Bab 4Cincin(Bagian 7)
Saito mengeluarkan kare yang dingin dari kulkas, meletakkannya di piring, dan meninggalkannya di atas meja. Menghangatkannya pasti akan membuat lebih enak, tetapi ketika cuma ada dirinya sendiri untuk makan malam, Saito tidak punya motivasi untuk melakukan hal itu. Saito cuma membiarkan berita diputar di televisi, sambil makan kare.
Akhir-akhir ini, Akane sering pulang larut malam. Biasanya, Akane akan langsung pulang dari sekolah dan belajar, tetapi sepertinya menghindar dari hal itu. Ketika Saito menanyakan pertanyaan, Akane akan selalu menghindarinya dengan dingin "Urus saja urusanmu sendiri". Mengetahui betapa rajin dan sungguh-sungguhnya Akane, dia mungkin tidak melakukan sesuatu yang biasa di malam hari. Entah Akane sedang belajar di tempat lain, atau dia terjebak dalam semacam kekacauan karena dia mengajak berkelahi yang tidak perlu dengan seseorang.
—Meskipun tidak ada dirinya seharusnya akan jauh lebih nyaman…
Meskipun begitu, apa alasan di balik perasaan gelisah yang mengganggu Saito sekarang? Rasanya seperti semua cahaya dan kehangatan di rumah telah menghilang hanya karena Saito tidak dapat melihat wajah Akane. Berkat ini, Saito mengerti mengapa Akane merasa kesal saat ia bekerja di kediaman Shisei. Saito mungkin seharusnya bilang pada Akane tentang pekerjaan paruh waktu itu.
Karena Saito begitu asyik dengan pikirannya, ia secara tidak sengaja menggigit sendok yang terlalu keras, sehingga rasa sakit sedikit menyerang mulutnya. Saito meletakkan sendok itu di piring, dan menghela napas. Tidak sampai semenit kemudian, dia mendengar suara pintu depan terbuka.
"Jadi kamu akhirnya pulang. Apa yang kamu lakukan, pulang terlambat setiap hari?" Saito melangkah keluar dari ruang tamu.
Namun, orang yang memasuki rumah itu bukanlah Akane, melainkan Shisei. Dia melepas sepatunya dan melemparkannya ke samping, menuju ke arah Saito.
"Tidak ada sama sekali. Cuma bercanda."
"Shisei..." Saito kecewa.
"Memangnya Abang kira aku siapa? Akane kan belum pulang."
"Apakah kamu tahu di mana dia?"
"Tidak tahu." Shisei mengendus-endus udara di sekitarnya. "Ini… merupakan aroma dari Kare Hidangan Laut Akane yang sangat legendaris. Shisei mencium aroma kare Akane, jadi aku datang ke sini, tetapi...sudah aku duga." Shisei terdengar seperti detektif, saat dia menyerbu ruang tamu.
"Jadi kamu tahu Akane di mana, bukan!?"
Namun Shisei mengabaikan pertanyaan Saito, dan malahan memeriksa kare di atas meja seakan-akan itu merupakan harta karun.
"Ketemu. Namun, kare ini telah kehilangan tenaga kunonya. Diproses dengan ritual pada momentum."
Ritual ini pada dasarnya berarti—memasukkan kare dingin itu ke dalam oven, dan menghangatkannya. Setelah kare itu hangat lagi, Shisei kembali ke meja, dan mengisi pipinya dengan kare itu.
"Lezat!"
"Kamu benar-benar tidak menahan diri, bukan."
"Dunia itu merupakan taman hiburan raksasa, dan Shisei punya tiket gratis untuk semuanya."
"Kamu tidak sepenuhnya salah, tetapi fakta kalau kamu sadar akan hal itu sangat buruk."
Untungnya, Shisei tidak menunjukkan keserakahan terhadap apapun kecuali terhadap makanan. Karena Saito mengira kalau ia tidak akan mendapatkan jawaban yang tepat saat Shisei sedang makan, makanya ia menunggu sampai piringnya kosong.
"Jadi, kamu akan memberi tahu Abang, Akane ada di mana, bukan?"
"Shisei mau makan itu…"
"Kalau begitu, jujurlah pada Abang. Kamu akan mendengarkan apa yang abangmu ini katakan, bukan…?" Saito meletakkan telapak tangannya di tengkuk Shisei.
"Shisei akan…mendengarkan apa…yang Abang katakan…" Shisei diusap kepalanya dengan tangan Saito, jelas-jelas telah menjadi boneka tangan Saito karena keinginannya itu.
"Gadis baik. Di mana Akane?"
"Nyam!!" Shisei langsung bergegas dan memasukkan sendok ke mulutnya.
"Wah, jangan memakannya begitu saja!" Saito berusaha menarik kembali sendok itu, tetapi Shisei tidak mau melepaskannya.
Shisei menggigit dengan giginya ke dalamnya, dan menggelengkan kepalanya. Saito khawatir kalau Shisei akan mematahkan giginya jika terus begini, jadi dia melepaskan sendok itu. Shisei melarikan diri ke belakang sofa, dan menjilat sendok itu.
"Apakah itu lezat?"
"Masakan Akane memang yang terlezat. Karena itulah Shisei tidak mau mengkhianati Akane."
"Kapan dia menjinakkanmu begitu?"
Saito merasa kehilangan posisinya sebagai seorang abang sepupu.
"Dia tidak melakukannya. Abang harus menyebutnya kontrak."
"Itu bahkan lebih buruk daripada cuma dijinakkan saja…" Saito menyerah untuk membuat Shisei mengaku, dan malah duduk di sofa.
Di saat yang sama, Shisei memakan semua kare di kotak makan itu. Shisei bahkan mengambil susu dari kulkas, meneguknya, dan menghela napas puas.
"Kalau Abang ingin tahu di mana Akane, mengapa Abang tidak menguntitnya saja?"
"Dia akan berubah menjadi iblis kalau dia tahu, dan kamu juga tahu itu, bukan."
Situasi di rumah saja sudah cukup mengerikan, jadi Saito tidak ingin mengambil risiko apapun.
"Tidak apa-apa, Akane tidak akan marah. Dia terlalu putus asa untuk itu."
"…Terlalu putus asa? Mengapa?"
"Rahasia." Shisei membuat tanda silang dengan jarinya, dan meletakkannya di bibirnya.
Tampaknya mustahil bagi Saito untuk mendapatkan apapun dari Shisei, tetapi setidaknya ia tahu kalau Akane sedang berada dalam semacam kesulitan, jadi meninggalkannya sendirian itu bukanlah pilihan yang tepat.
—Aku rasa aku harus mengikutinya besok.
Saito berpikir di dalam hati, sambil menyeka susu di mulut Shisei.