Genjitsu de RabuKome Dekinai to Dare ga Kimeta? [LN] - Jilid 3 Bab 2 - Lintas Ninja Translation

Bab 2
Siapa yang Memutuskan Bahwa Solusi yang Optimal Itu Merupakan Solusi yang Terbaik?

Keesokan harinya saat istirahat makan siang, aku sekali lagi menuju ke tempat di sebelah gimnasium tempatku menghabiskan waktu bersama Torisawa kemarin. Tetapi hari ini, aku bukan cuma berdua saja.

"Ah, sungguh hari yang indah! Sang surya benar-benar mencerahkan suasana hati kita, bukan?"

"Hmm, tetapi ini masih panas... ...Dan akan semakin panas, bukan? Aku tidak yakin apa aku dapat tahan lagi..."

"Paling tidak ada angin sepoi-sepoi hari ini. Saat cuaca sangat buruk, kita dapat merasakan kulit kita mendesis bahkan di tempat teduh."

Berjalan di sampingku, ada Tokiwa, Kiyosato-san, dan Uenohara.

Hari ini, kami akan mengadakan "Ajang Makan Siang" dengan "Kelompok Teman-Teman" kami. Pada saat yang sama, kami berencana buat melaksanakan "Ajang Penggalian Lebih Dalam Hinoharu-senpai."

—Setelah berdiskusi dengan Uenohara, kami memutuskan buat mencari petunjuk terlebih dahulu dari 'Interaksi Hinoharu-senpai dengan Orang Lain'. Berdasarkan informasi yang kami kumpulkan, kami menyimpulkan bahwa sesuatu yang berhubungan dengan hubungan interpersonal Hinoharu-senpai kemungkinan besar yang jadi penyebab perubahan perilakunya.

Jadi, kami merancang sebuah ajang di mana kami akan memandu Hinoharu-senpai buat makan siang dengan para anggota 'Kelompok Teman-Teman' dan mengamati bagaimana dia berinteraksi dengan mereka.

"Hei, Torisawa, maaf membuatmu menunggu."

"Hei."

Sama kayak kemarin, Torisawa sudah ada di sana, dengan gitar di tangan, menunggu kami di dekat gimnasium.

Ngomong-ngomong, aku sudah menjelaskan tujuan ajang hari ini pada Torisawa lewat RINE. Dengan begitu, Torisawa akan lebih mungkin menyetujui rencana kami, dan ia bahkan mungkin akan mengambil beberapa tindakan pada Hinoharu-senpai, yang dapat sangat membantu.

Kalau itu terjadi, Uenohara dan Torisawa dapat bekerja sama buat memojokkan Hinoharu-senpai — Sebuah kombo yang sangat kuat. Jujur saja, aku sendiri tidak mau ada di posisi itu, itu agak kejam.

"Wah, gitar yang sesungguhnya! Aku belum pernah melihatnya secara langsung!"

Mata Tokiwa berbinar-binar saat ia bergegas menghampiri.

Torisawa menghela napas dan melepaskan tali dari bahunya, menawarkan gitar itu pada Tokiwa.

"Apa kamu mau mencoba memainkannya?"

"Benarkah? Aku benar-benar pemula. Apa tidak apa-apa kalau aku menyentuhnya?"

"Ini cuma buat latihan, tidak usah khawatir. Ini, silakan saja."

"Ah, wah... ...Ini lebih berat dari yang aku kira!"

Tokiwa dengan hati-hati mengambil gitar itu, memegangnya dengan kedua tangannya, seolah-olah mempersembahkan kado yang sakral. Tokiwa lalu membalikkan gitar itu dan memegangnya secara miring, tampak tidak yakin apa yang mesti ia lakukan.

"Ahaha, Tokiwa-kun, kamu tidak boleh memainkannya kayak gitu," tawa Kiyosato-san.

"Eh, talinya terlilit di lenganmu. Hati-hati," kata Uenohara sambil melepaskan tali pengikat dari lengan kiri Tokiwa. Uenohara lalu berdiri di depan Tokiwa, mengulurkan tangan buat menyampirkan tali itu ke bahu Tokiwa.

"Sudah, sudah siap. Oke, paham?"

"Hah? Ah, terima kasih, Ayano-chan!"

Pipi Tokiwa agak memerah saat ia mengangguk dengan penuh semangat.

...Uenohara, kamu selalu dekat dengan Tokiwa secara alami. Tetapi kalau sudah menyangkutku, kamu akan menjaga jarak.

Merasa agak galau, aku melihat ke arah Gedung Kesenian.

Ruang OSIS ada di sana, di depan mata. Aku dapat melihat pintu masuknya... ...Iya, itu sudah tampak. Posisi kami sempurna. Menurut informasi yang kami dapat, Hinoharu-senpai sedang bertugas saat istirahat makan siang hari ini. Torisawa, mata-mata kami, telah mengkonfirmasi kalau Hinoharu-senpai ada di Ruang OSIS, jadi sekarang kami cuma perlu mencari cara buat memancingnya keluar dan memulai 'Ajang'.

Aku diam-diam menyatakan ajang tersebut diaktifkan dalam benakku dan menoleh ke arah kelompok yang berkumpul di sekitar Tokiwa.

"Maaf, aku mesti mengurus sesuatu terlebih dahulu. Kalian lanjutkan saja makan tanpaku."

"Oke, dimengerti."

Uenohara segera merespons.

Lalu, Uenohara merentangkan kedua tangannya di depanku.

"Apa aku mesti memegangi kotak bekalmu?"

"Ah, terima kasih. Aku menghargai itu."

Memang benar, akan lebih mudah buat bergerak dengan tanganku yang kosong. Dukungan yang bagus.

Aku meletakkan roti yang aku beli di toko sekolah di telapak tangan Uenohara dan mulai berjalan menuju Ruang OSIS.

"Oke, ayo kita bagi-bagi ini sebelum Kouhei kembali. Aku akan mengambil roti bluberi."

Aku mendengar suara dari belakangku.

...Itu cuma bercanda, bukan? Kalian tidak benar-benar akan memakannya, bukan?

Kalau soal makanan manis, aku benar-benar tidak dapat mempercayai Uenohara...

*

"Apa Hinoharu-senpai ada di sini?"

Aku membuka pintu Ruang OSIS, melirik ke arah samping buat mengawasi gerak-gerik Uenohara di luar.

Namun, aku tidak akan masuk ke dalam. Aku akan menunggu di sini.

"Ah, Nagasaka-kun. Jarang sekali melihatmu saat makan siang."

Kayak yang aku duga, Hinoharu-senpai sedang sendirian di dalam, dalam proses membuka tas serut dengan pola Jepang di bangkunya yang biasa. Sempurna, waktu yang tepat.

Aku mengeluarkan kertas A4 yang sudah aku siapkan dan menunjukkannya pada Hinoharu-senpai.

"Kebetulan, aku ada di dekat sini, jadi aku rasa aku akan mampir. Ini merupakan bahan papan pengumuman yang kamu minta tempo hari, tetapi ada salah cetak, jadi aku sudah bawa penggantinya."

"Eh, benarkah? Aku tidak menyadarinya saat aku memeriksanya..."

Hinoharu-senpai memiringkan kepalanya, tampak bingung.

Tentu saja, itu bohong. Tidak ada kesalahan dalam data yang aku berikan pada Hinoharu-senpai. Itu cuma sebuah alasan.

Aku berbalik ke arah papan pengumuman di sebelah pintu masuk. Laporan dengan kesalahan ketik yang telah aku ganti pagi-pagi sekali sudah ditempel di sana. Aku sudah mempersiapkannya sebelumnya buat tujuan ini.

Sambil meraihnya, aku berkata dengan santainya,

"Ini bukan koreksi yang besar, jadi, apa tidak apa-apa kalau aku mengganti yang di atas sana?"

"Ah, tunggu sebentar. Biar aku lihat apa bedanya."

Hinoharu-senpai berdiri dan menghampiri dengan langkah kecil.

Iya! Aku sudah tahu kalau Hinoharu-senpai akan bilang begitu. Dengan begini, bagian pertama dari rencanaku buat menuntun Hinoharu-senpai menuju pintu masuk telah selesai.

Aku menggeser tubuhku buat berdiri di depan papan pengumuman dan berdehem sedikit lebih keras ketimbang biasanya. Itu merupakan sinyal buat Uenohara kalau 'induksinya telah berhasil'.

"Di mana itu?"

"Ada di sini..."

Hinoharu-senpai, yang telah keluar dari ruangan, mengintip dokumen di tanganku.

Oke, sejauh ini bagus.

'Skenario' selanjutnya yaitu fase di mana 'Uenohara mengajak Hinoharu-senpai makan siang bersama'.

"Ah, Sachi-senpai! Selamat siang!"

Hah? Eh...?

Tanpa sadar aku menoleh ke arah suara itu dan melihat Kiyosato-san melambaikan tangan ke arah kami sambil tersenyum. Uenohara yang semestinya beranjak pergi, namun aku malah melihat Kiyosato-san dari sudut mata Hinoharu-senpai.

Menanggapi sapaan Kiyosato-san, Hinoharu-senpai menoleh sambil memiringkan kepalanya.

"Hmm? Ah, Kiyosato-chan...? Apa kamu sedang makan siang di sana?"

"Iya! Ah, Sachi-senpai, apa kamu mau bergabung dengan kami juga?!"

Kiyosato-san memberi isyarat dengan tangannya.

Iya, itu memang agak tidak terduga, tetapi ternyata baik-baik saja, bukan?

"Eh? Itu..."

"Itu ide yang bagus! Sebenarnya, kami barusan akan pergi makan bersama."

Aku memotong kata-kata Hinoharu-senpai.

Oke, sekarang kita hubungkan ini dengan skenario yang direncanakan!

"Senpai, apa kamu sedang sendirian? Kalau begitu sempurna, mari kita makan bersama."

"Ah, itu... ...Aku sedang bertugas, dan seorang pengunjung mungkin saja akan datang, jadi..."

"Ini sangat dekat, jadi tidak apa-apa. Kalau ada yang datang, kita dapat melihatnya."

"Ah, itu, itu memang benar..."

Baca-Rabudame-LN-Jilid-3-Bab-3-Bahasa-Indonesia-di-Lintas-Ninja-Translation

Hinoharu-senpai menggaruk pipinya sambil tersenyum samar.

Hinoharu-senpai tampak ragu-ragu. Hinoharu-senpai biasanya bukanlah tipe orang yang pemalu di sekitar orang lain...

"Apa kamu merasa canggung buat bergabung dengan sekelompok kouhai-mu?"

"Ah, tidak, bukan begitu."

Hinoharu-senpai menggelengkan kepalanya dengan tegas.

Hinoharu-senpai langsung menjawabnya. Iya, Hinoharu-senpai tidak ragu-ragu buat memaksakan dirinya padaku saat kami pertama kali bertemu.

Kalau begitu, apa Hinoharu-senpai cuma bersikap perhatian?

Hinoharu-senpai, yang masih tampak kesulitan, berkata seakan-akan buat cek ombak,

"Tetapi, ini bukan soalku... ...Aku memikirkan cewek-cewek lainnya. Mereka mungkin akan merasa canggung kalau seorang senpai tiba-tiba bergabung dengan mereka, bukan?"

Ah, kayak yang aku duga. Itu memang kekhawatiran yang sangat masuk akal.

Meskipun begitu, hal itu tidak tampak kayak sesuatu yang biasanya dibilang oleh seorang Hinoharu-senpai... ...Hmm, itu memang terasa agak di luar karakter Hinoharu-senpai.

"Itu tidak benar. Kalau memang benar begitu, Kiyosato-san mungkin tidak akan mengajakmu juga."

"Aku penasaran...?"

Hinoharu-senpai melirik ke arah semua orang dan bergumam.

Tetapi ternyata Hinoharu-senpai lebih gigih dari yang aku duga... ...Mungkin aku meremehkan betapa sulitnya mengajak Hinoharu-senpai.

"Selamat siang, Hinoharu-senpai."

...Saat itu, Uenohara tiba, mungkin telah memahami situasinya.

Hinoharu-senpai memiringkan kepalanya dan segera menyadari sesuatu.

"Kamu yang dari Kerja Bakti Komunitas tempo hari, bukan? Uenohara-chan? Jadi, kalian semua berteman?"

"Iya, terima kasih atas bantuanmu waktu itu."

Uenohara tersenyum tipis di sudut mulutnya. Itulah senyuman khas bisnis Uenohara.

Kalau dipikir-pikir, apa mereka berdua pernah melakukan obrolan yang benar? Selama Kerja Bakti Komunitas... ...Ah, apa jangan-jangan Hinoharu-senpai itu anggota Pengurus OSIS yang memeriksa informasi soal sampah kelas lain?

