Bab 1Siapa yang Memutuskan Kalau Bab-Bab Masa Lalu Cukup Buat Memprediksi Pemikiran Seseorang?
"Mengapa... ...Mengapa Senpai tidak mencalonkan diri...?"
"Iya, aku punya firasat begitu. Iya, semoga beruntung."
Kami duduk di bangku di bagian belakang "Ruang Konferensi M", yang dapat dianggap sebagai tempat yang telah ditentukan buat saat ini. Aku menggerutu dengan wajah terbenam di meja.
"S*alan, aku sudah meneliti kepribadian dan bab-babnya Senpai sebelumnya. Mengapa? Mengapa Senpai tidak mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS? Di mana letak pemutaran alur dalam data itu? Malahan, bilang padaku, jilid berapa, halaman berapa, baris berapa!?"
"Berhentilah cemberut kayak anak kecil. Itu memalukan."
Uenohara, yang dengan santainya menaungiku saat aku tiba-tiba duduk, sedang menyeruput minuman yogurt kocok musiman. Berani-beraninya dia, orang yang memasang bendera ini, bersikap begitu acuh tidak acuh!
"Iya, tidak peduli seberapa baik kamu memahami masa lalu dan kepribadian seseorang, bukan berarti tindakan mereka akan selalu dapat diprediksi."
"Tetapi itu berhasil dengan Katsunuma-san."
"Itu cuma karena pemikiran dan tindakan Katsunuma-san secara langsung terkait. Menurutku, lebih jarang menemukan orang kayak gitu. Biasanya, ada berbagai komplikasi yang mencegah orang bertindak kayak yang mereka mau."
"Komplikasi? Aku tidak menemukan adanya komplikasi dalam penelitianku!"
"Tidak semua masalah tampak mencolok dan terlihat. Ada beberapa kasus yang tetap tersembunyi, atau hal-hal kecil yang menumpuk dari waktu ke waktu."
"G-Grgh...!"
S*alan, Uenohara selalu saja begitu masuk akal!
Aku menggerutu sambil mengangkat ponsel pintarku. Foto yang aku ambil sebelumnya dan sudah aku lupakan, muncul, membuatku mengerutkan kening.
"Selain itu, orang yang mencalonkan diri malah juga tidak ideal."
"Kok bisa?"
"Itulah Sekretaris yang sekarang. Sejauh ini aku cuma melakukan investigasi kasar, tetapi singkatnya, ia menganjurkan 'Ajang-Ajang Penyederhanaan'."
"...Hmm?"
Aku memutar layar ponsel pintarku ke arah Uenohara, yang sedang mengaduk minumannya dengan sedotan.
"Inilah wadahnya: 'Mengurangi biaya OSIS dengan membuat Festival Budaya Sekolah jadi 'Ajang Satu Hari' dan 'Mengundang Guru-Guru Bimbel Terkenal buat Pelajaran Khusus'. Ini merupakan dua tiang utama, dan ia juga menyarankan hal-hal kayak 'Mengubah Ajang Hari Olahraga buat Mencegah Cedera' dan 'Menghapuskan Ekskul Permainan Bola.' Ah, ini bukan cuma 'Ajang-Ajang Penyederhanaan', tetapi juga Anti-Kisah Komedi Romantis'!"
"...Seseorang yang merepotkan buat rencanamu, ya?"
Uenohara bergumam dengan tangannya menutupi mulutnya.
"Iya, isinya memang masuk akal, aku rasa. Aku dengar prestasi akademik sekolah kita telah menurun dari tahun ke tahun."
"Meskipun benar kalau ada data yang mendukung hal itu, korelasinya dengan 'Ajang-Ajang' belum terbukti. Kalau mereka mau mengklaim adanya hubungan sebab akibat, mereka mesti memberikan data statistik yang tepat! Euh, ini membuatku frustrasi. Aku akan melampiaskan kekesalanku pada sebuah novel ringan, memukul sang protagonis dengan sudut buku, mengikatnya dengan penyuara jemala, dan menyuruhnya mendengarkan CD drama berulang-ulang sampai otaknya berubah jadi kisah komedi romantis!"
"Tenanglah, jangan terlalu bersemangat cuma karena bilang begitu."
"Huah! Huah!"
Kembalikan waktu persiapanku yang asyik!
Aku meneguk es kopiku dan menghela napas.
"Dan ada apa dengan Sekretaris yang tiba-tiba mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS? Kebijakannya juga sangat reformis..."
"Tiba-tiba, ya? Kayak apa ia? Apa kamu punya informasi?"
"Namanya Shiozaki Daiki-senpai, seorang cowok dari Kelas XI-E. Tingginya hampir sama denganku, tetapi badannya lebih kekar, dan ia memakai kacamata berbingkai hitam."
"...Aku rasa aku mungkin pernah melihat Daiki-senpai di 'Catatan Teman-Teman', atau mungkin juga tidak..."
"Iya, kayak gitulah posisi Shiozaki-senpai. Shiozaki-senpai tidak terlalu menonjol atau melakukan tindakan yang menonjol sampai sekarang."
Shiozaki-senpai punya kepribadian seorang siswa teladan, tetapi meskipun memegang posisi Sekretaris, ia tidak punya prestasi yang luar biasa. Bakat kisah komedi romantisnya, tentu saja, itu E.
"Apa Hinoharu-senpai mendorong Shiozaki-senpai buat mencalonkan diri karena dia tidak mau? Atau apa Shiozaki-senpai mengalami semacam kebangkitan? Euh, semuanya bermuara pada kurangnya informasi!"
Sungguh menyakitkan karena informasi soal Pemilihan Umum Ketua OSIS itu sangat dirahasiakan, sehingga mustahil buat memahami apapun sebelumnya. Mencoba buat mendapatkan informasi dari Hinoharu-senpai sendiri merupakan hal yang sia-sia, dan Organisasi Siswa secara umum tampaknya tidak tertarik, karena hal itu bahkan tidak jadi topik obrolan.
"Tidak ada calon-calon lainnya, dan pada tingkat ini, Shiozaki-senpai akan terpilih dengan mulus, dan semuanya akan berakhir. Inilah krisis dalam segala hal."
"Tidak ada gunanya mengeluhkan apa yang telah diputuskan. Kita mesti memikirkan apa yang mesti dilakukan mulai saat ini."
Sambil mendengarkan kata-kata Uenohara yang tenang, aku menghabiskan sisa es kopiku sekaligus. Panas di kepala dan tubuhku mendingin ke tingkat yang nyaman.
Tunggu, apa pendingin ruangannya mati? Apa pendingin ruangan itu terasa dingin cuma karena kami satu-satunya pelanggan di sini?
Aku melihat sekeliling dan lalu menampar pipiku, mengambil napas dalam-dalam buat menenangkan perasaanku yang gelisah.
Setelah aku merasa kalau pikiranku cukup jernih, aku membuka mulutku.
"...Pokoknya, semua proposal ajang-ajang yang sudah direncanakan dibatalkan. Pertama, kita perlu mengumpulkan informasi buat memahami situasi saat ini. Tujuan utamanya yaitu membuat Hinoharu-senpai mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS."
"Apa Hinoharu-senpai masih dapat mencalonkan diri pada saat ini?"
"Secara teknis, kita masih punya tenggang selama dua pekan. Hanya saja, menurut peraturan, pencalonan mesti diumumkan di hari pertama, dan tidak masalah kalau diajukan di hari terakhir."
Semakin lama pengumumannya, semakin pendek masa kampanye Pemilihan Umum Ketua OSISnya — itu saja.
Kalau kita dapat mencalonkan Hinoharu-senpai ke Pemilihan Umum Ketua OSIS ini, ada cara buat bekerja dengannya, dan yang paling penting, kita membutuhkan Hinoharu-senpai buat jadi Ketua OSIS agar dia memenuhi gelarnya sebagai "Heroin Tipe Ketua OSIS (Tentatif)", kalau kita tidak berhati-hati, mungkin tidak akan pernah kehilangan bagian "(Tentatif)".
Uenohara mengeluarkan suara "Hmm."
"Ngomong-ngomong, mengapa Hinoharu-senpai tidak mencalonkan diri dalam Pemilihan Umum Ketua OSIS? Apa Senpai kasih tahu kamu alasannya?"
"Itulah masalahnya, Hinoharu-senpai mengelak saat ditanya olehku. Senpai terus bersikeras, 'Aku tidak tertarik'."
"Hinoharu-senpai mengelak, ya?"
Uenohara menyilangkan tangannya dengan ekspresi bingung di wajahnya.
"Kalau ada alasan, kayaknya Hinoharu-senpai akan mengatakannya. Senpai itu kayaknya tipe orang yang selalu berterus terang soal hal-hal kayak gitu."
"Tepat sekali. Kayaknya mungkin ada beberapa keadaan, dan kita perlu menyelidikinya."
Entah itu keadaan pribadi, masalah dengan hubungan interpersonal, atau mungkin masalah keluarga... ...Kita tidak dapat mengetahui apapun dengan situasi kayak gitu.
Aku membuka aplikasi kalender pada ponsel pintarku dan segera memasukkan tenggat dari pencalonan diri tersebut.
Termasuk waktu yang diperlukan buat menangani hal ini, kita tidak punya waktu buat santai. Kita mesti bertindak secara cepat dan efisien.
"Oke... ...Mari kita berpencar dan menyelidiki buat saat ini. Aku akan berbicara dengan Hinoharu-senpai sekali lagi, dan Uenohara, kamu memeriksa sekitar Shiozaki-senpai dan yang lainnya—"
Pada saat itu, aku tiba-tiba merasakan perubahan dalam aliran udara.
Hah, apa ada yang mengatur pendingin ruangannya? Aku kira itu tidak aktif sampai beberapa saat yang lalu...
Tanpa sadar, aku mendongak.
Dan...
"─Ah, Nagasaka-kun dan Ayano!"
─Eh?
Pikiranku membeku saat aku tiba-tiba menatap sosok yang tidak asing lagi.
"─Hah?! Mei?!"
Mendengar suara itu, Uenohara menoleh, lebih bingung ketimbang biasanya.
─Di lorong menuju meja yang telah ditentukan.
Berdiri di sana, tanpa aku sadari, tidak lain dan tak bukan yaitu sang "Heroin Utama"─ Kiyosato Mei.
"Sungguh suatu kebetulan bertemu dengan kalian di sini! Apa kalian berdua sedang ngeteh bareng?"
Kiyosato-san tersenyum, kayak yang biasa dia lakukan.
Me-Mengapa... ...Mengapa Kiyosato-san ada di sini di "Ruang Konferensi M", tempat rapat rahasia yang tidak digunakan oleh siswa-siswi SMA Kyou-Nishi?! Kok bisa?!
Tidak, tunggu, bukan itu yang penting sekarang!
Apa Kiyosato-san mendengar apa yang barusan kami bicarakan?!
Saat darah mengering dari wajahku, Uenohara dengan tenang merapikan poninya yang sedikit berantakan dan perlahan membuka mulutnya.
"─Ah, kamu mengagetkanku. Jangan lakukan itu lagi."
"Ahaha, maaf, maaf. Aku mau memastikan itu kalian sebelum memanggil, kalau tidak, pasti akan memalukan."
Ah, tunggu! Saat aku memeriksa pendingin ruangan tadi, Kiyosato-san belum ada di sana!
Kalau Kiyosato-san ada di dekatku sejak saat itu, aku pasti akan menyadarinya. Tidak ada tempat buat bersembunyi dan menguping di sekitar sini.
Jadi tidak apa-apa, tidak apa-apa... ...'Rencana' kami belum terbongkar.
Saat aku berjuang buat menenangkan napasku yang tidak menentu, Uenohara melanjutkan obrolan.
"Jadi, Mei, bagaimana dengan ekskulmu?"
"Ah, hari ini itu hari pemeliharaan lapangan, jadi kami cuma menggelar latihan dan lalu bubar."
Hah?! Apa aku ketinggalan informasi itu...?!
Aku mencoba mengingat-ingat jadwal Ekskul Tenis, tetapi aku tidak dapat menemukan jawabannya. Situasi yang tidak beraturan ini membuat pikiranku berantakan, dan aku tidak dapat mengakses ingatanku dengan baik.
Kiyosato-san mengetuk cangkir minuman di tangannya.
"Ah, bolehkah aku bergabung dengan kalian? Kalau aku tidak mengganggu kalian, maksudnya."
"Eh? Ah, eum..."
"Tentu saja, silakan saja. Lagipula kami cuma mengobrol iseng."
Uenohara ragu-ragu sejenak, tetapi lalu mengangguk dan mendekatkan tubuhnya.
Hah? Apa itu tidak apa-apa? Apa yang Uenohara rencanakan?
"Terima kasih! Kalau begitu, permisi!"
Bilang begitu, Kiyosato-san tidak duduk di tempat yang telah dikosongkan oleh Uenohara, tetapi, entah mengapa, dia menghampiri ke sebelahku dan membuat gerakan mendorong.
"Nagasaka-kun, bisakah kamu bergeser sedikit?"
"Hah, eh?"
"...Tunggu. Mengapa kamu malah ke sana?"
"Hmm? Karena pemandangannya lebih bagus di sini!"
Pemandangan? Memangnya melihat ke luar jendela itu menarik!?
Aku menggeser tubuhku ke belakang kayak yang diperintahkan, dan Kiyosato-san bergeser ke sebelahku.
Aroma sabun tercium, dan dari seragam lengan pendek Kiyosato-san, aku melihat sekilas lengan putihnya yang menyentuh bahuku.
Tung-Tunggu, bukannya Kiyosato-san terlalu dekat? Lebih dekat ketimbang biasanya? Kiyosato-san itu wangi!? Tangan kami barusan bersentuhan beberapa saat yang lalu!?
"..."
Mengabaikan keadaanku yang panik, Uenohara menatap tajam ke arah Kiyosato-san. Tatapan Uenohara tampak lebih tajam ketimbang biasanya, tetapi pikiranku sudah bagaikan hutan belantara yang kosong, jadi mungkin aku sedang membayangkan sesuatu.
Kiyosato-san kayaknya tidak keberatan dan meneguk minumannya seakan-akan tidak ada yang salah.
"Ah, tempat ini sangat menenangkan. Mestinya kalian memberi tahuku soal ini lebih awal."
"Tempatnya tidak terlalu bagus. Cuma sebuah toko bercabang biasa."
"Benarkah? Lokasinya tidak jauh dari sekolah, jadi rasanya bagaikan permata tersembunyi yang cuma akan dikunjungi oleh mereka yang tahu. Ditambah lagi, harganya tidak terlalu mahal!"
"Ini bukan tempat tersembunyi, ini ada di peta."
Wajah Uenohara tampak tenang dan santai saat dia menjawab dengan lancar. Melihat ini, aku mendapatkan kembali sedikit ketenanganku.
"Jadi, pada akhirnya, kalian berdua datang ke sini buat ngeteh?"
Ah, i-iya. Itu benar. Aku telah menyiapkan "Panduan Darurat buat Pertemuan Tidak Terduga dengan Teman-Teman" buat situasi kayak gini. Ingatlah itu, daku!
"I-Iya, itu benar! Ada Toko Buku Nanokado dengan banyak pilihan di ujung jalan, dan aku suka pergi ke sana. Tetapi karena Uenohara bilang kalau dia bosan, aku menyuruhnya buat ikut denganku supaya aku dapat memperkenalkan beberapa rekomendasi. Lalu, dalam perjalanan pulang, cuaca terasa panas, jadi kami berpikir buat beristirahat sejenak dan masuk ke toko ini karena ini yang paling dekat!"
"Ahaha, kamu bicara begitu cepat, Nagasaka-kun. Rekomendasimu biasanya tepat sekali. Jadi, buku apa yang kalian beli?"
"Hah, hmm? Eum..."
S*alan, kalau aku menjawab dengan buruk, aku akan mendapat masalah saat Kiyosato-san bertanya buat memastikannya! S*alan, mestinya aku memikirkan hal itu...!
"Pada akhirnya, aku tidak membeli apa-apa. Tidak ada yang benar-benar menarik perhatianku."
Sebelum aku sempat bilang sesuatu dalam keadaan bingung, Uenohara menyela dan menusuk sedotan minumanku dengan jarinya.
Hah? Itulah perintah 'Tidak Usah Bicara'! Maaf!
Aku pura-pura minum es kopiku, tidak lama kemudian mendapati bahwa gelasnya kosong, jadi aku membuat suara-suara menyeruput dengan sedotan sebelum mengembalikannya.
Uenohara, yang telah menyipitkan matanya dan mengirimiku pesan 'Dasar Bodoh', menarik napas pendek dan berbalik ke arah Kiyosato-san.
Lalu, Uenohara mulai berbicara.
"Ngomong-ngomong, Mei, apa yang kamu lakukan di sini? Bukannya ini sedikit keluar dari jalurmu?"
"Hmm? Ekskulku berakhir lebih awal, dan aku rasa aku akan menjelajahi daerah ini sedikit sebelum naik bus."
"Kamu datang cukup jauh. Apa kamu berjalan kaki?"
"Ah, apa aku tidak menyebutkannya? Aku juga beli sepeda! Ini sepeda yang diparkir!"
Hah, apa? Itu juga tidak ada dalam basis data informasiku!?
Uenohara memberiku tatapan 'Aku juga tidak tahu soal ini', jadi aku mengedipkan mataku dua kali buat menyampaikan 'Aku juga tidak tahu'.
Kiyosato-san mengangkat jari telunjuknya dan mulai berbicara.
"Begini, setiap kali kita pergi ke suatu tempat sepulang sekolah, aku selalu jadi satu-satunya yang berjalan kaki, dan aku merasa tidak enak. Jadi, aku menabung uang sakuku dan membeli sepeda! Meskipun begitu, aku tetap akan naik bus ke dan dari sekolah."
Ah, begitu ya... ...Tetapi kapan Kiyosato-san beli sepedanya?
Kalau aku tidak tahu, Kiyosato-san mungkin juga tidak memberi tahu orang lain.
"Aku sedang berjalan-jalan dengan sepedaku, merasa haus, dan masuk ke toko ini."
...Memang tidak banyak toko di area ini yang dapat dimasuki oleh siswa-siswi dengan santainya. Ditambah lagi, tidak banyak orang yang datang ke sini, jadi tidak jadi masalah sampai sekarang.
Kiyosato-san melanjutkan sambil tersenyum.
"Aku melihat stiker SMA Kyou-Nishi di sepeda yang sedang diparkir, tetapi aku tidak menyangka kalau itu orang yang aku kenal. Rasanya kayak takdir!"
"...Iya."
Uenohara meraih sehelai rambut yang jatuh di bahunya dan mengibaskannya ke belakang.
Hah? Apa suasana barusan jadi agak tegang?
Kiyosato-san tidak tampak terganggu dan meneguk minumannya, sementara Uenohara menghabiskan pai apelnya dengan renyah.
Lalu, ada keheningan sejenak.
"—Ah, ngomong-ngomong. Pemilihan Umum Ketua OSIS akan segera dilaksanakan, bukan?"
"...Hah!?"
Jantungku hampir copot dari mulutku mendengar pertanyaan Kiyosato-san yang tiba-tiba.
Ka-Kamu mendengarkan!? Ini buruk, apa yang mesti aku lakukan!?
"Iya, aku barusan membicarakan hal itu dengan Kouhei."
"Apa!?"
Hah!? Kamu akan mengatakannya!? Mengapa!?
Aku langsung dipelototi oleh Uenohara, dan buru-buru menutup mulutku.
"...Kouhei, reaksimu menjijikkan sejak tadi. Kamu terlalu melakukan dere-dere yang berlebihan karena Mei ada di sampingmu."
"Bukan begitu...!"
"Kalau begitu apa lagi kalau bukan karena itu?"
"Ahaha, oke, oke, kalian berdua."
Ah, begitu ya. Jadi, kamu mau aku membuatnya kayak gitu, ya...?
Uenohara menepuk pipinya dengan jari telunjuknya sambil bersandar pada tongkatnya. Itulah isyarat yang bilang 'Serahkan saja padaku'.
─Oke, oke. Aku akan menyerahkan segalanya padamu! Aku akan jadi karakter latar belakang yang cuma mengamati situasinya!
Dengan tekad itu, aku menyilangkan tanganku dan terdiam.
Mengambil tindakanku sebagai penegasan, Uenohara membuka mulutnya lagi.
"Ah, apa Mei tahu sesuatu? Soal kenalan Kouhei... ...Hinoharu Sachi-senpai, maksudnya. Senpai itu Calon Ketua OSIS terkuat, tetapi entah mengapa, Senpai tidak mencalonkan diri dalam Pemilihan Umum Ketua OSIS."
"...Ah?"
"Senpai itu cukup aktif, bukan? Jadi, aku khawatir mungkin ada masalah atau semacamnya karena Senpai tidak mau jadi Ketua OSIS."
Bilang begitu, Uenohara menatap Kiyosato-san dengan seksama.
"Apa kamu tahu sesuatu soal itu?"
"...Hmm, begitu ya."
Menerima tatapan itu, Kiyosato-san memasang wajah bermasalah dan bersenandung dalam hati, tampaknya merenungkan apa yang mesti dia lakukan.
"Sebenarnya... ...Aku juga kepikiran buat menanyakan hal yang sama."
Hah? Hal yang sama...?
Uenohara juga tampak bingung, memiringkan kepalanya sedikit.
"Apa maksudmu?"
"Sachi-senpai. Kami juga lumayan dekat."
Mustahil!? Lebih banyak informasi baru!?
Uenohara mengernyitkan alis matanya dan terdiam sejenak sebelum perlahan mulai berbicara.
"...Hmm, tidak terduga. Kalian tidak tampak kayak punya kesamaan, jadi bagaimana kalian dapat ketemuan?"
"Saat itu selama Rapat Aliansi Ekskul. Kami berbicara di sana dan sangat cocok, dan sejak itu kami telah ketemuan sesekali."
Rapat Aliansi Ekskul─ ─mungkin rapat buat Persatuan Ekskul...!
Biasanya rapat ini buat mengatur pembagian tempat atau membahas pemeliharaan peralatan bersama. Biasanya, OSIS dan Ketua atau Wakil Ketua masing-masing ekskul akan hadir, tetapi tergantung pada agendanya, Manajer Peralatan dari kelas sepuluh terkadang juga ikut serta.
Kiyosato-san itu Manajer Peralatan, jadi, dia mungkin menghadiri rapat itu karena hal itu. Tampaknya masuk akal buat mengasumsikan kalau mereka berteman pada saat Ajang Kerja Bakti Komunitas baru-baru ini.
S*alan, aku tidak bermaksud mengabaikan penyelidikanku... ...Kemampuan komunikasi Kiyosato-san terlalu tinggi, dan aku tidak dapat mengikuti lingkaran sosialnya yang meluas...
Mendengar penjelasan ini, Uenohara mengangguk sekali tanda mengerti dan melanjutkan.
"Kalau kalian memang dekat, apa Mei mendengar sesuatu? Kouhei bertanya pada Senpai, tetapi Senpai tidak mau menjawab Kouhei."
"Tidak, aku juga tidak tahu detailnya. Tetapi kayaknya Senpai telah bermasalah soal sesuatu... ...Aku telah berpikir soal apa yang akan jadi cara terbaik buat membantu Senpai."
Lalu, Kiyosato-san bergumam dengan ekspresi khawatir.
"Makanya aku mau bertanya pada teman-teman dekat Senpai mengenai hal itu. Tetapi, begitu ya. Nagasaka-kun juga tidak tahu apa-apa, ya..."
Kiyosato-san menghela napas dan menyandarkan bahunya.
Kayaknya kita tidak dapat mengandalkan informasi yang mudah didapat. Kita mesti menyelidikinya sendiri...
─Breum, breum.
Saat semua orang terdiam, suara ponsel pintar bergetar terdengar dari suatu tempat.
"Ah, maaf, itu punyaku!"
Wajah Kiyosato-san jadi kaku, dan dia mulai merogoh saku roknya.
"Sudah hampir waktunya buat naik bus. Aku akan pulang duluan!"
Kiyosato-san pasti sudah mengatur waktunya, karena dia langsung berdiri begitu melihat ke layar.
"Kalau begitu, maaf telah mengganggu kalian! Aku akan berkonsultasi lagi dengan kalian kalau ada sesuatu yang muncul!"
Dan dengan satu senyuman dan lambaian tangan terakhir, Kiyosato-san pun pergi.
─
─...
"...Apa Kiyosato-san sudah pergi?"
Aku bergumam dengan suara pelan, sambil melirik ke arah pintu keluar.
Mendengar pelayan toko bilang, "Terima kasih atas kunjungan Anda!" dan pintu keluar berbunyi, aku akhirnya mengeluarkan "Hah" dan merosot ke atas meja.
"...Maaf, aku mesti membuatmu menanganinya sendirian. Itu sangat membantu."
"Tidak apa-apa. Begitu Mei muncul, aku tidak menduga apa-apa, jadi tidak usah khawatir."
Uenohara memotong perkataanku dengan terus terang.
Iya, itu memang benar, tetapi kamu dapat bilang begitu dengan lebih lembut...
"Dan mengapa kamu mengizinkan kita buat berbagi meja? Bukannya lebih baik meninggalkan toko buat mengatur ulang strategi kita?"
"Kalau saat Mei datang, kamu panik dan meninggalkan toko. Itu sama saja dengan bilang, 'Ada sesuatu yang tidak nyaman yang terjadi di sini. Itu juga merupakan cara buat menunjukkan kalau tidak ada yang perlu kita khawatirkan," jelas Uenohara.
Ah, begitu ya, jadi makanya kamu menerima saran Kiyosato-san. Kalau itu cuma aku saja, aku akan jadikan melarikan diri sebagai prioritas utamaku...
"Tetapi mengapa kamu berusaha keras buat menjelaskan isi rapat itu...? Kamu bisa saja memalsukannya, loh..."
"Begini, kalau kebetulan kita kedengaran, kita akan dicurigai saat kita berbohong. Aku tidak merasa kalau dia mendengar segalanya sejak awal, tetapi aku tidak yakin soal akhirnya."
Benar, itu masuk akal... ...Dan Astaga, saat pertama kali kami ketemuan, aku mencoba berbohong pada Uenohara dan benar-benar gagal. Mestinya aku belajar dari pengalaman, Dasar Kouhei Bodoh!
"Untungnya, kita tidak menyentuh inti dari 'Proyek' itu, dan kita dapat bilang kalau kita sedang berbicara soal seorang teman dan membuatnya tampak kayak obrolan biasa."
"Hah, begitu ya..."
Uenohara sudah berpikir sejauh itu pada saat itu? Itu terlalu jauh buatku, aku tidak dapat mengikutinya. Lebih baik aku diam saja.
"Iya, apa kita kebetulan kedengaran atau tidak, tidak ada bedanya. Kamu mungkin berencana buat mengarahkan segalanya kayak gini sejak awal..."
Uenohara mengacak-acak bagian belakang rambutnya sambil bergumam.
"Hah? Apa maksudmu?"
"Iya... ...Saat Mei tiba-tiba muncul, kita tidak punya pilihan lain selain melakukan ini."
Uenohara menjawab setelah dengan cepat menyapu rambutnya ke belakang.
Hmm, itu agak keluar dari topik, bukan...?
"Sudahlah, lupakan saja soal hari ini. Tidak ada yang berubah, Kouhei mesti fokus menyelidiki Hinoharu-senpai kayak yang sudah direncanakan. Aku akan mencari informasi soal Shiozaki-senpai."
"A-Ah. Okelah, kalau Uenohara bilang begitu..."
Jujur saja, aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, jadi aku tidak punya pilihan selain mengikuti kata-kata Uenohara.
Aku berdehem dan mendapatkan kembali ketenanganku.
Iya, paling tidak kita tahu kalau Senpai mengkhawatirkan sesuatu, dan kita mesti mulai bergerak.
"Dan juga—"
Uenohara tiba-tiba melihat sekeliling dan berkata dengan nada tenang.
"Kita mungkin tidak dapat menggunakan 'Ruang Konferensi M' lagi. Kita tidak tahu kapan sesuatu yang tidak biasanya kayak hari ini akan terjadi lagi."
"Eh?"
Pernyataan itu membuat hatiku tegang.
'Tidak dapat menggunakannya'... ...Jadi kita tidak dapat mengadakan rapat di sini lagi?
"Eum, begitukah? Kasus hari ini merupakan kasus yang sangat tidak biasa, jadi mungkin kita tidak perlu melangkah sejauh itu..."
"Lebih baik bersiap-siap. Tidaklah efisien buat mengadakan rapat sambil takut akan pertemuan yang tidak terduga."
"Itu..."
Tidak... ...tetapi mungkin Uenohara itu benar.
Meskipun Uenohara baik-baik saja, aku rasa aku tidak dapat cukup tenang buat mengadakan rapat. Paling tidak, kita perlu melakukan beberapa tindakan pencegahan, kayak memeriksa lingkungan sekitar secara teratur atau tidak menetap terlalu lama.
"Iya... ...Aku rasa kamu benar..."
Saat aku bilang begitu, aku melihat ke sekeliling ruangan.
Bangku yang remang-remang dengan pencahayaan yang memburuk, jendela dengan pemandangan yang buruk, cuma menampilkan bangunan perumahan. Aku sudah terbiasa dengan pemandangan yang tidak asing ini.
Suara pelayan yang kadang-kadang tidak bersemangat dan suara pengatur waktu buat kentang goreng yang mengempis, sudah tidak asing lagi di telingaku.
—Kami cukup sering menggunakan tempat ini, dan ini merupakan tempat di mana kami dapat bersantai.
Aku melirik Uenohara cuma dengan mataku.
Uenohara menyeruput sisa minumannya dengan ekspresi yang tidak menunjukkan emosi tertentu.
Dan lebih dari segalanya...
Di sinilah hubungan kami dimulai.
Bayangan tidak dapat menggunakan tempat ini lagi membuatku merasa... ...kesepian, apa cuma aku yang merasakan hal ini?
"...Kalau begitu, mari kita cari tempat lain dari sekarang."
"...Iya."
Saat Uenohara mengangguk, aku tidak dapat melihat emosi yang kuat di wajahnya—
Tetapi suara Uenohara terdengar lebih tipis dari biasanya.
Merasa bahwa Uenohara mungkin punya perasaan yang sama, aku merasa lega.
*
Keesokan paginya, aku menuju Ruang OSIS dengan langkah cepat.
—Buat saat ini, aku cuma mau beberapa informasi buat memulai. Dengan situasi saat ini, aku bahkan tidak tahu mesti mulai dari mana buat menggali.
Buat saat ini, aku akan mengamati melalui obrolan ringan dengan Hinoharu-senpai dan melihat apa ada sesuatu yang tampak aneh. Itulah penyelidikan spesifik yang akan aku lakukan.
"Permisi," kataku, mengetuk dan memanggil sebelum meletakkan tanganku di pintu geser di pintu masuk.
Saat aku membuka pintu, mengeluarkan suara berderit, mataku tertuju pada sebuah ruangan yang berantakan. Biasanya, ruangan ini dipenuhi dengan dokumen, alat tulis, dan tumpukan kardus, memberikan kesan berantakan. Namun hari ini, ruangan itu tampak lebih berantakan ketimbang biasanya.
"Selamat pagi," sapaku.
"Selamat pagi... ...Ah, Nagasaka-kun? Sebentar," jawab Hinoharu-senpai, tangannya penuh dengan kardus.
Senpai perlahan-lahan bergerak dan meletakkan kotak-kotak itu di rak tengah dari rak baja terbuka di tepi ruangan.
Apa ini? Apa Hinoharu-senpai sedang bersih-bersih?
"O-Oke... ...fiuh," jawab Hinoharu-senpai, suaranya tegang karena kotak itu tampak cukup berat, menyebabkan rak berderit karena beratnya.
Senpai melambaikan tangannya ke udara buat mengendurkannya, lalu berbalik menghadapku, menepuk-nepuk debu yang menempel di bajunya. Mungkin karena Senpai bergerak, dasi khas sekolah yang biasanya dia kenakan dengan rapi tidak ada di tempatnya.
"Hmm, apa kita punya jadwal buat hari ini? Aku tidak ingat pernah memberikan tugas padamu," kata Hinoharu-senpai.
"Tidak, tidak juga. Kebetulan aku tiba di sekolah lebih awal ketimbang biasanya, jadi aku rasa aku akan menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan dan mampir," jelasku.
Aku bisa saja memberikan alasan yang berhubungan dengan tugas alih daya (outsourcing), tetapi aku rasa itu akan berakhir dengan olok-olok biasa, jadi aku memilih buat bersikap spontan.
"Ah, itu tidak biasa. Kamu biasanya tidak datang tanpa alasan. Kalau kamu punya waktu luang, kamu mungkin mesti belajar atau sesuatu. Waktu sangat berharga, loh," kata Senpai, memiringkan kepalanya dengan kebingungan.
...Iya, itu memang benar, tetapi bukan itu intinya sekarang.
"Kadang-kadang aku melakukan hal-hal kayak gini. Aku ini bukan mesin, loh."
"Menurutku, kamu jauh lebih teliti ketimbang mesin. Terutama kalau menyangkut angka," komentar Senpai.
"Itu wajar saja. Mesin memang dapat menghitung, tetapi tidak dapat menafsirkan, jadi kalau manusia melakukan kesalahan, mesin juga akan melakukan kesalahan," jelasku.
"Tuh kan, sudah aku bilang kalau kamu itu sangat teliti," kata Senpai sambil tersenyum kecut.
Senpai kembali menyortir barang, dan aku duduk di bangku pipa di dekatnya buat mengamati Senpai.
Sejauh ini, kayaknya tidak ada yang aneh dengan respons Senpai...
Dengan dimulainya kampanye Pemilihan Umum Ketua OSIS, Senpai tampak tidak mengkhawatirkan apapun dan bekerja seefisien biasanya.
Senpai membolak-balik beberapa kertas dan mulai memindahkannya ke kotak lain. Sekilas melihat sampulnya, tampak judul-judul kayak 'Notulen Rapat Reguler' dan 'Laporan Ekskul'.
"Apa kamu mau pindah atau bagaimana?" Tanyaku.
"Tidak, tidak, aku cuma mengembalikan dokumen-dokumen yang digunakan dalam rapat ke tempat penyimpanan. Kalau aku tidak mengaturnya dari waktu ke waktu, mereka akan tercampur aduk," jelas Senpai.
Ah, begitu ya...
Meskipun begitu, tugas pengorganisasian kayak gini tampak kayak sesuatu yang dapat dilakukan siapa saja. Apa ini benar-benar sesuatu yang dikerjakan oleh seorang senpai dengan posisi yang bertanggung jawab, sendirian di pagi-pagi buta kayak gini?
Atau mungkin... ...apa Senpai dipaksa buat melakukan tugas yang membosankan?
Aku telah mendengar kalau hubungan Senpai dengan orang lain baik-baik saja, tetapi mungkin ada beberapa perundungan yang tersembunyi dan halus yang terjadi. Mungkin ada suasana yang membuat Senpai merasa kayak dia mesti melakukan hal-hal ini.
...Mungkin aku mesti menyelidikinya lebih dalam.
"Iya, tugas semacam ini kayaknya sesuatu yang akan dilakukan oleh siswa-siswi kelas sepuluh... ...Apa para kouhai-mu tidak mengerjakan tugas mereka dengan benar atau semacamnya?" Tanyaku.
"Tidak, bukan begitu. Mereka melakukan apa yang aku minta," jawab Senpai.
Hmm, jadi bukan begitu?
"Kalau begitu, apa ada suasana yang membuatmu sulit buat meminta bantuan dengan santai?" Tanyaku lebih lanjut.
"Tidak terlalu..." Senpai terdiam sejenak.
Hmm...
"Pertama-tama, ini bukanlah jenis tugas yang perlu ditugaskan secara khusus pada seseorang. Siapa pun yang memperhatikan mesti mengerjakannya. Aku mengerjakannya sekarang karena aku punya waktu, dan ini bukan masalah besar," jelas Senpai.
Setelah aku pikir-pikir, Senpai juga bilang kalau tugas lembur itu bersifat sukarela.
Jadi, teori yang bilang kalau hubungan Senpai dengan orang lain buruk itu tidak benar...
"Ngomong-ngomong... ...apa kamu menikmati tugas-tugas yang tidak jelas kayak gini atau menganggap tugas kantoran itu asyik? Apa itu salah satu hobimu atau semacamnya?" Tanyaku.
"Apa? Tidak sama sekali. Maksudku, apa ada orang yang senang melakukan pekerjaan rumah tangga?" Jawab Senpai.
"Aku rasa tidak," kataku sambil tertawa.
Iya, cuma karena seseorang proaktif, bukan berarti mereka menikmatinya. Melihat sosok informasi pribadinya, Senpai kayaknya tipe orang yang lebih menyukai kegiatan yang lebih mencolok.
Senpai mengetuk tumpukan kertas buat merapikannya dan lalu berbicara, "Tetapi kayaknya kamu akan menikmati hal semacam ini, Nagasaka-kun. Aku dapat melihatmu menyortir dan memberi label, mengaturnya berdasarkan tanggal, dan sangat terorganisir."
"Kamu mengenalku dengan baik. Aku akan mengklasifikasikan sesuatu berdasarkan kepentingannya dan mengubah lokasi penyimpanan berdasarkan seberapa sering barang itu digunakan. Di atas meja, aku menyimpan daftar kontak buat memesan persediaan dan semacamnya, dan di rak terbuka, aku menyimpan notulen rapat dan laporan keuangan bulanan, yang diperbarui secara teratur. Tentu saja, siapapun yang menggunakan sesuatu mesti mengembalikannya ke tempat semula, dan siswa-siswi yang piket hari itu akan memeriksanya di penghujung hari," jelasku.
"Wah, itu lebih dari yang aku bayangkan. Itu akan sedikit menyesakkan, meskipun," kata Senpai sambil tertawa.
Aku mengerutkan alis mataku. Dasar-dasar analisis data yaitu organisasi dan kerapian. Itu wajar saja. Lagipula, rasanya lebih baik kalau segala sesuatunya rapi dan teratur.
Hinoharu-senpai menutup tutup kotak kardus yang berisi tumpukan kertas dan menatapku dengan pandangan sekilas. Lalu, dengan mendesah berlebihan, dia bilang, "Kalau saja ada yang mau bergabung dengan OSIS, aku dapat mendelegasikan tugas-tugas kayak gini pada mereka."
"Uhuk, uhuk!" Aku tersedak karena pukulan tidak langsung yang tidak terduga.
Senpai benar-benar menyimpan dendam itu... ...Maksudku, aku berkontribusi dengan baik sebagai kolaborator eksternal, jadi beri aku kelonggaran, oke?
"Tetapi serius, jujur saja, aku rasa OSIS itu tempat di mana bakatmu akan sangat berguna, Nagasaka-kun. Akan sangat disayangkan kalau tidak memanfaatkannya dengan lebih efektif."
"Aku pernah bilang padamu kalau aku punya banyak hal yang mesti aku kerjakan," jawabku.
"Dan apa sebenarnya hal-hal yang perlu kamu kerjakan? Ini bukan ekskul, bukan?"
S*alan, Senpai tidak akan membiarkan ini lolos begitu saja... ...Senpai itu calon "heroin" resmi.
Tidak kayak Katsunuma-san, yang merupakan figuran, kalau aku mengungkapkan terlalu banyak soal "Rencana"-ku pada mereka, hal itu dapat mempengaruhi "Kisah Utama" di masa depan.
Meskipun begitu, mereka juga tidak akan puas dengan jawaban yang tidak jelas... ...Aku tidak punya pilihan selain memberikan penjelasan yang ringan pada mereka. "Oke, singkat cerita —Aku punya gambaran ideal soal kehidupan SMA yang mau aku wujudkan, dan aku mau mencurahkan seluruh tenagaku buat mewujudkannya."
"Kalau begitu, semakin banyak alasan buat bergabung dengan OSIS!" Seru Senpai, mencondongkan tubuhnya ke depan dan mendekatkan jarak di antara kami. "OSIS merupakan organisasi yang didedikasikan buat membuat kehidupan sekolah jadi lebih asyik! Kita dapat merencanakan dan melaksanakan berbagai macam ajang, mulai dari proyek berskala kecil yang menambah warna dalam kehidupan sehari-hari sampai festival berskala besar yang melibatkan seluruh sekolah, atau bahkan seluruh kota! Tidak ada tempat lain di mana kita dapat melakukan semua itu."
Mata Senpai berbinar-binar saat dia berbicara dengan antusias. "Yang paling penting, bukannya menurutmu mengubah sekolah jadi yang terbaik merupakan hal yang paling memuaskan?!"
"Euh, iya..." Kewalahan oleh semangatnya, aku memberikan respons setengah hati.
Hinoharu-senpai tersentak kembali ke dunia nyata, menegakkan tubuhnya, dan berdehem dengan canggung sebelum berkata dengan senyuman malu-malu, "Iya, maksudku... ...ini tidak kayak kita dapat melakukan apapun yang kita mau. Ada masalah anggaran, keterikatan politik, dan kebutuhan buat mendapatkan konsensus dari berbagai pemangku kepentingan. Ada batasan-batasan yang realistis."
"Hmm..."
"Tetapi tidak dapat disangkal kalau OSIS merupakan lingkungan terbaik buat membuat sekolah jadi tempat yang lebih baik."
Saat aku mendengarkan Senpai, aku menghela napas kecil. Aku paham apa yang Senpai bilang. Memang benar, dalam hal perencanaan dan pelaksanaan ajang, tidak ada wadah yang lebih baik ketimbang OSIS.
Namun... "Jujur saja, OSIS tidak menawarkan kebebasan yang cukup buat mewujudkan cita-citaku."
"Hah? Kamu rasa OSIS tidak menawarkan kebebasan yang cukup?" Senpai memiringkan kepalanya dengan kebingungan.
Lagipula, pengaturan kisah komedi romantis tidak terbatas cuma pada OSIS. Meskipun memang ada novel ringan dan anime dengan premis kayak gitu, itu tidak cukup buatku.
Kehidupan SMA cuma terjadi sekali, jadi wajar saja kalau kita mau merasakan pengalaman sebanyak mungkin. "Makanya aku berakting sendiri. Jauh lebih fleksibel dengan cara ini."
"Tetapi kamu tidak dapat melakukan banyak hal sendirian, bukan?"
"Iya, makanya aku telah bekerja keras buat membalikkan kemustahilan itu. Karena itulah aku mendedikasikan masa-masa ronin-ku."
Mendengar jawabanku, Hinoharu-senpai tersendat, "Eh..."
Senpai terdiam sejenak sebelum menghela napas pasrah. "Ah, begitu ya. Oke, kalau kamu berubah pikiran, beri tahu saja aku. Tawaran ini selalu terbuka." Dengan senyuman lembut, Senpai melanjutkan tugasnya.
Fiuh, hampir saja. Namun, melihat antusiasme Senpai yang tinggi, kayaknya dia tidak kecewa dengan kegiatan OSIS. Semangat Senpai tampaknya tetap sekuat sebelumnya...
Jadi mengapa Senpai tidak mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS? Semakin aku memikirkannya, aku jadi semakin bingung...
Saat aku mencatat informasi baru ini dalam hati, Hinoharu-senpai mendengus dan mengangkat kotak kardus itu. "Tototo..."
Senpai goyah saat dia berjalan menuju rak-rak baja.
...Senpai itu sangat kikuk. Sekarang setelah aku pikir-pikir, Hinoharu-senpai sangat buruk dalam hal olahraga. Jadi mengapa Senpai melakukan tugas kasar kayak gini?
"Apa kamu butuh bantuan?" Tanyaku.
"Tidak, aku baik-baik saja. Lagipula, ini bukan bagian dari kontrakmu..."
Kontrak? Aku tidak merasa Senpai mesti begitu formal soal tugas kecil kayak gitu...
Senpai duduk di bangku pipa yang ditempatkan di depan rak, gemetaran saat dia mengangkat sebuah kotak dan mencoba buat menempatkannya di atas anak tangga setinggi kepala. Namun, kayaknya Senpai tidak dapat mengangkatnya lebih tinggi dari dadanya, dan dia dengan enggan menurunkannya kembali ke pinggangnya.
Iya, ada rintangan di sana. Kendala yang tidak Uenohara-san punya.
"Oke..."
Senpai membungkukkan punggungnya dan menegangkan otot-ototnya.
Tunggu, apa Senpai berencana buat mengangkatnya sekuat tenaganya? Itu akan berbahaya, bukan?
Khawatir, aku berdiri tanpa sadar dan bergegas menghampiri Senpai.
"Senpai, tunggu—!"
"Angkat!"
Sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku, Senpai mengangkat kotak itu sekuat tenaga di atas kepalanya.
Dengan kekuatan angkatnya, bangku pipa itu mengeluarkan bunyi gemerincing keras, dan tubuh Senpai bergoyang goyah.
—Kayak yang aku duga!
Aku merentangkan tanganku di belakang Senpai, siap buat menangkapnya.
Pada saat itu, aku dikejutkan oleh rasa déjà vu.
Hah? Apa jangan-jangan situasi ini merupakan...?
*
—"Heroin Senpai" jatuh, dan Sang "Protagonis" (aku) menangkapnya dengan gagah.
Sambil bergumam "Aduh..." dan merasakan sakit di punggungku, aku lalu bertanya, "Apa kamu terluka, Senpai?"
Lalu, Senpai menjawab, "Ma-Maaf, terima kasih... ...hyah!"
Saat rasa sakitnya mereda, tiba-tiba aku menyadari ada sensasi lembut di tanganku. Aku menunduk dan melihat lenganku melingkari Senpai, memeluk itunya Senpai—
—Ini dia!
Senpai punya ajang enak-enak yang beruntung yang menunggu buat terjadi!
*
"Ini dia."
"Hah? Apa...?"
Sebelum aku menyadarinya, kotak kardus itu telah mendarat dengan bunyi gedebuk di rak, dan Senpai mendapatkan kembali keseimbangannya di bangku. Senpai menepukkan kedua tangannya dan berkata, "Oke, sudah selesai... ...Hei, apa yang kamu lakukan?"
"...Tidak ada apa-apanya."
Aku menundukkan kepalaku dengan sedih, tanganku masih terulur.
Euh, mengapa momen kisah komedi romantis di buku narasi belum pernah terjadi padaku...?
Saat aku hendak pergi dengan kepala tertunduk, aku melihat sesuatu di lantai.
"Hmm, apa ini...?"
Aku membungkuk buat mengambilnya, dan ternyata itu merupakan sebuah kancing kecil berwarna putih.
Hmm? Kancing siapa ini?
"Ada apa? Apa kamu menemukan sesuatu...?"
Senpai, yang telah berbicara denganku, tiba-tiba tampak khawatir dan tersentak.
Aku secara refleks mendongak dan melihat Senpai memegangi bagian depan kemejanya dengan kedua tangannya.
—Hah?
Apa yang terjadi?
"...Eum, itu mungkin kancingku."
"...Ah, iya."
Perlahan aku mengulurkan tanganku dan menyerahkan kancing yang aku ambil pada Senpai.
Senpai mencengkeram kemejanya dengan erat dengan satu tangan dan mengambil kancingnya dengan tangannya yang lain. Senpai segera berbalik dan berlari ke belakang ruangan, menghilang di balik beberapa benda di sudut ruangan.
—Ah, begitu ya.
Kancing Senpai pasti terlepas saat dia mengangkat kotak itu.
Ah, begitu ya, begitu ya.
Aku paham sekarang.
...
Tunggu, apa itu berarti kalau aku tidak kecewa, aku akan disuguhi "Adegan Pelayanan"?
S*alan, aku merasa dua kali lebih kecewa sekarang!
*
Aku tidak dapat menatap Senpai yang sedang menjahit dengan baik, dan suasananya tidak tepat buat melanjutkan penyelidikanku, aku pun kembali ke ruang kelas.
Aku telah menemukan beberapa hal yang menarik, jadi aku akan membaginya dengan Uenohara nanti dan memikirkan langkah selanjutnya.
Saat teman-teman sekelasku perlahan-lahan memenuhi ruangan, aku mengobrol dengan mereka sesekali, menghabiskan waktu dengan beberapa pelajaran pendahuluan.
"Hei, Nagasaka."
Torisawa muncul dan membuyarkan lamunanku. Kayak biasanya, ia tampak lesu, kemeja seragamnya tidak dikancingkan, memperlihatkan kalung perak dan tulang selangka maskulin yang kokoh yang kontras dengan tubuhnya yang ramping.
S*alan, seorang cowok tampan dengan daya tarik s*ks di pagi hari merupakan pemandangan yang berbahaya... ...Dan bisakah kamu lebih berhati-hati dengan tatapanmu?
"Selamat pagi — Tunggu, di mana gitarmu?"
"Aku ada latihan pagi, jadi aku meninggalkannya di Ruang Ekskul."
Ah benar, Torisawa berlatih keras akhir-akhir ini karena bandnya akan mengadakan pertunjukan di luar sekolah. Karena ia juga punya ekskul sepulang sekolah, ia menggunakan waktu istirahat pagi dan istirahat makan siang buat berlatih.
Meskipun sibuk, Torisawa tidak pernah melewatkan ekskul. Ia tetap berdedikasi kayak biasanya.
"Ah, ngomong-ngomong, aku mau menonton pertunjukan langsungmu berikutnya. Apa kamu masih punya tiket yang tersisa?"
"Iya, tentu. Berapa banyak yang kamu butuhkan?"
"Sebenarnya, kami kepikiran buat pergi sebagai sebuah kelompok. Apa empat buah tiket tidak masalah?"
Ini merupakan rencana yang aku usulkan pada "Kelompok Teman-Teman" selama "Ajang Pembinaan Wali Kelas" sebelumnya. Semua orang tampak antusias, jadi aku sedang mempersiapkan buat menjadikannya sebuah "Ajang". Syukurlah latihan Tokiwa berakhir pada pagi hari ini.
Torisawa mengusap-usap jemarinya di poninya, lalu mengangguk sambil bersenandung.
"Hmm, aku rasa aku dapat tangani kalau sebanyak itu. Aku akan membawa tiketnya besok."
"Luar biasa, terima kasih!"
Oke, masalah terbesar sudah terpecahkan.
Band Torisawa itu cukup populer, dengan seorang basis (pemain bas) profesional sebagai anggotanya. Pertunjukan mereka di gedung-gedung pertunjukan di kota cenderung terjual habis cuma dengan tiket presale.
Awalnya aku mencoba buat mendapatkan tiket lewat jalur reguler, tetapi tiket terjual habis cuma dalam waktu lima menit setelah penjualan dimulai. Karena inilah, aku mesti mengandalkan keuntungan berteman dengan anggota band.
"Ngomong-ngomong, apa kalian akan memainkan lagu dari video klip kalian yang terdahulu? Lagu asli yang kalian ciptakan?"
"Iya, itu akan jadi lagu terakhir. Kalau kami mendapatkan ankora (encore), kami akan melakukan aransemen ulang."
"Wah, aku sangat menyukai lagu itu, jadi aku sangat bersemangat!"
Aku bukan cuma bilang begini buat menyanjung Torisawa; aku benar-benar menyukai lagu itu. Aku bahkan bilang kalau aku mau punya audionya dan mendengarkannya berulang-ulang. Ini merupakan lagu hard rock, tetapi punya aura tertentu yang mengingatkanku pada lagu-lagu anime... ...atau mungkin cuma karena lagu ini beresonansi dengan jiwaku sebagai seorang otaku. Anayama bahkan berbicara soal membuat video MAD buat lagu ini. Torisawa, yang tidak terpengaruh oleh pujianku, menanggapi dengan sikap acuh tidak acuh kayak biasanya.
"Bagaimanapun, bolehkah aku ngobrol sebentar denganmu nanti? Saat istirahat makan siang juga tidak masalah."
"Hah? Ah, tentu, tetapi...?"
"Maaf atas ketidaknyamanan ini. Sampai jumpa di Ruang Ekskul saat istirahat makan siang nanti."
Kayaknya cuma itu yang mau Torisawa bilang, saat ia berbalik dan berjalan kembali ke bangkunya tanpa bilang apa-apa.
Aku penasaran soal apa ini. Fakta kalau Torisawa tidak mau membahasnya di sini menunjukkan kalau itu merupakan sesuatu yang tidak mau ia umumkan. Aku tidak dapat memikirkan apa-apa yang telah aku lakukan yang akan menjamin hal ini...
Iya, ini merupakan kesempatan yang bagus buat melanjutkan penyelidikan tambahan yang melibatkan Hinoharu-senpai juga.
"Maaf, Tokiwa. Aku rasa kamu sudah mendengarnya. Aku akan melewatkan makan siang hari ini."
"Oke, oke."
Aku berbalik menghadap Tokiwa, yang duduk di sampingku, dan menyampaikan pesan itu.
Tokiwa mengipasi dirinya sendiri dengan buku catatannya. Pendingin ruangan di kelas memang menyala, tetapi suhunya diatur tinggi sebagai bagian dari langkah penghematan tenaga, jadi pasti panas setelah latihan pagi.
"Tetapi memang jarang sekali Torisawa mengajakmu secara langsung kayak gitu, bukan? Aku rasa ini mungkin pertama kalinya aku melihatnya."
"Iya, kamu memang benar..."
Biasanya, akulah yang memulai obrolan atau mengajak Torisawa buat nongkrong, dan ini pertama kalinya ia mengundangku kayak gini. Pertama-tama, sangat jarang buat kami berdua untuk berduaan, dan saat kami melakukan obrolan rahasia, itu sering kali karena ia mau menceritakan sesuatu yang menakutkan.
Sekarang, setelah aku pikir-pikir, aku mulai merasa sedikit cemas... ...Aku harap Torisawa tidak memakanku atau semacamnya.
"Hmm, kalau Kouhei pergi berkencan dengan Torisawa, aku rasa aku akan pergi ke kantin. Aku akan ikut dengan Anayama."
"Ini bukan kencan, oke? Berhentilah membuat pernyataan yang bermasalah."
Kalau kamu bilang hal-hal kayak gitu, kaum radikal akan mengincarmu.
"Euh, tidak mungkin. Aku dapat mengatasinya kalau itu cuma Eiji dan Kakeru, tetapi fakta kalau salah satu dari mereka itu Senpai, itulah yang membuatnya benar-benar menjijikkan."
"Orang lain yang terus membuat pernyataan bermasalah juga mesti diam."
"Apa!? Apa yang begitu bermasalah soal apa yang aku bilang!?"
Katsunuma, yang sedang mengobrol dengan anggota kelompoknya di dekat jendela, tiba-tiba menyerobot masuk. Jadi, aku dengan santai menepisnya.
Bahkan setelah Katsunuma berubah pikiran ke arah kisah komedi romantis, dia masih bersikeras buat terus meremehkanku...
"Dengar, bisakah kamu berhenti dengan menyerang Kouhei sebagai perkenalan? Kalau kamu mau bergabung dalam obrolan, bergabunglah dengan normal."
"Aku tidak mau bergabung dengan obrolan kalian! Aku barusan dengar sesuatu yang menjijikkan dan merasa perlu buat memberikan balasan yang masuk akal!"
"Iya, iya, itulah yang dimaksud dengan bergabung dalam obrolan. Aku selalu menyuruhmu buat jujur, bukan?"
"Apa kamu itu ibuku atau semacamnya!? Sudahlah!"
Katsunuma memalingkan wajahnya karena frustrasi, rambutnya memantul-mantul saat dia menggembungkan pipinya dan bergegas pergi. Teman-teman sekelas di sekitar kami menatapnya dengan tatapan "dia mulai lagi deh" saat mereka melihat kepergiannya.
*
Aku melihat Katsunuma mundur ke belakang saat dia berjalan pergi.
Tetapi s*alan, Katsunuma benar-benar bersinar dengan gaya itu... ...Tidak ada orang lain yang cocok dengan penampilan pemarah kayak gitu. Bagus, bagus.
"Kalian berdua sudah akur," kata Tokiwa dengan nada biasa.
"Benarkah? Aku merasa Katsunuma bahkan lebih terbuka memusuhiku ketimbang sebelumnya, sih."
"Tidak, tidak, aku rasa itu hanya berarti Ayumi mempercayaimu. Dia pasti berpikir kalau kamu tidak akan membencinya, apapun yang dia bilang, jadi dia dapat mengutarakan pendapatnya, bukan?"
"Hmm, hmm?"
Jadi kayak gitu ya? Sekarang kalau dipikir-pikir lagi, itu terdengar kayak sesuatu yang keluar dari kisah komedi romantis...
Saat aku tanpa sadar menggaruk pipiku dengan seringai konyol di wajahku, Tokiwa tersenyum padaku.
"Pokoknya, menurutku itu hal yang hebat!"
"A-Ah. Iya, aku rasa itu... ...bagus, kalau begitu?"
"Iya, itu memang situasi yang ideal."
Kata Tokiwa, suaranya terdengar pelan.
...Hah? Apa maksudnya tadi?
Karena beberapa alasan, suara Tokiwa tiba-tiba terdengar begitu tidak bernyawa.
"Selamat pagi! Hampir saja, aku hampir saja terlambat!"
Suara Kiyosato-san terdengar dari belakangku, menarik perhatianku.
Kami bertiga mengobrol sebentar sebelum jam pelajaran dimulai.
*
Begitu jam istirahat makan siang dimulai, aku bergegas menuju kantin sekolah.
Ruang kelas kami buat Kelas X-D berada di lantai empat, sedangkan koperasi sekolah berada di lantai satu. Kalau aku tidak bergegas, para senpai kelas sebelas dan dua belas, yang lebih dekat, akan sampai di sana terlebih dahulu dan aku tidak punya pilihan selain puas dengan apapun yang tersisa.
Buat saat ini, aku berhasil mencapai koperasi sekolah dengan kecepatan tinggi dan membeli roti yang biasanya aku beli, berbaur dengan siswa-siswi yang datang lebih awal. Aku menyerahkan uang kembaliannya pada bibi di kasir dan pergi.
Oke, Torisawa mestinya sudah dalam perjalanan ke sana, jadi aku juga mesti bergegas.
Mengabaikan arus siswa-siswi yang keluar dari gedung sekolah, aku memotong halaman dan mulai berjalan menuju gedung kesenian.
—Dan kemudian, di sana.
'—Gagagagaga, eh, halo buat semua siswa-siswi SMA Kyougoku Nishi.'
Tiba-tiba, suara elektronik yang keras terdengar di telingaku, membuatku menutup telingaku karena terkejut.
Secara refleks, aku menoleh ke arah sumber suara itu.
Di tengah halaman sekolah, di depan patung yang dikenal sebagai 'Patung Langit', berdiri seorang siswa cowok yang memegang megafon.
'Maaf mengganggu waktu istirahat makan siang kalian. Aku Shiozaki Daiki, Calon Ketua OSIS dari Kelas XI-E.'
—Ah, begitu ya.
Seseorang berambut pendek dan kacamata berbingkai hitam, dengan tinggi badan yang sama denganku namun dengan tubuh yang agak tegap — Itulah Shiozaki-senpai.
Siswa-siswi lainnya di sekitar juga mengalihkan perhatian mereka ke arah Shiozaki-senpai, penasaran dengan apa yang sedang terjadi.
Hmm, aku memang tahu wadahnya, tetapi... ...Aku rasa aku akan tetap tinggal dan melihat bagaimana kelanjutannya.
Setelah agak ragu-ragu, aku duduk di tepi hamparan bunga di dekatnya. Maaf, Torisawa, mohon tunggu sebentar.
'Alasanku mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS semata-mata demi masa depan yang cerah buat semua orang.'
Shiozaki-senpai berbicara, dengan memperhatikan artikulasinya dan berhenti sejenak pada interval yang tepat.
'Waktu kita terbatas. Tiga tahun kehidupan di SMA ini sangat berharga, dan kita mesti mendedikasikan diri kita pada hal-hal yang cuma dapat kita lakukan sekarang. OSIS punya kewajiban buat melakukan yang terbaik untuk membantu dalam hal ini.'
Dari waktu ke waktu, Shiozaki-senpai melihat sekeliling ke arah hadirin, seolah-olah sedang berbicara secara langsung pada mereka.
Iya, Shiozaki-senpai melakukan tugas yang layak, aku rasa...
Hanya saja, pidato Shiozaki-senpai agak terlalu baku dan orisinal, tidak punya bakat yang menarik.
'Namun, aku percaya kalau waktu kita saat ini terbuang sia-sia. Contoh utama dari hal ini yaitu Festival Budaya Sekolah selama dua hari. Persiapan yang menyertainya, kayak perencanaan, mendirikan stan, dan berbagai ajang lainnya, jadi berkepanjangan. Apa yang biasanya dimulai setelah periode tengah semester sekarang meluas sampai liburan musim panas, memakan waktu belajar kita.'
Itu sama sekali tidak sia-sia! Malahan, persiapan itulah yang membuat Festival Budaya Sekolah, dan dengan begitu, kisah komedi romantis, jadi begitu penting! Dan ayolah, Festival Budaya Sekolah lebih merupakan hal yang 'sekarang atau tidak sama sekali' ketimbang belajar!
Dengan wadah kayak gitu, semua orang pasti merasa tidak puas. Silakan menyuarakan keluhan kalian atau mencemoohnya!
Saat aku memikirkan hal ini, aku mengamati reaksi orang-orang di sekitarku.
—Tetapi.
Para audiens yang sedari tadi menyaksikan Shiozaki-senpai, sudah tidak tampak lagi. Semua orang telah melanjutkan kegiatan istirahat makan siang mereka.
...Hah? Tunggu, apa mereka benar-benar acuh tak acuh? Shiozaki-senpai bilang beberapa hal yang cukup memprihatinkan di sini.
'Festival Budaya Sekolah memang penting. Tetapi apa nilainya berubah kalau ajang itu diadakan selama dua hari atau satu hari?'
Obrolan istirahat makan siang yang bising telah berlanjut tanpa aku sadari, dan sekarang suara Senpai yang dikeraskan telah tenggelam. Kalau begini, tidak akan ada yang mendengar pidatonya; cuma akan jadi suara latar belakang, suara yang mengganggu di lingkungan sekitar.
Karena ini memang mosi percaya, aku penasaran, apa semua orang berpikir kalau pidato Shiozaki-senpai tidak ada gunanya...
'─Dan dengan membatalkan ajang di hari kedua, kita akan menggunakan anggaran yang kita hemat buat mengundang instruktur dari bimbel-bimbel terkenal. Tingkat kemajuan sekolah kita saat ini sedang menurun─'
Senpai melanjutkan pidatonya dengan nada monoton. Aku memang tidak merasa kalau Senpai tidak menyadari situasinya... ...tetapi aku penasaran bagaimana perasaannya soal keadaan saat ini.
Hmm, aku tidak dapat melihat ekspresi Shiozaki-senpai dari sini.
'—Sekolah ini dapat jadi lebih baik. Aku dapat membuatnya lebih baik. Aku mohon, aku minta suara kalian.'
Pada akhirnya, Shiozaki-senpai mengakhiri dengan kalimat standar, 'Terima kasih atas perhatian kalian', dan membungkuk pada sudut 90 derajat yang sempurna di bagian pinggang.
Dan tanpa menerima tepuk tangan dari siapa pun, Senpai pun pergi.
─Bahkan dalam situasi kayak gini, Shiozaki-senpai mengikuti etiket yang tepat sampai akhir, ya.
Aku merasakan sedikit niat baik dari Shiozaki-senpai karena menyampaikan pidatonya meskipun tidak ada yang mendengarkan.
Aku penasaran apa itu akan lebih menarik kalau itu jadi pertarungan Pemilihan Umum Ketua OSIS...
Sambil memikirkan hal ini, sambil melihat sekelilingku seakan-akan tidak terjadi apa-apa, aku berjalan menuju Torisawa.
*
Ruang Ekskul buat Ekskul Musik Ringan berada di lantai dua Gedung Seni.
Namun, karena penuh dengan peralatan dan tidak ada ruang buat bersantai, kami memutuskan buat ketemuan di depan gimnasium di sebelahnya.
....Ah, itu dia.
"Hei, Torisawa!"
Aku memanggil Torisawa, yang sedang duduk di tangga di sebelah gimnasium, mengutak-atik gitarnya. Ia kayaknya sedang melakukan perawatan, karena ada minyak dan kain di sekelilingnya.
"Maaf, aku membuatmu menunggu."
"Tidak apa-apa, tidak usah khawatir. Silakan makan makan siangmu. Aku akan bicara sambil mengerjakan ini."
Aku mengangguk dan duduk di sebelah Torisawa, membuka bungkusan roti yang aku beli.
Torisawa sedang menggosok badan gitar elektriknya dengan kain, sesekali menyipitkan mata buat memeriksa apa ada goresan atau kotoran.
Hah, bahkan cuma dengan duduk di sana dengan menyilangkan kakinya, sambil memoles gitarnya, Torisawa tampak keren. Pemandangan ini seakan-akan berasal dari dunia yang berbeda. Kalau aku menambahkan kilauan pada latar belakang, ini akan tampak kayak adegan dari manga shoujo, bukannya kisah komedi romantis.
Merasa sedikit tidak pada tempatnya saat mengunyah roti pasta kacang di sebelah Torisawa, aku pun agak menjauh. Tusukan Katsunuma pagi ini tidak sepenuhnya salah...
Iya, lupakan saja itu. Mari kita langsung ke intinya.
"...Jadi, ada apa?"
Saat aku bertanya, Torisawa tetap menatap gitarnya sambil menjawab.
"Sachi-senpai, apa yang membuatnya ragu? Apa kamu tahu?"
─Pertanyaan langsung yang tiba-tiba itu membuatku terdiam dengan tanganku yang berada di tengah-tengah mulutku.
"Maksudmu... ...soal Pemilihan Umum Ketua OSIS, bukan?"
"Iya, kamu sering bergaul dengan Sachi-senpai. Apa kamu tahu sesuatu?"
...Tidak biasanya Torisawa bertanya soal orang lain kayak gini.
Aku berpikir sejenak dan memutuskan buat bilang yang sebenarnya pada Torisawa.
"Sebenarnya, aku juga mencoba mencari tahu. Aku tidak dapat mendapatkan jawaban langsung dari Hinoharu-senpai."
"Ah, begitu ya. Bagaimana dengan alasan Sachi-senpai berubah jadi 'orang normal'? Apa kamu tahu sesuatu soal itu?"
Hah? Alasan Hinoharu-senpai jadi 'orang normal'...?
Selagi aku memiringkan kepalaku karena bingung, Torisawa meniup debu yang menempel di kepala gitarnya, lalu melanjutkan.
"Aku dengar dari salah satu senpai di ekskul kalau Sachi-senpai itu dulu keras kepala dan bersikeras dengan pendapatnya sendiri, tetapi akhir-akhir ini dia jadi sangat jago dalam membaca situasi."
Hmm... ...kalau dipikir-pikir, ada seseorang di Ekskul Musik Ringan yang berada di kelas yang sama dengan Hinoharu Sachi-senpai, seorang siswa Kelas XI-A. Torisawa pasti mendengarnya dari orang itu.
"Jadi Hinoharu-senpai jadi lebih jago dalam membaca suasana, ya. Itu berarti Senpai tidak kayak gitu sebelumnya?"
"Sachi-senpai itu tipe orang yang maju ke depan tanpa mempedulikan sekelilingnya, dan tampaknya cukup buruk karena memaksakan ide-idenya pada orang lain. Tetapi, kayaknya Senpai juga tidak bilang sesuatu yang salah."
Ah, begitu ya. Hinoharu-senpai juga kayak gitu saat kami pertama kali bertemu, dan itulah kesan yang aku tangkap dari data. Apa Senpai sudah sedikit meredamnya...?
"Rupanya, Sachi-senpai secara bertahap jadi lebih fleksibel di paruh kedua masa kelas sepuluhnya, dan sekarang Senpai itu anak yang cukup baik. Berkat itu, Senpai juga mendapatkan popularitas di kalangan cowok-cowok, tampaknya."
Saat Torisawa berbicara, ia membuka kotaknya dan secara perlahan-lahan memasukkan gitar ke dalamnya. Lalu, Torisawa menutup penutupnya dengan sekali jepret, lalu berdiri.
Sambil melirik sekilas ke arahku, Torisawa berkata, "Kalau kamu mau mengetahui lebih lanjut, selidiki mengapa Sachi-senpai berubah jadi lebih baik. Itu akan memberimu alasan oportunismenya Senpai. Itulah kunci buat meyakinkan Senpai."
"Hah?"
"Apa kamu tidak berencana buat memberikan pengertian pada Sachi-senpai dan menjadikannya Ketua OSIS? Kalau tidak, kamu tidak akan mengendus-endus kayak gini, bukan?"
Wah, Torisawa benar-benar dapat menerawang diriku. Dan ini cuma dari obrolan kecil yang kami lakukan beberapa hari yang lalu...
Saat aku menggerakkan pipiku, Torisawa tersenyum sinis dan mengangkat bahu.
"Kalau itu yang kamu rencanakan, aku akan dengan senang hati ikut andil. Kalau kamu butuh bantuan, bilang saja. Kalau kamu mau melakukan sesuatu, buatlah sesuatu yang mencolok."
Dengan begitu, Torisawa mengakhiri obrolan dan mulai berjalan menuju Ruang Ekskul.
"Hei, Torisawa!"
"Hmm?"
Aku agak penasaran, jadi aku memanggil Torisawa saat ia berbalik buat pergi.
"Kamu tidak mengenal Hinoharu-senpai, bukan? ...Tetapi mengapa kamu peduli?"
Kalau apa yang aku dengar sebelumnya benar, mereka bahkan tidak pernah berbicara secara langsung.
Torisawa sendiri bukanlah tipe orang yang tertarik pada orang lain. Jadi mengapa, dalam kasus ini, Torisawa memutuskan buat mengambil tindakan sendiri?
Torisawa berhenti dan berbalik di tengah jalan.
"Jujur saja, aku tidak begitu tertarik pada Sachi-senpai secara pribadi. Tetapi..."
Dan, dalam sebuah pertunjukan ketidaksenangan yang langka, Torisawa memalingkan wajahnya.
"Ini membuatku kesal karena seseorang yang dapat dengan mudah melewati sistem ini dengan sukarela mengurung dirinya sendiri."
*
Keesokan harinya, sepulang sekolah.
Aku dan Uenohara berkumpul di "Ruang Konferensi D", yang telah menggantikan "Ruang Konferensi M" yang telah disegel, di DRAGON CAFE.
"Buat sementara waktu, tempat ini akan jadi markas kita. Memang agak jauh, tetapi mustahil ada orang yang mengetahuinya."
Itulah tempat yang cuma diketahui oleh Uenohara, dan tidak kayak restoran cepat saji atau restoran keluarga, itu bukanlah tempat yang biasa digunakan oleh siswa-siswi SMA. Mestinya tempat ini jauh lebih aman.
Biayanya memang akan meningkat, tetapi aku telah bernegosiasi dengan Paman Pemilik buat melakukan pekerjaan serabutan dengan imbalan diskon. Jadi, itu tidak terlalu buruk. Ini akan memberi tekanan pada waktuku, tetapi itulah pengorbanan yang perlu.
"Mari kita mulai laporan investigasi. Apa yang sudah kamu dapatkan?"
"Iya, aku belum menyelidiki sebanyak itu, tetapi..."
Uenohara mengeluarkan ponsel pintarnya dan melanjutkan sambil melihat layar yang kayak memo.
"Pertama-tama, pencalonan Shiozaki-senpai itu sukarela. Kayaknya, setelah Hinoharu-senpai menolak, Shiozaki-senpai mengangkat tangannya dan bilang akan melakukannya."
"Jadi, Shiozaki-senpai tidak dipaksa, atau ada yang menyuruhnya?"
"Itu benar. Tetapi semua orang tampaknya terkejut, dan ada beberapa kehebohan mengenai para calon karena mereka tidak mau memberikan pidato buat Shiozaki-senpai."
Iya, mengingat isi wadahnya, Shiozaki-senpai mungkin akan membeli beberapa kebencian...
Kalau seseorang tidak benar-benar tertarik buat mendukung Shiozaki-senpai, mereka tidak akan mau melakukannya.
"Jadi, sebagai Pengurus OSIS, mereka tidak benar-benar mau secara aktif mendukung Shiozaki-senpai, tetapi mereka tidak punya pilihan karena tidak ada orang lain?"
"Mereka lebih suka tidak mendukung secara aktif dan dihujat oleh siswa-siswi lainnya. Kayaknya ini kayak kebijakan buat menghindari masalah."
Bahkan di SMA Kyou-Nishi, mereka juga seperti itu... ...Tetapi setelah aku pikir-pikir, Hinoharu-senpai lebih menonjol, sementara yang lainnya cukup polos dan tidak terlalu cocok dengan kisah komedi romantis.
"Sekian dulu buat saat ini."
Uenohara mengunci ponsel pintarnya dan menghela napas, "Fiuh."
"Terima kasih, kamu sudah sangat membantu. Tetapi Uenohara, kamu benar-benar jago menyelidiki. Ini sudah lebih dari cukup buat permintaan kemarin."
"Itu bukan masalah besar. Aku cuma mendengarnya dari orang lain."
Uenohara mengeriting rambutnya dengan jarinya dan mulai mengunyah donat.
Aku tidak berpikir kalau itu merupakan sesuatu yang dapat dilakukan dengan santai... ...Uenohara tidak menggunakan kekuatan "Pengirim Pesan Wanita Cepat", bukan? Uenohara pasti punya banyak teman.
"Jadi, bagaimana menurutmu?"
"Iya, oke."
Diminta oleh Uenohara, aku mengeluarkan ponsel pintarku.
"Eum, Hinoharu-senpai... ...Dia mengalami perubahan kesadaran pada paruh kedua masa kelas sepuluhnya dan tahun ini... ...Kalau aku meminjam kata-kata Torisawa, kayaknya Hinoharu-senpai jadi lebih jago dalam membaca suasana."
Aku melanjutkan, melihat sekilas catatan yang telah aku susun dengan cepat. "Aku juga mengecek ulang dengan orang-orang di sekitar Hinoharu-senpai, dan mereka punya persepsi yang sama. Namun, kayaknya tidak ada yang tahu alasan di baliknya. Mereka cuma menyadari kalau keadaan berangsur-angsur membaik."
Uenohara mengangguk sambil menelan gigitan terakhir donatnya.
"Sungguh, hal-hal yang manis selalu menghilang di sekitarmu. Donat bukanlah minuman, loh?"
"Selain itu, aku menggali lebih dalam, tetapi tidak ada informasi yang menunjukkan kalau Hinoharu-senpai bertengkar dengan teman-temannya atau Pengurus OSIS. Selain itu, kayaknya Senpai juga tidak bosan dengan kegiatan OSIS. Bahkan, Senpai tampaknya punya keterikatan yang lebih kuat dengan OSIS ketimbang yang aku bayangkan."
Melihat betapa ngototnya Hinoharu-senpai, tidak dapat dipungkiri kalau OSIS merupakan tempat yang penting buatnya.
"Hmm," gumam Uenohara sambil menyesap kafelate-nya sebelum berbicara. "Namun, Hinoharu-senpai tidak mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS."
"Itulah yang membingungkan..."
Hingga saat ini, kami belum menemukan faktor apapun yang akan menghalangi Hinoharu-senpai buat mencalonkan diri. Malahan, sentimen yang ada yakni rasa penasaran mengapa Hinoharu-senpai tidak mencalonkan diri dalam situasi ini.
"Kalau membaca suasananya yang mengarah pada keseimbangan saat ini, itu dapat jadi alasan buat Hinoharu-senpai buat tidak mencalonkan diri. Dan kemudian ada pertanyaan soal apa yang Senpai pikirkan..."
Uenohara bergumam pada dirinya sendiri sambil berpikir, lalu mendongak. "Aku rasa tidak ada gunanya menyelidiki lebih jauh. Jawabannya kayaknya cuma ada pada Hinoharu-senpai."
Euh...
"Pada akhirnya, kayaknya kita tidak punya pilihan selain mencoba dan membuat Hinoharu-senpai membocorkannya entah bagaimana... ...Itulah perintah yang sulit."
Aku tidak berpikir kalau itu merupakan sesuatu yang dapat dengan mudah dicapai dengan tingkat keahlianku.
Uenohara tetap dalam pose berpikirnya sejenak sebelum mengangkat jari telunjuknya dan bilang, "Alih-alih mencoba membuat Hinoharu-senpai berbicara, mengapa kita tidak menciptakan situasi buat mengguncang keadaan dan mencoba memahami pikiran Senpai dengan cara itu?"
"Hmm, begitu ya."
Dengan kata lain, kami akan menyiapkan semacam "ajang" dan mencoba menguraikan maksud sebenarnya dari reaksi Hinoharu-senpai.
"Tetapi sekarang, kita mesti mengamati reaksi Hinoharu-senpai dalam waktu nyata. Tergantung pada ajangnya, kita mungkin tidak dapat merekam segala sesuatunya secara berurutan, dan menganalisanya nanti, mungkin akan jadi suatu tantangan."
"Tidak usah khawatir, aku akan mengatasinya. Kita tidak perlu bekerja secara terpisah buat hal ini."
"Ah, benar! Berarti masih ada harapan!"
Uenohara tidak akan melewatkan sesuatu yang tidak biasa, dan kalau perlu, dia dapat memandu obrolan dengan terampil.
Dengan begitu, aku dapat fokus mengumpulkan informasi yang dapat diamati. Iya, ini sangat efisien.
Sambil aku mengangguk setuju, Uenohara bergumam, "Dan kali ini... ...Aku rasa ini lebih baik dalam segala hal. Kita tidak dapat membiarkan kejanggalan lain terjadi."
"Kamu sangat dapat diandalkan. Saat sampai pada ketidakberesan, aku benar-benar tidak dapat melakukan apa-apa, jadi aku mohon bantu aku, Nona Uenohara."
"Iya, iya."
Uenohara memutar-mutar rambutnya dengan jarinya dan menjawab dengan nada bicara datar.
Oke, sekarang kita sudah punya arah buat melangkah.
"Jadi, dengan keputusan itu, mari kita segera mulai merencanakan 'Ajang' yang spesifik."
Aku meletakkan tanganku di belakang kepalaku dan merentangkannya ke kiri dan ke kanan.
—Saat aku melakukan ini, aku mendapati Paman Pemilik berdiri di tangga.
"Ah, Paman Pemilik? Apa ada sesuatu yang Anda butuhkan?" Begitu aku bertanya, Paman Pemilik tersenyum dan berjalan menghampiri kami, meletakkan secangkir kopi dan donat di atas meja.
"Ini isi ulangnya. Kalian pasti lelah setelah berpikir keras."
"Hah? Aku tidak memesan ini..."
"Ini merupakan hadiah dariku. Kalian akan jadi para pelanggan tetap mulai sekarang, bukan?"
Paman Pemilik memamerkan gigi putihnya sambil tersenyum. "Kalian berdua begitu asyik dengan dunia kalian sendiri sampai-sampai aku merasa kayak mengganggu. Aku mau membiarkan kalian punya waktu berdua, jadi ini merupakan caraku buat mengucapkan terima kasih karena telah berbagi masa muda kalian denganku."
""...Hah?""
"Haha, wah, kalian berdua bahkan bernapas bersamaan."
Kami berdua menatap Paman Pemilik yang ceria itu dengan tatapan lesu.
"Tunggu, Anda memata-matai kami!? Itu menjijikkan, Paman Pemilik!"
"...Setuju."
Paman Pemilik melanjutkan dengan seringai nakal. "Oke, aku memang memanggil kalian, tetapi kalian mengabaikanku. Jadi, aku rasa kalian berada di dunia kecil kalian berdua."
"..."
"Anda bohong!"
"Haha, iya, itu bohong."
Benar-benar Paman yang licik!
Saat aku dan Uenohara memelototi Paman Pemilik dalam diam, Paman Pemilik mengangkat bahu dan bilang, "Maaf, maaf. Tetapi kalian berdua itu benar-benar akur. Sungguh mengharukan melihat hubungan yang begitu tulus."
"Mungkin memang begitu!" "Tidak juga."
"Ahahaha!"
S*alan, 'Ruang Konferensi D' memang merepotkan dalam artian yang sangat berbeda...!
Paman Pemilik berjalan pergi sambil tertawa, aku melihat beliau pergi dengan cemberut dan menghela napas.
"Seriusan, Paman itu... ...Beliau sering menggoda kita kayak gitu. Aku juga selalu berakhir dengan dipermainkan bagaikan biola."
"Dan fakta kalau aku dipermainkan dengan cara yang sama benar-benar mengejutkan. Apa ini berarti aku punya cara berpikir yang sama dengan cowok ini...?"
"Hei, jangan tampak begitu kesal..."
Kamu tidak perlu mengacak-acak rambutmu seakan-akan aku ini musuh bebuyutanmu atau semacamnya...
Follow Channel WhatsApp Resmi Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F
Baca juga:
• ImoUza Light Novel Jilid 1 Bahasa Indonesia
Baca juga dalam bahasa lain:
←Sebelumnya Daftar Isi Selanjutnya→