Bab 3
Selingkuh
Satu malam telah berlalu sejak kencan, atau lebih tepatnya tamasya, dari Akane dan Saito.
"Mengapa kamu sarapan sambil menonton televisi!?"
"Bukankah kamu juga sering melakukan hal yang sama!?"
Mereka berdua duduk di meja menyantap sarapan, bertengkar seperti biasanya. Memegang garpu bagai senjata pembunuh, Akane tampak seperti iblis yang datang langsung dari neraka.
"Aku telah melakukan yang terbaik dengan omelet gulung hari ini! Aku menggunakan bayam dan wortel untuk menulis tanggal berdirinya Keshogunan Muromachi!"
"Kamu jelas terlalu berlebihan pada sarapan yang sederhana ini! Kita bahkan belum sampai ke sekolah!"
Belum lagi bahwa arah usaha Akane merupakan misteri mutlak bagi Saito. Dengan cara apa menempatkan tanggal ketika Ashikaga Takauji memperkenalkan kode feodal ke dalam omelet gulung akan membantu siapapun?
"Ini demi pelajaran kita tentu saja!"
"Aku tidak percaya kalau belajar dengan omelet gulung akan membuahkan banyak hasil."
"Ada biskuit yang membantu dalam abjad, bukan!?"
"Iya, aku pernah lihat Shisei memakannya sebelumnya, tetapi…"
Shisei segera memasukkan kukis itu ke mulutnya begitu dia mengeluarkan kukis-kukis dari bungkusnya—dengan kecepatan penyedot debu—jadi dia jelas tidak berniat mempelajari apapun. Namun Akane tidak terlalu mendengarkannya, sambil dia membentuk tinju yang gemetar.
"Usaha dan kerja kerasku… semuanya hancur karena kamu tidak menyadarinya sedikitpun… Mengunyah telur itu sambil menonton televisi, tampak seperti orang bodoh…"
"Tetapi telur ini enak sih?"
"Bukan itu masalahnya! Aku ingin kamu memakan ini sambil mengingat tanggalnya!"
Saito menghela napas.
"Kamu harusnya bilang saja padaku."
"Kamu seharusnya menyadarinya tanpa aku harus bilang padamu! Katakan padaku betapa menakjubkannya aku! Lihat makanan yang aku buat, jangan ke televisinya!"
"Iya iya, ini enak."
"Aku tidak dapat merasakan gairah di balik kata-kata itu!"
"Apa yang mesti aku lakukan, hah!? Berlutut untuk memberi tahumu betapa enaknya telur ini!?"
"Terserahlah, aku pergi!" Akane tersentak, dan berlari menaiki tangga.
—Mengapa semuanya selalu berakhir begini…
Saito memegangi kepalanya, saat ia duduk di meja. Ia terlalu berekspektasi tinggi, mengira kalau setelah "bukan kencan" kemarin, jarak di antara mereka telah mendekat, dan mungkin semuanya akan sedikit lebih damai mulai sekarang, tetapi itu hanyalah gencatan senjata sementara. Mereka segera bercekcok satu sama lain lagi seperti ini.
Bahkan saat ini, senyuman Akane saat dia duduk di ayunan itu tidak akan meninggalkan bekas di kepala Saito. Itu sesuci malaikat, dan seindah dewi. Kalau saja Akane selalu tersenyum seperti itu, kehidupan Saito pasti akan jauh lebih indah melebihi apa yang dapat ia bayangkan.
—Oh iya…Dia menginginkan cincin itu, bukan…
Kalau Saito memberikan Akane cincin itu sebagai hadiah, akankah Akane menunjukkan senyuman itu lagi pada Saito? Akankah Akane berhenti bertengkar karena hal-hal sepele, dan dapat akur dengan Saito? Saito memang tidak menyukai gagasan untuk membeli kasih sayangnya dengan cincin, tetapi itu bukan merupakan pemikiran yang buruk juga.
—Iya, cincin itu bukanlah sesuatu yang dapat kita beli sebagai siswa SMA.
Saito mengambil omelet gulung yang tersisa, melihat tanggal yang telah ia hancurkan, dan memasukkan omelet itu ke mulutnya.
Setelah pelajaran berakhir, Shisei berjalan ke meja Saito. Dia membawa tas sekolahnya yang seperti ransel siswi SD sungguhan, begitulah seberapa kecil perawakannya.
"Abang, mari kita pulang bersama. Traktir Shisei sesuatu saat perjalanan pulang."
"Mengapa itu sudah diputuskan kalau Abang akan mentraktirmu sesuatu?"
"Sudah menjadi hukum dunia kalau seorang abang sepupu harus mentraktir adik sepupu ceweknya sesuatu. Redistribusi kekayaan, Abang tahu."
"Abang 100% yakin kalau kamu hidup dalam kekayaan yang jauh lebih banyak daripada Abang..."
Dari saat mereka lahir, cara hidup Saito si orang biasa dan Shisei si nona kaya raya sangat berbeda. Meskipun Saito menerima uang bulanan untuk biaya hidup dari kakeknya Tenryuu, tetapi ini semua digabungkan dengan uang Akane sebagai kekayaan bersama, jadi ia tidak dapat begitu saja menghambur-hamburkannya.
"Pembenaran. Shisei ingin diberi makan dari tangan Abang. Ditraktir makanan malah jadi bonus yang bagus."
"Kamu tiba-tiba bertingkah sangat sederhana."
Namun, itulah yang membuat Shisei imut. Cara Shisei meletakkan tangannya di meja Saito saat dia menatap abang sepupunya, dia benar-benar tampak seperti seekor anak kucing yang menunggu untuk diberi makan. Cuma dengan begini saja, dia dengan sempurna mengambil hati abangnya, serta hati teman-teman sekelas di sekitar mereka. Beberapa siswi bahkan bergegas mengeluarkan dompet mereka, tetapi Saito berharap kalau mereka tidak terlalu memanjakan Shisei.
"Abang bisa mentraktirmu roti kukus, tetapi…Bolehkah Abang pergi ke rumahmu hari ini?"
"Kabur dari rumah?"
"Tidak, bukan kok."
“Mengubah tempat tinggal tetap Abang ke rumah Shisei?"
"Cuma mampir untuk berkunjung. Apa tidak masalah?"
"Tentu saja. Rumah Shisei itu ya, rumah Abang juga." Shisei mengeluarkan ponsel pintarnya, dan menekan satu tombol.
Ponsel pintar Shisei berbeda dari yang dimiliki oleh masyarakat pada umumnya, karena sedikit lebih bulat, dengan telinga kucing.
"Urusan darurat khusus Abang. Prioritas tertinggi." Shisei memberi perintah singkat, dan memutuskan panggilan lagi.
"Urusan misterius macam apa yang kita bicarakan di sini?"
"Shisei memanggil mobil ke sini. Kalau Abang mau mampir untuk bermain, meluangkan waktu kita sambil berjalan pulang itu hanya akan sia-sia." Shisei meraih tangan Saito, dan menyeretnya ke luar ruang kelas.
Wajah Shisei memang datar seperti biasanya, tetapi Saito bisa mengerti kalau Shisei lebih tampak seperti melompat kegirangan ketimbang berjalan secara normal. Begitu mereka berdua melangkah keluar dari pintu masuk, mobil yang dipanggil Shisei sudah menunggu mereka. Di sana mereka telah menunggu atau berhenti, tidak apakah mereka telah menaati undang-undang lalu lintas atau tidak, semua itu masih misteri. Merenungkan tentang cara kerja Keluarga Hojou hanya akan membuang-buang waktu dan tenaga saja, jadi Saito hanya langsung memasuki mobil putih kelas atas itu.
"Selamat datang, Nona-ku sayang, Saito-sama." Sopir wanita menyapa mereka berdua.
Dia mengenakan pakaian pelayan, bekerja sebagai asisten kebersihan pribadi Shisei serta penyedia makanan ringan dan juga merangkap sebagai pengawal. Singkatnya, dia seperti kepala pelayan Shisei. Karena takut sopir laki-laki akan menculik Shisei, mereka akhirnya mempekerjakan sopir wanita, tetapi karena para siswi di kelas mereka, juga mencoba untuk memenangkan Shisei sendiri, jadi sebenarnya jenis kelamin tidak terlalu penting di sini.
"Maaf tiba-tiba memanggilmu begini."
"Tidak kok, nona muda-lah yang telah meminta ini." Pelayan itu menatap Saito melalui kaca spion.
Dia sangat mirip dengan Shisei, dalam segi ekspresinya yang tidak banyak berubah, bahkan saat dia tersenyum.
"Tolong, aku mengandalkanmu untuk keamanan dalam perjalanan."
"Baiklah, kita akan mengebut."
"Apa kamu tidak mendengarku!?"
"Melakukannya dengan cara ini jauh lebih aman."
"Dalam segi apa!?"
Meskipun mereka berbicara dalam bahasa yang sama, Saito merasa seperti sudah menabrak batasan bahasa.
"Bahkan kalau kita menabrak suatu objek, kalau kita bergerak lebih cepat daripada elektron di dalam objek itu, kita seharusnya dapat melewatinya tanpa mengalami kerusakan apapun."
"Memangnya bisa kamu akan menciptakan beberapa fenomena supernatural macam itu!"
Namun pelayan itu tidak terlalu peduli dengan jawaban Saito, dan dia malah menginjak pedal gas tanpa ampun. Dalam satu saat, mereka melesat keluar dari pintu gerbang sekolah, meninggalkan badai debu dan pasir. Shisei tampaknya menikmati ini, dan mengangkat kedua genggamannya ke udara.
"Ayo, ayo, ayo~!"
"Seperti yang Anda inginkan, Nona."
"Jangan membuatnya gelisah lebih dari ini!" Akal sehat Saito mencapai telinga yang tersumbat.
Mobil itu berbelok dengan kecepatan tinggi, melewati mobil-mobil lain yang sedang melaju di jalanan. Meskipun tidak ada yang mengikuti mereka, rasanya ini seperti mereka berada di tengah-tengah adegan kejar-kejaran mobil. Shisei berpegangan pada Saito, dan Saito di saat yang sama berpegangan pada jok sehingga ia tidak terlempar seperti pin boling.
"Merah! Lampu lalu lintas itu pasti merah!"
Sopir pelayan menunjukkan ekspresi yang bingung.
"Eh? Ada apa ya? Kita terlalu cepat, saya jadi tidak dapat melihat apa-apa."
"Kalau matamu sendiri saja tidak dapat mengikuti kecepatan mengemudimu, bukankah itu tanda yang sempurna bagimu untuk melambat!?"
"Yakin sajalah, mobil ini adalah model keluaran terbaru yang dikembangkan di bawah Hojou Grup, yang memiliki perlindungan mutlak terhadap segala macam benturan. Pada kecepatan 300 km/jam, kita tidak akan merasakan dampak apapun."
"Mengapa mereka tidak memasang pembatas kecepatan di mobil ini juga!?"
Shisei dengan lembut meraih tangan Saito.
"Tidak perlu khawatir, Abang. Shisei bersama Abang."
"Dan bagaimana itu bisa membuat Abang tenang..."
"Shisei akan menjadi bantal untuk Abang."
"Hentikan itu, kamu akan membuat Abang trauma seumur hidup karena hal itu." Saito memasukkan Shisei ke dalam pelukannya, melindunginya.
Yang paling mengerikan itu teknik mengemudi dari sopir pelayan ini, dia merupakan sesuatu yang nyata. Pengemudi lain pasti sudah menabrak sesuatu di gang belakang yang sempit ini, tetapi dia berhasil melewati mobil-mobil itu tanpa satu goresan pun. Saat Saito berkeringat, entah bagaimana mereka berhasil sampai ke tujuan mereka.
Saito melihat petak besar Keluarga Hojou yang dikelilingi oleh pagar besar dan dihalangi oleh gerbang besar. Di dalam taman, ada bunga mawar yang bermekaran, dengan kediaman gaya Barat yang jauh di belakang jalan setapak. Itu tampak seperti kediaman gotik yang akan kamu temui dalam dongeng, penuh dengan misteri.
Ketika memasuki pintu depan, langit-langit atrium dan kaca patri pertama kali bertemu dengan matamu. Terpampang di dinding ada foto Shisei, dan foto-foto Shisei yang lain. Kasih sayang orang tua untuk Shisei sudah tampak dari pandangan pertama, tetapi Saito tahu itu hanya membuang-buang waktu untuk mempertanyakan apapun di sini.
Saito dan Shisei menaiki tangga, dan memasuki kamar Shisei. Dilengkapi dengan ranjang besar dengan kanopi tambahan, serta meja yang mewah. Saito merasa seperti ia masuk ke kamar putri langsung dari dongeng. Ini dua kali ukuran ruang tamu Saito, dihiasi dengan karpet yang indah. Interiornya sepenuhnya berdesain kekanak-kanakan, dengan mainan mewah, boneka Barat, dan bola kristal lainnya, tetapi suasana aneh ada di sini.
Saito duduk di karpet, lalu Shisei membawa gaun dari ruang ganti. Dia bahkan tidak peduli dengan kehadiran Saito, dan melepas rok seragamnya.
"Mengapa kamu berganti baju di sini..."
"Kalau Shisei berganti baju di ruangan yang berbeda, aku akan kehilangan waktu bersama dengan Abang."
"Ini benar-benar bukan kerugian waktu yang besar kok."
"Bahkan kehilangan satu menitpun akan sia-sia. Karena Abang dan Shisei itu dekat, aku tidak merasa malu."
Rok Shisei jatuh ke lantai, memperlihatkan celana ketat putihnya. Melalui sutra putih, Saito melihat pakaian dalam Shisei.
"Aku tidak merasa malu atau apa, tetapi…"
Saito memang tidak merasakan nafsu terhadap adik sepupunya, ia tidak terlalu menyimpang, tetapi ini masih canggung. Belum lagi Shisei itu terlalu cantik, itu menyangkal gagasan tentang tidak merasakan nafsu terhadapnya. Daripada seorang perempuan atau seorang gadis, Shisei lebih seperti sosok dewi atau peri. Namun, peri ini sekarang sedang berjuang untuk melepas blusnya. Karena Shisei mencoba melepas blus itu tanpa membuka kancing, kepala dan pergelangan tangannya tersangkut.
"Selamatkan Shiseeeeei~"
"Kamu benar-benar tidak berdaya. Sini, angkat tanganmu."
"Banzai~." Shisei mengangkat tangannya saat dia disuruh.
Begitu Shisei bebas dari blusnya, dia menghela napas dalam-dalam. Muncul dari bawahnya ada kamisol yang menggemaskan dengan tali dan jumbai. Rambut perak Shisei yang panjang jatuh ke punggungnya, saat bahunya yang putih tampak berkilauan di bawah lampu neon.
"Abang, bagaimana? tubuh telanjang Shisei."
"Jangan tanya tentang kesan Abang dengan situasi begini."
"Cantik?" Shisei menatap Saito.
Bulu mata Shisei sepanjang bulu mata boneka. Fiturnya hampir tampak keluar dari dunia ini, mengeluarkan aura ilahi.
"Agak terlambat menanyakan ini. Tentu saja kamu itu cantik."
"Yei~." Shisei berusaha untuk berpegangan pada Saito sambil cuma mengenakan kamisol, tetapi Saito dengan cepat memakaikan gaun itu pada Shisei.
Meskipun Saito tidak memiliki nafsu terhadap Shisei, itu masih menjadi racun bagi mata Saito. Saito memakaikan gaun itu padanya, dan menarik ritsleting di punggungnya. Karena Shisei suka mengenakan pakaian mewah ini bahkan di rumahnya, dia kesulitan mengenakannya sendiri. Saito pergi ke depan untuk mengikat pita di lengan baju dan pinggang Shisei juga, dan memperbaiki rambutnya yang berantakan. Dengan melakukan itu, ia merasa seperti pelayan sungguhan karena beberapa alasan. Di saat yang sama, Shisei tidak berkedip sekalipun karena dia cuma menatap Saito.
"Abang itu baik sekali ya. Selalu saja memanjakan Shisei."
"Soalnya kamu akan melakukan sesuatu yang bodoh kalau Abang tidak melakukan itu. Abang tidak dapat meninggalkanmu sendirian."
"Kalau Shisei melompat dari Air Terjun Niagara, apakah Abang akan lebih menjagaku?"
"Kamu akan membuat Abang terkena serangan jantung, jadi jangan."
Saito bukan seorang penyelamat profesional atau seorang pahlawan yang mengenakan jubah.
"Sudah lama sekali sejak Abang mampir untuk bermain ke rumah Shisei. Apa yang harus kita lakukan?"
"Aku tidak masalah melakukan apa saja."
"Kalau begitu, ayo main mayat-mayatan." Shisei menjatuhkan diri ke karpet.
"Maaf, mungkin bukan apa saja. Tolong jangan yang itu."
"Kalau begitu, bagaimana kalau bermain boneka?"
"Kalau begitu saja Abang yakin kalau Abang bisa ikut."
Untuk seorang siswa dan siswi SMA, bermain boneka mungkin agak dipertanyakan, tetapi kalau Shisei akan melakukan itu, maka Saito tidak akan merasa tidak nyaman. Karena mereka berdua telah bersama selama bertahun-tahun, Saito sudah terbiasa dengan ini.
"Shisei menyuruh perusahaan yang dimiliki Kakek untuk membuat boneka model baru." Shisei mengeluarkan dua boneka dari lemari pakaiannya.
Boneka-boneka itu jelas meniru Saito dan Akane. Memang sih itu tidak masalah, tetapi wajah boneka-boneka itu tampak hampir terlalu nyata, itu memberi Saito perasaan yang menakutkan. Kepala mereka memang realistis, tetapi tubuh boneka lainnya juga normal. Proporsi yang tidak serasi ini membuat Saito merinding.
"Ini ... buruk, oke."
Tidak pernah dalam hidup Saito, ia sekotor ini dengan pemikiran mengambil boneka di tangannya.
"Boneka ini memiliki segala macam fitur baru dan modern. Misalnya, kalau Abang menekan tombol ini…" Shisei menekan lengan kiri boneka Akane.
Boneka itu menyala dengan warna merah cerah, dan berbicara dengan suara yang terdengar seperti berasal dari kedalaman neraka.
"Hancurkan…semua…umat manusia…"
"…Iya kan? Boneka ini mirip dengannya, bukankah begitu?" Shisei mengeluarkan 'Hmpf' dengan bangga, sambil membusungkan dadanya.
"Kamu benar, boneka ini versi khusus, tetapi sama menakutkannya."
Menyadari bahwa Saito sendiri akan menjadi orang pertama yang akan dimusnahkan, Saito bergidik ketakutan. Setelah itu, Shisei menekan lengan kanan boneka Akane.
"Kalau Abang menekan tombol yang ini, boneka itu akan mengeluarkan senjata."
Lengan yang ditekannya berubah bentuk, sekarang tampak seperti pelontar api. Lengan kiri boneka Akane mengalami keadaan yang sama, karena telah berubah menjadi gergaji mesin yang terus berputar.
"Shisei tahu kalau Abang suka sesuatu semacam ini, bukan?"
"Tentunya Abang suka! Ini luar biasa! Tetapi, jangan kamu berani-berani menunjukkan boneka ini pada Akane."
"Mengapa? Dia akan senang karena boneka ini."
"Dia jelas tidak akan senang! Dia mungkin akan meledak dengan amarah dan membunuh kita semua!"
Jika semuanya tidak berjalan mulus, memakan korban jiwa mungkin menjadi langkah berikutnya. Shisei mengambil boneka Akane, dan membawa boneka Saito juga.
"Hari ini, kita akan bermain dengan boneka-boneka ini."
"Abang benar-benar merasa kalau Abang tidak dapat memenangkan ini…"
Saito pada dasarnya dipaksa untuk melawan senjata nuklir yang dilengkapi dengan pelontar api dan gergaji mesin.
"Jangan khawatir, boneka Abang juga akan menyala kalau Abang membuatnya minum minuman protein."
"Ohh... itu fungsi yang aneh, oke." Saito mencari cerat, tetapi tidak dapat menemukan apapun.
"Cerat untuk proteinnya ada di sini." Shisei menunjuk ke bokong boneka itu.
"Abang tidak setuju, Abang tidak minum protein melalui bokong Abang."
"Ngomong-ngomong, kalau Abang menuangkan bensin, boneka Abang akan menjadi lebih kuat."
"Siapa yang akan menyedot bensin melalui bokong mereka!?"
Saito dengan jujur menjadi khawatir tentang gambaran yang dimiliki Shisei tentang dirinya. Karena tubuh Saito itu sama dengan manusia pada umumnya, ia akan mati setelah mengonsumsi bensin. Di sana, Shisei menggunakan boneka Akane untuk menyerang boneka Saito.
"Ambil ini~."
"Gyaa~."
Sebagai seorang abang sepupu, merupakan tugas Saito untuk ikut bermain. Ia membiarkan boneka Saito ambruk di lantai. Sekadar pengingat kecil, si peringkat 1 dan peringkat 3 sekolah sekarang sedang bermain boneka. Sebelum Akane muncul, mereka berdua selalu menjadi peringkat dua besar. Shisei mengangkat boneka Akane ke udara, berpose dengan penuh kemenangan.
"Fufu, aku mengalahkan Saito dalam satu serangan."
"Apakah kamu memang punya niat untuk bermain boneka-boneka ini dengan benar?"
Menyelesaikan pertempuran dengan satu serangan ini jadi tidak terlalu menarik.
"Tidak masalah, Abang dapat hidup kembali sebanyak yang Abang mau. Sebagai bawahan—zombiku, begitulah!"
"Setidaknya jadikan Abang vampir, tolong." Saito meminta, tetapi Shisei cuma melemparkan boneka itu.
"Abang ini minta banyak ya. Kalau Abang mau menjadi vampir, Shisei harus menghisap darahmu." Shisei melompat ke arahnya.
"Ini tidak masuk akal! Jangan gigit Abang!"
Shisei dengan lembut menggigit leher Saito. Shisei sangat menggemaskan sebagai bayi vampir, tetapi Saito khawatir itu akan meninggalkan bekas kecupan. Saito berusaha mendorong Shisei menjauh, tetapi Shisei keras kepala dan tidak mau melepaskan Saito. Saito takut menyakiti Shisei kalau ia menggunakan terlalu banyak kekuatan, tetapi membiarkan serangannya terus menerus juga tidak akan berakhir dengan baik. Saat mereka berdua saling bergulat satu sama lain, langkah kaki terdengar dari lorong. Tidak lama kemudian, pintu terbuka.
"Apa yang kalian berdua lakukan!?"
"Oh?"
"Ah."
Shisei dan Saito terdiam sejenak. Berdiri di ambang pintu merupakan wanita cantik dengan rok ketat. Beliau memiliki rambut panjang berkilau, dengan gincu kuat yang meninggalkan kesan. Beliau punya tatapan yang kuat yang dapat membuat orang ketakutan dengan pandangan sederhana, bulu matanya ditata. Namanya adalah Hojou Reiko, ibu dari Shisei, dan tante Saito. Meskipun mereka berdua sepupu, pada dasarnya tampak menempel satu sama lain begini juga cukup menjadi masalah bagi mereka. Bibir Shisei masih menempel di leher Saito, dan lengan Saito dipeluk oleh Shisei.
"Tunggu, ini…,"
Saat Saito berusaha mencari alasan, Reiko sendiri yang sekarang berpegangan pada Saito.
"Tidak adil kalau kalian berdua bersenang-senang berduaan saja! Kalau Saito-kun ada di sini, beri tahu Mama tentang itu!" Dia dengan kasar mengacak-acak rambut Saito, menghujani pipinya dengan banjir kecupan.
"Wah, hentikan…" Saito agak bingung dengan persentuhan kulit yang mencolok dan berlebihan ini.
Suami Reiko, yaitu ayah Shisei, merupakan orang Rusia, jadi Reiko telah menghabiskan waktu lama tinggal di luar wilayah Jepang, itulah sebabnya ekspresi cinta dan kasih sayang Reiko menyebar ke mana-mana. Sebagai tambahan, ayah Shisei menjadi bagian dari Keluarga Hojou sebagai putra menantu.
"Tinggalkan hal itu, Abang akan punya bekas gincu di seluruh wajahnya." Di sana, Shisei menarik rok Reiko.
Reiko menunjukkan wajah yang tidak senang sebagai reaksinya.
"Kamu sudah memberinya banyak ciuman, jadi sekarang ini giliran Mama."
"Tidak banyak kok. Juga, kalau Abang kembali dengan bekas gincu di sekujur tubuhnya, Akane akan menganggapnya berselingkuh dengan seseorang, dan Akane mungkin membunuhnya."
"Abang tidak berpikir kalau dia akan menuduh Abang selingkuh, tetapi... Abang juga tetap akan mati kutu, ya."
Akane sedikit misofobia*, jadi dia mungkin akan mengamuk dan mengeluh tentang Saito melakukan sesuatu yang tidak senonoh lagi. Saito harus memastikan telah menghapus bekas gincu di kemejanya sebelum pulang. Meski enggan, Reiko akhirnya membebaskan Saito.
(TL Note: Misofobia merupakan fobia terhadap tinja atau sesuatu yang kotor.)
"Kamu akan makan malam bersama kami, bukan? Tante akan meminta koki membuatkan hidangan favoritmu."
"Aku akan pulang lebih awal malam ini, Akane akan membuatkan makan malam untuk kami." Saito dengan sopan menolak, yang membuat Reiko menyipitkan matanya.
"Kamu terdengar seperti kalian itu pengantin baru."
"Memang, memang kami begitu."
"Kalian cuma tinggal bersama atas perintah Ayah, bukan? Kamu tidak perlu repot-repot dengan hal itu."
"Kalau tidak, maka rumahku akan berubah menjadi zona perang…"
Ini bukan tindakan yang diambil karena kasih sayang dan cintanya terhadap Akane, itu cuma untuk melindungi keselamatan dan nyawanya sendiri. Kalaupun ada, dimanjakan oleh tantenya seperti ini cukup sulit untuk ditanggung oleh Saito juga. Namun, memikirkan medan perang yang dapat terjadi di rumahnya dengan Akane, Saito tidak boleh gegabah.
"Mau bagaimana lagi. Lain kali, ya?"
"Iya, kapan-kapan, setelah aku beri tahu Akane."
"Untuk saat ini, Tante akan menyiapkan teh." Reiko hendak meninggalkan ruangan itu, lalu Saito memanggilnya.
"Sebelum itu, aku ingin membicarakan sesuatu."
"Apakah kamu akhirnya telah memutuskan untuk membiarkan kami mengadopsimu?"
"Bukan itu. Apa perusahaan Tante kebetulan sedang mencari orang buat bantu-bantu? Kalau bisa, aku ingin bekerja paruh waktu di sana untuk sementara waktu."
Tidak seperti ayah Saito, yang dianggap tidak berbakat dan dikeluarkan dari Hojou Group, adiknya Reiko diberi posisi sebagai pimpinan perusahaan pengembang gim. Wakil pimpinannya yaitu ayah Shisei.
"Seseorang dari Keluarga Hojou akan bekerja paruh waktu… kalau kamu memang sebegitunya menginginkan uang, mengapa kamu tidak meminta saja pada Ayah?" Reiko berkata, terdengar persis seperti seorang wanita kaya raya.
"Aku takut berutang lagi dengan Kakek. Aku tidak tahu apa yang akan Kakek minta dariku berikutnya."
"Lagipula, Ayah memang bisa jadi diktator yang hebat. Itu bukan berarti Tante juga tidak akan memintamu melakukan sesuatu yang gila, kamu tahu?"
"Aku percaya kalau Tante tidak akan menyiksaku seberat yang Kakek lakukan."
"Kamu terlalu berharap banyak pada Tante. Tante cuma seorang wanita dari Keluarga Hojou, Tante cuma akan bergerak kalau ada keuntungan yang bisa Tante ditemukan." Reiko duduk di kursi, menyilangkan kakinya yang indah, lalu menatap Saito.
Meskipun Reiko sudah punya seorang putri yang sudah masuk SMA, dia punya kecantikan yang tidak kamu duga dari usianya.
"Saito-kun, kamu menyembunyikan sesuatu dari Tante, bukan? Mengapa kamu membutuhkan uang?" Reiko memprovokasi Saito dengan suara dingin.
Karena Reiko mewarisi darah Keluarga Hojou, dia juga dapat memperkirakan kesalahan apapun yang turun sampai ke tingkat mikron—jadi begitu Reiko merasa tidak nyaman, tidak ada yang mungkin terlewat darinya. Saito tahu akan hal ini, dan menyerah.
"…Aku ingin membelikan hadiah."
"Tante mengerti."
Cuma dengan keterangan itu, Reiko pasti sudah dapat menebak untuk siapa hadiah ini dimaksudkan. Memang benar kalau Saito tidak ingin berutang apapun pada kakeknya, Tenryuu, tetapi bukan cuma itu. Membeli hadiah untuk Akane dengan uang kakeknya rasanya ada yang tidak enak. Sesuatu di dalam diri Saito berkata padanya kalau ia harus melakukan upaya ini sendiri, atau itu tidak akan berarti apa-apa. Di saat yang sama, Shisei menatap Saito dengan tajam.
"Itu menyakiti hati Shisei…Jadi tujuan Abang mampir ke sini bukan untuk bermain dengan Shisei, tetapi malah untuk membelikan hadiah untuk wanita lain…"
"Bukan, itu tidak benar, oke!? Tujuan utama Abang adalah bermain denganmu! Tujuan ini baru muncul setelah Abang kepikiran 'Oh iya'!"
"Sungguh?"
"Sungguh!"
"Kalau Abang bohong, Abang harus minum bensin, oke."
"I-Iya…Abang tidak bohong kok, jadi tidak apa-apa." Saito masih meningkatkan kewaspadaannya.
"Kalau begitu, Shisei akan memaafkan Abang." Shisei mengusap wajahnya ke dada Saito.
Shisei menutup matanya seperti dia merasa baikan, persis seperti anak kucing manja. Namun, Shisei sudah siap membuat Saito meminum bensin kalau ada dorongan, jadi kamu tidak boleh lengah saat berada di sekelilingnya. Di saat yang sama, Reiko meletakkan dagunya di satu tangan, dan mulai berpikir.
"Pekerjaan paruh waktu, ya... Apa ada sesuatu yang dapat Tante biarkan kamu kerjakan, Tante penasaran..."
"Aku tidak keberatan kalau harus bersih-bersih kantor Tante atau semacamnya."
Namun Reiko menyipitkan matanya terhadap usulan Saito.
"Kamu harus lebih menyadari posisimu sebagai seorang pria di keluarga Hojou. Terutama kamu, yang akan menjadi kaisar yang menggantikan Ayah. Tidak mungkin Tante bisa memintamu melakukan pekerjaan yang aneh."
"Bersih-bersih itu juga pekerjaan yang penting."
"Namun, seekor singa dan kelinci itu berbeda. Raja harus mengambil jalan sebagai raja. Kamu juga sudah dipaksa menikahi seorang gadis kampungan…"
"Apa jangan-jangan Tante menentang pernikahan itu?"
"Tentu saja, Tante maunya kamu itu…" Reiko menatap ke arah Shisei.
Shisei kemudian menggelengkan kepalanya, yang membuat Reiko menghela napas.
"Begitulah, ngomong-ngomong. Tante jadi ingat, departemen kami yang melokalisasikan gim kami sedang mengalami sedikit kesulitan sekarang. Mereka kesulitan menemukan penerjemah yang baik untuk pelokalisasian karena bahasa khusus bukanlah bahasa yang paling banyak dipakai di luar sana."
"Kalau pengguna bahasanya sedikit, apa melokalisasikannya akan memberikan banyak keuntungan…?"
Kalau tidak banyak orang yang menggunakan bahasa itu, penjualan gim ini seharusnya tidak begitu menguntungkan.
"Itu salah satu jenis pekerjaan filantropis. Kami mengabaikan biayanya dan membiarkan mereka menggunakan sistem kunci, dan sebagai imbalannya Hojou Group akan menerima seluruh infrastruktur TI (Teknologi Informasi) dari negara itu."
"Itu tidak terdengar seperti pekerjaan filantropis bagiku..."
Ini lebih seperti memperbudak peradaban yang belum berkembang. Tidak mungkin Hojou Group, yang rasional dan beralasan seperti semestinya, akan bekerja demi entitas nasional.
"Bisakah kamu menghafal bahasa mereka dalam waktu tiga hari?" Reiko menyuarakan permintaan konyol.
"Tiga hari? Jangan konyol, ah, Tante." Saito mengangkat bahunya, dan perlahan mengangkat satu jarinya. "…Semalam saja. Cuma itu waktu yang aku butuhkan."
Reiko menyeringai.
"Ini baru keponakan yang Tante kenal dan sayang. Kamu benar-benar berbeda Abangnya Tante yang bodoh itu. Andai saja kamu itu anak kandung Tante."
Shisei mengangguk.
"Kalau begitu Abang akan menjadi abang yang yang berhubungan darah langsung dengan Shisei."
"Kitu sudah cukup banyak berhubungan darah, bukan?"
"Shisei ingin kita terhubung lebih dari itu. Kalau ini masih belum terlambat, Shisei ingin ditusuk dengan pipa (batang), agar darah kita bisa bercampur."
(TL Note: Ngomong apa kamu, Dek?)
"Itu memang sudah sangat terlambat kalau kamu minta pada Abang." Saito mengambil selangkah menjauh dari Shisei.
"Melokalisasi seperti itu akan digaji mahal, dan Tante akan menyiapkan semua bahan dan data yang kamu butuhkan, serta ruang kerjanya. Tante cuma punya satu syarat."
"Apa itu?"
Reiko menatap Saito, dan kemudian menatap Shisei.
"Tante ingin kamu bekerja di sini."
"Kalau cuma menerjemahkan saja, aku juga bisa melakukannya di rumah."
"Ini syarat yang mesti terpenuhi. Kalau kamu tidak menerimanya, Tante tidak akan menggajimu."
Sepertinya Saito tidak punya ruang untuk berdebat di sini. Saito tidak tahu apa niat Reiko yang sebenarnya, tetapi ia pasti tidak akan mendapatkan apa-apa dari protes yang tidak perlu.
"…Dimengerti, aku akan datang ke sini saat aku bekerja."
"Anak yang baik. Kamu cuma perlu mendengarkan Tante, dan semuanya akan baik-baik saja." Reiko tersenyum, dan dengan lembut mengelus kepala Saito.
Mendorong aspirasi dan keinginan sendiri pada orang lain merupakan sesuatu yang Reiko dapatkan dari Tenryuu, atau sebagai tradisi dari Keluarga Hojou.
"Ayah mungkin mengincar ilusi cinta pertamanya, dan itu sih urusan Ayah, tetapi ... aku sih hidup untuk putriku yang imut." Reiko bergumam.
Setelah kembali ke ruang belajarnya, Saito menyiapkan bahan yang diperlukan. Ia membawa sebuah buku referensi kosakata, sebuah buku pelajaran mengenai tata bahasa, sebuah kamus, dan sebuah contoh buku kerja ke ruang tersebut. Selain itu, ia juga membawa novel-novel modern dalam bahasa itu, buku-buku bisnis, buku-buku sastra klasik, dan buku-buku sejarah yang ditulis dalam bahasa Jepang. Meskipun ia berada di peringkat 3 besar angkatannya sejak ia masuk SMA, ini merupakan pertama kalinya ia benar-benar belajar di ruang belajarnya sendiri.
"Nah sekaranglah… waktunya untuk memulai ini, aku rasa."
Saito membuka buku referensi kosakata, dan membolak-balik halaman. Ia mengarahkan pandangannya ke kertas itu, mengukir kata-kata dan terjemahan di kepalanya, dan menghafal semuanya secara langsung. Saat organ tubuhnya memanas, bola matanya berhenti bergerak, karena ia malah mengambil gambar mental dari seluruh halaman, dan meningkatkan efisiensinya.
Saito telah melintasi wilayah manusia normal secara efektif. Ia bekerja dengan kecepatan seperti komputer, tetapi bahkan mengalahkan neuronnya di beberapa titik. Percikan api berkelap-kelip di antara sinyal-sinyal listrik sel-sel otaknya. Setelah ia menghafal banyak kosakata, ia pindah ke tata bahasa, dan hubungan antar kosakata. Dengan menggunakan contoh buku kerja, ia mampu mempelajari berbagai pola, kemudian melanjutkannya dengan linguistik kontrastif untuk menciptakan gradasi konsep dan posisi.
"A-Aku tidak percaya ini… Tidak aku sangka aku akan melihatmu belajar begini…"
Saito pasti sangat fokus, karena ia bahkan tidak menyadari kalau Akane muncul di sampingnya sampai dia angkat bicara. Biasanya, Akane tidak akan pernah menginjakkan kaki di dalam ruang belajar Saito atas keinginannya sendiri.
"Apa terjadi sesuatu!? Apa kamu akan meninggal!?"
"Apakah kalau aku belajar itu hal yang sangat besar itu sampai-sampai kamu akan khawatir kalau aku sekarat?" Saito meletakkan buku referensi itu di atas meja.
"Maksudku, ketika orang lain sedang belajar, kamu selalu seperti ‘Aku? Hm, aku berbeda dari serangga seperti kalian, jadi aku tidak perlu belajar?’, seperti kamu meremehkan kami…"
"Gambaran macam apa yang kamu punya tentangku? Aku tidak mau bertemu dengan cowok yang begitu."
Namun, Saito juga tidak dapat sepenuhnya menyangkal bahwa ia mungkin memiliki pemikiran yang sama dari waktu ke waktu.
"Cuma saja ada satu bahasa yang ingin aku pelajari."
"Bahasa Inggris?"
"Aku sudah menghafal semua itu."
"Semua itu…?"
"Semuanya. Mulai dari isi kamus, tata bahasa, contoh-contoh, sampai keseluruhan dari dua belas ensiklopedia. Akan merepotkan kalau aku tidak bisa membaca semua buku bahasa Inggris yang belum diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang."
Akane terhuyung mundur.
"Apakah ada gunanya kamu pergi ke sekolah?"
"Sekolah itu penting, kamu tahu? Karena aku ini masih 18 tahun, aku tidak bisa belajar semuanya dari buku, jadi suasana hati dan komunikasiku perlu dipelajari di sekolah dengan orang lain di sekitarku."
"Apa yang kamu katakan barusan jelas tidak membuatmu terdengar seperti anak berusia 18 tahun. Apa kamu punya ingatan tentang kehidupanmu sebelumnya atau semacamnya?"
"Aku tidak percaya pada hal semacam itu."
"Seluruh keberadaanmu itu merupakan sesuatu yang masih sulit aku terima."
"Betapa kasarnya. Memang begitulah kami orang-orang dari Keluarga Hojou." Saito mengangkat bahunya.
Karena ayah Saito tidak punya kemampuan yang menguntungkan bagi Keluarga Hojou, beliau diusir, dan sekarang terpaksa bekerja di industri rumahan sebagai karyawan biasa. Saito sekarang sedang melanjutkan untuk menempatkan sebuah novel dalam bahasa Jepang dan bahasa lainnya ke samping satu sama lain. Ia sedang membaca isi kedua buku itu, lalu ia melanjutkan ke teks.
"Apa yang sedang kamu lakukan…?"
"Karena aku sudah selesai menginput kosakata dan tata bahasa, aku tidak membandingkan novel asli dengan novel terjemahan. Dengan begini, kedua buku itu bercampur menjadi satu, dan aku bisa membuat sinopsis yang utuh di kepalaku."
Untuk membantu menjelaskan ini, Saito memijat pelipisnya.
"Aku tidak tahu apa yang kamu katakan."
"Sekarang aku cuma perlu memperkuat daya ingatku sebelum tidur, dan aku akan selesai."
Mata Akane terbuka lebar.
"Kamu berencana belajar suatu bahasa baru dalam satu malam!?"
"Tepat. Aku tidak punya banyak waktu."
Kalau Saito membuang-buang waktu, cincin yang ia rencanakan untuk dibeli mungkin akan terjual pada saat ia sudah mendapat cukup uang. Di sana, Akane menunjukkan keluhan frustrasi.
"Aku ingin kamu… ada di dalamku…"
"Terdengar mesum."
"Bu-Bukan itu maksudku! Apa kamu ini orang mesum!?" Akane menjadi sedikit merah.
Seakan-akan untuk melindungi tubuhnya sendiri, Akane pindah ke sudut ruangan, tetapi karena pintunya berada di ujung yang berlawanan, dia menghalangi jalan keluarnya. Dia jelas merupakan tipe orang yang selalu menggali kuburannya sendiri.
"Aku mengatakan kalau aku ingin otakmu! Aku ingin segera melepaskannya dari kepalamu, dan menanamkannya ke kepalaku!"
"Menakutkaaaan!" Saito merasakan seluruh tubuhnya menggigil.
Jantung Saito tidak berpacu karena kegirangan, tetapi ini murni karena teror.
"Apa masalahnya, ini bukan seperti kamu akan kehilangan apa-apa."
"Aku akan kehilangan banyak hal. Aku bukan makhluk yang omnipoten yang dapat menumbuhkan kembali otaknya."
"Ikan hiu dapat menumbuhkan kembali giginya bahkan kalau kamu mencabutnya, bukan? Buaya juga akan mendapatkan gigi baru setiap saat."
"Aku bukan ikan hiu ataupun buaya."
Meskipun Saito mencapai nilai yang lebih tinggi daripada rata-rata orang, tubuhnya tetaplah tubuh manusia. Saito benar-benar berharap kalau Akane tidak mengharapkan hal yang sama darinya seperti yang dikenal umum untuk ikan ataupun reptil.
"Dan juga, kalau kamu menanamkan otakku ke kepalamu, kamu akan berhenti menjadi Akane, dan malah menjadi 'Saito yang telah menguasai tubuh Akane', bukan? Apa kamu yakin akan hal itu?"
Mendengar logika ini, Akane menahan napasnya.
"I-Itu masuk akal! Aku hampir terjebak ke dalam umpanmu! Kamu tidak akan mendapatkan tubuhmu!"
"Dan aku juga tidak akan memberikan otakku padamu."
Mereka berdua saling melotot satu sama lain. Saito kepikiran sendiri. Apakah semua pasangan suami istri di dunia ini membicarakan pertukaran bagian tubuh itu hingga larut malam seperti yang mereka lakukan? Untuk melindungi otaknya yang berharga di masa depan, ia mungkin harus tidur sambil mengenakan helm.
"Ngomong-ngomong, mengapa kamu tiba-tiba mulai belajar bahasa baru? Apakah kamu berencana untuk bepergian ke luar negeri atau semacamnya?" Akane memiringkan kepalanya.
"Tidak, tidak juga."
"Lalu mengapa?"
"Itu… iya, kamu tidak usah khawatir tentang itu. Tidak ada hubungannya denganmu juga."
Akane menunjukkan penghinaan yang jelas setelah menerima jawaban itu.
"Aku tahu kalau itu tidak ada hubungannya, tetapi aku tetap tidak suka sikap itu! Katakan padaku apa alasannya!"
"Aku menolak. Ini bukan perkara yang besar kok."
Saito terlalu malu untuk mengatakan kalau ia ingin membelikan hadiah untuk Akane, dan ia ingin merahasiakan hal ini untuk membuat Akane terkejut.
"Kalau ini bukan perkara besar, kamu seharusnya tidak masalah memberi tahuku, bukan!? Ungkapan saja! Sekarang juga!" Akane dengan kasar mengguncang lengan Saito.
Waktu belajar telah berakhir untuk hari itu, sehingga Saito dan Shisei langsung menuju ke rumah Shisei. Dijemput oleh mobil mewah berwarna putih jelas tidak membuat Saito merasa seperti ia berangkat ke tempat kerja paruh waktu ini. Tentu saja, sopir pembantu itu masih ceroboh seperti sebelumnya, yang membuat Saito merasakan dorongan untuk menggunakan moda transportasi lain. Meskipun begitu, Shisei tidak akan membiarkan itu terjadi. Dia langsung menempel ke dada Saito, saat mereka terguncang bolak-balik di dalam mobil, tidak membiarkan Saito melarikan diri.
Setelah tiba di kediaman itu, Saito dipandu ke kamar Shisei. Di atas meja putih yang biasa Shisei gunakan sekarang ada sebuah laptop baru. Di sebelahnya ada rak buku dari kayu mahoni, berisi bahan-bahan yang dibutuhkan untuk menerjemahkan.
"Apa Tante tidak ada di sini hari ini?" Saito bertanya pada Shisei.
"Mama tampaknya ada rapat di luar. Mama kalau bahwa dia punya gim serta perangkat lunak pendukung terjemahan, dan dokumen spesifikasi semuanya disimpan di laptop."
"Sangat membantu sekali. Abang cuma akan mengganggumu di sini, jadi Abang akan bekerja di ruangan yang berbeda." Saito hendak mengambil komputer, dan tidak lama Shisei membuka kedua tangannya, menghalangi jalan Saito.
"Tidak bisa. Abang harus bekerja di sini."
"Kamu tidak akan bisa bersantai kalau ada Abang di sini, bukan?"
"Shisei bisa bersantai terlebih kalau Abang ada di sini. Kita akhirnya dapat menghabiskan waktu bersama, jadi berpisah seperti itu tidak masuk akal."
"Maksud Abang, kalau kamu tidak masalah dengan itu, maka Abang tidak keberatan." Saito meletakkan komputer itu lagi, dan duduk di kursi.
Tepat setelah itu, Shisei duduk di pangkuan Saito.
"Bisakah kamu tidak duduk di sini seakan-akan itu merupakan kejadian yang wajar?"
"Pangkuan Abang itu milik Shisei."
"Tidak. Abang tidak bisa bekerja kalau begini."
"Abang tidak perlu bekerja, Shisei yang akan menerjemahkannya."
"Bisakah kamu tidak dengan santainya mencuri pekerjaan Abang?" Saito mengangkat Shisei, dan melemparkannya.
"Ahhh~." Shisei berguling-guling di karpet.
Saito lanjut mengebut komputer itu. Memindai wajah dan sidik jarinya, ia masuk (log in). Ini mungkin untuk melindungi perangkat lunak gim dari segala macam pencurian. Namun, fakta bahwa mereka telah memindai wajah dan sidik jari Saito itu sangat menakutkan baginya, sehingga ia tidak dapat mengagumi tingkat keamanan itu. Mereka mungkin juga telah menyimpan data iris dan gen Saito. Saito kemudian menyalakan perangkat lunak penerjemahan untuk mengujinya, lalu ia tiba-tiba merasakan sesuatu yang basah menyentuh lehernya.
"Eeek!?" Saito berbalik kaget.
"Abang ini lucu sekali. Apa ini mengejutkan Abang?" Shisei menjulurkan lidahnya, dan mencondongkan tubuh ke arah Saito.
Shisei tampaknya menjilat leher Saito begitu.
"Abang datang ke sini buat bekerja! Bisakah kamu tidak mengganggu Abang?"
"Meladeni Shisei adalah salah satu bagian dari pekerjaan Abang."
"Abang tidak ingat pernah menerima permintaan semacam ini!"
Shisei memeriksa Saito dengan cermat.
"Bahkan kalaupun Abang tidak, ini merupakan kesepakatan yang tidak diucapkan. Shisei bisa saja mengambil alih pekerjaan itu dan memberi tahu Mama."
"Erk..." Saito panik.
Biasanya, Shisei siap untuk mendukung Saito, tetapi hari ini dia sangat memaksa.
"Apakah kamu... merajuk? Karena Abang bekerja paruh waktu untuk membelikan Akane hadiah?"
"Bukan. Shisei tahu ini perlu untuk menyenangkan hati Akane, dan kemudian akan menjamin kehidupan yang lebih damai buat Abang."
"Jadi kamu juga bahkan tahu tentang itu..."
Itulah Shisei yang kamu harapkan, dia punya kemampuan untuk menerawang segalanya. Shisei meletakkan kedua tangannya ke pangkuan Saito, menatap Saito seperti dia memohon.
"Tetapi, pikirkanlah tentang perasaan Shisei. Sejak Abang menikah, waktu yang Abang habiskan bersama Shisei berkurang secara drastis. Shisei tahu ini demi mimpi Abang, tetapi aku masih merasa kesepian."
"Shisei..." Saito merasa menyesal.
Karena Shisei unggul dalam segala hal yang dia lakukan, akan mudah untuk melupakannya, tetapi Shisei masihlah seorang manusia, dan bahkan seorang gadis muda. Shisei juga punya emosi, jadi jika dia tidak dapat menghabiskan waktu bersama keluarganya lagi, dia akan secara alami akan merasa begini.
"Maaf, kalau Abang tidak sopan." Saito meraih tangan Shisei, yang menggelengkan kepalanya.
"Bukan salah Abang, kok. Abang sudah berusaha keras untuk beradaptasi dengan lingkungan baru Abang."
"Kamu terlalu baik pada Abang, bukan?"
Kalau Shisei itu kakak sepupunya, Saito mungkin tidak akan berguna.
"Shisei juga ingin dimanjakan oleh Abang."
"Kalau saja ada yang bisa Abang lakukan sebagai permintaan maaf…"
"Sebelah sini." Shisei menarik tangan Saito, ke arah tempat tidur.
Ini merupakan ranjang yang mewah dengan kanopi, dibungkus dengan seprai yang nyaman, sehingga Shisei yang bergaya gotik tampak seperti seorang putri kerajaan sungguhan. Shisei membuka kedua tangannya, dan bertanya.
"Abang, tidurkan aku seperti yang dulu Abang lakukan."
(TL Note: Tidurkan ya, bukan Tiduri.)
"Mau bagaimana lagi."
Saito berbaring di ranjang itu, menerima pelukan Shisei. Saito disambut oleh perasaan yang lembut dan halus. Shisei menjerat kakinya ke Saito. Aroma wangi yang mirip aroma susu menggelitik hidung Saito. Shisei membenamkan wajahnya ke dada Saito, dan mengambil napas dalam-dalam.
"Aroma Abang… merupakan keberkahan… Berpelukan dengan Abang begini terasa menyenangkan…" Shisei mulai bersenandung.
"Ya ampun…"
Saito tahu kalau Shisei tidak memberikan makna yang berbeda pada kata-kata itu, namun tetap saja ia merasa malu. Meskipun mereka itu anggota keluarga, dan sudah adik-kakak kandung, Shisei itu terlalu cantik.
"Elus kepala Shisei."
"Begini?"
"Mmm…"
Ketika Saito dengan lembut membelai kepala Shisei, Shisei menutup matanya. Dengan ekspresi yang mengantuk, Shisei juga mengusapkan kepalanya ke tangan Saito. Ritme pernapasan mereka tumpang tindih, dikarenakan segala sesuatu di sekitar mereka menjadi sunyi. Terbungkus dalam suhu, aroma, dan detak jantung orang yang telah mereka kenal selama bertahun-tahun, kesadaran mereka pun perlahan mencair. Pada akhirnya, mereka berdua tertidur begitu saja, dan Saito belum membuat kemajuan apapun terhadap pekerjaannya.
Karena Akane mendengar suara pintu depan terbuka, dia meninggalkan ruang belajarnya, dan menuruni tangga ke lantai dua, berpapasan dengan Saito yang masih berseragam saat ia melepas sepatunya.
"Kamu pulang terlambat lagi hari ini. Apa kamu mengambil jalan memutar saat perjalanan pulang?" Akane bertanya, sehingga Saito menunjukkan wajah canggung.
"Aku punya beberapa urusan yang harus diurus."
"Urusan? Urusan apa sih?"
"Tidak penting kok."
Sekali lagi, Saito bertingkah aneh. Saito tiba-tiba mulai rajin belajar, dan sering pulang terlambat setiap hari. Sebelumnya, Saito sangat menantikan masakan buatan tangan Akane, namun malam ini ia bilang kalau ia tidak membutuhkannya.
"Aku lelah, jadi aku akan pergi mandi dan tidur."
"Ah…"
Saito melewati Akane. Aroma wangi tercium ke hidung Akane pada saat itu. Aromanya tidak seperti makanan, atau shampo yang mereka gunakan di rumah, dan bahkan tidak seperti aroma Saito sendiri. Itu aroma wanita lain.
—Apa ia selingkuh dariku!?
Akane berpikir sejenak, tetapi dengan cepat menggelengkan kepalanya. Ini bahkan tidak dapat disebut perselingkuhan. Mereka cuma menikah di mata hukum. Merupakan hak Saito sendiri dengan siapa ia berselingkuh, atau berapa banyak simpanan yang ia simpan untuk dirinya sendiri. Dikatakan begitu... Akane tidak bisa mengabaikan ini. Perasaan suram dan kabur memenuhi dadanya. Memang benar kalau mereka tidak menikah karena cinta, tetapi mereka tinggal bersama untuk mewujudkan impian mereka sendiri, jadi diberi tahu tentang hal semacam itu merupakan hak Akane.
Mungkin akan lebih baik kalau mereka mendiskusikan segala sesuatu di belakang layar, dengan Saito memberi tahu Akane setidaknya nama dari wanita itu, sehingga kakek-nenek mereka tidak akan curiga. Saat Akane memikirkan hal itu, Saito telah meninggalkannya, dan menghilang. Di dalam ruang belajar Saito, Akane dapat mendengar suara dari Saito melakukan sesuatu. Akane bergegas menaiki tangga, dan membuka pintu dengan banyak tenaga.
"Hei, aku masih belum selesai bica—."
Di dalam ruangan, Saito saat ini sedang berganti pakaian dari seragamnya ke pakaian saat rumah. Tak lama setelah melihat ini, Akane berteriak, dan menutup pintu.
"Mengapa kamu ganti pakaian di sini?!"
"Karena ini ruanganku!?"
"Kamu bisa ganti pakaian di depan lemari bajumu, kamu tahu!?"
"Ini kan ruanganku, mengapa aku meribetkan diriku sendiri begitu!"
Meskipun cuma melalui pintu, Akane dapat mengetahui betapa bingungnya Saito. Tentu saja, Akane pun juga begitu. Tubuh setengah telanjang Saito membakar retina Akane. Setelah suara-suara di dalam ruangan menghilang, Akane dengan hati-hati membuka pintu. Saito selesai berganti pakaian, dan sekarang meringkuk di belakang kursi. Ia tampak seperti seorang prajurit yang menderita GSPT (Gangguan Stres Pasca-Trauma).
"…Mengapa kamu bersembunyi?" Akane bertanya.
"Karena kamu sedang marah…"
"Aku tidak akan membunuhmu. Meskipun, sesuatu yang sangat buruk mungkin akan terjadi."
"Aku akan keluar sejenak." Saito terhuyung mundur.
Saito menunjukkan tanda-tanda sudah bersiap untuk melompat keluar jendela, tetapi ini lantai dua. Namun Akane menghalangi pintu itu, dan menyilangkan tangannya.
"Jadi!? Berapa banyak simpanan yang kamu punya?!"
"Simpanan!?"
"Kamu punya, bukan!? Bahkan kalau kamu berpura-pura bodoh, aku dapat menerawangmu! Aku tahu kalau kamu punya satu miliar anak di luar sana!"
"Obat apa yang kamu minum, sih…? Apa kamu baik-baik saja…?" Saito menunjukkan ekspresi yang benar-benar khawatir.
Mungkin mengatakan satu miliar begitu terlalu berlebihan. Meskipun begitu, Akane tidak akan dapat tidur nyenyak kalau dia tidak berhasil mengungkap kebenaran dari Saito. Akane menyatakan diri ke arah Saito.
"Kalau kamu tidak berencana untuk mengaku, maka aku akan melancarkan ideku sendiri..."
"A-Apa…?" Saito menelan ludah.
"Em…Aku akan…begini…Aku akan melakukan sesuatu yang sangat mengerikan!"
"Jadi kamu sendiri bahkan belum kepikiran!?"
"Di-Diamlah! Aku punya ide yang masih samar-samar! Rencana terperincinya harus menunggu nanti! Jangan salahkan aku kalau kamu mulai menangis!" Akane menodongkan jari telunjuknya ke ujung hidung Saito.
Semua ini terlalu berlebihan buat Akane, dia hampir menangis sendiri.
"Mana mungkin aku punya simpanan. Prioritas utamaku ialah mewujudkan impianku, jadi aku tidak bisa mengambil risiko kalau Kakek mengetahui apapun. Bukankah kamu juga sama?"
"I-Iya, tetapi…"
Kalaupun ada, Akane tidak tertarik pada cinta. Kalau dia tidak dipaksa menikah dengan Saito ini, Akane mungkin tidak akan pernah memikirkan hal ini. Saito membuka buku di mejanya, dan memunggungi Akane.
"Aku tidak akan mengganggumu, jadi tinggalkan aku sendiri."
"……!" Sambil menggertakkan giginya, Akane meninggalkan ruangan itu.
Di toko manisan Jepang favorit neneknya, Akane meneguk teh hijaunya. Dia memegang mangkuk di tangannya, meminum sisanya, dan menghela napas panjang. Kehangatan teh itu memenuhi tubuhnya. Sekarang pada hari itu, dia mengerti mengapa orang dewasa akan meminum alkohol.
"Itu merupakan salah satu cara minum yang energik. Permisi, bisakah aku minta secangkir teh hijau lagi?"
Nenek Akane, Chiyo, memanggil seorang karyawan untuk memberi pesanan lainnya. Akane kemudian mengambil pangsit manis dari piringnya, dan mengunyahnya dengan rasa jengkel yang memenuhi setiap gerakannya. Dia mengambil rasa manis dari bunga sakura, serta pasta kacang merah yang berkualitas tinggi.
"Baru-baru ini, Saito pulang terlambat. Ia bahkan tidak mau memakan makan malam buatanku lagi, tetapi ia juga tidak mau memberi tahuku apa yang ia lakukan dan ke mana." Akane mengeluh, Chiyo menunjukkan senyum yang berseri-seri.
"Jadi kamu mau Saito-san memakan masakan buatanmu, begitu."
"Bu-Bukan…! Bukan begitu! Aku cuma tidak ingin ia menyembunyikan sesuatu dariku!"
"Apa kamu khawatir dengan Saito-san?"
"Tentu saja tidak!"
"Menjadi cucunya Tenryuu-san, Saito-san itu pemuda yang luar biasa. Nenek yakin kalau ia pasti populer di kalangan anak perempuan?"
"Ya ampun! Berhenti menggodaku, Nenek! Bukan begini maksudku!" Wajah Akane memanas seperti panas api neraka.
"Apa tidak ada gadis lain yang menggebet Saito-san?" Chiyo memeriksa Akane dengan cermat.
Akane terbayang wajah Himari, dan dengan canggung membuang mukanya.
"A-Ada…sih, tetapi…aku rasa dia tidak akan bertemu dengan Saito. Jika sesuatu terjadi antara dia dan Saito, dia pasti akan langsung memberi tahuku. Pada hari Saito pulang terlambat, dia sedang bekerja paruh waktu di kafe."
"Begitu, jadi kamu penasaran apakah ada sesuatu yang terjadi di antara mereka berdua, dan memeriksanya langsung dari gadis itu."
"Erk…"
Akane segera mengonfirmasi itu melalui telepon dengan Himari malam itu juga. Akane sendiri bahkan tidak tahu mengapa dia melakukan hal ini, tetapi dia tidak bisa tinggal diam. Chiyo menghela napas pelan.
"Seperti biasanya, kamu buruk dalam menyatakan perasaanmu sendiri secara terbuka, Akane."
"Bukan itu masalahnya, aku selalu memberi tahu Saito ketika aku marah." Akane menekankan hal ini, tetapi Chiyo cuma menunjukkan senyum masam.
"Kamu tahu, Nenek juga tidak bisa jujur ketika Nenek seusiamu. Ketika Tenryuu-san mengajak Nenek berkencan, Nenek tidak bisa bilang betapa Nenek sangat menantikan hal itu. Nenek sebenarnya sangat ingin pergi, tetapi Nenek terlalu malu karena ia akan menganggap kalau Nenek itu orangnya lengket dan murahan."
"Eh...Alasan semuanya tidak berjalan mulut di antara Nenek dan kakeknya Saito itu...karena Nenek sendiri?" Mata Akane terbuka lebar.
Chiyo dengan canggung berdeham.
"Itu juga salahnya Tenryuu-san karena begitu agresif dengan ajakan itu, kamu tahu? Meskipun begitu... Iya, tidak salah lagi kalau Nenek yang membuat situasinya menjadi lebih buruk. Lagipula Nenek menyemprotkan satu tong air padanya…"
"Apa yang terjadi di antara kalian berdua!?"
Kedengarannya seperti Chiyo punya perangai yang pendiam saat dia masih muda. Melihat wanita tua yang bermartabat dan rasional ini menjadi seperti sekarang ini, itu memang sulit untuk dibayangkan.
"Tunangan Tenryuu-san itu, setidaknya kalau dibandingkan denganku, tidak diragukan lagi itu gadis yang jujur. Dia mencintai Tenryuu-san, dan menunjukkan kepadanya semua cinta ini. Nenek, yang bahkan tidak dapat menyuarakan perasaan jujur Nenek, tidak ada harapan untuk bersaing dengannya."
"Nenek…"
Melihat neneknya dengan tatapan sedih di matanya mengirimkan rasa sakit yang tajam ke dada Akane. Perasaan rumit memenuhi hati Akane, mengetahui penyebab apa yang membuat cinta di antara Chiyo dan Tenryuu tidak berhasil, saat dia duduk di sini.
"Itulah sebabnya, kamu tidak boleh berbohong, Akane." Chiyo meraih tangan Akane, dan membelainya dengan lembut.
"Hubunganku dengan Saito itu...berbeda dari yang Nenek dan Kakek Mertuaku miliki."
Daripada Akane yang sebagai istri Saito, Himari itu jauh lebih mirip dalam posisi Chiyo pada saat itu.
"Benarkah? Letakkan tanganmu di dadamu, dan pikirkanlah."
"Bahkan tanpa melakukan itu, jawabannya sudah jelas bagiku. Saito dan aku itu musuh. Di sekolah, di rumah, dia itu selalu menghalangi jalanku…"
Chiyo bertanya pada Akane.
"Mengapa kamu merasa kalau dia menghalangi jalanmu? Mengapa kamu tidak bisa mengabaikan Saito-san saja?"
"Itulah… yang ingin aku ketahui…" Akane melihat ke bawah ke mejanya.
Jam pelajaran keempat telah berakhir, dan tepat saat Akane hendak berangkat ke kafetaria sekolah, Himari melompat ke arahnya, menangis.
"Akaneeeeee! Saito-kun menolak ajakan kencanku lagi!"
"Cup cup... Kamu benar-benar tidak usah menyerah."
Bahkan saat menghibur Himari, Akane merasa seperti dipeluk oleh Himari daripada sebaliknya. Kemudian lagi, dengan keunggulan Himari dalam hal tinggi badan dan ukuran payudara, tidak bisa diapa-apakan lagi.
"Aku ingin mentraktir Saito-kun sesuatu karena ia selalu membantu aku belajar! Ia itu sangat membosankan, bukan!? Ia bahkan tidak menggigitnya sama sekali! Namun begitu, itulah yang aku sukai dari dirinya!"
"Selama kamu masih terus melakukannya, itulah yang terpenting..."
Akane tidak yakin apakah dia baru saja merasa terhina, atau terpaksa untuk mendengarkan bualan Himari. Himari merupakan gadis yang sangat menawan dan memikat, itu benar-benar sebuah misteri mengapa Saito tidak terpikat padanya. Dilihat dari hal ini, Himari benar-benar bukanlah alasan mengapa Saito terus pulang terlambat akhir-akhir ini.
—Kalau begitu, siapa dong yang Saito temui…?
Sambil memikirkan hal itu, Akane meninggalkan kelas bersama Himari. Shisei baru saja masuk, jadi mereka saling bertabrakan.
"Maaf." Shisei meminta maaf, dan berjalan menjauh.
Dari rambut Shisei yang panjang tercium aroma yang tidak asing.
"Aroma ini…" Akane menghentikan langkahnya.
Itu merupakan aroma yang sama yang Akane dapatkan dari Saito belakangan ini. Bahkan setelah tidur di ranjang yang sama sepanjang malam, aroma itu tidak akan hilang.
"Abang, cuacanya cerah hari ini, jadi mari kita makan siang di halaman." Shisei mengaitkan lengannya dengan Saito, dan menggosokkan tubuh kecilnya ke tubuh Saito.
Mereka berdua memang selalu cukup dekat, tetapi hari ini mereka terasa lebih intim. Karena Shisei seumuran dengan Saito, mereka memang tampak seperti pasangan. Akane jadi merasa gelisah, dan mendekati mereka berdua. Akane memelototi Saito, dan membentuk kata-katanya.
"Jangan bilang, kalau kalian..." Akane mulai, cuma untuk menghentikan dirinya sendiri.
Apa yang ingin Akane tanyakan di sana?
—Apakah Shisei-san yang selalu bersamamu akhir-akhir ini?
Namun, itu merupakan keputusan, dan hak Saito sendiri. Mereka berdua selalu bersama sejak mereka masih muda, jadi Akane tidak punya hak untuk menghentikan mereka. Akane tidak ingin memecah belah sebuah keluarga. Tentunya, Saito lebih suka bersama adik sepupunya, daripada tinggal di rumah dengan musuh bebuyutannya.
"A-Ada apa?"
"Ada masalah apa?"
Baik Saito maupun Himari menoleh ke arah Akane. Cuma Shisei yang tetap tenang dengan hal ini, dan cuma mengamati Akane dengan mata berkilaunya. Shisei mungkin sudah mengetahui apa yang Akane rasakan. Meskipun begitu, kata-kata yang tersangkut di tenggorokan Akane tidak mau keluar. Akane tidak ingin disalahpahami karena cemburu. Akane merasa malu untuk menyadari betapa dia terganggu karena musuhnya begini.
"…Tidak ada apa-apa kok." Akane membalikkan wajahnya dari arah Saito, dan berjalan pergi sambil menghentakkan kaki.
Seperti malam sebelumnya, Akane duduk di meja makan sendirian, memakan makan malamnya. Yang Akane punya di atas meja hanyalah sayuran goreng dengan nasi putih. Akane harus memenuhi dirinya sendiri dengan makanan-makanan bernutrisi ini, tetapi dia benar-benar tidak bisa mengumpulkan motivasi untuk makan. Di rumah, Akane selalu memasak demi keluarganya, dan setelah dia menikah, itu semua demi Saito. Akane tidak pernah tahu betapa sedihnya membuat makanan cuma untuk dirinya sendiri, dan memakannya sendirian. Apa Saito juga merasakan hal yang sama, saat ia memasukkan protein ke ramen gelas?
"Si bodoh itu… Apa dia masih belum pulang ke rumah…" gumam Akane sambil melihat ke jam yang tergantung di dinding.
Sudah sangat larut, tetapi Saito masih belum menghubungi Akane. Akane menggelengkan kepalanya.
"Tunggu, bukannya aku ingin Saito pulang atau semacamnya! Aku cuma merasa jauh lebih santai tanpa dirinya! Kami tidak bertengkar, dan aku bahkan dapat menonton segala macam film yang aku inginkan!"
Akane membuat-buat alasan pada tidak ada seorangpun yang ada di rumahnya, karena mereka tersesat dalam suasana ini. Mempertimbangkan kekayaan Keluarga Hojou, Saito mungkin menikmati menu lengkap yang ada di kediaman Shisei, dengan Shisei yang cantik di pangkuannya, dan menggoda, saat Shisei menyuapi Saito. Membayangkannya saja, Akane merasakan amarah yang aneh membara di dalam dirinya.
'Itulah sebabnya, kamu tidak boleh berbohong, Akane.'
Kata-kata neneknya itu kembali terngiang di kepala Akane. Memang benar, kalau menyampaikan amarahnya secara langsung pada Saito seharusnya baik-baik saja. Kecemburuan, kesepian, dan perasaan semacam ini jelas bukan kekuatan pendorong bagi Akane, tetapi dia setidaknya ingin mengajukan satu keluhan pada Saito. Berfokus pada Saito begini sepanjang waktu cuma akan memperburuk nilainya. Akane berpindah untuk mengambil ponsel pintarnya di atas meja...lalu kemudian menyadari.
"Kami…bahkan belum bertukar informasi kontak kami…"
Meskipun mereka itu suami-istri, mereka tidak mengetahui nomor telepon mereka satu sama lain. Akane terlalu malu untuk meminta nomor siswa laki-laki... terlebih lagi nomornya Saito, itulah sebabnya Akane tidak pernah memintanya. Memikirkan apa yang harus Akane lakukan, dia menggunakan aplikasi peta di ponselnya.
Kediaman Shisei cukup besar dan terkenal di sekitarnya, jadi Akane tahu perkiraan lokasinya. Akane melihat ke alamat, dan mencari nomor telepon di buku alamat. Merasa gugup, Akane memasukkan nomor yang telah dia temukan ke dalam ponsel pintarnya. Setelah beberapa kali berdering, sebuah suara yang tampaknya milik seorang wanita muda menjawab.
'Iya, di sini Kediaman Hojou.'
"E-Em...apakah Anda kakaknya Shisei-san?"
'Saya pembantunya. Bolehkah saya menanyakan nama Anda?'
"Aku teman sekelasnya Shisei-san, Sakuramori Akane. Apakah Saito ada di sana?"
'Saito-sama ada di sini, iya...'
Akane mengepalkan tangannya, tebakannya benar.
"Bisakah kamu membiarkan aku berbicara dengannya?"
'Tolong tunggu sebentar.'
Sebuah lagu jingle yang lembut dimainkan. Kedengarannya seperti lagu klasik yang berasal dari tipe barok. Mendapati seorang pelayan yang menjawab telepon mereka, keluarga kaya memang benar-benar berbeda dari orang biasa rata-rata. Akane merasa gelisah saat menunggu, ketika lagu jingle berhenti. Sekarang, Akane akhirnya bisa memberi Saito sebuah omelan. Akane mengambil napas dalam-dalam, dan memulai serangannya.
"Hei, berapa lama kamu berencana untuk..."
'Senang bisa mengobrol denganmu, kalau boleh bilang? Aku ibunya Shisei.’
"Eh…"
Semua amarah Akane yang terhempas, digantikan oleh kepanikan.
'Kamu itu pasangan pernikahan Saito-kun, bukan? Tante telah mendengar banyak dari Shisei dan Ayah.'
"Se-Senang bisa mengobrol dengan Tante, namaku Akane."
Mengapa tantenya Saito yang mengangkat teleponnya dan bukan Saito langsung?
'Maaf, tetapi Saito-kun saat ini sedang sibuk.'
"Cuma sebentar saja tidak apa-apa kok, jadi bolehkah aku bicara dengannya?"
"Tidak boleh."
Ditolak dengan dingin dan nada kasar, Akane terhuyung mundur. Meskipun mereka belum pernah bertemu atau berbicara secara langsung, Akane merasakan permusuhan yang jelas dari tantenya Saito.
"…Apa yang sedang Saito lakukan?"
'Itu tidak ada hubungannya denganmu, bukan? Saito-kun juga akan pulang ke rumah pada akhirnya.'
"Tetapi…"
Wanita di telepon itu menghela napas panjang.
'Katakan... kalian itu dipaksa dalam pernikahan ini, bukan?'
"Iya…"
'Kamu punya hubungan yang sangat buruk dengan Saito-kun sejak kalian berdua masuk SMA, bukan? Namun, kalian terpaksa menikah karena keegoisan Ayah. Tante sedikit simpati pada kalian.'
Namun di balik kata-kata tante mertuanya, Akane tidak merasakan simpati sama sekali. Dengan suara yang memancarkan kebencian yang jelas, Reiko melanjutkan.
'Pernikahan kalian cuma sah di mata hukum. Ini cuma pernikahan palsu, jadi mengapa kamu peduli dengan Saito-kun?'
Tanpa Akane diberi waktu untuk menjawab, panggilan itu terputus. Cuma suara sekilas yang dapat terdengar dari telepon.
"Palsu... Iya, itu memang benar." Akane bergumam, tanpa kekuatan apapun, saat dia menggenggam ponselnya dengan erat.