"Aku dan dua orang lainnya, cowok-cowok, tidak masalah dengan itu, jadi silakan bergabung dengan kami."

Kata Uenohara sambil berbalik, dan Tokiwa Eiji mengangguk dengan penuh semangat, sementara Torisawa Kakeru mengangkat bahu seakan-akan bilang kalau ia tidak punya sesuatu buat ditambahkan.

"Dan aku juga mau mendengar lebih banyak soal OSIS. Ajang beberapa hari yang lalu sangat menarik." Lanjut Uenohara.

"Be-Benarkah?"

"Iya, aku tidak dapat bergabung karena situasi keluargaku..." Hinoharu-senpai segera mengklarifikasi, menghindari keblunderanku.

"Hmm, semua orang bilang begitu..."

Hinoharu-senpai memasang wajah seakan-akan momentumnya telah rusak, dan bahunya merosot. Lalu Hinoharu-senpai memelototiku. Hei, jangan menyeretku ke dalam masalah ini.

Uenohara melanjutkan, kayaknya tidak keberatan.

"Tetapi aku benar-benar mau mendengarnya, jadi bagaimana kalau kita ngobrol di sini?"

"Hmm..."

Hinoharu-senpai bersenandung, dengan jari telunjuknya menempel pada pipinya.

Oke, kayaknya satu dorongan lagi akan berhasil. Aku akan menindaklanjuti.

"Itu benar. Mari kita ngobrol dan saling mengenal satu sama lain."

"Aku bahkan akan memberikan roti ini padamu kalau kamu mau."

"Itu bukan rotimu buat diberikan! Jangan sembarangan memberikan rotiku begitu saja tanpa seizinku!"

"Aku bahkan akan memberikan Kouhei-ku padamu kalau kamu mau."

"Aku juga bukan punyamu buat diberikan! Jangan berikan aku begitu saja tanpa seizinku!"

Aku secara refleks membalas dengan nada bercanda kayak biasanya, tetapi kayaknya itu mengena ke Hinoharu-senpai, yang langsung tertawa terbahak-bahak.

"Oke... ...Kalian kayaknya bersenang-senang. Aku rasa aku akan bergabung."

Iya! Akhirnya, premisnya sudah ditetapkan!

"Aku akan mengambil kotak bekalku sekarang! Tunggu sebentar!"

Setelah rupanya mengambil keputusan, Hinoharu-senpai berbalik dan dengan antusias kembali ke ruangan.

"Kayaknya Hinoharu-senpai dapat membaca suasana, bukan?"

Uenohara bergumam dengan suara pelan saat melihat kepergian Hinoharu-senpai, dan aku menanggapi dengan volume yang sama.

"Kamu juga berpikir begitu?"

"Hinoharu-senpai cuma sedikit canggung. Yang berarti..."

Saat Hinoharu-senpai berbalik sambil membawa tas kotak bekalnya, Uenohara menyela ucapanku.

"Kita akan membahas detailnya nanti. Buat saat ini, mari kita lanjutkan sesuai Rencana."

"Dimengerti."

*

Maka, dengan beberapa manuver yang terampil, aku berhasil memandu Hinoharu-senpai buat memulai "Ajang Makan Siang".

Kiyosato-san, Hinoharu-senpai, dan Uenohara duduk di depan pintu gimnasium, sementara Tokiwa dan aku duduk di atas tanah beton yang datar di bawah mereka, menyilangkan kaki. Torisawa telah pindah sedikit lebih jauh ke area berundak dan melanjutkan latihan gitarnya.

"Ah, Sachi-senpai, kamu bawa tas kotak bekal yang keren, loh!"

"Hah?"

Saat Hinoharu-senpai membuka tas yang berisi kotak bekalnya di pangkuannya, Kiyosato-san berseru kaget.

Uenohara mencondongkan tubuhnya dari samping buat mengintip.

"Tas serut itu imut sekali. Skema warnanya elegan dan anggun."

"Benar begitu, bukan?! Pola-pola kayak ombak itu sangat keren!"

"Kalian benar-benar berpikir begitu...?"

Hinoharu-senpai bergumam seakan-akan mengukur reaksi mereka.

"Haha, buat apa kita bohong soal hal kayak gitu?"

"Itu benar. Sebenarnya, bukannya pola ini mirip dengan Inden-ya?"

[TL Note: 印傳屋 = Inden-ya. Barang-barang kulit tradisional dari prefektur Yamanashi yang terbuat dari kulit rusa yang dipernis. Dipercaya bahwa kulit rusa telah digunakan di Jepang sebagai pakaian pelindung sejak abad ke-4 SM. Kulit rusa dihargai karena kelembutan, keringanan, kelenturan, dan kekuatannya, sehingga sangat ideal buat menyambungkan berbagai bagian baju zirah samurai. Kata "Inden", yang berarti "dari India", berasal dari abad ke-16 saat Yushichi Uehara mengembangkan teknik buat mengaplikasikan pernis pada kulit rusa.]

"Ah, kamu benar! Uenohara-chan, apa kamu tahu soal itu!?"

Hinoharu-senpai tiba-tiba meninggikan suaranya dengan gembira dan berbalik buat menghadap ke arah Uenohara.

"Bukannya aku ahli atau semacamnya, tetapi kami punya beberapa barang inden-ya di rumah, jadi aku mengenalinya."

"Begitukah?! Sebenarnya, ini merupakan tas yang dibuat oleh pengrajin inden-ya yang merupakan teman Kakek—''

Dan dengan begitu, Hinoharu-senpai mulai menjelaskan dengan antusias.

Kalau aku pikir-pikir lagi, Hinoharu-senpai memang menyukai kerajinan tradisional dan hal-hal yang berbau Jepang, bukan? Iya, aku dapat paham kalau terbawa suasana saat membicarakan sesuatu yang kita sukai. Tetapi, kalau kita bertindak terlalu jauh, orang lain mungkin akan merasa terganggu!

Dan begitulah, cewek-cewek pun jadi bersemangat karena tas kotak bekal Hinoharu-senpai yang sederhana.

Tetapi jujur saja, melihat mereka dari dekat kayak gini...

"Aku merasa tidak mestinya aku ada di sini..."

"Tokiwa, itu kalimatku."

Kami berdua, dikelilingi oleh cewek-cewek cantik ini, mau tidak mau saling berbisik.

Bagaimanapun juga, ketiga orang cewek ini termasuk di antara peringkat teratas dalam 'Peringkat Cewek-Cewek Paling Imut Kyougoku Nishi'. Apabila berbicara dengan mereka secara individu, tidak begitu kentara, tetapi melihat mereka bersama kayak gini, sungguh menegaskan betapa mengagumkannya barisan ini. Iya, aku rasa itulah yang diharapkan dalam hal bakat kisah komedi romantis dan sebagainya.

"Nagasaka memang mengenal banyak cewek cantik. Kamu itu kayak sang protagonis dalam manga yang aku pinjam dari Anayama."

"Ah, yang benar, nih?"

Wah, rasanya asyik banget saat seseorang memanggilku sang protagonis. Jadi, aku tampak kayak sang protagonis dalam kisah komedi romantis, ya? Aku memang inti dari kisah romantis tipe harem yang populer, ya? Wah, tidak, bukan, aku mesti menghentikan diriku sendiri buat masuk ke ranah itu, genrenya tidak akan jadi komedi romantis lagi.

"..."

Aku tersentak dari senyuman puasku saat aku merasakan tatapan dingin dari depanku. Iya, maaf, aku mestinya fokus pada "Ajang Penggalian Lebih Dalam Hinoharu-senpai." Aku akan serius sekarang.

Aku berdehem buat memfokuskan kembali perhatianku.

Sekarang, inti dari ajang ini yaitu "Bagian Ngobrol Basa-Basi" yang akan datang. Uenohara akan mengatur suasana tempat ini, jadi aku akan fokus mengamati tindakan Hinoharu-senpai.

Sambil makan siang, aku mencoba mengamati perilaku Hinoharu-senpai secara diam-diam.

"Ngomong-ngomong, Sachi-senpai, kamu sangat memperhatikan banyak hal, bukan? Kamu tadi berbicara soal bagaimana sampomu mesti dibuat dengan minyak kamelia alami dan sebagainya."

Kata Kiyosato-san dengan kagum.

"Iya, ada banyak hal. Yang murah cenderung menggunakan surfaktan dan silikon, yang dapat merusak rambut kita."

"Wah, jadi itu makanya rambutmu begitu indah dan halus."

"Tung-Tunggu, itu geli."

Baca-Rabudame-LN-Jilid-3-Bab-3-Bahasa-Indonesia-di-Lintas-Ninja-Translation

Kiyosato-san dengan santai mengusap rambut Hinoharu-senpai, dan Hinoharu-senpai tertawa kecil sebagai tanggapannya.

Mereka tampaknya cocok, kayak yang mereka bilang. Mereka tampak kayak kakak beradik. Cewek-cewek yang berinteraksi kayak gini memang sungguh memanjakan mata.

"Begini, Kiyosato-chan, kamu mesti lebih berhati-hati dengan kulitmu. Dengan kulit yang begitu indah, sayang sekali kalau tidak dirawat dengan baik."

"Hmm, berada di luar ruangan buat ekskul memang ada batasnya. Aku tidak dapat menahan diri buat tidak jadi kecokelatan. Aku iri dengan kulitmu yang terang, Hinoharu-senpai!"

"Tetapi di sisi lain, aku tidak cukup berolahraga karena aku selalu duduk... ...Aku mesti sadar diri akan hal itu atau aku akan bertambah gendut."

"Hah? Tetapi, aku rasa rencananya yaitu meningkatkan volume di area itu..."

"Kiyosato-chan!"

Kata Hinoharu-senpai dengan ekspresi panik, menepuk bahu Kiyosato-san dengan ringan, yang menjulurkan lidahnya dengan lucu.

Ini luar biasa! Interaksi mereka sungguh mengagumkan! Aku mesti memberikan perhatian ekstra pada topik yang berhubungan dengan volume!

"Oke, oke, sudah cukup. Ada cowok-cowok di sini, loh."

Hei, Uenohara, jangan merusaknya! Kita sudah sampai pada "Adegan Pelayanan"! Aku tidak meminta kontrol suasana hati kayak gitu!

"Ah, a-aku tidak bermaksud— Senpai, kamu begitu mudah didekati! Aku kira kamu akan jadi orang yang sangat dewasa!"

Sela Tokiwa, terdengar bingung, mungkin mengira kalau ia sedang diomeli. Tidak usah khawatir, Tokiwa, cuma aku yang ditujukan buat komentar itu.

Mendengar komentar Tokiwa, Hinoharu-senpai kayaknya tersadar dari lamunannya dan mendongak, ekspresinya berubah jadi agak muram.

"...Maafkan aku. Aku lupa memperkenalkan diriku terlebih dahulu, terutama dengan wajah-wajah baru di sini."

Lalu, Hinoharu-senpai dengan cepat melembutkan ekspresinya dan menoleh ke arah Tokiwa.

"Namaku Hinoharu Sachi, siswi Kelas XI-A. Aku ini anggota Pengurus OSIS, menangani urusan umum dan audit akuntansi."

"Ah, iya! Namaku Tokiwa Eiji, dari Ekskul Bola Basket! Senang berkenalan denganmu!"

Tokiwa meletakkan kotak bekalnya, menegakkan postur tubuhnya, dan menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Wah, Tokiwa sangat sopan pada Hinoharu-senpai. Tokiwa itu kayak anggota ekskul yang sangat atletis.

Hinoharu-senpai tersenyum lembut dan mengangguk sebagai jawaban.

"Iya, senang bertemu denganmu, Tokiwa-kun. Dan kalau kamu itu..."

Hinoharu-senpai menoleh ke arah Torisawa, yang selama ini diam-diam berlatih.

"Hmm, bukannya kamu...?"

Hinoharu-senpai mencondongkan tubuhnya ke depan, seakan-akan dia menyadari sesuatu, dan menatap wajah Torisawa dengan saksama.

Apa? Apa Hinoharu-senpai mengenal Torisawa?

"Apa jangan-jangan kamu dari SMP Higashi? Kamu ada di sebuah band di Festival Musik dua tahun lalu. Namamu... ...Torisawa-kun, bukan?"

"...Heh."

Mendengar kata-kata itu, Torisawa akhirnya mendongak.

Ah, begitu ya. Jadi, Torisawa ada di Festival Musik yang dirombak oleh Hinoharu-senpai. Sangat mengesankan kalau Hinoharu-senpai mengingat nama Torisawa. Kayak yang diharapkan dari seseorang yang mendapat peringkat tinggi dalam mata pelajaran Humaniora; ingatan Hinoharu-senpai memang sangat bagus.

Wajah Hinoharu-senpai berbinar-binar, dan dia menepukkan kedua tangannya.

"Ah, iya, itu benar! Aku ingat penampilanmu karena kamu sangat bersemangat!"

"Terima kasih."

"Kamu sudah tumbuh begitu tinggi! Aku tidak mengenalimu pada awalnya!"

Tunggu, apa Torisawa itu dulu pendek? Itu mengejutkan.

Tetapi Torisawa memang selalu tampan, dengan fitur wajahnya yang lembut. Aku yakin Torisawa juga seorang cowok yang tampan juga saat itu...

Hinoharu-senpai mengangguk paham sambil membuka mulutnya buat berbicara.

"Ah, ah, jadi kamu masuk ke SMA kita. Ekskul Musik Ringan telah berusaha sangat keras akhir-akhir ini, dan aku rasa itu memang pilihan yang bagus. Tidak ada hierarki yang ketat, dan kamu bebas melakukan apa yang kamu mau."

Torisawa mengangkat bahu dan menatap kembali ke arah Hinoharu-senpai. Lalu, dengan mata tajam yang sesekali Torisawa tunjukkan, seakan-akan buat memastikan niat Hinoharu-senpai yang sebenarnya:

"...Jadi, kamu bebas melakukan apa yang kamu mau, ya?"

"Eh...?"

Kata-kata itu, yang diucapkan dengan nada yang sedikit lebih kuat ketimbang biasanya, menyebabkan suasananya jadi tegang.

Torisawa? Ada apa denganmu tiba-tiba?

Mustahil... ...Jangan bilang padaku...

Apa Torisawa berencana buat menghadapi Hinoharu-senpai secara langsung di sini...?

"Eum, apa maksudmu dengan itu?"

Hinoharu-senpai, yang terkejut dengan sikap agresif Torisawa yang tiba-tiba, bertanya dengan hati-hati, tetapi Torisawa melanjutkan tanpa ragu-ragu.

"Tidak, pada pandangan pertama, aku bahkan tidak tahu kalau itu kamu. Kamu telah banyak berubah, sampai-sampai aku hampir tidak mengenalimu."

Torisawa lalu mengangkat sudut mulutnya dan tertawa. Kata-kata Torisawa jelas bernuansa mengejek situasi Hinoharu-senpai saat ini.

Hinoharu-senpai, yang merasa ditantang oleh Torisawa sejak tadi, tampak terguncang.

Apa yang mesti aku lakukan? Mestikah aku turun tangan...?

Aku pun menatap Uenohara, tidak yakin apa yang mesti aku lakukan, tetapi dia tampak puas menyaksikan situasi yang terjadi, dan tampaknya tidak berniat buat campur tangan.

Saat mereka berdua melanjutkan obrolan mereka yang panas, ketegangan meningkat.

"...Apa itu sebuah pujian?"

"Anggap saja itu sesukamu. Tafsirkan saja sendiri."

"Hei! Bukan begitu caranya berbicara dengan orang lain—!"

Hinoharu-senpai secara refleks meninggikan suaranya dengan marah.

Ini buruk! Aku mesti menghentikan mereka!

Aku sudah membuat keputusan dan hendak membuka mulutku...

Tetapi.

"....Hmm."

Lalu Hinoharu-senpai memasang suara seakan-akan membatalkan kata-kata yang akan keluar dari mulutnya.

"...Kalau begitu, aku akan menganggapnya sebagai pujian. Terima kasih."

Dan lalu, Hinoharu-senpai tersenyum lembut lagi.

Torisawa diam-diam mengamati Hinoharu-senpai selama beberapa saat, tetapi pada akhirnya, Torisawa tidak bilang apa-apa lagi dan menurunkan pandangannya ke gitarnya, melanjutkan latihannya.

Satu-satunya suara yang memenuhi area di sekelilingnya yaitu dengungan suara di kejauhan.

Iya, sudah selesai buat saat ini... ...bukan?

"Kouhei, mengapa suasananya jadi agak tegang tadi...?"

Tokiwa berbisik di telingaku, dan aku cuma menjawab, "Entahlah."

Fiuh... ...paling tidak mereka tidak bertengkar di sini. Torisawa, kamu perlu memikirkan pendekatanmu sedikit lagi. Kamu benar-benar membuatku terkena serangan jantung.

"Apa Hinoharu-senpai benar-benar orang yang liar saat SMP?"

Uenohara yang sedari tadi mengamati situasi tiba-tiba menyela.

"Liar? Apa maksudmu?"

Hinoharu-senpai mengulangi, tampak terkejut.

Apa yang Uenohara coba lakukan? Mengaduk-aduk segala sesuatunya kayak gini...

Uenohara menatap wajah Hinoharu-senpai dan lalu tersenyum ceria.

"Begini, kayak mungkin kamu itu benar-benar pemberontak. Melawan para senpai yang tidak kamu sukai, atau memanipulasi sekolah dari belakang layar?"

Ah... ...begitu ya, Uenohara sengaja menggunakan kata-kata yang ekstrim buat meredakan ketegangan.

"Ah, iya! Kamu itu bos bawah tanah? Itu sangat keren!"

Timpal Tokiwa, kayaknya menangkap maksud Uenohara.

Melihat mereka berdua, Hinoharu-senpai jadi rileks dan melembutkan tatapannya.

"Tidak, tidak, tidak ada yang kayak gitu. Aku tidak melakukan sesuatu yang buruk, aku bersumpah."

"Benarkah? Apa kamu yakin? Aku kira mungkin kamu itu anak yang liar saat itu atau semacamnya."

Hinoharu-senpai menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecut.

"Tetapi..."

Hinoharu-senpai lalu menurunkan pandangannya ke kotak bekalnya sambil mengepalkan tinjunya.

"...Aku jelas lebih kekanak-kanakan saat itu, dibandingkan dengan sekarang."

*

Sepulang sekolah. Di salah satu "Tempat Rapat Rahasia" di dalam sekolah, tangga darurat Aula Byakko, yang juga dikenal dengan Nama Sandi "Poin B". Aku bertemu dengan Uenohara di sana. Uenohara kayaknya punya rencana sepulang sekolah, jadi kami segera berbagi informasi di dalam lingkungan sekolah.

Biasanya, kami akan menggunakan atap yang lebih aman, tetapi dengan Pemilihan Umum Ketua OSIS yang sedang berlangsung, ada kemungkinan lebih tinggi seseorang datang ke gudang, jadi kami memilih buat berhati-hati.

"Jadi, apa kamu menemukan sesuatu dari interaksi tadi?"

Aku duduk di tangga di luar pintu masuk dan menanyakan hal itu pada Uenohara.

Uenohara, yang duduk di sebelahku, menyesap sekotak kopi susunya sebelum berbicara.

"Iya, Hinoharu-senpai pasti mencoba membaca suasana, tetapi rasanya itu tidak datang dengan sendirinya. Hinoharu-senpai cenderung terbawa suasana dan berbicara terlalu banyak saat dia sedang bersenang-senang, atau dia secara impulsif mau mengeluhkan sesuatu."

"Iya, aku perhatikan Hinoharu-senpai sering tersandung dengan kata-katanya atau mencoba mengalihkan obrolan."

Apa itu berarti Hinoharu-senpai menahan perasaannya yang sebenarnya?

"Aku rasa Hinoharu-senpai sendiri tidak nyaman dengan perilaku kayak gitu, jadi dia memaksakan dirinya buat bertindak kayak gitu. Makanya Torisawa sengaja bertindak provokatif buat mengganggu Hinoharu-senpai."

"Jadi, ada alasannya..."

"Ini memang metode yang cukup kasar, tetapi itu membuat segalanya jadi lebih jelas."

Iya, Uenohara itu orang yang memahami niat itu dengan tepat. Aku pasti tidak mau kalah dari Uenohara.

"Tampaknya, antusiasme Hinoharu-senpai pada kegiatan OSIS belum berubah, dan tidak mengherankan kalau dia sebenarnya mau mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS di dalam lubuk hatinya."

"Ah, itu kabar yang bagus!"

Menemukan kemungkinan itu saja sudah melegakan. Itu jauh lebih baik ketimbang mencoba meyakinkan Hinoharu-senpai saat dia sama sekali tidak tertarik.

"Tetapi bagian yang merepotkan yaitu—"

Mengabaikan kegembiraanku, Uenohara melanjutkan dengan nada datar.

"Membaca suasananya dan menahan diri kayaknya merupakan solusi Hinoharu-senpai buat menghindari masalah."

"Jadi, kalau Hinoharu-senpai melakukan apa yang dia mau, suatu masalah akan terjadi. Kita memang belum tahu apa masalah itu secara spesifik, tetapi paling tidak Hinoharu-senpai cukup tidak menyukainya buat menahan diri."

"Apa itu berarti Hinoharu-senpai tidak akan mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS meskipun tidak ada masalah, tetapi—"

"Iya. Hinoharu-senpai tidak akan mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS buat menghindari masalah."

Bilang begini, Uenohara menyesap lagi kopi susunya.

"Aku rasa kondisi saat ini, di mana Hinoharu-senpai menekan pernyataan dirinya, merupakan semacam keseimbangan — Solusi yang optimal."

"Solusi yang optimal?"

Aku menggemakan kata-kata Uenohara.

"Tetapi Hinoharu-senpai memaksakan diri, bukan? Kalau begitu, apa kita dapat menyebutnya sebagai solusi yang optimal?"

"Solusi yang optimal tidak memenuhi segalanya, bukan?"

Terkejut dengan jawaban tajam Uenohara, aku terdiam.

"Kalau kamu mencoba buat menyenangkan satu pihak, pihak lain tidak akan puas. Dalam kasus kayak gitu, merupakan hal yang wajar buat menemukan kompromi dan puas dengan apa yang dapat kamu toleransi."

"Aku rasa itu benar..."

Itu merupakan penilaian yang realistis. Memang sulit buat mencapai 100% dalam segala hal.

"Faktanya, perilaku Hinoharu-senpai telah meningkatkan reputasinya di antara teman-temannya, dan kayaknya tidak ada masalah yang menonjol di sekitarnya. Kalau kita menyuruh Hinoharu-senpai berhenti menahan diri dan melakukan apa yang dia suka, jadi Ketua OSIS, tidak akan mudah buatnya untuk menerimanya."

"Itu... ...poin yang valid. Itu memang masuk akal, tetapi..."

Kalau begitu bagaimana aku dapat meyakinkan Hinoharu-senpai...?

Saat aku memasang ekspresi pahit, Uenohara menghela napas dan melanjutkan.

"Iya, tergantung pada sifat masalahnya, bukan mustahil buat menyelesaikannya. Tetapi membuat pilihan kayak gitu dan melakukan yang terbaik sesuai kemampuan kita merupakan hal yang masuk akal—"

—Uenohara tiba-tiba berhenti di tengah kalimat, seolah-olah dia barusan menyadari sesuatu. Uenohara meremas kotak susu kopi kosong di tangannya.

Hmm...?

Saat aku hendak menanyakan ada apa, aku merasakan alarm ponsel pintar berbunyi.

"Maaf, aku mesti pergi sekarang atau aku akan terlambat."

Tanpa menunggu jawaban, Uenohara menggelengkan kepalanya dengan ekspresi yang agak muram dan dengan cepat berdiri.

Tanpa menoleh ke belakang, Uenohara mulai menuruni tangga. Aku memanggil Uenohara, merasa agak penasaran.

"Ngomong-ngomong, apa rencanamu hari ini? Kamu bilang kalau kamu akan memakan waktu sampai malam, bukan?"

"Hmm... ...Aku diajak ke karaoke oleh beberapa teman sekelas."

Uenohara berhenti dan memalingkan wajahnya setengah ke arahku buat menjawab.

"Aku sudah pernah menolak mereka, jadi aku rasa aku akan menunjukkan wajahku paling tidak sekali sebelum kita sibuk dengan hal ini."

Ah, jadi ini merupakan ajang nongkrong dengan teman-teman. Ah, begitu ya, begitu ya.

"Itu bagus... ...Dan kamu terus menolak mereka meskipun mereka terus mengajakmu? Itu sangat membuat iri."

Uenohara mengernyitkan alis matanya dan mengibaskan rambutnya ke belakang.

"Kamu juga belum lama ini nongkrong bareng, bukan?"

"Itu perayaan pasca proyek. Itu bukan ajang biasa, dan akulah yang menyarankannya."

"Itu tidak jauh berbeda."

"Itu berbeda. Fakta kalau ajang itu terjadi secara spontan buatmu, membuatnya sangat berbeda beberapa level."

Kamu tidak tahu berapa banyak usaha yang aku lakukan demi mewujudkan ajang-ajang tersebut.

"Sungguh, kamu sangat beruntung dapat bergaul dengan mereka kayak gitu. Aku dapat menangani survei kelas sendiri, jadi hargailah teman-temanmu, oke?"

Saat aku bilang begitu, Uenohara akhirnya berbalik menghadapku sepenuhnya.

Dan, dengan ekspresi kesal yang luar biasa, Uenohara menjawab, "—Biasa saja kayak gitu tidak ada maknanya."

"Hah? Hei, kamu..."

Kalau tidak ada maknanya, lalu mengapa repot-repot nongkrong dengan mereka — Sebelum aku sempat bertanya, Uenohara tiba-tiba bilang, "Sampai jumpa," dan pergi.

*

Setelah berpisah dengan Uenohara, aku melanjutkan survei harianku, dengan perasaan tidak puas.

"—Jadi itu sebabnya Ekskul Bola Tangan tidak mendapatkan bola baru kali ini, karena Ekskul Olahraga Elektronik (E-Sports) akan ditingkatkan dari ekskul hobi dan akan menerima dana. Mereka meremehkan kami cuma karena kami lemah, itu sangat menjengkelkan."

"Jadi itu sebabnya aku melihat Koizumi-san di sekolah pada waktu yang tidak biasa ini... ...Iya, itu memang menyebalkan."

Aku mendapat kabar gembira dari Koizumi-san, yang aku temui di sepanjang jalan.

Begitu ya, jadi itulah mengapa ada begitu banyak ekskul akhir-akhir ini. Pasti membutuhkan banyak waktu buat berkoordinasi dengan seluruh ekskul yang berbeda.

Ngomong-ngomong, cukup menantang buat mendirikan ekskul baru di SMA Kyou-Nishi. Pertama, kalian mesti membentuk ekskul hobi dan mempertahankan kegiatan yang berkelanjutan paling tidak selama satu tahun, lalu menyusun laporan kegiatan, mencari Guru Penasihat, mengamankan ruang ekskul, dan membuat rencana anggaran. Setelah itu, barulah kalian dapat memperoleh persetujuan dari sekolah, Komite Eksekutif OSIS, dan Aliansi Ekskul buat mendapatkan pendanaan.

Ekskul hobi dapat dibentuk cuma dengan persetujuan Komite Eksekutif OSIS dan Penasihat OSIS, tetapi tanpa ruang atau anggaran, tidak ada bedanya dengan melakukan apapun yang kalian mau sendiri. Akibatnya, ekskul ini cuma dibuat sebagai tindakan sementara sampai ekskul resmi didirikan.

Memang masuk akal buat punya persyaratan yang ketat demi mencegah orang membuat ekskul cuma buat bersenang-senang, tetapi hal itu membuat segalanya jadi sulit saat uang dan kepentingan terlibat.

"Ketua Kelas, bukannya kamu mengenal seseorang di OSIS? Tidak bisakah kamu membuat mereka berubah pikiran dengan menyerang mereka dengan bola atau semacamnya?"

"Kekerasan merupakan hal yang tidak boleh dilakukan."

Kamu itu cewek yang suka bertarung... ...Kalau kamu melakukan itu, Hinoharu-senpai, yang sudah lemah, mungkin akan kehilangan ingatan penting juga. Bagaimana kalau Hinoharu-senpai cuma bisa mengingat sesuatu selama sepekan?

Setelah obrolan kayak gitu, aku berpisah dengan Koizumi-san.

Aku segera mencatat informasi yang barusan aku dengar, selesai memeriksa tempat terakhir, dan menyelesaikan patroli.

Saat aku meregangkan jari-jariku dan tubuhku yang terlalu banyak bekerja, aku mengingat situasi saat ini dan merasakan ketidakpuasan yang samar-samar.

—Entah bagaimana, masa depan tidak tampak terlalu cerah.

Aku memahami kalau Hinoharu-senpai sedang berjuang antara perasaannya yang sesungguhnya dan apa yang diharapkan darinya, tetapi aku tidak tahu bagaimana cara menyelesaikan dilema ini.

Tampak jelas kalau situasi saat ini mempertahankan keseimbangan yang rumit.

Tetapi, apa ini benar-benar solusi terbaik buat Hinoharu-senpai? Apa tidak ada pilihan lain yang lebih baik?

Aku harap ada cara yang lebih sederhana buat menangani hal ini...

Dengan pemikiran tersebut, aku berjalan menyusuri lorong sekolah.

...Buat saat ini, aku mesti menuntaskan tumpukan tugas rutin. Kalau aku menuntaskan sebanyak mungkin tugas yang tidak penting, aku akan punya lebih banyak waktu dalam keadaan darurat.

Setelah membuat keputusan itu, aku memasuki ruang kelas buat mengambil barang-barangku.

—Dan di sana, "Tidak, tidak, faktorisasi itu salah, mestinya kayak gini."

"Ah, ah iya, aku rasa begitu."

Di ruang kelas pada senja hari, Kelompok Katsunuma — Ide, Katsunuma, dan Tamahata — sedang berkumpul bersama, belajar... ...Lebih tepatnya, mereka semua berkumpul di sekitar Katsunuma, mengajarinya. Menjelang akhir semester, mereka mungkin sedang mengadakan sesi belajar.

Berdiri di samping bangku Katsunuma, Ide menghela napas dengan keras dan jelas.

"Hei, kamu mestinya menyadarinya sendiri tanpa aku beri tahu, tetapi kalau kamu terus membuat kesalahan kayak gini, kamu akan gagal dalam ujian. Apa kamu tidak malu karena kalah dariku?"

"Aku tahu itu! Dan berhentilah memasang wajah menyedihkan itu setiap kali aku melakukan kesalahan! Itu menjengkelkan!"

Ah, Ide mungkin biasa saja dalam matematika, tetapi ia masih berada di kisaran menengah ke atas buat angkatannya. Dibandingkan dengan Katsunuma, ada kesenjangan yang sangat besar di antara mereka.

Merasa terhibur, aku memutuskan buat bergabung dengan sesi belajar mereka.

"Hei, apa kabar?"

"Ah, Ketua Kelas! Dengar ini, Ayumi sangat bodoh—"

"Hei, berhentilah bilang hal-hal yang tidak perlu! Dan aku tidak mau mendengar kata 'bodoh' keluar dari mulutmu dari seluruh orang!"

"Tetapi kalau soal belajar, kamu pasti yang paling bodoh. Maksudku, siapa yang secara tidak sengaja menghapus jawaban mereka dan mesti mengulang pertanyaan yang sudah mereka tuntaskan?"

"Berhentilah menjelaskan semuanya!"

Katsunuma memegang bahu Ide, yang menyeringai lebar, dan mengguncang Ide dengan kuat.

Haha, kayak biasanya, kamu memang orang bodoh yang asyik. Tetapi aku paham mengapa kamu mau menggoda Katsunuma, Ide.

"Iya, bagus sekali kalau kamu belajar. Teruskanlah, dan kamu mungkin dapat menghindari kegagalan."

Aku menoleh ke arah Tamahata-san, yang duduk di sebelah mereka. Tamahata-san menyeringai dan melambaikan tangannya dari satu sisi ke sisi lain.

"Tidak, bukan, Ayumi bukan cuma mau lulus. Ayumi bersemangat buat mengalahkan Ketua Kelas! Itu lucu sekali."

"Hah... ...Seriusan?"

"Ah, Hibiki juga! Sudah aku bilang jangan berisik..."

Katsunuma dengan panik melempar tasnya dan bergegas pergi.

Itu memang tujuan yang cukup ambisius... ...Iya, jujur saja, aku sendiri cukup tinggi di peringkat kelas.

Baca-Rabudame-LN-Jilid-3-Bab-3-Bahasa-Indonesia-di-Lintas-Ninja-Translation

Sekarang bebas dari Katsunuma, Ide memutar bola matanya, meremas buku paketnya, dan menepuk pundaknya.

"Jadi, kamu ada di sini buat mengajarkan Matematika pada Katsunuma, aku dengar kalau kamu lebih jago dalam Mata Pelajaran Sains."

"Yoi. Memang masih agak sulit buatku buat mengajari Ayumi."

"Aku tidak meminta dengan sombong! Aku sudah mentraktirmu jus dengan benar!"

"Sekotak jus tidak cukup buat tugas sebanyak ini. Ayolah, cepat kerjakan soal berikutnya. Kita tidak akan tuntas hari ini, bukan?"

"I-Iya, aku tahu..."

Katsunuma mendengus kesal mendengar pernyataan itu dan kembali ke buku latihan.

Melihat pertukaran mereka, aku merasakan perasaan yang hangat dan kabur.

Wah, mereka begitu dekat... ...Tunggu, bukannya Ide itu ada ekskul? Ide masih ada di sini jam segini?

Kamu sangat beruntung punya teman-teman yang baik, Katsunuma.

"Namun tetap saja, bagus sekali kamu berusaha keras. Namun, mengapa kamu tiba-tiba menetapkan target setinggi itu?"

Tanyaku pada Katsunuma, penasaran.

Selama Katsunuma tidak gagal, dia akan naik ke tingkatan berikutnya, dan dia bukan tipe orang yang senang belajar. Kayaknya Katsunuma juga tidak mempersiapkan diri buat ujian.

Katsunuma cemberut dan berpaling, tampak tidak senang.

Katsunuma lalu dengan gugup memainkan anting-anting di telinganya dan bergumam.

"...Aku merasa Senpai telah mengalahkanku, dan itu membuatku kesal. Kesempatan berikutnya yang aku dapatkan buat menantangmu yaitu saat ujian, jadi aku rasa kalau aku tiba-tiba mengalahkanmu, itu akan menunjukkan padamu..."

Hah.

Jadi, itu cuma karena Katsunuma frustrasi karena kalah dan mau membalasku? Tidak ada alasan yang lebih dalam, dan Katsunuma bekerja keras cuma demi itu?

Saat aku berdiri di sana dengan mulut ternganga, Katsunuma melanjutkan dengan penuh semangat.

"Diamlah! Ini bukan kayak aku yang gegabah! Aku akan segera menunjukkan wajah sombongmu itu, tunggu saja!"

Katsunuma lalu menggenggam erat pulpennya, tanpa sengaja menjatuhkan penghapusnya ke lantai karena terlalu bersemangat. Katsunuma segera memungutnya dan kembali ke buku latihannya.

...Ah, Katsunuma sangat kikuk.

Kecerobohan dan keterusterangan Katsunuma membuatku merasa senang, dan aku menanggapinya dengan wajah berseri-seri.

"Ah ho, itulah semangatnya! Kalau kamu dapat melakukannya, lakukanlah! Wahaha!"

"Ah, s*alan! Aku tidak mau kamu tahu! Sikap sombong dan angkuhmu itu yang paling membuatku kesal!"

Maka, kami berdua pun bertengkar terus.

Ah, seandainya semua orang dapat berterus terang kayak Katsunuma...

"Cinta menaklukkan semua, ya?"

"Ini mencurigakan. Mereka tiba-tiba jadi begitu dekat."

Tamahata-san dan Ide saling berbisik satu sama lain sambil memperhatikan kami.

Bahkan, adegan itu tampak kayak kisah komedi romantis, dan aku merasa jauh lebih bahagia.

*

"Halo, semuanya. Aku Shiozaki Daiki dari Kelas XI-E, dan aku mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS."

Keesokan harinya, saat makan siang.

Saat aku pergi ke mesin penjual otomatis di lantai satu buat membeli minuman, aku menemukan pemandangan yang sama kayak sebelumnya.

"Alasanku mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS yaitu demi masa depan yang cerah buat semua orang."

Pidato itu disampaikan dengan nada yang sama kayak sebelumnya.

Tentu saja, reaksi orang-orang di sekelilingnya acuh tak acuh, atau bahkan bersikap dingin, seolah-olah mereka berpikir, "Mulai lagi, deh."

Kalau tanggapannya memang seburuk itu, kalian pasti berpikir kalau tidak akan ada bedanya, apa kalian melakukannya atau tidak... ...Tetapi Shiozaki-senpai melanjutkan pidatonya tanpa gentar, ekspresinya tidak terbaca dari kejauhan.

...Mungkin aku mesti berbicara pada Shiozaki-senpai secara langsung.

Ini memang bukan wawancara, tetapi aku akan memulai obrolan setelah pidato. Mungkin aku dapat mendapatkan beberapa informasi yang akan menuntunku pada Hinoharu-senpai.

Aku bersandar pada tiang di dekatnya dan menunggu pidato berakhir sambil meminum kopi kalengku.

"Kita mesti menjunjung tinggi tradisi SMA Kyou-Nishi, tetapi kita tidak boleh menghindar dari perubahan."

Shiozaki-senpai dengan hati-hati mengucapkan setiap kata dari pidato yang mungkin sudah ia hafal. Bahkan dari hal itu saja, ketulusan dan keseriusan Shiozaki-senpai sudah tampak.

Namun kayak yang sudah aku duga, Shiozaki-senpai tidak punya karisma seorang pemimpin. Penyampaian Shiozaki-senpai sangat sederhana dan tidak punya bakat apa-apa, sehingga meskipun isi pidatonya memang soal reformasi radikal, namun sama sekali tidak tampak kayak gitu. Tergantung pada perspektif kalian, itu bahkan mungkin tampak kayak janji yang mencolok tetapi hampa.

Namun, aku tidak paham, mengapa Shiozaki-senpai begitu bersemangat buat jadi sorotan... ...Shiozaki-senpai tampak kayak tipe orang yang lebih nyaman berada di balik layar.

"Terima kasih atas perhatian kalian."

Saat aku kepikiran hal ini, Shiozaki-senpai mengakhiri pidatonya dengan kalimat yang sama persis kayak kemarin sambil membungkuk dalam-dalam sebelum mulai mengemasi megafonnya.

Oke, mari kita pergi.

Aku berjalan ke arah Shiozaki-senpai dan memanggilnya dari belakang.

"Halo, Shiozaki-senpai."

"Hmm? Halo."

Bahu Shiozaki-senpai bergerak-gerak, dan ia perlahan berbalik.

Ekspresi Shiozaki-senpai tegas dan tidak tersenyum, bahkan lebih dari Uenohara, tetapi anehnya, itu tidak memberikan getaran yang tidak menyenangkan.

Inilah pertemuan pertama kami. Aku tersenyum cerah buat membuat kesan pertama yang baik.

"Pidatomu bagus sekali. Kamu bekerja keras setiap hari."

"Kamu sudah mendengarkanku? Eum, kamu siapa...?"

"Ah, aku Nagasaka dari Kelas X-D. Senang berkenalan denganmu."

Saat aku bilang begini sambil memberikan sedikit membungkuk, Shiozaki-senpai berdiri dan berbalik menghadapku.

Tinggi badan kami memang hampir sama, tetapi tubuh Shiozaki-senpai yang tegap membuatnya tampak lebih tinggi dariku.

"Nagasaka... ...Apa kamu Nagasaka yang mengulang setahun?"

Iya, mungkin maksud Shiozaki-senpai, aku itu seorang ronin.

Memang tidak banyak orang yang tahu namaku, tetapi tidak aneh kalau seorang anggota Pengurus OSIS mengetahuinya.

"Iya, itulah aku."

"Ah, begitu ya... ...Oke, maafkan aku karena berbicara di luar topik. Itu tidak pantas buat pertemuan pertama kita."

"Ah, tidak, tidak usah khawatir. Aku sudah terbiasa."

Saat Shiozaki-senpai tiba-tiba membungkuk, aku melambaikan tanganku buat menghentikannya.

"Bagaimanapun, selamat datang di SMA Kyou-Nishi. Kamu tidak perlu menggunakan bahasa yang sopan padaku."

Shiozaki-senpai agak mengendurkan tatapannya saat ia bilang begini.

Hmm, semua orang bilang begitu... ...Mereka cuma bersikap perhatian.

"Tidak, tidak apa-apa. Itu mungkin akan membingungkan, dan ada orang lain di sekitar sini juga."

"Ah, begitu ya. Maaf, itu juga merupakan pertimbangan yang tidak perlu."

Dan Shiozaki-senpai membungkuk lagi.

Shiozaki-senpai begitu serius... ...Bahkan berbicara dengan Shiozaki-senpai secara langsung, ia memberikan kesan yang sama kayak penampilannya — Orang yang lugas dan jujur.

"Kayak yang kamu lihat, aku tidak jago berbicara... ...Sangat memalukan karena aku bahkan tidak dapat memberikan pidato yang tepat."

"Tidak, menurutku, kamu sudah melakukan tugas dengan baik."

"Melakukannya dengan baik saja tidak cukup. Aku mesti lebih berkharisma dan menarik perhatian."

Hmm... ...Shiozaki-senpai juga sadar diri.

"Tetapi bukan berarti aku mesti bertingkah aneh-aneh agar tampak menonjol. Aku mau maju selangkah demi selangkah, dengan kemampuanku sendiri, tanpa mencemarkan tradisi SMA Kyou-Nishi."

...Shiozaki-senpai jauh lebih rapi ketimbang yang aku kira.

Mungkin aku mesti menanyakan sesuatu yang lebih pribadi pada Shiozaki-senpai.

"Senpai, ini mungkin tidak sopan, tetapi..."

"Tidak apa-apa. Ada apa?"

"Kalau kamu memang mau menjunjung tinggi tradisi sekolah, mengapa kamu memasang janji kampanye itu? Kayaknya itu berlawanan menurutku."

Shiozaki-senpai mengangguk dan menyilangkan tangannya.

"Melestarikan tradisi bukan berarti mengikuti masa lalu secara membabi buta... ...Seseorang pernah bilang begitu padaku. Janji kampanye itu merupakan ideku soal cara menjunjung tinggi tradisi SMA Kyou-Nishi."

"Mengurangi jumlah hari festival merupakan idemu buat melestarikan tradisi? Aku rasa SMA Kyou-Nishi dikenal sebagai 'Sekolah Festival'."

"Karena kita itu 'Sekolah Festival', kita mesti tetap berpegang pada format dua hari buat Festival Budaya Sekolah... ...Aku rasa itu merupakan cara berpikir yang malas, dan aku mau mengubahnya."

Shiozaki-senpai berbicara dengan jujur, cuma menyebutkan fakta-fakta yang ada.

"Setiap tahun, ada masalah dengan sesi latihan mandiri di taman-taman terdekat selama periode persiapan — khususnya, latihan pertunjukan panggung. Inilah masalah dalam hal kebisingan di malam hari, serta keamanan dan kedisiplinan."

S*alan, kayak yang aku duga, jadi bagian dari OSIS berarti Shiozaki-senpai punya akses ke informasi negatif semacam ini...

"Alasannya yaitu karena terlalu banyak yang mesti dikerjakan. Akibatnya, sudah jadi hal yang biasa buat melakukan hal-hal di luar sekolah setelah jam sekolah. Tidak apa-apa buat saat ini, tetapi di zaman sekarang, kalau ada masalah yang terjadi, hal itu dapat memengaruhi kelanjutan Festival Budaya Sekolah secara keseluruhan. Dalam hal ini, akan lebih bagus buat memprioritaskan penghindaran risiko dan mengalokasikan anggaran ekstra buat hal lain. Mengundang instruktur dari luar merupakan salah satu langkah tersebut."

"Lalu mengapa tidak mengalokasikan anggaran tersebut ke ajang-ajang lain? Lagipula, sekarang pun, kamu bekerja sama dengan bimbel-bimbel buat mengadakan Kursus Musim Panas, bukan?"

"Itu opsional dan berbayar, bukan? Mengundang instruktur dari luar ke sekolah memberikan kesempatan buat memberikan wawasan secara adil pada seluruh siswa-siswi, dan aku yakin itu sangat penting."

Lebih lanjut, Shiozaki-senpai melanjutkan, "SMA Kyou-Nishi diizinkan buat lolos dari banyak tuntutan yang tidak masuk akal karena rekam jejak akademisnya yang mengesankan. Ada lebih banyak tempat ketimbang yang kita duga di mana mereka mendapatkan perlakuan khusus cuma karena mereka itu dari 'SMA Kyou-Nishi'."

...S*alan, Shiozaki-senpai sangat masuk akal.

Janji itu bukan cuma buat pamer; janji itu didasarkan pada keyakinan Shiozaki-senpai sendiri. Jujur saja, aku mesti mengakui kalau aku agak terkesan. Tetapi bukan berarti aku dapat menerimanya.

Pemilihan Umum Ketua OSIS ini mungkin tidak sesederhana yang aku kira...

—Lonceng berbunyi, menandakan berakhirnya waktu istirahat makan siang.

"Waktunya habis. Tidak lucu kalau Calon Ketua OSIS terlambat masuk kelas. Aku akan kembali ke kelas duluan."

Meskipun itu mungkin dimaksudkan sebagai candaan, ekspresi Shiozaki-senpai tetap tegas, jadi itu tidak lucu sama sekali.

"Jujur saja, aku sama sekali tidak setuju dengan janjimu, tetapi semoga berhasil."

Aku menggaruk bagian belakang kepalaku dan bilang begini seakan-akan ini merupakan hadiah hiburan.

Shiozaki-senpai terkejut dan terdiam, dan entah mengapa, ia tertawa buat pertama kalinya sejak kami bertemu.

"Haha, kamu memang jujur. Kalau itu yang kamu rasakan, maka kamu sendiri mesti mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS."

"Tidak, aku rasa ada orang yang lebih cocok buat peran itu, jadi aku akan melewatinya."

Mendengar jawabanku, Shiozaki-senpai membelalakkan matanya sedikit.

Lalu Shiozaki-senpai menyipitkan matanya sambil berkata, "...Begitu ya. Kalau begitu, aku harap orang itu mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS."

Dengan begitu, Shiozaki-senpai pergi.

*

"Begitu ya."

Setelah kembali ke rumah, aku bergabung dengan panggilan konferensi malam dan selesai menceritakan soal hariku.

"Jujur saja, aku tidak menyangka kalau Shiozaki-senpai dapat begitu tegas. Meskipun begitu, aku masih merasa kalau Shiozaki-senpai itu bukanlah tipe orang yang secara aktif mencari posisi kepemimpinan."

"Jadi, Shiozaki-senpai tidak agresif dalam menegaskan dirinya sendiri, tetapi ia punya rasa percaya diri yang kuat?"

"Tepat sekali."

Aku dapat mendengar Uenohara mengeluarkan suara mendengus.

"Keputusan Shiozaki-senpai buat mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS muncul setelah Hinoharu-senpai memutuskan buat tidak mencalonkan diri, bukan? Kalau memang benar begitu, apa Shiozaki-senpai awalnya berniat buat bekerja di belakang layar dan tidak maju ke depan? Kalau memang iya, itu masuk akal, tetapi..."

Kayak biasanya, Uenohara memasuki waktu berpikir keras dan mulai bergumam sendiri.

Aku menunggu dengan tenang sampai Uenohara sampai pada sebuah kesimpulan.

"Hubungan antara Hinoharu-senpai dan Shiozaki-senpai sangat menarik. Aku mau lebih banyak informasi soal itu."

"Iya, apa menurutmu itu dapat berguna buat pembujukan?"

"Aku tidak dapat bilang dengan pasti pada saat ini. Tetapi kayaknya mungkin, jadi mestikah aku memeriksanya?"

"Kayaknya kita akan bekerja secara terpisah lagi," lanjut Uenohara.

Aku berpikir sejenak lalu mengangguk.

"Oke, serahkan saja padaku. Saat ini, aku cuma mau senjata sebanyak mungkin... ...Lagipula tidak ada lagi yang berkembang."

Hari ini merupakan hari Kamis. Tenggat buat pendaftaran pencalonan Pemilihan Umum Ketua OSIS itu Jum'at depan, jadi cuma ada sepekan tersisa.

Aku mesti mulai memikirkan langkah-langkah spesifik buat meyakinkan Hinoharu-senpai segera, atau aku akan kehabisan waktu.

"Aku mesti mempersiapkan 'ajang' besok lusa, jadi aku akan fokus pada hal itu buat saat ini. Ngomong-ngomong, kita akan bertemu di Stasiun Kyougoku pada pukul 13.00 siang. Apa tidak apa-apa kalau kita menggunakan sepeda buat transportasi?"

"Iya, tidak apa-apa. Aku juga akan pergi menggunakan sepeda."

Kami segera berbagi informasi yang diperlukan, dan rapat hari ini berakhir lebih awal ketimbang biasanya.

Oke, aku rasa aku akan mandi sekarang—

Saat aku akan meninggalkan kamarku,

"─Fiuh."

...Hmm?

Tiba-tiba, aku mendengar suara napas Uenohara Ayano yang berasal dari panggilan telepon yang aku tinggalkan di atas meja.

Ups, aku kira aku sudah menutup panggilan telepon, tetapi kayaknya aku tidak sengaja menyalakan pengeras suara.

"Hei! Bisakah kamu menutup panggilan telepon dari ujung sana?!"

─Tidak ada respons, cuma suara gemerisik kain.

Ah, Uenohara pasti tidak menyadarinya. Uenohara mungkin memasukkan ponsel pintarnya ke dalam sakunya dan melupakannya.

Dengan enggan aku berbalik kembali ke kamarku.

'─Ibu, aku sudah selesai, jadi aku akan mandi.'

'Oke, oke... ...Hei, Ayano, apa yang kamu kenakan saat menelepon tadi?!'

'Tidak masalah. Lagipula Ayah tidak ada di rumah, sih.'

'Pasanganmu itu Kouhei, bukan? Meskipun seksi, cewek seusiamu─'

'Euh, tidak masalah karena ini cuma panggilan telepon. Bagaimanapun, aku akan mandi─'

Aku bergegas mematikan panggilan telepon ini, yang masih memainkan obrolan yang tidak semestinya aku dengar, dan dengan panik menekan tombol tutup panggilan telepon.

Apaan sih yang Uenohara kenakan selama rapat kami barusan...?

*

─JENG!

'Terima kasih!!'

Penampilan ankora (encore) berakhir, dan live house* meledak dalam sorak-sorai yang memekakkan telinga.

[TL Note: Live house (ライブハウス) merupakan istilah di Jepang buat tempat musik berbentuk klub yang menampilkan pagelaran musik langsung. Istilah ini bermula dari Jepang (sebuah contoh dari wasei eigo) dan banyak digunakan di Asia Timur.]

"Luar biasa─! Keren sekali─! Torisawa─!!"

"Torisawa, cowok super tampan─!! Gendonglah aku─!!"

Di tengah sorak-sorai yang antusias, aku dan Tokiwa berteriak sekuat tenaga sambil merangkul pundak satu sama lain.

Aku memang sudah sering mendengar lagu ini, tetapi tidak ada yang dapat menandingi mendengarnya secara langsung! Suaranya bergema ke sekujur tubuh kami, dan kesatuan penonton sungguh menggembirakan!

Torisawa, di atas panggung, menyeka wajahnya yang basah kuyup oleh keringat dengan kausnya setelah menyibakkan poninya ke belakang dengan kedua tangannya. Dengan santai, Torisawa memperlihatkan otot perut dan otot obliknya, dan menimbulkan lebih banyak lagi teriakan dari para penonton.

─Waktu berlalu, dan akhirnya tiba di akhir pekan, hari Sabtu.

Aku dan "Kelompok Teman-Teman"-ku datang ke pertunjukan langsung Torisawa.

Live House itu memang penuh sesak. Aku dan Tokiwa, yang berada di bagian depan, benar-benar terhimpit oleh kerumunan orang, dan kerah kemeja kami sekarang kusut tanpa kami sadari. Tenggorokan kami terasa kering karena teriakan itu.

Saat para anggota band meninggalkan panggung, para penonton menyambut mereka dengan tepuk tangan meriah. Cuma setelah mereka benar-benar tidak tampak, barulah kerumunan penonton mulai tenang.

"Wah, tadi sangat mengasyikkan! Pertunjukan langsung yang luar biasa!"

"Benar begitu, bukan?! Kita telah mengeluarkan banyak keringat!"

"Iya, aku sering merasa stres akhir-akhir ini, jadi ini merupakan cara yang bagus buat melepaskan ketegangan."

Dengan perasaan segar, aku berjalan melewati kerumunan orang menuju pintu keluar panggung, di mana orang-orang menunggu buat bertemu dengan para artis.

"Kerja yang bagus! Haha, kalian berdua basah kuyup oleh keringat!"

"Kalian melakukannya dengan baik. Ini, silakan minumlah."

Di belakangku, Uenohara dan Kiyosato-san, yang sudah keluar lebih awal, sedang menunggu.

Hmm, cewek-cewek itu cukup keren... ...Tunggu, bukannya tadi ada dua orang cewek yang sedang mengagumi cowok-cowok tampan? Ada sesuatu yang tidak beres.

Sambil memikirkan hal ini, aku mengambil botol minuman olahraga yang telah aku berikan pada Uenohara sebelumnya.

Aku meneguk minuman olahraga itu dan dengan santainya melirik mereka berdua.

─Tetapi tidak peduli berapa kali aku melihatnya, pakaian santai Kiyosato-san... ...Itu sangat cocok.

Hari ini merupakan "Ajang Liburan" pertama di musim panas.

Aku sudah bersemangat sejak semalam, penasaran pakaian santai macam apa yang akan aku lihat, dan ternyata itu merupakan gaya tomboi yang telah aku duga.

Baca-Rabudame-LN-Jilid-3-Bab-3-Bahasa-Indonesia-di-Lintas-Ninja-Translation

Meskipun begitu, kayak yang diharapkan dari "Sang Heroin Utama", apapun yang Kiyosato-san kenakan, dia tetaplah imut sekali, dengan gerak-gerik dan gerakan feminim yang kontras dengan busana tomboi yang dia kenakan, dengan cara yang sangat serasi.

Lebih jauh lagi, karena pakaian Kiyosato-san yang longgar dan nyaman, lengannya yang ramping sesekali menyembul dari lengan bajunya, dan sekilas kulitnya yang mulus setiap kali dia bergerak, sungguh sangat menawan. Aku tidak tahu berapa kali aku berharap dapat menghentikan waktu. Tolonglah, aku mohon, hentikan ilustrasi di sana dan biarkan aku menikmati momen ini.

Adapun Uenohara, dia mengenakan kaus longgar dan celana pendek. Itu merupakan pakaian pertunjukan langsung, dan itu sangat cocok buat Uenohara.

"Jadi, apa yang mau kalian lakukan? Mestikah kita menunggu Torisawa?"

Kata Tokiwa sambil mengibaskan kemejanya, mengirimkan hembusan angin ke arahku.

"Hmm. Maunya sih aku begitu, tetapi kayaknya mustahil..."

Lewat pintu yang mengarah ke lobi, aku dapat melihat sekelompok besar penggemar yang sedang menunggu para anggota band. Malahan, tampaknya ada lebih banyak orang ketimbang yang ada di dalam tempat pertunjukan. Beberapa di antara mereka bahkan berhasil menyelinap masuk tanpa tiket...

"Torisawa-senpai memang sangat keren!"

"Iya, Torisawa-senpai sangat tampan!"

"Mari kita bicara dengan Torisawa-senpai!"

"Mustahil, aku terlalu malu!"

Tepat di sebelah pintu masuk, sekelompok cewek yang tampak kayak siswi-siswi SMP sedang mengobrol dengan penuh semangat.

Kalau dipikir-pikir, mereka memanggilnya 'Torisawa-senpai', jadi mereka pasti para kouhai-nya di SMP Higashi.

"Hei, kalian membuat keributan. Kalau kalian mau berbicara, pergilah ke luar!"

Di antara mereka ada seorang cewek pendek dengan gaya rambut pendek yang dikibaskan, yang menggunakan tangannya buat mendorong kelompok itu.

"Hei, jangan dorong aku, Miki!"

"Kita mesti menunggu di sini atau kita akan kehilangan kesempatan buat melihat para senpai kita!"

"Otsuki, kamu bilang kalau kamu juga mesti melakukan sesuatu!"

"Tidak, kita tidak bisa. Sudah jelas tertulis di pemberitahuan kalau kita tidak boleh menunggu di luar."

Wah, cewek itu sangat serius. Tidak ada seorangpun yang mengikuti peraturan itu.

"Jadi mari kita tunggu sampai segalanya tuntas dan mereka mulai berkemas! Lalu kita dapat mengobrol santai dengan mereka di luar toko! Dengan begitu, kita akan punya lebih banyak waktu, dan itu sesuai dengan peraturannya!"

Ah... ...jadi tidak apa-apa selama masih dalam peraturannya? Cewek itu benar-benar memaksakan kehendaknya, ya.

Namun, dengan adanya cewek-cewek itu di sana, kayaknya kita juga tidak akan punya waktu yang mudah buat menemukan kesempatan buat berbicara dengan Torisawa.

Mempertimbangkan "ajang" yang akan datang berikutnya... ...kayaknya ini saat yang tepat buat memotong kerugian kami.

Aku berbalik ke arah mereka bertiga dan berbicara.

"Aku meninggalkan minuman di ruang ganti, jadi mari kita kirimkan RINE pada Torisawa dan pergi. Aku tidak mau mengganggu mereka."

Setelah ini, para anggota band mungkin akan pergi ke Pesta Pasca Pertunjukan, jadi akan sulit buat mereka untuk bergabung dengan kami. Selain itu, Torisawa mungkin tidak akan keberatan kalau kami tidak bilang apa-apa.

"Aku juga tidak keberatan."

"Sama saja di sini! Di sini panas, jadi aku mau segera keluar dari sini!"

Uenohara mengangguk, dan Kiyosato-san mengangkat tangannya tanda setuju.

"Hmm, kalau itu akan merepotkan, maka aku rasa kita tidak punya pilihan lain."

Tokiwa memang tampak agak enggan, tetapi pada akhirnya, ia mengangguk juga.

"Okelah kalau begitu, mari kita kembali ke stasiun."

Dengan persetujuan semua orang, kami meninggalkan Live House itu.

─Sekarang, selanjutnya yaitu salah satu dari "100 Ajang Kisah Komedi Romantis yang Mudah Dilaksanakan tetapi Sangat Cocok buat Muda-Mudi"!

*

Kami semua naik sepeda dan kembali ke stasiun, lalu masuk ke gedung stasiun.

Di lantai paling atas ada sebuah restoran keluarga Italia yang disukai semua orang, dengan harga yang terjangkau. Rencana kami yaitu beristirahat di sana setelah pertunjukan langsung.

Saat itu hari Sabtu malam, dan restoran tersebut cukup ramai. Kami berjalan melewati kerumunan orang menuju bangku kami, dipandu oleh seorang anggota staf.

Dan, ajang berikutnya ─"Ajang Bersantai di Restoran Keluarga"─ dimulai!

Ajang kayak gini, di mana kita cuma berkumpul dan mengobrol dengan teman-teman kita di restoran keluarga atau kedai kopi, merupakan inti dari kisah komedi romantis. Ini cuma obrolan biasa, terkadang dengan sedikit obrolan yang mendalam atau asyik soal hubungan, tetapi ini merupakan ajang yang sangat bagus yang benar-benar membuat kita merasa kayak berada di tengah-tengah kisah komedi romantis muda-mudi, meskipun kita cuma mengobrol saja.

Selain itu, sudah lama sekali sejak "Kelompok Teman-Teman" pergi ke restoran bersama kayak gini. Setelah "Ajang Penutupan Latihan Sorak-Sorai", kami biasanya berjalan pulang bersama, dan "Ajang Jalan-Jalan" kami biasanya cuma mampir sebentar ke toko swalayan atau toko makanan manis terdekat, tergantung jadwal masing-masing.

Tetapi hari ini, aku sudah memastikan kalau semua orang bebas, jadi kami tidak punya batasan waktu. Sang surya masih tinggi di langit, dan kami punya waktu paling tidak beberapa jam buat menghabiskan waktu.

Dengan bar minuman yang sudah siap, kami siap buat mengobrol panjang lebar, dan kami berencana buat tetap menetap sampai tiba waktunya makan malam!

Sambil mengingat-ingat 100 topik obrolan yang sudah aku siapkan buat hari ini, aku berbalik ke depan meja buat empat orang yang sudah dipandu dan berbicara dengan Kiyosato-san, yang berada tepat di belakangku.

"Silakan duduk di belakang."

"Ah, aku akan sering pergi ke bar minuman, jadi bolehkah aku duduk di sebelah sini?"

"Hmm, tentu saja."

"Jadi, Nagasaka-kun, silakan duduk."

Dengan dorongan lembut, Kiyosato-san menuntunku ke bangku di bagian belakang.

Lalu, Kiyosato-san perlahan meluncur ke bangku di sebelahku.

Tunggu, apa? Lagi-lagi duduk di sebelahku!? Tuhan, Engkau memanjakan hamba-Mu akhir-akhir ini!

"Fiuh, panas sekali."

Mengabaikan keadaanku yang sedang kebingungan, Kiyosato-san dengan santai mengipasi wajahnya, memancarkan aura ketenangan. Aroma sabun deodoran yang harum, yang pernah Kiyosato-san gunakan, tercium di sekelilingnya, membuatku merasa agak gelisah.

"..."

"Eum, Ayano-chan, apa kamu tidak mau duduk...?"

Tokiwa, yang telah memperhatikan seluruh adegan itu, akhirnya angkat bicara, suaranya diwarnai dengan kebingungan. Lalu, seakan-akan Tokiwa barusan menyadari sesuatu, ia tersentak dan menggaruk pipinya, tampak gelisah.

"Ah, kalau kamu tidak mau duduk di sebelahku—"

"Tidak, tidak. Sama sekali tidak kayak gitu. Hanya saja, kenikmatan seseorang yang tampak jelas itu agak terlalu mencolok dan membuatku tidak nyaman."

"Ekspresiku tidak kayak gitu, bukan!?"

S*alan, apa itu tampak jelas di wajahku!? S*alan, aku bahkan tidak menyadari ekspresiku sendiri!

Saat aku menepuk-nepuk wajahku buat mengeceknya, Uenohara datang dan duduk di depanku. Tokiwa dengan gugup duduk di sebelah Uenohara.

—Ehem. Aku memang sempat kehilangan ketenangan sejenak, tetapi aku sudah baik-baik saja sekarang.

Aku memesan beberapa ayam pedas standar dan hidangan lainnya buat mengisi perut kami, bersama dengan minuman buat kami berempat. Uenohara, tanpa ragu-ragu, memesan kombinasi puding dan tiramisu.

Setelah mengambil minuman kami dan duduk di bangku kami, kami akhirnya merasa nyaman.

"Ah, tempat ini sangat cocok."

"Iya!"

Tokiwa menenggak minuman bersoda, sementara Kiyosato-san dengan cepat menenggak es teh tawarnya dan segera pergi buat mengisi ulang.

Wah, mereka berdua sangat atletis!

"...Kouhei."

"Hmm?"

Uenohara mencondongkan badannya dan berbisik padaku.

"Dengar, kalau kamu tidak tahu bagaimana mesti bereaksi, diam saja. Jangan bilang sesuatu yang tidak perlu."

"Tentu saja. Kalau ada momen yang berisiko, lindungi aku, ya. Perintahnya yaitu 'pola'."

"Oke, dimengerti."

Uenohara tampak terlalu khawatir soal sesuatu...

Iya, itu cuma "Ajang Harian" biasa, sih. Tidak akan ada investigasi "Alur" atau "Bocoran" yang kritis, jadi selama aku menghindari itu, segalanya akan baik-baik saja.

Aku menyesap es kopiku, merasa rileks, saat Kiyosato-san dan Tokiwa kembali.

"Ah, itu tepat sekali. Saat kita sedang haus, tidak ada yang dapat mengalahkan bar minuman. Minuman di kafe tidak dapat menggantikannya."

"Iya, aku tahu apa maksudmu. Aku memilih campuran jus anggur, jus jeruk, dan soda kola!"

"Wah, kamu sangat ambisius! Tetapi warna dan rasa dari kombinasi itu mungkin agak... ...menarik."

Kiyosato-san tertawa kecil sambil menatap cairan berwarna coklat di cangkir Tokiwa.

Iya, itulah pengalaman restoran keluarga yang klasik! Mencampur minuman merupakan suatu keharusan!

"Tokiwa-kun, boleh saja mencampur minuman, tetapi apa kamu benar-benar dapat meminumnya?"

Tanya Uenohara sambil menyesap jus jeruk yang biasa dia minum.

Tokiwa tersenyum malu-malu.

"Iya, aku bisa. Kami membuat berbagai macam campuran minuman di Pesta Ekskul Bola Basket."

*

"Jangan tinggalkan sisa makanan. Tidak sopan kalau kalian bermain-main dengan makanan kalian dan lalu membuangnya."

"Ah, iya! Tentu saja!"

Tokiwa menegakkan tubuh dan menjawab dengan nada sopan sebelum menenggak cairan itu.

Hmm, itulah pengingat yang sangat masuk akal. Atau apa itu lebih merupakan sikap 'Aku tidak akan mentolerir sikap tidak hormat pada makanan manis'?

Yang terakhir ini tampaknya lebih mungkin terjadi...

"Ayano dapat bersikap sangat ketat mengenai hal-hal ini. Caramu memberikan nasihat memang sangat keibuan."

Tampaknya punya pemikiran yang sama, Kiyosato-san berkata sambil tersenyum kecut.

"Ini bukan soal bersikap ketat, ini cuma akal sehat. Dan aku mohon, berhentilah membandingkanku dengan seorang ibu."

Jawab Uenohara dengan santainya, dan aku memutuskan buat ikut bermain, mengingat 'pengaturan' kami.

"Iya, aku setuju karena kamu cenderung ikut campur. Kamu memang selalu kayak gini, melompat pada setiap kesempatan buat ikut campur."

"Ahaha, jadi kamu itu ibunya Nagasaka-kun!"

"Itu kejam sekali. Jangan pernah panggil aku kayak gitu lagi."

"Wah, tindakan 'tsundere'-mu agak berlebihan..., ...bukan?"

Hah? Ini sebuah akting, bukan? Uenohara tampak benar-benar jijik... ...atau ini cuma imajinasiku saja?

Maka, obrolan santai kami pun terus berlanjut.

─Soal Penilaian Akhir Semester yang akan datang.

"Hmm, buatku, Bahasa Inggris merupakan yang paling sulit. Aku tidak punya banyak waktu buat menghafal karena ekskulku."

"Iya, begitu juga yang terjadi pada Ekskul Bola Basket..."

"Bahkan di antara ekskul olahraga, Ekskul Tenis tidak dapat dibandingkan."

"Tetapi kalau aku mendapatkan hasil ujian yang buruk, aku sering diomeli! Itu terlalu berlebihan!"

"Maka kalian tidak punya pilihan lain selain memanfaatkan waktu luang kalian sebaik-baiknya."

"Saat aku masih berada di sebuah ekskul di SMP, aku biasanya membawa buku kecil kertas tipis berisi kosakata buat membolak-balik saat istirahat."

"Ah, Uenohara, kamu sangat rajin. Aku tidak jago dalam hal semacam itu."

"Kalau cuma sekedar menghafal, aku juga melakukan hal yang sama. Memang merepotkan untuk membuatnya, tetapi itu merupakan metode yang paling efektif. Kalian dapat menggunakannya bahkan tanpa ponsel pintar, dan dapat masuk ke dalam saku kalian... ...kayak gini."

"Wah, Kouhei, itu luar biasa! Jadi, itulah yang kamu perhatikan saat pertemuan kita!"

"Nagasaka-kun, kamu sangat rajin!"

"Itu agak berlebihan, bahkan buat sebuah lelucon."

"Mengapa!?"

─Soal manga yang barusan mereka baca.

"—Kayak gitu, itu benar-benar membuat kita menangis. Tetapi ini soal Koto, bermain Koto? Bukannya luar biasa dapat begitu tersentuh oleh sesuatu yang belum kita kenal sama sekali? Pokoknya, semua orang yang berada di ekskul mesti membacanya."

"Wah, sekarang aku sangat penasaran! Pinjamkan padaku, pinjamkan padaku!"

"Silakan saja, tetapi panjangnya lebih dari 20 jilid, jadi bersiaplah. Dan setelah selesai, mari kita bahas bersama."

"Itu bukanlah sesuatu yang kamu lakukan sebelum ujian."

"Hmm, itu bukan jenis genre yang aku sukai... ...aku tidak suka cerita yang berfokus pada ekskul remaja."

"Iya, menurutku itu juga bukan gayanya Kiyosato-san. Ini memang diterbitkan di majalah shounen, tetapi suasananya benar-benar kayak manga shoujo."

"Ah, jadi ini kayak manga shoujo. Aku telah membaca banyak hal yang berbeda akhir-akhir ini, tetapi aku sama sekali tidak menyukai genre itu."

"Jujur saja, aku rasa itu tergantung pada orangnya. Kalau kamu tidak dapat tersambung, itu memang akan terasa membosankan."

"Hah? Tunggu, maksudmu Ayano baca manga shoujo juga!? Itu sangat mengejutkan!"

"...Mengapa itu mengejutkan? Aku memang tidak terlalu menyukai mereka, tetapi kalau ada yang sedang jadi topik hangat, aku akan meminjam dan membacanya."

"Iya, begini, anime yang paling sering kamu tonton yaitu anime yang tayang pada hari Minggu pukul 18:30 petang... ...Kamu sama sekali tidak menyukai hal-hal yang berbau subkultur."

"Ahaha, tetapi aku memang menontonnya! Itu juga mengejutkan, ya?"

"Tidak apa-apa, siapa yang peduli? Ayah lebih menyukainya ketimbang aku. Ayah selalu bilang, 'Ayah dapat menonton ini tanpa merasa sedih lagi!'"

"Cara menikmatinya kayak gitu rasanya memang agak aneh, ya...?"

─Dan seterusnya, dan seterusnya. Berbicara soal video konyol.

"Ahaha, ada apa dengan gerakan ini, ada apa dengan wajah ini!? Ini lucu sekali!"

"Benar!? Ini memang video acara varietas lama, tetapi sangat lucu!"

"...Maaf, aku tidak paham sama sekali."

"Ini kayak, 'Uhuy!' Kayak gini, 'Uhuy!'"

"Euh! Ahaha, Tokiwa, kamu keterlaluan, kamu tepat sekali! Ahahaha!"

"Hah? Mengapa Mei tertawa begitu keras...?"

"Ah, Uenohara tidak terlalu suka komedi, ya..."

"Ayano, kamu tidak menonton acara varietas atau semacamnya, bukan?"

"...Aku cuma menonton 'Tawa Lewat Air Mata'."

"Pffft, seriusan? Itu kayak acara varietas kuno buat orang tua!"

"Ada apa dengan perubahan perilakumu yang tiba-tiba ini, Mei?"

─Dan terus dan terus berlanjut.

"Ahahaha, itu lucu sekali... ...tetapi Ayano, apa kamu tidak bosan membuat lelucon?"

"Kalau menurutmu begitu, bisakah kamu berhenti membuat lelucon itu?"

Uenohara Ayano menghabiskan es tehnya (dengan sirup tiga kali lipat dari biasanya) dengan ekspresi lelah.

Iya, Uenohara mungkin sudah terbiasa dengan tsukkomi-ku, tetapi hari ini dia mesti berurusan dengan tiga orang... ...Aku dengan leluconku, Kiyosato-san dengan leluconnya, dan Tokiwa dengan sikapnya yang keras kepala... ...Iya, itu memang sulit. Nasib yang buruk.

"Tetapi Ayano, kamu begitu membumi dalam berbagai hal. Itu agak menyegarkan."

"Tentu saja. Memangnya kalian pikir aku ini siapa?"

"Orang tuamu seorang dosen dan pemrogram yang hebat, bukan? Aku tidak tahu banyak soal keluarga kayak gitu, jadi aku rasa lingkunganmu mungkin cukup unik."

"Orang tuaku cuma pegawai swasta biasa," kata Kiyosato-san sambil meletakkan dagunya di tangannya.

"....Pemrogram? Ayahku sebenarnya itu seorang insinyur sistem."

Uenohara mengoreksi Kiyosato-san dengan wajah lurus, tidak mengubah ekspresinya sama sekali.

Iya, selain dari penampilan, kemampuan (dan selera makanan Ayano), mereka tidak benar-benar 'Kayak orang tua, kayak anak'... ...Aku belum pernah bertemu dengan ayahnya Ayano, tetapi ibunya Ayano itu orang yang berjiwa bebas. Atau mungkin karena itulah Ayano jadi begitu normal?

Aku memberikan respons yang tidak berkomitmen.

"Iya, setelah aku pikir-pikir, keluargamu mungkin yang paling tidak biasa. Orang tuaku cuma pegawai perusahaan swasta, sih."

"Namun seseorang dalam kelompok ini begitu naif dan tidak tahu apa-apa."

"I-Itu karena kami berasal dari pedesaan!"

Hei, itu terlalu dekat dengan sasaran! Aku mencoba buat bersikap bijaksana di sini!

"Ahaha, aku rasa jadi orang aneh jauh lebih bagus dari itu. Benar begitu, bukan, Tokiwa?"

Obrolan beralih ke Tokiwa, yang telah terdiam beberapa saat.

"Ah, iya. Aku... ...sebenarnya merasa sedikit lega, jujur saja."

"Lega?"

"Ah, tidak, aku tidak bermaksud buruk!"

Tokiwa dengan panik melambaikan tangannya dari satu sisi ke sisi yang lain saat Uenohara memiringkan kepalanya.

"Iya, Ayano memang sangat cantik, pintar, dan jago berolahraga, bukan? Ayano benar-benar memberikan citra yang sempurna."

Iya, Uenohara itu perwujudan dari kesempurnaan manusia super...

Atau lebih tepatnya, Uenohara tampaknya tidak punya kelemahan yang tampak. Uenohara mampu melakukan apa saja, jadi dia tidak menunjukkan celah apapun...

"Jadi... ...haha, aku penasaran apa tidak masalah buat seseorang kayak aku buat berteman dengan Mei."

"Jangan konyol—"

Uenohara mulai bilang sesuatu, tetapi Tokiwa menyela Uenohara dengan senyuman konyol.

"Karena itulah aku merasa punya rasa kekeluargaan denganmu sekarang. Tentu saja, Ayano-chan cuma seorang siswi SMA biasa, bukan?"

"...Mm? Eh..."

Mendengar hal itu, Uenohara tiba-tiba terdiam, tampak ragu-ragu.

─Hah?

Wah, Uenohara jarang tampak sebingung ini...

Saat aku berdiri di sana, bingung dengan reaksi tidak terduga dari Uenohara, Tokiwa tiba-tiba menepukkan kedua tangannya.

"Aku merasa telah menjaga jarak tanpa menyadarinya. Aku benar-benar minta maaf soal itu! Aku benar-benar tidak suka melakukan hal semacam itu..."

"Ti-Tidak, tidak apa-apa. Aku sama sekali tidak terganggu dengan hal itu."

Jawab Uenohara, setengah bingung, dan mencoba menepisnya dengan mengibaskan rambutnya ke belakang.

Uenohara bertingkah berbeda dari biasanya... ...Uenohara biasanya cukup santai dengan Tokiwa, tetapi dia tampak bingung sekarang.

Lalu, sebuah penjelasan yang mungkin muncul di dalam benakku.

Tidak, aku memang meragukannya, tetapi...

Apa jangan-jangan Uenohara bingung karena dia senang diakui?

"...Tokiwa, kamu sudah mabuk, bukan?! Kamu telah bilang banyak hal yang memalukan akhir-akhir ini!"

Pada saat itu, Kiyosato-san menjentikkan jarinya dan menyela obrolan.

"Hah? A-Ah, a-aku cuma bilang apa yang ada di dalam benakku..."

"Kamu memang sangat jujur! Tokiwa, sebagai hukumannya, kamu mesti minum segelas soda kola!"

"Di-Dimengerti! Siapa takut!"

Tanpa ragu, Tokiwa mulai menenggak segelas soda kola dari bar minuman.

Di sebelah Tokiwa, Uenohara masih tampak gelisah sambil memegangi rambutnya.

Perilaku Uenohara tidak tampak kayak Uenohara yang biasanya, dan aku merasa agak tidak nyaman karenanya.

*

Saat kami meninggalkan restoran, di luar sudah gelap gulita.

Kami semua berpisah dari Stasiun Kyougoku. Kiyosato-san naik bus, aku naik kereta, sementara Tokiwa naik sepeda. Uenohara sudah pergi di pintu keluar toko, jadi dia tidak bersama kami.

"Kalau begitu, kalian berdua, sampai jumpa! Sampai jumpa di sekolah!"

Saat kami sampai di terminal bus, Tokiwa melambaikan tangannya dengan penuh semangat dan berlari menuju tempat parkir sepeda. Meskipun jadi satu-satunya orang yang punya ekskul sebelum bergabung dengan kami, Tokiwa tetap jadi yang orang paling energik sepanjang malam.

Kiyosato-san tersenyum dan melambaikan tangannya pada Tokiwa, lalu berbalik menghadapku.

"Nagasaka-kun, terima kasih telah mengantarkanku ke dekat stasiun."

"Ah, ayolah, itu agak berlebihan. Ini cuma halte bus di depan stasiun."

Aku mengeluarkan tawa pahit.

"Tetapi tidak banyak orang meskipun ini hari libur. Ada lebih banyak orang di hari kerja."

"Iya, begitulah keadaan di setiap stasiun di prefektur kami."

Tentu saja, bukan berarti tidak ada orang yang lewat, tetapi dibandingkan dengan kota metropolitan di dekatnya, ini kayak siang dan malam. Stasiun tertentu dengan angka delapan pada namanya, yang dianggap sebagai daerah terpencil di sana, jauh lebih berkembang.

Kiyosato-san tampaknya jadi satu-satunya orang yang menggunakan halte bus itu, karena tidak ada orang lain di sekitarnya.

"Hmm, tetapi aku senang sekali! Kita akhirnya mengobrol sepanjang jalan sampai malam tiba."

Kiyosato-san menggenggam kedua tangannya dan merentangkannya di depan, lalu mengangkatnya ke atas kepala, seolah-olah sedang melakukan peregangan punggung.

Ngomong-ngomong, awas lengan bajumu, aku akan melihat ke sini! Ah, tetapi cahayanya redup, jadi sulit buat melihatnya! Paling tidak, mereka mesti mempertahankan pencahayaan dengan baik! Jangan berpuas diri cuma karena tidak banyak penggunanya!

"Bagaimana denganmu, Nagasaka-kun? Apa kamu tidak bersenang-senang?"

Saat aku sedang bersemangat mencari "Adegan Pelayanan", Kiyosato-san menanyakan hal ini padaku.

Aku terbatuk-batuk buat menjernihkan pikiranku dari pikiran kayak gitu dan menjawab dengan tulus.

"Tentu saja, aku bersenang-senang. Meskipun 80% dari itu merupakan obrolan yang tidak ada gunanya."

"Itulah yang membuatnya asyik, bukan? Cuma nongkrong tanpa tujuan tertentu, minum dari bar minuman, menertawakan hal-hal konyol, dan mengobrol lebih dalam... ...Bukannya itu terasa kayak lambang musim semi?"

"Benar begitu, bukan! Aku benar-benar paham apa maksudmu!"

Ups, aku menjawab terlalu bersemangat di sana.

Tetapi aku senang mendengar Kiyosato-san, yang biasanya tidak membicarakan hal-hal kayak gitu, menyinggung soal "masa muda."

"Saat SMP, kami sering nongkrong di sebuah toko di dekat sekolah. Tetapi dibandingkan dengan tempat ini, tempat itu sempit dan selalu penuh sesak. Kami mesti berdesak-desakan berenam di meja yang mestinya buat empat orang."

"Ah, jadi begitulah rasanya di sana. Aku tidak dapat membayangkannya..."

Almamater Kiyosato-san, SMP Akademi Akagawa, terletak tepat di jantung kota super-metropolitan yang diketahui oleh semua orang di Jepang, jadi tidak mengherankan kalau aku tidak dapat membayangkannya.

"Dan saat ada cowok-cowok yang tinggi, mereka tidak akan muat di bilik, jadi kami akan berbicara di seberang lorong. Kami selalu diomeli oleh para staf. Mereka akan bilang sesuatu kayak, 'Kalian akan membuat masalah buat pelanggan lain,' dengan nada setengah marah."

"Ah, kami juga mengalami hal itu di sini. Terkadang, satu orang akhirnya duduk di meja yang berbeda."

"Aw, itu menyedihkan. Mestinya ada orang yang duduk bersama mereka."

"Lalu orang yang terisolasi mencoba mencari kesempatan buat bergabung dalam obrolan, tetapi apapun yang mereka lakukan, mereka selalu terlambat, jadi mereka tidak tahan lagi dan membawa bangku ukuran anak-anak buat duduk bersama mereka."

"Apa, di bangku kecil itu!? Pantat mereka bahkan tidak muat!"

"Bahkan, mereka membawa bangku itu saat pergi ke bar minuman."

"Euh! Hahaha, gambaran itu lucu sekali!"

Entah mengapa, Kiyosato-san tampak sangat geli hari ini, saat dia tertawa dengan tangannya di perutnya.

Ngomong-ngomong, ini bukan kisah tentangku, cuma sesuatu yang aku saksikan. Cuma buat memperjelas.

"Aku harap hal semacam ini terus berlanjut selamanya..."

Mungkin karena terlalu banyak tertawa, air mata terbentuk di mata Kiyosato-san, dan sambil mengangkat wajahnya, dia menyeka matanya dengan jari-jarinya dan berbisik dengan nada lembut.

Kata-kata Kiyosato-san tenggelam oleh suara bus yang lewat — tetapi kata-kata itu sampai ke telingaku, yang berdiri tepat di sampingnya.

—Kiyosato-san begitu hebat.

Aku merasakan rasa simpati yang mendasar dengan Kiyosato-san, dan kepekaannya sangat cocok denganku. Kalau dipikir-pikir lagi, mungkin rasa harmoni inilah yang membuat "bakat kisah komedi romantis" seseorang jadi maksimal. Kepribadian dan perilaku yang aku anggap mirip kayak kisah komedi romantis, dan konsep samar-samar yang membentuk dasar dari segala hal itu, Kiyosato-san tampaknya secara alami punya itu.

Kiyosato-san mengangkat wajahnya dan menyipitkan matanya, seolah-olah melihat ke kejauhan.

Aku menatap langit dengan cara yang sama.

—Mulai sekarang, ada liburan musim panas, Festival Budaya Sekolah, Festival Olahraga, Halloween, Natal, Tahun Baru, dan Hari Kasih Sayang.

Berbagai ajang besar ini, yang bagaikan panggung kisah komedi romantis, menanti kita.

Di luar bab-bab "Penggelan Kehidupan" kayak hari ini, kehidupan SMA yang lebih memuaskan, penuh dengan kegembiraan dan masa muda, terbentang di depan. Dengan jantung berdegup kencang dan perasaan gelisah yang membuatku mau berlari, aku berkata dengan penuh keyakinan:

"—Mulai sekarang, pasti akan ada waktu yang lebih asyik ketimbang hari ini."

"Benarkah? Level ini tepat buatku."

Hah... ...Tunggu...

Respons Kiyosato-san, yang sama sekali tidak sesuai dengan ekspektasiku, menyebabkan pikiranku terhenti buat sementara waktu.

"Apa kamu bilang kalau ini belum cukup buatmu, Nagasaka-kun?"

Kiyosato-san menundukkan wajahnya, tersenyum dengan senyuman bidadarinya yang khas, dan menatapku.

"Ah, tidak... ...Aku memang tidak bilang kalau aku belum puas, tetapi... ... ...Ada hal-hal lain juga, bukan? Kayak, Festival Budaya Sekolah dan sebagainya."

Ada apa, aku penasaran?

Aku merasakan kegelisahan, tekanan yang tidak tergambarkan, saat aku dengan ragu-ragu menjawab.

"Buatku, aku rasa momen-momen kayak gini merupakan yang paling penting. Berangkat ke sekolah setiap hari, makan siang dengan semua orang, nongkrong sebentar di akhir pekan... ...dan lalu berkata, 'Sampai jumpa besok!' sambil tersenyum."

Kiyosato-san terus tersenyum.

Tetapi, mungkin karena keadaan di sekelilingnya gelap, wajah Kiyosato-san tampak... ...entah bagaimana, lebih muram ketimbang biasanya.

"Momen-momen biasa yang kita alami bersama inilah yang membuat kita bahagia, bukannya begitu? Karena kalau kita mulai berharap buat lebih banyak atau buat hal-hal yang lebih asyik — Bukannya menurutmu tidak akan ada habisnya?"

"Iya, aku rasa begitu..."

Aku mencoba menanggapi dengan gumaman yang tidak berkomitmen, kewalahan oleh logika Kiyosato-san yang tidak terbantahkan.

Tetapi entah bagaimana, aku berhasil menghentikan diriku sendiri.

Meskipun begitu.

Meskipun begitu, aku tahu kalau ada kisah komedi romantis yang lebih menarik—

Aku yakin kalau di luar titik ini, "akhir kisah yang paling membahagiakan" menanti.

"Aku rasa kita mesti selalu berjuang demi menggapai cita-cita tertinggi."

"..."

Kiyosato-san tidak langsung merespons.

Kiyosato-san memalingkan wajahnya.

Lalu, Kiyosato-san menyelipkan rambutnya di belakang telinga kanannya—

"Iya, aku tahu soal semua itu."

Bulu kudukku merinding.

Entah mengapa, aku merasa takut mendengar suara Kiyosato-san yang biasanya lembut membisikkan kata-kata ini.

"Iya, aku rasa kamu dapat meraih cita-citamu, Nagasaka-kun. Aku telah mengamatimu, dan kamu benar-benar tulus dan polos."

"Ti-Tidak, itu tidak benar..."

Perasaan ini memang cuma berlangsung sesaat saja, tetapi jantungku berdegup kencang.

Mau menghilangkan suasana ini, aku membuka mulutku buat mengganti topik obrolan.

"Ah, tetapi yang lebih penting, soal Penilaian Akhir Semester yang akan datang—"

"Tetapi," Kiyosato-san menyela perkataanku dengan tajam, membuatku kehilangan kata-kata.

Kiyosato-san maju selangkah dan berbalik menghadapku.

Halte bus yang remang-remang diterangi oleh cahaya lampu yang mulai redup, jadi sangat gelap gulita dalam bayang-bayang.

Lampu-lampu stasiun yang menyilaukan, lampu-lampu yang tidak terhitung jumlahnya yang menerangi kota — Tidak satu pun dari lampu-lampu itu yang dapat mencapai tempat ini.

"Bagaimana dengan orang-orang yang tidak kayak kamu, Nagasaka-kun?"

Makanya, pada saat itu, aku tidak dapat melihat wajah Kiyosato-san — Aku tidak dapat melihat ekspresi yang dipasang oleh Kiyosato-san.

Follow Channel WhatsApp Resmi  Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F

Baca juga:

• ImoUza Light Novel Jilid 1 Bahasa Indonesia

Baca juga dalam bahasa lain:

Bahasa Inggris / English

←Sebelumnya           Daftar Isi          Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama