Bab 3Siapa yang Memutuskan Bahwa Setiap Orang Akan Menjangkau Kalau Mereka Mau Sesuatu di Depan Mereka?
Suara latihan Ekskul Band Brass bergema di seluruh gedung sekolah setelah jam pelajaran usai. Aku berjalan menyusuri lorong Gedung Utara, setengah mendengarkan musik latar belakang.
—Hari ini merupakan hari Senin. Cuma ada lima hari lagi sampai tenggat pendaftaran. Aku menikmati "ajang" kemarin lusa... ...Aku mesti serius lagi mulai hari ini.
"Aku penasaran bagaimana keadaan orang lain selain Nagasaka-kun?" Kata-kata perpisahan Kiyosato-san tiba-tiba terlintas di dalam benakku saat aku memikirkan hal itu.
—Setelah itu, bus segera datang, dan aku berpisah dengan Kiyosato-san. Aku memang khawatir kalau aku akan membuat Kiyosato-san marah kayak Katsunuma, tetapi saat dia naik bus, dia itu kayak dirinya yang biasanya, dan kesan gelap yang aku punya soalnya telah lenyap dalam sekejap mata.
Sekarang kalau dipikir-pikir lagi... ...Kiyosato-san terkadang bertindak dengan cara yang bermakna. Pertama kali aku menyadarinya yaitu saat aku memandu Kiyosato-san melewati jalan setapak yang dipenuhi bunga sakura. Tiba-tiba Kiyosato-san memintaku buat mengambil jalan memutar, dan lalu dia melemparkan pertanyaan misterius padaku.
Itu juga merupakan respons yang tidak biasa yang tidak dapat diprediksi dari data informasi, dan alasan yang mendasari perilaku Kiyosato-san masih belum jelas.
Aku memang memikirkan soal makna kata-kata Kiyosato-san, tetapi... ...apa dia mau bilang padaku kalau 'orang-orang yang bukan aku dapat menikmati kehidupan sekolah yang ideal'?
Itu tidak masuk akal, pikirku.
Pertama-tama, alasanku mesti bekerja keras demi mewujudkan dunia nyataku jadi kisah komedi romantis yang ideal yaitu karena situasiku jauh dari kata ideal. Orang-orang dengan kondisi yang lebih baik — Kiyosato-san, misalnya, jauh lebih dekat dengan kondisi ideal itu ketimbang aku.
Sama halnya dengan Katsunuma, aku merasa Kiyosato-san menatapku dengan aneh. Seakan-akan Kiyosato-san menilaiku secara berlebihan atau salah paham soalku.
...Mungkin, Kiyosato-san juga...
...Sama kayak Katsunuma, Kiyosato-san mungkin punya perasaan tersembunyi yang tidak dapat dilihat dari dataku.
—Pet! Pet!
Tiba-tiba, suara terompet yang dimainkan di luar jendela menyadarkanku kembali ke dunia nyata.
...Ini bukanlah waktunya buat memikirkan hal itu.
Masalah dengan Hinoharu-senpai merupakan masalah yang mendesak, dan aku tidak dapat berpuas diri dengan hal itu. Aku mesti memusatkan segala perhatianku pada hal itu.
Aku menampar pipiku buat mengubah pola pikirku.
Sekarang, menurut informasi dari Uenohara, sudah dapat dipastikan kalau Shiozaki-senpai punya semacam perasaan khusus pada Hinoharu-senpai.
Kayaknya informasi ini juga dapat digunakan sebagai alat tawar-menawar, jadi saat ini Uenohara sedang menggali lebih dalam soal itu.
Aku berencana buat terus berinteraksi dengan Hinoharu-senpai buat melihat apa aku bisa mendapatkan petunjuk. Aku memang tidak punya strategi khusus, tetapi tidak melakukan apa-apa bukanlah sebuah pilihan.
Saat ini, Hinoharu-senpai sedang berada di Ruang OSIS. Buat saat ini, aku akan menggunakan laporan kantin yang biasanya sebagai alasan buat melakukan kontak.
—Hmm, apa ini?
Saat aku memikirkan hal ini, aku melihat Hinoharu-senpai keluar dari Gedung Kesenian melalui jendela di ujung lorong. Hinoharu-senpai membawa tas sekolahnya di pundaknya, dan kayaknya dia tidak jalan-jalan buat istirahat sementara. Tunggu, apa Hinoharu-senpai sudah pulang? Ini merupakan pola yang tidak beraturan...
Aku melihat ke arah menara jam di dekat sini dan mendapati bahwa saat itu baru saja melewati pukul 16.00 sore. Masih terlalu dini buat Hinoharu-senpai untuk pulang.
Hinoharu-senpai sedang menuju ke arah gedung sekolah melalui jembatan penyeberangan. Hinoharu-senpai mungkin akan menuju pintu masuk buat mengambil sepatunya, jadi kalau aku tetap di sini, kami mungkin akan berpapasan satu sama lain.
Aku bisa saja berbicara Hinoharu-senpai dan mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi...
Namun, rencanaku berantakan begitu aku melihat Hinoharu-senpai menempelkan ponsel pintarnya ke telinganya.
S*alan, Hinoharu-senpai sedang menelepon. Kalau aku menemui Hinoharu-senpai sekarang, aku tidak akan dapat bilang apa-apa, dan dia mungkin cuma akan mengangguk padaku.
—Aku rasa aku mesti menunggu sampai Hinoharu-senpai selesai dan lalu memanggilnya.
Dengan keputusan itu, aku bersembunyi di balik tiang terdekat.
Saat langkah kaki Hinoharu-senpai semakin mendekat, aku juga dapat mendengar suaranya.
"Iya, iya, aku datang sekarang. Ini di Jalan Umemachi, bukan? Tempat yang biasanya di depan kios Saegusa-san."
Jalan Umemachi... ...Di mana itu?
"Menantikan dango Tanabata! Ah, apa Kakek Yoshikawa tidak ada di sana? Apa Kakek mengalami masalah punggung lagi? Ah, itu sulit. Oke, aku akan segera ke sana, jadi sampai nanti,—"
[TL Note: 団子 = dango. Dango merupakan pangsit manis yang terbuat dari tepung beras yang dicampur dengan tepung beras uruchi dan tepung ketan. Cara pembuatannya berbeda dengan cara pembuatan mochi, yang dibuat setelah mengukus beras ketan. Dango biasanya berbentuk bulat, dan tiga sampai lima dango biasanya disajikan dengan tusuk sate (disebut kushidango).]
Ah, apa jangan-jangan...
Aku punya firasat dan membuka peramban di ponsel pintarku buat mencari sesuatu.
—Ah, sudah aku duga.
Saat ini sedang ada Festival Tanabata di Distrik Perbelanjaan.
Distrik Perbelanjaan tempat Hinoharu-senpai dibesarkan — Distrik Pusat Perbelanjaan Kota Kyougoku, memperlakukan sepekan sebelum dan sesudah Festival Tanabata sebagai periode Festival.
Aku memang memeriksanya karena secara teknis ini merupakan ajang Festival, tetapi waktunya cukup canggung, dan inilah Festival berskala kecil dengan cuma beberapa kios di arkade...
Aku berniat buat mengabaikannya. Itu tidak kayak akan ada kembang api atau semacamnya.
Tetapi, hmm...
Aku menengok ke arah Hinoharu-senpai dengan mataku saat dia berjalan pergi, sambil berpikir.
Dari cara Hinoharu-senpai berbicara, kayaknya dia berencana buat pergi ke Festival itu sekarang. Aku juga menemukan sebuah jalan di peta yang disebut "Jalan Umemachi."
Ini memang situasi yang sama sekali tidak terduga, tetapi ini mungkin kesempatan buat melihat Hinoharu-senpai di luar sekolah.
Apalagi sekarang aku sedang buntu, ini mungkin dapat jadi pemicu sesuatu.
Oke, mari kita pergi. Aku akan menjelaskannya pada Uenohara nanti.
Setelah aku mengambil keputusan, aku bergegas ke kelas buat mengambil barang-barangku.
*
Aku memarkir sepedaku di Stasiun Kyougoku dan berjalan kaki sekitar 10 menit.
"Wah..."
Kawasan perbelanjaan yang biasanya sepi, kini ramai dengan aktivitas.
Jalan yang tadinya merupakan surga buat para pejalan kaki, kini dipenuhi oleh orang-orang, dan suara drum taiko serta musik Festival memenuhi udara.
Di kedua sisi jalan terdapat deretan kios yang menjual berbagai macam makanan, mulai dari yakisoba dan takoyaki klasik hingga makanan khas lokal yang lebih unik kayak s*ke manju, kurodama, dan abalon yang direbus dengan kecap asin.
[TL Note: くろ玉 = kurodama. Kue manis musiman berbentuk bola yang mewakili prefektur Yamanashi. Kelahiran "Kurodama" yang asli adalah pada tahun 1929. Uguisu-an (pasta kacang hijau) yang berwarna hijau cerah terbuat dari kacang hijau, dan tambahan kacang hijau yang direbus secara terpisah buat mempertahankan teksturnya, ditambahkan buat menonjolkan rasa lembut yang melekat pada kacang hijau. Pasta ini dibentuk bulat dan dibungkus dengan yokan (jeli kacang manis) yang kaya akan gula hitam, menciptakan penganan yang beraroma.]
Arkade kuno dihiasi dengan ornamen warna-warni. Kusudama dan pita warna-warni digantung di langit-langit, bergoyang-goyang tertiup angin dan memantulkan cahaya lentera kertas.
[TL Note: 薬玉 = kusudama. Kusudama merupakan model origami modular yang terdiri dari beberapa unit yang disatukan untuk membentuk bentuk kayak bola. Itu dapat membentuk pola yang berbeda kayak bunga atau bintang.]
Wah... ...ini jauh lebih mewah dari yang aku duga. Aku kira Festival Distrik Perbelanjaan akan lebih sederhana, tetapi aku rasa aku telah meremehkannya. Aku membuka peta di ponsel pintarku sekali lagi buat memeriksa tujuanku sebelum melangkah ke keramaian.
Dari apa yang dibilang Hinoharu-senpai, 'di depan kios Saegusa-san' mungkin mengacu pada kios kue Jepang di depan. Ada satu tempat di sepanjang Jalan Umemachi yang kayaknya cocok dengan deskripsi tersebut.
Aku telah melihat Hinoharu-senpai meninggalkan sekolah dengan motor bebeknya, jadi kalau itu merupakan tujuannya, dia mestinya sudah tiba sekarang.
Aku menyimpan ponsel pintarku setelah memeriksa tanda-tanda yang dapat jadi penanda. Di tengah keramaian kayak gini, mustahil aku dapat berjalan-jalan sambil melihat peta.
Aku menceburkan diriku ke dalam suasana yang ramai dan mulai berjalan menuju tempat tujuan.
──Cetek, cetek, breum breum.
Suara keramaian dan suara mesin kios makanan memenuhi udara secara terus-menerus.
Suara-suara yang biasanya menggangguku, anehnya, justru membangkitkan semangatku dalam suasana kayak gini. Dan aroma manis dan gurih yang tercium dari segala penjuru membuatku semakin lapar.
─Tetapi ada banyak orang yang mengenakan yukata, ya?
Saat aku mendapati kerumunan orang yang berlalu-lalang, aku berpikir kalau itu merupakan persentase yang cukup besar buat sebuah festival pada waktu kayak gini, terutama pada malam hari kerja.
Dan sebagian besar orang yang mengenakan yukata tampaknya merupakan anak muda berusia awal dua puluh tahunan. Mereka mungkin itu mahasiswa-mahasiswi dari Universitas Kyougoku atau Akademi Kyougoku terdekat. Kayaknya kelompok usia mereka lebih rendah ketimbang yang biasanya kalian temukan di Festival Lokal.
Tidak ada kembang api atau semacamnya, jadi aku kira tidak perlu mengenakan yukata...
Atau mungkin kios kimono di distrik perbelanjaan itu menyewakannya? Kalau mereka mengiklankannya dengan benar, mereka mungkin dapat menarik banyak pelanggan.
Tunggu sebentar... ...kalau memang benar begitu, kalau begitu mungkin...
Hinoharu-senpai mungkin... ...mengenakan yukata juga!?
Apa jangan-jangan ini merupakan "Bab Yukata" pada saat yang genting kayak gini!?
"Hngh!"
Aku mau tidak mau merasa gembira atas pemikiran ajaib ini, dan akhirnya aku terengah-engah. Orang-orang di sekelilingku menatapku dengan tatapan aneh, jadi aku cepat-cepat berpura-pura batuk buat menutupinya.
Ti-Tidak, tidak, tenanglah. Ini tidak kayak "ajang" lezat semacam ini yang terjadi dengan mudah.
Sudah pasti ekspektasiku akan dikhianati, jadi aku tidak boleh terlalu berharap.
Tetapi, astaga, yukata itu memang bagus... ...Hinoharu-senpai punya kecantikan tradisional Jepang, jadi dia pasti akan tampak cantik sambil mengenakan yukata...
Tidak, itu merupakan ide yang buruk! Ini jelas merupakan bendera kematian! Diamlah, daku!
Aku membuang segala pikiranku dan cuma fokus buat menemukan tengaraku.
Ah! Tanda itu! Itu dia!
Aku mempercepat langkahku menuju lokasi, jantungku berdebar-debar karena gembira... ...Tidak, maksudku, merenungkan zaman gerabah.
Di depan kios penganan Jepang, tirai noren kios tersebut bertuliskan "Yakisoba dan Kushidango".
[TL Note: 暖簾 = noren. Tirai noren merupakan tirai pembatas kain tradisional Jepang yang terbuat dari potongan-potongan persegi panjang. Noren eksterior secara tradisional digunakan oleh toko-toko dan restoran sebagai alat perlindungan dari matahari, angin, dan debu, dan buat menampilkan nama atau logo kios.]
Dan saat aku melihat ke dalam—
"─Kayak gitu, benarkah?!"
"Eh?"
─Di sana berdiri Hinoharu-senpai.
Mengenakan mantel khas Festival Happi, Hinoharu-senpai sedang memasak yakisoba.
"Wah, Nagasaka-kun!? Kamu juga ada di sini!"
Wajah Hinoharu-senpai berbinar-binar.
Di tangannya, Hinoharu-senpai memegang spatula logam buat yakisoba. Rambut hitam panjang Hinoharu-senpai disanggul di atas kepalanya, dengan ikat kepala hachimaki bertuliskan 'Distrik Perbelanjaan Pusat Kyougoku'.
[TL Note: 鉢巻 = hachimaki. Ini merupakan ikat kepala khas Jepang, biasanya terbuat dari kain merah atau putih, yang biasanya menampilkan desain huruf kanji di bagian depan. Ikat kepala ini dipakai sebagai simbol usaha atau keberanian pemakainya, terutama buat mereka yang berada di dunia militer, atau cuma buat mencegah keringat dari wajah. Semangat, Hinoharu-senpai!]
Di balik mantel happi, yang punya pola gelombang biru dan putih dengan kanji 'Matsuri' besar di bagian belakang, Hinoharu-senpai mengenakan seragam olahraga sekolah standar. Pakaian Hinoharu-senpai benar-benar disesuaikan buat Festival.
[TL Note: 祭り = matsuri. Maknanya Festival.]
Ah, begitu ya. Wajar kalau berpakaian kayak gitu saat membantu di kios... ...S*alan, hentikan! Paling tidak lilitkan kain sarashi di pinggang kalian kalau kalian mau mengenakan mantel happi! Lebih memperhatikan 'layanan pembaca'!
[TL Note: 晒し = sarashi. "Kain yang diputihkan", kain putih yang ringan dan lembut, biasanya terbuat dari katun. Sehelai sarashi dapat dililitkan di sekitar tubuh di bawah kimono sebagai haramaki (kain untuk menutupi perut). Ini merupakan aksesori fesyen buat tujuan praktis atau estetika.]
"—Nagasaka-kun? Hei, bisakah kamu mendengarku?"
"Ah, maaf, aku terlalu fokus pada gerabah."
"Hah?"
Hinoharu-senpai tertawa kecil sambil mengerutkan alis matanya melihat tingkahku yang aneh.
...Ehem. Eum, terserahlah.
"Wah, Hinoharu-senpai, sungguh kejutan bertemu denganmu di sini. Apa kamu membantu menjaga kios?"
"Iya! Sebenarnya, aku sudah mengenal banyak pemilik kios di sekitar sini buat waktu yang lama! Mereka selalu menjagaku dengan baik, jadi aku membantu selama ajang-ajang kayak gini!"
Sambil berbicara, Hinoharu-senpai dengan terampil mengoseng yakisoba, mengeluarkan suara 'sreng sreng' dengan spatula. Hinoharu-senpai tampak cukup berpengalaman; Hinoharu-senpai pasti berkata jujur.
"Ah, begitu ya. Jadi, kamu sedang membuat yakisoba."
"Yoi. Ah, apa kamu mau?"
"Iya, aku mau banget. Baunya saja sudah membuatku lapar."
"Sebentar lagi jadi!"
Hinoharu-senpai menjawab dengan riang dan dengan terampil menyendok yakisoba ke dalam kemasan transparan menggunakan spatula.
Tetapi astaga, Hinoharu-senpai begitu bersemangat sejak tadi. Mungkin karena lingkungan yang berisik, suara Hinoharu-senpai terdengar lebih keras ketimbang biasanya. Mantel Festival yang sangat cocok buat Hinoharu-senpai.
"Ini dia! Aku membuatnya sedikit lebih besar karena kamu itu cowok. Acar jahe dan rumput lautnya itu pilihan!"
"Ah, terima kasih banyak."
Aku mengambil kantung plastik dan meletakkan uang kembalian yang sudah aku siapkan di telapak tangan Hinoharu-senpai. Sentuhan singkat tangan Hinoharu-senpai terasa agak hangat dan sedikit berkeringat.
"Terima kasih atas belanjaanmu! Ah, aku membuatnya buat dibawa pulang, tetapi apa kamu mau memakannya di sini?"
"Eh, apa tidak apa-apa?"
Itulah tawaran yang tidak dapat aku tolak. Aku juga dapat mengamati perilaku Hinoharu-senpai lebih dekat dengan cara ini.
"Tentu saja! Silakan gunakan ruang kosong di belakang kios."
Hinoharu-senpai menjawab dengan senyuman dan mengambil sebuah kotak besar berisi botol b*r yang diletakkan di dekatnya, dan meletakkannya dengan sebuah 'don'. Kayaknya Hinoharu-senpai menyarankan buat menggunakannya sebagai bangku.
"Terima kasih banyak. Kalau begitu, aku tidak akan menahan diri."
"Silakan, silakan saja!"
Aku mengambil kotak b*r dan berjalan menjauh dari kerumunan orang ke bagian belakang kios.
Ruang terbuka di belakang kios tampak kayak tempat parkir yang dioperasikan dengan koin. Mungkin tempat ini ditutup sementara selama Festival dan digunakan sebagai area gudang.
Tabung gas, keranjang dari pabrik mi, dan kotak kardus berisi bahan makanan ditumpuk di sekitarnya. Penerangannya memang remang-remang karena kurangnya penerangan, tetapi terasa lebih tenang ketimbang bagian depan.
Aku menemukan tempat yang nyaman di antara kotak-kotak kubis dan tauge yang kosong, lalu aku duduk. Dari sini, aku dapat mengamati punggung Hinoharu-senpai yang sedang bekerja.
Fiuh, akhirnya aku dapat sedikit bersantai. Berjalan di tengah keramaian benar-benar melelahkan.
Sambil mengisi kembali tenagaku dengan yakisoba panas, aku memutuskan buat mengamati perilaku Hinoharu-senpai.
—Setelah beberapa saat.
"Sacchan, Sacchan, kemarilah sebentar!"
Suara serak menggema dari tenda di sebelah kios Hinoharu-senpai, yang punya papan nama bertuliskan 'Panitia Pelaksana Festival Tanabata'. Saat aku menengok, aku melihat seorang kakek-kakek beruban memberi isyarat pada Hinoharu-senpai.
"Hmm, ada apa ini?"
Hinoharu-senpai memeriksa apa tidak ada pelanggan di sekitar, meletakkan spatula, dan menuju ke sana.
"Bukannya kamu bilang kios Aonuma-san kehabisan kertas dekorasi Tanabata? Bagaimana kabarnya?"
"Kalau memang benar begitu, kami punya beberapa kertas cadangan di Pusat Komunitas, jadi Anda dapat menggunakannya. Anda punya kuncinya, bukan?"
"Pusat Komunitas, ya... ...Kayaknya aku mesti pergi ke sana."
"Apa yang Anda bicarakan? Itu cuma 10 menit berjalan kaki. Jalan-jalanlah! Itu baik buat kesehatan Anda!"
Bilang begini, Hinoharu-senpai menepuk punggung kakek-kakek itu.
Lalu, seorang kakek-kakek lainnya muncul.
"Sacchan! Lagu audio apa yang mesti kita mainkan di arkade?"
"Aku sudah menyiapkan CD 'Yochabare Rock' di dalamnya, jadi silakan gunakan itu."
"Ah, gitu ya. Tetapi kalau bisa, aku lebih suka yang lebih arustama..."
"Yang itu akan lebih populer di kalangan anak muda! Selain itu, kita sedang melakukan humas buat pembaharuan, jadi kita mesti mencoba sesuatu yang baru!"
Lalu, seorang kakek-kakek yang bungkuk muncul.
"Sacchan, ini tanda terima hadiah yang akan diberikan pada undian besok."
"Iya, iya... ...Hmm, bukannya ini berbeda dengan yang aku pesan? Aku kira kita sudah sepakat buat memesan kerajinan kristal yang unik."
"Iya... ...yang itu agak mahal."
"Tidak, tidak, itu mestinya jadi puncak ajang. Apa gunanya membuat unggahan foto ke media sosial sebagai syarat buat ikut serta kalau kita tidak melakukan sesuatu yang istimewa? Inilah hal yang murah kalau Anda menganggapnya sebagai iklan tambahan."
Di tengah-tengah arus pengunjung yang terus mengalir, Hinoharu-senpai secara efisien menanggapi setiap permintaan, dan seolah-olah seluruh operasi berpusat di sekelilingnya.
Meskipun keringat bercucuran di jidatnya, Hinoharu-senpai memberikan instruksi tanpa sedikitpun rasa tidak senang, dan bahkan berinisiatif melakukan sesuatu secara pribadi, tidak pernah berhenti sejenak pun.
Tetapi, wajah Hinoharu-senpai penuh dengan kehidupan — dan, lebih dari segalanya, Hinoharu-senpai tampak sungguh-sungguh bahagia dari lubuk hatinya yang terdalam.
"Hei, bukannya kamu yang kemarin itu?"
Saat aku menoleh ke samping, aku melihat seorang nenek-nenek berdiri di sana, mengenakan kimono.
"Kamu itu salah satu teman Sacchan yang dulu, bukan?"
"Ah... ...Terima kasih atas waktu itu."
Aku menundukkan kepalaku saat aku tiba-tiba menyadari siapa nenek itu.
Saat itu hari sudah gelap, jadi aku tidak mengenali nenek itu, tetapi beliaulah pemilik tanah dari kios kimono yang mengobrol dengan kami sebelumnya. Masuk akal kalau orang-orang dari kios yang pernah aku kunjungi saat menyelidiki Hinoharu-senpai juga akan ada di sekitar sini.
Nenek pemilik tanah tertawa terbahak-bahak saat beliau melihat Hinoharu-senpai.
"Saat Sacchan ada, semua orang bekerja sangat keras. Sacchan selalu jadi anak yang lincah."
"Apa... ...Apa Hinoharu-senpai selalu kayak gitu di sini?"
"Iya, Sacchan memang begitu. Saat Sacchan masih kecil, dia bahkan lebih sembrono, tetapi dia belum berubah sedikit pun dalam hal memimpin semua orang."
Nenek pemilik tanah lalu berbalik ke arah jalan dan memberi isyarat padaku buat mendekat dengan mengibaskan tangan beliau.
Saat aku mendekat, nenek pemilik tanah menunjuk ke arah anak-anak muda di sekitar kami.
"Lihatlah seluruh yukata ini, seluruhnya merupakan hasil sewa dari kios kami. Sacchan membawa seluruh pelanggan muda ini lewat internet."
Nenek pemilik tanah tersenyum lembut, mengungkapkan rasa syukur beliau.
Ah, jadi begitulah cara kerjanya. Itulah perbuatan Hinoharu-senpai juga... ...kayak yang aku duga.
"Orang-orang tua kayak kami tidak paham cara-cara baru dalam melakukan sesuatu. Aku belum pernah mengharapkan peningkatan pelanggan kayak gitu."
"...Tetapi bukannya menantang buat mencoba hal-hal baru kayak gini?"
Aku bertanya karena penasaran.
Nenek pemilik tanah menjawab dengan senyuman kecut.
"Tentu saja, ini melelahkan buat kami yang sudah tua."
...Mungkin nenek pemilik tanah berpikir kalau hal itu merupakan gangguan di lubuk hati beliau.
Saat aku merasa sedikit kecewa, nenek pemilik tanah melanjutkan, "Tetapi karena melelahkan, kami tidak akan melakukan apapun kalau dibiarkan sendiri. Terkadang, ada baiknya diseret-seret dan dipaksa bekerja kayak gini."
—Ah, begitu ya.
Ada kalanya memang penting buat ditarik secara paksa, meskipun itu merepotkan.
"Hei, Tante Satoyoshi! Ada permintaan buat mengenakan kimono di sini! Cepatlah!"
"Di sanalah kamu. Ayo, ayo~"
Dipanggil oleh Hinoharu-senpai, nenek pemilik tanah menghela napas dan mengangkat bahu beliau sambil berjalan ke belakang.
Saat Hinoharu-senpai kembali, dia melepaskan ikat kepala dari jidatnya dengan satu tangan dan menghembuskan napas, "Hah..."
Di tangan yang lain, Hinoharu-senpai memegang tusuk dango.
"Aku lelah. Waktunya istirahat."
Hinoharu-senpai duduk di atas kotak b*r lain yang dia letakkan di sampingku. Hinoharu-senpai menjejali dirinya sendiri dengan tusuk dango, pipinya menggembung.
"...Hinoharu-senpai,"
Aku memanggil Hinoharu-senpai.
"Iya?"
"Di sini memang sangat ramai. Aku tidak menyangka kalau Festival di Distrik Perbelanjaan akan kayak gini."
"Ah, bukannya begitu!? Tempat ini jadi ramai setiap tahunnya selama Festival! Sudah berlangsung selama lebih dari setengah abad dan telah jadi tradisi yang nyata, dan pada hari terakhir, mereka bahkan punya kuil portabel dengan drum besar!"
"Dan rasanya lebih sederhana ketimbang yang aku duga. Ada kesan buatan tangan, yang entah bagaimana menenangkan."
"Benar begitu, bukan!? Kami semua berkumpul di Pusat Komunitas buat membuat dekorasi festival bersama-sama. Dan buat pohon bambu besar di tengah, para pemilik tanah di gunung terdekat memotong dan membawa pohon bambu yang bagus setiap tahunnya!"
"Wah, bagus sekali. Kalau saja aku tahu suasana kayak gini ada di sini, aku mungkin akan datang lebih sering. Terkadang Distrik Perbelanjaan tua dapat memberikan kesan 'kami tidak menerima orang asing'."
"Iya, itu memang benar! Aku memang berharap lebih banyak anak muda yang datang ke sini secara teratur, tetapi saat aku mencari informasi soal itu, tidak banyak yang muncul, dan rasanya sulit buat didekati. Dan aku rasa memang tidak banyak kios yang menargetkan anak muda, tetapi aku rasa kita mesti benar-benar menjual kesan jadul itu sebagai kekuatan!"
Hinoharu-senpai dengan fasih berbagi pemikirannya, berbicara dengan lancar dan penuh semangat.
"Mengapa tidak memanfaatkan nuansa retro Zaman Showa ini, atau lebih tepatnya, merangkulnya? Gaya Jepang yang modern sedang jadi tren akhir-akhir ini, dan aku suka hal-hal semacam itu. Jadi, menurutku, kita mesti menggunakan media sosial dan wadah lainnya buat mengubah arah Humas kita dan menarik perhatian audiens yang lebih muda!"
"Ah, kedengarannya menarik! Kalau ini jadi viral, aku rasa ini akan jadi hits."
"Benarkah!? Wah, iya! Aku senang sekali ada yang memahamiku!"
"Tetapi... ...Hinoharu-senpai, kamu sendiri benar-benar menikmati hal ini, bukan?"
"Iya! Aku sangat bersenang-senang!" Tawa Hinoharu-senpai, berseri-seri dengan kegembiraan kayak anak kecil.
─Ah.
Aku menyadari buat pertama kalinya kalau Hinoharu-senpai punya ─ gigi yang retak.
Melihat senyuman Hinoharu-senpai yang tulus dan berkilau itu membuatku sadar — Inilah jati diri Hinoharu-senpai yang sebenarnya.
─Senyuman yang mekar bagaikan kembang api di langit malam.
Mata Hinoharu-senpai yang jernih, bagaikan langit di hari yang cerah, memantulkan warna-warni cahaya festival, dan pancaran tujuh warna itu memikat hatiku.
Hinoharu-senpai yang ada di hadapanku sekarang ─ sangat menawan.
Hinoharu-senpai tampak begitu mirip kayak seorang "heroin."
Dan aku─.
"Karena itu ─ aku mohon lakukan itu di sekolah juga."
─Sebelum aku menyadarinya, aku telah keceplosan bilang hal yang sebenarnya.
"Aku benar-benar berpikir kalau caramu saat ini luar biasa. Kamu begitu hidup dan benar-benar menikmati dirimu sendiri. Ini sangat persis kayak 'kamu'."
"Eh...?"
Hinoharu-senpai menatapku, terkejut.
"Apa kamu benar-benar berpikir begitu?"
"Tentu saja. Apa aku tampak kayak tipe orang yang jago memuji?"
"...Tidak, kamu tidak tampak begitu."
Hinoharu-senpai menggelengkan kepalanya. "Kalau begitu, tunjukkan padaku sisi dirimu di sekolah juga. Tunjukkan padaku kehidupan sekolah terbaik yang dapat kamu tawarkan."
"..."
"Bukannya OSIS merupakan tempat di mana kamu dapat melakukan itu? Bukannya posisi Ketua OSIS merupakan posisi yang paling cocok buat mencapai hal itu...?"
Hinoharu-senpai tetap diam, menunduk.
Angin bertiup dengan lembut, menyebabkan lampu lentera berkedip-kedip dan menyinari wajah Hinoharu-senpai dengan cahaya merah yang lembut.
Setelah beberapa saat, Hinoharu-senpai berbicara.
"...Terima kasih. Jujur saja aku senang mendengarmu bilang begitu, Nagasaka-kun."
Hinoharu-senpai tersenyum malu-malu, matanya berbinar.
Aku segera angkat bicara.
"Kalau begitu─"
"Tetapi..."
─Namun.
"Tetapi... ...masalahnya, semua orang tidak mau aku melakukan itu."
Kata Hinoharu-senpai, memamerkan senyuman yang tidak pas dan dewasa ─ dan menolak ide tersebut.
"Semua orang tidak mau itu..."
Jadi, itulah ─ masalah yang selama ini Hinoharu-senpai coba hindari.
"Iya. Orang-orang di kelasku dan OSIS tidak mau aku jadi Ketua OSIS... ...tidak, mereka tidak mau aku melakukan apapun."
"Apa itu yang mereka bilang padamu?"
"Tidak, tidak juga. Tetapi semuanya mulai berjalan lancar saat aku berhenti berusaha."
...Kayak yang dibilang Uenohara.
Membaca suasana dan menahan diri merupakan solusi optimal yang Hinoharu-senpai temukan sendiri.
Sambil melihat kerumunan orang yang ramai di Festival, Hinoharu-senpai mulai berbicara dengan suara pelan, sedikit demi sedikit.
"Aku baru saja melakukan apa yang menurutku terbaik. Aku selalu melakukan itu sejak aku masih kecil."
Dari waktu ke waktu, tawa orang-orang yang bersenang-senang dapat terdengar dari kejauhan.
"Para pemilik kios, teman-teman SD-ku, anggota Pengurus OSIS di SMP... ...mereka semua mengakui dan membutuhkanku."
Hinoharu-senpai menurunkan tatapannya dan mengatupkan kedua tangannya di atas lututnya.
"Tetapi saat aku masuk SMA Kyou-Nishi, aku menyadari kalau itu tidak terjadi begitu saja. Cuma karena mereka telah mengenalku sejak aku masih muda, mereka menerimaku."
...Ah, begitu ya. Setelah aku pikir-pikir, tidak ada seorang pun dari SMP Higashi di kelas yang sama dengan Hinoharu-senpai.
SMP Higashi merupakan SMP swasta biasa, dan banyak siswa-siswi yang melanjutkan dari SD dari yayasan yang sama. Itu pasti pertama kalinya Hinoharu-senpai berada di lingkungan di mana dia belum mengenal siapa pun.
"Tetapi... ...kamu tidak secara tersurat ditolak, bukan?"
Dan lalu, dengan ekspresi lelah, Hinoharu-senpai tersenyum tipis.
"Tidak peduli apa yang aku bilang, semua orang cuma menepisnya dengan samar-samar 'Itu, aku rasa itu baik-baik saja kalau begitu' dan tertawa."
...Ah.
Sungguh cara yang dewasa dalam menyikapi berbagai hal. "Tetapi, apabila aku mencoba melakukan sesuatu kayak yang aku mau, mereka semua tampak kesal."
"..."
Hal-hal yang Hinoharu-senpai coba lakukan sering kali aneh dan sulit dicapai, membutuhkan banyak usaha dari semua orang yang terlibat. Namun, ide Hinoharu-senpai sering kali tepat sasaran, sehingga orang-orang ragu buat mengeluh secara langsung.
Jadi, mereka secara tersirat menunjukkan ketidaksetujuan mereka melalui sikap mereka, mengharapkan Hinoharu-senpai memahami ketidakpuasan mereka — mungkin begitulah cara orang-orang di sekitar Hinoharu-senpai mengekspresikan keinginan mereka.
"Pada akhirnya, aku merasa segala sesuatunya tidak akan berhasil, apapun yang aku lakukan. Jadi, aku memutuskan buat mengikuti arus..."
"Dan saat itulah segalanya mulai berjalan dengan lancar?"
Hinoharu-senpai mengangguk dalam diam.
"Kalau aku bilang sesuatu dan reaksinya buruk, aku akan segera berkompromi. Aku akan bilang, 'Mungkin kita mesti melupakannya,' dan membiarkan sisanya terjadi begitu saja."
"..."
"Setelah beberapa saat, seorang teman yang dekat denganku bilang padaku, 'Kamu sangat cantik saat kamu diam.'"
Bilang begini, Hinoharu-senpai menunjukkan senyuman lembutnya yang biasa, tetapi tidak tampak tulus.
Melihat wajah Hinoharu-senpai, aku, yang pernah memikirkan hal serupa, diam-diam merasa bersalah.
Tidak peduli bagaimana kalian melihatnya, Hinoharu-henpai yang ceria tadi lebih baik... ...Apa orang-orang itu tahu itu dan masih menolak Hinoharu-senpai...?
"Dengan kata lain, itulah citra yang mereka mau dariku, bukan? Kalau begitu aku mesti memenuhi harapan mereka."
...Memenuhi harapan semua orang.
Apa yang Hinoharu-senpai bilang memang dapat dimaklumi, dan terdengar masuk akal... ...tetapi aku merasa ada sesuatu yang janggal. "Makanya ini baik-baik saja. Tidak usah khawatir, aku melakukan apa yang aku mau secara diam-diam! Dan itu berjalan lancar, jadi itu sudah cukup."
Dan dengan begitu, Hinoharu-senpai berdiri dengan penuh semangat.
"Waktu istirahat sudah berakhir! Aku akan pergi memasak yakisoba!"
Wajah Hinoharu-senpai jadi cerah saat dia mengikat ikat kepalanya dan berjalan menuju kios makanan.
"Hinoharu-senpai!"
Melihat punggung Hinoharu-senpai, yang tampak kesakitan, aku mau tidak mau memanggilnya.
"Apa kamu benar-benar tidak apa-apa dengan hal itu?"
"..."
Memang benar kalau orang-orang di sekeliling Hinoharu-senpai mungkin tidak mempermasalahkan hal itu.
Itu mungkin cara terbaik buat melewati kehidupan sekolah tanpa masalah.
Tetapi buat Hinoharu-senpai...
Hinoharu-senpai mesti terus menyerah.
Hinoharu-senpai mesti terus meninggalkan pilihan yang menurutnya terbaik.
Akibatnya, Hinoharu-senpai cuma akan mencapai "akhir cerita yang normal". Kalau kita terus memilih pilihan yang salah, kita tidak akan pernah mencapai "akhir cerita yang bahagia."
Bukan kayak gitu yang dimaksud dengan kisah komedi romantis.
"Apa itu benar-benar metode terbaik buatmu, Hinoharu-senpai!?"
Pertanyaanku, yang diajukan dengan suara meninggi, dijawab dengan...
Hinoharu-senpai, dengan ekspresi dewasanya, tersenyum seakan-akan dia sudah menyerah.
"Itu tidak dapat dihindari. Begitulah adanya, menyesuaikan diri dengan orang-orang di sekitarmu merupakan hal yang wajar."
*
Kereta api berderak, dentingannya yang berirama memenuhi udara saat aku menatap pemandangan malam yang berlalu, melamun. Apa tindakan terbaik yang mesti dilakukan buat Hinoharu-senpai?
Di Festival itu, Hinoharu-senpai tampak lebih hidup dan ceria ketimbang yang pernah aku lihat sebelumnya. Aku percaya kalau kepribadian Hinoharu-senpai yang kuat dan tegas, caranya memimpin dan memandu orang lain, merupakan kekuatan terbesarnya.
Namun, hal ini bukanlah sesuatu yang diterima di sekolah. Orang-orang di sekeliling Hinoharu-senpai tidak mau Hinoharu-senpai yang semacam itu.
"...Semua orang tidak mau hal itu, ya?"
Aku dapat memaklumi keinginan buat diterima oleh orang lain. Tidak seorang pun mau ditinggalkan atau dikucilkan, dan aku tahu betul betapa sulitnya jadi orang yang menerima sikap dingin semua orang.
Tetapi... ...menyerah sama sekali bukanlah pilihan.
Aku tidak boleh menyerah demi jadi jati diriku sendiri. Aku sudah menyia-nyiakan waktu setahun karena kesalahan itu. ...Wusy. Saat kereta api memasuki terowongan, suara lintasannya mengganggu segerbong lamunanku.
Tidak ada gunanya. Tidak peduli seberapa banyak aku memikirkannya sekarang, aku merasa tidak akan menemukan jawabannya. Buat saat ini, aku memutuskan buat menuliskan pemikiran dan pengamatanku buat hari itu selagi masih segar di dalam benakku. Lalu, aku akan mendiskusikannya dengan Uenohara dan membuat rencana buat masa depan.
Saat aku membuat keputusan itu dan mengambil ponsel pintarku, aku melihat sebuah pesan yang belum terbaca di RINE.
─Torisawa?
Nama yang muncul yaitu nama yang tidak biasanya. Saat aku membukanya, aku melihat teks, 'Apa kamu bebas sepulang sekolah besok? Waktu dan tempat di bawah ini,' diikuti dengan URL dengan peta yang tampaknya merupakan waktu dan lokasi pertemuan.
...Apa ini sebuah restoran keluarga?
Selain itu, restoran ini berada di kota sebelah dari Stasiun Kyougoku, bahkan lebih jauh ke arah timur dari perpustakaan kota. Diperlukan waktu paling tidak 30 menit dengan bersepeda dari SMA Kyou-Nishi.
Mengapa kami berkumpul di lokasi yang begitu jauh? Apa yang mungkin jadi alasannya...?
Aku membaca ulang pesan itu tetapi tidak menemukan penjelasan soal keadaan tersebut. Namun, aku tahu kalau Torisawa tidak akan memanggilku ke tempat kayak gitu tanpa alasan... ...Secara logika, itu pasti ada hubungannya dengan Hinoharu-senpai.
Karena aku tidak punya rencana khusus, aku langsung menjawab dengan tegas.
*
─Kereta keluar dari terowongan, dan kami memasuki daerah pedesaan, kegelapan menyelimuti sekelilingnya. Lampu-lampu dari rumah-rumah di kejauhan berkelap-kelip di malam yang gelap gulita.
─Empat hari tersisa sampai batas waktu pendaftaran pencalonan Pemilihan Umum Ketua OSIS.
*
Keesokan harinya, dengan sedikit waktu luang sebelum pertemuanku dengan Torisawa, aku memutuskan buat menuntaskan investigasi harianku. Cuaca kembali cerah, dan cuma dengan berjalan kaki saja sudah membuatku berkeringat.
"Aku haus. Aku rasa aku akan minum sebelum meninggalkan sekolah."
Dengan keputusan itu, aku menuju ke lorong lantai satu.
Dan di sana—
"Hei, Katsunuma."
"Hah? Ah, ada Senpai."
Aku bertemu dengan Katsunuma yang sedang bersandar di mesin penjual otomatis, tampak kelelahan saat dia meminum minuman susu stroberi.
Katsunuma pasti terpaku di mejanya lagi hari ini. Mungkin ini merupakan waktu istirahat Katsunuma buat minum yang manis-manis.
"Kamu bekerja keras setiap hari, ya? Aku terkesan."
"Diamlah. Aku tidak butuh orang yang mencurigakan, berkeliaran di sekitar sekolah dan bukannya belajar, buat memberi tahuku."
Dengus Katsunuma.
Aku tidak punya waktu luang sama sekali... ...Dengan pembujukan Hinoharu-senpai yang lebih sulit dari yang diharapkan, waktu belajarku sangat terbatas. Jujur saja, aku agak takut dengan ujian yang akan datang.
Tetapi memberi tahu Katsunuma soal itu terasa kayak mengakui kekalahan, jadi aku memasang wajah berani.
"Tidak usah khawatir, aku masih belajar. Ada hal-hal lain yang mesti aku lakukan di sekolah juga."
"Apa mungkin kamu sedang menguntit seseorang lagi, kayak yang kamu lakukan padaku?"
"Berhentilah menggunakan istilah yang memalukan itu."
Aku membeli es kopi dari mesin penjual otomatis di sebelah Katsunuma dan memasukkan beberapa koin. Membungkuk buat mengambil kaleng yang jatuh dengan bunyi gemerincing, aku bersandar ke dinding di sebelah Katsunuma.
Katsunuma mengerutkan jidatnya sejenak seakan-akan kesal, tetapi dia tidak bilang apa-apa lagi, diam-diam memasukkan satu tangan ke dalam saku roknya dan mendekatkan minumannya ke mulutnya.
Cuma ada beberapa orang di sekitar mesin penjual otomatis, dan cuma suara beberapa ekskul yang bergema dari gimnasium dan halaman sekolah.
"Jadi, bagaimana kabarmu? Semuanya berjalan lancar?"
"..."
Katsunuma memalingkan wajahnya, tetap diam.
Itu tidak terdengar terlalu bagus...
"Iya, kalau semudah itu, tidak seorangpun yang akan berjuang. Yang penting yaitu buat terus melakukannya dan berlatih berulang kali, terutama di ranah yang tidak kamu kuasai."
"Aku tahu itu, makanya aku melakukan ini."
Katsunuma menyesap sedotannya.
...Aku rasa begitu. Katsunuma tidak akan menyerah cuma karena kemunduran kecil kayak gini. Katsunuma itu tipe orang yang tidak pernah menyerah, tidak peduli berapa kali keadaan tidak berjalan sesuai keinginannya.
"Hei, Katsunuma..."
Aku membuka tutup kopiku dengan sekejap dan mulai berbicara.
"Apa yang akan kamu lakukan kalau semua orang di sekitarmu mengharapkanmu buat bertindak dengan cara tertentu, tetapi itu tidak sesuai dengan jati dirimu yang sebenarnya?"
"Hah? Apa yang kamu bicarakan tiba-tiba?"
Katsunuma menatapku dengan tatapan bingung.
"Sudah aku bilang kalau aku telah mencoba berbagai hal. Hal ini berhubungan dengan itu."
"...Ah."
"Kalau aku mesti mengibaratkannya dengan istilahmu, katakanlah semua orang di kelas kita memberikan tuntutan yang tidak masuk akal buat jadi 'karakter Nona Muda yang halus dan anggun'. Dan kalau tidak, kamu akan dikeluarkan."
"Aku akan memukul mereka."
Katsunuma menatapku dari sudut matanya dan menjawab tanpa ragu-ragu.
"Aku akan mengabaikan hal kayak gitu, tentu saja. Mustahil aku dapat melakukannya."
"Iya, aku rasa begitu..."
Aku sudah tahu kalau Katsunuma akan bilang sesuatu kayak gitu.
"Dan selain itu, aneh rasanya kalau kamu bertindak kayak yang orang lain mau."
"...Hmm?"
Katsunuma menggoyang-goyangkan kemasan minuman di depannya dan melanjutkan.
"Aku cuma dapat jadi apa yang aku pikirkan. Terserah orang lain mau menerima itu atau tidak, bukan?"
Terserah orang lain mau menerimanya atau tidak─
Mendengar kata-kata itu, aku merasa ada sesuatu yang cocok.
"─Begitu ya. Iya, kamu benar, itulah urutannya."
Aku mengangguk dengan penuh semangat dan lalu menenggak sisa kopiku.
"Terima kasih, itu sangat membantu."
"...Aku masih tidak paham apa yang kamu bicarakan."
Katsunuma memainkan anting-anting di telinganya dan melempar kotak susu kosong itu ke tempat sampah.
Lalu Katsunuma menegakkan tubuhnya dan berbalik kembali ke arah gedung sekolah.
"Aku akan pulang. Kalau aku terlalu lama di luar, Hibiki akan marah padaku."
"Oke. Semoga berhasil dengan belajarmu."
"...Dan, Senpai."
"Hmm?"
Katsunuma berhenti setelah mengambil beberapa langkah dan berbalik ke arahku.
"Jangan menguntitku sampai ke rumahku lagi."
"Ayolah, berhentilah bilang kayak gitu. Itu salahmu karena tidak hadir ke sekolah."
Katsunuma mendengus sambil memalingkan wajahnya dariku.
"Perlakuan kayak gitu... ...Kamu cuma dimaafkan karena aku punya hati yang besar. Jangan salah paham."
Kata Katsunuma dengan sedikit sarkasme, menjulurkan lidahnya, lalu berbalik menghadap ke depan dan mulai berjalan lagi.
*
Setelah berpisah dengan Katsunuma, aku menuju ke restoran keluarga yang telah dijanjikan oleh Torisawa.
Segera setelah lonceng 'selamat datang' berbunyi, seorang anggota staf menghampiriku, dan aku memberi tahu mereka kalau aku akan ketemuan dengan seseorang.
Restoran itu cukup ramai pada sore hari, tetapi masih terlalu dini buat makan malam, jadi suasananya relatif tenang.
"Torisawa."
"Hei."
Aku melihat Torisawa di sebuah meja di dalam pintu masuk dan memanggilnya.
Dan yang duduk di seberang Torisawa yaitu─
Seorang cewek?!
"...Eum?"
"Ah, halo!"
Begitu cewek itu melihatku, dia menyapaku dengan suara yang imut dan bernada tinggi, lalu berdiri sambil agak menundukkan kepalanya.
Rambut cewek itu dipotong pendek dengan ujung yang imut, dan dia punya jepit rambut yang imut berbentuk bunga di salah satu sisinya. Cewek itu cukup pendek, tampak lebih kecil dibandingkan dengan Torisawa. Cewek itu memang mengenakan seragam, tetapi itu merupakan seragam sekolah bergaya pelaut, berbeda dengan kami.
Hah, siapa cewek itu... ...Tunggu, tunggu, aku pernah melihat cewek itu di suatu tempat sebelumnya, bukan?
"Maaf telah menyeretmu jauh-jauh ke sini. Ini karena keadaan yang satu ini."
"Aku benar-benar minta maaf! Hanya saja aku tidak dapat pergi terlalu jauh, jadi aku meminta Torisawa-senpai buat memilih tempat di dekat sekolah!"
...Ah, itu benar, aku ingat sekarang!
"Kamu ada di pertunjukan langsung tempo hari, bukan...?"
"Eh? Ah, iya, itu benar!"
Jawab cewek itu, mengangkat wajahnya dengan ekspresi terkejut.
Ah, aku sudah menduganya! Cewek itu seorang siswi SMP yang ada di pertunjukan langsung Torisawa!
"Senang bertemu denganmu, Nagasaka-senpai! Aku Otsuki Miki, seorang siswi kelas sembilan dan Ketua OSIS di SMP Higashi!"
Otsuki-san berbicara dengan sungguh-sungguh, dengan ekspresi yang serius.
Mata Otsuki-san bulat dan besar, serta hidungnya kecil dan imut. Kalau aku mesti mengkategorikan Otsuki-san sebagai 'tipe heroin', dia pasti merupakan tipe 'kouhai yang mirip anak anjing'. Setelah perkenalan singkat, aku duduk di samping Torisawa.
"Kalau begitu, aku masih belum mengerti situasinya..."
Aku memesan minuman dari bar minuman dan menoleh ke arah Torisawa.
Sambil menyandarkan lengannya di sandaran sofa, Torisawa mulai menjelaskan dengan santai.
"Aku didekati saat pertunjukan langsung beberapa hari yang lalu. Tampaknya menarik, jadi aku memutuskan buat tetap berhubungan."
Iya, menarik? Apa maksudmu dengan hal itu...?
"Ayolah, penjelasan itu tidak menjelaskan apa-apa! Torisawa-senpai, kamu terlalu samar-samar!"
Saat aku memiringkan kepalaku dengan kebingungan, Otsuki-san mengerutkan alis matanya dan memelototi Torisawa.
Ah...?
"Lagipula kamu yang akan menjelaskannya, bukan? Kalau begitu, tidak perlu buatku untuk bilang hal-hal yang tidak perlu, bukan?"
"Bukan itu intinya. Kamu benar-benar buruk dalam berkomunikasi..."
"Hah, maafkan aku, maafkan aku."
Otsuki-san tampak jengkel sambil memegangi jidatnya, sementara Torisawa tampak menikmati dikritik.
Wah, dapat bersikap kayak gini pada seorang senpai, dan Torisawa juga... ...Cewek ini mengesankan. Otsuki-san sangat hebat.
Saat aku diam-diam mengaguminya, Otsuki-san berdehem dan menegakkan postur tubuhnya, menghadapku secara langsung.
"Bagaimanapun, terima kasih telah datang ke sini hari ini. Aku punya permintaan khusus buatmu, Nagasaka-senpai, tetapi pertama-tama, terima kasih atas kedatanganmu."
"Permintaan khusus?"
"Iya. Sebenarnya... ...Aku mau kamu menyampaikan pesan pada Hinoharu-senpai."
Hmm, jadi nama itu muncul di sini. Otsuki-san melanjutkan penjelasannya, mempertahankan postur tubuhnya.
"Begini, kami berencana melakukan sesuatu yang baru buat Festival Musik sekolah kami yang akan datang... ...Kami sedang mempertimbangkan buat mengundang alumni senpai buat tampil di panggung khusus, dan di situlah pembahasannya saat ini."
Festival Musik... ...Ah, itu salah satu yang diubah oleh Hinoharu-senpai, bukan? Setelah aku pikir-pikir, itu diadakan setelah liburan musim panas, bukan? Mereka pasti sedang dalam tahap persiapan sekarang.
"Jadi, aku meminta Torisawa-senpai buat ikut serta di panggung khusus itu saat aku berbicara dengannya di pertunjukan langsung tempo hari."
Lalu, Otsuki-san mengalihkan pandangannya ke arah Torisawa dan cemberut.
"Dan cowok ini bilang, 'Aku akan ikut serta, tetapi buatlah ajang ini jadi lebih mencolok.'"
Torisawa dengan santai menyeruput es kopinya, mengabaikan tatapan mencela dari Otsuki-san.
Kayak yang diharapkan dari Torisawa, ia tidak peduli dengan apapun.
Memang benar, Torisawa punya keterampilan dan kekuatan bintang. Jadi, permintaan Torisawa mungkin masuk akal.
"Namun kami tidak punya anggaran sebanyak itu, dan ada keterbatasan dengan peralatan sasana... ...Aku kepikiran buat menemukan beberapa ide cerdas. Kami memutuskan buat mengadakan latihan bersama OSIS buat mengujinya."
Otsuki-san menoleh ke arahku lagi.
"Dan... ...Aku mau Hinoharu-senpai mengamati pra-latihan itu dan memberikan beberapa komentar. Lagipula, Hinoharu-senpai-lah orang yang meletakkan dasar buat Festival Musik saat ini, dan dia mungkin punya beberapa ide bagus."
Ah, begitu ya, jadi begitulah hubungannya.
"Torisawa-senpai menyarankan kalau aku mau meminta sesuatu pada Hinoharu-senpai, akan lebih baik kalau aku bicara padamu terlebih dahulu, Nagasaka-senpai. Jadi, aku memutuskan buat mengajukan permintaan ini, meskipun aku tahu kalau ini mungkin tidak sopan."
Setelah bilang begini, Otsuki-san menundukkan kepalanya sekali lagi dan berkata, "Aku minta maaf atas permintaan yang mendadak."
—Hmm, begitu ya. Aku rasa aku paham sekarang.
Torisawa pasti berpikir kalau cerita cewek ini dapat digunakan buat membujuk Hinoharu-senpai.
Makanya, Torisawa berusaha keras buat menyertakanku dalam situasi yang biasanya tidak memungkinkan aku buat terlibat. Secara alami, Torisawa memang tipe karakter "cowok tampan yang kompeten".
"Bagaimana? Bisakah kamu bertanya pada Hinoharu-senpai buatku?"
Otsuki-san mendongak dan menatapku dengan mata cemas.
Tetapi cewek ini juga punya dorongan yang cukup besar. Sikap Otsuki-san yang mau menggunakan apapun yang dia bisa, bahkan dari orang asing, dan keberaniannya dalam mengajukan permintaan... ...entah bagaimana, dia mengingatkanku pada Hinoharu-senpai.
"Ngomong-ngomong... ...kapan ini akan diadakan?"
"Ah, iya. Hari Minggu ini!"
Hari Minggu... ...tetapi itu setelah tenggat pendaftaran pencalonan. Itu tidak akan membantu dalam membujuk Hinoharu-senpai, bukan?
Aku melirik Torisawa, yang terus mengutak-atik ponsel pintarnya tanpa mendongak, menandakan bahwa ia tidak punya sesuatu buat ditambahkan.
Bukannya rencananya itu buat menggunakan pra-latihan itu...? Kayaknya Torisawa belum mengetahui jadwalnya...
Atau mungkin ada alasan lain buat ini?
"...Bolehkah aku mengajukan beberapa pertanyaan?"
"Iya! Tanyakan aku apa saja!"
Otsuki-san menegakkan postur tubuhnya lagi dan menunggu pertanyaanku.
"Apa kamu kenal dengan Hinoharu-senpai?"
"Ah, tidak. Aku bergabung dengan OSIS setelah Hinoharu-senpai pensiun."
Itu masuk akal. Kalau mereka sudah kenal, Otsuki-san pasti akan langsung mengajukan permintaan tersebut.
"Tetapi aku sempat berbicara dengan Hinoharu-senpai saat dia jadi Ketua OSIS! Hinoharu-senpai sangat keren dan luar biasa saat jadi Ketua OSIS!"
Mata Otsuki-san berbinar-binar saat dia berbicara dengan antusias.
Ah, Otsuki-san kayak seorang penggemar yang mengejar seorang idola. Jadi, apa Otsuki-san salah satu anggota kelompok penggemar yang disebutkan dalam data investigasi? Sebagian besar terdiri dari para kouhai cewek, sih.
Tetapi Otsuki-san tampaknya tumpang tindih dengan para karakter lain...
"Sebenarnya, aku mau jadi kayak Hinoharu-senpai, jadi aku kepikiran soal bagaimana aku dapat lebih dekat dengan hal itu. Lalu aku kepikiran, mari kita mulai dengan melakukan hal yang sama kayak Hinoharu-senpai, jadi aku memutuskan buat bergabung dengan OSIS."
Ah, begitu ya. Jadi, Otsuki-san mengagumi Hinoharu-senpai dan mencoba meniru perilakunya...
Tidak heran sikap Otsuki-san sangat mirip dengan Hinoharu-senpai...
"...Hmm? Kamu mau jadi kayak Hinoharu-senpai saat dia masih jadi Ketua OSIS?"
"Iya!"
—Itu benar. Kalau Otsuki-san memang mengagumi Hinoharu-senpai dari masa lalu, maka...
Otsuki-san itu seseorang yang mengakui kepribadian Hinoharu-senpai yang sebenarnya.
"...Ngomong-ngomong, mengapa kamu kepikiran kayak gitu? Apa ada alasan atau sesuatu yang memicunya?"
Aku melanjutkan pertanyaanku.
Kalau ada alasan yang jelas...
Ini mungkin kunci buat membujuk Hinoharu-senpai.
"Ah, iya! Iya, sebenarnya, aku dirundung sampai masa kelas tujuh SMP-ku..."
"Hah?"
Wah, itu merupakan pengungkapan yang cukup santai...
Mengabaikan keterkejutanku, Otsuki-san melanjutkan tanpa tampak khawatir.
"Aku memang selalu kayak gini, bilang apa saja yang terlintas dalam benakku atau melakukan sesuatu secara tiba-tiba. Karena itulah, aku selalu dikucilkan dan orang-orang bilang kalau aku ini menyebalkan."
"I-Iya."
"Jadi, aku selalu kepikiran kalau aku mesti lebih tenang dan menahan diriku. Aku mencoba membaca suasana dan tidak bilang apa saja yang akan membuatku mendapatkan masalah..."
Itu memang — kesimpulan yang sama yang Hinoharu-senpai dapati sekarang.
"Saat aku mencoba buat bertahan dan tidak merasa tersisih, perundungan itu berhenti, tetapi... ...Aku selalu merasa ini tidak benar. Meskipun hal-hal buruk itu berhenti, aku belum merasa puas."
Otsuki-san menyentuh hiasan rambutnya.
"Lalu, suatu hari, aku mendapati Sachi-senpai sedang dimarahi oleh seorang guru di ruang guru."
Aku mendengarkan cerita Otsuki-san dengan tenang.
"Kayaknya itu soal rencana Festival Musik. Guru yang bertanggung jawab atas OSIS pada saat itu merupakan seorang Guru Penjasorkes yang menakutkan, dan beliau berteriak sangat keras sehingga dapat terdengar di luar ruangan, bilang hal-hal kayak 'Sudahlah!" dan 'Apa kamu tidak peduli dengan nilai-nilaimu?!'"
"Tanganku gemetaran meskipun tidak ada hubungannya denganku," kata Otsuki-san sambil tersenyum malu.
"Namun Sachi-senpai sama sekali tidak mundur. Sachi-senpai terus bilang hal-hal kayak 'Kami sudah mengikuti prosedur yang benar' dan 'Sudah sewajarnya kalau kami berusaha demi membuat perencanaan yang lebih baik'. Sachi-senpai bahkan membalas sang guru dengan bilang, 'Bapak tidak memberikan argumen yang masuk akal, Bapak cuma malas saja.'"
"..."
"Aku tidak paham mengapa Sachi-senpai begitu bertekad demi membuat rencananya disetujui, jadi aku bertanya padanya setelah dia meninggalkan ruangan. 'Apa pantas diomeli kayak gitu?'"
Pertanyaan yang masuk akal. Kalau seorang guru menentang sesuatu dengan sangat keras, wajar kalau kita kepikiran bahwa pasti ada alasan yang kuat buat bertahan.
Pada titik ini, Otsuki-san tertawa kecil seakan-akan mengingat sesuatu yang lucu.
"Dan Sachi-senpai menjawab, 'Karena jelas lebih asyik kayak gitu,' dengan raut wajah bingung."
Itu lebih asyik...?
"Saat aku bertanya pada Sachi-senpai, 'Apa cuma itu saja?' dia menjawab, 'Hah? Apa kamu perlu alasan lain?' dengan ekspresi wajahnya yang kayak, 'Apa yang tidak kamu pahami?'"
Lanjut Otsuki-san, matanya berbinar.
"Kayaknya Sachi-senpai memang cuma kepikiran bagaimana cara membuat segalanya jadi lebih asyik. Tetapi setelah aku pikir-pikir, itu benar-benar luar biasa, pikirku."
Lalu, Otsuki-san berkata, sambil menghadapku secara langsung—
"Tidak ada orang yang tidak menyukai keasyikan. Jadi, kalau kamu terus mengejarnya — itu merupakan jalan terpendek menuju kebahagiaan buat semua orang, termasuk dirimu sendiri, bukan?"
—Ah, begitu ya.
Iya.
Itulah kunci buat membujuk Hinoharu-senpai.
"Jadi, aku rasa, aku akan mencobanya kayak Sachi-senpai. Aku memutuskan buat jujur soal apa yang menurutku itu asyik, memikirkan apa yang akan dinikmati semua orang — bukan cuma membaca ekspresi mereka, tetapi tetap berpegang teguh pada apa yang mau aku lakukan tanpa kompromi."
Jadi, itulah pola pikir yang aku jalankan sekarang, kata Otsuki-san, sambil mengepalkan tinjunya dan berbicara dengan suara yang mantap.
Merasakan kekuatan yang terpancar dari tubuh kecil Otsuki-san, aku melanjutkan pertanyaanku.
"...Ngomong-ngomong, ini mungkin sulit buat dibilang, tetapi—"
—Dan lalu aku mengajukan beberapa pertanyaan lagi.
Otsuki-san menjawab, terkadang dengan sedih, terkadang dengan malu.
Namun pada akhirnya, Otsuki-san tersenyum dan menjawab.
"Iya, terima kasih. Aku paham situasinya sekarang."
Aku mengangguk dalam-dalam.
—Kata-kata Otsuki-san pasti akan membantu.
Membantu Hinoharu-senpai demi mendapatkan kembali apa yang telah hilang? — Bukan.
Ini akan jadi kekuatan buat mendapatkan sesuatu yang baru.
Aku yakin akan hal itu.
"Okelah, kalau begitu...?"
"Iya, aku akan berbicara dengan Hinoharu-senpai. Aku memang tidak tahu apa Hinoharu-senpai punya rencana, tetapi kalau itu cuma tugas kecil, aku akan memintanya buat membatalkannya."
"Wa-Wah! Benarkah? Terima kasih banyak!"
Otsuki-san menangkupkan kedua tangannya di depan dadanya dan wajahnya jadi cerah.
Sambil memikirkan alur "ajang" berikutnya di kepalaku, aku melanjutkan.
"Sebagai imbalannya, aku mungkin akan memintamu buat membantuku dengan tugas kecilku sendiri. Aku rasa ini memang bukan sesuatu yang sulit, tetapi bisakah aku mengandalkan kerja samamu?"
"Tentu saja!"
Dengan persetujuan Otsuki-san yang cepat, aku mengangguk dalam-dalam.
—Torisawa pasti sudah tahu soal ini, makanya ia meneleponku. Kalau memang benar begitu, Torisawa terlalu itu mampu. Inilah permainan yang bagus setara dengan permainan Uenohara.
Seandainya saja aku ini seorang heroin, aku pasti akan tertangkap oleh Torisawa.
Saat aku mengirimkan pandangan konseptual dan berdenyut ke arahku.
"Kayak yang diharapkan dari orang yang berpacaran dengan Hinoharu-senpai! Aku sangat mengandalkanmu!"
—
—...
"Maaf, bisakah kamu mengulanginya lagi?"
Otsuki-san tampak bingung dan bilang, "Hah? Tetapi bukannya Nagasaka-senpai itu pacarnya Hinohara-senpai..., bukan?"
"Torisawa?"
"Euh."
Torisawa berbalik sambil tertawa.
Ah, begitu ya, jadi itulah makanya Torisawa menerimaku dengan begitu mudahnya.
Bahkan menambahkan serangan lanjutan kayak kisah komedi romantis kayak gitu sungguh luar biasa, kamu bercanda!
Aku yakin Torisawa melakukan itu cuma buat bersenang-senang!
*
"—Begitulah situasi selama beberapa hari terakhir dan rencanaku buat membujuk Hinoharu-senpai. Bagaimana menurutmu?"
Setelah kembali ke rumah, aku melakukan konferensi telepon. Setelah menjelaskan segalanya pada Uenohara, aku meminta pendapatnya.
"...Kayaknya segalanya telah mengalami kemajuan yang cukup pesat. Dan buat kali ini, ini merupakan rencana yang bagus,"
Gumam Uenohara dengan nada terkejut.
Ah, aku senang rencana yang aku buat secara mandiri, berdasarkan wawasan intuitifku, dipuji. Aku mungkin akan naik level sedikit?
"Kalau kita dapat mendapatkan kerja sama dari kouhai-mu itu dan Shiozaki-senpai, kemungkinan pembujukan akan semakin meningkat."
"Jadi, kamu juga mendapatkan respons positif dari pihakmu?"
"...Iya, semacam itulah."
Karena beberapa alasan, Uenohara ragu-ragu sejenak sebelum melanjutkan.
"Biar aku jelaskan situasinya selangkah demi selangkah. Pertama, mengenai hubungan antara kedua senpai... ...Kayakanya Shiozaki-senpai pernah dipengaruhi oleh Hinoharu-senpai dan mengubah pandangannya sendiri."
"Shiozaki-senpai mengubah pandangannya...?"
"Iya. Shiozaki-senpai dulunya merupakan seorang yang sangat tradisionalis, percaya kalau SMA Kyou-Nishi mesti tetap berpegang teguh pada tradisi masa lalunya dan terus melakukan segala sesuatunya dengan cara yang selalu dilakukan."
Jadi, Shiozaki-senpai menentang reformasi yang tidak perlu dan menganjurkan buat mempertahankan status quo — seorang konservatif garis keras. Dengan kata lain, Shiozaki-senpai sama kayak Pengurus OSIS lainnya yang lebih memilih buat menghindari perubahan.
"Namun, saat Shiozaki-senpai mendengarkan ide-ide Hinoharu-senpai, ia menyadari kalau pendekatan itu tidak mempan, dan ia bergeser ke arah mengubah hal-hal yang menurutnya salah. Namun, Shiozaki-senpai belum pernah mengungkapkan perubahan ini di depan umum."
"Hmm, mengapa tidak?"
"Mungkin Shiozaki-senpai berniat untuk membuat perubahan secara bertahap dari dalam. Shiozaki-senpai itu bukanlah tipe orang yang suka melakukan perubahan yang mencolok kayak Hinoharu-senpai."
Pendekatan itu juga lebih sesuai dengan karakter Shiozaki-senpai, tambah Uenohara. Aku memang paham... ...Tetapi tetap saja.
"Jadi, Shiozaki-senpai tidak pernah berniat buat mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS, bukan? Apa yang membuat Shiozaki-senpai tiba-tiba memutuskan buat mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS?"
"Dengan kata-kata Shiozaki-senpai sendiri, itu buat 'mengembalikan rasa kebenaran Hinoharu-senpai'."
"Rasa kebenaran...?"
"Aku rasa Shiozaki-senpai mau menyampaikan bahwa tidak salah buat menyuarakan pendapatmu sendiri dengan kuat."
—Ah, begitu ya.
Dengan kata lain...
"Shiozaki-senpai mau memberi tahu Hinoharu-senpai buat tidak menahan diri, bukan?"
"Mungkin."
...Shiozaki-senpai sangat buruk dalam mengekspresikan dirinya sendiri, seriusan.
Shiozaki-senpai mungkin berpikir kalau kata-katanya tidak akan sampai pada Hinoharu-senpai, jadi ia mengambil pendekatan ini... ...Tetapi itu terlalu berputar-putar. Paling tidak, dengan rencana saat ini, itu tidak akan sampai pada Hinoharu-senpai.
Buat secara akurat menyampaikan maksud Shiozaki-senpai, kita membutuhkan "ajang" yang lebih sederhana.
"Bagaimanapun, sudah jelas kalau Shiozaki-senpai tidak puas dengan Hinoharu-senpai saat ini, dan tergantung pada pendekatan kita, ia mungkin bersedia buat bekerja sama."
"Oke, kalau begitu besok, aku akan menghubungi Shiozaki-senpai sendiri. Tergantung bagaimana hasilnya, kita akan membuat 'Ajang Pembujukan Hinoharu Sachi-senpai' yang konkret."
"Oke, dimengerti."
Sekarang... ...sisanya tinggal...
"Dan juga, saat kita mencoba buat membujuk Hinoharu-senpai dari sekarang. Karena pada dasarnya itu akan jadi interaksi tatap muka, aku mau kamu ikut denganku, Uenohara. Aku akan merasa sedikit cemas kalau aku pergi sendirian."
Tidak peduli seberapa banyak kita mempersiapkan "naskah" sebelumnya, mungkin ada perkembangan yang tidak terduga, dan aku akan merasa lebih percaya diri dengan Uenohara di sana. Tetapi kemudian...
"—Maaf. Untuk bagian di mana kita berbicara langsung dengan Hinoharu-senpai, aku mau menyisih."
"Hah...?"
Aku tidak pernah menyangka kalau Uenohara akan menolak permintaan kerja sama mengenai "Rencana" tersebut, dan aku terdiam dengan mulut ternganga.
"...Eh, mengapa?"
Segera setelah aku melakukan mulai-ulang (reboot), aku bertanya pada Uenohara lewat telepon.
Jarang sekali Uenohara menolak buat membantu sesuatu yang berhubungan dengan "Rencana". Malahan, aku rasa ini mungkin yang pertama kalinya...
Uenohara tampak ragu-ragu buat memberikan jawaban secara langsung, dan cuma bilang, "Itu..."
"Entah bagaimana, saya merasa bahwa kali ini, mungkin akan lebih baik jika saya tidak berada di sana. Saya ingin meminimalkan risikonya."
Risiko...? Aku merasa adanya Uenohara di sana akan mengurangi risiko lebih banyak...
"Tentu saja, aku akan bekerja sama dengan cara yang lain. Jangan ragu buat bertanya kalau kamu membutuhkan sesuatu."
"Ah, oke..."
Merasa kalau obrolan itu tidak dapat lebih dalam lagi, aku menjawab dengan tidak berkomitmen.
"Ngomong-ngomong, soal kouhai itu..."
Uenohara dengan cepat mengganti topik obrolan, dan agenda berlanjut.
─Pemilihan Umum Ketua OSIS, tiga hari tersisa sampai tenggat pendaftaran pencalonan.
*
'─Terima kasih atas perhatian kalian.'
Setelah mendengar kata-kata itu buat yang kesekian kalinya, aku mendekati targetku, Shiozaki-senpai.
"Kerja bagus hari ini, Shiozaki-senpai."
"Ah, kamu lagi. Terima kasih."
Shiozaki-senpai menanggapi dengan ekspresi tabah yang sama kayak biasanya dan mulai mengemasi peralatan.
Iya, waktu terus berjalan. Mari kita langsung saja ke intinya.
"Eum, hari ini aku punya proposal buatmu, Shiozaki-senpai."
"Proposal?"
"Iya, bisakah kamu melihat ini?"
Kataku sambil menyerahkan buklet cetak A4 yang telah aku siapkan dengan tergesa-gesa setelah kejadian itu.
Shiozaki-senpai menatapku dengan ekspresi bingung dan lalu dalam hati membaca judul hasil cetakan itu.
Segera setelah itu, Shiozaki-senpai kayaknya menyadari sesuatu dan mengambilnya, membolak-balik isinya.
"Apa maksudnya ini?"
Setelah beberapa saat, Shiozaki-senpai mendongak dan bertanya.
"Apa kamu tertarik dengan 'Panduan buat Meyakinkan Hinoharu-senpai' ini?"
"—"
Tanpa sepatah kata pun, Shiozaki-senpai menyelipkan hasil cetakan itu di bawah lengannya, mengambil tas yang berisi peralatan itu, dan berdiri.
"Bisa tidak kita berbicara sambil berkemas?"
"Iya, tentu saja."
Aku mengangguk dan mengikuti saat Shiozaki-senpai mulai berjalan.
*
Suara pintu Ruang OSIS ditutup bergema di belakang kami.
Saat itu sudah mendekati akhir jam istirahat makan siang, dan ruangan itu kosong, tanpa ada tanda-tanda Pengurus OSIS yang bertugas.
Shiozaki-senpai mulai berbicara sambil meletakkan kotak megafon di rak baja di bagian belakang ruangan. "Ada banyak hal yang membuatku penasaran... ...Tetapi mari kita konfirmasikan poin-poin yang diperlukan secara singkat."
"Iya, silakan saja."
"Kamu mau Hinoharu-san mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS, bukan?"
"Iya."
"Dan kamu tahu kalau Hinoharu-san menahan niatnya yang sebenarnya."
"Iya."
"Kamu mau Hinoharu-san berubah, bukan?"
"Iya."
"Kalau begitu, aku akan membantu kalau aku bisa."
Shiozaki-senpai berbalik dan mengangguk.
Wah, itulah keputusan yang cepat. Aku sudah menyiapkan skenario bujukan buat berjaga-jaga, tetapi kayaknya aku tidak memerlukannya.
"Terima kasih. Aku menghargai tanggapanmu yang cepat."
"Beberapa hari yang lalu, aku kebetulan bertemu dengan teman masa kecilmu, dan kami mengobrol sedikit... ...Apa itu yang mendorong hal ini?"
Ah, begitu ya. Uenohara telah meletakkan dasar dengan menanamkan sebuah "pertanda" sebelumnya... ...Kayak yang diharapkan dari "Kaki Tangan"-ku yang brilian. Aku mengangguk dan melanjutkan.
"Iya, itu memang benar. Aku dengar kalau kamu juga tidak puas dengan situasi Hinoharu-senpai saat ini, jadi aku pikir mungkin kita dapat bekerja sama."
"Ah, begitu ya..."
Shiozaki-senpai perlahan-lahan berjalan kembali ke tengah ruangan dan berhenti di tempat yang tampak kayak biasanya.
"Aku tidak pernah kepikiran akan ada orang lain yang juga mendapati jati diri Hinoharu-san saat ini tidak diinginkan..."
"...Jadi kita ini memang minoritas, sih?"
"Kayak yang aku bilang."
Jadi, cuma ada kami berdua, ya?
Aku mengangkat bahu.
"Terlepas dari reputasi OSIS di SMA Kyou-Nishi yang aktif, kayaknya tidak begitu secara internal..."
"Bukan cuma baru-baru ini saja. Jadi sekolah yang mapan juga berarti lebih sulit demi membuat perubahan. Banyak orang khawatir kalau mereka akan merusak tradisi kalau mereka melakukan sesuatu yang tidak perlu."
"Aku dulu juga kayak gitu," kata Shiozaki-senpai dengan serius.
"Hinoharu-senpai selalu punya cita-citanya sendiri dan berdedikasi buat mewujudkannya. Dan cita-cita Hinoharu-senpai selalu masuk akal dan adil."
Namun, Shiozaki-senpai melanjutkan.
"Tidak dapat disangkal kalau pendekatan Hinoharu-san yang terlalu agresif telah membuatnya menonjol dengan cara yang buruk. Akhirnya, Hinoharu-san mesti beradaptasi dengan kecepatan orang-orang di sekitarnya."
Saat Shiozaki-senpai berbicara, ia tiba-tiba membuka laci mejanya.
"Kalau Hinoharu-senpai puas dengan dirinya yang sekarang, maka tidak apa-apa. Tetapi—"
Shiozaki-senpai mengeluarkan selembar kertas dan mengulurkannya padaku.
"Apa ini?"
"Itu dibuang di tempat sampah. Seluruh dokumen mestinya dihancurkan, tetapi aku mengambilnya kembali saat aku menyadarinya."
Aku mengambil kertas yang Shiozaki-senpai berikan dan menatapnya.
Di sana, tertulis—
'Pemilihan Umum Ketua OSIS: Permohonan buat Calon Ketua OSIS, Hinoharu Sachi, Kelas XI-A.'
—Sebuah indikasi yang jelas soal niat Hinoharu-senpai sebenarnya.
"Mustahil kalau Hinoharu-san tidak tahu soal aturan pembuangan. Jadi aku rasa Hinoharu-san mau seseorang memperhatikan hal ini, dan makanya dia tidak merobek-robeknya," kata Shiozaki-senpai.
"...Begitukah?"
Hinoharu-senpai... ...Jadi, Hinoharu-senpai memang mau mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS, ya.
Saat aku melihat formulir pendaftaran yang masih asli, aku mengertakkan gigiku.
"Aku bisa saja menunjukkan formulir pendaftaran dan mendorong Hinoharu-san buat mencalonkan diri, tetapi... ...Aku rasa itu tidak akan membuat perbedaan," kata Shiozaki-senpai. "Atau lebih tepatnya, aku baru menyadarinya pada saat itu."
"...? Mengapa?"
"Karena tidak ada yang akan berubah. Hinoharu-san akan tetap terisolasi."
—Ah.
Jadi itulah makanya...
"Apa yang aku pelajari dari Hinoharu-san yaitu bagaimana mempertahankan keyakinanku. Ini soal punya kekuatan buat berjuang demi yang terbaik tanpa takut akan perubahan. Dan karena tidak ada orang lain yang dapat melakukan hal itu, Hinoharu-san tidak repot-repot menyesuaikan diri," lanjut Shiozaki-senpai.
Kata-kata Shiozaki-senpai memang datar tanpa ekspresi kayak biasanya, tetapi aku dapat merasakan semangat di baliknya.
"Buat Hinoharu Sachi, apa yang benar-benar dia butuhkan yaitu seseorang yang punya cita-cita yang kuat dan dapat terlibat dalam perdebatan yang setara. Makanya aku memutuskan buat melangkah maju."
—Shiozaki-senpai.
Kamu berdiri di panggung yang sama dengan Hinoharu-senpai, berniat buat jadi "saingan"-nya yang sepadan, bukan?
Meskipun Shiozaki-senpai singkat dalam perkataannya, tindakannya, didorong oleh kepeduliannya yang tulus pada Hinoharu-senpai, membuatku sangat menghormatinya.
—Namun.
Shiozaki-senpai menundukkan kepalanya sedikit dan berbicara dengan sedikit penyesalan.
"...Meskipun aku bilang kalau hal-hal besar kayak gitu, kayaknya Hinoharu-san tidak paham maksudku sama sekali. Sejak awal, Hinoharu-san tidak pernah mengharapkan apapun dariku. Aku terlalu lama buat memantapkan pendirianku sendiri."
Lalu, Shiozaki-senpai mengepalkan tinjunya dengan erat.
—Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
"Makanya aku ada di sini, Shiozaki-senpai."
"Hmm...?"
Aku maju selangkah sambil menatap langsung ke arah mata Shiozaki-senpai.
"Bagaimana kalau kita menggunakan kisahmu dan 'bab-bab masa lalu' spesifik yang terkait dengan hal itu?"
"Apa maksudmu?"
Setelah mempertimbangkan makna kata-kataku, Shiozaki-senpai bertanya, bingung dengan maksudku. Jadi, aku menceritakan pada Shiozaki-senpai garis besar 'ajang' yang ada dalam benakku.
Setelah mendengarkanku, Shiozaki-senpai berkata, "Hmm," dan lalu berbicara.
"Apa menurutmu itu akan berhasil? Ini memang situasi yang sama-sama menguntungkan buatku, tetapi..."
"Menurutku itu dapat jadi faktor kunci. Iya, kamu memang mesti menanggung rasa malu, tetapi..."
"Aku tidak keberatan. Begitu aku memutuskan buat mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS, aku sudah siap buat menghadapi rasa malu."
Shiozaki-senpai mengangguk dengan tegas, dan kekuatannya meyakinkan.
"Selain itu, kalau Hinoharu-san cukup mempercayaimu buat membiarkanmu menangani tugasnya, maka kamu pasti dapat diandalkan. Aku percaya padamu."
"Terima kasih banyak."
Aku menggaruk pipiku, merasa sedikit malu dengan pujian itu, dan mengalihkan pandanganku.
Bagaimanapun, negosiasi itu sukses.
Kami membuat beberapa penyesuaian buat masa mendatang, dan Shiozaki-senpai setuju.
—Oke, aku rasa aku mesti kembali sekarang.
Saat aku hendak meninggalkan Ruang OSIS setelah mengakhiri obrolan kami,
"Ngomong-ngomong, apa hubunganmu dengan Hinoharu-san?"
Shiozaki-senpai tiba-tiba bertanya dengan wajah tegas.
"Apa jangan-jangan itu, hubungan romantis?"
A-Apa?
Sulit buat mengetahui bagaimana merespons saat Shiozaki-senpai bilang hal kayak gitu, terutama dengan nadanya yang bisa jadi bercanda ataupun serius.
Aku melambaikan tangan buat menyangkalnya.
"Tidak, bukan kayak gitu."
"Jadi, apa kalian berdua teman lama? Kalian tampaknya sangat peduli satu sama lain, jadi ini bukan cuma hubungan senpai-kouhai biasa, bukan?"
"Itu, biar aku lihat..."
Aku berpikir sejenak sebelum menjawab.
"...Jujur saja, saat kamu bilang 'hubungan', aku tidak benar-benar tahu. Ini semacam dalam keadaan limbo."
"Hmm...?"
"Tetapi, kalau kamu bertanya soal jenis hubungan yang mau aku punya dengan orang itu..."
Tiba-tiba, senyuman Hinoharu-senpai yang dia tunjukkan selama Festival terlintas di dalam benakku.
"Jenis hubungan di mana kami dapat tertawa dan bersenang-senang bersama — ''hubungan kayak pasangan', aku rasa."
Aku menjawab dengan sedikit menyeringai, mengangkat sudut mulutku.
Mendengar hal itu, alis mata Shiozaki-senpai yang biasanya kaku berkerut dengan dramatis.
"...Kamu cukup mempesona, bukan? Sangat memalukan cuma dengan mendengarkanmu."
"Menurutku kamu itu sama buruknya, Shiozaki-senpai... ...Selain itu, ini baru permulaan. Aku dapat jadi jauh lebih murahan."
Lagipula, bukannya ini jenis kalimat keren dan murahan yang dilontarkan oleh seorang protagonis dari kisah komedi romantis dengan santainya?
—Tinggal dua hari lagi sebelum tenggat pendaftaran pencalonan Pemilihan Umum Ketua OSIS.
*
Membuat "skenario ajang", menangani berbagai prosedur administrasi, mengoordinasikan jadwal, bekerja di belakang layar buat memastikan kelancaran proses, dan berlatih buat ajang utama...
Kami memanfaatkan sepenuhnya waktu yang tersisa demi menuntaskan segala persiapan.
Dan lalu, hari tenggat pendaftaran pencalonan Pemilihan Umum Ketua OSIS pun tiba.
"Oke, mari kita lakukan konfirmasi terakhir buat 'Ajang Pembujukan Hinoharu-senpai'!"
Di pagi hari, tepat sebelum Pembinaan Wali Kelas dimulai, Uenohara dan aku berkumpul di "Titik B" buat melakukan diskusi terakhir.
"Buat ajang ini, kita akan menggunakan 'dua kunci' yang diperlukan buat pembujukan: 'Kunci Saingan' dari Shiozaki-senpai dan 'Kunci Cita-cita' dari Otsuki-san."
Karena berbagai konflik jadwal, kami mesti meminta kerja sama Shiozaki-senpai saat istirahat makan siang dan Otsuki-san sepulang sekolah. Idealnya, kami mau mendekati mereka secara bersamaan, tetapi kami tidak punya pilihan dalam hal ini.
"Pertama, 'Kunci Saingan'. Ini akan digunakan buat menghancurkan keyakinan Hinoharu-senpai kalau 'tidak ada yang menginginkan jati diriku yang sebenarnya'."
Pada hari Festival itu, Hinoharu-senpai pernah bilang, "Tidak peduli apa yang aku bilang, tidak ada yang akan beranggapan kalau itu baik atau buruk."
"Tidak ada yang mau aku melakukan apapun."
Jadi, kami akan membuat Shiozaki-senpai membantah hal itu. Kami akan menunjukkan kalau ada orang-orang yang telah terpengaruh oleh cara Hinoharu-senpai melakukan sesuatu, keberadaannya, dan yang saat ini bersaing dan bertukar kata dengannya sebagai "saingan", mau dia yang sebenarnya.
"Selanjutnya, 'Kunci Cita-cita'. Ini akan memberikan jawaban atas 'cara yang ideal buat diwujudkan' menurut Hinoharu-senpai."
Hinoharu-senpai yang dulu cuma mencari kebahagiaan.
Otsuki-san, yang terkesan dengan cara berpikir Hinoharu-senpai, bertindak berdasarkan keyakinannya, dan sebagai hasilnya, dia sekarang diakui dan diterima. Kami akan mendemonstrasikan hal itu di sini.
"Dengan memberikan dua kunci ini sebagai solusi buat masalah Hinoharu-senpai, kita akan sekali lagi mendorongnya buat mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS. Apa ada masalah dengan rencana ini?"
"Tidak ada. Tidak apa-apa."
Uenohara, yang telah mendengarkan dalam diam, mengangguk.
"Oke, kalau begitu aku serahkan bagian istirahat makan siang padamu. Pastikan saja volumenya tidak terlalu keras."
"Dimengerti. Hati-hati dengan penyimpangan apapun dari pihakmu."
Setelah Uenohara memastikan buat menekankan hal itu lebih dari biasanya, kami meninggalkan "Titik B."
—Fiuh. Aku senang kami berhasil menuntaskannya tepat waktu.
Aku tidak bermaksud buat menyelesaikannya sesingkat ini, tetapi koordinasi dengan berbagai pihak yang terlibat, ternyata lebih sulit ketimbang yang diperkirakan. Jujur saja, aku berharap mereka tidak akan mencoba menolak segala sesuatu tanpa mempertimbangkannya, cuma karena tidak ada pendahulunya.
Saat aku memikirkan hal ini dan hendak memasuki ruang kelas—
"Hei, Nagasaka-kun."
"Ah, Kiyosato-san. Selamat pagi."
Pada saat itu, Kiyosato-san kebetulan keluar dari ruangan.
Kiyosato-san tersenyum dan membalas sapaanku, tetapi wajahnya segera berubah murung.
"Hari ini merupakan tenggat buat pendaftaran pencalonan Pemilihan Umum Ketua OSIS, bukan? Apa kamu sudah mendengar sesuatu soal apa yang Sachi-senpai rencanakan?"
Hmm... ...Jadi Kiyosato-san juga mengkhawatirkan hal ini.
"Pengumumannya belum berubah... ...Aku penasaran apa Hinoharu-senpai tidak akan mencalonkan diri, sih."
Kiyosato-san tampak khawatir, jadi aku memutuskan buat membocorkan sedikit informasi dari dalam.
"Tergantung hari ini, aku rasa. Mungkin ada ajang kecil saat makan siang juga."
"Hah? Apa yang terjadi?"
"Sesuatu kayak pidato... ...Aku rasa?"
Aku sengaja membuat penjelasanku tidak jelas.
Kayaknya tidak akan ada masalah kalau aku menceritakan detailnya... ...Aku cuma merasa kayak gitu.
Kiyosato-san memutar kepalanya, tampak bingung, dan lalu tiba-tiba bergumam dengan serius,
"Tidak peduli bagaimana keputusan Hinoharu-senpai, aku sudah melakukan seluruh yang aku bisa... ...Aku rasa."
"Hah?"
Tunggu, apa jangan-jangan Kiyosato-san juga membuat keputusannya sendiri?
"Apa kamu sempat berbicara dengan Hinoharu-senpai?"
"Ah, tidak. Sachi-senpai kayaknya sedang sibuk, jadi aku belum sempat bicara langsung dengannya."
Hmm, aku salah.
"Tetapi begini, saat aku berbicara dengan banyak orang, aku rasa itu agak mengganggu karena tidak ada yang memikirkan soal OSIS atau Pemilihan Umum Ketua OSIS ini sama sekali. Jadi aku telah bilang pada orang-orang kalau mereka mesti memikirkannya dengan lebih serius."
Kiyosato-san mengerutkan alis matanya, raut ketidaksenangan yang jarang tampak di wajahnya.
Wah, kayak yang diharapkan dari Kiyosato-san. Meskipun tidak secara langsung mempengaruhi pembujukan, ini akan sangat membantu Hinoharu-senpai di masa mendatang.
"Kalau Sachi-senpai memutuskan buat mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS. Aku mau sebanyak mungkin orang-orang mendengarkan, jadi menurutku tidak akan bagus kalau semua orang acuh tak acuh ketika saat itu tiba."
"Iya, aku rasa itu benar."
Aku mengangguk dalam-dalam. Sebuah gerakan saat makan siang—.
Inilah kesempatan yang bagus, aku harap semangatnya sampai ke seluruh siswa-siswi dengan baik.
*
—Dan waktu makan siang. Di Ruang OSIS.
"Jadi, makanya aku meminta bantuanmu di hari libur."
Sebelum "ajang" ini, aku telah menyampaikan permintaan Otsuki-san pada Hinoharu-senpai. Latihan Pra-Festival Musik memang tidak ada hubungannya dengan ajang ini, tetapi ini merupakan alasan yang bagus buat memanggil Hinoharu-senpai.
Ngomong-ngomong, mestinya ada orang lain yang bertugas, tetapi aku sudah menyuap mereka buat keadaan darurat sebelumnya, jadi ruangan itu kosong kecuali Hinoharu-senpai. Wajar buat menjauhkan orang luar saat kamu perlu fokus pada "ajang" ini.
"Ah, begitu ya..."
Hinoharu-senpai mengangguk, menatap kosong ke layar komputer.
Tetapi Hinoharu-senpai cuma mengangguk, dan jawaban yang aku mau tidak kunjung datang.
"Jadi, bagaimana menurutmu? Apa kamu punya rencana lain?"
"Ah... ...tidak, aku tidak punya rencana apapun. Aku mohon beri tahu mereka, aku akan dengan senang hati datang."
Hinoharu-senpai tersadar dan tertawa saat dia setuju, tetapi dia masih tampak sedikit canggung. Hati Hinoharu-senpai kayak tidak berada di dalamnya.
...Aku penasaran apa keraguan muncul karena tenggat pendaftaran pencalonan yang semakin dekat. Aku memeriksa waktu sambil berharap itu yang terjadi.
Saat itu tepat setengah jalan lewat waktu makan siang. Sudah hampir waktunya buat memulai "ajang" ini.
Aku rasa aku akan mulai bersiap-siap.
"Tetapi hari ini panas sekali. Sangat panas."
Aku mengajukan banding dengan mengepakkan bagian depan kemejaku.
"Bolehkah aku membuka jendela? Anginnya terasa sejuk tadi."
"Ah, kalau kamu mau, aku dapat mengatur pendingin ruangan—"
"Tidak, tidak, mari kita hemat energi. Mari kita nikmati angin sepoi-sepoi yang alami."
Aku segera mendekati jendela, membuka kuncinya dengan sekali klik, dan melemparkannya ke luar.
Saat angin kering bertiup ke dalam ruangan, volume suara berisik dari gedung sekolah meningkat.
—Oke, sempurna.
"Nagasaka-kun, kamu tidak perlu membukanya sampai habis—"
Suara kebingungan Hinoharu-senpai segera tenggelam oleh volume yang keras.
'Cek... ...Eum, siswa-siswi SMA Kyou-Nishi, maafkan aku karena mengganggu waktu istirahat makan siang kalian. Aku Shiozaki Daiki, seorang siswa Kelas XI-E, dan aku mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS.'
—Volumenya bagus, tidak berderak.
Sempurna! Siaran yang sempurna di seluruh sekolah!
"Hah? Pidato di sudut jalan...? Melalui siaran sekolah?"
Di sudut mataku, Hinoharu-senpai mengangkat wajahnya karena terkejut.
Tidak ada pendahulu buat berpidato menggunakan sistem alamat publik sekolah, jadi dapat dimaklumi kalau Hinoharu-senpai terkejut.
"Hari ini, ada sesuatu yang mau aku sampaikan pada kalian semua, dan aku meminjam kesempatan ini buat menyampaikannya. Aku akan senang kalau kalian dapat menemaniku sebentar."
Pengucapan Shiozaki-senpai yang lancar dan aksennya yang mudah dimengerti.
Suara Shiozaki-senpai yang biasanya terdengar tenang, menyelinap masuk ke telinga mereka dengan sedikit perubahan intonasi.
"Yoi, sempurna. Hasil latihan kita mulai tampak. Bimbingan 'Kaki Tangan Uenohara' benar-benar akurat."
Aku tidak pernah menyangka kalau cuma karena kami tidak punya tempat latihan, aku akhirnya pergi karaoke dengan Shiozaki-senpai...
"Alasanku mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS semata-mata demi masa mendatang yang cerah buat semua orang."
"Hinoharu-senpai, apa kamu sudah pernah mendengar pidato Shiozaki-senpai sebelumnya?"
Selama jeda dalam pidato Shiozaki-senpai, aku mengajukan pertanyaan kayak gitu.
"Iya, cuma sedikit."
Hinoharu-senpai berpaling dariku dan menggumamkan respons yang rumit. Kayaknya Hinoharu-senpai punya perasaan yang campur aduk soal itu.
"Begitukah? Kalau begitu, ini waktu yang tepat."
Aku tertawa.
"Pidato hari ini memang yang terbaik."
Dan lalu...
"Meskipun begitu... ...itu mungkin agak berlebihan." Pidato yang tadinya dimulai kayak biasanya, berubah jadi berbeda.
Kalau begitu.
Mari kita mulai "Ajang Pembujukan Hinoharu Sachi-senpai" ─ fase pertama.
"Alasan utamaku mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS yaitu... ...Aku mau jadi kayak seseorang yang mengajariku bagaimana membayangkan masa mendatang yang cerah karena aku diajari bagaimana membayangkan masa mendatang yang cerah oleh seseorang."
Kejadian yang tidak terduga itu tampaknya mengubah warna dari keramaian sekolah.
Pidato di sudut jalan di halaman sekolah setiap hari.
Dimulai dengan kalimat klise yang semua orang pasti bosan mendengarnya, cuma agar segera disangkal dan dengan begitu menarik minat pemirsa.
"Dulu aku berpikir kalau melestarikan tradisi SMA Kyougoku merupakan prioritas utama. Dengan sejarah lebih dari 150 tahun sejak didirikan, tingkat kemajuan tertinggi di prefektur, dan berbagai ajang sekolah kayak Festival Budaya Sekolah─ —sekolah ini merupakan sekolah yang menawan dengan begitu banyak hal yang ditawarkan. Menurutku, yang terpenting yaitu melestarikannya apa adanya tanpa banyak mengubahnya."
Dan yang paling penting yaitu "bab masa lalu" Shiozaki-senpai.
Buat mengenal orang asing, akan sangat mengesankan buat berbagi kisah kayak gitu.
"Lalu aku bergabung dengan OSIS dan bekerja keras demi menjalankan kebijakan yang sama, mengalokasikan anggaran yang sama, dan mengadakan ajang-ajang yang sama seperti sebelumnya."
Lanjut Shiozaki-senpai, dengan hati-hati menyusun setiap kata.
"Tetapi... ...pada saat itu, seseorang bilang padaku, 'Melestarikan tradisi dan tidak mengubahnya merupakan dua hal yang berbeda. Itu cuma kemalasan.'"
"...Ah."
Hinoharu-senpai tiba-tiba membelalakkan matanya seakan-akan menyadari sesuatu.
...Hinoharu-senpai tahu persis siapa orang itu.
"Aku, yang percaya kalau aku mendedikasikan diriku buat kegiatan OSIS, jadi marah dan berargumen, 'Ini bukan berarti kita mesti mengubah segalanya.' Tetapi orang itu menjawab, 'Kalau kamu tidak mencoba buat berubah, tidak akan pernah jadi lebih baik.'"
Hinoharu-senpai mengalihkan pandangannya dan menggenggam tangannya dengan gelisah.
─Kerja bagus, Shiozaki-senpai.
Kata-katamu benar-benar sampai.
"Lalu aku menyadari sesuatu. Aku memang telah memberikan segalanya buat melestarikan tradisi, tetapi aku tidak pernah kepikiran buat menciptakan sesuatu yang akan melampauinya."
Hembusan angin bertiup masuk, mengibaskan gorden.
"Dan cara orang itu selalu melihat ke depan dan bekerja menuju masa mendatang yang lebih cerah ─ begitu kuat dan mempesona. Aku iri dan sangat mengagumi orang itu dari lubuk hatiku yang paling dalam. Aku mau jadi kayak orang itu."
Mendengar kata-kata itu, Hinoharu-senpai menggigit bibirnya dan menunduk.
"Setelah itu, aku kepikiran soal apa makna SMA Kyougoku buatku dan apa mau tradisi buatku. Dan untuk membuat tradisi itu jadi sesuatu yang dapat aku banggakan... ...Itulah jawaban yang aku temukan, dan itulah janji kampanyeku."
Siaran sekolah terus berlanjut.
"Kayak yang kalian semua tahu, aku ini orang yang membosankan. Aku ini orang yang membosankan dan tidak menarik yang bahkan tidak mau repot-repot mendengarkan pidato."
"..."
"Tetapi aku percaya kalau keinginanku untuk membuat sekolah ini jadi tempat yang lebih baik dan tekadku buat melakukan apapun buat mencapai tujuan itu merupakan yang terkuat di antara 954 orang siswa-siswi di sekolah ini. Bahkan lebih kuat ketimbang orang yang mengajariku bagaimana membayangkan masa mendatang yang cerah."
"..."
"Kalau ada orang yang tidak setuju dengan pendapatku ataupun percaya kalau mereka dapat menciptakan masa mendatang yang lebih baik, mari kita bertarung secara adil dalam Pemilihan Umum Ketua OSIS. Aku tidak akan lari ataupun bersembunyi, dan aku tidak akan pernah berkompromi dengan mencoba menipu siapapun. Aku akan menghadapinya secara langsung."
"...!"
"Cuma itu yang dapat aku sampaikan. Terima kasih atas perhatian kalian."
Setelah hening sejenak, seolah-olah membungkuk ke arah mikrofon, aliran listrik terputus dengan bunyi 'klik'.
Kehebohan di sekolah, yang sempat mereda sejenak, berangsur-angsur kembali bergaung.
"Nagasaka-kun, apa semua ini... ...ulahmu?"
"Tidak, tidak, aku tidak melakukan sesuatu yang besar. Aku cuma membantu memastikan perasaan Shiozaki-senpai tersampaikan dengan baik."
—Ini merupakan keseluruhan dari "Ajang Pembujukan Hinoharu-senpai," Tahap 1.
Isi dari pidato ini didasarkan pada "bab masa lalu" antara Shiozaki-senpai dan Hinoharu-senpai, dengan Uenohara yang membuat draf awal, yang kemudian aku poles dengan menggunakan wawasanku soal kisah komedi romantis agar lebih berdampak.
Sambil menyampaikan perasaan penuh semangat Shiozaki-senpai pada siswa-siswi yang sebelumnya mengabaikan Pemilihan Umum Ketua OSIS, itu juga menyampaikan fakta bahwa ada seseorang yang mengakui dan menerima Hinoharu-senpai yang dulu.
Aku melangkah maju ke arah Hinoharu-senpai.
Hinoharu-senpai menatapku, tetapi dengan cepat mengalihkan pandangannya.
"Kamu sendiri yang bilang sebelumnya, Hinoharu-senpai. Tidak ada yang mau jati dirimu yang sebenarnya, bukan?"
"I-Itu..."
"Ada seseorang di sana yang mau hal itu. Apa kamu masih bisa bilang hal yang sama sekarang?"
"..."
Hinoharu-senpai terus menundukkan kepalanya.
"Selain itu, Shiozaki-senpai... ...ia bahkan menyiapkan tempat buat kita buat mengekspresikan pendapat kita dengan bebas. Tempat di mana kita dapat berkompetisi tanpa ragu-ragu soal apa yang paling penting buat kita. Makanya Shiozaki-senpai mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS, meskipun ia bilang kalau ia tidak karismatik atau fasih berbicara."
"..."
"Itu berada dalam jangkauanmu. Apa kamu masih tidak berniat buat menjangkaunya?"
Aku memasukkan tanganku ke dalam saku dan menggenggam erat formulir pencalonan yang dipercayakan Shiozaki-senpai padaku.
Hinoharu-senpai, yang sudah lama terdiam, akhirnya angkat bicara.
"Maafkan aku, tetapi... ...aku tetap tidak mau membuat masalah buat orang lain."
—Hinoharu-senpai menolakku, menggunakan orang lain sebagai alasannya.
—Kayaknya ini saja belum cukup buat menjangkau Hinoharu-senpai.
Aku menghela napas pelan agar Hinoharu-senpai tidak mendengarnya, lalu mengeluarkan tanganku dari sakuku.
"Hinoharu-senpai, apa kamu punya waktu sepulang sekolah hari ini?"
"..."
"Aku yakin kamu akan mengerti nanti. Apa tindakan yang terbaik buatmu."
Hinoharu-senpai tetap diam, kepalanya masih tertunduk.
Keraguan Hinoharu-senpai yang tidak kayak biasanya membuatku frustrasi.
"Paling tidak, ini bukanlah sesuatu yang mesti kamu putuskan berdasarkan apa yang orang lain pikirkan. Karena, Hinoharu-senpai... ...Apa kamu benar-benar bahagia sekarang?"
"Ah...!"
—Tidak, tunggu. Tenanglah.
Tidak ada gunanya bilang lebih banyak di sini.
Aku menekan ketidaksabaranku dan berbalik kembali ke pintu masuk.
"Aku akan datang ke Ruang OSIS sepulang sekolah buat menjemputmu. Aku mohon tunggu aku."
Dengan kata-kata terakhir itu, aku meninggalkan Ruang OSIS.
—Sampai di sini, segalanya berjalan sesuai rencana.
Tidak apa-apa, pesannya sudah sampai ke Hinoharu-senpai.
Yang tersisa cuma menunjukkan solusi buat masalah yang tersisa. Lalu, Hinoharu-senpai tidak akan punya alasan lagi buat menolak dengan keras kepala pencalonannya sebagai Ketua OSIS.
Aku mengeluarkan ponsel pintarku sambil mengirimkan pesan pada seluruh orang yang terlibat: 'Lanjutkan kayak yang direncanakan.'
Lalu, selangkah demi selangkah, aku mulai berjalan, seakan-akan menanamkan kehadiranku di lantai.
—Namun.
"Ajang" ini punya kekurangan yang fatal.
Dan aku sama sekali tidak menyadarinya.
Follow Channel WhatsApp Resmi Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F
Baca juga:
• ImoUza Light Novel Jilid 1 Bahasa Indonesia
Baca juga dalam bahasa lain: