Bab 2Siapa yang Memutuskan Bahwa Kalian Dapat Mewujudkannya Tanpa Pelatihan Apapun?
Sepulang sekolah pada hari Jum'at.
Aku menunggu Uenohara di lantai satu gedung sekolah bagian selatan, tersembunyi di balik bayangan pintu depan.
Hari ini merupakan hari pelatihan lapangan Uenohara — sebuah hari instruksi praktis dalam latihan investigasi.
*
"Itu mengingatkanku, apa kamu punya rencana besok? Kalau kamu tidak sibuk, aku rasa kita dapat melakukan beberapa pelatihan untuk investigasi di tempat."
"...Pelatihan?"
Menanggapi perkataanku, Uenohara berhenti meminum susu kocoknya dan memberikan reaksi "Apa maksudnya itu?".
─Kembali ke masa lalu sejenak, ke hari sebelumnya.
Pada rapat yang benar-benar berubah jadi ajang biasanya, aku memutuskan untuk mengusulkan rencana yang telah aku pikirkan selama beberapa waktu.
"Investigasi harian merupakan aktivitas penting yang menjadi dasar untuk mewujudkan rencana tersebut. Aku mau kamu, 'Kaki Tangan'-ku, dapat melakukan hal yang sama."
Uenohara melepaskan sedotan dari mulutnya dan memberiku tampang "Terus bagaimana?".
"Kamu yang di sana, jangan mencoba melarikan diri dengan bilang sesuatu yang tidak kamu maksudkan cuma karena itu merepotkan."
"Tidak, itu memang benar kalau aku merasa itu merepotkan, tetapi..."
Sambil menjaga wajahnya tetap datar, Uenohara memegang rambut belakangnya dengan tangan kanannya.
Tuh lihat, bukannya aku tepat sasaran?
"Aku memang tidak bilang kalau kamu mesti membantu dengan segala sesuatu. Tetapi mungkin ada saat-saat di masa depan saat aku tidak dapat bergerak. Akan jadi masalah kalau kamu bilang 'Maaf, aku tidak dapat melakukannya' pada saat-saat kritis. Ingatlah kalau kamu merupakan seorang profesional."
"Apa maksudmu, 'profesional'? Aku tidak punya rencana kayak gitu, loh?"
Aku segera menggambar bagan sederhana di tablet terdekat.
"Begini, metode penelitianku dapat dikategorikan secara kasar kayak gini."
"Dan kamu mengabaikanku..."
"Jangan menyela. Ini dia."
Aku menghadapkan tablet ke arah Uenohara.
"Ada dua jenis investigasi utama: Desktop dan di Lapangan. Yang pertama melibatkan media sosial - contohnya yaitu LINE dan Twitter (TL Note: Sekarang X). Di sinilah kamu menjelajahi informasi dari data digital, termasuk siaran langsung di YouTube dan sejenisnya. Pada dasarnya, investigasi di dalam ruangan yang dapat dilakukan dari kenyamanan meja kerjamu."
"Benar..."
"Dan yang terakhir, kayak namanya, merupakan investigasi di luar ruangan yang dilakukan di lapangan. Aku kira kamu juga bisa menyebutnya sebagai kerja lapangan. Kalau kita membaginya lebih lanjut, akan tampak kayak gini."
Sewaktu aku bilang begini, aku menambahkan tiga item pada kotak berlabel "Investigasi di Lapangan".
"'Investigasi Patroli,' 'Investigasi Tatap Muka,' dan 'Pengamatan Perilaku'. Ini merupakan tiga jenis yang akan aku ajarkan padamu karena itulah yang paling sering aku lakukan setiap hari."
Dengan ekspresi pasrah, Uenohara melirik ke arah tablet, lalu agak mengangkat tangannya.
Ah, jadi dia melakukannya dengan benar kali ini. Uenohara memang telaten dalam hal ini.
"Iya, Uenohara-san."
"Aku punya ide samar-samar berdasarkan kata-katamu, tetapi... ...sebenarnya hal macam apa yang terlibat di dalamnya?"
"Iya, secara kasarnya... 'Investigasi Patroli' yaitu investigasi yang mengumpulkan rumor dan ghibah saat mengunjungi berbagai tempat, 'Investigasi Tatap Muka' yaitu investigasi yang menggali informasi dengan cara mendekati subjek secara langsung, dan 'Pengamatan Perilaku' yaitu investigasi yang merekam gerakan subjek, dan dari sana menganalisis kecenderungan perilaku dan perasaan mereka. Iya, akan lebih mudah untuk memahami detailnya kalau aku mengajarmu sambil melakukannya."
Setelah menyelesaikan apa yang mesti aku bilang, aku mematikan tablet.
"Oke, sampai jumpa besok sepulang sekolah! Datanglah ke tempat yang sudah dijanjikan setelah jam pelajaran selesai. Ah, dan awasi belakangmu."
"Belakangku? Sebenarnya kita dikejar oleh siapa... ...ah, maksudmu polisi."
"Aku rasa aku sudah bilang untuk berhenti memperlakukanku kayak seorang penjahat!"
*
Jadi begitulah akhirnya aku berada di sini, menunggu untuk bertemu dengan Uenohara.
Aku menyandarkan punggungku ke tiang dan berpura-pura memainkan ponsel pintarku. Karena orang-orang yang menuju lemari sepatu tidak dapat melihat kalian kecuali mereka berbalik, ini merupakan tempat yang sempurna untuk mengamati orang-orang sambil menunggu untuk bertemu dengan seseorang.
Pintu depan sepulang sekolah penuh dengan orang-orang yang melewatinya. Beberapa dalam perjalanan menuju ekskul mereka, beberapa jalan-jalan untuk bersenang-senang dengan teman-teman, beberapa sedang bermesraan dengan kekasih mereka dan yang bisa meledak begitu saja... ...semua jenis orang datang dan pergi.
Ini memang tempat yang tidak boleh diremehkan karena terkadang kalian dapat melihat hubungan yang tidak terduga, atau mendengar kisah soal berbagai hal yang akan membuat mata kalian berkaca-kaca.
Tetapi tetap saja, dia terlambat... ...sangat terlambat. Sudah lebih dari 5 menit.
Aku melirik jam di ponsel pintarku, lalu melihat ke sekelilingku.
Uenohara itu tipe orang yang selalu tepat waktu. Dia biasanya ada di tempat rapat 10 menit sebelum rapat dimulai, dan kalau seandainya dia akan terlambat, dia akan mengirimkan pesan.
Dia mungkin sering bersikap tidak sopan secara verbal, tetapi saat menyangkut hal-hal penting, dia itu sopan dan mudah bergaul, jadi diam-diam aku punya kesan yang baik padanya sebagai mitra bisnis.
Bahkan tidak ada respons apapun atas pesan yang aku kirimkan padanya, jadi mungkin ada masalah?
"Oke, sudahlah. Sampai jumpa lagi."
Saat aku sedang mempertimbangkan untuk meneleponnya, sebuah suara yang tidak asing terdengar di telingaku. Itu merupakan Uenohara.
Segera setelah punggungnya terlihat, aku juga menyadari kalau dia ditemani oleh beberapa sosok.
"Ah? Kalau begitu, kamu dapat datang setelah kamu selesai dengan urusanmu."
"Iya! Ini sebelum liburan juga, ada banyak hal yang dapat dibicarakan."
"Ayolah, ada makanan manis untuk dimakan! Makanan manis!"
Apa mereka teman-temannya dari kelas yang sama?
Dari penampilannya, ada empat atau lima orang cewek, tetapi tidak ada satupun nama mereka yang langsung terlintas dalam benakku. Aku akan dapat dengan mudah mengenali mereka kalau mereka punya bakat dalam kisah komedi romantis, jadi, kemungkinan besar mereka itu orang-orang yang punya bakat C atau mungkin lebih rendah.
Uenohara mengangkat bahunya dengan ringan sebelum menjawab.
"Tidak, aku tidak yakin berapa lama waktu yang dibutuhkan, jadi aku akan melewatinya kali ini. Sampai jumpa di lain waktu."
"Begitulah. Kalau begitu, sampai jumpa lagi! Dadah, Ayano!"
Setelah bilang begini, kelompok cewek-cewek itu lalu meninggalkan area lemari sepatu, sambil tertawa gembira satu sama lain.
Setelah menunggu sampai kelompok itu benar-benar menghilang, aku memanggil Uenohara.
"Yo, kebetulan sekali bertemu denganmu di sini, Uenohara-san."
"Ah, kalau bukan Nagasaka-kun. Lama tidak bertemu, apa ada sesuatu?"
"Ibu Guru memintaku untuk membantu melakukan sesuatu. Kalau kamu tidak keberatan, aku mau kamu membantu juga."
"Memaksakan lebih banyak tugas sampingan lagi padamu? Aku tidak keberatan."
Obrolan yang berjalan sesuai dengan naskah yang sudah aku siapkan sebelumnya.
Mengenai "pengaturan", ya, kebetulan aku bertemu dengan seorang temanku di pintu depan dan memintanya untuk membantu mengerjakan suatu tugas.
Aku berjalan ke arah Uenohara dan berbicara dengan suara pelan.
"Oke, sekarang kita punya alasan untuk bersama. Ikutlah denganku."
"Hei, apa lelucon ini benar-benar diperlukan?"
Uenohara melihat sekeliling dengan gelisah.
Jadi dia waspada dengan keadaan sekitar... ...tidak, aku rasa dia cuma merasa malu. Heh, sungguh payah.
"Buat berjaga-jaga. Lagipula, kamu tidak pernah tahu siapa yang mungkin mengawasi."
"Kayak yang aku bilang, memangnya siapa atau apa yang mengejarmu?"
"Apapun yang terjadi, kita tidak dapat membiarkan para karakter melihat apa yang terjadi di balik layar. Kalau ada suara yang merembes masuk, maka tidak akan jadi 'kisah' yang murni."
Kegiatan penelitian yang dilakukan sebelumnya, cuma sarana untuk mewujudkan rencana, dan tidak ada yang dapat diterbitkan.
Dengan kata lain, untuk menghadirkan anime berkualitas tinggi pada pemirsa, apa benar-benar perlu mengungkapkan keadaan lokasi produksi dan urusan orang dewasa secara terbuka? Dunia di balik layar bukanlah dunia yang penuh dengan cahaya kayak perusahaan animasi Musashino*.
(TL Note: Referensi untuk Musashino Animation, sebuah studio animasi fiksi dalam serial Shirobako.)
Aku hendak menemani Uenohara kembali ke dalam sekolah saat tiba-tiba, aku teringat obrolan yang aku dengar sebelumnya.
"Hei, apa kamu punya rencana lain dengan teman-temanmu?"
"Hmm? Ah, maaf, aku terlambat. Butuh beberapa saat buat menolak mereka."
"Tidak, aku tidak bermaksud begitu..."
Aku menggaruk pipiku dan melanjutkan.
"Memang aku yang mengundangmu, tetapi... bukan berarti pelatihannya mesti hari ini, loh? Kalau kamu punya janji sebelumnya, itu dapat didahulukan."
"Wah, Nagasaka sangat perhatian. Apa kamu makan sesuatu yang tidak enak?"
"Bukan begitu. Aku bicara soal menghargai teman-temanmu. Aku mau kamu tahu bahwa bahkan dalam kisah komedi romantis, 'Karakter Sahabat' sangatlah penting."
"Itu dia, konversi kisah komedi romantis spesialisasimu..."
"Ini belum terlambat, loh. Aku dapat meneleponmu nanti malam."
Dia menjawab dengan gaya meremehkan kayak biasanya, bilang kalau itu bukanlah masalah besar, dan menghentikanku.
Dari cara mereka berbicara tadi, kayaknya mereka telah membuat keputusan sejak lama, dan bukan maksudku untuk membuatnya mengingkari janji.
Tetapi meskipun begitu.
Terlepas dari kekhawatiranku itu, Uenohara tanpa ragu menjawab dengan ekspresi kosong kayak biasanya.
"Tidak, ini bukan kayK aku benar-benar mesti pergi. Jadi tidak usah khawatir soal itu."
"Kamu diajak, bukan? Jadi..."
"Maksudku, mereka dapat bersenang-senang bahkan tanpa aku. Awalnya, ini cuma akan jadi obrolan santai sambil mengeteh, sih."
Wajah Uenohara datar kayak biasanya, seakan-akan ini merupakan masalah sepele.
Hmm? Iya, kalau dia bilang begitu, maka oke...
Lebih penting lagi.
"...Apa jangan-jangan kamu menantikan pelatihan itu?"
"Hah? Mengapa?"
"Ah, tidak, bukan apa-apa, kok..."
Menghadapi tatapan serius itu, aku jadi takut.
Ayolah, karena kamu memberiku prioritas yang akan membuatku berpikir kalau kamu mungkin menyukai hal itu!
"Heh, cuma untuk memberi tahumu, ini akan jadi intens. Aku tidak main-main di sini."
"Terserahlah. Kita selesaikan saja supaya aku dapat pulang."
"Gunununu*!"
(TL Note: Efek spesial untuk mengekspresikan kegairahan yang berlebihan terhadap sesuatu, dalam hal kemarahan atau kemarahan.)
Kaki tangan baruku yang rumit ini sungguh tidak imut sama sekali!
*
Aku berjalan menyusuri lorong gedung sekolah bagian selatan bersama Uenohara.
Saat itu sepulang sekolah, dan gedung sekolah selatan, tempat ruang kelas sepuluh berada, jarang sekali ada orang. Mereka yang punya ekskul ada di lapangan atau di gimnasium, dan tidak banyak orang yang mau belajar mandiri pada saat ini.
Yang tersisa cuma siswa-siswi di Ekskul Pulang-Pergi yang punya terlalu banyak waktu. Dan kebanyakan dari mereka mengobrol, isi obrolan mereka jadi salah satu sumber informasi yang paling berharga buatku.
"Oke, mari kita mulai dengan jenis investigasi yang pertama, yaitu "Investigasi Patroli." Beginilah caraku biasanya berkeliling melewati depan setiap kelas sepulang sekolah. Tujuannya yaitu buat mengumpulkan obrolan dan bahan ghibah yang terdengar di berbagai tempat."
Aku bersembunyi di tempat yang tidak tampak dan berbicara dengan suara pelan.
"Dan kunci dari investigasi di sini yaitu kecepatan jentikan jari*."
(TL Note: Mengacu pada input jentikan jari untuk pengetikan bahasa Jepang di ponsel pintar.)
"Mengapa kecepatan jentikan jari?"
Uenohara juga berbicara dengan suara rendah.
"Inilah menuliskan informasi yang kamu dengar, satu demi satu. Bagaimanapun, kamu mencatat materi apapun yang menarik perhatianmu, kayak kamu sedang menulis seluruh obrolan. Kalau bisa, akan lebih baik kalau kamu juga bisa mencatat siapa yang bilang apa."
Aku mengeluarkan ponsel pintarku dan meluncurkan aplikasi memo favoritku. Aplikasi ini sederhana, yang secara otomatis tersinkronisasi dengan Cloud dan tidak punya fitur dekoratif.
"Kayak gitu, tidakkah menurutmu jumlah tugas yang diberikan Toshikyo buat Bahasa Jepang Modern terlalu banyak?"
"Iya, aku lebih suka Bucchi, bro..."
Ah, sempurna.
Aku mencatat obrolan orang-orang yang lalu lalang, memisahkannya jadi beberapa kata.
"Nishino, Tugas, Toshikyo, Bahasa Jepang Modern, Terlalu banyak, ?Ishida, Bucchi lebih suka. Sesuatu kayak gini. Kamu tidak perlu memaksanya jadi bentuk kalimat asalkan kamu dapat memahami maknanya saat kamu melihatnya saja nanti. Ah, dan "?" merupakan simbol yang digunakan untuk menunjukkan pembicara."
"...Hah, tunggu sebentar. Apa kamu mencatat semua itu cuma dalam beberapa detik itu?"
Uenohara terus bergumam sambil mengedipkan matanya karena terkejut.
"Kamu bahkan tidak melihat ke layar, bukan?"
"Jentikan jari buta". Ngomong-ngomong, aku biasanya melakukannya di sakuku. Kalau memang mau, aku dapat memegang dua perangkat dan menggunakan kedua tangan. Tetapi, meskipun meningkatkan kecepatan, namun mengurangi akurasi, jadi aku jarang melakukannya."
"Tidak... ...itu sudah mustahil dilakukan oleh manusia biasa, bukan...?"
Uenohara memegang dahinya dengan ekspresi bingung.
Aku penasaran. Setelah berlatih setiap hari, aku dapat melakukannya setelah sekitar setengah tahun...
"Iya, kamu tidak mesti melakukannya secara membabi buta. Ketik saja dengan wajah yang bilang, 'Aku sedang di media sosial,' dan orang tidak akan mencurigaimu."
"Sebenarnya, apa perlu membuat begitu banyak catatan secara acak? Bukannya ada baiknya kalau kita mencatat informasi yang tampaknya penting saja?"
Euh... ...Aku menghela napas panjang. Ini merupakan masalah dengan penyelidik amatir.
"Lihat di sini. Tidak apa-apa buat memprioritaskan, misalnya, menuliskan informasi yang berfokus pada orang tertentu. Tetapi tidak boleh menilai pentingnya informasi itu sendiri secara bersamaan. Bagaimana kamu tahu mana yang penting dan mana yang tidak penting?"
"Tetapi, kayak gini... ...bukannya rincian soal acara televisi dan hal-hal semacam itu tidak perlu?"
"Jadi, maksudmu, tidak ada maknanya informasi soal komedian mana yang lucu? Mungkin saja si pembicara lebih menyukai komedi Manzai, loh? Itu akan jadi data kepribadian, bukan?"
"...Saat kamu bilang kayak gitu, tidak ada habisnya kemungkinan."
"Benar sekali. Makanya kamu tidak boleh terlalu cepat menilai pentingnya sebuah informasi."
Tiba-tiba saja suaraku hampir tenggelam oleh hiruk pikuk kelas di sekitar kami, dan mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat ke Uenohara.
"Kadang-kadang kamu cuma dapat mulai melihat tren setelah memproses data dalam jumlah besar secara statistik. Karena itulah, penting buat dapat mengumpulkan data dalam jumlah besar pada tahap investigasi."
"...Itu masuk akal, aku rasa. Selain itu, kamu terlalu dekat."
"Sabarlah, aku sedang bilang sesuatu yang penting."
Aku berusaha berhati-hati untuk tidak menyentuhmu, loh. Lagipula, kamu marah saat aku menggenggam tanganmu terakhir kali.
"Pokoknya, begini saja. Kalau kamu punya waktu buat berpikir, gerakkan tanganmu terlebih dahulu. Kalau kamu membiarkan tubuhmu meresapi gerakannya, secara alami kamu akan dapat meninggalkan catatan, apapun situasinya. Kamu bahkan dapat mempraktikkannya di rumah."
"Oke. Oke, kalau aku merasa mau melakukan itu."
Setelah membalas dengan suara tanpa emosi, Uenohara lalu menyibakkan rambutnya ke belakang melewati bahunya.
Gerakan ini mengantarkan aroma sampo yang manis ke lubang hidungku.
...Aku mungkin terlalu dekat.
"Ehem. Kalau begitu, waktunya untuk benar-benar melakukannya. Dengan cara yang tidak berlebihan dan membuat kita mendapat masalah."
"Tidak usah khawatir, meskipun aku mendapat masalah, aku tidak akan bertindak mencurigakan kayak kamu, Nagasaka."
"Ah, aku tidak dapat membantah bagian itu..."
Dengan begitu, kami membagi tugas di antara kami berdua dan secara terpisah berkeliling di sekitar ruang kelas.
─Saat aku melihat hasil akhirnya, aku mendapati bahwa Uenohara telah mengumpulkan data sebanyak yang aku punya.
Kaki tangan ini... ...dengan santainya unggul dalam banyak hal.
*
"Oke, sekarang buat 'Investigasi Tatap Muka'."
Setelah menyelesaikan putaran kami, kami mengunjungi gedung seni di sebelah tempat parkir sepeda.
Di Kyou-Nishi, gedung sekolah bagian selatan dan gedung sekolah bagian utara dihubungkan oleh koridor yang membentuk struktur kanji "工" (Kou), dengan ruang kelas sepuluh dan sebelas serta ruang kelas khusus kayak ruang sains dan ruang ekonomi rumah tangga yang berada di sisi selatan, dan ruang kelas dua belas, ruang UKS, perpustakaan, serta fasilitas lainnya ada di sebelah utara.
Ruang-ruang yang berhubungan dengan seni, kayak ruang musik dan ruang kesenian, ada di gedung kesenian, yang terpisah dari gedung sekolah. Namun entah mengapa, ruang OSIS bercampur dengan ruang-ruang tersebut.
Saat ini, kami sedang mengintai di dekat ruang OSIS yang sama, mencari pintu masuk.
Saat ini, kami mengintai di dekat Ruang OSIS yang sama, mencari pintu masuk.
"Investigasi patroli yang kita lakukan sebelumnya itu buat mendapatkan berbagai macam informasi dan tidak cocok buat mencari informasi yang spesifik. Kalau kamu mau mengetahui sesuatu yang spesifik, kamu mesti lebih proaktif."
"Maksudmu kayak... ...secara langsung meminta informasi dari orang-orang?"
"Iya, benar. Dengan kata lain, 'Investigasi Tatap Muka'."
Ngomong-ngomong, kali ini aku menjaga jarak tetap agar menghindari kejadian nyaris celaka.
"Dalam hal ini, teknik obrolan diperlukan buat mendapatkan informasi yang diinginkan dengan menggunakan alur yang alami. Dalam sebagian kasus, bahkan mungkin perlu menggali informasi melalui penggunaan pertanyaan pengarah, dan karena itulah, ini merupakan metode investigasi yang memerlukan keterampilan yang tinggi."
Dari semua keterampilan protagonis kisah komedi romantis yang dikembangkan sampai saat ini, keterampilan yang membutuhkan waktu paling lama buat aku kuasai yaitu seni berbicara. Hal ini memerlukan respons yang luwes dan fleksibel terhadap situasi yang dihadapi, dan ini bukanlah sesuatu yang dapat aku lakukan secara efektif.
Dengan menggunakan kecenderungan obrolan dan penilaian kepribadian target, aku hampir dapat meningkatkannya ke tingkat yang dapat digunakan, tetapi belum cukup andal buat orang yang belum pernah aku temui sebelumnya, atau orang yang tidak punya informasi yang memadai.
"Iya, bukti dari puding itu ada pada makanannya. Kali ini, aku akan mengekstrak informasi soal kunci atap dari senpai tertentu."
"Kunci atap? Ah, kalau dipikir-pikir, itu biasanya dikunci, bukan?"
Di Kyou-Nishi, atap gedung sekolah sebelah utara dan gedung sekolah sebelah selatan ditutup rapat-rapat. Kalian dapat mengakses pintu masuk melalui tangga darurat, tetapi buat naik ke atas, kalian mesti membuka pintu yang dikunci.
"Tetapi mengapa seseorang dari OSIS? Bukannya kunci biasanya disimpan di ruang staf?"
"Menurut informasi dari rumor yang beredar, gudang atap berada di bawah yurisdiksi OSIS. Karena itulah, kayaknya OSIS juga bertanggung jawab atas kunci itu."
Selama "Acara Pengakuan Cinta", aku menyelinap masuk pada saat pintu tidak dikunci. Itu karena mereka sedang membawa peralatan buat rapat umum siswa-siswi. Jadi, aku penasaran, menyelidiki lebih jauh, dan mendapati informasi ini.
Selain itu, ada kunci di ruang staf yang dapat dipinjam asalkan ada alasan yang sah, tetapi karena mustahil buat siswa-siswi pada umumnya punya alasan kayak gitu, maka kunci tersebut dianggap mustahil buat didapatkan.
"Atap ini merupakan pesaing buat tempat pertama atau kedua di antara "Tempat-Tempat Muda-Mudi" yang paling populer di sekolah, jadi aku benar-benar mau mendapatkan cara untuk mengaksesnya. Paling tidak, aku penasaran, bagaimana cara kunci itu dikelola."
"...Memangnya semudah itu mendapatkan informasi itu?"
Uenohara bergumam dengan nada ragu.
"Aku punya rencana kasar. ...Ah, tunggu, aku melihat pergerakan."
Melalui kaca buram yang dipasang di pintu, aku dapat merasakan kehadiran seseorang yang bergerak di dalam ruangan.
Aku memeriksa jam tanganku dan, sesuai jadwal, sudah waktunya untuk mengitari kunci sekolah.
"Ngomong-ngomong, siapa senpai ini? Apa dia orang yang ada di dalam 'Catatan Teman-Teman'-mu?"
"Hmm, dia itu seorang siswi kelas sebelas yang merangkap sebagai petugas buat Audit dan Urusan Umum, tetapi cuma itu informasi dasar yang aku punya. Sebenarnya, mencari tahu lebih banyak soalnya merupakan tujuan kedua."
"...Apa dia calon utama karakter atau semacamnya?"
"Ah, betapa telitinya dirimu. Itu memang benar."
Aku menganggukkan kepalaku dan menjawab.
"Bagaimanapun juga, 'Heroin Senpai' merupakan salah satu karakter terpenting dalam kisah komedi romantis. Saat ini aku sedang sibuk menyelidiki mereka yang berada di angkatan yang sama dengan kita, tetapi paling tidak aku mengumpulkan rumor. Target kita yaitu seorang cewek cantik yang popularitasnya ada di kelas atas bahkan di antara barisan siswi-siswi kelas sebelas."
"Hah. Jadi, cewek macam apa dia?"
"Dia punya tipe suasana Mbak-Mbak yang lembut, dengan visual antara imut dan cantik, aku rasa. Juga, tubuh marshmallow-nya tampak lembut dalam segala hal, membuatmu mau digendong olehnya."
"Iya, kalau menggunakan akal sehat, itu menjijikkan."
"Tidak ada cowok yang tidak mau dimanjakan oleh karakter yang lebih tua!"
Serial "Aku mau dimanjakan" merupakan genre yang sedang populer di daerah ini! Kebetulan, mereka tidak mesti benar-benar lebih tua. Kuncinya, mereka cuma perlu bertingkah seakan-akan mereka lebih tua. Lagipula, ada kata-kata kayak seorang ibu bertubuh mini.
"Tetapi bagaimanapun juga, meskipun aku bilang kalau ini baru pada tahap potensi. Ketimbang penampilannya, data soal apa yang ada di dalamnya lebih penting. Tidak usah khawatir, aku tidak akan membiarkan perasaan pribadiku ikut campur sampai aku dapat menilai bakat seseorang secara objektif."
"Iya, sekarang kamu jadi sangat menjijikkan."
"Pada akhirnya, kamu cuma mau mengucapkan kata 'menjijikkan', bukan?!"
Saat kami sedang melakukan obrolan yang biasa kami lakukan, pintu samping terbuka dengan suara gemerincing dan seorang siswi melangkah keluar dari dalam.
Dia berambut hitam panjang yang menjuntai sampai ke punggung, wajahnya yang dewasa dan tertata rapi, dan mengenakan dasi merah yang menandakan bahwa dia merupakan seorang siswi kelas sebelas.
Mmm, tidak salah lagi. Itulah targetnya.
"Oke, aku pergi. Aku rasa dia tidak akan melihatmu di sini, jadi diam saja dan perhatikan."
Dengan melirik ke belakang ke arah Uenohara, yang mengangguk dalam diam, aku menarik napas panjang, lalu mulai berjalan.
Perlahan-lahan, aku berjalan menuju ruang OSIS, melihat ke arah sini dan ke arah sana kayak sedang memeriksa sekeliling.
Menyadari keberadaanku, sang target memanggil.
"Apa kamu punya urusan di ruang OSIS? Cowok kelas sepuluh."
Suara yang terbawa dengan baik dan serak.
Inilah pertama kalinya aku mendengar suaranya, tetapi suaranya jauh lebih jelas ketimbang yang aku duga.
"Ah, eum..."
Berpura-pura jadi siswa baru yang bingung saat disapa oleh seorang senpai, aku dengan takut-takut memanggilnya.
"Permisi. Apa ada orang yang bernama Hinoharu-senpai di ruang OSIS?"
Aku bertanya dengan pura-pura tidak tahu.
Tentu saja, cewek yang ada di depanku ini yaitu satu-satunya Hinoharu Sachi-senpai.
Bilang "Ah," mata sayu sang senpai menyipit pelan dan dia tersenyum. Sama kayak penampilannya, ekspresi wajahnya itu ekspresi seorang Mbak-Mbak yang tenang.
"Hinoharu? Itu pasti aku. Apa ada yang dapat aku bantu?"
"Ah, apa benar begitu? Iya, sebenarnya..."
Pada titik ini, aku mengeluarkan sebuah dokumen yang sudah aku siapkan sebelumnya.
"Inilah daftar anggota panitia kelas kami. Aku sudah bertanya pada Ibu Guru, dan beliau bilang kamulah yang bertanggung jawab dan aku mesti memberikannya langsung padamu, Senpai."
Dengan begitu, aku mengulurkan hasil cetakannya. Pada dasarnya, aku menggunakan tugas-tugas Ketua Kelas sebagai alasan untuk berbicara dengannya.
Kebetulan, itu merupakan informasi yang pasti bahwa Hinoharu-senpai bertanggung jawab atas anggota panitia. Meskipun bagian soal diminta menyerahkannya secara langsung memang sebuah rekayasa, itulah sesuatu yang pada akhirnya akan sampai padanya, jadi tidak ada masalah.
Di sini, Senpai memiringkan kepalanya dengan ekspresi penasaran di wajahnya.
"Ini bukan kayak ada kebutuhan untuk menyerahkannya secara langsung. ...Dari mana kamu mendengar soal itu?"
Euh... ...jadi dia mesti mempertanyakan bagian itu, dari semua hal.
"Ah, euh... ...di ruang staf."
"Dari guru yang mana?"
"...Ah, eum, maaf. Aku masih belum hafal semua nama mereka."
"Ah, begitu ya. Kamu baru saja masuk ke sekolah ini, bukan?"
"Maaf, maafkan aku," kata Senpai, tersenyum lembut padaku lagi.
Hmm, itu merupakan reaksi yang tidak terduga, tetapi aku rasa aku berhasil mengelak dengan cukup baik...? Tetapi tetap saja, dia benar-benar seseorang yang sangat memperhatikan hal-hal yang tidak terduga.
"Oke, aku akan menerima ini. Terima kasih telah meluangkan waktu buat berkunjung."
"Ah, iya. Terima kasih banyak."
"Iya, ini sudah hampir sore, jadi berhati-hatilah dalam perjalanan pulang."
"Ah, Senpai."
Aku memanggil Hinoharu-senpai, menghentikannya saat dia akan pergi.
Di sinilah hal yang sebenarnya dimulai. Aku mesti fokus.
"Apa kamu akan berkeliling-keliling di sekitar sekolah sekarang?"
"Itu memang benar, tetapi... ...apa ada hal lain yang kamu butuhkan?"
Senpai cuma memalingkan wajahnya ke arahku saat dia menjawab.
"Eum, ini memang masalah yang tidak ada hubungannya, tetapi ada sesuatu yang menggangguku..."
Aku mengambil waktu sejenak untuk mengatur napas sebelum mulai berbicara.
"Di sekolah kita, kita tidak boleh pergi ke atap, bukan?"
"Atap? Benar, dikunci karena tidak ada pagar dan berbahaya."
"Ah, begitu ya, benar. Sebenarnya, aku melihat apa yang tampak kayak bayangan seseorang barusan..."
"Hah, benarkah?"
Dengan ekspresi terkejut di wajahnya, Hinoharu-senpai membalikkan seluruh tubuhnya untuk menatapku.
...Baguslah, dia terbawa.
"Itu cuma sesaat, jadi aku pun tidak tahu apa memang ada seseorang, tetapi..."
"Gedung sekolah yang sebelah mana?"
"Gedung sebelah selatan. Aku melihat sekilas saat aku berjalan di lorong."
Selain itu, hal-hal mengenai bayangan seseorang merupakan sebuah gertakan. Itulah dasar buat petunjuk yang akan aku lakukan.
Senpai memeluk salah satu lengannya, membuat pose berpikir. Pada saat yang sama, dadanya yang dapat tampak pun melalui seragam tebal, semakin menegaskan keberadaannya.
Hmm, volume ini... dia bahkan mungkin punya lebih banyak potensi ketimbang Kiyosato-san?
Tetapi... ...Saat ini bukanlah waktunya untuk menelan ludah. Tenangkan dirimu, anak muda yang menyedihkan. Ketimbang itu, berkonsentrasilah pada kisahnya. Mari kita pastikan buat mencatatnya nanti, sih.
Aku melanjutkan dengan wajah seorang siswa teladan.
"Mungkin dia itu orang yang mencurigakan atau semacamnya. Mestikah aku memberi tahu guru?"
"Ah, tidak perlu. Aku akan memeriksanya saat aku berkeliling, jadi tidak usah khawatir. Mungkin saja itu memang seseorang yang berhubungan, sih."
"Seseorang yang berhubungan?"
"Iya. Kamu bebas untuk pergi ke sana kalau kamu berhubungan dengan OSIS."
Oke, bagus! Aku tahu kalau rumor itu benar!
Aku berpose penuh kemenangan di dalam hati dan sejenak melirik ke arah Uenohara. Bagaimana, kamu lihat itu? Inilah teladan yang patut dicontoh, oke?
Namun, dia membicarakannya dengan cukup mudah... ...Aku penasaran, apa aku dapat terus melanjutkan dan mengeksplorasi detailnya?
"Ah? Benarkah begitu? Bukannya kuncinya disimpan di ruang staf?"
"Ada ruang penyimpanan di atap buat penggunaan OSIS. Barang-barang kayak dokumen dan peralatan lama disimpan di sana, jadi satu kunci cadangan ditinggalkan di ruang OSIS."
"Hah. Apa itu berarti siapapun yang jadi anggota OSIS dapat menggunakannya?"
"Iya, tetapi buat membuka brankas itu mesti seizin Ketua OSIS..."
Hmm, jadi kuncinya disimpan di brankas. Iya, aku kira itu sudah dapat diduga.
Namun, kayaknya tidak terlalu sulit buat mendapatkannya dibandingkan dengan brankas yang ada di ruang staf. Ketimbang seorang guru, seorang siswi tampaknya lebih mudah ditipu— ehem, lebih mudah untuk mendapatkan pemahaman. Mari kita ingat hal itu.
Kalau begitu, aku rasa sudah cukup mengenai topik kunci. Tetapi, saat aku memikirkan hal ini dan hendak mengakhiri obrolan...
Tiba-tiba menyadari ada sesuatu yang tidak beres, Hinoharu-senpai menatap mataku.
"Hei, mengapa kamu begitu penasaran dengan detailnya?"
Jantungku berdegup kencang.
Ah tidak.
Aku mungkin telah terlalu berlebihan.
"Ah, tidak, tidak ada alasan khusus. Cuma karena."
"Cuma karena? Mempertimbangkan itu "cuma karena," bukannya pertanyaanmu sangat spesifik?"
Wajah Senpai tetap bingung.
Ini buruk! Ini darurat! Kalau aku tidak melakukan sesuatu dengan cepat, ini akan berakhir kayak saat bersama Uenohara!
Sebelum aku terpojok, aku melakukan tindakan menghindar darurat yang sudah aku persiapkan sebelumnya.
"Eum! Aku sebenarnya... ...tertarik dengan OSIS!"
Menanggapi pernyataanku yang mendadak, Hinoharu-senpai mengedipkan matanya dengan tatapan kosong.
Cih, aku sudah berusaha sebaik mungkin buat menghindari kebohongan semacam ini karena dapat berdampak panjang, tetapi ini tidak dapat dihindari!
"Makanya aku tiba-tiba penasaran lebih banyak. Maafkan aku, aku pasti tampak agak kasar."
"...Jadi, memang benar begitu. Aku tahu itu. Kamu bisa saja bilang begitu dari awal."
Menghembuskan napas, Senpai menurunkan kewaspadaannya dan tertawa pelan lagi.
Apa... ...apa itu berhasil?
"Hmm, hmm, aku paham maksudmu, jadi kamu tertarik dengan OSIS. Tanggapan dari siswa-siswi kelas sepuluh pada masa orientasi tahun ini memang agak kurang, dan aku tidak berpikir ada banyak harapan karena tidak ada yang datang berkunjung. ...Hmm, aku rasa kamu punya sikap yang baik."
"Ah, haha."
He-Hebat.
Suasana hatinya tampaknya mendingan sekarang, dan kayaknya aku dapat menghindari skenario terburuk.
Kalau begitu, aku mesti mundur secepatnya─
"Aku dapat meluangkan waktu setelah patroliku, jadi mari kita bicara lebih banyak sesudah itu. Apa kamu keberatan menunggu di dalam sebentar?"
"Ah, tidak, eum, aku belum berpikir sampai sejauh itu..."
"Ayolah, ayolah, tidak usah malu-malu. Aku akan menjelaskan semuanya dari awal!"
Dengan senpai yang tiba-tiba jadi bersemangat dan mencondongkan tubuhnya ke depan, mau tidak mau aku mundur selangkah.
Di-Dia jauh lebih berat dari yang aku duga. Meskipun dia punya penampilan yang lembut, apa dia benar-benar tipe yang agresif di dalam? Aku tahu aku tidak dapat mengandalkan kesanku dari penampilan luar!
"Ah, atau kalau tidak, apa kamu mau bergabung sementara? Ajang OSIS berikutnya baru saja direncanakan, jadi aku rasa kamu akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik setelah kamu benar-benar mengalaminya secara langsung."
"Tidak, itu..."
"Apa kamu mengikuti ekskul lainnya? Bagaimana dengan les atau bimbel? Buat saat ini, bisakah kamu memberi tahu namamu padaku?"
Tunggu, ini bergerak terlalu cepat!
Pada titik ini, mau tidak mau aku bertindak aku tidak wajar. Aku mesti mengarahkan kapal ke arah untuk mengakhiri obrolan...!
"Eum, kayak yang aku bilang! Aku masih di tengah-tengah merenungkan ide itu."
"Ah, tidak, tidak. Ketimbang merenung kayak gitu, kamu mesti mencoba dulu. Mari kita gunakan waktu yang kita punya buat merenung untuk bergerak. Kamu sudah datang jauh-jauh ke Kyou-Nishi, jadi mengapa menyia-nyiakannya dengan tidak melakukan apa yang cuma dapat kamu lakukan di sini?"
Ada apa dengan antusiasme yang begitu tinggi?! Dia pun tidak kayak yang tampak dari luar!
"Kamu itu seorang siswa baru, jadi kamu mesti bergerak dengan lebih antusias. Kamu tidak dapat jadi populer di kalangan cewek-cewek dengan jadi seorang herbivora, loh?"
"Euh...!"
Aku mulai bergerak! Aku berakting dengan sangat antusias! Ini demi mewujudkan komedi romantis terjadi di dunia nyata!
Senpai melirik jam tangan di tangan kirinya dan menghela napas sebelum melanjutkan.
"Begini, kita telah membuang banyak waktu buat melakukan ini. Dengan waktu ini, kita dapat melakukan obrolan yang lebih konstruktif, bukan? Mari kita tidak membuang-buang waktu lagi, oke?"
S*alan kamu, cara bicaramu itu membuatku jengkel!
Saat aku hendak membuka mulutku buat membalas ucapannya,
"Ketua Kelas. Ibu Guru bilang kamu mesti kembali secepatnya."
Sebuah suara yang tidak asing terdengar dari belakangku.
Tiba-tiba aku kembali sadar dan berbalik.
Itu tidak lain tidak bukan adalah "kaki tangan"-ku, Uenohara, yang berdiri di sana dengan wajahnya yang datar.
"Ibu Guru bertanya mengapa lama sekali cuma untuk mengirimkan daftar nama. Kamu masih harus mencetak beberapa nama, bukan?"
Dengan mudahnya, Uenohara berbicara soal sebuah "pengaturan" rekayasa.
Ini jelas merupakan sekoci penyelamat.
Aku segera memutuskan buat mengikutinya.
"...Maafkan aku. Aku sebenarnya sedang mengerjakan beberapa tugas."
"Ah, begitu ya... ...Astaga, mestinya kamu bilang begitu sejak awal."
Senpai tampak sadar, tertawa pelan sebelum mengambil langkah mundur.
Aku menelan kata-kata, "Tidak ada waktu buat bilang apa-apa, loh!" dan pergi dengan setengah berlari.
"Ah, anak kelas sepuluh! Paling tidak beri tahu aku siapa namamu!"
"Maafkan aku, sampai jumpa lagi!"
Aku berteriak, memotong seruan Senpai, dan berbaris di samping Uenohara, yang berdiri di sudut lorong.
Dari sana, kami dengan cepat berjalan kembali ke lorong penghubung, dan begitu kami tidak tampak, aku menghela napas panjang.
"...Maaf, kamu telah menyelamatkanku di sana."
"Itu semua karena kamu terbawa suasana dan masuk terlalu dalam."
Uenohara bergumam dengan wajah "yare-yare".
Saat ini, sikapnya yang biasa ini terasa kayak sesuatu yang dapat aku andalkan...
"Jadi, kayak gitulah dia kayaknya. Apa kayaknya dia akan mendapatkan evaluasi "Heroin Berperingkat S"?"
"...Buat saat ini, kita mesti fokus pada pengumpulan informasi. Mm?"
Kayak yang aku duga, data itu memang penting. Informasi memang sangat penting.
*
"Kayaknya aku telah meremehkanmu."
Di dekat pintu masuk tamu gedung sekolah bagian utara.
Aku bergumam sambil mengambil posisi agar dapat melihat gerbang utama.
Sekeliling kami benar-benar diselimuti kegelapan, dan area di dekat gerbang sekolah penuh dengan siswa-siswi yang sedang dalam perjalanan pulang dari ekskul.
"...Ada apa dengan pernyataan yang mendadak sekali ini?"
Uenohara, yang sedang bersandar di dinding gedung sekolah dengan tangan terlipat, mengerjap ke arahku.
"Iya, aku tidak menyangka kamu mampu sampai sejauh ini."
Setelah kejadian dengan Hinoharu-senpai, aku telah mengulangi "Investigasi Tatap Muka" yang sama dengan materi lainnya, tetapi begitu aku menyuruh Uenohara mencobanya, dia mampu mengekstrak informasi yang diinginkan tiga kali lebih cepat ketimbang yang dapat aku lakukan.
Di samping kemampuannya mengarahkan obrolan secara tepat, kemampuannya buat memahami seluk-beluk perasaan dan emosi orang lain, dan segera menerapkannya ke dalam obrolannya, memang sungguh luar biasa. Selain itu, pun, bahkan saat masalah yang tidak terduga terjadi, dia tidak gentar sama sekali, melainkan memanfaatkan situasi untuk menggali informasi yang lebih rinci.
Kalau dipikir-pikir, dia sudah mempermainkanku sejak pertama kali kami bertemu, dan kemampuan alami serta kecepatan berpikirnya jauh lebih tinggi ketimbang aku, jadi, hal ini mungkin sudah dapat aku duga. Seakan-akan dia merupakan sang protagonis dalam serial Ore TUEEE*. Kayak yang aku duga dari Uenohara-san, dia cukup cakap.
(TL Note: Merujuk pada serial yang menampilkan karakter utama yang terlalu kuat.)
"Astaga, kamu benar-benar membuat pelaku utama kehilangan muka. Aku benar-benar berpikir kalau investigasi merupakan spesialisasiku."
"Itu bukanlah masalah besar. Lagipula, ini semua cuma aku yang mengulangi apa yang Nagasaka lakukan."
Uenohara bergumam sambil memutar-mutar rambut di belakang kepalanya.
"Sudah aku bilang tidak usah merendah. Ini memang membuatku frustrasi, tetapi kamu lebih jago dariku dalam hal 'Investigasi Tatap Muka'. Sampai-sampai aku lebih suka menyerahkan semua tugas ini padamu."
Ini bahkan mungkin merupakan cara yang bagus buat membagi beban kerja. Tidak ada kekhawatiran kalau dia akan melakukan kesalahan besar karena ketidakberesan kayak yang aku lakukan, dan benar-benar ada rasa aman yang berbeda.
"Kalau begitu... ...lanjutkan, berikutnya yaitu jenis yang terakhir."
"...Apa itu barusan?"
Uenohara memisahkan punggungnya dari dinding, mengambil setengah langkah ke arahku.
"Yang terakhir yaitu 'Pengamatan Perilaku'. Tidak kayak 'Investigasi Tatap Muka' di mana informasi diperoleh melalui obrolan, inilah metode yang memanfaatkan gerak tubuh dan gerakan untuk menguraikan kecenderungan perilaku dan perasaan."
"Apa maksudmu dengan 'pengamaran'? ...Mustahil, apa kamu berniat melakukan pemotretan diam-diam kali ini?"
"Dasar bodoh, itu akan membuatmu terlibat dalam tindakan kriminal. Tidak peduli bagaimana kamu menganggapnya, ini di luar batas buat membuat kisah komedi romantis dari hasil melakukan pemotretan diam-diam siang dan malam. Berpikirlah secara sah, secara sah."
"Aku benar-benar tidak tahu apa kamu punya akal sehat atau tidak..."
Aku mengabaikan suara jijik Uenohara dan melanjutkan penjelasanku. Kayaknya aku mulai terbiasa dengan pola kejadian kayak gini.
"Saat mengamati, ada baiknya buat mencatat hal-hal secara objektif dan tidak subjektif. Selain itu, perhatikan jumlah kejadian tindakan yang berulang."
"Jumlah kejadian?"
"Berapa kali mereka bertindak. Misalnya, kalau mereka terus melakukan sesuatu kayak menyentuh telinga atau menyilangkan kaki, berapa kali mereka melakukannya? Catat itu juga."
"...Apa ada gunanya melakukan itu?"
"Tindakan berulang yaitu perilaku yang dilakukan secara tidak sadar. Jadi, mereka sering kali terkait dengan perasaan dan emosi orang tersebut."
Contohnya, kalau seseorang menyilangkan kakinya saat merasa gugup, kalian dapat secara tidak langsung mengukur tingkat kegugupan dengan melihat berapa kali mereka melakukannya.
"Iya, karena sering kali ada faktor lain yang terlibat, sebenarnya tidak sesederhana itu."
"Hmm... ...Jadi, siapa yang akan kamu pantau?"
"Kali ini, Kiyosato-san akan jadi targetnya. Sudah hampir waktunya buatnya untuk menyelesaikan ekskulnya, jadi aku akan menemaninya di bus pulang sambil mengajaknya bicara. Aku akan memancing berbagai tanggapan melalui obrolan, dan kamu dapat mencatatnya sambil berpura-pura jadi orang asing."
Kayak yang sudah aku duga, ada baiknya aku yang menangani obrolan dengan Kiyosato-san ketimbang menyerahkannya pada Uenohara. Asalkan bukan orang yang baru pertama kali aku temui, aku sudah punya bekal informasi sebelumnya. Tidak ada alasan buat mempermalukan diriku sendiri kayak waktu itu dengan Senpai.
Uenohara mengangguk sebelum membuka mulutnya.
"Ngomong-ngomong, apa kamu punya perkiraan kasar soal berapa banyak kejadian yang mestinya dapat aku pantau?"
"Itu benar... ...Iya, mungkin kita bisa menargetkan sekitar 50 secara keseluruhan."
"Tunggu, 50? Bukannya itu terlalu banyak...?"
"Kamu pasti mampu melakukannya. Aku mengandalkanmu."
"...Aku tidak mau kamu mengandalkanku buat hal kayak gitu."
Aku menyeringai pada Uenohara, yang menjawabku dengan wajah yare-yare. Tentu saja, dia menjawab, "Menjijikkan." Kamu pasti mudah merasa takut, bukan?
"Ah, itu benar. Sebelum kita mulai... ...ini, perlengkapan penyamaran."
Sambil bilang begini, aku memberikan Uenohara sebuah kacamata, rambut palsu, dan dasi merah buat siswi kelas sebelas.
"Jujur saja, aku lebih suka kamu berganti ke pakaian biasa atau bahkan seragam sekolah lain, tetapi... ...iya, Uenohara, kamu dan Kiyosato-san memang belum saling kenal. Jadi ini mestinya ini berhasil."
"Tidak, tidak, tidak, apa yang kamu bicarakan? Itu tidak akan berhasil sama sekali."
Mempertahankan wajah datarnya, Uenohara melambaikan tangannya menolak.
Menurutmu, apa ini sama saja dengan bermain-main dengan cosplay?
"Kayak, eh? Kamu mau aku memakainya? Apa kamu sudah gila?"
"Kayak yang aku bilang, ini cuma buat berjaga-jaga. Kalau ketahuan kalau kamu sedang menyelidiki, aku tidak bisa menjamin keselamatanmu."
"Iya... ...itu mungkin saja benar."
"Begini, kalau kamu menganggapnya aneh, maka itu akan tampak aneh. Kalau kamu menganggapnya sebagai peralatan pertahanan diri, maka itulah pilihan yang masuk akal. Apa aku salah?"
Uenohara menelan kata-kata yang akan dia ucapkan dengan wajahnya yang diam dan datar, lalu menengok ke arah kanan-kiri, antara peralatan dan aku, dua atau tiga kali.
Lalu dia menghela napas panjang, seakan-akan dia sudah menyerah pada segalanya.
"...Euh, oke. Aku mengerti, aku sudah mengerti. Berpalinglah."
Lalu, dia merenggut penyamaran itu dari tanganku dan menghilang di balik lemari sepatu.
Tetapi tetap saja, Uenohara sangat terbuka dengan segala macam hal, selama itu masuk akal. Dia mudah— Eh, lebih serius dari yang aku kira, hmm.
Sewaktu aku memikirkan hal ini, Uenohara, yang dengan cepat berganti pakaian jadi seorang cewek berkacamata dan rambut yang digerai, secara diam-diam kembali. Mungkin buat menyesuaikan dengan suasananya, dia telah merapikan seragamnya yang dia kenakan secara santai dan bahkan melepas kalung di lehernya.
Selain itu, saat dia memutuskan buat melakukan sesuatu, dia mengoptimalkannya dengan sempurna. Dia benar-benar berbakat, kaki tangan ini.
"...Bagaimana menurutmu? Apa ada rambutku yang mencuat keluar?"
Tanya Uenohara sambil membetulkan posisi kacamatanya dengan kedua tangannya.
"Hmm, ah, itu bagus."
Tetapi tetap saja, bagaimana aku mesti bilangnya ya, ....Ini terasa kayak citra "sebelum" jadi cewek SMA yang solid.
Benar, ini kayak menonton pemutaran ulang dari hal yang terjadi di masa kecil, di mana teman masa kecil tiba-tiba jadi imut setelah belajar berdandan...
"Ah, mengapa kamu bukan teman masa kecilku...?"
"Iyuh, itu benar-benar membuatku merinding. Itu memang hal paling menjijikkan yang pernah aku dengar sepanjang hari."
Begitulah gumam Uenohara dengan jijik setelah mundur sekitar tiga langkah.
"Hei, kamu sungguh-sungguh membenci teman masa kecil, bukan? Aku mau kamu tahu, bahwa yang kita bicarakan itu orang yang, selain paling memahami dan mendukung sang protagonis, juga yang paling lama mengenalnya, dengan hubungan yang dekat, bahkan menyaingi hubungan anggota keluarga! Inilah karakter yang punya posisi unik dan istimewa, oke! Sepanjang hidupku, aku mau seseorang memberiku bento buatan sendiri setiap pagi sambil bilang 'Itu karena aku membuat terlalu banyak,' loh?!"
"Bukan hal yang membuatku tidak suka yaitu reaksimu, Nagasaka. Aku tidak terlalu menolak ide soal teman masa kecil atau semacamnya."
Aku mendengus balik padanya, lalu kembali menatap gerbang sekolah.
—Lalu, beberapa menit kemudian.
Kami melihat sekelompok orang dengan tas raket yang tampak kayak anggota Ekskul Tenis muncul.
Di depan tempat parkir sepeda, sesosok tubuh melambaikan tangan dengan riang dan terpisah dari yang lain.
Tidak salah lagi, itulah Kiyosato-san.
"Bagus sekali. Kalau begitu, mari kita berangkat. Aku mengandalkanmu, rekan."
"Aku akan mengikuti pepatah yang bilang bahwa sekali kamu menelan racun, kamu juga mesti menjilat piringnya..."
Kami mengikuti Kiyosato-san dengan kecepatan yang cukup lambat agar tidak tampak.
*
Keluar dari gerbang utama, kami menuju halte bus di sebelah kanan kami.
Jalan di depan kami merupakan rute bus. Ada halte bus dengan nama "Kyougoku Nishi Koukou-Mae" yang seakan-akan bilang "Silakan gunakan bus ini untuk pergi ke sekolah," tetapi tidak banyak siswa-siswi yang menggunakan bus ini.
Di Kyou-Nishi, sebagian besar siswa-siswi pergi ke sekolah dengan menggunakan sepeda atau sepeda motor. Hal ini sebagian disebabkan karena banyaknya siswa-siswi yang merupakan anak kampung sini, dan parkir sepeda di stasiun terdekat juga gratis, jadi tidak ada alasan buat menggunakan bus.
Oleh karena itu, jumlah pengguna terbatas pada mereka yang tinggal di dekat rute bus atau mereka yang karena berbagai alasan cuma dapat menggunakan transportasi umum. Kiyosato-san termasuk dalam kategori yang pertama.
Aku melihatnya berdiri di halte bus yang jarang ada penggunanya, dan memanggilnya seakan-akan itu merupakan sebuah kebetulan.
"Ah, Kiyosato-san. Kerja bagus dengan latihan hari ini."
"...Nagasaka-kun?"
Saat aku memanggilnya, tubuhnya meliuk-liuk dan menoleh ke arahku.
Mungkin karena dia telah menyelesaikan ekskulnya, dia mengenakan seragam sekolah tetapi tanpa dasi. Karena dia biasanya berpakaian relatif rapi, ini memberinya kesan yang jauh lebih santai.
Ekspresi Kiyosato-san berubah jadi senyuman. Membalas dengan ucapan "Kerja bagus hari ini!" darinya sendiri, dia pun melambaikan tangannya. Saat dia melakukannya, aroma bunga sakura yang mengelilinginya dengan lembut mencapai lubang hidungku.
Yoi, dialah bidadari yang ceria bahkan setelah ekskulnya berakhir.
"Sungguh kebetulan sekali. Apa sepedamu masih rusak?"
"Iya, aku tidak dapat repot-repot membawanya ke bengkel. Aku rasa aku dapat mengatasinya selama aku dapat menggunakan tiket bus."
Bilang begini, aku tersenyum padanya.
Sepedaku tidak benar-benar rusak atau semacamnya. Itu merupakan "pengaturan" agar aku dapat naik bus ke sekolah. Kebetulan, ini berarti aku mesti membayar ongkos naik bus, tetapi mau bagaimana lagi karena itu memang ongkos yang dibutuhkan. Kisah komedi romantis memang membutuhkan ongkos.
"Apa kamu kembali belajar lagi hari ini? Tahun ajaran baru saja dimulai dan kamu sudah bekerja sangat keras, ya."
"Tidak, hari ini aku melaksanakan tugas serabutan sebagai Ketua Kelas. Aku jadi sering disuruh-suruh cuma karena aku ikut Ekskul Pulang-Pergi."
Bilang begini, aku mengangkat bahuku. Lagipula, membawa daftar nama ke Senpai merupakan semacam tugas serabutan, jadi aku tidak berbohong. Itu juga merupakan alibi yang bagus buatku berkeliaran di sekitar sekolah.
"Ahaha, Ibu Tooshima benar-benar bekerja keras. Terima kasih atas kerja kerasnya!"
"Karena aku yang mencalonkan diri sebagai Ketua Kelas, aku tidak dapat mengeluh. Mungkin mestinya aku tidak terlalu termotivasi..."
"Tetapi tetap saja, Nagasaka, kalau kamu tidak jadi sukarelawan, maka orang lain akan dijadikan tumbal, jadi aku yakin semua orang berterima kasih padamu. Sesuatu kayak 'Terima kasih, Ketua Kelas, aku tidak akan melupakanmu sampai waktu makan malam."
"Yoi, dengan kata lain, agak cepat dilupakan."
Menempatkan tangan ke mulutnya, Kiyosato-san terkikik. Meskipun itu setelah ekskul, rasanya kayak tidak ada sedikitpun kotoran di rambut hitamnya yang indah, yang bergoyang seiring dengan naik turunnya bahunya.
Bahkan gerakannya yang sepele itu begitu sempurna... ...Kalau ini merupakan sebuah novel ringan, ini akan segera memenuhi syarat untuk sebuah ilustrasi.
(TL Note: Ini memang novel ringan, tetapi mana Ilustrasi buat adegan ini? Ngadi-Ngadi aja lu Author.)
Tiba-tiba penasaran, aku melirik ke arah Uenohara dengan cara yang tidak tampak oleh Kiyosato-san. Dia diam-diam berdiri di antara dua orang, mengutak-atik ponsel pintarnya. Cukup teliti bagaimana dia tidak melihat ke arah sini sama sekali.
Sambil terus berbasa-basi dengan Kiyosato-san, bus pun tiba. Cuma ada satu rute, jadi kami berdua langsung naik tanpa mesti mengecek tujuannya.
Sebagian besar penumpang yaitu orang tua atau siswa-siswi. Bus itu masih jauh dari penuh, tetapi bangku-bangkunya terisi sampai batas tertentu. Kayak yang dapat aku duga, kayaknya mustahil buat kami untuk duduk berdampingan.
Aku menuntun Kiyosato ke bangku samping di dekat pintu masuk dan berdiri di depannya, berpegangan pada salah satu tali pengikat. Pada posisi ini, akan mudah untuk melihat apa yang terjadi di sini dari bangku belakang.
Aku cukup menerapkan obrolan rutin "Silakan lanjutkan", dan aku mengambil posisi yang aku mau.
"Apa kamu yakin tidak apa-apa kalau cuma aku yang duduk? Nagasaka-kun, mengapa kamu tidak duduk di tempat lain saja...?"
"Tidak, aku tidak apa-apa. Tolong bantu anggota Ekskul Pulang-Pergi ini buat menghilangkan rasa malasnya berolahraga."
"Ah, kamu terdengar kayak pekerja kantoran di pusat kota."
Ngomong-ngomong, Uenohara kayaknya sudah menebak maksudku dan duduk di bangku pertama di bagian atas tangga.
Aku bahkan tidak memberinya isyarat apa-apa. Pada tingkat ini, aku menduga kalau dia sudah menguping pikiranku...
─ Pintu ditutup dengan suara desiran, dan bus pun berangkat.
Aku akan naik bus ke stasiun, sementara Kiyosato-san akan tetap berada di dalam bus sampai mencapai area perumahan. Waktu itu kurang dari sepuluh menit, jadi mari kita manfaatkan sebaik-baiknya.
Aku mengeluarkan sebuah topik dengan tingkat keberhasilan 80% dari simpananku dan mulai berbicara.
"Ah iya, aku sudah membaca buku yang kamu pinjamkan tempo hari. Sangat menarik, bukan?"
"Ah, apa aku bilang, menarik, bukan?"
Wajah Kiyosato-san langsung berbinar.
"Di antara kisah-kisah misteri, ini merupakan salah satu kisah yang tidak lazim. Kayak, kamu tahu aturan-aturan yang sudah ditetapkan sebelumnya yang bilang kalau kamu tidak boleh melakukan X? Kisah ini sama sekali tidak menghiraukan aturan-aturan tersebut, kayak mempertanyakan apa perlu buat mengikutinya. Dan itu sangat menyegarkan saat segala sesuatunya jadi lingkaran penuh! Aku mempertimbangkan bahwa mungkin ada baiknya memulai dengan serial yang lebih orisinal, tetapi aku rasa Nagasaka-kun mungkin lebih menyukai jenis ini, jadi..."
Kiyosato-san dengan gembira menceritakan kesan-kesannya dengan cepat.
Dia dengan mudah menangkap topik yang berkaitan dengan minatnya, dan kalau aku sedang membahas topik yang berhubungan dengan buku kayak gini, dia bergegas membicarakan detailnya kayak seorang otaku.
"Dan kemudian Profesor itu menjawab, 'Bukannya hal-hal yang tidak berguna itu lebih seru?"
Kiyosato mengubah nada suaranya agar sesuai dengan setiap adegan, ekspresi wajahnya berubah secara beruntun, seakan-akan dia merupakan karakter yang sesungguhnya dalam kisah itu.
Kepolosannya yang kayak anak kecil. Inilah sisi imut dan menggemaskan yang membedakannya dari heroin tipe bidadari yang biasanya. Dari sudut pandang heroin kisah komedi romantis, hal semacam ini mendapat nilai tinggi.
Mungkin setelah selesai menceritakan kisahnya sepuas-puasnya, Kiyosato-san kembali sadar, menggaruk-garuk pipinya sambil memalingkan mukanya karena malu.
"Dan aku melakukannya lagi. ...Ahaha, maafkan aku. Itu pasti membuatmu kesal..."
"Tidak, tidak, tidak sama sekali! Aku tahu persis bagaimana perasaanmu."
Lagipula, aku jadi lebih bersemangat ketimbang ini saat aku berbicara soal kisah komedi romantis. Meskipun beberapa hari yang lalu, Uenohara sempat menunda saat aku bilang hal itu padanya di telepon.
"Ah, panas sekali. Padahal ini baru bulan April."
Mungkin buat menutupi kemerahan di wajahnya, Kiyosato-san memegang bagian dada kemeja putihnya dan mulai mengipasi dirinya. Aku terkejut saat melihat sekilas tulang selangkanya yang pucat di bagian dasar kerah bajunya yang tidak dikancingkan.
Kiyosato-san bisa sangat atletis dalam beberapa aspek, dan kadang-kadang berperilaku kasar.
Fakta bahwa dia melakukan hal yang begitu atletis dengan penampilannya yang bersih dan rapi serta sosoknya yang glamor, dipadukan dengan efek celah, menusuk hati dengan kekuatan yang cuma menipu. Berapa banyak atribut yang dimilikinya? Luar biasa. Heroin utama ini sungguh luar biasa.
Setiap kali dia mengipasi dadanya, aroma lembut bunga sakura menyeruak. Tulang selangkanya yang ramping dan kencang mengintip ke arah kalian. Dan di sana, sedikit lebih jauh ke bawah, di area terlarang yang diselimuti kegelapan yang hampir dapat kalian lihat tetapi tidak dapat kalian lihat, ada sesuatu yang melenting, indah, berukuran besar, kayak toing toing, boing boing, wuing wuing!
...Saat aku memikirkan hal ini, ponsel pintar di sakuku bergetar.
Ayolah, aku sedang menjelaskan sesuatu yang sangat penting untuk sebuah kisah komedi romantis! Jangan menyelaku!
"Sangat mudah untuk melihat di mana kamu menatap, loh."
Pada saat yang sama saat pesan itu muncul pada layar notifikasi, aku merasakan gelombang kesuraman dari samping, dan seketika aku jadi tenang.
Ah iya, kamu ada di sana, bukan? Uenohara-san...
Dengan tekad yang kuat, aku mengalihkan pandanganku ke rambut Kiyosato-san yang bergoyang, dan untuk sementara waktu, aku memutuskan untuk menggunakan obrolan yang tidak berbahaya untuk menenangkan pikiranku.
Mengenai isinya, kami berbicara soal betapa lezatnya roti bluberi dari warung, betapa sulitnya pelajaran di SMA, hal semacam itu.
"...Tetapi tetap saja, Kiyosato-san, bukannya nilai Bahasa Jepang Modern-mu sangat bagus? Aku dengar kamu ada di posisi lima besar untuk ujian masuk."
"Tidak, tidak, tidak, bukan kayak gitu, aku cuma suka membaca. Dibandingkan denganmu, Nagasaka-kun, aku biasa saja, oke."
Kiyosato-san melambaikan tangannya dari satu sisi ke sisi lain buat menyangkal.
Iya, buatku, ini bukanlah sesuatu yang sangat aku banggakan. Hanya saja aku menghabiskan lebih banyak waktu buat itu ketimbang yang lainnya. Maksudku, wawasanku soal investigasi tidak berguna saat ujian...
Saat aku memikirkan hal ini dalam pikiranku, bus tiba-tiba bergoyang ke samping. Hal ini menyebabkan poni Kiyosato-san ikut bergoyang, menutupi wajahnya.
Tanpa sadar, dia mengangkat rambut di sekitar matanya dengan jari-jarinya dan menyapukannya ke telinga kanannya. Gerakan ini menegaskan tahi lalatnya di bawah mata kanannya, yang biasanya tersembunyi oleh rambutnya.
"Aku jadi ingat."
Lalu, dengan nada seolah-olah dia baru saja mengingat sesuatu.
"Nagasaka-kun, mengapa kamu bersusah payah datang ke sekolah di sini dari SMP yang begitu jauh?"
Pertanyaan yang tidak terduga itu membuat jantungku berdetak lebih cepat.
"...Mengapa tiba-tiba?"
Tenanglah.
Kemungkinan besar dia tidak bermaksud apa-apa.
"Iya, aku cuma penasaran apa ada alasan mengapa kamu tidak memilih SMA yang dekat. Perjalanan pulang pergi pasti sulit, bukan?"
...Ah, begitu ya, jadi begitu.
Aku diam-diam menepuk dadaku, tersenyum kecut, dan lalu berbicara.
"Memang sulit, itu sudah pasti. Tetapi Kyou-Nishi terkenal sebagai sekolah yang bagus, jadi ada beberapa orang yang mau belajar di sini meskipun letaknya jauh. Jumlah sekolah di daerah ini juga tidak sebanyak di kota."
Sejujurnya, prefektur kami cukup terpencil. Kalau kalian mencoba memilih sekolah berdasarkan tradisi sekolah atau nilai deviasi kalian, pilihan yang ada cuma sedikit dan jauh di antara keduanya. Bukan hal yang aneh kalau kalian mesti menempuh perjalanan lebih dari satu jam sekali jalan ke SMA di tempat yang jauh.
"Sekolah ini sangat populer di kalangan mereka yang bukan cuma mau belajar saja, tetapi juga bersenang-senang di sekolah. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai sekolah festival."
Kiyosato-san bergumam, "Ah?" dan lalu tersenyum dengan ekspresi wajah yang agak terganggu.
"Itu masuk akal. Aku tidak akrab dengan daerah sini, jadi aku tidak tahu apa-apa soal itu."
Ah, begitu ya. Dia baru saja pindah ke sini, jadi tidak mungkin dia tahu bagaimana rasanya berangkat sekolah ke prefektur lain.
"...Di sisi lain, mengapa kamu memilih buat bersekolah di SMA kita, Kiyosato-san?"
Aku memutuskan buat mengambil kesempatan ini buat mengembalikan pertanyaan tersebut.
Inilah kesempatan yang bagus untuk mendapatkan informasi baru, dan aku tidak mau kehilangan muka sebagai pelaku utama yang gagal dalam investigasi tatap muka. Aku juga mesti mendapatkan hasil dari hal ini.
"Itu cuma karena itu dekat dengan rumah dan skor penyimpangannya dekat, aku rasa? Lagipula, aku tidak punya waktu untuk mempelajari pilihannya secara mendetail."
Jawab Kiyosato-san sambil tersenyum kecut.
"Jadi kamu tidak terlalu memperhatikan rekam jejak akademis atau ekskul di sekolah itu?"
"Tidak, aku sama sekali tidak peduli dengan hal itu. Maksudku, bahkan tenis cuma sebuah hobi. Selama ada ekskul, itu sudah cukup bagus."
Dengan senyuman yang sama kayak biasanya, dia menepuk-nepuk tas raketnya yang disandarkan di sampingnya.
Hmm, jadi kemampuannya sudah berada di tingkat nasional meskipun tenis cuma sekadar hobi... ...rasanya kayak curang. Aku kira kayak yang kalian duga, kemampuan atletisnya juga ada pada level 2 Dimensi secara default.
Saat aku sedang mencatat informasi baru dalam memo otak internalku, Kiyosato-san mengendus dan lalu menggerakkan matanya dari satu sisi ke sisi lain.
Selanjutnya, dia menatap mataku dan berbicara dengan nada suara yang ringan.
"Iya, apapun itu, selama dapat bisa menjalani kehidupan sekolah yang normal, itulah yang terpenting. Memang biasa saja, tanpa sesuatu yang tidak masuk akal."
Lalu, Kiyosato-san tertawa lagi dan mengedipkan matanya padaku.
Eh. Ada apa dengan itu? Itu sangat imut. Aku belum pernah kepikiran kalau kedipan mata itu sangat imut. Apa dia seorang bidadari yang turun ke bumi? Sungguh luar biasa, aku bisa naik ke kayangan, loh?
Saat aku kehilangan kata-kata karena keterkejutan akan kekuatan dua dimensi yang melonjak keluar, tiba-tiba aku mendengar suara lonceng berbunyi. "Pemberhentian berikutnya yaitu Stasiun Kyougoku, Stasiun Kyougoku," lanjut pengumuman di dalam bus.
...Mmm, sangat, sangat disesalkan, tetapi kayaknya cuma segitu saja buat hari ini.
"Ah, kita sudah sampai di stasiun. Nagasaka-kun, kamu akan naik kereta api berikutnya, bukan? Pasti berat karena perjalananmu masih panjang."
"Ahaha, oke, aku akan santai saja sambil belajar dalam perjalanan pulang."
"Ah, keseriusan yang alami itu terasa kayak sesuatu yang akan dilakukan oleh Ketua Kelas."
Tidak ada maknanya jadi Ketua Kelas kalau kamu bukan cewek, sih. Mengapa mesti aku...?
Aku berpamitan dengan Kiyosato-san sambil melampiaskan kata-kata kasar di dalam hatiku, dan aku (bersama Uenohara) turun dari bus.
Saat kami akan berangkat, aku menengok ke belakang ke dalam bus dan melihat Kiyosato-san secara diam-diam memberikan bangkunya pada seorang lansia yang baru saja naik.
Gerakannya begitu alami sampai-sampai aku pun tidak merasakan sedikit pun keraguan darinya, dan aku pun menghela napas kagum.
Dia benar-benar seorang malaikat agung.
*
Setelah menyaksikan bus yang membawa Kiyosato-san pergi meninggalkan terminal, aku masuk ke dalam gedung stasiun.
Memasuki toko roti yang telah aku tentukan sebagai tempat rapat sebelumnya, aku mendapatkan bangku di pojok tanpa ada orang lain. Setelah memesan roti lapis daging, kopi, dan teh susu boba, aku kemudian duduk.
Kayaknya Uenohara belum datang... ...Iya, sambil menunggu, mari kita catat informasi baru. Tidak ada yang lebih baik ketimbang melakukannya selagi kenangan masih segar di benakku.
Saat aku membuat catatan di ponsel pintarku, Uenohara muncul tidak lama kemudian.
"Kerja bagus. Oke, duduklah."
Di atas nampan di tangannya ada festival roti musim semi yang terdiri dari roti krim melon, kornet cokelat, dan donat pasta kacang merah, tetapi karena aku sudah cukup terbiasa, aku tidak akan tsukkomi.
Selain itu, Uenohara juga sudah melepas rambut palsunya dan mengembalikan seragamnya kayak semula. Yang tidak biasanya, rambutnya diikat jadi kuncir dua, masing-masing di setiap sisi. Aku sempat mengira kalau dia sangat terlambat datang, tetapi kayaknya dia membuka penyamarannya di toilet terlebih dahulu.
"...Jadi, apa kamu menyukai itu?"
Karena beberapa alasan, dia membiarkan kacamata berbingkai bulat itu tetap terpasang.
Uenohara mengangkat bagian bawah bingkai dengan satu tangan, lalu berbicara dengan nada suara yang biasanya.
"Kita mungkin akan tampak oleh siswa-siswi lain, bukan? Meskipun sudah larut, ini masih stasiun terdekat."
"Kalau memang begitu, mengapa kamu tidak membiarkan rambut palsu itu...?"
"Begini, aku menyamar buat berpura-pura jadi orang asing, tetapi kalau aku tampak persis sama, apa gunanya? Gunakanlah akal sehatmu, akal sehatmu."
"Rutinitasku dicuri?!"
Tepat saat aku berpikir kalau aku sedang membuat sesuatu kayak slogan, dia menggunakannya buat membalasku, s*alan!
Saat aku dengan sedih menelusuri roti lapis daging itu, Uenohara, yang telah duduk di depanku, menghela napas kelelahan.
"Pokoknya, aku benar-benar lelah... ...jari-jariku terasa kayak mau copot."
"Hmm, kayaknya kamu perlu latihan otot. Jadi, bagaimana hasilnya?"
"Karaktermu saat bersama Kiyosato-san sangat menjijikkan. Ada apa dengan aktingmu yang payah itu, Nagasaka? Itu sama sekali tidak cocok buatmu."
"Bukan bagian itu, maksudku memo itu!"
Jadi, meskipun lelah, kamu masih tetap melanjutkan dialogmu!
"Iya, aku agak berhasil dengan bagian itu... ...ini dia."
Sambil bilang begini, Uenohara memberikan ponsel pintarnya padaku.
"Mari kita lihat..."
Aku dengan cepat menggulir ke bawah layar.
Hmm, kayaknya dia berhasil merekam cukup banyak. "...Memutar tangan" 5 kali, "Menutupkan rambut di telinga" 1 kali, "Menyentuh rok" 3 kali.
...Baguslah kalau dia juga mencatat jumlah kejadiannya. Ah, tetapi bagian soal "Nagasaka, menjulurkan bibir atas, menjijikkan" ini sepenuhnya subjektif. Sebenarnya, apa gunanya mengamatiku? Kita tidak perlu itu, hapus saja.
Aku membacanya sampai selesai, lalu menganggukkan kepalaku.
"Luar biasa, ini luar biasa. Atau lebih tepatnya, kamu akhirnya merekam hampir seratus kasus, kamu itu manusia super yang serba bisa."
"...Aku tidak terlalu serba bisa ataupun manusia super. Pertama-tama, kamu dapat melakukan lebih jago dari itu, bukannya benar begitu Nagasaka?"
"Bahkan aku cuma dapat menangani 15 insiden dalam satu menit. Kamu mestinya bangga."
Waktu satu kali dan satu tahunku hampir setara. Perbedaan spesifikasi bakat benar-benar brutal, bukan?
Aku menawari Uenohara, yang sedang menatap ke luar jendela sambil menyandarkan pipinya ke tangan, secangkir teh susu boba.
"Ini imbalanmu buat hari ini. Kamu pasti akan menyukainya."
"Ada apa dengan pilihan 'ini pasti berhasil karena dia seorang cewek SMA'? Itu bahkan sudah tidak populer lagi."
"Tidak, aku memilihnya karena itu tampak kayak hal termanis yang ada di menu, oke?"
Itu cuma kekacauan saat kamu berpikir untuk menggabungkannya dengan roti, tetapi itu mungkin tidak ada yang istimewa buat seseorang yang makan pai apel dengan susu kocok.
Uenohara mengedipkan matanya karena terkejut, lalu bergumam, "...Oke, aku akan mengambilnya" dan mengambil cangkirnya. Dia tidak langsung menyuapkannya ke mulutnya, melainkan menyodok boba di bagian bawah dengan sedotan.
"Tetapi tetap saja, aku dapat sekali lagi merasakan potensi tinggimu, Uenohara. Dan aku juga mendapatkan banyak informasi baru. Aku sangat senang kita melakukan pelatihan lapangan hari ini."
Aku mengangguk puas dan menyesap kopiku.
Mmm, enak sekali. Aku tahu kalau aku benar memilih kopi panas.
"...Hei, Nagasaka."
"Hmm?"
Uenohara bergumam dalam hati saat melihat boba yang tenggelam ke dasar.
Matanya yang sayu tampak mengandung lebih banyak emosi ketimbang biasanya, dan tanpa benar-benar tahu mengapa, aku menguatkan diri.
"Ini... ...apa kamu benar-benar melakukan ini setiap hari?"
"Iya, kecuali aku punya prioritas lain."
"Bukannya mestinya kamu melakukan hal lain? Kayak, belajar?"
"Aku melakukannya dengan baik di waktu luangku. Lagipula, ini membatasi saat nilaimu tidak mencapai tingkat tertentu."
Kayak yang aku bilang pada Kiyosato-san, pada dasarnya aku menggunakan perjalanan kereta api ke dan dari sekolah buat mempersiapkan diri dan mengulang pelajaran. Dalam kasusku, kalau aku mengendur, nilaiku akan segera turun ke tingkat rata-rata.
Tiba-tiba, tangan Uenohara yang memegang sedotan terhenti.
Lalu, dia berbicara dengan nada suara yang sangat serius.
"Mengapa kamu mau bersusah payah mewujudkan kisah komedi romantis? Apa sebenarnya kisah komedi romantis itu menurutmu, Nagasaka?"
Dia mengalihkan pandangan matanya yang berwarna coklat kemerahan ke arahku dan bertanya.
"...Ada apa tiba-tiba? Itu karena kisah komedi romantis itu ada. Apa lagi yang dapat terjadi?"
"Bukan itu yang aku maksud. Alasan yang lebih tepat."
Uenohara menjawab dengan jelas tanpa ada sanggahan atau tsukkomi.
...Ini semacam suasana yang luar biasa serius.
Aku melipat tanganku dan merenungkannya, bagaimana aku mesti menjawabnya.
Suara kerumunan orang yang ramai bergema di kejauhan.
Aku memejamkan mataku sejenak.
Lalu, perlahan-lahan, aku membuka mulutku.
"Begini, dunia komedi romantis. Inilah utopia dengan jaminan akhir yang bahagia."
"...Utopia?"
"Iya, penuh dengan romansa, persahabatan, drama emosional, kejadian-kejadian yang beruntung... ...Secara keseluruhan, penuh dengan semua hal yang didambakan oleh seorang siswa SMP ataupun SMA. Kalau seseorang dapat mengalaminya, itu pasti akan meningkatkan kehidupanmu. Keseluruhannya."
"..."
"Dan, dunia impian dan cita-cita kayak gitu selalu berakhir dengan akhir yang bahagia. Bahkan, meskipun ada lika-liku, meskipun ada momen yang menyakitkan dan menyedihkan di sepanjang jalan, namun selalu ada penebusan dan penghargaan pada akhirnya. Setiap karakter sampai pada akhir cerita dengan memperoleh sesuatu yang tidak tergantikan."
"Sesuatu yang tidak tergantikan..."
Mengulangi bagian itu dengan pelan, Uenohara lalu terdiam sekali lagi.
"Tetapi begini..."
Aku mengalihkan pandanganku, lalu melanjutkan.
"Pada akhirnya, cita-cita tetaplah cita-cita dan kenyataan tetaplah kenyataan. Paling tidak... ...aku sudah lama menyadari kalau dunia nyata yang aku jalani jauh dari kisah komedi romantis. Maksudku, aku tidak punya kemampuan kayak karakter protagonis, dan tidak ada seorang cewek pun yang punya sifat kayak heroin."
Tiba-tiba, aku melihat ke luar jendela. Aku melihat kerumunan orang yang datang dan pergi secara tidak teratur.
"Makanya di masa lalu, aku dulu cuma seorang pembaca novel ringan yang menyukai kisah komedi romantis kayak jutaan orang lainnya di negeri ini. Aku cuma seorang siswa SMP A, yang berharap dapat punya kehidupan sekolah kayak gitu, memperlakukannya kayak gitu memang urusan orang lain."
Lalu, aku, yang merupakan salah satu dari jutaan orang yang tidak bernama itu, memahami hal berikutnya alias menyerah.
"Dalam dunia nyataku di masa depan, akan ada pertemuan yang tidak tergantikan dengan orang-orang kayak dalam kisah komedi romantis. Tidak akan ada kehidupan sehari-hari yang memuaskan kayak dalam kisah komedi romantis. Dan... ...Kalau aku hidup setiap hari sambil bertahan dengan rasa hambar dan tidak berbau, tidak ada jaminan kalau aku akan mencapai akhir yang bahagia."
Makanya.
"Makanya selama waktu yang lama, aku membenci hal itu. Dunia nyata kayak gitu, dan juga diriku sendiri yang terseret oleh dunia nyata kayak gitu."
Setelah mengatakan semua itu, aku menarik napas dalam-dalam.
─Tetapi.
"Tetapi suatu hari... ...secara kebetulan, aku dapat membuat sebuah ajang kayak kisah komedi romantis."
Itu memang pemicu yang benar-benar kecil.
Saat merencanakan perjalanan sekolah, aku telah mengungkap informasi soal tempat-tempat wisata yang telah aku teliti sebagai bagian dari hobiku.
Mendengar hal ini, seorang cewek di kelasku berbisik di telingaku, menanyakan apa aku mau pergi bersamanya.
Itu memang kejadian yang sepele, tetapi...
"Pada saat itu, aku berpikir. Mungkin, utopia itu ada di tempat yang bahkan dapat aku jangkau."
Aku mengatupkan kedua tanganku erat-erat di atas meja.
"Kalau dipikir-pikir, para protagonis dalam kisah komedi romantis sangat beragam. Punya tokoh protagonis sebagai siswa SMA biasa memang sesuatu yang melampaui jalan cerita kerajaan dan masuk ke dalam kisah klasik, dan para penyendiri serta otaku saat ini jadi arus utama. Bahkan riajuu yang mestinya sudah mendapatkan kehidupan yang memuaskan dapat mengambil peran utama."
Dengan kata lain.
"Ini tidak ada hubungannya dengan karakteristik individu, lingkungan, atau faktor-faktor lainnya."
Lalu, aku berbicara dengan jelas, seakan-akan menelan setiap kata, satu per satu.
"Tidak peduli seberapa besar bakat yang kamu punya, tidak peduli seberapa sepi lingkunganmu, dan tidak peduli seberapa s*alnya dirimu... ...semua itu tidaklah penting. Kalau cuma ada satu syarat, yaitu..."
—Unsur yang dimiliki oleh semua protagonis.
"Untuk jadi diri sendiri."
"Makanya Nagasaka Kouhei cuma perlu melakukan apa yang dapat dilakukan Nagasaka Kouhei. Itulah satu-satunya syarat agar mewujudkan kisah komedi romantis dalam kehidupan nyata yang aku jalani... ...Tidak, membuat kehidupan nyata itu sendiri jadi kisah komedi romantis."
Aku berhenti di situ dan menarik napas dalam-dalam.
"...Iya, bagaimanapun juga. Utopia itu ada dalam jangkauan, jadi aku meraihnya. Itu saja yang mau aku bilang."
Aku mungkin telah berbicara terlalu bersemangat. Tenggorokanku benar-benar kering.
Aku meneguk secangkir kopi panas yang sudah hangat dan membasahi tenggorokanku. Hah, jadi kopi panas itu gagal. Mungkin aku akan minum air putih saja lain kali.
"...Ah, begitu ya."
Uenohara, yang tetap diam sepanjang waktu, memejamkan matanya dan berbisik.
Tanggapannya terdengar lebih emosional ketimbang biasanya. Tetapi dia segera kembali berbicara dengan nada suara datar kayak biasanya.
"Iya, mendengarmu terbawa suasana dengan perasaan 'Aku bilang sesuatu yang keren saat ini', membuatku jijik. Aku bahkan tidak bertanya soal persyaratan buat jadi sang protagonis, dan kamu langsung membicarakannya."
"Hei! Jangan meremehkanku saat aku benar-benar mencoba memberikan jawaban yang serius!"
"Maksudku, mengesampingkan apapun kisah komedi romantis itu, Nagasaka, kamu belum menjelaskan mengapa kamu mau mewujudkannya, bukan?"
Ah, kamu biasanya sangat tanggap, mengapa kamu tidak dapat mengerti?
"Begini, sudah aku bilang di awal, bukan? Kisah komedi romantis merupakan utopia dengan akhir yang dijamin bahagia."
"Iya, kamu memang bilang begitu..."
Uenohara memiringkan kepalanya sedikit. Dia masih belum mengerti.
"Dengan kata lain..."
Aku menjawab setelah batuk dan berdehem.
"Kalau kamu memikirkannya dengan cara lain ─ kalau kamu dapat mengubah kehidupan nyata jadi kisah komedi romantis, bukannya kamu akan mendapatkan akhir yang bahagia?"
"Aku membuat kisah komedi romantis jadi kenyataan sampai-sampai aku dapat punya akhir yang paling bahagia dalam kehidupan SMA-ku."
Mata Uenohara membelalak saat mendengar kata-kata itu. Mulutnya terus membuka dan menutup, menghirup udara.
Wajah aneh dan langka lainnya.
"Hei... ...apa kamu serius saat bilang begitu?"
"Tentu saja. Memangnya siapa di dunia ini yang tidak suka akhir yang bahagia?"
"...Kamu benar-benar orang yang bodoh dan dungu."
"Itu kesimpulanmu?!"
"Ini sangat tidak masuk akal sampai-sampai aku kehilangan kata-kata. Tidak ada logika yang masuk akal, dan soal akhir yang bahagia itu sangat buruk sampai-sampai itu tidak masuk akal."
"Ah ayolah, si rasionalis yang keras kepala ini!"
Jangan coba-coba mencari alasan, bahkan dalam hal kayak gitu!
Namun, saat aku hendak meminta teh susu bobaku kembali.
"Namun..."
Uenohara berbicara.
Suaranya terdengar jauh dan ada sedikit senyuman di wajahnya.
"Kebodohan besar itu. Itu sangat mirip denganmu, Nagasaka, jadi bukannya tidak apa-apa?"
Setelah bilang begitu, dia perlahan-lahan mendekatkan teh susu boba di tangannya ke mulutnya.
─Ini kayak aku, ya.
Itulah yang selalu aku bilang pada diriku sendiri. Meskipun...
Inilah pertama kalinya seseorang bilang begitu padaku.
Aku menggeliat di bangkuku, tiba-tiba merasa malu.
"Iya... ...alangkah baiknya kalau memang benar begitu."
"Itu bukan sesuatu yang dapat aku lakukan, loh. Aku tidak punya jati diriku sendiri buat tetap setia atau sesuatu yang unik buatku. Tidak ada yang kayak gitu."
"...Hah?"
Kata-kata yang diucapkan dengan begitu santai punya rasa tidak nyaman. Tetapi sebelum aku bisa bilang apa-apa lagi, Uenohara melanjutkan dengan sikapnya yang biasanya.
"Jadi selain tidak punya akal sehat dan seorang pemimpi, Nagasaka, kamu juga seorang yang narsis, membuatmu jadi orang yang sangat sulit. Buat seorang cewek, tipe cowok yang paling tidak dapat diterima."
"Itu bahkan lebih buruk ketimbang sebelumnya?!"
Aku tahu kalau dia tidak menganggapnya bagus...
*
Dari sana, kami segera membagikan data kami dan menyelesaikannya sampai rapat rencana aksi berikutnya.
"Jadi, selanjutnya yaitu pelatihan sebelumnya buat Latihan Sorak-Sorai Ouen. Itu saja dari pihakku buat saat ini. Apa kamu punya sesuatu buatku?"
Aku bertanya sambil menutup dokumen di tabletku.
Uenohara meletakkan tangannya ke mulutnya dan terdiam sejenak, mengendus, lalu bergumam pada dirinya sendiri.
"...Cuma buat memastikan saja, Nagasaka. Kamu tidak memakai parfum atau semacamnya, bukan?"
"Hah? Mengapa?"
"Iya, tentu saja tidak. Maaf, bukan apa-apa, kok."
Uenohara melambaikan tangannya pelan lalu mendekatkannya ke mulutnya, menggumamkan sesuatu pada dirinya sendiri, sambil berpikir.
Eh, apa jangan-jangan... ...aku tidak berbau keringat atau semacamnya, ya...?
"Eh, kalau maksudmu antiperspiran tanpa pewangi, maka aku menggunakan itu...?"
"Tidak, itu sudah cukup. Sebenarnya, itu menjijikkan. Aku mohon berhenti bicara."
"Sangat tidak masuk akal!"
Kamu yang bertanya duluan, loh!
Saat saya mengendus-endus tangan dan pakaianku buat mencari bau yang tidak biasanya, Uenohara menggelengkan kepalanya dan menghembuskan napas.
"...Cuma itu yang dapat terjadi, aku rasa. Buat saat ini, aku tidak akan bergerak."
"Apa yang kamu bicarakan...?"
Itu memang hal yang aneh buat dikatakan.
"Pokoknya. Apa yang mesti aku lakukan buat investigasi yang akan datang?"
"Hmm..."
Hmm, dia cukup proaktif dalam mencari tugasnya sendiri. Aku senang mendapati bahwa dia terus jadi orang yang cerdas, ehem, mengembangkan rasa sebagai kaki tangan.
Aku berpikir sejenak, lalu bilang padanya.
"Oke, aku akan menangani detail buat investigasi patroli harian dan semacamnya, jadi tidak usah khawatirkan itu. Hal-hal itu dapat aku lakukan sendiri tanpa membutuhkan bantuanmu."
"Ah, benarkah begitu?"
Uenohara mengalihkan pandangannya ke jendela dan bergumam pada dirinya sendiri.
"Sebagai gantinya, aku mau kamu bertanggung jawab atas 'Investigasi Tatap Muka' buat mengumpulkan informasi spesifik. Kamu jelas lebih cocok buat itu ketimbang aku, dan aku yakin kamu tidak akan membuat kesalahan dalam waktu dekat."
Mendengar kata-kata itu, Uenohara menoleh ke arahku dan mengacak-acak bagian belakang rambutnya sebelum menjawab.
"Oke... ...aku akan melakukan apa yang aku bisa. Ada beberapa hal yang membuatku penasaran, dan aku senang kamu tidak menyuruhku melakukan hal kayak hari ini setiap hari."
Saat dia bilang begini, Uenohara menaikkan kacamatanya.
...Jadi, dia menyukai kacamata itu?
"...Mestikah aku memberikan kacamata itu padamu? Lagipula harganya tidak terlalu mahal."
"Tidak, aku tidak menginginkannya. Kacamata itu jelek sekali. Meskipun cuma buat pajangan, mengapa kamu tidak memilih kacamata yang lebih bergaya?"
"Hei, memberi hadiah sepasang kacamata memang tanda yang penting, loh! Meskipun dengan Saekano*, yang terjadi malah sebaliknya!"
(TL Note: Merujuk pada kisah komedi romantis populer, seri novel ringan harem Saenai Heroine no Sodatekata.)
"Oke, oke. Menjijikkan, menjijikkan."
Jadi, pada akhirnya, kami menyimpulkan berbagai hal dengan suasana hati yang biasanya sebelum pergi.
─Kayak yang aku duga, aku pikir itu merupakan keputusan yang tepat buat merekrut Uenohara saat itu.
Awalnya, aku tidak berniat buat menunjukkan pada siapapun di belakang panggung kisah komedi romantis ini, tetapi... ...keberadaan kaki tangan yang dapat bekerja sama di belakang layar pasti akan menguntungkan buatku.
Aku yakin dengan cara ini, semuanya akan berhasil.
Aku akan memastikan bahwa Proyekku ─ Proyek kami ─ berhasil.
Tetapi...
Dalam dunia nyata ini, mustahil semuanya akan berjalan dengan mulus.
TL Note: Lanjut lagi guys, jangan lupa komentar ya, diem-diem bae, wkwk.
Follow Channel WhatsApp Resmi Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F
Baca juga:
• Jaku-Chara Tomozaki-kun Light Novel Jilid 1 Bahasa Indonesia