KuraKon - Jilid 3 Bab 2 - Lintas Ninja Translation

Bab 2
Kencan

Dengan suara dentuman, pintu ruang belajar Saito terbuka. Atau lebih tepatnya — itu terbuka lebar. Akane membawa senjata tumpul di tangannya, sambil terengah-engah. Akane punya mata yang merah, bibirnya terangkat menjadi seringai menakutkan, untuk sesaat dia tampak seperti iblis yang datang untuk membunuh Saito.

"Sekarang! Inilah saatnya bagimu untuk mengajariku!"

"Kamu tidak benar-benar datang ke sini untuk membunuhku kah…?" Saito segera melompat ke arah jendela dengan kursi di tangannya.

Itu merupakan reaksi yang refleksif, seperti habis melihat binatang buas, yang akan menyelamatkan hidupnya di rumah ini, dan bukan pemikiran yang masuk akal.

"Aku tidak akan membunuh sumber informasiku yang berharga..."

"Jadi kamu akan membantaiku tanpa ampun setelah aku memberimu informasi yang kamu inginkan, bukan?"

"Apa sih masalahmu? Aku kan yang membiarkanmu mengajariku, ingat!? Menyerah saja dan lakukan apa yang aku suruh!"

"Ini pertama kalinya aku dipandangi dengan nada yang begitu kuat dan sombong."

"Di-Di-Di-Diamlah!"

Akane membanting senjata tumpulnya—yaitu kamus tebal yang tampak seperti buku referensi—ke bawah meja. Saito tidak bisa menebak apakah pipi Akane merah itu karena dia membawa sesuatu yang begitu berat, atau apakah karena dia malu diajari oleh Saito.

"Baiklah, kalau begitu biarkan aku melihat lembar jawabanmu dari ujian kecakapan yang terakhir."

"Kok tiba-tiba begitu sih!? Mana mungkin aku mau membagikan informasi pribadi seperti itu kepada musuhku! Kamu mungkin akan menggunakan informasi itu untuk melawanku dan membuatku tidak dapat melawanmu!" kewaspadaan Akane terhadap Saito jadi meroket.

"Aku tidak merencanakan sesuatu yang jahat semacam itu, jadi tenang saja. Aku cuma mau melihat mata pelajaran apa yang biasanya kamu mendapatkan nilai yang lebih tinggi."

"Ka-Kamu ingin mengungkapkan segalanya tentang diriku…" Akane memeluk tubuhnya sendiri, lalu menangis.

Saito mengeluarkan tawa 'He he he' yang jahat.

"Bukankah kamu ingin menang melawanku…? Kalau kamu beri tahu kelemahanmu padaku, kamu mungkin akan menemukan cara terbaik untuk mengalahkanku... Aku rasa kamu tidak punya pilihan dalam memilih metode...?"

"Erk…!" Ekspresi Akane jadi menegang, dan dia keluar dari ruang belajar Saito.

Akane segera kembali, dan memperlihatkan Saito, lembar jawabannya yang terlipat rapi dengan tangan gemetar.

"Ja-Jangan... menatapnya terlalu lama..."

"I-Iya…"

Saito cuma ingin membalas Akane untuk semua masalah yang biasanya ia alami, tetapi melihat Akane menderita karena malu, Saito merasa kalau ia melakukan sesuatu yang tidak bermoral. Untuk menebus dosa-dosanya, Saito mengarahkan pandangannya ke lembar jawaban Bahasa Inggris Akane. Karena mereka diuji dengan ujian kecakapan yang sama, Saito mengingat jawabannya.

"Ba-Bagaimana lembarnya…?"

"Karena ketepatan dan jumlah poinmu lebih rendah pada pertanyaan-pertanyaan di akhir, aku rasa kamu ini kehabisan waktu, ya?"

"Ba-Bagaimana kamu bisa tahu itu!?"

"Tulisan tanganmu juga berantakan, sepertinya kamu menulis lebih cepat agar lebih banyak jawaban yang terisi."

"Aku mana sanggup! Satu jam merupakan waktu yang sangat singkat!"

"Jangan menlontarkan keluhan pada sistem dunia ini."

"Jika satu jam itu 5600 menit, aku akan dengan mudah mendapatkan nilai yang sempurna…!" Akane menggigit kukunya.

"Setiap orang dikasih jumlah waktu yang sama, jadi kamu perlu menyelesaikan pertanyaan dalam kerangka waktu itu. Melihat dari tulisan tanganmu, pertanyaan-pertanyaan akhir ini terlalu banyak menghabiskan waktumu. Kamu harus memberikan jawaban yang lebih samar dan melanjutkannya."

"Kalau aku melakukan hal itu dan melakukan kesalahan, aku masih tetap akan kalah melawanmu, bukan!?" Bahu Akane bergetar karena marah.

Kamu masih tetap akan kalah karena kamu pada akhirnya kehabisan waktu…

Saito memikirkan hal itu di dalam hati, tetapi mengatakan hal itu dengan keras sama saja seperti menuangkan lebih banyak minyak ke dalam api yang menyala.

"Kelemahan terbesarmu adalah kamu itu langsung jadi emosional terhadap segala hal."

"Aku tidak begitu kok!" Akane membanting tangannya ke meja.

"Kamu saja sedang emosional sekarang! Apa kamu tidak merasa kasihan dengan meja yang malang ini!?" Saito menjauhkan Akane sedikit dari meja itu, memperlakukannya seperti anjing buas. "Dan begitu kamu jadi emosional, kemampuanmu dalam berpikir akan menderita karena hal itu. Kamu memang biasanya sangat cerdas, tetapi saat ini kamu sudah mencapai negatif 50."

"Kecerdasanku bisa mencapai negatif!?"

"Cuma sebagai kiasan saja. Kamu juga menyadarinya, bukan?"

"Erk…Be-Begitulah…" Akane dengan enggan mengakui hal itu.

Jadi, bagaimanapun juga, kamu menyadarinya ya! Meskipun kamu memintaku untuk membantumu...

Kalau ternyata begitu, Saito sangat berharap kalau Akane mau bekerja sama dengannya sedikit lagi...secara rasional. Saito semakin khawatir kalau Akane mungkin akan membocorkan apapun tentang pernikahan mereka kalau dia terus-menerus panik dengan mudahnya.

"Kelemahanmu itu tampak selama ujian berlangsung. Karena kamu kehilangan poin, semakin kamu panik, penting bagimu untuk menjaga kecepatan yang tetap sehingga kamu mendapatkan kesempatan yang adil untuk menjawab setiap pertanyaan."

"Tetapi, pertanyaan yang berkaitan dengan pemahaman membaca (reading comprehension) membutuhkan waktu yang lama..."

"Baca saja menggunakan ritme."

"Memangnya aku bisa melakukan itu! Pak Guru terkadang dapat menjadi perundung yang sesungguhnya, jadi beliau akan menggunakan banyak kata yang aku tidak tahu!"

"Begitulah cara kerja soal pemahaman membaca, oke. Seperti yang dikatakan...Begitu, karena kamu ini terlalu rajin demi kebaikanmu sendiri, kamu jadi buruk cuma dalam membaca inti dari teks..." Saito mulai berpikir. "Aku rasa akan lebih baik untuk membiarkanmu menangani sesuatu tanpa bergantung pada intuisimu."

Saito mengambil sebuah buku dari rak bukunya, berjudul 'Otot! Otot Kosakata! Pelatihan 30.000 Kata Khusus sampai Ahli!'. Tampak di sampulnya, ada binaragawan yang berotot, membentuk huruf abjad dengan tubuhnya.

"Bu-Buku apaan ini…?" Akane tersentak.

"Sebuah buku referensi yang amat membantu dalam mengembangkan kosakatamu. Jika kamu mampu mengingat 30.000 kata itu, kamu dapat membaca sebagian besar teks berbahasa Inggris."

"Aku tidak bisa mengingat semua itu!"

Saito tertawa terbahak-bahak.

"Kamu sudah pasti bisa mengingatnya. Ingatlah 300 kata setiap hari, dan kamu akan selesai dalam waktu 100 hari."

"Tanganku juga akan lelah pada saat itu! Ah!? Apa ini yang aku pikirkan!? Kamu ingin aku menggunakan tanganku sampai lelah sehingga aku bahkan tidak bisa mengikuti ujian sama sekali!?" Akane sempoyongan ke belakang, saat wajahnya mulai pucat.

"Kalau efisiensimu dalam menuliskannya seburuk itu, maka lihat saja ke kata-katanya, lalu hafalkan."

"Lihat saja…?"

"Karena kita ini manusia, kita paling banyak mengukir dalam ingatan kita kalau kita secara aktif berusaha mengingat sesuatu. Namun, saat kamu menuliskan sesuatu untuk diingat, yang kamu lakukan hanyalah membuat tanganmu mengingatnya, tetapi otakmu tidak akan terstimulasi sama sekali. Semuanya akan sia-sia."

"Tetapi, di sekolah, para guru terus-menerus mengatakan kalau menuliskan semuanya itu penting, dan mereka memberikan kita banyak PR…"

Saito mengangkat bahunya.

"Para guru juga bodoh, cuma itu kok."

"Kamu ini..." Akane menunjukkan ekspresi lelah pada Saito.

"Ini merupakan metode tercepat untuk memperoleh kata-kata yang baru. Pertama, Kamu putuskan kata-kata yang ingin kamu pelajari dalam bahasa Inggris, dan membaca terjemahan bahasa Jepangnya secara berdampingan. Menurutku seratus kata per hari pasti akan berhasil. Selanjutnya, kamu cuma melihat kata-kata yang bahasa Inggris saja, dan sembunyikan terjemahan bahasa Jepangnya dengan tanganmu, lalu menebak artinya. Sampai kamu benar-benar mengingatnya, kamu perlu mengulangi langkah ini lagi dan lagi."

"Ini memang seringnya berhasil kalau menggunakan buku kosakata, ya."

Saito mengangkat jari telunjuknya.

"Di sinilah pentingnya. Keesokan harinya, bahkan sebelum kamu menghafal kosakata baru, kamu revisi kata-kata yang sudah kamu pelajari kemarinnya. Cuma melihat kata-kata yang berbahasa Inggris, lalu menebak artinya. Kemudian kamu beralih ke kata-kata baru, dan besok lusanya, kamu revisi kosakata yang sudah kamu hafal dua hari terakhir."

Akane menelan ludahnya.

"Bu-Bukankah itu berarti…kalau aku melanjutkan ini selama sepekan, aku harus merevisi 700 kata dalam satu hari…?"

"Namun, kalau kamu benar-benar tidak menuliskannya, tanganmu tidak akan menanggung beban apapun kok. Hanya dengan melihat dan mengingat kata-kata, otakmu akan mulai bekerja, jadi kamu akan lebih mudah dalam menghafal kata-kata, dan kosakatamu akan bertambah dalam sekejap mata."

"Apakah ini akan berhasil dengan baik, aku jadi penasaran…" Akane masih terdengar ragu.

"Coba saja dulu sebagai tes, kemudian lakukan selama satu hari. Bahkan tanpa menuliskan kata-kata itu, kata-kata itu akan segera terukir di dalam otakmu."

"…Kalau kamu bohong padaku, aku akan gunakan tubuhmu sebagai kertas saat aku menghafal kosakata." Menembakkan ancaman yang aneh, Akane mulai memelototi buku referensinya.

Aku mungkin mesti membuang semua pulpen minyak yang kita punya di rumah ini…

Saito merasakan bahaya yang merayapi tubuhnya, dan masih terus mengawasi Akane belajar.


Sekitar lima jam kemudian, Akane mengeluarkan suara yang ceria.

"Itu benar! Aku mulai mengingat lebih banyak lagi kosakataku tanpa harus menuliskannya!"

"Benar kan? Usaha yang sia-sia itu cuma membuang-buang waktu semua orang saja, baru tahu kan caranya meretas dunia." Saito tertawa.

Akane mengepalkan tangan, lalu bergumam.

"Jadi yang berbohong sebenarnya itu adalah para guru…Aku harus segera membalaskan dendamku…"

"Memangnya kamu mau merencanakan apa…? Dan juga, mereka juga sebenarnya tidak punya niat yang buruk. Semuanya berawal dari sistem pendidikan Jepang yang busuk di masa sekarang ini."

"Kamu terdengar sangat sombong lagi."

"Karena aku punya hak untuk terdengar begitu."

Akane memberi Saito tatapan jijik, tetapi ia tidak mempermasalahkan hal itu.

"Karena mereka bilang kalau tidak ada cara yang nyata untuk belajar, semua orang jadi menyia-nyiakan upaya mereka karena kerja keras yang setara dengan kemajuannya. Namun, itu hanyalah halusinasi. Ada cara belajar yang lebih manjur—yaitu caraku."

"Seberapa tingginya sih tumpuanmu itu!?"

"Begitu kamu berhenti memikirkan tentang efisiensi, pikiranmu akan langsung terhenti. Sejak zaman kuno, manusia sudah menggunakan alat untuk membuat hidupnya lebih efisien, sehingga hal yang sama juga dapat diterapkan pada saat belajar. Masuk akal, bukan?"

"Memang benar metode belajarmu ini sangat efisien…dan kamu…Be-Begitulah, lumayan jago dalam mengajar, aku rasa…" Akane bergumam, dan mengalihkan wajahnya.

Apa dia barusan memujiku!?

Tubuh Saito dipenuhi dengan ketakutan yang tidak masuk akal. Ia mungkin harus segera menulis wasiatnya nanti pada hari itu, atau mungkin ini sudah terlambat.

"Sebenarnya ini bukan metode yang aku gunakan dalam belajar. Aku tidak pernah belajar mandiri seperti ini."

"Lalu metode belajar ini apa, dong!?"

"Aku telah membaca buku tentang mekanisme ingatan manusia, jadi aku menciptakan metode ini dan mencobanya. Aku telah mengujinya dengan beberapa siswa-siswi, dan memastikan keefektifannya."

"Apakah teman sekelas kita ada yang tahu kalau kamu menggunakan mereka sebagai tikus percobaan?"

"Ngomong-ngomong, orang yang aku uji dengan hasil terbesar itu kamu, Akane. Aku rasa menjadi orang pintar sejak awal itu memang akan meningkatkan hasil."

"Ap…" Akane sempoyongan ke belakang.

Dia mungkin tidak menduga pujian yang datang tiba-tiba ini, dan malah merasa waspada terhadap Saito. Dengan begini, Saito pun menyadari kalau memuji Akane akan membuatnya lebih patuh dalam celaan apapun yang akan mereka lakukan ke depannya.

"Ini sudah larut malam, jadi cukupkan saja sampai di sini lalu tidur."

"Aku belum mau tidur, aku kan masih punya delapan jam lagi sampai sekolah dimulai." Akane berkata dengan mata yang berbinar.

"Tidur! Kalau tidak kamu cuma akan merusak tubuhmu kalau kamu sampai melewatkan waktu tidur yang penting ini!"

"Tidak mau ah, semua kelelahanku ini akan langsung kutularkan padamu, Saito."

"Kutukan macam apa yang kamu kasih padaku…" Saito mencoba mengambil buku referensi dari Akane, tetapi dia memegang erat buku itu seakan-akan buku itu merupakan hartanya yang paling berharga.

Mereka berdua saling menarik buku referensi itu, hingga berubah menjadi bentuk mochi. Saito beristirahat dulu selama sepersekian detik, hingga Akane dapat memasukkan buku referensi itu ke dalam blusnya, lalu menyembunyikannya.

"Se-Sekarang kamu tidak akan bisa mengambilnya dariku, bukan…" Dengan pipinya yang memerah, Akane terengah-engah.

Pakaian Akane sudah berantakan karena percekcokan mereka barusan.

"Sialan... Sangat licik..." Saito menggertakkan giginya.

Saito belum pernah melihat seseorang yang sangat bersemangat dan bertekad dalam belajar. Jelas ini bukanlah pada tingkatan siswa-siswi SMA. Ini seperti orang tua Akane memaksanya untuk belajar sampai-sampai dia tidak bisa melepaskan diri dari belajar lagi.

"Katakan, mengapa kamu begitu matian-matiannya ingin belajar sekeras ini?"

"Kan aku sudah pernah bilang sebelumnya, aku ini ingin menjadi dokter."

"Aku ingat itu. Sekarang aku mau tanya mengapa sih kamu harus banget jadi dokter."

"Itu... tidak ada kaitannya denganmu, bukan?" Akane memelototi Saito dengan jijik.

"Tentu saja tidak ada. Profesi apapun yang kamu tuju, selama aku bisa memenuhi tujuanku dengan pernikahan ini, aku tidak peduli."

"Be-Benar…"

Saito merasa ingin menentang hal itu, tetapi tetap mengungkapkan perasaannya yang jujur.

"Karena Itulah, aku ingin mengenal lebih banyak… tentangmu."

"……!" Mata Akane terbuka lebar. "Ka-Kamu ingin mengenal lebih banyak tentangku…Untuk alasan apa…?"

"Aku tidak punya alasan apa-apa, aku juga tidak punya tujuan maupun niat tertentu dengan hal ini. Aku cuma ingin mengenal lebih banyak. Ketika kamu melihat buku dengan sampul yang menarik, kamu ingin membaca apa yang ada di dalamnya, bukan?"

"A-Aku ini bukan buku…" Akane menundukkan wajahnya, dan pipinya sedikit memerah.

Tentu saja, tubuh Saito terasa panas sampai-sampai ia mulai berkeringat. Ia baru saja menyadari betapa lancangnya pernyataan yang ia biarkan berkeliaran dengan bebas. Itu mungkin cuma akan merusak suasana hati Akane. Dan saat ini, Akane tidak berusaha untuk keluar dari ruangan ini. Sebaliknya, dia menarik napas dalam-dalam, kemudian mengangkat kepalanya.

"…Saat aku masih kecil, aku punya seorang adik cewek, yang umumnya tiga tahun lebih muda dariku."

"Adik cewek…?"

Ini pertama kalinya Saito mendengar hal itu. Ia memang telah bertemu orang tua Akane selama acara sekolah, tetapi ia tidak pernah melihat  adik cewek yang di sekitar mereka.

"Dia memang selalu sangat lemah, dan sering sakit di tempat tidur. Ibu dan Ayah terus-terusan bekerja keras demi membayar biaya rumah sakitnya, itulah sebabnya mereka hampir tidak pulang ke rumah."

"Jadi itu sebabnya kamu jago memasak, kamu harus mengurus adikmu sendirian."

Akane mengangguk.

"Aku cuma bisa melihat adikku menderita. Bahkan ketika dia mulai menangis, dan memohon 'Mbak, tolong selamatkan aku', aku cuma bisa mengusap kepalanya dan terus mengawasinya. Itu cuma akan menggangguku, dan membuatku gelisah… dan aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri." Akane mulai bercucuran air mata.

Mendengar cerita ini saja, Saito dapat merasakan keputusasaan dalam suara Akane, dan rasa sakit muncul di dalam dadanya.

"Itulah sebabnya…kamu ingin menjadi dokter?"

"Aku mungkin tidak bisa menyelamatkan adikki, tetapi juga ada orang lain yang menderita di dunia ini. Aku ingin berhasil menjadi dokter yang sukses dan profesional agar semua orang bisa bahagia dan sehat. Kali ini, aku ingin kekuatan untuk menyelamatkan orang lain." Akane berbicara dengan suara pelan, tetapi dengan tekad yang memenuhi suaranya.

Karena beberapa alasan, Akane tampak berbeda di mata Saito dibandingkan sebelumnya, seperti Akane yang ini merupakan orang yang sepenuhnya terpisah.

Benar-benar bodoh, dan terus terang sekali.

Akane memang punya kepribadian yang buruk, kasar, dan tidak bisa jauh dari kata 'orang yang dermawan', namun dia begitu polos. Dia seperti semangat yang membara yang dipersonifikasikan.

"Lalu bagaimana dengan adikmu…?"

"Aku tidak dapat bertemu dengannya lagi… Dia saat ini sedang berada di tempat yang sangat jauh…" Akane menggigit bibirnya.

Menyadari apa yang Akane maksudkan dari kata-kata itu, Saito tidak dapat berkata apa-apa.


Beberapa hari telah berlalu, tetapi Akane tidak kunjung bangkit dari rasa sedih.

"Haaaa…"

Bahkan saat mereka berdua sarapan pagi sebelum berangkat ke sekolah, Akane menghela napasnya sambil mengunyah roti panggangnya. Bahkan rambut dan pita Akane tampak lusuh.

Apa yang merasukinya? Kok dia tidak mengajakku berkelahi dengannya hari ini?

Saito ingin menanyakan hal itu pada Akane, tetapi pertanyaan itu tidak masuk akal. Itu cuma akan membuatnya terdengar seperti setiap hari itu harus dimulai dengan perkelahian. Mereka bukan prajurit yang bertarung dengan tinju mereka. Di televisi yang ada di ruang tamu, sebuah program berita diputar. Karena Saito ingin menjadi pemilik perusahaan, ia harus menyadari apa yang sedang terjadi di dunia sekarang ini.

'Tipe idola yang seperti adik cewek yang sedang naik daun! Apa pesona magis yang memikat semua abang di negara ini!?’

Tampaknya itu merupakan laporan khusus, dengan beberapa idola yang muncul di layar kaca. Secara keseluruhan, sebagian besar dari mereka itu masih cukup muda. Namun Akane diam-diam mengambil remot, dan mematikan televisi itu. Setelah itu, keheningan yang serius dan tidak cocok itu memenuhi suasana selama sarapan pagi mereka.

"Apa kamu ini... tidak suka idola?" Saito bertanya, kemudian Akane menggelengkan kepalanya.

"Tidak juga. Aku ini biasa saja."

"Kalau begitu, mengapa…?"

Tanpa menjawab pertanyaan itu, Akane cuma menyantap roti panggangnya.

"Kamu senang kan, karena selalu bisa bersama Shisei-san."

"Dia itu pada dasarnya layaknya udara di sekitarku."

"…Aku juga mau terus bersama adikku. Sarapan pagi bersama, berbelanja bersama, menonton film bersama…" Akane memandang ke luar jendela dengan pandangan yang jauh.


Selama jam pelajaran Penjasorkes, mereka bermain bola voli. Saito duduk di pojok aula gimnasium, menyaksikan kedua tim bertanding mati-matian. Di sebelah Saito duduklah Shisei.

"…Jadi, saran macam apa yang Abang butuhkan hari ini?"

"Bagaimana kamu bisa tahu kalau Abang mengalami masalah!?" Saito terkejut karena keahlian menebak Shisei yang tidak manusiawi.

"Shisei mengerti segala hal yang perlu diketahui tentang Abang. Kapanpun Abang membutuhkan saran untuk suatu perkara, Abang terus melirik Shisei…dengan wajah yang tamak."

"A-Abang benar-benar ragu kalau Abang memasang wajah yang tamak begitu." Tubuh Saito menggigil ketakutan.

"Abang begitu kok. Aura yang Abang keluarkan itu benar-benar berteriak bahwa Abang ingin melompat ke Shisei dan membenamkan wajah Abang di dadaku."

"Membenamkan…?"

Shisei tampaknya tidak menyukai komentar itu, lalu dia menunjukkan potongan (chop/gerakan karate dengan tangan dirapatkan) dengan kecepatan cahaya ke tenggorokan Saito. Namun, Shisei menahan dirinya, karena itulah itu tidak begitu sakit.

"Iya, seperti yang kamu duga. Akhir-akhir ini, Akane jadi kekurangan tenaga seperti biasanya, dan Abang berusaha mencari cara yang bisa Abang lakukan."

"Shisei punya suntikan yang akan segera memberinya banyak tenaga, apa Abang mau?" Shisei mengeluarkan sebuah jarum suntik dari saku baju olahraganya.

"Mengapa kamu menyimpan alat itu bahkan selama jam pelajaran!? Dan juga, Abang tidak mau obat yang berbahaya semacam itu."

"Ini tidak berbahaya kok, ini merupakan obat baru yang dikembangkan dan diproduksi dari laboratorium penelitian di bawah naungan Houjo Group. Sekitar 80% dari orang yang mereka uji dapat membuka seluruh pintu hanya dengan menggunakan tangan kosong."

"Abang benar-benar tidak ingin mati duluan, oke…" Saito membayangkan Akane yang dapat membuka pintu dengan tangan kosong, dan menggigil ketakutan.

Saito menyita jarum suntik itu dari Shisei, yang perlahan mengarahkan alat itu ke lengannya sendiri. Saito benar-benar berharap kalau  Houjou Group berhenti menuruti semua yang diminta oleh Shisei.

"Belum lagi masalah ini bukanlah masalah fisik. Akane tampak seperti dia sedang berada di tempat pembuangan sampah."

"Ada juga obat yang akan membuat Abang tertawa seketika, dan selamanya, jadi tidak perlu khawatir."

"Itu malah terdengar seperti masalah. Mengapa kamu terus mengeluarkan obat yang berbahaya, sih?" Saito memasukkan tangannya ke dalam saku Shisei, menyelidiki apa dia masih membawa sesuatu yang berbahaya.

"Abang, jangan menggelitikku, ah. Dasar mesum." Tubuh Shisei berputar dan berbalik sedikit, tetapi ekspresinya tidak menunjukkan emosi yang seperti biasanya.

Setelah penyelidikan itu, Saito juga menemukan permen karet, cokelat, sarden kering dan juga makanan ringan lainnya. Namun, tidak ada jarum suntik dan obat-obatan yang berbahaya yang tampak. Seakan-akan Saito takut akan akibat dari perbuatannya, ia mengembalikan semua yang ada di dalam kantung ajaib ini. Menanggapi hal itu, Shisei cuma mengunyah beberapa sarden kering. Meskipun Shisei sudah jelas mengemil selama jam pelajaran, tidak ada orang di sana yang memperingatkannya. Bahkan para guru pun lebih memperlakukan Shisei layaknya seorang putri yang turun dari BETA (Benda Terbang Aneh/UFO) daripada siswi yang sebenarnya.

"Apa Abang ingin Akane kembali ceria? Apa Abang mencintainya?"

"Ini tidak ada hubungannya dengan sesuatu yang romantis. Hanya saja ini membebani Abang kalau Akane terus-menerus menunjukkan ekspresi yang suram itu sepanjang waktu."

"Itu baru Abang yang aku kenal, Abang ini benar-benar seorang narsis."

"Kamu sendiri juga lebih narsis, Shisei."

"Shisei tidak menempatkan diriku sendiri sebagai orang yang paling penting di dunia ini. Tempat itu cuma tersedia agar Abang bisa tersenyum." Shisei bersandar ke bahu Saito.

"Terima kasih."

Mengetahui bahwa ada satu orang yang sangat peduli padanya, hati Saito terasa jauh lebih ringan. Biasanya, proses berpikir Shisei itu memang misterius bahkan bagi Saito, tetapi Saito tahu akan kebaikan Shisei. Kalau bukan karena dukungan dari Shisei, yang sudah ia anggap sebagai adik kandungnya, Saito mungkin akan menjalani waktu yang jauh lebih sulit dalam kehidupan.

KuraKon3-2-1


"Adik cewek Akane, sepertinya dia sudah meninggal di usia muda."

"Mm." Shisei cuma mendengarkan saja.

"Karena Abang yang mengingatkan Akane akan hal itu, jadi dia mengalami depresi selama beberapa hari terakhir ini. Dia terus mengatakan kalau dia ingin bertemu dengan adiknya, dan selalu terdengar sangat kesepian. Karena ini merupakan salahku, aku ingin melakukan sesuatu agar ini tidak berlanjut."

"Jadi Abang mau berakting sebagai adik ceweknya?"

"Mengapa Abang harus melakukan hal itu? Kamu mungkin bisa melakukan hal itu, tetapi Abang tidak akan melakukannya."

Meskipun begitu, karena penampilan Shisei tidak sama persis dengan orang Jepang pada umumnya, mungkin akan sulit baginya untuk memainkan peran yang meyakinkan itu. Belum lagi bahwa tidak ada orang yang bisa menjadi pengganti seseorang yang telah meninggal dunia.

"Apa yang kamu lakukan untuk menghibur diri ketika kamu merasa sedih?"

"Shisei akan bersenang-senang dengan Abang. Itu selalu akan menghiburku."

"Bersenang-senang, ya… Iya, kami selalu pergi berbelanja untuk kebutuhan makanan dan lain sebagainya."

Membiarkan Akane pergi ke pasar swalayan sendirian hanya akan membuat Saito merasa tidak enak, dan Akane mungkin membutuhkan seseorang untuk membawa semua belanjaannya, jadi sudah menjadi kebiasaan bagi mereka berdua untuk pergi berbelanja bersama.

"Mungkin bukan begitu. Shisei mungkin akan senang hanya dengan berada di samping Abang, tetapi Akane mungkin berbeda."

Saito menggunakan otaknya yang nomor satu di seluruh sekolah, dan mencoba memecahkan pertanyaan tentang perasaan Akane. Menggunakan pengetahuannya tentang Akane, dan dengan data yang telah ia kumpulkan sampai saat ini, setelah beberapa detik berlalu, ia kepikiran sebuah ide.

"Mungkin kalau Abang membawa Akane ke pasar swalayan yang murah selama diskon besar-besaran… dia akan senang?"

"Nol poin." Shisei menjitak Saito dengan dua jarinya.

"Erk…" Menerima nol poin pertama sepanjang hidupnya, Saito menggertakkan giginya. "Mengapa! Apa kamu ingin bilang kalau perhitungan Abang telah salah!? Dia mungkin tidak tampak begitu, tetapi Akane yang sebenarnya itu suka berbelanja! Kalau Abang memperkenalkannya ke beberapa pasar swalayan yang sedang mengadakan diskon 50%, dia mungkin akan menangis bahagia!"

"Analisis Shisei berjalan dengan cara yang berbeda. Akane sendiri pasti tidak menyadarinya, tetapi dia itu murni seorang gadis. Ajak dia ke toko bergaya, atau mungkin toko manisan, dan dia mungkin akan senang."

"Akane itu…seorang gadis…?" Saito bingung.

Seekor naga yang mengamuk itu, dan seorang gadis… dua kata itu sama sekali tidak cocok. Di saat yang sama, Shisei menyeka iler yang keluar di pipinya.

"Itulah sebabnya, sebagai latihan untuk Abang, Abang harus membawa Shisei ke toko manisan. Semua toko manisan di dunia ini menawarkan promo Semua Bisa Kamu Makan pekan ini."

"Jadi itu tujuanmu, ya?"

"Bisa dibilang semua jamuan ini dibuat oleh Shisei, dan untuk Shisei."

"Tolong tenanglah…"

Saito merasa kasihan pada semua manajer toko manisan di dunia ini.


Sepulangnya dari toko manisan yang ia kunjungi bersama Shisei, Saito mempersiapkan dirinya secara mental di depan pintu masuk rumahnya. Meskipun ini semua diperlukan untuk menghibur teman sekamarnya itu, jadi untuk mengobrol, merupakan yang pertama bagi Saito untuk mengajukan saran semacam itu. Membayangkan reaksi seperti apa yang akan Akane tunjukkan, jantungnya mulai berdebar lebih cepat.

Kamu bisa melakukannya, Saito!

Saito menampar pipinya dengan telapak tangannya, dan memasuki sarang naga— maksudnya dapur. Akane bahkan tidak berbalik ke arah Saito, dan terus mengaduk telur di dalam panci. Bahkan gerakan tangannya sama sekali tidak memiliki tenaga seperti biasanya. Saito pun berdeham.

"E-Em…Aku ingin membicarakan sesuatu, apa sekarang waktu yang tepat?"

"…Berapa lama kita akan mengobrol?"

"Sebentar saja, oke!"

"Aku sedang sibuk, jadi ayo kita selesaikan saja." Akane tetap blak-blakan seperti biasanya.

Kemungkinan Saito ditolak saat ini cukup tinggi. Namun, tidak ada ruginya mempertaruhkan keberuntungannya di ponsel. Saito batuk, dan terus melanjutkan.

"Haruskah kita pergi ke suatu tempat akhir pekan ini? Jalan-jalan sebentar."

"Fueh!?" Akane mengeluarkan suara bernada tinggi yang belum pernah didengar oleh Saito sebelumnya, saat ia berbalik. "Ja-Jalan-jalan…? Bukan untuk memasok makanan…?"

"I-Iya, aku tidak membahas soal stok atau pasokan, tetapi ini rekreasi. Aku rasa mungkin perubahan suasana tidak ada salahnya." Saito mengulurkan tangan kanannya ke udara.

Ini merupakan bahasa tubuh yang mencurigakan dari seorang orator, tetapi Saito tidak bisa diam saja dan tidak melakukan apa-apa. Melihat hal ini, Akane memberi Saito ekspresi yang ragu.

"Me-Mengapa denganku…? Biasanya, kamu akan mengajak Shisei-san untuk hal ini, bukan…?"

"I-Itu benar, tetapi…Ba-Bagaimana kalau kita nonton film ke bioskop…?"

"Fi-Film!?" Bahu Akane berkedut.

"Dan setelah filmnya selesai, kita bisa melihat-lihat ke toko manisan dan semacamnya."

"Toko manisan!?" Akane sempoyongan ke belakang.

"Tidak ada maksud apa-apa kok, aku cuma ingin kita pergi bersama selama sehari."

"Bersama selama sehari—!?" Wajah Akane berubah menjadi semerah tomat.

Tentu saja, Saito tidak bisa melakukan yang lebih baik dari Akane, karena uap akan naik dari kepalanya. Keheningan yang canggung memenuhi dapur itu, saat Saito mengutuk dirinya sendiri karena mengemukakan rencana itu. Tiba-tiba, aroma terbakar menusuk hidungnya.

"He-Hei! Bukankah kamu sedang memasak sesuatu saat ini!?"

"Kyaaaaaa!?" Akane berbalik arah untuk melihat asap hitam yang mengepul dari panci.

Akane dengan panik memadamkan apinya, mengambil panci, lalu berlari ke luar dapur. Namun, dia segera kembali, dan berdiri di kusen pintu. Dia sudah kehabisan napas, lalu dia memelototi Saito dengan air mata yang mengalir di matanya.

"Ti-Tidak masalah..."

"Apanya!?"

"Pergi denganmu di akhir pekan! Kamu sudah membantuku dalam belajar, maka dari itu! Tetapi, tidak usah ke hotel, oke!?" Akane melompat keluar dari pintu depan dengan panci di tangannya.

"Kamu mau pergi ke mana!? Apa kamu benar-benar tidak masalah!?"

Saito bahkan tidak diberi kesempatan untuk  istirahat, saat ia mengejar Akane yang  mengamuk.


Ini sudah pasti kencan, bukan!?

Akane teringat kembali dengan rencana Saito, dan mulai panik. Dia memang sudah terbiasa keluar bersama untuk membeli makanan atau kebutuhan sehari-hari lainnya, tetapi ini pertama kalinya mereka benar-benar pergi ke suatu tempat di luar hal itu. Bahkan pada hari ketika Saito menolak ajakan Himari untuk berkencan, yang mereka lakukan hanyalah berbelanja seperti biasanya.

Akane merasa bersalah karena telah mengganggu hari yang sudah pasti akan menjadi hari yang menyenangkan bagi Saito. Jika dia bisa menebus kesalahannya dengan cara apapun, maka dia ingin melakukannya. Namun, berpikiran kalau dia akan pergi berkencan dengan musuh bebuyutannya.

"Akane, apa kamu baik-baik saja? Kamu sudah bertingkah aneh untuk sementara waktu ini."

"…Ah."

Dipanggil oleh neneknya, Chiyo, Akane menyadari kalau dia telah mengaduk anmitsu* dengan sendoknya untuk sementara waktu saat ini. Buah-buahan ditenggelamkan seluruhnya, membuat anmitsu itu tampak seperti makanan bayi iblis. Hari ini, Chiyo mengajak Akane ke sebuah kafe yang khusus menyajikan manisan ala Jepang. Satu porsi kue beras dengan selai kacang seharga 1.500 yen, yang bukan harga yang terjangkau oleh seorang siswi SMA, tetapi rasanya ini lebih dari cukup untuk itu. Mungkin itulah alasannya mengapa bagian dalam kafe ini dipenuhi dengan wanita yang elegan sebagai pelanggannya.

(TL English Note: Anmitsu yaitu campuran selai kacang, kacang rebus, kubus agar, potongan buah dan sirup​.)

"Maaf, aku akan pastikan untuk memakan semuanya."

"Jangan memaksakan dirimu, kita masih bisa memesan yang baru."

"Aku tidak masalah, ini masih enak kok." Akane mengambil beberapa makanan bayi iblis itu dengan sendok, dan mendorongnya masuk ke kerongkongannya.

Itu masih enak seperti yang Akane bilang, tetapi dia lebih suka memakan anmitsu ini saat masih mempertahankan bentuk aslinya. Lagipula, anmitsu spesial ini berharga 3.500 yen. Saat Akane memakan anmitsu yang hancur, Chiyo mengamatinya dari seberang meja.

"…Apa ada sesuatu yang terjadi di antara kamu dan Saito-san?"

"Eh!? Nenek ini bicara apa!?" Akane menjatuhkan sendoknya.

"Itulah yang ingin Nenek tanyakan. Kalau ada sesuatu yang mengganggumu, jangan sungkan untuk memberi tahu Nenek, Nenek akan berusaha yang terbaik untuk membantumu."

"Nenek…" Melihat senyuman lembut dari neneknya, hati Akane terasa jauh lebih ringan.

Hanya untuk masalah ini, Akane tidak dapat mengandalkan bantuan Himari. Meskipun begitu, mengungkapkan hal ini pada kedua orang tuanya juga bukan pilihan yang tepat. Jadi, Akane memutuskan untuk mengungkapkan rahasia ini pada neneknya.

"Em… dengarkan ini? Saito mengajakku jalan-jalan keluar di akhir pekan…tetapi, menurut Nenek, apakah itu kencan…?"

"……!" Mata Chiyo jadi terbuka lebar.

Beberapa tetes air mata mengalir di pipi Chiyo yang sudah keriput.

"Mengapa Nenek menangis!?"

"Jadi akhirnya…akhirnya…kamu berhasil mencapai hubungan yang seperti ini dengan Saito-san…"

"Nenek salah! Ini tidak sama seperti yang Nenek bicarakan! Saito cuma bilang kalau kami mungkin bisa menonton film bersama, atau mengunjungi toko manisan!"

"Itu jelas kencan, tidak peduli bagaimana kamu melihatnya. Nenek akan membuat perjanjian dengan rumah sakit dalam sepuluh bulan ini."

"Hal yang semacam itu tidak akan terjadi, Nenek itu terlalu cepat di sini!"

Namun Chiyo mengabaikan permintaan Akane itu, dan melambaikan tangannya untuk memanggil seorang karyawan.

"Permisi! Bisakah kalian buatkan nasi merah* buat kami?"

(TL English Note: Di Jepang, nasi merah itu disajikan pada saat acara-acara perayaan.)

"Tidak usah pakai nasi merah segala!" Akane memegangi kepalanya dengan putus asa, sambil meringkuk di kursi.

Tatapan tajam dari para pelanggan dan para karyawan menusuk seluruh tubuhnya. Tepuk tangan yang bergema juga sama menyakitkannya. Akane segera menyesal karena meminta nasihat pada neneknya. Dengan sapu tangan tenunan satin, Chiyo menyeka mulutnya.

"Maafkan Nenek, Nenek cuma sedikit bersemangat. Nenek kira Nenek mungkin akan bisa melihat cicit Nenek lebih cepat dari yang Nenek duga."

"Maaf, membuat Nenek kecewa, tetapi itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat..."

"Nenek tidak akan pernah punya penyesalan lagi dalam hidup ini, mengerti."

"Jangan mati, aku mohon. Teruslah hidup."

Setiap harinya, Chiyo yang merupakan pemilik usaha restoran tradisional Jepang, melayani cukup banyak pelanggan yang elit. Akane menghormati martabat dan rasionalitas neneknya, tetapi hari ini dia pasti senang mendengarnya.

"Jadi, kamu ragu untuk menerima ajakan dari Saito-san?"

"Tidak, aku sebenarnya sudah menerimanya."

"Astaga." Chiyo meletakkan satu tangannya di mulutnya, dan memasang seringai.

"Bu-Buat apa Nenek memasang wajah itu?"

"Kamu langsung begitu saja menyetujui ajakan kencan Saito-san, begitukah?"

"Itu tidak langsung begitu saja!"

Tidak diragukan lagi dalam beberapa saat Akane langsung menyetujuinya.

"Dari mana datangnya perubahan hati ini? Sebelumnya, kamu tidak akan pernah berhenti bilang betapa kamu membenci Saito-san."

"Aku masih membenci Saito. Kami bertengkar setiap harinya, dan ketika ia begitu saja memujiku, aku mulai merasa gelisah."

"Hmm… kamu merasa gelisah, ya." Chiyo bergumam, dan jelas tampak tertarik. "Kalau begitu, mengapa kamu menerima ajakannya?"

"…Saito sudah merawatku hingga aku lekas sembuh ketika aku sakit, dan ia membantuku belajar, jadi aku berutang budi padanya. Aku akan merasa tidak enak kalau aku tidak membalas budinya."

"Jadi itu alasan yang kamu buat, begitu ya?"

"Ek…"

Setelah merawat Akane sejak dia masih kecil, Chiyo tahu persis bagaimana sifat dan sikap Akane.

"Jadi apa alasan yang sebenarnya?" Chiyo menatap Akane dengan lembut, sehingga membuat Akane gelisah.

Saat daun telinga Akane mulai terbakar panas, dia bergumam dengan suara yang hampir tidak terdengar.

"…A-Aku rasa itu terdengar menyenangkan."

"Ya ampun, imut sekali! Kamu memang yang terimut, Akane! Saito-san akan mendorongmu ke ranjang kalau begini terus!"

"Tenanglah! Tolong kembalilah ke nenekku yang keren seperti biasanya!"

Chiyo menggapai meja untuk memeluk erat Akane, kemudian Akane berusaha melepaskan diri, tetapi itu sia-sia.

"Serahkan saja semuanya pada Nenek! Nenek sudah menduga sesuatu semacam ini akan terjadi, jadi Nenek sudah mempersiapkan ini sebelumnya!"

"Mempersiapkan…?" Akane merasakan firasat yang buruk.

Akane masih punya beberapa makanan bayi iblis yang tersisa ini, tetapi Chiyo langsung menyeretnya keluar dari toko. Setelah itu, Chiyo memanggil taksi, dan membawa mereka pulang ke kediaman Chiyo. Setelah itu, Chiyo menarik Akane ke sebuah ruangan di dalam kediamannya.  Di dalam sana ada beberapa pakaian, kimono, sepatu, dan aksesori barat yang tidak terhitung jumlahnya. Alih-alih itu cocok dengan Chiyo ketika dia masih muda, pakaian-pakaian itu cukup modern.

"A-Apa ini…?"

Saat Akane bingung, Chiyo cuma menjelaskan dengan suara yang energik dan bahagia.

"Nenek membeli semua ini untuk hari di mana Akane-ku yang imut ini akhirnya jatuh cinta. Ini ruang pakaian pribadimu."

"Aku tidak sedang jatuh cinta!" Akane dengan keras membantahnya.

"Lihat, bagaimana kalau kamu coba yang ini?" Chiyo tidak mendengarkan bantahan Akane sama sekali, dan cuma membawa lebih banyak pakaian.

Yang pertama merupakan gaun yang menampakkan punggung dan pusarnya, dan memiliki belahan yang dalam di tubuh bagian bawah. Kain satin ini berkilau karena lampu neon di ruangan itu.

"Nenek? Aku tidak akan pergi ke pesta, Nenek tahu?"

"Kamu tidak akan pergi ke restoran mewah cuma dengan mengenakan celana jin, bukan?"

"Siswi SMA bahkan tidak akan masuk ke tempat yang membutuhkan aturan berpakaian (dress code) seperti itu."

Belum lagi Akane selalu memakai rok atau gaun satu potong (one-piece), jadi dia bahkan tidak punya celana jin.

"Mungkin kita harus mulai dulu dengan pakaian dalam? Lihat, ini merupakan koleksi pakaian dalam 'pasti ampuh'-mu yang Nenek kumpulkan untukmu!" Chiyo membuka lemari pakaian, yang memperlihatkan beberapa pasang pakaian dalam yang tidak terhitung jumlahnya,  tergantung di atas gantungan.

Dari model babydoll yang hampir transparan sampai model T-bag yang tanpa pertahanan apapun, bahkan celana dalam yang memiliki tanda hati dan terbuka di bagian belakangnya, semuanya merupakan pakaian dalam yang sangat sugestif dan menggoda. Memikirkan Saito yang melihatnya mengenakan sesuatu semacam itu saja, wajah Akane mulai memanas.

"A-A-Aku tidak membutuhkan semua itu!"

Chiyo berkedip, dan tampak khawatir.

"Kamu tidak membutuhkan pakaian dalam…? Nenek tahu betul kamu pasti ingin membuat Saito-san bahagia, tetapi pergi tanpa pakaian dalam untuk kencan pertamamu itu agak terlalu merangsang, bukankah begitu?"

"Aku pasti akan mengenakan pakaian dalam, oke!"

"Maka dari itu kamu harus memilih salah satu dari sini. Saito-san akan kecewa mendapatimu mengenakan pakaian dalam yang kekanak-kanakan begitu ia membuka pakaianmu."

"Kalau Saito berani melakukan hal semacam itu, aku akan menggorok lehernya!" Akane berteriak dengan pipi yang merah.


Hari itu diberkahi dengan langit biru yang cerah. Angin sepoi-sepoi membawa aroma rumput yang enak, saat dedaunan di pohon-pohon yang ditanam di distrik perumahan bergoyang.

Aku benar-benar melakukan sesuatu yang luar biasa, ya…

Terganggu dengan penyesalan dan kekhawatiran, Saito menunggu di pintu masuk depan, lalu ia mendengar pintu ruang belajar terbuka. Dengan langkah hati-hati dan tidak pasti, Akane menuruni tangga.

"E-Em…Maaf membuatmu menunggu…"

KuraKon-3-2-3


Akane menunjukkan ekspresi malu-malu ketika dia memegang pegangan tangga, memberikan suasana yang berbeda dari biasanya. Akane mengenakan gaun one-piece merah muda samar yang cocok dengan warna kelopak bunga sakura. Pita yang diikat menghiasi pinggangnya, terlihat feminim dan imut. Tali di bagian bawah gaunnya berpola stroberi, dan kaki telanjangnya yang tampak dari bawah berwarna putih yang menyilaukan.

Di atas gaun one-piece itu, Akane mengenakan kardigan putih yang tipis. Tas kecil yang dia bawa di pinggangnya berwarna putih salju, dengan pengait berwarna emas. Itu merupakan kombinasi pakaian yang belum pernah dilihat oleh Saito saat mereka berbelanja. Pakaian ini  menekankan keimutan dan keindahan bawaan Akane, menghasilkan kekuatan penghancur yang tidak terduga bagi hati Saito. Saito tidak bisa apa-apa selain terpesona pada gadis di depannya, lalu Akane memelototinya dengan wajah yang merah.

KuraKon3-2-4


"A-Ada apa..." Akane dengan erat menggenggam kain gaunnya, dan memalingkan tubuhnya seakan-akan dia ingin melepaskan diri dari tatapan Saito.

"Be-Begini… aku cuma merasa kalau kamu sudah berusaha keras hari ini."

"Nenek yang memaksakan ini padaku. Nenek bilang aku harus berdandan untuk kencanku yang berharga ini."

"A-Aku mengerti…"

"A-Ah, tentu saja, aku tahu kalau ini bukan kencan, oke!? Kita mungkin sudah menikah, tetapi ini jelas bukan kencan! Kita cuma jalan-jalan untuk bersenang-senang sedikit…Jadi, ini bukan kencan…bukan?"

"I-Iya, ini bukan kencan, sudah pasti bukan." Kata Saito, tetapi hatinya tidak setuju.

Karena mereka sudah menikah, ini memang kencan tidak peduli bagaimana kamu melihatnya, pakaian yang Akane kenakan dengan jelas meneriakkan kata "kencan", dan Saito sendiri pergi dengan mengenakan pakaian yang bergaya untuk hari ini, jadi ia cuma bisa menerima kenyataan itu sekarang.

"Ma-Mana mungkin kita berdua berkencan! Nenek cuma salah paham saja, hanya itu, ahaha…"

"Ha ha ha…"

Mereka berdua tertawa canggung, lalu mereka mengalihkan pandangan mereka.

"Meskipun begitu, aku juga akan merasa tidak enak kalau tidak mengenakan pakaian yang Nenek belikan untukku, dan karena gaun ini sangat lucu, jadi aku rasa sebaiknya aku mengenakannya."

"Iya, gaun itu memang terlihat cocok buatmu, itu fakta."

"Wah!?" Menerima pujian jujur dari Saito itu, Akane tersentak.

Akane berlari menuju pintu seperti kucing liar yang ketakutan, dan melolong.

"Hentikan itu segera!!" Wajah Akane berubah merah padam.

Bahkan Saito pun tahu kalau Akane tidak terlalu marah padanya, tetapi malah merasa malu.

"…Maaf."

"Ka-Kamu tidak perlu minta mangap!"

Akane sangat kacau sehingga bahkan lidahnya jadi tidak berfungsi dengan baik ditunjukkan dengan fakta bahwa dia bahkan tidak bisa melafalkan kata "maaf" dengan benar.

"Kamu tidak memakai wax di rambutmu hari ini, ya." Akane berkomentar.

"Iya, bagaimanapun juga, rasa kaku setelah memakainya itu bisa sangat mengganggu."

Saito menyentuh rambut halusnya, tanpa wax atau bahan penataan lainnya. Di saat yang sama, Akane membusungkan bibirnya dengan nada yang mencela.

"Meskipun kamu menata rambutmu untuk kencanmu dengan Himari…"

"Kencan itu tidak pernah terjadi, ingat!? Apa kamu ingin aku memakai wax?"

Mendengar hal ini, Akane menginjak-injak lantai sambil marah.

"Hah!? Tentu saja tidak! Itu menjijikkan!"

"Kalau begitu mengapa kamu menjadi sangat marah!?"

"Aku tidak marah! Aku mengeluh karena kurangnya niat tulusmu!"

"Apa yang terjadi denganmu…"

Mencoba menebak apa yang Akane inginkan atau pikirkan yang menyerupai pertarungan bos terakhir dari gim video yang sulit. Bahkan pada hari saat mereka berdua pergi—hari di mana Saito harus membuat Akane senang—mereka sekali lagi bertengkar di pagi hari.

Sambil sedikit bercekcok, mereka berdua meninggalkan rumah mereka. Agar mereka tidak berpapasan dengan siapapun dari sekolah, mereka naik bus dan kereta api untuk pergi ke lima stasiun kereta api ke kota yang berbeda. Bagian dalam stasiun kereta api dipenuhi dengan kerumunan orang yang juga ingin menikmati hari akhir pekan ini. Akane tampaknya tidak pandai membaca arah arus, karena dia terus-terusan menabrak seseorang, lalu berteriak sambil marah.

"Ahhh, ya ampun! Menabrak tanpa meminta maaf lagi! Apa sih masalahnya!"

"Bukankah kamu yang menabraknya?"

"Aku yakin tidak begitu! Semua rintangan yang menghalangi jalanku inilah yang salah! Kyaaa!?" Akane baru saja menyelesaikan kata-katanya, tetapi sekali lagi menabrak seseorang.

Rambut Akane menjadi acak-acakan, pengait bahu di tasnya hampir lepas, dan Akane sudah tampak kelelahan meski hari baru saja dimulai.

"Erk…Ini pasti disengaja…seluruh dunia ini merupakan musuhku…" Akane menangis.

"Mau bagaimana lagi... biarkan aku menuntunmu." Saito mengambil tangan Akane.

"Ap…"

Akane sejenak mencoba menahan hal itu, tetapi setelah Saito menariknya tanpa berkata apa-apa, Akane menjadi lebih jinak. Telapak tangan Akane itu selembut sutra, dan agak dingin. Tidak seperti telapak tangan Saito, ini kecil dan feminim, dengan jari ramping yang membuat Saito khawatir kalau ia akan meremuk telapak tangan Akane jika ia menggenggamnya terlalu kuat. Saito meraih tangan Akane di saat yang panas, tetapi baru sekarang ia menyadari tindakan berani yang ia lakukan ini.

Sekarang ini benar-benar seperti kencan sungguhan.

Begitu Saito menyadari hal itu, jantungnya mulai deg-degan. Keringat dingin mulai menyebar di tangan Saito, yang membuatnya khawatir kalau Akane akan menyebutnya menjijikkan lagi. Saito melirik ke arah gadis itu, yang menatapnya dengan wajah yang merah.

"A-Ada apa…?" Suara Akane bergetar.

Akane mungkin sama gugupnya dengan Saito karena situasi yang tidak biasa ini.

"Ti-Tidak ada apa-apa kok."

"Kalau begitu jangan berhenti. Bawa aku keluar dari sini, oke… ini memalukan."

"I-Iya."

Tubuh Saito semakin panas. Saito merasa Akane memberikan lebih banyak kekuatan pada genggamannya di tangannya. Sementara Saito mencoba menahan rasa malunya, ia membawa Akane bersamanya melewati kerumunan, ketika ia menyadari kalau banyak tatapan diarahkan pada Akane. Kebanyakan dari tatapan itu berasal dari para pria yang mereka lewati. Mereka memerhatikan dengan cermat seluruh penampilan Akane, lalu melirik Saito, dan mengeluarkan ekspresi dan desahan terganggu. Bahkan beberapa pria berbalik untuk menjaga Akane.

"Menjijikkan…Sangat banyak orang yang ingin mengajakku berkelahi hari ini…Mengapa semua orang ingin berkelahi habis-habisan denganku…"

"Bukan… Aku tidak merasa kalau perkelahian adalah apa yang ingin mereka lakukan."

"Membunuh satu sama lain, kah!?"

"Mengapa kamu selalu meloncat ke kesimpulan yang agresif semacam itu?" Saito menunjukkan senyuman yang masam.

Apa yang ada di mata mereka adalah nafsu yang nyata, atau bahkan kecemburuan terhadap Saito. Di sekolah, Akane dinilai sebagai cewek cantik kelas atas, bahkan orang-orang di luar sekolah pun menerima fakta ini. Paling tidak, Akane cukup cantik untuk membuat kebanyakan lelaki menatap sampai dua kali. Mungkin saja mereka memang akan sengaja berpapasan dengannya?

Sekarang, mereka salah mengira Saito sebagai pacar Akane, merasa ingin bermusuhan dengannya. Namun pada kenyataannya, mereka tidak memiliki hubungan yang romantis seperti itu, dan cuma menikah di atas kertas. Saito membawa Akane menjauh dari jalur bawah tanah di dalam stasiun kereta api, menaiki tangga, dan menuju alun-alun terbuka. Setelah mereka menjauh dari lampu neon buatan manusia, matahari yang cerah hampir menyilaukan mata.

"Aku rasa kita seharusnya tidak apa-apa kalau perginya ke sekitar sini."

"I-Iya…"

Mereka berdua saling melepaskan tangan mereka satu sama lain. Meskipun mereka tidak habis dikejar-kejar atau semacamnya, mereka berdua kehabisan napas. Saito masih bisa merasakan sensasi Akane di tangannya, dan betapa lembutnya tangan itu.

Setelah itu, Saito dan Akane berjalan melalui belokan terdekat, dan menuju distrik perbelanjaan. Mereka disambut oleh surga belanja yang terdiri dari toko pakaian kasual, toko krep, toko pernak-pernik, dan tempat lain yang ditujukan untuk anak muda.

Orang-orang berjalan-jalan sambil makan permen kapas berwarna-warni yang besar, berbelanja pakaian yang mencolok, atau hanya sekadar melihat-lihat barang dagangan dengan orang lain, yang menciptakan suasana yang energik. Di dalam kerumunan itu juga ada siswa-siswi yang berpegangan tangan.

"Sangat banyak pasangan yang berkencan hari ini. Kalau mereka punya waktu untuk berkencan, mereka seharusnya belajar saja."

"Kita juga tidak jauh berbeda saat ini, kamu tahu?"

"Aku pastikan untuk menyelesaikan pelajaran selama 2 hari tadi malam. Aku ini berbeda dari orang-orang yang membuang masa depan mereka cuma untuk kesenangan sementara." Akane mengangkat dagunya.

Aku sangat ragu kalau hidup ini cuma terbatas pada belajar saja.

Namun, berdebat tentang hal ini tidak akan ada gunanya bagi Saito. Saito berjalan di depan, dan akhirnya berhenti di depan sebuah kafe yang bergaya.

"Untuk saat ini, mari kita masuk saja ke sini. Ini kafe kucing."

"Kita tidak bisa!" Akane berteriak dengan wajah yang pucat.

"A-Ada apa? Bukankah kamu suka kucing?"

"Aku memang suka kucing, tetapi… aku sudah dilarang memasuki kafe itu."

"Apa yang kamu lakukan..." Saito menghela napas tidak percaya, dan Akane dengan canggung mengalihkan pandangannya.

"A-Aku tidak melakukan hal buruk, kok! Aku mungkin cuma terlalu memanjakan kucing kesayanganku…dan mereka bilang padaku kalau aku tidak bisa bermain dengannya seharian karena itu akan membuatnya lelah…"

"Ahh, kamu ini tipe orang yang tidak bisa menahan diri, ya."

"Aku bisa menahan diri, kok! Aku bisa tahan dari melihat kucing-kucing dari luar kafe itu untuk sementara waktu!"

"Caramu 'bisa tahan' itu benar-benar menakutkan."

Akane marah karena dendam.

"Aku yang takut, mereka hampir menelepon polisi untuk mengusirku!"

"Baiklah, mari kita tinggalkan tempat ini, segera."

Karyawan di dalam kafe sudah menatap Saito dan Akane dengan tajam. Ia sudah siap dengan ponsel di tangannya, siap untuk melaporkan mereka berdua.

“Tidak! Kucing! Kucing-Kuciiiiingku!"

"Mereka itu bukan punyamu!"

Saito menarik Akane menjauh dari jendela kafe itu.

Dia cuma tahu caranya melakukan yang terbaik, ya…

Ketika itu berkaitan dengan mengejar mimpinya, lalu mengutuk seseorang, dan bahkan mencintai sesuatu. Akane dipenuhi dengan emosi pada saat tertentu, dan bahkan tidak tahu bagaimana memasangnya. Akane mungkin mencintai sebanyak dia membenci. Mereka berdua terus berjalan sebentar, menjauhkan diri dari area bersinyal (hotspot) bahaya ini.

"Kalau kafe kucing tidak boleh, ke mana lagi kita harus pergi… Tempat apa yang biasanya kamu kunjungi saat kamu pergi bersama Himari?"

"Kafe, pusat gim (game center), atau mungkin karaoke."

"Aku tidak menduganya, ternyata cukup normal."

"Bagaimanapun juga, aku ini siswi SMA yang normal."

"Siswi SMA yang normal tidak akan dilarang memasuki kafe kucing."

Meskipun begitu, Himari memang siswi SMA yang normal, jadi dia mungkin sangat cocok dengan Akane. Himari benar-benar telah menemukan seorang teman baiknya sendiri...Saito merasa dadanya semakin panas karena mengagumi persahabatan mereka.

"Kalau begitu, haruskah kita pergi ke karaoke?"

"Kamu itu berencana menyeretku ke ruangan tertutup untuk melakukan itu bersamaku, bukan!?" Akane mundur satu langkah, dan memancarkan aura permusuhan yang nyata.

"Kamu tidur di ranjang yang sama denganku setiap malam, mengapa aku harus menyeretmu ke karaoke untuk melakukan itu! Memangnya apa yang akan terjadi di sana!?"

"Gempa bumi…"

"Menghasilkan mekanisme seperti apa!? Kita ini sangat luar biasa, ya!"

Saito mengetahui mitos kalau Namazu* dapat menghasilkan gempa bumi.

(TL English Note: Menurut mitos populer di Jepang, penyebab gempa bumi yaitu ikan raksasa, Namazu, yang sering digambarkan sebagai ikan lele raksasa dalam ukiran kayu yang disebut namazu-e. Ikan ini dianggap sebagai salah satu yo-kai, makhluk mitologi dan cerita rakyat yang menyebabkan kesialan dan bencana.)

"Himari bilang padaku… Ketika seorang cowok dan seorang cewek memasuki kotak karaoke pada saat berkencan… mereka selalu… akan saling berciuman!" Akane mengepalkan tangannya, dan berteriak dengan wajah merah padam.

"Tidak selalu begitu… lagipula, ini bukan kencan, ingat?"

"Benar juga! Itu masuk akal!"

Itu yang membuatmu yakin!?

Saito tidak dapat menahan jawaban itu di dalam otaknya. Masalah utamanya bukanlah fakta bahwa ini merupakan kencan, melainkan fakta bahwa cowok dan cewek yang berada di kotak karaoke berduaan. Begitu mereka sampai di pintu masuk utama bar karaoke, Akane menatap Saito. Pipi Akane merah seperti tomat, saat dia bertanya dengan nada yang tidak menentu.

"Ka-Kamu tidak akan…melakukan sesuatu yang mesum?"

"…Aku tidak akan melakukannya…"

"Ti-Tidak akan berciuman… juga?"

"Ten-Tentu saja tidak."

Mengatakannya dengan lantang, Saito semakin sadar akan Akane. Bibir Akane yang basah dan tampak lembut menarik pandangan Saito ke arah bibir itu, jadi ia menatap ke langit. Pintu otomatis terbuka, dan mereka berdua masuk ke dalamnya. Dengan kartu yang dibuat Saito beberapa waktu lalu bersama Shisei, ia memesan sewa kamar selama 2 jam, dan menyelesaikan pembayaran. Dalam perjalanan ke kamar, Akane dengan canggung mengikuti Saito. Pasangan lain berjalan di depan mereka berdua. Tangan mereka saling bertautan, dan berjalan menyusuri lorong, dan pada dasarnya pergi ke sebuah kamar bersama. Tidak lama kemudian, suara erangan manis bisa terdengar dari seberang pintu.

Tolong, jangan sekarang…

Saito mengutuk pasangan yang namanya bahkan tidak ia ketahui itu. Bahkan tanpa harus berbalik arah, Saito dapat membayangkan ekspresi Akane. Mereka berdua bergerak menyusuri lorong, dan memasuki kamar di sebelah kamar pasangan tadi. Mereka meletakkan barang-barang mereka, dan duduk di sofa. Akane mengamati sekelilingnya, dan dengan canggung menggerakkan kakinya.

"Seperti yang aku duga, ini terasa mesum... aku penasaran mengapa ya..."

"Begitulah, em…"

Saito agak mengerti apa yang coba Akane katakan. Ini merupakan kamar yang remang-remang, yang membuatmu kehilangan kesadaran akan semua kenyataan. Fakta bahwa kalau kamar itu kecil dan sempit cuma membuat mereka berdua lebih sadar akan masing-masing, dan situasi terpencil yang mereka alami ini. Fakta kalau kamar di sebelah mereka digunakan sebagai sarang cinta oleh para pasangan membuat ini semakin buruk.

"Ngo-Ngomong-ngomong, aku akan memasukkan lagu sekarang!"

"I-Iya, aku juga."

Akane jelas sedang gelisah, saat dia menekan bantalan sentuh (touchpad) yang berfungsi sebagai remote dari stasiun pengisian dayanya, dan mengoperasikannya. Dia lalu menyerahkan bantalan sentuh itu pada Saito, dan Saito memilih lagu untuk dirinya sendiri. Tidak lama kemudian, lagu pertama mulai diputar, dan lirik berkode warna muncul di layar.

"Ah…Aku tidak sengaja memilih lagu untuk dua orang…Lagipula aku selalu berduet dengan Himari…"

Tidak ada yang lebih menyedihkan dari menyanyikan lagu duet sendiri.

"Aku sendiri juga tahu lagu itu, jadi haruskah kita menyanyikannya bersama-sama?"

"I-Iya, tolong!"

Akane menangani lirik yang memiliki simbol berbentuk hati di atasnya, sedangkan Saito menangani lirik dengan simbol sekop, dan mereka mulai bernyanyi. Ini merupakan lagu populer yang terkenal secara daring. Tentang pasangan yang ingin bahagia tetapi tidak bisa. Lagu ini punya nada yang elegan dan sederhana namun sama kuatnya, dengan variasi yang baik di antara bagian solo dan duo.

Aku tidak menyangka suara nyanyian Akane semerdu ini…

Karena pelajaran musik mereka di sekolah kebanyakan adalah lagu paduan suara, Saito tidak pernah mendengar suara nyanyian tunggal Akane. Suara Akane cukup tinggi hingga mencapai langit-langit, tembus pandang seperti marmer kaca, dan meresap masuk jauh ke dalam tubuh Saito. Sepertinya Akane mencurahkan seluruh isi hatinya untuk bernyanyi, yang membuatnya tampak seperti seorang diva yang duduk di atas panggung, dan bahkan mungkin lebih bermartabat dari seorang diva sungguhan.

Saito tidak ingin dikalahkan seperti ini, dan melanjutkan dengan suara yang lebih dalam, mendukung sopran Akane. Akane di saat yang sama menatap wajahnya, dan mencocokkan temponya. Suara mereka bercampur, dan bergabung menjadi satu, dan mencapai kemurnian yang jauh lebih tinggi. Saito merasa seperti sedang menyentuh jiwa Akane secara langsung. Belum pernah Saito merasa begitu dekat dengan Akane daripada saat ini. Saito sendiri pasti menuangkan segalanya ke dalam lagu itu, karena ia berkeringat begitu lagu itu berakhir.

"Barusan tadi… terasa luar biasa, bukan!" Akane berkata, dengan mata berbinar.

"Kita sangat selaras ya…" Saito terkejut.

Karena mereka berdua selalu bertengkar terus-menerus, ia tidak akan pernah membayangkan kalau mereka dapat bernyanyi duet bersama.

"Aku tidak pernah seselaras ini saat bernyanyi dengan Himari sebelumnya."

"Benarkah?"

"Iya. Dia memang biasa berkaraoke, jadi dia seharusnya bisa selaras dengan semua orang dengan baik…" Akane meletakkan jari telunjuknya di mulutnya, dan memiringkan kepalanya.

"Aku penasaran apa alasannya…" Saito setuju.

Namun, ini bukan sesuatu yang tidak menyenangkan. Selama duet, Saito merasa kata mereka terhubung pada tingkatan khusus. Itu sampai ke titik di mana Saito menganggapnya sebagai hal yang disesalkan karena lagu itu sudah berakhir.

"Hei, hei, mari kita bernyanyi lagi!" Akane berlari mendekat untuk mengambil remote itu.

Karena remote itu berada di tangan Saito saat ini, mereka secara alami pada akhirnya duduk bersebelahan satu sama lain, bahu mereka berbaris. Lutut Akane menekan lutut Saito, saat aroma wangi melayang dari leher Akane. Akane mungkin terlalu bersemangat untuk benar-benar memikirkan apa yang dia lakukan. Sebaliknya, Akane fokus dalam memilih lagu berikutnya, mengkhususkan daftar lagu itu dengan lagu duet. Mereka berdua memanjakan diri dalam nyanyian yang penuh semangat, dan dua jam pun berlalu dalam sekejap mata.


Saat melangkah keluar dari tempat karaoke, Akane merentangkan tangannya, dan bergumam.

"Haaa~ Tadi itu terasa luar biasa~."

Ekspresi Akane yang santai, dan pipinya yang memerah dan gembira menciptakan nuansa yang erotis samar datang darinya. Meskipun Akane pada awalnya sangat tahan terhadap karaoke, setidaknya dia tampak puas.

"Meskipun keserasian kita memang yang terburuk, tetapi keserasian suara kita tidak ada duanya!" Akane menunjukkan senyuman yang seperti bunga yang mekar.

Imutnya.

Saito mendapati dirinya memikirkan hal itu, dan dengan canggung mengalihkan pandangannya. Itu membuat Saito ingin menggertakkan giginya, seperti perasaan tidak nyaman yang mulai muncul di perutnya.

"Menyanyi sebanyak itu membuat tenggorokanku kering. Apakah ada pasar swalayan di sekitar sini?"

Ingin membeli jus dari pasar swalayan dan bukan mesin penjual otomatis terdekat sama persis dengan Akane.

"Kalau begitu, aku mungkin punya tempat yang tepat dalam benakku."

"Pasar swalayan apa itu?"

"Ini bukan pasar swalayan manapun. Ada toko yang mereka bangun baru-baru ini, tetapi hanya khusus untuk menjual jus buah 100%."

"Itu pasti cukup mahal dong kalau begitu?" Akane mengangkat satu alis matanya.

"Mungkin saja, tetapi... itu juga memiliki jus stroberi."

"Stroberi! Aku ikut!" Wajah Akane berbinar sambil gembira.

"Kamu… Semuanya akan baik-baik saja asalkan ada stroberi, ya? Aku merasa kalau kamu akan mengikuti siapapun asalkan mereka mau menawarimu satu truk penuh stroberi."

"Tentu saja tidak! Jadi beri tahu aku, di mana toko yang khusus menjual jus stroberi itu!?"

"Itu tidak khusus menjual jus stroberi..."

Saito belum pernah melihat seseorang yang begitu terpaku pada stroberi sebelumnya. Mereka berdua berjalan menyusuri jalanan, dan lebih jauh dari toko yang menjual permen kapas berwarna-warni, mereka menemukan toko jus buah itu. Bagian dalamnya diwarnai dalam berbagai warna pastel, bersama dengan papan iklan warna-warni dan kepop-popan. Di luar dinding itu ada jendela, sehingga kamu dapat melihat pekerjaan para karyawan. Kamu bahkan dapat memilih antara minum di sana, atau memilih untuk membawa pulang minumannya.

Mereka bahkan punya beberapa ayunan di luar toko, yang memungkinkan bagimu untuk duduk di sana sambil menikmati minumanmu. Saito memesan jus limun, sedangkan Akane memesan jus stroberi, dan mereka berdua duduk di ayunan.

"Indah sekali…"

Akane mengangkat wadah plastik itu ke arah langit, dan mengagumi jus stroberi yang berkilauan dengan sinar matahari yang terpantul di atasnya, tampak hampir seperti permata merah.

"Kamu tidak akan meminumnya?" Saito bertanya, sampai-sampai Akane dengan panik memeluk wadah itu.

"Aku akan meminumnya! Sebelum kamu mengambilnya dariku!"

"Mengapa aku harus melakukan itu?" Saito menyesap jusnya sendiri.

Rasanya seperti lemon seperti yang diduga, dan punya sentuhan karbonasi yang mencolok. Daripada jus, itu lebih mirip seperti Saito memasukkan sedotan ke dalam lemon untuk menyedot jusnya secara langsung. Akane mendekatkan bibirnya ke sedotan di jus stroberinya. Akane pertama hanya mencicipi lewat ujungnya, lalu akhirnya mengambil keputusan dan menyesapnya dengan baik. Tidak lama setelahnya, mata Akane terbuka lebar.

"Mmmmm!!" Bahu Akane bergetar, kakinya mengepak ke atas dan ke bawah, dan setiap bagian tubuhnya memancarkan aura kebahagiaan. "Jus stroberi ini enak! Meskipun manis seperti sirup, tidak membuat manisnya berlebihan, dan aku bisa langsung merasakan rasa stroberinya. Stroberinya juga segar, rasanya seperti aku memakannya langsung setelah dipetik. Kita harus menjadikan manajer toko ini sebagai harta nasional dan melestarikannya!"

"Kamu ini melebih-lebihkan ah, bukankah begitu?"

"Tentu saja tidak, ini memang luar biasa enak! Ayolah, kamu coba juga!" Akane menyodorkan gelas jus stroberi itu ke arah Saito.

Akane sangat bersemangat sampai-sampai dia bahkan tidak tahu apa yang telah dia katakan dan usulkan, tetapi pipinya tetap memerah. Karena Saito tahu kalau ia akan mendapatkan satu omelan nantinya, ia melanjutkan dan langsung memastikannya.

"Ini akan membuatnya seperti ciuman tidak langsung, apakah kamu yakin tidak masalah dengan itu?"

"Ah." Akane terdiam karena terkejut. "Jujur saja  tidak begitu! Kamu ini mesum!" Akane dengan panik menarik kembali gelas itu.

"Kamu yang memulainya sendiri, jangan panggil aku mesum, ah."

"Ja-Jangan membuat ini terdengar seperti aku mengajakmu untuk melakukan itu!"

"Tetapi memang begitulah yang kamu lakukan tadi?!"

Bahkan kalaupun Akane berusaha menyembunyikan rasa malunya, ini hanyalah tuduhan palsu.

"Ka-Kalau begitu, silakan saja." Akane sekali lagi menyodorkan gelas itu ke arah Saito.

"…Eh?"

"Seperti yang aku bilang, kamu boleh meminumnya seteguk!" Akane berkata, dengan mata berkaca-kaca.

"Maksudku... kamu kan yang membelinya, dan itu jus favoritmu, jadi aku akan minum jusku sendiri."

Saito merasa seperti ia akan selamanya dihantui oleh Akane jika ia mengambil jus stroberi Akane. Mempertimbangkan risikonya, Saito dengan sopan menolak jus stroberi itu. Menanggapi itu, Akane memasukkan sedotan ke mulutnya sendiri, lalu dengan lembut mengayunkan ayunannya ke depan dan ke belakang, sambil menyesap jusnya. Akane tampak seperti lukisan yang begitu indah dan alami.

"Aku terkejut kamu tahu tentang toko ini. Apa kamu selalu datang ke sini bersama Shisei-san?"

"Ini pertama kalinya aku datang ke sini. Aku mencari-cari informasi tentang toko ini sedikit."

"Begitu ya…" Akane terdiam.

Sandal putih yang Akane pakai di kaki telanjangnya yang ramping terangkat dari  trotoar batu. Ayunannya sedikit berderit, sampai ke daun telinga Saito. Akane melihat ke tanah, dan bergumam.

"…Mengapa kamu mengajakku begini?"

"Itu... cuma karena iseng saja." Saito mencari-cari alasan.

Saito merasa terlalu malu untuk mengatakan alasan yang sebenarnya.

"Itu tidak benar, bukan? Kamu itu seorang pragmatis, aku tahu itu. Saat kamu melakukan sesuatu yang biasanya tidak kamu lakukan, kamu selalu punya alasan yang tepat."

"Aku terkejut, kamu tahu."

"Kenali musuhmu, kenali dirimu sendiri, dan kamu tidak akan takut akan seratus pertempuran, bukan?" Akane membusungkan dadanya dengan bangga. "Jadi, apa alasannya?" Akane mendorong tubuhnya ke arah Saito.

Akane mengeluarkan aura yang tidak memungkinkan Saito untuk terus-terusan diam. Kalau terus begini, Akane mungkin akan memulai pertarungan lagi dengan Saito. Saito berusaha menekan rasa malunya, dan mengaku.

"Karena aku mengingatkanmu pada adikmu, kamu sudah murung selama beberapa hari terakhir ini."

Mata Akane terbuka lebar.

"Jadi kamu…mengajakku jalan-jalan agar aku bisa terhibur?"

"Iya, begitulah."

"Hmmm…Hmmmmmmm…" Akane menatap wajah Saito, seakan-akan dia sedang berusaha untuk menerawang Saito.

"A-Ada apa..." Saito merasa menggigil di sekujur tubuhnya.

Akane menunjukkan senyuman yang malu-malu, lalu dia meraih rantai ayunannya.

"…Aku merasa lebih enakan sekarang." Mata Akane menyipit dengan tatapan yang ramah, dan bibirnya membentuk seringai yang menawan.

Saito tidak dapat menahan diri untuk tidak terpesona pada senyuman memikat yang Akane tunjukkan padanya. Ketika dia marah, Akane tampak seperti iblis, tetapi senyumannya hampir seperti bidadari.

KuraKon3-2-2


Sangat disayangkan. Dia seharusnya selalu tersenyum seperti itu.

Jika Akanae berhenti mengajak semua orang berkelahi, dan malah menjadi lebih jujur seperti ini ​​serta menunjukkan lebih banyak senyuman  itu, setiap cowok di dunia ini mungkin akan jatuh cinta padanya. Akane melompat dari ayunan, dan berbalik ke arah Saito.

"Sebagai ucapan terima kasih, aku akan membiarkanmu mengajakku ke tempat manapun yang kamu suka."

"Tempat manapun…?"

"Ah, tidak boleh tempat yang mesum, oke!? Apapun selain itu! Aku sudah cukup bersenang-senang di karaoke dan toko jus ini, jadi di tempat lain tidak masalah!"

"Kalau begitu, ada tempat yang ingin aku kunjungi."

Saat melihat-lihat tempat rekreasi yang akan Akane nikmati, Saito menemukan informasi tentang tempat yang menurutnya menarik, dan ingin memeriksanya sendiri. Rencananya Saito mau pergi ke sana sendirian, tetapi mengajak Akane bersamanya pasti tidak akan terlalu menyakitkan.

"Tuh kan! Kalau begitu ajak aku ke sana!" Akane menyatakan itu dengan tenaga di dalam suaranya, kemudian mereka berdua memasuki gang samping yang terhubung ke jalan utama distrik perbelanjaan.

Berjalan di antara toko ukiran dan toko pernak-pernik buatan tangan, mereka sampai ke jalan utama di sepanjang jalan raya nasional. Suasana di kawasan perbelanjaan yang ramai itu berubah, seiring dengan deretan gedung-gedung baru yang berjejer di pinggir jalan. Di depan toko perhiasan yang memamerkan koleksinya, Akane berhenti.

"Waaah…"

Tatapan Akane terpaku pada cincin baru, yang dipajang di dalam kotak berwarna putih salju. Di cincin emas itu, ada permata merah berbentuk hati, yang berkilau di bawah cahaya neon. Untuk sementara waktu, Akane cuma menatap cincin itu, dan langsung terpaku pada kaca toko itu.

"…Apa kamu mau itu?" Saito bertanya, dan  akhirnya Akane kembali ke akal sehatnya.

"Ti-Tidak kok! Sebuah cincin cuma akan menghalangi saat aku sedang memasak!" Akane menyilangkan lengannya dan mengalihkan wajahnya, tetapi dia masih melirik cincin itu dari waktu ke waktu.

Akane benar-benar payah dalam berbohong.

"Kalau kamu mau itu, tinggal kita beli saja."

"Mustahil! Itu terlalu mahal!"

Saito melirik label harga di sebelah cincin itu, dan menjadi pucat karena banyaknya angka nol.

"Itu… mahal juga, ya."

Akane menghela napas.

"Benar kan? Itu harga yang terlalu jauh dari harga kita sebagai siswa-siswi SMA. Begitu kita dewasa nanti, dan mendapatkan uang kita sendiri, kita akan selalu bisa membeli cincin itu setelah kita mampu membelinya."

"Apakah cincin ini akan tetap ada di sini sampai saat itu tiba...?"

Bahkan Saito pun tahu kalau desain ini merupakan cuma ada satu dari jenisnya. Tidak heran kalau cincin ini akan terjual habis dalam beberapa hari ke depan. Belum lagi para wanita lain juga sedang menatap cincin itu seperti halnya yang Akane lakukan saat ini.

"I-Itu pasti, pasti tetap ada! Kalau tidak, aku akan mengutuk para karyawan dan pelanggannya!"

"Jangan mengutuk orang karena hal semacam ini."

Sungguh dunia yang menakutkan di mana orang-orang dikutuk cuma karena melakukan pekerjaan mereka atau menghabiskan uang mereka.

"Kalau begitu aku akan menyerang mereka sebagai gantinya!"

"Apa kamu ini pencuri atau semacamnya?"

"Yang kuat akan mengalahkan yang lemah!"

"Kalau begitu polisi mungkin akan menghabisimu."

Karena kekuatan mutlak dalam bentuk kepolisian itu ada, keamanan terjamin di negara ini. Satu-satunya hal yang dapat membuat orang-orang mendengarkan dan berperilaku adalah kekuatan mutlak.

"Euh… Begitu aku sukses nanti, sebaiknya kamu ingat ini…"

"Kamu memang benar-benar siap-siap dari sekarang di sini, ya."

Akane pasti sangat menyukai cincin itu, saat dia berbalik untuk melihat pelindungnya (casing-nya) beberapa kali bahkan saat mereka berjalan menjauh dari toko. Akane memang mudah untuk mengerti, tetapi tetap saja itu sangat disayangkan. Saito tidak bisa mentraktrir Akane cincin begitu saja  seperti ia mentraktir Akane dengan jus.

Mereka berdua berjalan melintasi persimpangan di jalan utama, dan memasuki lantai pertama sebuah gedung bertingkat. Lantai ini dipenuhi segala macam suplemen. Mulai dari berbagai macam mineral, vitamin, protein, bahkan lutein, serenoa, dan gaba menjadi bagian dari barisan tersebut. Pada gambar di dinding ada pria dan wanita yang berotot. Mereka memasang ekspresi seperti gorila dengan mengeluarkan gigi merek, dan melakukan pose binaragawan. Bahkan karyawan di kasir pun juga cukup berotot, membuatmu penasaran bagaimana mereka bisa menggunakan otot bisep gila ini cuma dengan berdiri di sana sepanjang hari.

"Iuh…"

Dengan ekspresi yang sangat bertolak belakang dibandingkan saat mereka berhenti di depan toko perhiasan, Akane sekarang menjadi pucat, kemudian dia mengeluarkan suara jijik.

"Ini… em… neraka?"

"Ini merupakan satu-satunya toko spesialis pengambilan sampel suplemen di Jepang."

"Pengambilan sampel suplemen!?"

Dengan jantung yang berdebar kencang, Saito mengamati bagian dalam toko itu.

"Ini pada dasarnya merupakan tempat yang memungkinkan bagimu untuk menguji pasar suplemen. Sebagai imbalan untuk menjawab survei, kamu dapat mencoba suplemen sebanyak yang kamu mau."

"Aku tidak ingin makan semua ini!"

"Mengapa!? Padahal itu bagus loh buat tubuhmu!"

"Aku merasa itu hanya akan merusak tubuhku!" Akane tampak siap untuk segera pergi dari tempat ini.

Namun Saito mengabaikan Akane, dan berjalan ke rak terdekat, mengambil pil berwarna, lalu memasukkannya ke pipinya. Segera setelah itu, sensasi yang merangsang itu menyerang otak Saito.

"Fiuh... Kamu keras sekali…Vitamin B!"

"Itu tidak terdengar seperti kamu baru saja mengonsumsi suplemen, oke!?" Akane mulai panik.

Di sana, ada seorang karyawan yang mengenakan kaus tanpa lengan (tanktop) mendekati Saito.

"Pelanggan yang terhormat, Anda cukup jeli, saya mengerti. Silakan, coba suplemen ini juga. Ini merupakan pil kalsium yang baru dikembangkan. Ini punya 300 kali tingkat penyerapan cara (means) dan suplemen konvensional."

Saito menelan pil yang dijejalkan langsung ke mulutnya oleh pegawai itu.

"Kalsiumnya… membuat tulangku keras…"

"Itu sudah masuk, bukan? Kamu akan kecanduan nanti."

"Aku mungkin tidak akan bisa kembali ke kalsium yang biasa..."

"Kembalilah, Saito! Jangan tertipu dengan dunia yang kacau ini!" Akane dengan panik menampar kepala Saito.

"Ini bukanlah dunia yang kacau. Ini merupakan dunia Arcadia yang ideal!"

Di saat yang sama, karyawan itu mengeluarkan kantong plastik kecil dengan bubuk putih di dalamnya.

"Saya ingin pelanggan yang terhormat juga mencoba suplemen ini."

"Ini toko legal, bukan!?"

"Tentu saja. Ini merupakan protein yang baru saja dikembangkan. Dikatakan bahwa dengan meminum satu porsi, Anda akan mendapati otot berada pada tingkat yang setara dengan otot pemenang medali emas Olimpiade…"

"Sungguh protein yang luar biasa!" Saito bingung.

"Kedengarannya sih memang sangat menakjubkan, tetapi ini sepertinya tidak legal sama sekali..."

"Slogannya adalah 'Apakah Anda siap untuk mempertaruhkan nyawa Anda demi otot?'."

"Aku sangat ragu ini akan laku, jadi kalian mungkin harus memikirkan kembali slogan itu..."

Di saat yang sama, karyawan tersebut menawarkan tas bubuk pada Saito.

"Bagaimana, pelanggan yang terhormat? Apakah Anda ingin mencobanya?"

"Aku mau. Aku telah terlatih untuk mengonsumsi protein tanpa minum air." Saito menyemburkan bubuk itu ke tenggorokannya.

Bubuk! Sangat banyak bubuk! Protein kental itu langsung masuk ke perut Saito. Namun, beberapa bubuk masuk ke hidung Saito, dan ia terpaksa mengeluarkannya lewat batuk. Saito dengan cepat meminta air, dan mencuci protein tersebut dengan minuman asam amino.

"Kamu ini benar-benar orang bodoh." Akane mengangkat bahunya, tetapi suaranya tidak menunjukkan aura permusuhan.

Sebaliknya, Akane terdengar lebih seperti teman yang Saito kenal sejak lama, saat dia menunjukkan senyuman yang ceria. Saito mendapati dirinya sendiri berharap kalau hari ini dapat berlanjut selamanya.


←Sebelumnya            Daftar Isi         Selanjutnya→


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama