? Rasanya seperti semua cahaya dan kehangatan di rumah telah menghilang hanya karena Saito tidak dapat melihat wajah Akane. Berkat ini, Saito mengerti mengapa Akane merasa kesal saat ia bekerja di kediaman Shisei. Saito mungkin seharusnya bilang pada Akane tentang pekerjaan paruh waktu itu.

Karena Saito begitu asyik dengan pikirannya, ia secara tidak sengaja menggigit sendok yang terlalu keras, sehingga rasa sakit sedikit menyerang mulutnya. Saito meletakkan sendok itu di piring, dan menghela napas. Tidak sampai semenit kemudian, dia mendengar suara pintu depan terbuka.

"Jadi kamu akhirnya pulang. Apa yang kamu lakukan, pulang terlambat setiap hari?" Saito melangkah keluar dari ruang tamu.

Namun, orang yang memasuki rumah itu bukanlah Akane, melainkan Shisei. Dia melepas sepatunya dan melemparkannya ke samping, menuju ke arah Saito.

"Tidak ada sama sekali. Cuma bercanda."

"Shisei..." Saito kecewa.

"Memangnya Abang kira aku siapa? Akane kan belum pulang."

"Apakah kamu tahu di mana dia?"

"Tidak tahu." Shisei mengendus-endus udara di sekitarnya. "Ini… merupakan aroma dari Kare Hidangan Laut Akane yang sangat legendaris. Shisei mencium aroma kare Akane, jadi aku datang ke sini, tetapi...sudah aku duga." Shisei terdengar seperti detektif, saat dia menyerbu ruang tamu.

"Jadi kamu tahu Akane di mana, bukan!?"

Namun Shisei mengabaikan pertanyaan Saito, dan malahan memeriksa kare di atas meja seakan-akan itu merupakan harta karun.

"Ketemu. Namun, kare ini telah kehilangan tenaga kunonya. Diproses dengan ritual pada momentum."

Ritual ini pada dasarnya berarti—memasukkan kare dingin itu ke dalam oven, dan menghangatkannya. Setelah kare itu hangat lagi, Shisei kembali ke meja, dan mengisi pipinya dengan kare itu.

"Lezat!"

"Kamu benar-benar tidak menahan diri, bukan."

"Dunia itu merupakan taman hiburan raksasa, dan Shisei punya tiket gratis untuk semuanya."

"Kamu tidak sepenuhnya salah, tetapi fakta kalau kamu sadar akan hal itu sangat buruk."

Untungnya, Shisei tidak menunjukkan keserakahan terhadap apapun kecuali terhadap makanan. Karena Saito mengira kalau ia tidak akan mendapatkan jawaban yang tepat saat Shisei sedang makan, makanya ia menunggu sampai piringnya kosong.

"Jadi, kamu akan memberi tahu Abang, Akane ada di mana, bukan?"

"Tidak." Shisei sekarang sedang menjilati piring untuk mendapatkan sedikit kare terakhir di mulutnya, yang diangkat Saito darinya.

Sungguh pemandangan yang menyakitkan, melihat seorang siswi SMA melakukan hal itu.

"Apa Akane menyuapmu untuk tidak memberi tahu Abang?"

"Tidak boleh bilang pada Abang. Shisei punya harga dirinya sendiri, oke." Shisei terdiam.

Menghadapi hal itu, Saito mengeluarkan kotak makan dari kulkas, dan menunjukkan isinya pada Shisei.

"Kalau kamu beri tahu Abang, Abang akan memberimu beberapa lagi."

"…Ti…dak…" Shisei gemetaran, dan melihat di antara Saito dan kare itu.

Iler yang tidak ada habisnya keluar dari mulut Shisei, lalu matanya berubah menjadi mata binatang buas. Saito menghangatkan kare itu di oven, mengambil sendok secukupnya, dan mendekatkannya ke mulut Shisei. Aroma itu melayang ke hidungnya, dan Shisei berkedut.

"Katakan saja pada Abang… kamu mau makan ini lagi, bukan…?"

"Shisei mau makan itu…"

"Kalau begitu, jujurlah pada Abang. Kamu akan mendengarkan apa yang abangmu ini katakan, bukan…?" Saito meletakkan telapak tangannya di tengkuk Shisei.

"Shisei akan…mendengarkan apa…yang Abang katakan…" Shisei diusap kepalanya dengan tangan Saito, jelas-jelas telah menjadi boneka tangan Saito karena keinginannya itu.

"Gadis baik. Di mana Akane?"

"Nyam!!" Shisei langsung bergegas dan memasukkan sendok ke mulutnya.

"Wah, jangan memakannya begitu saja!" Saito berusaha menarik kembali sendok itu, tetapi Shisei tidak mau melepaskannya.

Shisei menggigit dengan giginya ke dalamnya, dan menggelengkan kepalanya. Saito khawatir kalau Shisei akan mematahkan giginya jika terus begini, jadi dia melepaskan sendok itu. Shisei melarikan diri ke belakang sofa, dan menjilat sendok itu.

"Apakah itu lezat?"

"Masakan Akane memang yang terlezat. Karena itulah Shisei tidak mau mengkhianati Akane."

"Kapan dia menjinakkanmu begitu?"

Saito merasa kehilangan posisinya sebagai seorang abang sepupu.

"Dia tidak melakukannya. Abang harus menyebutnya kontrak."

"Itu bahkan lebih buruk daripada cuma dijinakkan saja…" Saito menyerah untuk membuat Shisei mengaku, dan malah duduk di sofa.

Di saat yang sama, Shisei memakan semua kare di kotak makan itu. Shisei bahkan mengambil susu dari kulkas, meneguknya, dan menghela napas puas.

"Kalau Abang ingin tahu di mana Akane, mengapa Abang tidak menguntitnya saja?"

"Dia akan berubah menjadi iblis kalau dia tahu, dan kamu juga tahu itu, bukan."

Situasi di rumah saja sudah cukup mengerikan, jadi Saito tidak ingin mengambil risiko apapun.

"Tidak apa-apa, Akane tidak akan marah. Dia terlalu putus asa untuk itu."

"…Terlalu putus asa? Mengapa?"

"Rahasia." Shisei membuat tanda silang dengan jarinya, dan meletakkannya di bibirnya.

Tampaknya mustahil bagi Saito untuk mendapatkan apapun dari Shisei, tetapi setidaknya ia tahu kalau Akane sedang berada dalam semacam kesulitan, jadi meninggalkannya sendirian itu bukanlah pilihan yang tepat.

—Aku rasa aku harus mengikutinya besok.

Saito berpikir di dalam hati, sambil menyeka susu di mulut Shisei.


Setelah jam pelajaran berakhir, Saito meninggalkan kelas bahkan sebelum Akane. Agar tas sekolahnya tidak menghalangi pembuntutannya, Saito memasukkan tas itu ke dalam loker di dalam ruang kelas yang kosong. Saat Saito menunggu di bayang-bayang pintu masuk, Akane berjalan mendekat. Akane memakai sepatu luar ruangannya, dan berjalan ke halaman dengan langkah yang berat. Saito menjaga jarak aman, lalu ia mengikuti Akane dengan hati-hati.

Langit yang mendung, dan guntur terdengar dari kejauhan. Saito membawa payung lipat seukuran saku, tetapi kalau hujan mulai turun, jas hujan mungkin akan menjadi pilihan yang lebih baik pada saat membuntuti Akane. Setelah melangkah keluar dari gerbang sekolah, dan berjalan sedikit, Akane tiba-tiba berjongkok di lantai.

—Apa dia sedang tidak enak badan…?

Tepat saat Saito semakin khawatir, Akane tiba-tiba meletakkan tangannya di bawah mesin penjual otomatis. Akane tidak peduli kalau seragamnya akan semakin kotor, dan cuma mengerang saat dia berusaha untuk menjangkau lebih dalam.

Akane mencari uang recehan!? Apa dia segitu kekurangan uangnya…!?

Saito merasa sedih. Saito tahu kalau Akane hidup dalam keluarga yang hemat, dan itu saja mungkin sudah merupakan hal yang baik, tetapi mengambil uang recehan dari bawah mesin penjual otomatis terlalu berlebihan. Harus ada batas yang tidak boleh dilintasi manusia.

"Tidak beruntung hari ini… ya…" Akane bangkit, jelas terdengar sedih.

—Dia melakukan hal ini setiap hari...!?

Saito tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar dan lihat. Meskipun kakeknya Tenryuu telah memberi mereka uang yang lebih dari cukup untuk biaya hidup, Akane tetap kekurangan uang. Bahkan meskipun ia menggunakan otak peringkat satu di seluruh sekolah, ia tidak dapat menemukan penjelasan yang tepat.

Akane berjalan menyusuri jalur bus, dan memasuki gang belakang dengan kaki yang goyah. Akane melihat ke sekeliling jalan yang kotor, lalu dia dengan hati-hati melangkah maju. Saito beranggapan kalau Akane sedang mencari uang recehan lagi, tetapi pemandangan di depannya benar-benar mematahkan semua anggapannya. Akane mendekati tempat sampah besar, membuka tutupnya, dan melihat ke dalamnya.

Jangan bilang... Apa dia sedang mencari makanan sekarang...!?

Saito merasakan ketakutan dan teror menyerang dirinya. Mengambil uang recehan memang sudah menjadi masalah yang besar, tetapi mencari makanan apapun yang dapat dimakan di tempat sampah tentu sudah terlalu jauh. Bahkan pagi ini, Saito memakan masakan Akane. Hanya dengan memikirkan kalau masakan itu mungkin berasal dari tempat sampah terdekat, Saito merasakan getaran dingin mengalir di punggungnya.

"Bukan di sini…" Akane menghela napas pelan, dan menutup tempat sampah itu lagi.

Saito awalnya mengikuti Akane untuk mencari tahu apa yang sedang dia lakukan, tetapi mungkin ia seharusnya tidak menyelidiki ini sama sekali. Benar-benar merasa ngeri, Saito mengikuti Akane. Akane meninggalkan gang belakang, dan berhenti di depan sebuah rumah pribadi. Akane melihat sebuah gubuk anjing kecil, dengan seekor anjing duduk ada di dalamnya, ekspresi bodoh  timbul di wajah anjing itu. Saito melihat piring plastik di sebelahnya, dengan banyak makanan anjing di atasnya. Dengan hati-hati, Akane mendekati gubuk kecil itu.

—Kamu tidak boleh melakukan itu! Kalau kamu makan makanan anjing, kamu akan turun derajatnya lebih rendah dari manusia!

Saito berteriak di dalam hati. Namun, Akane tidak melirik makanan anjing itu lagi, dan malah memasukkan tangannya ke dalam gubuk anjing itu. Sebagai hasilnya, Akane mengeluarkan selimut, sepatu, boneka, dan benda-benda lain yang mungkin telah dikumpulkan anjing itu.

"A-Aku cuma ingin melihat-lihat sebentar, oke?"

Akane mencoba memohon pada anjing itu, tetapi anjing itu cuma menggeram padanya. Akane menjadi takut karena hal itu, dan melarikan diri. Akane bergegas menuju jalanan, hampir tertabrak oleh mobil, dan kemudian panik kembali di trotoar. Akane memelototi gubuk anjing itu, dan berjalan di depan.

Dari kelihatannya, Akane tidak mencari uang atau makanan yang jatuh. Memikirkan hal itu, Akane yang rajin dan serius pasti tidak akan pernah melakukan hal itu.

—Apa dia… sedang mencari barangnya yang hilang…?

Tepat, ada suara "Ting" di kepala Saito. Menelusuri kembali ingatannya, ada perubahan signifikan lainnya pada Akane saat dia mulai pulang terlambat. Saito mengingat Akane ketika dia berangkat ke sekolah, ketika dia mengambil catatannya di sekolah, dan ketika dia memasak di rumah…

"Itu mengingatkanku…"

Baru-baru ini, Saito tidak pernah melihat Akane memakai cincinnya. Tentu saja, Akane tidak punya kewajiban untuk memakainya sepanjang waktu, dan mungkin dia tidak terlalu peduli dengan hadiah dari musuh bebuyutannya. Namun, ada kemungkinan kalau dia menghargai cincin itu, dan sekarang sedang mencarinya setiap hari. Dan kalau dia menyembunyikannya dari Saito karena takut merusak hubungannya dengan Saito…

Tidak, masih terlalu dini untuk menyimpulkan hal semacam itu. Bahkan kalau Saito menanyai Akane secara langsung tentang itu, dia pasti tidak akan memberi tahunya.

—Aku butuh bukti yang kuat.

Saito berkata di dalam hati, dan terus mengikuti Akane.


Bahkan setelah matahari mulai terbenam, Akane tetap melanjutkan pencariannya. Bulan perlahan tertutup awan, saat air hujan mulai turun dari langit. Akane berjalan di sepanjang tepi sungai dengan kaki yang goyah, dan dia berlutut.

"Mengapa…?" Sebuah suara samar keluar dari bibir Akane. "Mengapa aku tidak dapat menemukannya…? Cincinku…cincin yang aku dapatkan dari Saito…" Air mata mengalir di pipi Akane.

Suara samar dan air mata itu bercampur dengan tetesan air hujan, dan jatuh ke tanah. Di tengah kegelapan yang samar, Saito melihat bahu Akane gemetaran.

–Ini sudah cukup. Aku tidak dapat menyaksikan ini lagi.

Saito keluar dari tempat persembunyiannya, dan mendekati Akane.

"Jadi, kamu sedang mencari cincin itu."

"Saito…!?" Ekspresi Akane berubah menjadi ketakutan. 

Rasa terkejut dan rasa bersalah bercampur menjadi satu, dan akhirnya lenyap sama sekali.

"Terima kasih telah berusaha yang terbaik. Tetapi, itu sudah cukup. Mari kita pulang." Saito membuka payungnya, dan membantu Akane.

Namun, Akane bahkan tidak berusaha untuk mengambilnya.

"Itu masih belum cukup! Aku harus menemukan cincin itu bagaimanapun caranya!"

"Jangan khawatir tentang itu, kita masih bisa membeli cincin yang baru."

Bekerja paruh waktu memang bukanlah hal yang mudah, tetapi itu lebih baik daripada Akane diganggu oleh penyesalan selamanya. Kalau Saito memohon pada tantenya, beliau pasti akan membiarkannya bekerja untuknya lagi.

"Bukan itu masalahnya! Cincin itu bukan sesuatu yang dapat kita beli berulang-ulang!"

"Mengapa…"

Akane memegang tangan kanannya, tanpa cincin di atasnya, dan merendahkan suaranya. Lalu lebih banyak air mata jatuh ke tanah.

"Karena cincin itu… nyata…"

"Eh…"

Wajah Akane tiba-tiba terangkat, kemudian dia berteriak.

"Pernikahan kita mungkin cuma sesuatu yang dipaksakan pada kita, akan tetapi cincin itu… merupakan sesuatu yang nyata yang kamu berikan padaku! Cincin itu berisi perasaanmu! Kamu memikirkanku, ingin akur denganku, dan bekerja keras demi aku! Aku tidak akan bisa mendapatkan cincin itu kembali cuma dengan diganti oleh cincin lain!"

"…!" Saito menelan napasnya.

Itu benar, itu pertama kalinya Saito bekerja keras. Ini merupakan pertama kalinya Saito melakukan sesuatu yang bukan untuk dirinya sendiri, atau bahkan sama sekali. Itu merupakan sesuatu yang Saito lakukan semata-mata untuk melihat senyum Akane, untuk melihatnya bahagia. Akane sangat menangkap niat Saito. Akane menghargai perasaan Saito. Saito seharusnya bahagia, namun dadanya sakit.

"Kamu ini benar-benar... sangat keras kepala."

"Tetapi…tetapi…" Akane terisak, bahunya bergerak naik dan turun.

Senyuman Akane mungkin manis, tetapi wajahnya yang menangis itu indah. Rambut Akane yang berkilauan, basah kuyup karena hujan, serta pipinya yang memerah, dia menonjol dari bawah lampu jalanan. Saito tidak ragu untuk meraih tangan Akane, dan menariknya bangun.

"Kalau begitu, biarkan aku membantumu mencarinya. Kapan kamu kehilangan cincin itu?"

"Pada hari saat aku membawanya ke sekolah… Aku  memastikan untuk memasukkannya ke dalam kantungku, tetapi ketika aku pulang, kantung itu hilang…"

"Aku mengerti."

"Aku memeriksa semua tempat yang dapat aku ingat, tetapi tidak pada detail yang lebih kecil…"

Saito tertawa terbahak-bahak. Saito mengarahkan jari telunjuknya pada Akane, dan menyatakan.

"Jangan remehkan ingatanku. Dalam perjalanan pulang hari itu, kita pergi berbelanja bersama-sama. Aku ingat persis jalanan yang kita ambil, toko yang kita kunjungi, dan tempat di mana kita mampir… Semuanya ada di kepalaku." Saito memejamkan matanya, dan menelusuri kembali kejadian hari itu.

Titik awalnya merupakan saat Akane melepas cincin itu. Titik akhir merupakan saat mereka kembali ke rumah. Semua data tersimpan jauh di dalam kepala Saito, semua gambaran mental yang ia ambil, semuanya diputar seperti tayangan salindia. Bahkan detail terkecil seperti poster di jendela toko pun terukir di otaknya.

Ingatan luar biasa yang bahkan dicela oleh orang tua dan teman sekelasnya, Saito tidak dapat menggunakannya untuk menghentikan air mata dari seorang cewek. Demi seorang cewek yang iri dengan ingatannya, Saito menggunakan semuanya. Setelah meninjau rekaman di kepalanya, memutarnya bolak-balik, ada satu hal yang melekat pada Saito.

"…Hari itu, kamu ragu-ragu untuk pergi ke kafe, dan memeriksa dompetmu di depan pintu masuk, ya?"

"Eh, a-apa benar…?"

"Kamu ragu untuk menggunakan kafe lain yang lebih jauh karena harganya seribu yen lebih murah, dan aku bilang jangan khawatir tentang uang recehan begitu."

"Aku tidak ingat itu sedikitpun..."

Saito memijat pelipisnya dengan satu jari.

"Sejauh yang aku tahu, kamu membuka tas sekolahmu saat itu, saat kamu menyeka mulutmu dengan saputangan, ketika kamu mengambil foto kucing liar, dan ketika kita berbelanja di pasar swalayan. Itu empat kali."

"Kamu menghitungnya?" Akane bingung.

"Aku menghitungnya. Dan, aku masih ingat kalau kamu tidak menjatuhkan apapun tiga kali setelah ke kafe. Itu berarti…"

"Cincin itu mungkin ada di suatu tempat di dekat kafe!?"

"Iya, mari ikut aku!" Saito mengajak Akane bersamanya.

Saat mereka berlari berdampingan di bawah payung kecil, Akane menunjukkan ekspresi hati-hati. Akane pasti masih gugup, walaupun dia melihat secercah harapan di tengah keputusasaannya.

"Tidak apa-apa, kita pasti akan menemukannya."

"I-Iya…" Akane sedikit santai berkat kata-kata Saito.

Hujan mulai berkurang seiring berjalannya waktu, dan cahaya bulan yang tenang dari muncul dari awan. Saito memasuki pusat perbelanjaan, dan dengan cepat sampai ke kafe yang dimaksud. Kafe itu sendiri tutup, dan cuma lampu pencegahan kejahatan yang menerangi lantai di dalamnya. Akane membuka tas sekolahnya di sana, di sebelah selokan. Tanpa ragu, Saito memasukkan tangannya ke dalam, di tengah kegelapan yang mutlak, saat air hujan mengalir masuk.

"He-Hei, Saito?"

"……………Ketemu."

Bersamaan dengan Saito merasakan sesuatu seperti sutra di tangannya, Saito menariknya keluar. Apa yang muncul tidak diragukan lagi adalah kantung Akane. Membuka kantung itu, cincin berbentuk hati itu pun muncul. Berkat kantung yang tahan air, cincin itu benar-benar aman dan bersih seperti sebelumnya. Di saat yang sama, Akane menatap Saito dengan tidak percaya.

"Kamu benar-benar menemukannya... belum lagi secara langsung..."

"He he he… aku memang orang yang jenius. Apa kamu akhirnya mengerti kalau kamu tidak dapat menang melawanku?" Saito tertawa seperti penjahat yang stereotip.

Saito ingin menjernihkan suasana canggung ini, dan mencoba memprovokasi Akane, tetapi…

"Terima kasih!!"

Akane tidak menunjukkan tanda-tanda ingin marah, dan cuma melompat ke arah Saito. Semua ketegangan di tubuhnya pasti sudah hilang, karena Akane tidak menahan diri saat memeluk Saito, dan hanya menangis bahagia.

—Sungguh cewek yang merepotkan…

Saito hampir kehilangan arah. Ia mungkin terbiasa dihina dan dijelek-jelekkan oleh Akane, jadi menerima kata-kata dan tindakan jujur ​​darinya, Saito tidak yakin harus bereaksi bagaimana.

Cahaya bulan menyinari mereka berdua. Setelah Saito menunggu Akane yang akhirnya tenang, ia dengan lembut meraih tangan kiri Akane. Akane, di saat yang sama, tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengusir Saito, karena dia cuma menunggu dengan tenang. Basah kuyup karena hujan, tangannya sedikit gemetaran, terasa dingin dan kasihan. Karena itulah Saito dengan cepat memasangkan cincin itu di jari manis Akane.

"Jangan sampai kamu hilangkan lagi, oke?"

"Iya, aku tidak akan menghilangkannya. Tidak akan menghilangkannya lagi." Akane menunjukkan senyuman yang lembut, saat air mata bahagia mengalir di pipinya.

KuraKon-3-4-2


←Sebelumnya           Daftar Isi         Selanjutnya→


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama