Bab 1Saingan
Merupakan kebiasaan bagi Saito untuk membaca buku sebelum tidur. Ketika ia membolak-balik halaman di tengah-tengah keheningan yang seutuhnya, jauh dari kekacauan sehari-hari, rasanya kesadaran Saito seperti tersedot ke dalam teks. Itu membuatnya untuk menjernihkan pikirannya, dan bersiap untuk tidur yang nyaman dan sehat.
Ia membaca sampai ke bagian yang terbaik hari ini, menutup bukunya, lalu meletakkannya di atas meja di samping ranjangnya. Meringkuk ke dalam selimut, ia melihat ke arah gadis di sebelahnya. Akane, teman sekelasnya di SMA dan istri sahnya, sekali lagi membawa buku referensi ke ranjang. Dia meletakkan sikunya di seprai, dan buku referensinya di atas bantal sambil berbaring miring.
"Kamu masih bangun?"
"Aku salah menjawab pertanyaan di kelas tadi siang, jadi aku mau latihan sedikit. Kamu boleh duluan saja, dan tidur sebelum aku."
"Kalau kamu begadang, nanti kamu bisa pingsan lagi, loh."
"Aku belum pernah pingsan karena hal itu."
"Tentu saja pernah! Apa kamu ini sudah lupa penyebab dari demam yang kamu alami waktu itu!?"
Akane mendengar jawaban Saito, tetapi dia hanya membalas dengan seringai sombong.
"Bahkan kalau itu terjadi, aku bukan tipe orang yang akan mengulangi kesalahan yang sama dua kali."
"Kamu itu orang yang benar-benar lupa sampai melakukan hal itu lagi! Kamu merupakan perwakilan dari orang-orang yang melakukan kesalahan yang sama dua kali!"
"Kasar sekali! Orang yang menyebut orang lain bodoh itulah orang bodoh yang sesungguhnya!"
"Apakah kamu ini anak SD!?"
Saito dan Akane saling memelototi. Saito baru saja menenangkan dirinya dengan sedikit membaca, dan sekarang olok-olokan pasutri di tengah malam itu menghancurkan semua itu.
"Jangan terlalu memaksakan dirimu, oke? Aku tidak keberatan mengajarimu kalau kamu mengalami kesulitan pada materi tertentu."
"Aku menolak dengan sepenuh hati! Gara-gara kamu lah, aku selalu menempati peringkat kedua di angkatan kita. Aku tidak akan meminta bantuan dari musuhku!" Akane dengan erat memeluk buku referensinya, dan bahunya bergetar sambil marah.
"Kita ini bukan musuh, kita ini suami-istri, ingat?"
"Musuh, kubilang! Kalau ini merupakan medan perang, kamu pasti sudah berubah menjadi daging panggang!"
"Aku sangat bersyukur karena ini bukan medan perang…" Saito merasa begitu dari lubuk hatinya yang terdalam.
Akane memegang dagunya, dan mulai berpikir.
"Hmmm…mungkin kamu ini sudah berubah menjadi daging panggang…Aku mungkin berbicara dengan daging panggang, bukan manusia…"
"Tenanglah, otakmu tidak akan berfungsi lagi kalau isinya cuma belajar semua."
"Aku ini baik-baik saja. Setidaknya, lebih dari dirimu dan sikap cerobohmu itu."
"Bukan begitu maksudku…" Saito menyerah, sadar kalau sikap Akane sama seperti biasanya.
Ke mana perginya Akane, yang menangis tersedu-sedu saat menghentikan Saito dari berkencan dengan Himari? Mungkin Saito cuma salah paham tentang hal lain sebagai kecemburuan? Bahkan saat ini, Saito gagal memahami apa yang baru saja Akane pikirkan. Sejujurnya, ia juga tidak memahami perasaannya sendiri, jadi memahami orang lain mungkin terlalu berlebihan untuk saat ini.
Itu fakta kalau Akane telah memperlakukan Saito seperti saingannya sejak kelas sepuluh SMA mereka. Tentu saja, sepertinya itu belum berubah sejak saat itu. Untuk menghadapi gaya hidup pernikahan ini dengan aman, mereka membutuhkan gencatan senjata. Dengan pemikiran itu, Saito dengan hati-hati memilih kata-katanya, mencoba untuk meyakinkan Akane.
"Dengar… aku sudah mengatakan ini berkali-kali sebelumnya, tetapi aku tidak mau menjadikan ini sebagai kompetisi."
"Kalau aku maunya begitu." Akane cemberut.
"Karena ujian itu ada untuk mengukur bakat siswa-siswi yang sebenarnya, kalau kamu menganggapnya terlalu jauh dan keluar dari jalurmu, kamu akan semakin jauh dari tujuanmu di masa depan. Kalau aku dapat nilai buruk meskipun mendengarkan di kelas, maka itulah batas keahlianmu."
"Hah!? Kamu ini mengajak berkelahi, ya!?"
"Tidak kok. Aku cuma bilang kalau kamu mesti puas dengan nilai yang kamu dapatkan tanpa terlalu memaksakan dirimu. Kalau kamu mendapatkan peringkat kedua di angkatan di sekolah kita, banyak universitas yang terbuka buatmu."
"Jadi kamu menyuruhku untuk menerima batasanku sendiri!? Kamu ini memang mau menantangku untuk berkelahi, ya!? Bagaimana kalau kita bergulat!?" Akane mengangkat tangannya, dan siap dengan posisi bertarung.
Alih-alih memasang postur pegulat profesional, dia malah tampak lebih seperti seekor kucing liar yang gelisah.
"Tenang! Aku tidak tertarik bergulat dengan wanita tengah malam begini!"
"Jadi kamu ini sudah yakin kalau kamu tidak akan kalah, dan meremehkanku, ya. Kamu akan menyesalinya!"
"Bagaimana caranya!? Fisik kita itu berbeda jauh!"
"Aku bisa menghancurkan sebuah mobil dengan tangan kosongku!"
"Kamu ini gorila, kah!?"
Meskipun begitu, Saito sendiri bahkan tidak yakin kalau seekor gorila bisa sampai pada apa yang Akane banggakan itu. Melihat lengan Akane yang ramping, Saito ragu kalau Akane bisa menghancurkan jeruk yang sederhana.
"Ngomong-ngomong, aku tidak akan membiarkanmu mengajariku apapun itu! Aku akan mengalahkanmu dengan kemampuanku sendiri, dan sampai saat itu tiba… aku tidak akan menyerah!" Akane menyatakan hal ini dengan nada yang bermartabat.
Di dalam ruang kelas 3-A, jam pelajaran keempat baru saja berakhir, dan Himari tidak membuang-buang waktu, dengan berlari menuju ke meja Saito.
"Saito-kun, Saito-kun! Aku membuat bento loh hari ini, apakah kamu mau memakannya?"
"Ap…" Saito menatap Himari dengan kaget.
Baru-baru ini, Himari benar-benar berhenti menahan diri. Untungnya, kabar tentang Saito yang menolak ajakannya untuk berkencan belum menyebar, tetapi kalau Himari terus bertingkah seperti ini di depan umum, hanya tinggal menunggu waktunya sampai perhatian teman sekelas mereka beralih ke arah Saito.
"Himari-chan membuatkan bento buat Saito-kun…?"
"Jangan bilang kalau…"
"Eh, kamu belum pernah menyadarinya? Ini kan sangat terlihat jelas!"
"Himarin, berjuanglah!"
"Houjooooooooooooo! Apa maksudnya semua ini!?"
"Bunuh. Saito. Sekarang."
Para siswi itu menyemangati Himari, sedangkan para siswa itu mengutuk Saito. Ruang kelas itu berubah menjadi sirkus dengan banyak hewan liar yang berlarian gila-gilaan. Penghapus dan karet gelang yang dilemparkan ke Saito bahkan lebih menyakitkan daripada kata-kata tajam itu.
"Aku sudah bawa bentoku sendiri…" kata Saito, dan menunjuk kotak makan siangnya di atas meja.
"Saito-kun, kamu kan anak laki-laki, jadi kamu dapat memakan dengan porsi seratus orang, bukan?"
"Kamu terlalu percaya pada perut seorang siswa SMA biasa. Kalau aku makan terlalu banyak, aku akan meledak."
"Serahkan saja bento Abang itu pada Shisei."
"Aku mengandalkanmu!"
Shisei dan Himari saling mengacungkan jempol.
"Memangnya bisa kamu memutuskan itu tanpa seizin dari Abang?"
"Shisei sudah bisa membaca pikiran Abang. 'Aku ingin makan bentonya Himari. Dan aku juga ingin makan Himari selagi aku melakukannya', begitu yang dipikirkan Abang."
"Ya ampun…Saito-kun, kamu ini…" Himari meletakkan kedua tangannya ke pipinya, tersipu malu.
"Jangan memalsukan pikiran Abang tanpa izin dari Abang juga!"
"Shisei memahami semua hal tentang Abang. Bahkan pada bagian yang Abang sendiri tidak memahaminya. Jadi, percayakan saja pada Shisei."
"Akan kulakukan!"
Himari dan Shisei melakukan tos.
"Hentikan itu! Kamu akan bangkrut dan menjadi tunawisma!"
Saito mencoba menahan sang pemburu hantu yang jahat itu, tetapi Shisei dengan terampil menghindari cengkeraman Saito, dan mengungsi di balik dinding para siswi. Mereka merupakan anggota 'Klub Penggemar Shisei-chan' yang penuh semangat, melindung Shisei seakan hidup mereka bergantung pada hal itu, jadi mereka pastinya tidak akan menyerahkan Shisei semudah itu. Himari berjongkok di samping ujung meja, dan menatap Saito.
"Tidak bisakah kamu setidaknya makan bento ini satu gigitan…sekali saja? Aku sudah berusaha sangat keras untuk membuatmu senang…"
"Erk…" Saito terbata-bata.
Dari teman-teman sekelasnya, suara dukungan sampai ke telinga Saito.
"Houjo-kun! Sudah terima saja pemberian Himari-chan itu!"
"Aku tidak akan memaafkanmu kalau kamu melarikan diri!"
"Bersiaplah, Houjou!"
"Berbahagialah demi nasib kami juga!"
Mereka membentuk lingkaran di sekeliling Saito, dan perlahan mendekatinya. Di mana ada suara-suara yang menyemangati Himari, dan suara yang lain yang mengharapkan kematian Saito. Pada tahap ini, melarikan diri dari ruang kelas dalam keadaan utuh tentunya akan sulit. Lebih dari apapun, Saito tidak ingin menyakiti hati Himari karena menolaknya dengan kasar. Saito memang sudah menolak untuk melakukan kencan itu, tetapi secara pribadi sebenarnya ia senang, jadi ia juga ingin akrab dengan Himari mulai saat ini.
"…Baiklah, aku akan memakannya dengan senang hati."
"Terima kasiiiiiih!" Himari sedikit kegirangan.
"Aku tidak mengerti atas dasar apa kamu berterima kasih padaku…" Saito menunjukkan seringainya atas kebaikan Himari yang berlebihan.
Himari punya kepribadian yang sangat lembut sehingga hampir bertentangan dengan penampilan luarnya, dan kamu juga benar-benar tidak dapat menemukan apapun untuk dikritik darinya. Menolak ajakan dari gadis menawan seperti dia masih terasa menyakitkan bagi Saito.
—Paling tidak, aku harus menghabiskan bento buatannya saat ini.
Saat Saito memikirkan itu, Himari meletakkan kotak bentonya di meja Saito.
"Tada! Ini merupakan Kotak Bento Daging Mentah... spesial versi Himari!"
"…!?" Saito tercengang.
Yang menarik perhatian Saito pada pandangan pertama adalah daging mentah yang memenuhi kotak bekal itu, dan disajikan bersama dengan bawang putih mentah. Tidak ada tanda-tanda hidangan sampingan yang dikenal sebagai nasi.
"Apa ini…?"
"Ini Kotak Bento Daging Mentah~!" Himari berkata dengan wajah yang berseri-seri dengan santainya.
"Kamu yang membuat ini?"
"Iya! Aku mencoba yang terbaik!"
"Mana ada kamu membuatnya! Tidak ada tanda-tanda bekas dimasak yang terlihat! Kamu cuma memasukkannya saja ke kotak!"
Saito biasanya tidak akan pilih-pilih bahkan ia mengambil rumput dari pinggir jalan lalu dimakan, tetapi ia bukanlah binatang buas yang cukup besar sampai-sampai menikmati daging mentah. Ia bukanlah singa yang tinggal di Sabana. Melihat reaksi Saito, Himari meletakkan satu tangan ke mulutnya.
"Eh…Tetapi, aku dengar kalau kamu suka daging mentah dan bawang putih mentah…"
"Siapa yang memberimu informasi tidak masuk akal itu!?"
"Em…" Himari melirik Akane selama beberapa detik.
—Gadis nakal! Ini pasti ulahmu ya!?
Saito memelototi Akane, yang dengan panik mengalihkan pandangannya. Dia mengambil kotak bentonya sendiri, dan bergabung dengan sekelompok siswi yang meninggalkan kelas.
—Tetaplah di situ! Jangan berani-beraninya kamu kabur ya! Bertanggung jawablah atas semua kekacauan ini!
Akane dengan mudahnya menangkap maksud di balik tatapan Saito, tetapi dia cuma menggelengkan kepalanya. Di saat yang sama, Himari menyodorkan bento daging mentah itu ke mulut Saito.
"Saito-kun? Makanlah~ Aaa..."
"Apa aku akan mati hari ini…?" Saito merasa seperti sedang menghadapi tekanan terbesar dalam kehidupan masyarakat modern.
Alih-alih menerima akhir dari permusuhannya dengan Akane, kasih sayang Himari ternyata jauh lebih berbahaya, dan itu cukup mengejutkan.
"Kamu tidak akan mati kok~ Aku juga akan sedih jika kamu pergi, kamu tahu? Ayo, buka mulutmu~ Aaa..." Himari mengambil beberapa daging mentah dengan sumpitnya, menyodorkan makanan itu ke mulut Saito.
Akibatnya, para siswa itu mengaum sambil marah.
"Houjo! Makanlah! Lebih baik kamu makan saja daging itu!"
"Kamu pasti bisa!"
"Membiarkanku keracunan makanan, kalian br*ngsek!"
"Disuapi oleh Ishikura bagaikan Negeri Wakanda bagi seluruh siswa, dan kalau matipun kami rela!"
"Kalau begitu kalian saja yang memakan daging ini, K*mpang!"
"""Tidak usah, terima kasih!!"""
Seluruh siswa di sekeliling Saito tiba-tiba menjauhkan diri. Tidak peduli seberapa besar mereka mengagumi sang gadis populer itu di kelas, mereka tidak punya keberanian untuk menjadi seekor singa. Shisei dengan tenang menatap Saito.
"Abang, apa ada kata-kata terakhir?"
"'Pastikan untuk memasak dagingmu dengan benar!', Abang rasa?" Saito secara mental menulis wasiatnya, mengambil keputusan, dan menggigit daging itu. "Ini…!?" Mata Saito terbuka lebar karena terkejut.
Ini bukan cuma daging mentah semata yang kamu beli di pasar swalayan. Tidak tidak tidak, ini sudah dibumbui. Dari segi sensasi saat dikunyah, rasa daging itu seperti sushi mentah, tetapi tidak kehilangan kekayaan cita rasa dan energinya. Di dalam daging itu, Saito dapat merasakan kemasaman… rasanya mirip buah jeruk atau cuka, tetapi ia tidak bisa membedakannya. Di permukaan daging itu, ia dapat merasakan rempah-rempah, yang menghilangkan bau daging tetapi mempertahankan rasa bawaannya yang kuat. Dari bibir Saito yang bergetar, satu patah kata keluar.
"Lezat…"
"Saito-kun!? Ada apa!?"
"Hi…mari…Kamu membuatnya dengan lezat…Tidak ada yang salah kok…Aku bisa memberi tahumu…" Saito ambruk seketika di atas meja.
"Saito-kun!? Mengapa kamu sekarat!? Aku kira daging itu enak!?" Himari menggoyang-goyangkan tubuh Saito.
Berkat hal itu, Saito bisa bangkit kembali.
"Aku cuma kehilangan kesadaran diriku karena aku terkejut. Kamu benar-benar bisa memakan daging ini."
"Tentu saja kamu bisa memakannya! Aku tidak akan memberimu asupan yang aneh-aneh!"
"Apa kamu memasamkan daging ini dengan cuka?"
Himari mengangguk.
"Aku mencampur cuka balsamik dengan lemon dan jeruk yuzu, lalu mengawetkannya pada suhu rendah."
"Oh, jadi begitu… Itulah alasannya daging ini memiliki aroma yang sangat harum. Bagaimana dengan bumbu dari daging ini? Wasabi?" Saito memeriksa daging itu.
"Moster (mustard) saja sih, sebenarnya. Aku menaruh beberapa moster khusus yang mereka gunakan di kafe tempat aku bekerja paruh waktu. Saat aku memberi tahu manajer 'Aku ingin membuat bento buat teman sekelas cowokku!', beliau mulai menangis, dan berkata 'Bawalah pulang seluruh panci ini!', kamu tahu."
Tampaknya Himari disayangi bahkan di luar sekolah. Karena dia cantik, tetapi memiliki kepribadian yang asyik, itu masuk akal. Dia merupakan kebalikan dari Akane, yang bergaul cuma untuk mencari musuh ke kiri dan ke kanan.
"Oh, jadi kamu bekerja paruh waktu, ya?"
"Iya, di kafe yang sangat bergaya. Aku terkadang pergi ke sana bersama Akane sepulang sekolah. Kamu mau ikut kapan-kapan, Saito-kun?"
Saito menggaruk pipinya.
"Aku bukan orang yang terlalu sering mengunjungi kafe, sih."
“Kalau begitu aku akan memberi tahumu banyak hal! Jenis teh hitam apa yang terbaik, atau makanan manis apa yang enak!"
"Aku sih tipe orang yang lebih menyukai soda dan kentang goreng."
"Ya ampun, kamu bahkan belum mencobanya! Aku yakin itu akan jauh lebih seru!" Himari cemberut. "Iya, apapun itu! Makan lagi, ya! Bukan cuma moster kok, aku juga masih punya kejutan lain lagi di dalamnya." Himari mengambil beberapa daging lagi, dan menyodornya ke mulut Saito.
"Aku bisa makan sisanya sendiri."
"Tidak masalah, tidak masalah~ Serahkan saja semuanya pada Kakak!" Himari meletakkan sikunya ke atas meja Saito, dan menunjukkan senyuman yang menggoda.
"Kamu itu sebenarnya lebih muda dariku, bukan."
Mereka memang satu angkatan, tetapi sekarang Saito sudah berusia 18 tahun, sedangkan Himari masih berusia 17 tahun.
"Ah, jadi kamu juga tahu hari ulang tahunku! Apa kamu ini sebenarnya menyukaiku?"
"Tidak, bukan begitu alasannya. Aku cuma kebetulan mendengarmu dan Akane membicarakan ulang tahunmu saat masa kelas sepuluh kita."
Tepat setelah Saito mengatakan itu, Himari mendekatkan wajahnya ke wajah Saito, dan berbisik ke telinga Saito.
"Kamu masih mengingat hal itu sampai saat ini, jadi kamu pasti menyukaiku, bukan?"
"Aku tadi kan sudah bilang bukan itu alasannya."
"Aku cuma bercanda kok~ Tetapi, aku senang karena kamu ingat."
"…!"
Melihat pipi Himari memerah karena malu, Saito sendiri bisa tahu kalau Himari merona dari lehernya.
"Ini, buka mulutmu!"
"Meh!"
Himari tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, dia lalu memasukkan lebih banyak daging ke dalam mulut Saito yang setengah terbuka. Dia tidak menemukan pilihan lain selain mengunyahnya.
"Jadi kali ini yuzukoshō*, ya… Lumayan juga."
(TL: Yuzukoshō, Pasta bumbu yang terbuat dari kulit jeruk yuzu dan cabai.)
"Ehehe, betulkan? Ayo dimakan lagi. Makan semuanya ya~" Himari menyeringai dari telinga ke telinga, saat dia membawa lebih banyak daging ke dalam mulut Saito.
"Bagaimana rasanya? Disuapi oleh seorang siswi dari kelasmu saat istirahat makan siang."
"Seperti aku sudah berubah menjadi seekor anak burung walet."
“Jadi itu berarti…Aku Ibunya Saito-kun!? Hmm, itu juga tidak terlalu buruk sih."
"Itu sangat buruk, apa yang kamu bicarakan?"
Namun, meskipun begitu Saito tidak merasakan ketidaknyamanan sedikitpun. Ia ingin menebus pembatalan kencannya, jadi selama Himari menikmatinya sendiri, itulah yang terpenting.
"Ka-Kamu kan juga membawa bentomu sendiri, jadi makanlah itu juga, ya!"
Akane tiba-tiba mendekati mereka berdua, dan membuka bento Saito. Laksana predator yang mengincar mangsanya, dia mengambil steik hamburger itu dengan sumpitnya, dan memasukkannya ke mulut Saito.
"Gah…!?"
Sumpit Akane hampir bertabrakan dengan bagian belakang tenggorokan Saito, jadi Saito dengan panik menarik tubuhnya ke belakang untuk mengendalikan kerusakan itu. Mendapatkan reaksi pertahanan langsung semacam itu, ini bukanlah makan siang lagi—ini merupakan medan pertempuran.
"A-Apa yang kamu lakukan..."
"Bagaimana rasanya itu!? Disuapi oleh seorang siswi di kelasmu, hm!?" Akane meletakkan satu tangan di pinggangnya sambil bertanya.
"Aku merasa seperti sedang dihukum mati."
"Itu benar, kamu akan mati saat ini! Karena memasukkan seluruh isi kotak bento ini ke kerongkonganmu!"
"Bukan karena bentonya, tetapi karena aku disuruh makan seluruh isi kotaknya!? Tidak kejahatan macam apa yang aku lakukan sehingga pantas menerima penyiksaan semacam itu!?"
Saito merenungkan masa hidupnya sejauh ini, tetapi ia tidak ingat pernah melakukan kejahatan yang akan membenarkan hukuman semacam itu. Himari yang menyaksikan adegan ini, kemudian meletakkan satu tangan di mulutnya.
"Akane…apa kamu ini…cemburu?"
"Haaah!? A-A-Apa yang kamu bicarakan!? Ma-Mana mungkin aku cemburu cuma karena hal semacam ini!" Akane mulai berkeringat deras, saat dia berteriak.
Teman-teman sekelas di sekitar mereka mulai ribut lagi.
"Sakuramori-san cemburu kah…?"
"Saingan baru tampaknya muncul untuk memutuskan hubungan di antara pasangan komedi ini..."
(TL: Yang dimaksud "pasangan komedi" di sini adalah Saito dan Akane.)
"Jelas sekali, ini merupakan medan perang..."
"Semuanya akan meledak mulai saat ini…!"
"Tidak, tidak ada yang akan meledak!" Akane berteriak dengan wajah yang merah, meraung marah pada teman-teman sekelasnya.
Di saat yang sama, Himari dengan lembut menepuk bahu Akane.
"Tidak apa-apa, aku sudah mengerti semuanya."
"Himari…" Akane menjadi pucat.
Yang mengejutkannya, Himari dengan erat memeluk Akane.
"Kamu cemburu karena aku memberikan semua perhatianku pada Saito-kun, bukan! Tidak masalah, aku juga masih menyayangimu, Akane!"
"Ahhh, ya ampun, aku sudah memakluminya kok!" Akane putus asa.
Himari mengambil sumpitnya, dan membawa telur dadar gulung ke mulut Akane.
"Ini… Akane, buka mulutmu… Aaa..." Himari dengan lembut mengangkat dagu Akane, dan berbisik.
"Tung-Tunggu, melakukan ini di depan semua orang… itu memalukan…" Akane mencoba melawan dengan suara yang pelan, tetapi tidak berusaha kabur.
Telur dadar gulung itu dengan lembut dibawa masuk ke mulut Akane, dan setelah mengunyah sedikit, tenggorokannya yang putih bergerak. Himari menyeka sedikit saus dari bibir Akane, dan tersenyum.
"Hehe… Akane, apa itu enak…?"
"Mm…"
Suasana yang mempesona dan hampir erotis tercipta dari kedua gadis itu, saat mata mereka saling bertatapan. Sebagian besar siswa yang menyaksikan ini berteriak kegirangan, dan mulai berjoged. Itu seperti festival bagi para dewa di atas karena telah memberi mereka suguhan semacam itu.
"Buat apa aku dipaksa untuk menyaksikan adegan ini di sini..." Saito bingung pada kemesraan yang terjadi di depannya ini.
Belum lagi telur dadar gulung ini sebenarnya berasal dari kotak bento Saito sendiri. Namun, karena Akane merupakan orang yang pertama kali membuat kotak bento itu, Saito bahkan tidak bisa protes karena tidak ada yang melanggar hukum tentang hal ini.
"Lezat…daging ini…sangat lezat…"
Saat semua orang terpesona oleh adegan mesra di antara Akane dan Himari, Shisei diam-diam mengunyah semua isi kotak bekal daging mentah itu.
Jam pelajaran kelima telah berakhir, dan Himari menuju ke meja Saito, menjatuhkan diri di atasnya.
"Ahhh, matematika hari ini sangat sulit. Kepalaku sakit!"
Gambarannya persis seperti orang yang grogi, jelas sekali. Lengan putihnya yang panjang, yang terpasang gelang, terulur sepenuhnya ke atas meja, menghasilkan citra yang tidak pantas tentang cara seorang siswa harus terlihat di institusi pendidikan mereka.
"Jangan tidur di mejaku. Kalau kamu mau tidur kan bisa di UKS saja sana."
"Ehhh, di samping Saito-kun begini memberiku lebih banyak tenaga untuk bisa bersemangat kok."
"Kamu…"
Saito sangat berharap kalau Himari tidak berterus terang dengan perasaannya. Karena Saito tidak berpengalaman dalam urusan cinta, serangan semacam ini jauh lebih merusak dari yang bisa ditangani oleh daya tahannya.
"Mungkin sebaiknya aku menyerah saja pada matematika ini… Lagipula aku juga tidak akan menggunakannya ketika aku dewasa nanti."
"Itulah pemikiran seseorang yang tidak suka belajar, oke. Kamu cukup sering menggunakannya, bukankah begitu?"
"Hmm… jenis pekerjaan macam apa yang mungkin akan membutuhkan penjumlahan dan pengurangan dengan baik?"
"Jangan menyerah lah! Tujukan untuk sesuatu yang lebih baik!"
Meskipun sudah kelas dua belas SMA, Himari memiliki proses berpikir seorang wanita paruh baya yang sedang dalam krisis paruh bayanya.
"Kalau kamu bilang begitu… Baiklah, aku mengerti. Aku akan menjadi seorang astronot!"
"Kamu benar-benar langsung menjurus ke arah sana…"
Itulah pekerjaan yang membuatmu menjadi perwakilan dari Bumi, benar kan. Bagaimanapun, Himari tampaknya telah mengisi kembali tenaganya, lalu dia mengangkat tubuhnya dari atas meja.
"Menjadi astronot mungkin mustahil, tetapi aku benar-benar perlu melakukan sesuatu dengan nilaiku segera mungkin. Selama ujian terakhir ini, aku terus saja mendapat nilai yang gagal di setiap mata pelajaran."
"Itu benar-benar buruk, ya." Saito bergidik.
"Pak Guru bahkan memujiku dengan mengatakan 'Sungguh menakjubkan bagaimana bisa kamu mendapatkan nilai lebih rendah daripada nilai yang kamu dapatkan kalau kamu memilih jawaban secara acak', kamu tahu."
"Itu sudah pasti bukan pujian."
"Kamu sudah berada di peringkat puncak di angkatan sejak kamu mendaftar ke sini, bukan? Menurutmu apakah kamu bisa mengajariku sedikit?"
"Aku tidak terlalu keberatan sih…"
Himari dengan penuh semangat meraih tangan Saito dengan suka cita.
"Kalau begitu, mari kita adakan sesi belajar di rumahku sepulang sekolah hari ini!"
"Di rumahmu…?"
"Baik Ibu maupun Ayah sedang tidak ada di rumah hari ini, jadi kita akan baik-baik saja jika cuma ada kita berdua saja!"
"Apa yang bagus dari hal ini? Apakah kamu benar-benar berencana untuk belajar?"
"Kita mungkin juga akan melakukan sesuatu selain belajar, ya~." Himari menunjukkan seringai yang menggoda.
Saito menghela napas.
"Bisakah kamu membebaskanku dari neraka yang menggoda dan tiada habisnya ini?"
"Aku tidak menggodamu, aku serius." Himari mendekatkan wajahnya ke Saito, dan menatap langsung ke matanya.
Pipi Himari yang memerah, serta aroma parfum yang sampai ke hidungnya membuat Saito gelisah.
"…Aku sudah menolak ajakanmu untuk berkencan, bukan?"
"Dan aku bilang kalau aku akan membuatmu jatuh cinta padaku apapun yang terjadi, ingat?" Himari berdebat dengan nada yang sangat tegas, membuat Saito sulit untuk tetap memasang wajah datar.
Himari menyipitkan matanya, dan mengangkat bibirnya menjadi sebuah senyuman.
"Atau apa, apakah kamu benar-benar takut? Apakah kamu takut kalau aku mungkin benar-benar akan membuatmu jatuh cinta padaku?"
"Hah? Mengapa aku harus takut?" Saito dengan tenang menanggapi provokasi ini.
"Benarkah saat ini? Pada kenyataannya, jantungmu berdebar kencang, bukan?"
"Tidak kok."
"Kalau begitu, bisakah aku memeriksanya?"
"Hentikan itu."
Himari mencoba menempelkan telinganya ke dada Saito, lalu kemudian didorong menjauh oleh Saito. Jika Himari melakukan itu, mana mungkin Saito bisa tetap tenang.
"Kalau belajar di rumahku itu tidak bagus, mengapa kita tidak ketemuan di perpustakaan saja, nanti?"
Dengan kompromi ini, Saito memikirkannya.
"Perpustakaan, ya…Tidak banyak orang sih, tetapi itu masih di area sekolah…"
Himari mencoba memberi Saito satu sentuhan terakhir, menambahkan satu kondisi lain.
"Tidak akan ada sentuhan lagi! Aku berjanji tidak akan menyentuhmu sekalipun!"
"Apa yang kamu bicarakan?"
"Tentu saja, kamu selalu boleh menyentuhku kalau kamu mau!?"
"Seriusan, apa sih yang kamu bicarakan!?"
Bayangan Saito tentang Himari yang sopan dan baik tiba-tiba pecah di dalam kepalanya. Meskipun begitu, cara Himari sedikit panik dan bertingkah bingung pun juga lucu. Itu sampai ke titik di mana Saito tidak bisa menahan senyumam di depan ajakan yang merusak ini.
"Iya, perpustakaan seharusnya akan bagus."
"Yeeei! Kencan perpustakaan dengan Saito-kun!"
"Ini bukan kencan."
"Ini kencan! Setidaknya buatku!"
"He-Hei!"
Saat Himari dan Saito sedang mendiskusikan hal ini bolak-balik, Akane memisahkan mereka berdua.
"Ada apa?"
"E-Em…Begini…" Akane dengan canggung memutar tubuhnya.
Tidak seperti Akane yang biasanya, dia pasti merasa canggung saat matanya berkeliaran ke mana-mana, hanya saja tidak langsung tertuju pada Saito dan Himari.
"Bu-Bukankah… akan berbahaya kalau cuma berduaan dengan Saito? Ia pasti akan melakukan sesuatu yang aneh."
Mengapa kamu bertingkah seakan-akan kamu punya dasar akan hal itu!—Saito ingin membalasnya begitu, tetapi menyimpan kalimat itu untuk dirinya sendiri. Kalaupun ada, ia ingin dipuji karena tidak memiliki keinginan jahat saat tinggal bersama dengan cewek cantik kelas atas seperti Akane. Padahal, Saito juga tahu bahwa ia akan dibunuh di tempat jika ia mencoba melakukan sesuatu. Himari mendengar kata-kata ini dari Akane, dan meletakkan tangannya di pipinya yang merah menyala.
"Be-Benarkah…? Aku akan senang kalau memang begitu."
"Kamu ini harus lebih menghargai tubuhmu sendiri." Saito menghela napasnya, tidak percaya.
"Itu benar, kamu tidak bisa jatuh pada trik jahat cowok ini! Setelah kamu lengah, ia akan langsung membuatmu terbungkus dalam kekacauan yang tidak dapat diubah! Seperti kehidupan SMA yang malang sebagai pasangan suami istri!"
Mengapa kamu malah membahas soal kita sekarang!?—Balas Saito.
"Menikah saat masih siswa-siswi SMA itu cukup konyol~ Jika orang-orang di kelas mengetahuinya, itu akan seperti bom yang meledak. Belum lagi kedengarannya itu sangat mesum juga."
"Me-Mesum…!?" Telinga Akane memerah.
Himari meletakkan satu jari ke dagunya, dan mulai berpikir.
"Maksudku, apakah kalian tidak setuju? Menikah itu berarti kalian tidur di ranjang yang sama setiap malam, bukan? Kalian mungkin akan berangkat ke sekolah bersama-sama dengan dengan bau yang sama satu sama lain."
"Ba-Bau…!?" Akane bergetar karena terkejut, dan menempelkan ujung hidungnya ke seragamnya.
Akane mungkin sedang memeriksa apakah ada aroma Saito dapat tercium dari seragamnya, tetapi Saito sendiri sangat berharap kalau Akane dapat menahan diri untuk yang satu ini saja. Di saat yang sama, Akane menunjuk langsung ke arahnya.
"Ngo-Ngomong-ngomong, aku tidak bisa meninggalkan kalian berdua begitu saja! Itu tidak sehat!"
"Lalu, mengapa kamu tidak bergabung dengan kami saja?"
"Eh?" Setelah tangannya digenggam oleh Himari, mata Akane berkedip kebingungan.
"Jika si peringkat satu dan peringkat dua di angkatan mengajariku, aku mungkin akan menjadi peringkat tiga, bukankah begitu? Lagipula, 1 ditambah 2 sama dengan 3. Itu benar, bukan?"
"Ada apa dengan perhitungan yang aneh ini?"
"Matematikamu benar, tetapi yang lainnya itu semuanya berantakan."
Saito dan Akane sama-sama membalasnya.
"Kamu itu bodoh karena mengincar peringkat tiga." Shisei muncul dari antara pangkuan Saito.
Karena dia tidak mengungkapkan keberadaannya sampai saat itu, bahkan Saito sendiri pun melompat karena kaget.
"Kapan kamu…"
"Masuk akal kalau kalian tidak menyadarinya. Shisei bersembunyi di dalam tubuh Abang."
"Kamu membuat Abang takut di sini, bukan?"
"Aku bersembunyi di antara hati dan pankreas Abang."
"Aku merasa kalau ukuranmu itu terlalu fleksibel."
Tidak peduli seberapa dekat mereka sebagai abang dan adik, bahkan Saito sendiri merasa akan menolak kalau Shisei tinggal di dalam dirinya sebagai semacam parasit. Bahkan di antara anggota keluarga yang seperti mereka, perlu ada jarak, dan Saito ingin menjaga jarak ini tetap hidup.
"Oh iya, kamu selalu menjadi siswi dengan peringkat tiga, Shisei-chan! Kalau aku memintamu mengajariku juga, itu berarti 1+2+3, yang mana adalah 6, jadi aku mungkin mendapatkan peringkat enam!"
"Peringkatmu jadi turun, apa kamu yakin tentang itu?"
"Tidak apa-apa, setidaknya aku bisa mendapatkan peningkatan yang sederhana!" Himari membusungkan dadanya dengan percaya diri.
Saito semakin khawatir karena ia bahkan tidak membicarakan peningkatan.
"Mari kita kita adakan sesi belajar bersama untuk kita berempat! Di rumah Akane!"
"Rumahku!?" Akane berteriak karena tidak percaya.
"Tidak ada keberatan dari Shisei-chan. Belajar di rumah Akane…banyak yang bisa dimakan…"
"Kita tidak sedang membicarakan perjamuannya, oke?" Saito berkata, dan menyeka iler yang mengalir dari mulut Shisei.
Seluruh meja sudah kosong melompong, dan semua makanan telah habis.
"Shisei mengerti, dia akan pastikan untuk membawa sendok dan garpu sendiri dengan benar."
"Kamu ini tidak mengerti apa-apa, oke."
Karena Shisei itu seperti Saito, dan memahami sebagian besar dari apa yang perlu dia ketahui untuk ujian hanya dengan mendengarkannya di kelas, sebenarnya dia tidak perlu berpartisipasi dalam sesi belajar bersama itu.
"Akane…bagaimana menurutmu? Bolehkah kami meminjam rumahmu untuk sesi belajar itu?"
"Em…itu…" Akane melirik Saito, tetapi ia bertingkah seakan-akan ia tidak melihat apapun.
Akan buruk jika mereka mengetahui sesuatu cuma dari kontak mata mereka.
"Maksudku, Saito-kun dan aku selalu bisa saja untuk belajar di perpustakaan bersama…"
"Serahkan padaku! Karena aku ini jenius dan profesional dalam belajar, aku akan menciptakan lingkungan belajar yang paling bermanfaat!" Akane menepuk dadanya sendiri, saat dia dengan bangga menyatakan hal itu.
Saat istirahat, Akane menghampiri meja Saito, berbisik pelan ke telinganya.
"Datanglah ke ruang kelas yang kosong, kita perlu bicara."
Saito mengangguk. Ia tahu kalau ini bukanlah sesuatu yang sangat menyenangkan atau mengasyikkan, tetapi itu membuatnya merasa seperti ia merupakan seorang mata-mata dari beberapa badan intelijen, yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Bertemu di ruangan terpencil untuk rapat strategi sangat mirip dengan alur cerita film mata-mata. Saito menyelinap keluar dari kelas, dan berjalan menyusuri lorong. Karena ia harus menjauhi siapapun yang membuntutinya, ia selalu waspada terhadap bagian belakangnya. Ketika ia memasuki ruang kelas yang kosong, Akane sudah menunggunya. Dia berdiri membelakangi dinding, kerutan dalam terlihat pada alis matanya.
"Ini telah berubah menjadi situasi yang cukup rumit. Mengapa aku harus mengundangmu ke rumahku dan mengadakan sesi belajar yang diikutsertakan olehmu?"
"Itu juga rumahku, jangan lupakan itu." Saito menjadi semakin cemas, tetapi Akane menunjukkan senyuman yang tenang.
"Tentu saja aku ingat. Itulah yang ingin kamu percayai, bukan."
"Itu semua bukan keinginanku, aku benar-benar tinggal di sana! Jangan mencoba mencuri hak kepemilikan tempat tinggalku dariku!"
Kembali ke rumahnya yang dulu bukanlah sebuah pilihan, dan tidur di jalanan itu terlalu berisiko.
"Begini, kita perlu memastikan kalau Himari tidak menyadari kalau kamu tinggal di sana bersamaku. Bisakah kamu berakting dengan benar mengikuti rencanaku?"
"Ah…aktingnya sudah dimulai, begitu ya…kamu terdengar sangat serius, aku jadi terkejut untuk sesaat."
"Ayolah, mana mungkin aku akan sangat serius tentang hal itu." Akane berkata sambil mengangkat bahunya, tetapi Saito merasa kalau Akane mungkin agak serius.
"Yang paling merepotkan itu kemungkinan Himari bisa datang lebih awal seperti sebelumnya."
"Tidak ada jaminan kalau dia akan datang seperti yang kita janjikan… Apa yang harus kita lakukan tentang ini…?" Akane mulai berpikir.
"Untuk saat ini, mari kita bergerak secara terpisah. Aku akan pergi membeli beberapa makanan ringan dengan Himari agar memperlambat ketibaannya, jadi kamu bisa berusaha untuk membersihkan rumah." Saito mengemukakan hal itu.
"Jadi kamu mau pergi berbelanja bersama dengan Himari, begitu! Lalu, kalian akan berbagi syal, dan menghilang ke jalanan malam, bukan!?"
"Bagaimana bisa kamu sampai pada hal itu? Aku sama sekali tidak punya rencana yang seperti itu."
Apa maksudnya bagian syal itu?
"Kalau begitu, aku akan memastikan untuk membereskan sesuatu yang mencurigakan. Karena akan buruk kalau Himari berjalan ke lantai dua, maka aku akan menempelkan selotip di tangga untuk menghalangi mereka."
"Dengan pita yang bertuliskan TETAP DI LUAR, dia cuma akan tambah curiga, bukan?"
"Mengapa!? Ini TKP kriminal! Aparat kepolisian akan marah padamu!"
"Tidak ada aparat kepolisian di rumah kita."
Saito berharap kalau Akane tidak mengorek rasa ingin tahu Himari dengan sesuatu yang tidak diperlukan seperti itu.
"Kalau begitu, mari kita buat jebakan di tangga. Menembak panah begitu kamu menginjakkan kaki di pelat penekan."
"Orang-orang akan mati!"
"Tidak ada yang akan mati. Itu akan menjadi panah kecil dengan ujung yang beracun yang akan membuat tubuhmu mati rasa."
"Kami tidak sedang dikunjungi oleh pencuri, itu sahabatmu, kamu ingat?" Saito menekankan, yang membuat mata Akane terbuka karena terkejut.
"Betul sekali! Aku harus lebih berhati-hati lagi…"
"Kamu sebaiknya begitu, baiklah..."
Saito sudah merasakan dorongan untuk melewatkan sesi belajar yang mengerikan ini.
Setelah jam pelajaran berakhir untuk hari ini, Saito, Shisei, dan Himari membeli beberapa makanan manis di toko serba ada terdekat. Kantong plastik yang dibawa Saito hampir meledak, begitulah isinya.
"Kamu membeli banyak ya, Shisei-chan! Kalau kamu makan terlalu banyak makanan manis, kamu nanti tidak akan punya cukup ruang untuk makan malam buatan Akane." Himari menyarankan hal itu, tetapi Shisei cuma mendorong dadanya dengan percaya diri.
"Tidak masalah kok. Setelah semuanya sudah rata, Shisei bisa makan masakan Akane."
"Jadi sudah bisa dipastikan kalau kamu akan memakan semuanya..."
"Shisei juga akan memakan Akane."
"Eh, Shisei-chan, jangan bilang…" Himari tersipu malu.
"Tolong jangan makan dia, oke." Saito segera menghentikan orang yang dikenal rakus ini.
Shisei mungkin cuma bercanda, tetapi selalu ada aja kesempatan baginya, tahu sendiri kan. Di saat yang sama, Himari berjalan di sebelah Saito, tampaknya sedang dalam suasana hati yang baik.
"Ini pertama kalinya kamu pergi ke rumah Akane, bukan? Semuanya masih baru, dan sangat bersih!"
"Ha-Hah, benarkah. Aku sangat menantikannya, haha." Saito membalas dengan suara yang tertekan.
Ini bukan yang pertama kalinya sih, Saito malahan tidur di kamar yang sama dengan Akane setiap malam. Namun, Himari tidak boleh sampai mengetahui hal ini. Kalau Himari secara tidak sengaja membocorkan fakta ini kepada teman-teman sekelas mereka, itu akan menyebabkan kekacauan. Saat Saito sedang memikirkan hal itu, Himari memiringkan kepalanya.
"Tetapi, itu pasti aneh ya. Ketika aku mengunjungi rumahnya sebelumnya, rasanya berbeda dari yang aku tahu. Aromanya, bahkan warna gordennya, semua itu tidak terlalu mirip dengan rumah Akane lagi."
Saito sedikit panik karena kalimat yang Himari kemukakan itu benar.
"Mung-Mungkin itu cuma semacam perubahan pikiran? Sejak dia pindah dan sebagainya, dia mungkin ingin memulai dari titik awal yang baru."
"Hm, aku penasaran? Aku merasa mangkuk nasi dan peralatan makan yang dia miliki juga berbeda dari yang dia miliki sebelumnya…? Apakah kamu benar-benar akan membeli peralatan makan baru saat kamu pindah?"
(TL Note: Detail sekali.)
"Itu…Mungkin karena perusahaan pemindahan menghancurkan semua peralatan makan miliknya selama proses pemindahan?"
"Aku sangat berharap dia tidak pernah memesan perusahaan itu lagi!" Himari berteriak putus asa.
Sama dengan kejadian pada saat makan siang sebelumnya, Himari benar-benar memiliki indra yang tajam. Saito merasakan keringat dingin keluar karena ia takut akan kemungkinan kalau Himari akan mengetahui segalanya begitu dia mengunjungi rumah mereka. Tak lama, Himari menghentikan langkahnya, dan menatap Saito.
"Juga, kamu itu tahu di mana rumah Akane ya, Saito-kun?"
"Eh? Me-Mengapa kamu berpikir begitu? Aku tidak tahu!?"
"Untuk sementara waktu saat ini, kamu telah berjalan ke depan seakan-akan kamu sudah tahu mau ke mana kita akan pergi. Aku tidak membimbingmu, bukan?"
"Ah…Aku mendengarnya dari Akane. Ketika kita memutuskan untuk mengadakan sesi belajar ini."
"Begitu ya~ Kamu ini sangat luar biasa, Saito-kun, tahu ke mana arahnya tanpa menggunakan peta." Himari mengangguk setuju.
Meskipun Himari mungkin peka dan tajam terhadap hal-hal tertentu, jauh di lubuk hatinya dia masih jujur dan bersedia mempercayai orang lain. Agar Saito tidak memberinya alasan lagi untuk dicurigai, ia memperlambat kecepatannya dan membiarkan Himari yang menuntun mereka. Di saat yang sama, Shisei menarik seragam Saito.
"Apa…?" Saito dan Shisei saling berbisik.
"Tidak usah khawatir. Jika semuanya tidak berjalan mulus, Shisei akan mendukung Abang."
"Itu akan sangat membantu, tetapi…"
"Kalau orang-orang mengetahui tentang pernikahan kalian dan Abang harus berhenti sekolah, Shisei akan menerima Abang dan mendukung Abang selama sisa hidup Abang."
"Kalau bisa, Abang mau dukunganmu sedikit lebih awal dari itu!"
Shisei mengangkat dua jarinya.
"Uang dari mesin slot harian Abang akan menjadi 200.000 yen."
"Kamu terlalu memanjakan Abang, bukankah begitu menurutmu?"
"Dan Abang mendapatkan limosin dengan sopir cantik yang akan membawa Abang ke kasino."
"Orang yang baik hati macam apa Abang ini di kehidupan Abang yang sebelumnya sampai-sampai surga memberkati Abang saat ini?"
Namun, Saito sendiri juga tidak mau pergi ke surga. Ia tidak menginginkan perkelahian yang tidak perlu, tetapi ia ingin menghabiskan hari-harinya tanpa melakukan apapun juga yang tidak disukainya. Ia punya mimpi yang ingin ia raih sendiri, ke posisi yang ingin ia capai. Bahkan jika itu merupakan tempat yang jauh, sesuatu yang Saito saja mungkin tidak dapat mencapainya dengan 100% dari hasil usahanya jika digabungkan.
Akhirnya, Saito dan dua lainnya sampai ke tempat tujuan mereka. Himari menekan bel pintunya, di mana langkah kaki yang panik dapat terdengar, dan Akane muncul dari dalam.
"Se-Selamat datang~ Ini masih agak berantakan sih, tetapi…" kata Akane, sambil terengah-engah.
Akane mungkin tidak punya cukup waktu untuk berganti pakaian, karena dia masih mengenakan seragamnya. Saito melihat sebuah tas yang berisi cucian di dalamnya tidak jauh dari pintu, dengan benda-benda berbahaya lainnya yang didorong ke samping.
"Ma-Maaf mengganggu..." Saito memberi salam dengan canggung.
—Ini pertama kalinya aku merasa sangat gugup pulang ke rumahku sendiri…
Saito semakin dan bertambah cemas, penasaran apakah Himari tidak mendengar suaranya yang gagap dan tegang. Sepatu pribadi Saito masih terlihat di depan pintu masuk, jadi ia dengan hati-hati dan diam-diam mendorong sepatu itu ke samping.
"Akane, makan malamnya, makan malamnya dong!" Shisei menarik pakaian Akane.
(TL Note: Sopan banget lu, dateng-dateng langsung minta makan.)
"Belum saatnya, Shisei-san. Pertama-tama kita akan belajar dulu."
"Kamu tidak bisa berjuang dengan perut yang kosong—Apakah kamu tidak tahu ada pepatah yang seperti itu, Akane?"
"Aku tahu itu, kalau begitu buat apa kamu membeli makanan ringan itu?"
"Shisei lebih menyukai masakan Akane."
"Erk…" Akane tersipu malu atas pujian langsung dari Shisei itu.
"Sejak kapan kalian berdua jadi mesra begini!? Itu tidak adil, biarkan aku bergabung juga!"
"Kya!?" "Ohh~"
Himari meraih kedua lengan Akane dan Shisei. Saat gadis-gadis itu menikmati waktu ramah mereka bersama, Saito malah berkeliling-keliling memeriksa apakah Akane lupa mengambil barang pribadinya. Meskipun dapur terbuka dan ruang tamu masih sedikit berantakan, Saito tidak menemukan sesuatu yang berbahaya. Sesampainya di meja ruang tamu, Saito meletakkan bahan belajarnya, dan akhirnya dapat menghela napas dengan sedikit lega. Shisei tidak menunjukkan niatnya untuk belajar, karena dia malah mengunyah kukis.
"Jadi, apa yang perlu aku ajarkan padamu? Apa kamu ada kendala, Himari?"
"Iya~ aku bahkan tidak tahu bagian mana yang tidak aku mengerti~!" Himari tersenyum polos.
Itu merupakan templat jawaban dari seorang gadis yang gagal dalam belajarnya.
"Biarkan aku mengubah pertanyaannya. Kapan kamu pertama kali tidak bisa mengikuti pelajaran?"
Himari memikirkannya sejenak.
"Sejak…aku kelas satu…SD…?"
"Kapan kamu tahu hasil dari 1+1!?" Saito merasa putus asa memenuhi tubuhnya.
Ini memang terlalu banyak untuk dibahas dalam waktu yang singkat.
"Aku tidak merasa kalau kamu mengalami kesulitan, Himari. Jika aku harus menebak, nilai matematikamu cuma benar-benar turun sejak kelas sepuluh SMA."
"Ah, kamu mungkin benar! Akane, kamu ini benar-benar mengenalku dengan baik!"
"Be-Begitulah… lagipula kita itu kan berteman…"
"Kita bukan cuma berteman, kita ini bersahabat, bukan?"
"Ber-Bersahabat…" Akane tersenyum tipis.
Saito mulai berpikir.
"Begitu ya…Jadi pada dasarnya, kamu mulai tersandung pada saat pemfaktoran. Aku rasa kita mengulang mengulang semua pelajaran matematika dari kelas sepuluh SMA."
"Dari kelas sepuluh!? Mengapa!?" Mulut Himari terbuka lebar.
"Aku bisa mengajarimu apa yang kita kerjakan saat pelajaran hari ini, tetapi itu tidak akan membantumu kalau kamu tidak tahu dasar-dasarnya. Kamu perlu mencatat dasar-dasarnya di dalam pikiranmu terlebih dahulu, lalu kita dapat melanjutkan."
"Te-Tetapi…bukankah itu merupakan tugas yang berat buatmu, Saito-kun…?"
Saito mendengus dengan sombong.
"Mengajari orang lain itu memang tugas yang berat, tetapi kita sudah berpindah sampai ke titik ini dan tidak bisa kembali lagi."
"O-Oke..." Himari dengan erat membentuk tinju di atas pangkuannya.
Sesi belajar ini—atau lebih tepatnya, pengajaran empat mata di antara Saito dan Himari terus berlanjut. Di atas meja terbuka ada buku rujukan yang digunakan Akane saat kalas sepuluh. Akane tampaknya membawa ini bersamanya setelah dia pindah bersama Saito.
"Selanjutnya, kamu gunakan rumus yang barusan ini, dan memasukkannya di situ." Saito menjelaskannya, sampai membuat Himari memelototi catatannya, dan menggerakkan pensil otomatisnya.
"Se-Seperti ini…?" Himari menatap Saito dengan kecemasan yang memenuhi matanya.
"Benar. Kerja bagus."
"Wa-Wah…Aku berhasil menyelesaikannya! Saito-kun, kamu sangat pintar dalam mengajar orang!" Wajah Himari bersinar dengan penuh kegembiraan.
"Benarkah?"
"Iya! Kamu mungkin lebih baik dari guru kita! Benar kan, Akane?"
Akane menyilangkan tangannya, dan mengangkat dagunya.
"I-Ia tidak sepenuhnya buruk, aku rasa. Tetapi, jika dibandingkan denganku, dia ini seperti burung kecil!"
"Burung kecil…? Saito-kun, apa kamu ini anak ayam?" Himari memiringkan kepalanya dengan bingung.
"Maksudku adalah ia tidak bisa dibandingkan denganku sama sekali, anak muda itu!"
"Kita ini sebaya, ingat."
"Saito-kun, Mengapa kamu sangat jago dalam mengajar?" Himari mengabaikan saling olok-olok mereka, dan bertanya.
"Aku membaca beberapa buku pendidikan sebelumnya saat aku sedang bosan, dan sekarang aku mencoba teknik dari yang aku baca di dalamnya."
"Waaah, Saito-kun itu seorang jenius! Hebat!"
Dipuji begini tidak terasa buruk bagi Saito. Ia selalu senang membantu orang.
"Hei, hei, ajari aku beberapa materi lagi! Menerima materi darimu itu sebenarnya menyenangkan!" Mata Himari berbinar dengan gembira, saat dia melihat buku rujukan di depannya.
Meskipun mereka sudah duduk berdekatan, bahu Himari bersandar di bahu Saito. Melalui blus tipis yang dikenakan oleh Himari, Saito dapat merasakan kulit lembut Himari.
"He-Hei…"
"Ada apa…?" Himari menjawab pertanyaan, daun telinganya merah.
Himari merasakan sama persis seperti yang dirasakan Saito. Dan bukannya sedikit menjauh, Himari malah mendorong dirinya ke arah Saito.
"Jangan pura-pura bodoh, kamu tahu apa yang aku maksud."
"Kalau kamu tidak memberi tahuku dengan jelas, aku tidak akan paham. Lagipula aku ini kan bodoh."
"Kamu ini…"
"Saito-kun, apa kamu… tidak suka ini?"
Bukannya Saito membenci sensasi mendapati Himari di sebelahnya, tetapi Saito khawatir kalau ia akan berakhir menyakiti perasaan Himari, itulah sebabnya ia hampir tidak mungkin bergerak. Di saat yang sama, tatapan Akane dari seberang meja menusuk Saito. Dilihat dari alis matanya yang terangkat, dia jelas berada dalam suasana hati yang buruk. Saito tidak tahu apakah ini disebabkan oleh kecemburuan yang sebenarnya, atau cuma karena Akane tidak tahan melihatnya di sekitarnya, tetapi aura merah tua yang memancar dari tubuh Akane itu berbicara sendiri.
"Abang, bosan nih. Perhatikan Shisei juga dong." Shisei menempel ke leher Saito dari belakangnya.
Itu merupakan permintaan yang konyol mengingat ini seharusnya menjadi sesi belajar, tetapi Saito tidak akan bisa fokus kalau begini, jadi ia bangun, dan menarik Shisei menjauh darinya.
"Mari kita istirahat dulu sejenak. Fokus terlalu lama itu tidak terlalu efisien dalam jangka waktu yang panjang."
"Ehhh, aku masih bisa terus melanjutkannya kok. Kalau itu bersamamu, aku bisa terus melanjutkannya sepanjang malam!" Himari cemberut.
Meskipun sudah pasti tidak ada makna tersembunyi di balik kata-kata Himari, ekspresinya membuat itu tidak tertahankan lagi bagi Saito.
"Himari akhirnya terbangun karena kegembiraan belajar, jadi mengapa kamu berhenti di tengah jalan!? Apakah kamu berencana untuk sepenuhnya membuat semua kemungkinannya memburuk dan menghancurkannya selamanya!?"
Itu karena kamu marah pada Tuhan entah apa alasannya!—Balas Saito dalam pikirannya, tetapi Akane bukan tipe gadis yang bisa menebak apa yang Saito pikirkan. Saat percikan api mulai terbang di antara Akane dan Saito, Himari memisahkan mereka.
"Tung-Tunggu, tidak usah berkelahi. Aku baik-baik saja kok. Aku juga merasa sedikit lelah, jadi istirahat mungkin merupakan ide terbaik!"
"Benarkah…? Kalau kamu baik-baik saja dengan hal itu, maka aku tidak akan mengatakan apa-apa, tetapi...apa kamu tidak terlalu baik terhadap Saito?"
"Tidak kok, tidak kok! Kalaupun begitu, ia sudah membantuku belajar, jadi aku berterima kasih padanya untuk itu!" Mendengar kata-kata Himari, ekspresi Akane jadi melunak.
Bahkan aura merah yang ada di belakangnya berubah menjadi udara tipis.
—Dia ini penjinak binatang!!
Saito sekali lagi tidak bisa tidak mengagumi bakat Himari. Jika itu dirinya, pasti butuh waktu berjam-jam untuk menjinakkan naga yang berbahaya ini, namun Himari cuma butuh waktu beberapa detik.
"Himari…tolong, jadikan aku muridmu!"
"Eh, a-apa? Bukankah aku yang sedang diajari di sini?"
"Aku ingin tahu bagaimana kamu berhasil menjinakkan Akane dengan sedemikian rupa."
"Jangan perlakukan aku seperti binatang buas, dasar bodoh!" Akane menunjukkan taringnya, dan melolong pada Saito.
Himari menyatukan kedua tangannya di depan dadanya, dan mengarahkan pandangannya ke bawah saat dia menjelaskan.
"Trik agar Akane bersikap baik padamu… itu cinta!"
"Cinta…Kalau begitu, aku rasa itu tidak mustahil untuk aku lakukan." Saito melempar handuk tepat setelah gong itu.
Tidak peduli berapa juta kali mereka terlahir kembali, Saito tidak dapat melihat dirinya mencintai naga yang seperti Akane, atau dicintai olehnya.
"Dan juga, Akane itu menyukai payudara besar, jadi setiap kali aku menekan payudaraku padanya, dia akan segera melunak dan berubah menjadi seekor anak kucing yang manja."
"Himari!? Begitukah caramu memandangku!?" Akane tersipu malu.
"Maksudku, apa aku salah? Ketika kita pergi ke pemandian air panas itu sebelumnya, kamu terus-terusan membelai payudaraku~"
"I-Itu…karena aku…iri…"
"Hmmm?" Himari mendekatkan wajahnya ke wajah Akane yang memerah.
Ketertarikan Shisei tampaknya jadi tergelitik, saat dia menatap ke dada Himari.
"Shisei juga ingin mencobanya."
"Tentu, silakan saja~."
Adegan yang penuh dengan uap di antara gadis-gadis yang terbuka, tepat di depan Saito. Ia ingin menyembunyikan rasa malu dan ketidaknyamanannya sendiri, jadi ia membuka sekantung cokelat.
"Ngo-Ngomong-ngomong, mari isi kepala kita dengan gula, dan beristirahat untuk menyegarkan diri."
Shisei yang mendengar hal ini, kemudian menyodorkan beberapa kartu remi ke Saito.
"Abang, Shisei ingin bermain Consentration."
(TL English Note plus TL Note: Concentration merupakan permainan kartu dengan cara membolak-balik kartu yang tertutup untuk menemukan pasangan yang identik. Di Jepang permainan ini dikenal dengan istilah Shinkei-suijaku, yang secara bahasa berarti Pemecah Kegugupan.)
"Abang barusan bilang kalau kita harus menyegarkan diri, bukan!?"
"Kehancuran dan penciptaan merupakan dua sisi koin yang sama. Akan merusak otak Abang sepenuhnya dan seluruhnya, sehingga dapat pulih kembali sepenuhnya sekaligus untuk memberi Abang fungsionalitas penuhnya."
"Memangnya aku akan menerima logika macam itu."
"Itu benar. Shisei sebelumnya menghancurkan dunia ini, kemudian membangunnya kembali."
"Memangnya kamu ini Tuhan atau semacamnya?"
"Shisei ingin bermain. Bermain bersama Abang." Shisei duduk di pangkuan Saito tanpa mendengar sanggahan apapun.
Shisei mungkin merasa kesepian karena tersingkirkan selama sesi belajar.
"Mau bagaimana lagi... Sebentar saja, oke?"
"Abang ini memang lemah terhadap permintaan Shisei, ya."
"Kalau kamu tahu itu, maka jangan meminta yang mustahil, oke?" Saito melemparkan tebasan lembut itu ke kepala Shisei. "Kalian mau ikut juga?"
"Tentu saja! Ini mungkin pertama kalinya aku bermain kartu dengan Saito-kun!"
"Aku akan menggunakan ingatanku yang luar biasa untuk mengalahkanmu seutuhnya, Saito!"
Baik Himari maupun Akane tampaknya sangat ingin bermain ini. Meja yang penuh dengan peralatan belajar dan permen itu, dan membereskannya akan memakan waktu yang terlalu lama, jadi mereka malah membuka kartu remi itu di atas karpet. Saito membagikan kartunya, ketika Akane menatapnya seperti ia itu seorang pelaku kejahatan.
"Aku tidak akan membiarkan kecurangan apapun, oke…?"
"Mengapa aku harus curang cuma karena permainan kartu sederhana? Tenang saja."
"Mana mungkin aku bisa mempercayaimu. Kamu mungkin menggunakan feromon jejak untuk meracuniku dan membuatku menuruti perintahmu…" Akane melemparkan tuduhan kasarnya pada Saito.
"Memangnya aku akan menggunakan semacam teknik yang aneh untuk itu. Kalau kamu khawatir, kamu saja yang acak."
"Tidak masalah sih bagiku! Lagipula aku tidak bisa mempercayaimu!" Akane mengambil kartu itu dari Saito, meletakkannya di depannya.
Seperti persimpangan pada papan igo*, dia membariskannya dengan rapi. Itu sama persis seperti Akane yang rajin. Setelah persiapannya selesai, mereka memutuskan urutannya dengan melakukan suten. Urutannya adalah Akane, Shisei, Himari, lalu kemudian Saito. Akane melompat kegirangan karena itu.
(TL Note: Igo/Go/Weiqi/Badik merupakan permainan papan strategis antar dua pemain, berasal dari Tiongkok sekitar 2000 SM sampai 200 SM.)
"Aku berhasil! Aku yang pertama! Aku menang melawan Saito!"
"Permainannya saja bahkan belum dimulai..."
Terlalu awal untuk mabuk kegirangan atas kemenangan ini. Akane mengangkat dagunya, dan memandang rendah Saito.
"Yang pertama menyerang, dia yang akan menang, bukan?"
"Menurutku menjadi yang pertama, tidak akan banyak membantumu dalam permainan Consentration ini."
Malahan, bermain kartu lebih lambat hampir selalu lebih bagus, atau urutannya pun bahkan tidak masalah.
"Ini memalukan, tetapi aku akan menggunakannya demi keuntunganku! Aku tidak akan memberimu kesempatan sedikitpun, dan menebak semua kartu itu sendiri!" Akane penuh dengan motivasi, dan membalikkan dua kartu pertama.
Yang pertama dibuka adalah Enam Sekop, dan yang kedua Ratu Hati. Saito melihat ini dengan seringai, dan meletakkan telapak tangannya di telinganya untuk membuat gerakan mengejek.
"Eh, apa itu? 'Aku tidak akan memberimu kesempatan sedikitpun, dan menebak semua kartu itu sendiri!'? Bukankah itu yang kamu bilang tadi?"
"…! Ka-Kamu tidak akan mendapat kesempatan! Lagipula, melalui insiden yang tidak menguntungkan nanti, beberapa tulang di tubuhmu mungkin akan patah…!"
"Tidak ada pertarungan di atas ring!" Akane dihentikan oleh Himari.
"Aku akan berterima kasih padamu selamanya…" Saito menyatukan kedua tangannya.
Himari itu dewi perdamaian, dan Saito merasa aman dan terlindungi saat berada di sampingnya. Kalau bisa, Saito ingin Himari tinggal bersama mereka.
"I-Iya, memang selalu begitu pada awalnya!" Akane menatap kartu-kartu itu dengan pandangan yang ragu, kemudian membaliknya lagi.
Akane mungkin sedang menandai kartu-kartu itu di kepalanya. Selanjutnya, Shisei membalikkan dua kartu. Dia mendapatkan As Keriting, dan Raja Sekop.
"Terima kasih atas makanannya."
"Jangan memakannya."
Shisei hampir saja ingin memasukkan kartu-kartu itu ke mulutnya tanpa ragu-ragu, kemudian dihentikan oleh Saito di detik terakhir. Mereka memang dapat dengan mudah membeli setumpuk kartu baru, tetapi sesi belajar ini akan berubah menjadi kecepatan bilas lambung (gastric lavage).
"Abang tidak punya hak untuk menghentikan Shisei."
"Abang yakin. Ini bahkan bukan kartumu."
Saito tidak bisa mengatakan ini di depan Himari, tetapi ia benar-benar membawa kartu-kartu ini dengannya.
"Abang tidak punya hak untuk mencuri makanan dari adik perempuanmu yang kelaparan."
"Kartu tidak terhitung sebagai makanan."
"Hidangan utama Shisei itu Abang, dan hidangan yang mewakilinya adalah kertas ini."
"Berhenti bertingkah seakan-akan kamu ini koala yang tinggal di pohon kayu putih (eukaliptus)." Saito menahan Shisei di pangkuannya, dan mengembalikan kartu-kartu itu ke tempatnya semula.
Di saat yang sama, Himari mengamati mereka dengan cermat.
"Bagus sekali, Shisei-chan. Aku juga ingin duduk di pangkuan Saito-kun!"
Shisei mengacungkan jempol pada Himari.
"Tidak masalah, kamu boleh duduk di pangkuan Shisei."
"Tidak keberatan kalau aku melakukannya!"
"Kamu akan menghancurkan Shisei-san!"
Karena Himari memiliki tinggi yang hampir sama dengan Saito, dia mungkin hanya akan menghancurkan Shisei yang kecil.
"Shisei tidak akan hancur, aku mungkin cuma akan membengkak."
"Mengapa!?"
"Abang, mengapa?" Shisei memiringkan kepalanya.
"Memangnya aku tahu tentang hukum fisikmu yang tidak berlaku bagi kami para manusia."
"Ngomong-ngomong, ini giliranku!"
Himari membalikkan dua kartu. Dan kartunnya itu Ratu Berlian dan As Sekop.
"Ahh, tidak bagus~." Dia membaliknya kembali.
"Sudah lama sejak terakhir kali aku bermain Consentration seperti ini." Saito mendapati As Sekop dan As Keriting, serta Ratu Berlian dan Ratu Hati, mendapatkan empat kartu.
"Su-Sudah empat kartu…A-Aku tidak akan kalah!" Akane memancarkan aura permusuhan dan motivasi yang jelas.
Namun, tidak butuh waktu lama buat ruang tamu itu untuk berubah menjadi hiruk-pikuk (karena teriakan Akane).
"Saito punya yang cocok lagi!?"
"Bagaimana kamu bisa menebak kartu-kartu ini dengan baik!? Apakah kamu bisa melihat menembus kartu-kartu ini!?"
"Abang mengambil kartunya terlalu banyak! Apakah Abang tidak punya kebaikan di dalam diri Abang!?"
Jumlah kartunya berkurang, hingga kompetisi usai. Hasilnya adalah: Himari dengan 0 kartu, Akane dengan 2 kartu, Shisei dengan 6 kartu, dan Saito dengan 44 kartu. Setelah kemenangan besar dan sepihak dari Saito, ruang tamu pun menjadi sunyi.
"A-Aku kalah lagi…" Akane dengan erat menggenggam kedua kartunya sampai kartu itu mengedipkan mata, dan dia mulai menangis.
"Waaah…" Mata Himari terbuka karena terkejut.
"Oh iya, bermain Consentration dengan Abang pasti selalu berakhir begini." Shisei membuang kartu itu.
—Aku mengacaukan semuanya…
Saito berpikir kalau ia menahan dirinya cuma akan tidak sopan terhadap Akane yang rajin, jadi ia memutuskan untuk bermain dengan seluruh kemampuannya sebagai gantinya, tetapi ini benar-benar merusak suasana.
"E-Em…mau bermain sekali lagi?" Himari melihat sekelilingnya, tetapi tidak ada orang di sana yang mengangguk.
Ikut serta dalam permainan di mana kekalahanmu sudah tertulis di atas batu, tidak ada yang akan siap untuk itu. Ini bahkan tidak akan terhitung sebagai permainan.
"…Aku akan pergi membeli es krim, kalian bertiga bisa dulu bermain tanpaku." Saito merasa canggung, dan memutuskan untuk keluar dari rumah.
Ia teringat waktu itu saat ia masih SD. Ketika ia bermain Consentration dengan teman-teman sekelasnya di sekolah, Saito menggunakan ingatannya yang tidak terkalahkan itu untuk memenangkan setiap pertandingannya. Pada awalnya, beberapa orang masih melanjutkannya karena minat yang murni, tetapi tak lama mereka segera menghilang. Setelah permainan atau gim piranti genggam (mobile game) lain menjadi populer di kelasnya, Saito tidak pernah diajak lagi. Meskipun kemampuan fisiknya rata-rata itu cukup baik, tetapi tidak ada yang mau repot-repot mengajaknya untuk bermain sepak bola ataupun bisbol.
Itu membangun sebuah citra 'Kalau aku bermain dengannya, itu akan membosankan' dan 'Aku cuma akan kalah telak' yang dimiliki teman-teman sekelasnya pada Saito. Pada saat ia menyadari kalau ia perlu menahan diri dari orang-orang seusianya, ini sudah terlambat. Ketika ia membicarakan hal ini dengan kakeknya Tenryuu, beliau berkata 'Itu tidak masalah. Yang berbakat itu akan mengalahkan yang lemah, dan membuat mereka takut pada yang berkuasa', dan tertawa.
—Itu ... bukan yang aku mau sih.
Saito menggertakkan giginya sambil mengingat kenangan yang menyakitkan ini, kemudian Akane menghampirinya.
"Kamu juga akan pergi berbelanja?"
"Tidak, aku cuma merasa kalau mungkin kamu melarikan diri setelah satu kemenangan, jadi aku ke sini untuk mengawasimu."
"Buat apa aku melakukan itu…"
Akane berjalan berdampingan di sebelah Saito dengan wajah yang masam, saat mereka berdua berjalan ke toko terdekat. Saito ingin melarikan diri dari suasana yang canggung di rumah, namun orang yang paling merepotkan buatnya harus ikut, yang benar-benar tidak membantu masalahnya.
"Ingatanmu itu luar biasa bahkan di luar bidang pembelajaran, ya."
"Pasti menjijikkan, bukan?"
"Eh?" Akane mengedipkan matanya pada Saito dengan kebingungan.
"Aku tahu itu. Ingatanku yang kuat ini… memang menjijikkan." Saito menunjukkan senyuman yang mencela diri sendiri. "Orang-orang di Keluarga Houjo semuanya memiliki kemampuan yang luar biasa. Shisei dapat melakukan perhitungan yang tidak masuk akal dalam sekejap, sedangkan ibunya dapat menghitung kesalahan di bawah satu mikron*, sementara aku punya ingatan dan kemampuan yang luar biasa dalam mengingat ini."
(TL English Note: Satu mikron itu sama dengan sepersejuta meter dan seperseribu milimeter.)
"Jadi itu seperti garis keturunan para jenius ya?"
Saito mengangguk.
"Iya. Karena aku mengingat detail terlalu jago daripada orang lain, baik orang tuaku maupun teman-teman sekelasku menutup diriku, memperlakukanku seperti penguntit."
"Jadi itu sebabnya kamu ingat apa preferensiku sebelumnya."
"Iya. Sudah jelas itu bukan karena aku ini menguntitmu."
Saito menyadari kalau ia mungkin harus lebih berhati-hati dalam hal itu. Tidak seperti ketika ia masih muda dan polos, Saito sekarang tidak terlalu peduli dengan pendapat orang tentangnya, tetapi ia tidak ingin merusak hubungannya dengan keluarga dan teman. Saat Akane berjalan di sebelah Saito, Akane menatap lurus ke depan.
"…Jujur saja, aku ini iri."
"Iri…?" Saito bertanya dan terkejut.
"Maksudku, tentu saja aku akan iri? Kalau aku punya ingatan yang bagus, aku mungkin tidak perlu belajar sekeras ini. Aku juga dapat mengingat apa yang disukai atau dibenci oleh orang lain, sehingga aku dapat memperlakukan mereka dengan lebih baik."
"Kamu… mencoba menghiburku kah…?" Saito meragukan suara yang masuk ke telinganya.
"Tidak sopan! Aku tidak mengajakmu berkelahi karena aku mau! Apa kamu ingin tenggelam ke dasar Teluk Tokyo!?" Akane melontarkan ancaman yang tidak kalian harapkan dari seorang siswi SMA, dan berjalan di depan Saito dengan bahu yang gemetar.
Akane masih agresif seperti biasanya. Namun, Saito merasa kalau langkahnya menjadi sedikit lebih ringan. Tampaknya Akane tidak menganggap Saito menjijikkan setelah pertandingan sebelumnya. Akane hanya kesal karena kalah, dan melampiaskan rasa frustrasinya pada Saito.
Teman-teman sekelas Saito tidak berkelahi dengannya seperti Akane, tetapi mereka menjauhkannya, dan menjaga jarak darinya. Mereka memperlakukannya seperti keberadaan yang tidak teratur, dan meninggalkannya sendirian. Namun, Akane tidak pernah sekalipun menjauhkan dirinya dari Saito. Dia terus-menerus mendekatinya, bertemu langsung dengannya, dan membiarkan percikan api terbang di antara mereka berdua. Saito tentu saja merasa kesal dengan hal itu, tetapi alasannya tidak merasa kesepian seperti saat SMA adalah karena Akane selalu ada di dekatnya. Orang pertama yang menyatakan Saito sebagai saingannya—bagaimanapun juga adalah Akane.
Setelah membeli es krim untuk mereka berempat, Saito dan Akane kembali ke rumah mereka. Di ruang tamu, Shisei dan Himari sedang bermain gim.
"Ah, ah, Shisei-chan! Ada zombi yang datang di sebelah sana!"
"Zombi itu teman kita. Kita bisa akrab dengan mereka."
"Aku meragukan hal itu! Lihat, ia mencoba menggigitmu!"
"Tembaaaaak!" Shisei membakar zombi yang mendekat dengan penyembur api.
Zombi itu tertelan ke dalam lautan api, berteriak ketakutan, dan berubah menjadi abu. Mereka sedang bermain gim horor. Sesuatu yang seharusnya tidak ada di sini di rumah Akane. Akane sendiri menyadari hal ini, dan tampak pucat.
"Ka-Kalian berdua, apa yang kalian lakukan..."
Himari melompat dari sofa.
"Ah, selamat datang kembali! Jadi kamu membeli gim zombi, ya Akane! Mengapa kamu tidak memberi tahuku?"
"Be-Begini…Ayah sebenarnya membelikan ini untukku…bukan?" Akane menatap ke arah Saito.
—Jangan bergantung padaku untuk itu!
Saito tahu kalau Akane sedang panik, tetapi meminta pendapat Saito dari semua orang merupakan langkah yang terburuk.
"Mengapa Saito-kun kenal dengan Ayahmu, Akane?"
Sudah diduga, Himari sudah mulai curiga. Akane menjadi panik, dan mencoba mencari-cari alasan.
"I-Itu…Ayah bertemu dengan Saito di pasar swalayan saat membeli ikan! Setelah bertarung habis-habisan, mereka berdua pergi ke pemancingan ikan tuna di pertengahan musim dingin…!"
—Pertemuan yang kebetulan macam apa itu seharusnya!?
Saito memelototi Akane. Di saat yang sama, Akane membalas dengan pelototan tajam, tetapi itu tidak pantas dikeluarkan sedikitpun.
"Saito-kun, kamu ini suka ke pemancingan ikan tuna ya?" Himari tertarik pada topik yang aneh ini.
Sekarang karena sudah begini, mau tidak mau Saito juga harus ikut bersandiwara.
"I-Iya, memancing ikan tuna itu seru! Kamu juga bisa langsung menyantapnya di tempat!" Saito mengacungkan jempolnya pada Himari.
“Waah, hebat! Ajak aku bersamamu saat kamu pergi lain kali!"
"Ka-Kalau ada kesempatan…"
"Bisakah gadis sepertiku memancing dan mendapatkan ikan tuna?"
Saito menunjukkan giginya yang putih dan cerah, lalu mengedipkan matanya pada Himari.
"Kalau kamu mengalami masalah, percayakan saja padaku."
"Kamu sangat keren, Saito-kun! Sudah pasti, pasti aku akan percayakan padamu!"
"Ha ha ha…" Keringat dingin Saito tidak mau berhenti bercucuran.
Meskipun ini diperlukan agar percakapan ini mengarah ke mana-mana, Saito merasa tidak enak kalau kebiasaan aneh ini ditambahkan ke dalam sosoknya. Ia tidak pernah sekalipun pergi ke pemancingan ikan tuna. Namun, ia mungkin harus terjun langsung ke sana demi masa depan mereka. Akane dan Saito mundur ke lorong, dan mengadakan pertemuan darurat dengan suara yang berbisik.
"Mengapa kamu tidak menyingkirkan konsolnya?"
"Masih ada terlalu banyak hal lain yang lebih penting, dan aku tidak punya waktu lagi untuk itu! Karena aku tidak menemukan ada gim yang tergeletak di sekitar konsol itu, jadi aku kira itu akan baik-baik saja..."
"Itu tadi gim yang aku unduh dari toko."
Akane menatap Saito dengan kaget.
"Unduh? Jadi yang akan terus berjalan tidak peduli di manapun kamu meninggalkannya?"
"Ini bukan semacam boneka santet! Pokoknya, kamu dapat menyimpan gim yang diunduh di konsol ini tanpa memerlukan CD!"
"Sepertinya bukan masalah yang besar kok..."
Menghadapi perbedaan dalam budaya ini, Saito hanya bisa memegangi kepalanya dengan putus asa. Akane itu orang awam seperti Anda pada umumnya, jadi pengetahuan tentang dunia gim semacam itu tidak akan berhasil dengannya.
"Aku akan menjelaskan semuanya nanti! Kita harus menyingkirkan gim itu darinya, karena kalau tidak, semuanya akan berakhir buruk."
Akane menelan ludahnya.
"Se-Semuanya akan berakhir buruk…Jangan bilang, apa orang-orang yang memainkan gim itu akan berubah menjadi zombi?!"
"Memangnya apa ini, gim terkutuk!? Bukan itu maksudku…di konsol itu ada beberapa…gim erotis di dalamnya."
Akane terdiam. Amarah dan rasa jijik tercampur dalam ekspresi Akane, saat dia menyatakan ini dengan suara robot.
"…Aku akan menelepon polisi."
"Ini gim untuk semua umur! Jadi siswa SMA sepertiku boleh memainkannya!"
"Mengapa kamu punya gim yang semacam itu di konsol itu!? Da-Dasar kamu ini, orang yang menyimpang!"
"Aku bukan orang yang menyimpang! Ini seperti cakram (disk) penggemar dari gim pertarungan yang populer! Seri utamanya berkisah tentang pembunuhan satu sama lain tanpa ampun…tetapi dalam seri ini mereka bermain voli pantai sambil mengenakan pakaian renang…"
"Halo, ini Pak Polisi ya? Ada seseorang yang aku ingin kalian hapus sepenuhnya dari planet ini."
"Hentikan itu!" Saito mencuri ponsel pintar itu dari Akane, dan menutup teleponnya.
Akane segera mengambil kembali ponselnya, dan mengamankannya ke ujung lorong. Dia menunjuk Saito, dengan tatapan yang mengutuk.
"Sem-Sembrono sekali! A-Aku perlu membersihkan seluruh tubuhmu dengan pemutih untuk menghilangkan semua bau busuk ini darimu!"
"Katakan saja apa yang maumu! Pada saat ini, mereka akan mendapati kalau gim ini menurut mereka adalah milikmu, yang telah dibeli oleh Ayahmu, jadi kamu harus menjelaskannya pada mereka!"
"Gawaaaat!!" Akane berlari kembali ke ruang tamu.
Akane menegur kedua pemain gim itu, menyuruh mereka untuk kembali belajar, dan menyita konsolnya. Saito mengambil konsol gim itu dari Akane karena dia akan melemparnya ke dalam lemari, dan menyimpannya dengan aman. Dengan begitu, sesi belajarnya dilanjutkan. Agar Himari tidak memikirkan yang aneh-aneh, atau malah jadi malas belajar, Saito menaruh semua perhatiannya pada Himari. Kalau Himari bersantai, dia mungkin akan menyadari kalau ada banyak hal aneh dengan rumah Akane.
Dengan begitu, Himari akan dengan cepat menangkap semua yang telah diajarkan Saito padanya, dan akan sangat senang semakin lama sesi belajar ini berlangsung. Akhirnya, matahari mulai terbenam di luar jendela.
"Ahhh, kepalaku kelieungan~." Setelah belajar lebih banyak dari biasanya, Himari menjatuhkan diri ke catatannya, matanya berputar.
"Kerja bagus." Akane menyeduh teh hitam, membawanya ke kelompok mereka.
Shisei tidak menunggu sedetikpun untuk menyesapnya, dan menyebabkan lidahnya terbakar. Dia meletakkan cangkirnya ke atas meja, dan menatap Saito.
"Abang, tolong tiup ini untukku."
"Lakukan sendiri."
"Mana mungkin Shisei bisa dengan kapasitas paru-paru Shisei ini. Aku mana bisa mendinginkannya dengan benar."
"Kamu tidak perlu meniup seluruh cangkir itu dari meja, jadi kamu bisa melakukannya sendiri."
Didesak oleh Saito, Shisei mulai meniup tehnya sendiri. Himari melihat bagian tehnya sendiri, dan mencium aromanya.
"Baunya enak…kamu jago dalam membuat teh, Akane~."
"Itu karena kamu mengajariku. Kamu masih jauh lebih jago dariku."
"Itu tidak benar~ Kamu sekarang sudah jauh lebih jago.."
"Kamu memang bilang begitu, tetapi kamu masih tahu lebih banyak daripada aku dalam memilih jenis teh."
Mendengar percakapan ini terjadi, Saito berpikir di dalam hati: Cewek ini...Dia tidak menjadikan orang lain saingannya kecuali aku... Jika Akane mampu memperlakukan orang lain secara normal begitu, Saito berharap Akane bisa mencoba hal itu padanya juga. Himari meminum seteguk teh, dan kemudian menatap Saito.
"Terima kasih banyak untuk hari ini. Kalian banyak membantuku. Karena bantuan kalian, aku merasa aku jadi jauh lebih baik dalam menangani matematika."
"Senang mendengarnya. Aku dapat melihat kalau kamu masih bisa menjadi lebih baik, jadi jangan menyerah ya."
"Benarkah? Kalau begitu…bisakah kamu mengajariku lagi lain kali…di rumahmu, mungkin?"
(TL Note: Kamu sudah di rumahnya, Mbak.)
"Itu mungkin akan sedikit merepotkan."
Lagipula, lokasi mereka saat ini juga merupakan rumah Saito. Mendengar hal ini, Himari melontarkan senyuman yang menggoda.
"Mengapa? Padahal aku ingin sekali melihat kamar Saito-kun."
"Dengarkan ini…" Saito merasakan suhu tubuhnya sendiri mulai naik.
"Ahh, kamu jadi memerah, imut sekali!" Himari meletakkan sikunya di mejanya, mendekatkan bahunya ke bahu Saito.
Karena hal itu, Himari jadi menabrak cangkir, dan teh pun tumpah ke pakaiannya dan buku catatannya.
"Ah."
"Apa kamu baik-baik saja!?" Akane tersentak.
"Tunggu, aku akan membawa serbet!" Saito berlari menuju dapur, dan mengeluarkan serbet kecil dari laci. "Ini, silakan gunakan ini."
"Terima kasih!" Himari menerima serbet itu...dan tak lama kemudian, dia segera memiringkan kepalanya.
Himari berkedip karena kebingungan.
"…Hah? Mengapa Saito-kun tahu di mana serbet itu berada?"
""……!!""
Baik Saito maupun Akane mematung seperti habis disambar petir. Himari melihat ke serbet itu, dan kemudian ke Saito. Dengan ekspresi yang belum pernah dilihat Saito pada Akane, Akane mulai berkeringat deras.
—Ini buruk. Benar-benar buruk.
Saito merasakan sesuatu membuatnya panas jauh di dalam perutnya. Jika ia memberikan jawaban yang salah di sini, Himari yang teliti dan peka ini akan segera mengetahui rahasia mereka. Dengan lidah yang kering, Saito dengan hati-hati memilih kata-katanya.
"Ba-Barusan tadi…aku cuma menebaknya, oke…"
Himari tetap diam. Saito menduga tidak mungkin alasan semacam itu akan berhasil pada Himari, tetapi Saito tetap memastikan ekspresi Himari.
"Aku paham! Kamu benar-benar hebat, Saito-kun!" Mata Himari berbinar dengan penuh kegembiraan.
—Kamu benar-benar mempercayai hal itu!?
Saito dipenuhi dengan setengah perasaan lega, dan setengah bingung. Himari ini terlalu jujur dan baik, seperti biasanya.
"Menurut perhitungan Shisei, peluang menemukan serbet dalam upaya pertamamu di rumah besar ini adalah sekitar 560.000 per…Meh-meh-meh."
Saito buru-buru menutup mulut Shisei sebelum dia dapat memperumit masalahnya lagi. Himari menerima serbet itu dan menyeka pakaiannya sampai kering, tetapi nodanya tidak hilang begitu saja.
"Aku rasa akan lebih baik untuk mencuci pakaianmu sekarang karena sudah begini."
"I-Iya, di mana kamar mandinya?"
"Shisei akan memandumu ke sana. Ada juga pakaian gantinya." Shisei berjalan menyusuri lorong seperti ini adalah rumahnya sendiri, menuntun Himari.
Setelah itu, Saito mendengar suara keran yang diputar, dengan air yang mengalir ke wastafel. Akane tetap berada di ruang tamu bersama Saito, dan memberinya tatapan yang mencela.
"Karena kamu menggoda Himari, kamu membuat kesalahan yang mendasar."
"Aku tidak menggodanya."
"Kamu sudah jelas menggodanya! Dan juga, kalau kamu menolak saja untuk sesi belajar ini, seluruh kekacauan ini tidak akan terjadi!" Akane dengan agresif mendekati Saito, dan menekan jarinya ke dada Saito.
(TL Note: Sadar dirilah Mbak, ini juga salah lu!)
"Aku akan merasa tidak enak pada Himari kalau aku menolak usulan sesi belajar ini."
"Apa? Apa kamu tidak ingin membuatnya sedih? Kamu akan melakukan apa saja untuk membuatnya bahagia? Membuatnya melakukan permintaanmu?"
"Aku tidak punya motif tersembunyi macam itu!"
"Saat Himari meringkuk padamu, kamu punya tampang kriminal!"
"Kamu bercanda, bukan…?" Saito menjadi sangat khawatir.
"Aku tidak bercanda! Kamu memasang wajah yang seolah berkata 'Berikan uangmu'!"
"Arah motif tersembunyi yang tiba-tiba berubah! Sekarang aku menjadi seorang penipu!"
"Ngomong-ngomong, melihat kalian semua bermesraan dan genit itu menjijikkan! Melihatmu membuatku ingin marah! Tidak bisakah kamu menyayat kulitmu dari wajahmu!"
"Jangan meminta yang tidak-tidak!"
"Kalau kamu tidak mau melakukannya sendiri, maka aku yang harus—"
Tiba-tiba, sekeliling mereka berubah menjadi gelap.
"Kyaa!?"
Sensasi lembut menempel di tubuh Saito. Seakan-akan sikap Akane yang teguh dan keras kepala barusan itu hanyalah kebohongan, Akane memeluk tubuh Saito saat dia gemetar ketakutan.
"Kamu... kamu ini benar-benar br*ngsek."
"Aku tidak takut karena pemadaman listrik!" Akane menatap Saito dengan air mata yang mengalir di matanya.
"Tetapi banyak air mata menetes di wajahmu?"
"A-Aku baru saja meneteskan beberapa obat tetes mata!"
"Dalam sepersekian detik itu!?"
"Keraguan sesaat itu dapat berakibat fatal! Bagaimana kalau bola matamu keluar karena matamu kering!?"
"Aku benar-benar tidak tahu..."
Saito tidak pernah mendengar kalau teriakan manusia dapat membuat bola mata mereka kering. Bagaimanapun juga, ruang tamu dan dapur diselimuti oleh kegelapan. Bahkan lampu dari pemutar CD dan penanak nasi juga tidak menyala. Dari luar jendela, Saito melihat lampu menyala di rumah-rumah tetangga. Sepertinya tidak semua jalan mengalami pemadaman ini, melainkan karena rumah Saito menggunakan terlalu banyak listrik, yang menyebabkan listriknya turun.
"Aku akan memeriksa pemutusnya." Saito mencoba meninggalkan ruang tamu, lalu kemudian Akane memegang baju Saito.
Akan tampak putus asa untuk menahan air matanya, saat dia memohon.
"Jangan tinggalkan aku sendirian di tempat yang menakutkan ini!"
"Ini rumahmu sendiri, kamu ingat?" Saito tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Seseorang mungkin saja tinggal di dalam langit-langit! Seorang kakek-kakek dengan piyama bermotif hati mungkin sedang memperhatikan kita sambil tersenyum!"
"Hentikan itu, kamu cuma akan memberiku mimpi buruk."
Saito bahkan tidak ingin membayangkan hal itu.
"Kemungkinannya tidak terbatas! Kalau terus begini, kita berdua akan mati!"
"Aku benar-benar meragukan hal itu..."
Akane menempel di sisi Saito, tidak menunjukkan tanda-tanda kalau dia akan tenang. Kalau Saito memaksanya pergi, Akane mungkin akan terluka, tetapi kalau Akane terus-menerus menarik seragam Saito, sebuah tragedi akan terjadi pada akhirnya. Saito menyerah, dan duduk di ruang tamu, menunggu lampunya kembali menyala.
Akane bahkan tidak berpikir untuk menjauh dari Saito. Akane cuma berusaha tampak tegar, tetapi lemah di dalam. Saito mendengar suara gemerisik rok Akane, dan mencium aroma harum dari rambutnya. Karena mereka duduk di tengah kegelapan yang mutlak, indra Saito yang lainnya menjadi lebih peka. Saat Saito mulai merasa canggung, Akane berbisik.
"Apakah para cowok… lebih menyukai cewek yang jujur?"
“Mengapa kamu menanyakan hal itu padaku?"
"…Tidak ada alasan khusus." Tangan Akane yang memegang kemeja Saito gemetaran.
Karena wajah Akane menghadap ke bawah, Saito tidak dapat mengetahui ekspresinya, tetapi bibirnya tertutup rapat. Dalam menghadapi hal itu, Saito merasakan sesuatu yang menyakitkan jauh di dalam dadanya. Cewek yang jujur? Itu kemungkinan besar merujuk pada Himari. Lalu, siapa gadis yang tidak jujur itu?
"Sejujurnya, Aku rasa kamu itu tidak masalah apa adanya dirimu."
"…!" Akane menelan ludahnya. "A-Aku tidak sedang membicarakan… diriku…"
Bahkan saat ini, Akane bertindak bodoh.
"Kalau begitu aku juga tidak membicarakanmu, tetapi si cewek berinisial A ini."
"Cewek berinisial A…seperti seorang kriminal."
"Dia ini tidak ada hubungannya denganmu, jadi itu tidak masalah, bukan?" Saito tertawa.
Saito tidak tahu untuk alasan apa Akane menanyakan hal ini, atau apa niat Akane yang sesungguhnya. Namun, Saito segera menyadari kalau Akane mengumpulkan banyak keberanian untuk menanyakan hal ini, dan kalau ini merupakan sesuatu yang berhubungan erat dengan perasaan jujur Akane. Itu sebabnya Saito berbicara dengan hatinya juga.
"Memang benar kalau dia itu menyebalkan, tetapi akhir-akhir ini, aku jadi lebih baik dalam memahami apa yang dia pikirkan."
"Be-Benarkah…?" Akane bertanya, seperti kucing yang takut didekati oleh manusia.
"Iya. Dia itu bawel dan keras kepala, pekerja keras, dan mudah malu karena segala hal. Dia tidak benar-benar menunjukkan perasaannya secara langsung dan di depan orang lain, tetapi dia tidak punya niat yang buruk. Malahan, dia mengharapkan kebahagiaan orang lain lebih dari siapapun yang aku kenal."
"Ka-Kamu terlalu berlebihan dalam memikirkannya…" Tubuh Akane bergerak, seakan-akan dia merasa malu.
"Itulah sebabnya…dia mungkin lebih menyebalkan daripada siapapun yang ada di dunia ini…tetapi aku tidak membencinya." Setelah Saito menyelesaikan monolognya, ia merasakan daun telinganya menjadi panas.
Mereka berdua tidak jujur tentang perasaan mereka satu sama lain. Mengucapkan kata-kata ini saja, jantung Saito sudah berdebar kencang.
"Lebih menyebalkan daripada siapapun di dunia ini… Apa maksudnya… Dasar bodoh." Penghinaan yang keluar dari bibir Akane lemah, dan lebih imut dari apapun.
Saito merasakan Akane sedang menempelkan dahinya di dada Saito. Dan dengan hal itu sebagai suatu pertanda, lampu di dalam ruang tamu menyala lagi.
"Sepertinya lampunya sudah kembali menyala."
"I-Iya." Akane menghela napas lega, kemudian Himari memasuki ruang tamu.
"Ah, itu mengejutkanku, aku kira lampunya turun begitu saja…"
"Ah..." Akane terdiam.
Akane meringkuk di dekat Saito, tangannya menempel di kemeja Saito. Meskipun Akane dengan jelas telah melupakan dirinya sendiri di dalam ketakutan yang dia rasakan, ini bukanlah pemandangan yang biasanya dapat kamu lihat dari Akane. Oleh karena itu, mata Himari terbuka lebar karena terkejut.
"…Cukup dekat, ya?"
"Kami tidak dekat sama sekali!!" Jeritan Akane bergema di seluruh rumah.
"Kami masih belum tahu mengapa kemarin listriknya tiba-tiba padam, ya…"
Di hari berikutnya, Saito duduk di mejanya, memiringkan kepalanya dengan bingung. Mereka tidak menggunakan apapun yang akan menghabiskan banyak listrik, seperti oven, penanak nasi, atau semacamnya. Karena tidak ada lagi pemadaman listrik yang terjadi setelah itu, tidak ada masalah dengan kabelnya juga. Saito memeriksanya secara daring, tetapi tidak dapat menemukan laporan lain mengenai pemadaman listrik.
"Mengapa Abang begitu khawatir tentang itu?" Shisei duduk di atas meja Saito saat dia menanyakan ini.
"Aku tidak bisa tenang saat aku bahkan tidak tahu apa yang menyebabkan pemadaman ini. Bagaimana kalau itu terjadi lagi selama pertandingan?"
"Itu memang akan merepotkan. Itu mengingatkan Shisei saat Abang memainkan RPG baru waktu SD. Shisei mengerjai Abang dan mematikan konsolnya, tetapi itu menyebabkan sebuah tragedi."
"Jangan ingatkan Abang tentang itu." Saito mengerang saat ia mengingat masa lalu yang kelam itu.
Namun Shisei melanjutkan dengan acuh tak acuh.
"Abang cuma punya data pada penyimpanan otomatis. Dengan pemadaman listrik yang tiba-tiba itu, Abang tidak hanya kehilangan kemajuan Abang, tetapi juga seluruh berkas (file) yang diamankan Abang…"
"Apakah insiden ini kamu juga yang lakukan?" Saito menarik Shisei, dan bertanya padanya saat dia menjuntai di udara.
"Shisei tidak melakukan apa-apa kok." Dia menggelengkan kepalanya.
Cara Shisei menjuntai di udara itu membuatnya tampak seperti boneka. Karena kamu tidak bisa membaca ekspresinya dengan benar, kamu juga tidak akan tahu persis apakah dia mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Saito tahu akan hal ini, menyerah, dan menjatuhkan Shisei ke tanah lagi. Di saat yang sama, Himari mendekati mereka berdua.
"Saito-kun, ada sesuatu yang tidak aku mengerti selama pelajaran itu barusan, bisakah kamu mengajariku lagi?"
"Iya. Sangat menyenangkan melihatmu begitu ingin belajar lebih giat lagi."
"Terima kasih~!"
Apapun motifnya itu, itu membuat kemajuan dalam belajarnya akan membantu Himari dalam jangka panjang. Cinta monyet seperti ini cuma akan bertahan selama sesaat, jadi begitu mereka lulus, Himari pasti akan segera melupakan Saito, tetapi usahanya dalam belajar akan terus bersamanya selamanya. Namun, tanpa mengetahui pemikiran ini, Himari melambaikan tangannya ke arah Akane.
"Mengapa kamu tidak membiarkan Saito-kun mengajarimu juga~?"
"Aku sih tidak masalah, aku tidak ingin diajari oleh orang ini." Akane mengangkat dagunya, dan membuang mukanya.
"'Begitu ya." Saito mengangkat bahunya.
Akane hari ini sama seperti dirinya yang biasa. Saito sedikit menyesal tidak meninggalkannya sendirian di kegelapan agar Akane dapat mengambil hikmahnya. Tepat saat Saito memutuskan untuk tidak bersikap baik padanya lagi, Akane tiba-tiba berjalan ke samping kursinya, dan mencondongkan tubuhnya ke arah Saito. Akane kemudian mendekatkan wajahnya ke wajah Saito, dan mendorong rambutnya, kemudian dia berbisik.
"Be-Begitu kita sampai di rumah, lebih baik kamu mengajariku juga, oke?"
Akane segera kembali ke kursinya sendiri, dan meletakkan bagian atas tubuhnya di atas mejanya, membenamkan wajahnya di lengannya. Saito bisa melihat daun telinga Akane yang memerah.
–Apa kamu serius…?
Saito mulai gelisah dengan canggung di bangkunya, tidak bisa tenang. Saito tahu betapa merahnya daun telinganya sendiri.
←Sebelumnya Daftar Isi Selanjutnya→