KuraKon - Jilid 3 Bab 4 Bagian 8 - Lintas Ninja Translation

Bab 4
Cincin
(Bagian 8)

Setelah jam pelajaran berakhir, Saito meninggalkan kelas bahkan sebelum Akane. Agar tas sekolahnya tidak menghalangi pembuntutannya, Saito memasukkan tas itu ke dalam loker di dalam ruang kelas yang kosong. Saat Saito menunggu di bayang-bayang pintu masuk, Akane berjalan mendekat. Akane memakai sepatu luar ruangannya, dan berjalan ke halaman dengan langkah yang berat. Saito menjaga jarak aman, lalu ia mengikuti Akane dengan hati-hati.

Langit yang mendung, dan guntur terdengar dari kejauhan. Saito membawa payung lipat seukuran saku, tetapi kalau hujan mulai turun, jas hujan mungkin akan menjadi pilihan yang lebih baik pada saat membuntuti Akane. Setelah melangkah keluar dari gerbang sekolah, dan berjalan sedikit, Akane tiba-tiba berjongkok di lantai.

—Apa dia sedang tidak enak badan…?

Tepat saat Saito semakin khawatir, Akane tiba-tiba meletakkan tangannya di bawah mesin penjual otomatis. Akane tidak peduli kalau seragamnya akan semakin kotor, dan cuma mengerang saat dia berusaha untuk menjangkau lebih dalam.

Akane mencari uang recehan!? Apa dia segitu kekurangan uangnya…!?

Saito merasa sedih. Saito tahu kalau Akane hidup dalam keluarga yang hemat, dan itu saja mungkin sudah merupakan hal yang baik, tetapi mengambil uang recehan dari bawah mesin penjual otomatis terlalu berlebihan. Harus ada batas yang tidak boleh dilintasi manusia.

"Tidak beruntung hari ini… ya…" Akane bangkit, jelas terdengar sedih.

—Dia melakukan hal ini setiap hari...!?

Saito tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar dan lihat. Meskipun kakeknya Tenryuu telah memberi mereka uang yang lebih dari cukup untuk biaya hidup, Akane tetap kekurangan uang. Bahkan meskipun ia menggunakan otak peringkat satu di seluruh sekolah, ia tidak dapat menemukan penjelasan yang tepat.

Akane berjalan menyusuri jalur bus, dan memasuki gang belakang dengan kaki yang goyah. Akane melihat ke sekeliling jalan yang kotor, lalu dia dengan hati-hati melangkah maju. Saito beranggapan kalau Akane sedang mencari uang recehan lagi, tetapi pemandangan di depannya benar-benar mematahkan semua anggapannya. Akane mendekati tempat sampah besar, membuka tutupnya, dan melihat ke dalamnya.

Jangan bilang... Apa dia sedang mencari makanan sekarang...!?

Saito merasakan ketakutan dan teror menyerang dirinya. Mengambil uang recehan memang sudah menjadi masalah yang besar, tetapi mencari makanan apapun yang dapat dimakan di tempat sampah tentu sudah terlalu jauh. Bahkan pagi ini, Saito memakan masakan Akane. Hanya dengan memikirkan kalau masakan itu mungkin berasal dari tempat sampah terdekat, Saito merasakan getaran dingin mengalir di punggungnya.

"Bukan di sini…" Akane menghela napas pelan, dan menutup tempat sampah itu lagi.

Saito awalnya mengikuti Akane untuk mencari tahu apa yang sedang dia lakukan, tetapi mungkin ia seharusnya tidak menyelidiki ini sama sekali. Benar-benar merasa ngeri, Saito mengikuti Akane. Akane meninggalkan gang belakang, dan berhenti di depan sebuah rumah pribadi. Akane melihat sebuah gubuk anjing kecil, dengan seekor anjing duduk ada di dalamnya, ekspresi bodoh  timbul di wajah anjing itu. Saito melihat piring plastik di sebelahnya, dengan banyak makanan anjing di atasnya. Dengan hati-hati, Akane mendekati gubuk kecil itu.

—Kamu tidak boleh melakukan itu! Kalau kamu makan makanan anjing, kamu akan turun derajatnya lebih rendah dari manusia!

Saito berteriak di dalam hati. Namun, Akane tidak melirik makanan anjing itu lagi, dan malah memasukkan tangannya ke dalam gubuk anjing itu. Sebagai hasilnya, Akane mengeluarkan selimut, sepatu, boneka, dan benda-benda lain yang mungkin telah dikumpulkan anjing itu.

"A-Aku cuma ingin melihat-lihat sebentar, oke?"

Akane mencoba memohon pada anjing itu, tetapi anjing itu cuma menggeram padanya. Akane menjadi takut karena hal itu, dan melarikan diri. Akane bergegas menuju jalanan, hampir tertabrak oleh mobil, dan kemudian panik kembali di trotoar. Akane memelototi gubuk anjing itu, dan berjalan di depan.

Dari kelihatannya, Akane tidak mencari uang atau makanan yang jatuh. Memikirkan hal itu, Akane yang rajin dan serius pasti tidak akan pernah melakukan hal itu.

—Apa dia… sedang mencari barangnya yang hilang…?

Tepat, ada suara "Ting" di kepala Saito. Menelusuri kembali ingatannya, ada perubahan signifikan lainnya pada Akane saat dia mulai pulang terlambat. Saito mengingat Akane ketika dia berangkat ke sekolah, ketika dia mengambil catatannya di sekolah, dan ketika dia memasak di rumah…

"Itu mengingatkanku…"

Baru-baru ini, Saito tidak pernah melihat Akane memakai cincinnya. Tentu saja, Akane tidak punya kewajiban untuk memakainya sepanjang waktu, dan mungkin dia tidak terlalu peduli dengan hadiah dari musuh bebuyutannya. Namun, ada kemungkinan kalau dia menghargai cincin itu, dan sekarang sedang mencarinya setiap hari. Dan kalau dia menyembunyikannya dari Saito karena takut merusak hubungannya dengan Saito…

Tidak, masih terlalu dini untuk menyimpulkan hal semacam itu. Bahkan kalau Saito menanyai Akane secara langsung tentang itu, dia pasti tidak akan memberi tahunya.

—Aku butuh bukti yang kuat.

Saito berkata di dalam hati, dan terus mengikuti Akane.


Bahkan setelah matahari mulai terbenam, Akane tetap melanjutkan pencariannya. Bulan perlahan tertutup awan, saat air hujan mulai turun dari langit. Akane berjalan di sepanjang tepi sungai dengan kaki yang goyah, dan dia berlutut.

"Mengapa…?" Sebuah suara samar keluar dari bibir Akane. "Mengapa aku tidak dapat menemukannya…? Cincinku…cincin yang aku dapatkan dari Saito…" Air mata mengalir di pipi Akane.

Suara samar dan air mata itu bercampur dengan tetesan air hujan, dan jatuh ke tanah. Di tengah kegelapan yang samar, Saito melihat bahu Akane gemetaran.

–Ini sudah cukup. Aku tidak dapat menyaksikan ini lagi.

Saito keluar dari tempat persembunyiannya, dan mendekati Akane.

"Jadi, kamu sedang mencari cincin itu."

"Saito…!?" Ekspresi Akane berubah menjadi ketakutan. 

Rasa terkejut dan rasa bersalah bercampur menjadi satu, dan akhirnya lenyap sama sekali.

"Terima kasih telah berusaha yang terbaik. Tetapi, itu sudah cukup. Mari kita pulang." Saito membuka payungnya, dan membantu Akane.

Namun, Akane bahkan tidak berusaha untuk mengambilnya.

"Itu masih belum cukup! Aku harus menemukan cincin itu bagaimanapun caranya!"

"Jangan khawatir tentang itu, kita masih bisa membeli cincin yang baru."

Bekerja paruh waktu memang bukanlah hal yang mudah, tetapi itu lebih baik daripada Akane diganggu oleh penyesalan selamanya. Kalau Saito memohon pada tantenya, beliau pasti akan membiarkannya bekerja untuknya lagi.

"Bukan itu masalahnya! Cincin itu bukan sesuatu yang dapat kita beli berulang-ulang!"

"Mengapa…"

Akane memegang tangan kanannya, tanpa cincin di atasnya, dan merendahkan suaranya. Lalu lebih banyak air mata jatuh ke tanah.

"Karena cincin itu… nyata…"

"Eh…"

Wajah Akane tiba-tiba terangkat, kemudian dia berteriak.

"Pernikahan kita mungkin cuma sesuatu yang dipaksakan pada kita, akan tetapi cincin itu… merupakan sesuatu yang nyata yang kamu berikan padaku! Cincin itu berisi perasaanmu! Kamu memikirkanku, ingin akur denganku, dan bekerja keras demi aku! Aku tidak akan bisa mendapatkan cincin itu kembali cuma dengan diganti oleh cincin lain!"

"…!" Saito menelan napasnya.

Itu benar, itu pertama kalinya Saito bekerja keras. Ini merupakan pertama kalinya Saito melakukan sesuatu yang bukan untuk dirinya sendiri, atau bahkan sama sekali. Itu merupakan sesuatu yang Saito lakukan semata-mata untuk melihat senyum Akane, untuk melihatnya bahagia. Akane sangat menangkap niat Saito. Akane menghargai perasaan Saito. Saito seharusnya bahagia, namun dadanya sakit.

"Kamu ini benar-benar... sangat keras kepala."

"Tetapi…tetapi…" Akane terisak, bahunya bergerak naik dan turun.

Senyuman Akane mungkin manis, tetapi wajahnya yang menangis itu indah. Rambut Akane yang berkilauan, basah kuyup karena hujan, serta pipinya yang memerah, dia menonjol dari bawah lampu jalanan. Saito tidak ragu untuk meraih tangan Akane, dan menariknya bangun.

"Kalau begitu, biarkan aku membantumu mencarinya. Kapan kamu kehilangan cincin itu?"

"Pada hari saat aku membawanya ke sekolah… Aku  memastikan untuk memasukkannya ke dalam kantungku, tetapi ketika aku pulang, kantung itu hilang…"

"Aku mengerti."

"Aku memeriksa semua tempat yang dapat aku ingat, tetapi tidak pada detail yang lebih kecil…"

Saito tertawa terbahak-bahak. Saito mengarahkan jari telunjuknya pada Akane, dan menyatakan.

"Jangan remehkan ingatanku. Dalam perjalanan pulang hari itu, kita pergi berbelanja bersama-sama. Aku ingat persis jalanan yang kita ambil, toko yang kita kunjungi, dan tempat di mana kita mampir… Semuanya ada di kepalaku." Saito memejamkan matanya, dan menelusuri kembali kejadian hari itu.

Titik awalnya merupakan saat Akane melepas cincin itu. Titik akhir merupakan saat mereka kembali ke rumah. Semua data tersimpan jauh di dalam kepala Saito, semua gambaran mental yang ia ambil, semuanya diputar seperti tayangan salindia. Bahkan detail terkecil seperti poster di jendela toko pun terukir di otaknya.

Ingatan luar biasa yang bahkan dicela oleh orang tua dan teman sekelasnya, Saito tidak dapat menggunakannya untuk menghentikan air mata dari seorang cewek. Demi seorang cewek yang iri dengan ingatannya, Saito menggunakan semuanya. Setelah meninjau rekaman di kepalanya, memutarnya bolak-balik, ada satu hal yang melekat pada Saito.

"…Hari itu, kamu ragu-ragu untuk pergi ke kafe, dan memeriksa dompetmu di depan pintu masuk, ya?"

"Eh, a-apa benar…?"

"Kamu ragu untuk menggunakan kafe lain yang lebih jauh karena harganya seribu yen lebih murah, dan aku bilang jangan khawatir tentang uang recehan begitu."

"Aku tidak ingat itu sedikitpun..."

Saito memijat pelipisnya dengan satu jari.

"Sejauh yang aku tahu, kamu membuka tas sekolahmu saat itu, saat kamu menyeka mulutmu dengan saputangan, ketika kamu mengambil foto kucing liar, dan ketika kita berbelanja di pasar swalayan. Itu empat kali."

"Kamu menghitungnya?" Akane bingung.

"Aku menghitungnya. Dan, aku masih ingat kalau kamu tidak menjatuhkan apapun tiga kali setelah ke kafe. Itu berarti…"

"Cincin itu mungkin ada di suatu tempat di dekat kafe!?"

"Iya, mari ikut aku!" Saito mengajak Akane bersamanya.

Saat mereka berlari berdampingan di bawah payung kecil, Akane menunjukkan ekspresi hati-hati. Akane pasti masih gugup, walaupun dia melihat secercah harapan di tengah keputusasaannya.

"Tidak apa-apa, kita pasti akan menemukannya."

"I-Iya…" Akane sedikit santai berkat kata-kata Saito.

Hujan mulai berkurang seiring berjalannya waktu, dan cahaya bulan yang tenang dari muncul dari awan. Saito memasuki pusat perbelanjaan, dan dengan cepat sampai ke kafe yang dimaksud. Kafe itu sendiri tutup, dan cuma lampu pencegahan kejahatan yang menerangi lantai di dalamnya. Akane membuka tas sekolahnya di sana, di sebelah selokan. Tanpa ragu, Saito memasukkan tangannya ke dalam, di tengah kegelapan yang mutlak, saat air hujan mengalir masuk.

"He-Hei, Saito?"

"……………Ketemu."

Bersamaan dengan Saito merasakan sesuatu seperti sutra di tangannya, Saito menariknya keluar. Apa yang muncul tidak diragukan lagi adalah kantung Akane. Membuka kantung itu, cincin berbentuk hati itu pun muncul. Berkat kantung yang tahan air, cincin itu benar-benar aman dan bersih seperti sebelumnya. Di saat yang sama, Akane menatap Saito dengan tidak percaya.

"Kamu benar-benar menemukannya... belum lagi secara langsung..."

"He he he… aku memang orang yang jenius. Apa kamu akhirnya mengerti kalau kamu tidak dapat menang melawanku?" Saito tertawa seperti penjahat yang stereotip.

Saito ingin menjernihkan suasana canggung ini, dan mencoba memprovokasi Akane, tetapi…

"Terima kasih!!"

Akane tidak menunjukkan tanda-tanda ingin marah, dan cuma melompat ke arah Saito. Semua ketegangan di tubuhnya pasti sudah hilang, karena Akane tidak menahan diri saat memeluk Saito, dan hanya menangis bahagia.

—Sungguh cewek yang merepotkan…

Saito hampir kehilangan arah. Ia mungkin terbiasa dihina dan dijelek-jelekkan oleh Akane, jadi menerima kata-kata dan tindakan jujur ​​darinya, Saito tidak yakin harus bereaksi bagaimana.

Cahaya bulan menyinari mereka berdua. Setelah Saito menunggu Akane yang akhirnya tenang, ia dengan lembut meraih tangan kiri Akane. Akane, di saat yang sama, tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengusir Saito, karena dia cuma menunggu dengan tenang. Basah kuyup karena hujan, tangannya sedikit gemetaran, terasa dingin dan kasihan. Karena itulah Saito dengan cepat memasangkan cincin itu di jari manis Akane.

"Jangan sampai kamu hilangkan lagi, oke?"

"Iya, aku tidak akan menghilangkannya. Tidak akan menghilangkannya lagi." Akane menunjukkan senyuman yang lembut, saat air mata bahagia mengalir di pipinya.

KuraKon-3-4-8

←Sebelumnya          Daftar Isi          Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama