Tomodachi no Imouto ga Ore ni Dake Uzai [LN] - Jilid 8 Bab 1 - Lintas Ninja Translation

Bab 1
Kelompokku Iseng Terhadapku!

"S*alan, kayaknya hampir semua orang sudah ada di sini. Kita mungkin yang terakhir tiba."

"Kamulah yang hampir membuat kita terlambat, Aki. Aku harap kalian bahagia."

"Ayolah, Iroha yang membuat segalanya jadi rumit, jadi... ...Sebenarnya, bisakah kita melupakan hal ini saja? Tolong jangan bilang padaku kalau kamu berencana untuk menangguhkan itu padaku selama karyawisata."

"Hmf. Ya sudah, deh. Aku akan melepaskanmu dengan hukuman percobaan untuk saat ini."

"Terima kasih atas kemurahan hatimu."

Kami bergegas menuju Stasiun Tokyo, mata kami tertuju pada sekelompok siswa-siswi yang mengenakan seragam yang akrab dengan kami di depan. Sungguh pemandangan yang menakjubkan, melihat semua orang serasi, berbaris di alun-alun besar di luar stasiun besar.

Dari sini, kami akan naik kereta cepat ke Kyoto, jadi pemilihan yang masuk akal sebagai titik kumpul. Itu berarti berarti Mashiro dan aku akan bersebelahan di kereta sepanjang perjalanan ke sini —tepat setelah awal buruk kami hingga pagi hari.

Mashiro telah marah, menceramahiku dengan dingin soal bagaimana dia jadi pacarku, sementara Iroha cuma tertawa melihat reaksi panikku. Aku tidak percaya Iroha masih saja memancing-mancing, padahal dia mengetahui bagaimana perasaan Mashiro yang sesungguhnya padaku.

Mungkinkah itu bagian dari janjinya di Festival Budaya, untuk jadi lebih menyebalkan mulai sekarang?

Iya, terserahlah.

Kecanggungan berlanjut sepanjang perjalanan kereta di sini. Mengapa Ozu bersikeras berada di tempat lain saat aku sangat membutuhkannya? Ia menghabiskan malam sebelumnya di sebuah hotel dekat stasiun. Aku harap ia tidak mengungguliku kayak hampir tidak punya identitas apa-apa.

"Ah." Aku cuma bisa terkesiap saat melihat wajah Mashiro. Aku tahu banyak hal yang semestinya canggung, tetapi saat ini dia tampak semakin marah.

"Hei, Mashiro?"

"Apa?"

"Mari kita jadikan ini sebagai karyawisata yang menyenangkan, oke?"

"Aku akan dengan senang hati melakukannya, kalau saja kamu tidak memulai harimu dengan sangat menyebalkan."

Aku mesti bilang apa soal itu?

Aku sudah melakukan kesalahan pagi ini, tetapi aku masih mau mendorongnya untuk bersenang-senang. Aku masih ingat raut wajahnya saat Festival Musim Panas, saat kami sedang menonton kembang api dari atas pohon itu. Dia bilang kalau dia mengumpulkan keberanian untuk lebih dekat denganku, dan karyawisata ini semestinya jadi kesempatan besar buatnya untuk melakukan itu.

Aku masih tidak tahu di mana perasaanku berada, jadi mustahil buatku untuk bilang apa semuanya akan berjalan sesuai keinginan Mashiro. Apapun minat romantis dalam diriku, sejujurnya aku mau Mashiro punya kenangan indah soal karyawisata ini. Iya, aku tahu. Aku memang tidak bertanggung jawab dan egois.

Pipi Mashiro yang menggembung pun mengempis. "Terima kasih. Mari kita buat ini karyawisata yang indah, Aki." Dia masih tampak agak pendiam, tetapi nada suaranya terdengar agak melembut.

Kami berdua mulai berjalan lagi.

Salah satu siswa memperhatikan pendekatan kami dan dengan santai mengangkat tangannya sambil memanggil kami. Ia menyambut kami dengan senyuman yang ramah. Tentu saja, itu temanku satu-satunya — Kohinata Ozuma, atau dikenal sebagai Ozu, yang telah resmi mengukuhkan posisinya sebagai cowok paling tampan di sekolah sejak kemenangannya di kontes Raja Nevermore.

"Kalian berdua tampak bersenang-senang pagi ini."

"Kamu sudah tahu segalanya, bukan? Aku yakin kamu terhibur."

"Hah? Apa yang kamu bicarakan? Aku tidak tahu apa-apa soal Iroha yang mengambil keuntungan dari kenyataan kalau baik Ibu maupun aku tidak ada di rumah untuk menginap di apartemenmu, lalu bentrok dengan Tsukinomori-san."

"Itu merupakan detail yang sangat akurat buat seseorang yang tidak tahu apa-apa."

"Tebakan yang cerdas." Ozu menyeringai.

"Hngh... ...Itu tebakan yang buruk buat seseorang yang menghabiskan seluruh waktunya memikirkan pemrograman." Aku memelototinya.

Ozu pada dasarnya memang cowok yang baik, tetapi ia masih ada hubungannya dengan Iroha dan Otoha-san. Keluarga itu punya sifat jahat yang mengalir di pembuluh darah mereka.

Obrolan kami yang hening disela oleh hantaman keras di bahuku.

"Gah! ...Ah, ternyata kamu, Suzuki."

Aku berbalik arah. Ada Suzuki yang berotot, kulitnya coklat sawo matang, dan giginya yang menyeringai kinclong dan putih. Kemeja lengan pendeknya terbuka lebar, memperlihatkan kaus dalamnya pada dunia. Apa maksudmu ini musim gugur yang dingin?

Iya, tidak, yang jelas ia yakin kalau tingkat metabolismenya yang tinggi dapat mengatasinya.

Ia mulai berolahraga karena lelucon kecilku, dan saat ini setelah aku lihat-lihat, ia benar-benar sudah mengalami peningkatan. Ia duduk di dekatku di kelas, dan kami berakhir dalam kelompok yang sama untuk karyawisata. Hal itu mendorongku untuk akhirnya menghafal nama lengkapnya: Suzuki Takeshi.

Beban bahunya yang berotot di bahuku merupakan bukti yang aku butuhkan kalau kerja kerasnya sudah membuahkan hasil.

"Kamu tampak murung, Bang. Apa kamu sudah cukup berolahraga?"

"Pagi ini agak gila, jadi aku tidak dapat kesempatan. Tetapi aku pastikan padamu, aku berolahraga setiap hari tanpa henti."

"Senang mendengarnya! Itu baru anak didikku yang teladan!" Suzuki tertawa kayak kami sudah saling mengenal selama bertahun-tahun. Aku mungkin akan merasa ngeri dengan sikapnya belum lama ini, tetapi saat ini aku merasa tindakannya kayak gini sangatlah wajar, mengingat kami berada dalam kelompok yang sama. Aku penasaran mengapa ia bergabung dengan kelompokku padahal aku yakin ia pasti punya banyak teman cowok lain di kelas, jadi aku bertanya padanya.

"Aku bisa bergaul dengan cowok-cowok itu kapanpun aku mau, tetapi kalian kelihatannya sangat sibuk, seratus persen hampir sepanjang waktu. Jadi aku rasa aku akan mengambil kesempatan ini untuk mengenal kalian," jawabnya tanpa ragu-ragu.

Ia terlalu baik. Kalau saja aku tahu itu dari awal, mungkin aku akan benar-benar membantunya memenangkan hati Sumire.

Jadi, iya, ia berteman dengan kami karena kami berada di kelompok yang sama, tetapi kalau boleh jujur, sifat melekatnya itu agak mengganggu.

"Seorang anak didik teladan? Menjauhlah dari sini. Ditambah lagi, mengapa kamu bersikap seakan-akan kita ini bersahabat atau semacamnya?"

"Ayolah, mari berteman, oke? Kita akan jalan-jalan bersama! Bukannya menurutmu kita juga mesti akur, Kohinata?" Suzuki menyeringai pada Ozu, mendorong sandarannya.

Ozu tersendat, senyuman di wajahnya membeku. "E-Eum..." Sebuah lingkaran tidak terlihat berputar-putar di atas kepalanya sementara ia memilih respons yang optimal.

"Cobalah bersikap lembut pada kami, Suzuki-kun."

"Hah? Cara yang aneh untuk menyebutnya. Terserahlah! Mari kita lakukan ini!" Suzuki menertawakan respons aneh Ozu, tetapi aku tidak bisa membiarkannya begitu saja.

"Ozu?" tanyaku, sambil mengerutkan kening.

Pilihan kata-katanya yang aneh mengingatkanku pada sesuatu yang mungkin aku kutip dari salah satu naskah Makigai Namako-sensei saat aku mengoreksinya, tetapi ini lebih dari itu. Aku sudah mengenal Ozu sejak SMP, dan aku tahu kalau kata-kata itu dibuat dengan tergesa-gesa.

"Hei, Suzuki, coba lihat! Ibu Sumire mengenakan celana ketat hitam, dan kakinya tampak luar biasa!"

"Apa, mana mungkin! Di mana?!"

Aku menunjuk ke arah acak, dan Suzuki mengambil umpanku dengan spektakuler, meninggalkan kami berdua saat ia mencari stoking Sumire. Tentu saja itu usaha yang sia-sia. Sumire mungkin sampah, tetapi dia itu sampah kami, dan aku tidak akan berhenti menggunakan kakinya yang indah untuk mengeluarkan kami dari masalah ini.

Aku mendekatkan wajahku ke telinga Ozu sementara perhatian Suzuki teralihkan. "Kamu tidak apa-apa? Bingung bagaimana membalasnya?"

"Ah. Aku rasa kamu akan memahaminya dengan baik, ya?"

"Iya... ...Kamu memang sudah jago dalam berkomunikasi di kelas dengan sempurna, tetapi menurutku karyawisata itu sangat lain dengan hari-hari kita sekolah pada umumnya sampai-sampai itu membuatmu kesal?"

"Aku tidak punya cukup sampel untuk digunakan... ...Aku cuma bisa berurusan dengan cewek-cewek, tetapi kalau menyangkut cowok-cowok, aku tidak bisa menemukan contoh bagaimana cara bicara dengan mereka."

Ia mungkin tahu cara berkomunikasi dengan cewek-cewek, tetapi tidak dengan cowok-cowok. Tanpa konteks, itu mungkin membuatnya terdengar kayak seorang playboy besar, tetapi bukan itu yang terjadi di sini.

"Aku rasa kayaknya tidak banyak gim atau manga bergenre penggalan kehidupan (slice-of-life) yang memasukkan adegan karyawisata, ya?"

"Menurutku ada lebih banyak interaksi antarcowok dalam hal-hal yang ditujukan cewek-cewek, kayak yang Ibu Sumire sarankan padaku. Tetapi aku merasa dia punya motif tersembunyi, jadi aku tidak mau menyentuhnya."

"Firasat yang bagus. Itu tepat menunjukkan seberapa besar kamu telah berkembang, kalau kamu dapat buat penilaian kayak gitu."

Ozu terkekeh dan menggaruk pipinya, merasa canggung. "Aku sudah menyebabkan terlalu banyak masalah buatmu sebelumnya, dan tidak mau melakukan kesalahan yang sama dua kali..."

Aku yakin ia dan aku mengingat kejadian yang sama. Ozu dulunya merupakan seorang siswa yang diasingkan di kelas karena ketidakmampuannya memahami perasaan orang lain, jadi aku menggunakan gim, manga, dan media lain untuk menanamkan dasar-dasar komunikasi padanya.

Lebih tepatnya, aku mendorongnya untuk meniru mereka. Ia tidak perlu memahami atau setuju dengan apa yang sedang terjadi, dan tidak akan jadi masalah bagaimana ia ingin bereaksi. Yang perlu ia lakukan cuma mempelajari reaksi atau kata-kata dari orang lain, dan kembali dengan respons yang telah disiapkan — sebuah strategi yang memungkinkan ia untuk bersosialisasi dengan orang lain pada tingkat paling dasar.

Aku selalu tahu kalau itu merupakan metode payah yang tidak akan melindungi Ozu kalau ia benar-benar didorong, tetapi aku tetap mengajarkan itu padanya, cuma agar ia dapat masuk SMA tanpa langsung dikucilkan.

Pendidikan yang tidak terurus itulah yang memungkinkannya dipengaruhi oleh media yang berorientasi cewek dan, pada suatu kesempatan, berinteraksi denganku seakan-akan kami merupakan dua orang karakter dalam manga yaoi, tepat di depan Sumire dan — Euh, tidak, menurutku aku mungkin akan mati seketika kalau aku memikirkannya terlalu keras.

Sampai saat itu, Sumire selalu berhasil menjaga khayalannya soal orang-orang nyata buat dirinya sendiri, tetapi dengan satu kejadian itu, dia sudah membuang semua pengekangannya, moralitas dan semuanya. Hal ini memberiku pelajaran yang berharga dan menyakitkan: ada beberapa hal dalam hidup yang tidak akan pernah bisa dibatalkan.

Dan hal-hal tersebut dapat mempunyai konsekuensi yang mengerikan dan bertahan lama. Tetapi cukup soal masa lalu. Aku perlu memastikan kalau Ozu baik-baik saja saat ini.

"Aku akan mengawasi untuk memastikan kamu tidak melakukan kesalahan juga. Aku tahu ini cuma akan membantu sampai batas tertentu, tetapi cobalah fokus untuk bicara dengan cewek-cewek ketimbang cowok-cowok saat kita sedang bersama dalam kelompok. Itu akan membuat segalanya jauh lebih mudah buatmu."

"Iya, kayaknya itu pilihan yang aman. Aku akan lakukan itu."

Di saat itulah, aku merasakan ada tarikan di bajuku.

"Apa kamu sudah selesai memanjakan persahabatanmu?"

Aku berbalik arah dan mendapati Mashiro yang tidak puas di belakangku. Matanya menuduh, dan sedikit lembab. "Teman cowokmu mulai bicara padamu, jadi kamu gunakan itu sebagai alasan untuk mengabaikan pacarmu —selamanya. Kamu benar-benar hina."

"Euh... ...Tunggu, tunggu sebentar. Bukannya kita barusan membicarakan bagaimana kita akan jadikan ini sebagai karyawisata yang menyenangkan?"

"Iya, tetapi kamu sedang menjalani hukuman percobaan. Kamu tentu tahu apa maksudnya itu, bukan?"

"Kurang lebih. Sama dengan cowok berikutnya, setidaknya."

"Maka kamu akan tahu kalau melakukan pelanggaran lain saat kamu berada di masa hukuman percobaan itu berarti hukuman mati."

"Hukuman mati? Kalau aku boleh mengajukan keberatan, itu kedengarannya agak kasar."

"Diamlah. Kalau kamu benar-benar menyesal atas perbuatanmu, maka berhentilah mengabaikanku. Jalani tugasmu sebagai pacarku dengan baik. Aku harap kamu dapat memastikan kita bersenang-senang dalam karyawisata ini." Saat dia bicara, Mashiro menempel di lenganku seperti koala dan bersandar padaku.

"Be-Benar..."

Aku tahu bagaimana perasaannya... ...tetapi dia tidak perlu menunjukkan kasih sayang publik yang berlebihan, bukan? Tatapan siswa-siswi lain sudah mengarah ke kami.

Baru-baru ini, kecantikan Mashiro mulai semakin mirip dengan kecantikan Tante Mizuki, dan di sini dia melontarkan umpan penuh semangat padaku. Tatapan yang lebih tajam —yang menusuk kulitku — berasal dari teman sekelas cowok kami yang cemburu.

Dari sudut pandang orang luar, kayaknya aku punya segalanya. Pada saat ini intinya, aku pun sadar akan hal itu.

Bisa dibilang, inilah yang aku mau agar kami diperhatikan.

Mashiro membutuhkanku sebagai pacar palsunya untuk menjauhkan cowok-cowok yang bukan apa-apa kecuali masalah, dan untuk mengurangi risiko dirundung. Intinya, agar dia dapat menjalani kehidupan sekolah tanpa rasa cemas. Kenyataan bahwa dia menjalin hubungan denganku, terutama yang jelas-jelas penuh kasih sayang, cukup menghancurkan semangat teman-teman sekelas cowok kami.

Sedangkan untuk cewek-cewek, banyak dari mereka yang sangat senang melihat cowok yang biasa-biasa saja kayak aku dikecam, menjemputku dengan senyuman dan lambaian tangan. Di sana tidak ada rasa iri, tidak ada patah hati, tidak ada masalah.

Menjadi tidak populer sama sekali punya keuntungan luar biasa! Hahaha!

...

Tidak, aku tidak menangis. Diamlah!

"Ayolah, Tsukinomori-san. Jangan kayak gitu! Ini kan karyawisata!"

"Hah?" aku melongo.

Seorang cewek di kelas kami mengomeli Mashiro, dan aku merasakan Mashiro melompat ke arah lenganku — sesuatu yang tidak kuduga.

Itu aneh. Aku kira Mashiro melakukan tugas yang baik dengan jadi pacarku. Dan, meskipun aku belum melakukan upaya apa-apa untuk menjadikannya sebagai teman, paling tidak aku sudah pastikan kalau dia tidak menarik perhatian negatif.

Jadi mengapa teman sekelas cewek ini menatap tajam ke arah kami?

Mashiro pasti merasa tidak nyaman dengan semua ini kayak aku; wajahnya pucat dan menempel di kakinya, kayak tidak sanggup menatap mata cewek ini. Aku sangat menyadari bagaimana rasanya.

"E-Eum, maafkan aku kalau kami bersikap tidak pantas. Tetapi tolong jangan salahkan Mashiro—."

"Berhentilah mencuri seluruh perhatiannya, Sampah!"

"Dia tidak bermaksud— Tunggu, akulah yang diserang di sini?!"

"Ayo berangkat, Tsukinomori-san!"

"Euh!"

"He-Hei, jangan menariknya kayak gitu, dia bukan — Gaarhh!"

Lengan cewek ini sangat mungil, aku tidak tahu dari mana dia punya kekuatan untuk memisahkan tubuh Mashiro dariku. Dan saat dia memelototiku, itu kayak seekor ular yang menakutkan sedang menatap seekor musang.

"Kami juga mau mendapat kesempatan untuk bermesraan dengan Tsukinomori-san!"

IQ cewek ini pasti sangat tinggi untuk bisa mengungkapkan cara paling bodoh yang mungkin dilakukan kayak gitu. Dia memang tampak kayak tipe yang otaknya cetek: tipe yang otaknya tidak punya integritas struktural, dengan rambut keriting yang diwarnai coklat, dan memakai perona mata yang cerah merupakan fiturnya yang paling mudah dikenali.

Aku memang hampir tidak ingat nama-nama teman sekelasku, tetapi aku pun tahu siapa dia. Itu bukan karena dia terkenal atau semacamnya; dia baru saja ada di kelasku di sekolah. Tidak semua orang dalam hidupku merupakan selebriti.

Takamiya Asuka.

Maka aku tahu namanya? Itu cuma karena dia ada di kelompok karyawisata kami.

Ada tiga orang cowok: Ozu, Suzuki, dan aku. Tiga orang cewek yang bergabung dengan kami: Mashiro, Takamiya, dan yang tampak serius berdiri di sampingnya itu, Maihama Kyouko. Kami berenam akan tetap bersatu selama beberapa hari mendatang.

"Kita beruntung bisa ada di kelompok yang sama, jadi mari kita bersenang-senang! Kyouko juga setuju denganku, kan!"

"E-Eum, sebenarnya, menurutku Tsukinomori-san kayaknya lebih suka jalan-jalan dengan pacarnya..."

"Apa kamu bercanda? Mereka sudah terus saling bermesraan di kelas! Kalian bisa menguranginya saat ini karena kita sedang melakukan karyawisata, bukan, Tsukinomori-san?"

"Ka-Kalau menurutmu aku sudah jadi teman yang cukup baik..."

"Benar! Jadi itu janji!" Takamiya, yang jelas-jelas tidak tahu apa makna kata "janji", menempel pada Mashiro dan menggoyang-goyangkannya seperti boneka binatang yang barusan dia beli.

"Waaah!" tanpa sarana untuk membentuk kalimat yang tepat, Mashiro cuma menerimanya, matanya berputar.

Sulit dipercaya dia biasanya mampu melakukan pelecehan yang begitu fasih. Iroha atau Sumire pasti mampu menghilangkan rasa kesal kayak Takamiya dengan mudah, dengan beberapa hinaan ditambahkan sebagai tambahan. Di sinilah rasa malu Mashiro tampak semakin jelas; dia tidak bisa menolak seseorang yang tidak benar-benar dia kenal. Dia sudah membuat kemajuan nyata selama liburan musim panas, dan karyawisata ini mungkin jadi motivasi penting buat terus maju dan mendapatkan lebih banyak teman.

Ini juga merupakan ajang penting buatku: semacam ujian untuk melihat apa aku benar-benar bisa memanfaatkan sebaik-baiknya, dan menikmati waktu cutiku. Menghabiskan seluruh waktuku untuk memikirkan Mashiro mungkin akan membuatku mendapat keluhan dari Aliansi. Itu berarti aku belum berhasil mematikan otak sutradaraku, bahkan saat sedang karyawisata.

Tiba-tiba, aku menyadari perubahan suasana di sekitar kami. Keheningan menyebar melalui kerumunan, dimulai dari kelompok yang paling dekat ke depan dan menyebar seperti reaksi berantai sampai ke kelompok kami, yang akhirnya juga terdiam. Bukan cuma kelas kami; siswa-siswi dari seluruh kelompok di angkatan kami menahan napas, mata mereka tertuju ke depan seiring suara klik di tanah mengiringi kedatangan seorang ibu guru yang mencolok.

"Tampaknya kalian semua sudah tahu sopan santun. Ibu akan memuji kalian atas hal itu."

Rambut ungunya yang bergoyang tertiup angin pagi merupakan bukti keagungannya. Ibu guru ini, yang mengambil sikap dominan yang keterlaluan, kini telah berevolusi jadi bentuk terakhirnya sebagai Ratu Berbisa.

Sebagai wanita yang mengatur dan memandu karyawisata ke depannya dalam beberapa hari dia akan punya wewenang yang lebih besar ketimbang pimpinan tahun ini. Namanya adalah Kageishi Sumire. Dia merupakan iblis pendidikan dengan saraf baja; kuat, atletis, dan cerdas, tegas pada dirinya sendiri dan orang lain saat dia memerintah siswa-siswinya dengan tangan besi.

Atau begitulah yang dipikirkan semua orang. Jangan tanya mengapa. Kenyataannya tidak seindah itu.

Dia sebenarnya merupakan iblis yang jadwalnya buruk dan tidak menghormati tenggat waktu; tidak terkendali, malas, dan berpikiran jorok, lembut pada dirinya sendiri dan orang lain saat dia memandang orang-orang di sekitarnya dengan tatapan basah. Kualitas ilustrasinya yang luar biasa sebagian besar mengimbangi kurangnya nilainya sebagai manusia, tetapi karena dia bersikeras untuk menceramahi siswa-siswinya soal kehidupan tanpa sedikitpun berkaca pada diri sendiri, sisi tidak bergunanya itu hampir menang.

Sayang sekali.

Kayaknya dia suka menutup matanya saat melihat ke cermin, bahkan saat itu menyangkut sesuatu yang besar kayak karyawisata ini.

"Ibu harap kalian akan terus melakukan hal ini sepanjang karyawisata. Siapa saja yang didapati merusak barang-barang orang lain akan ditangani tanpa ampun," kata Sumire, tatapannya setajam seorang komandan yang memimpin pasukan iblis.

Sebagai seseorang yang tahu kayak apa dia sebenarnya, menyaksikan seluruh sandiwara ini terasa aneh. Meskipun begitu, kata-katanya sudah cukup untuk mempererat suasana di sekitar siswa-siswi, jadi aku cuma bisa menyimpulkan kalau keterampilan mengajarnya memang kelas satu. Aku rasa.

"Hm?"

Aku merasakan ponselku berdengung di sakuku. Aku memeriksanya; Itulah pesan LIME dari Iroha.

Iroha: Senpai! Ada sesuatu yang mesti aku katakan padamu sekarang!

Hmm? Apa itu? Dia membuatnya terdengar sangat serius, tetapi aku merasa itu semua cuma tipuan semata. Aku memilih stiker yang sesuai untuk dikirim kembali. Cuma butuh waktu satu detik buatnya untuk melihatnya, dan satu detik lagi buatnya untuk membalas pesanku.

Iroha: Kalau kamu telah membaca ini kamu sudah DIKUTUK. Kalau kamu tidak mengirim pesan untuk mengakui perasaan cintamu dan kesetiaanmu yang abadi pada kouhai yang tinggal di sebelah dalam 24 JAM ke depan, kamu akan tetap dikutuk SELAMANYA.

Astaga, memangnya dia berasal dari dekade berapa? Sekarang itu eranya media sosial; tidak ada lagi yang tertipu oleh pesan berantai kuno kayak gini. Bukannya aku salah mengira Iroha mencoba menipuku — Aku tahu kalau dia cuma main-main.

"Berhentilah menggunakan ponselmu saat di kelas dan berikan perhatian kayak seorang siswi teladan," jawabku.

Satu detik telah berlalu, dan aku menerima stiker dengan karakter yang menjulurkan lidah ke arahku. Iroha s*alan. Apa dia benar-benar berencana merundungku dari jarak jauh saat ini?

Baterai ponselku tidak akan bertahan lama kalau dia terus mengirimiku pesan kayak gini.

"Tunggu... ...Ah, s*alan..." Saat aku mengobrak-abrik tasku, mulutku ternganga. Aku telah meninggalkan pengisi dayaku di apartemen.

S*alan. Itu pasti karena seluruh kehebohan yang dibuat cewek-cewek pagi ini, mengalihkanku dari memeriksa dengan benar apa aku sudah membawa semuanya.

Akan menjengkelkan kalau ponselku kehabisan daya, tetapi sebaiknya aku mungkin akan minta izin untuk meminjam pengisi daya Ozu kalau perlu. Ia itu seorang teknisi, dan ia suka hal berbau elektronik. Aku tahu kalau ia punya sejumlah ponsel, dengan beberapa pengisi daya dan adaptor untuk semua ponsel itu, bahkan saat karyawisata. Kalian selalu bisa mengandalkan teman kalian.

Segera setelah setiap kelas selesai melakukan absensi dan Yang Mulia selesai memberi tahu kami apa yang mesti kami lakukan dan apa yang tidak boleh kami lakukan, kami pun berangkat. Kami dibagi jadi beberapa kelompok, masing-masing kelompok punya kereta cepat yang berbeda yang mesti dituju. Berusaha untuk mendapatkan seluruh siswa-siswi yang naik kereta yang sama pada waktu yang sama akan jadi berantakan, jadi itu bukanlah suatu pilihan, tetapi aku cuma bisa membayangkan betapa sulitnya buat Sumire untuk mesti mengelola seluruh kelompok yang terpisah ini.

Iya, iya, aku tahu. Maaf. Aku harusnya berpikir kayak seorang remaja saat ini. Aku sudah terbiasa menggunakan bagian sutradara di otakku, jadi aku harap kalian memberiku waktu luang...

Kelompok kami akan naik di kereta yang sama dengan kelas anak-anak cerdas. Lucunya itu kelas yang ada Midori, Ketua Panitia Karyawisata, dan kelasnya dari kakaknya tersayang Sumire mesti berada di kereta yang sama. Apa aku mendeteksi adanya sedikit petunjuk nepotisme? Atau itu cuma imajinasiku saja? Bangku mereka cukup berdekatan.

Saat kami naik kereta dan menyimpan barang bawaan kami, aku menatap Midori, yang berada di sekitarku, dengan pandangan ragu. Mata Midori melebar saat dia menyadari tatapanku, dan dia berlari ke arahku.

"He-Hei! Mengapa kamu menatapku? Sebaiknya kamu tidak memikirkan hal-hal yang tidak pantas!"

"Tidak sama sekali. Sebenarnya aku mengira kalau kamulah yang tidak pantas."

"Per-Permisi?! Kamu bilang apa barusan?! Apa kamu mencoba menuduhku melakukan sesuatu?"

"Ah... ...Iya, maafkan aku. Kayaknya itu agak keterlaluan, karena aku tidak punya bukti. Itu tidak adil buatku, dan aku minta maaf."

Coba saja aku berpikir sebelum aku membuka mulutku. Ada lompatan besar antara Midori menyayangi kakaknya dan kesimpulan kalau dia yang mengaturnya agar mereka dapat berwisata bersama. Sungguh bodoh buatku untuk membuat asumsi kayak gitu.

"Aku cuma ragu saja mengapa kelas kami berwisata bersama kelas anak-anak cerdas."

"Glek!"

"Hah? Ada apa, Midori-san? Kamu benar-benar barusan bilang 'glek' dengan suara keras..."

"Ti-Ti-Tidak, aku tidak melakukannya! Kamu cuma membayangkannya!" Midori melambaikan tangannya di depan wajahnya. Pipinya sangat merah. "Tidak ada yang mencurigakan dalam pengelompokan itu. Aku mungkin Ketua Panitia Karyawisata, tetapi setiap keputusan diambil secara berkelompok. Aku tidak bisa begitu saja mewujudkan sesuatu cuma karena kemauanku. Kamu pasti kurang rasional kalau percaya begitu, tanpa bukti apa-apa, dalam konspirasi yang melibatkan satu dalang besar di seluruh dunia. Apa kamu percaya itu?!"

"A-Aku paham maksudmu. Alasanmu sangat bagus, dan aku tidak bisa membantahnya." Makanya aku barusan meminta maaf. "Maafkan aku karena langsung mengambil kesimpulan. Aku tahu tidak ada bukti buat itu, cuma karena kamu mau bersama Ibu Sumire—."

"Lega sekali deh, kalau kamu paham. Aku tidak pernah bisa mengatur kelompok-kelompok itu untuk memastikan aku berwisata dengan kereta yang sama denganmu."

"—Bukan berarti ada cara untuk mencurangi kelompok agar... ...Tunggu, aku? Mengapa?"

Aku berbicara dengannya, berharap dapat serempak dalam segala hal — sampai dia melontarkan pukulan telak padaku. Perbedaan yang kecil namun signifikan.

"Me-Mengapa kamu? E-E-Eum, itu..."

Kanan, kiri, kanan, kiri, atas, bawah (→, ←, →, ←, ↑, ↓). Bahkan matanya berubah arah dengan sangat cepat seorang pemain gim profesional akan kesulitan memasukkan kendali secepat itu. Saat kemerahan di pipinya mencapai titik didih, Midori menutup matanya dan mengepalkan tangannya.

"I-Itu karena kemungkinan besar kamu akan membawa barang selundupan yang m*sum dalam karyawisata ini, tentu saja!" serunya, menginjak-injak reputasiku saat itu juga.

Aku dapat mendengar siswa-siswi lain berbisik satu sama lain, dan mereka menoleh, untuk menengok ke arah kami.

"Tung-Tunggu, Midori-san, apa yang kamu teriakkan? Aku tidak akan pernah melakukan sesuatu kayak gitu!"

"S*alan, bagus sekali, Ōboshi! Makanya aku menyukai cowok-cowok. Kamu mesti menunjukkan benda itu pada kami setelah ini, oke?"

"Hentikan itu, Asuka-chan! Ōboshi-kun, menurutku membawa barang semacam itu merupakan ide yang sangat tidak bagus..."

Cewek-cewek dalam kelompok kami, yang sudah selesai menyimpan barang bawaan mereka, kembali cuma untuk mendengar apa yang dibilang Midori, dan mereka bereaksi seakan-akan semua itu benar.

Euh. Mereka hampir tidak mengenalku. Aku tidak mau satu pun kesan pertama mereka terhadapku berubah jadi aku merupakan seorang yang mesum. Meskipun mereka berdua tampaknya tipe orang yang paham kalau aku tidak akan pernah membawa barang semacam itu dalam karyawisata ini. Paling tidak, setelah mereka mengenalku.

Aku berbalik untuk melakukan kontak mata dengan Mashiro dan mengirimkan pesan diam yang cuma dipahami oleh pacar (palsu)-ku: selamatkan aku.

"Kamu najis."

"Hah?!"

Yang aku dapat dari usahaku cuma tatapan dingin dan hinaan yang tajam.

Mashiro benar-benar menganggapku remeh?!

"Ma-Maafkan aku, Ōboshi-kun! Aku tidak bermaksud begitu!" Menyadari tuduhan yang salah itu mulai menyebar, Midori segera menundukkan kepalanya ke arahku. Dia membuka mulutnya lagi untuk memberikan penjelasan jujur ​​pada para pemirsa yang berbisik. "Aku tidak bermaksud bilang kalau Ōboshi-kun punya membawa sesuatu yang tidak pantas, kayak video porno misalnya, hanya saja kemungkinan kalau ia mungkin punya video porno sudah cukup buatku untuk mencurangi pengelompokan kereta cepat ini, andai saja aku melakukan itu, dan oleh karena itu butuh suatu motif, dan motif itu pasti ada untuk mengawasinya untuk memastikan ia tidak punya film porno, tetapi untuk saat ini tidak ada cara untuk mengetahui apa ia punya film porno sampai kita memeriksa kopernya, jadi untuk saat ini merupakan situasi kucing Schrödinger, atau kalau-kalau dia akan, film porno Schrödinger—"

"Aaahhh! Berhenti bilang 'porno'!"

Jujur saja aku menghargai upayanya untuk menjernihkan kesalahpahaman ini, tetapi ini jelas punya efek yang sebaliknya! Belum lagi kefasihannya yang biasa membuat dirinya terikat. Mustahil untuk membaca kata-kata dalam satu kali dengar, dan aku tahu satu-satunya hal yang didengar orang lain cuma namaku dan kata "porno".

Saat ini dunia penuh dengan orang-orang yang cuma membaca judul artikel sebelum meyakinkan diri mereka sendiri kalau mereka mengetahui setiap detail ceritanya, dan lingkungan kayak gitu sangat cocok buat orang-orang yang sama untuk mendengar "Ooboshi-kun" dan "porno" dan rumor kalau "Ooboshi-kun punya video porno" mulai menyebar.

"Ka-Kamu benar. ‘Porno’ merupakan kata yang terlalu tidak senonoh. Bagaimana kalau 'bahan yang bersifat tidak bermoral dan sensitif'?"

"Bagaimana kalau kamu berhenti bicara saja?!"

Dia benar-benar membuatku malu. Hanya saja, buat sebagian alasan yang tidak bisa dijelaskan, semua konsekuensi negatifnya akan menimpaku, bukan dia...

"Bencana melanda, keluar dari gerbang..."

"Ahahaha. Terobosan yang sulit, Aki."

Pada saat aku berhasil menenangkan Midori, melewati kekacauan, dan sampai di bangkuku, aku sudah benar-benar kelelahan. Setiap kelompok punya dua baris yang terdiri dari tiga bangku, yang dapat dibalik agar keenam anggotanya saling berhadapan, begitulah cara kami duduk. Barisan kami menampilkan Suzuki di dekat jendela, Ozu di tengah, dan aku di lorong. Di seberang kami ada Maihama di samping jendela, Takamiya di tengah, dan Mashiro di seberangku. Sesama anggota kelompok kami mungkin sudah mengaturnya sedemikian rupa sehingga kami akan saling berhadapan.

"Gini loh, aku tidak menyangka kalau kamu sedekat ini dengan Kageishi-san, Ōboshi," kata Takamiya.

"Tidak?"

Terlepas dari hal lainnya, apa tampilan itu benar-benar membuat kami tampak "dekat"? Mungkin itulah yang dianggap "dekat" akhir-akhir ini, di mata preman yang bertenaga tinggi kayak Takamiya.

"Aku tahu apa itu," kata Maihama. "Ingat, Asuka-chan? Ōboshi-kun membantu Klub Drama pada Pekan Raya itu beberapa waktu yang lalu, dan naik ke atas panggung..."

"Ah, iya!"

Obrolan santai kedua cewek itu diimbangi oleh reaksi berlebihan yang mengejutkan dari kami berdua, aku dan Mashiro.

"Kalian tahu soal itu?" aku terkesiap.

"Tentu saja. Sebuah klub yang mengikuti kompetisi nasional merupakan hal yang besar buat sekolah kita. Koran sekolah juga memberitakan itu," kata Maihama dengan nada suara yang menyiratkan kalau hal itu harusnya sudah jelas.

Dialah simbol keseriusan dalam balutan seragam sekolah. Mengabaikan si bodoh Takamiya untuk saat ini, kalau menurut Maihama memang itu harusnya jadi pengetahuan umum, maka mungkin aku salah.

Dia juga menyebutkan koran sekolah. Aku tidak tahu ada orang yang membaca itu. Itu tidak terpikirkan oleh orang kayak aku, yang tidak peduli soal barang-barang yang diproduksi oleh klub manapun.

"Iya, aku benar-benar ingat sekarang!" kata Takamiya. "Ada orang lain juga. Seorang cewek terkenal dari kelas sepuluh yang ikut serta dalam drama itu..."

"Aku cukup yakin kalau itu Kohinata-san, siswi terbaik tahun ini."

"Cewek super sopan dan super imut itu? Wah! Kamu berakting dengannya, Ōboshi?! S*alan!"

Maihama tertawa kecil. "Aku mau sekali bertemu dengannya. Apa menurutmu mereka paling tidak akan mengizinkanku membaca naskahnya kalau aku mengunjungi Klub Drama?"

Mashiro mengejang sekali, sebelum dia mulai gemetar sepenuhnya, wajahnya pucat saat dia melihat ke arah Maihama. "Tidak. Kamu tidak semestinya melakukan itu."

"Apa? Mengapa tidak?"

"Aku tidak mau ada orang lain yang membaca naskah memalukan itu lagi." 

"Menurutku itu tidak baik buat orang yang menulisnya. Aku tahu beberapa orang bilang itu memalukan, tetapi itu mungkin cuma rumor belaka. Yang lainnya bilang kalau tu ditulis oleh penulis terkenal."

"AAAAAAAAAHHH!"

Mashiro mengeluarkan jeritan yang mengerikan dan menggeliat kayak iblis yang diusir oleh cahaya suci.

Aku kira akan sulit buat menahan naskah romantis yang memuakkan untuk tipe orang yang antisosial kayak dia. Meskipun begitu, aku tetap berpikir kalau dia memang agak bereaksi berlebihan.

"Ah, hei, aku tidak tahu kamu membantu Klub Drama juga, Ōboshi."

"Apa yang kamu maksud dengan 'juga', Suzuki? Wajahmu bilang kamu tahu sesuatu!" seringai Takamiya.

"Tidak, tidak kayak gitu. Hanya saja Ōboshi juga membantuku."

"Apa?"

Apa sih yang dibicarakan Suzuki? Nada suaranya memang dipenuhi rasa terima kasih, tetapi seumur hidupku aku tidak ingat pernah memberinya bantuan apa-apa. Suzuki mengusap jarinya di bawah hidung (ternyata ia tidak paham memo kalau karakter anime tidak melakukan itu lagi) dan pipinya agak memerah saat ia bilang, "Kalau kalian mau tahu yang sebenarnya... ...Aku jadi punya pacar."

"Wah! Itu bagus sekali, Suzuki!"

"Selamat!"

Reaksi cepat datang dari Takamiya dan Maihama. Sayangnya, begitu pula Ozu, yang cuma punya sedikit data soal bagaimana menanggapi cowok selain dirinya sendiri mendapatkan pacar, atau Mashiro, yang tidak tahu bagaimana caranya bicara dengan orang normal, bisa bilang apa-apa. Mereka cuma bisa menatap dengan mulut agak terbuka.

Lalu ada aku, yang berjuang dengan respons positif dalam situasi apa saja.

"Eum. Selamat?"

"Terima kasih! Aku tidak bisa melakukan ini tanpamu, Ōboshi!"

Menurutku, hal itu sangat tidak masuk akal; Aku gagal menemukan bagian logika terkecil sekalipun.

"Maaf, tetapi apa kamu bisa menjelaskannya?"

"Tentu. Maksudku, akhir-akhir ini aku benar-benar melatih ototku, bukan? Itu semua berkatmu! Kamu memberi tahuku kalau cara terbaik untuk memenangkan hati Ibu Kageishi itu dengan mengekarkan otot, kamu ingat?"

"A-Ah. Iya, aku ingat."

Iya, aku memang bilang begitu padanya — untuk menyingkirkan ia dariku.

"Itu karena nasihatmu saat itu makanya aku jadi dapat pacar! Aku tidak bisa cukup berterima kasih padamu."

"Tunggu, tunggu sebentar. Pacarmu bukan Ibu Sumire, bukan?"

Sumire belum memberi tahuku apa-apa, tetapi akan jadi kabar baik kalau itu dia. Meskipun begitu, aku dapat membayangkan akan sulit buatnya untuk menyembunyikan jati dirinya kalau dia berpacaran dengan seorang siswa, dan mau tak mau aku penasaran bagaimana nasibnya dalam hal itu.

Tunggu, bagaimana kalau aku bertukar informasi kontak dengan Suzuki? Lalu, meskipun Sumire lari dariku tepat sebelum tenggat waktunya, aku bisa membuat cowok itu mengejarnya untuk mendapatkan ilustrasi buatku!

Selama sepersekian detik itu, harapan itu membusungkan dadaku.

"Tidak, bukan dia. Aku berpacaran dengan cewek itu yang aku temui di gimnasium."

"Ah. Begitu ya." Begitu saja, harapanku pupus sudah, dan aku tidak bisa menyembunyikan kekecewaan di wajahku.

"Dulu aku memang mau berpacaran dengan Ratu Berbisa, tetapi saat aku mulai berlatih, aku menyadari batasanku, kayaknya, aku tidak selevel dengannya, loh?"

"Aku rasa begitu."

Ketimbang dengan cowok yang berolahraga dengan benar, Murasaki Shikibu-sensei lebih unggul dua puluh ribu level di bawah laut. Tiga puluh menit di gimnasium akan membuatnya tergeletak di lantai, anggota tubuhnya tersisa dengan integritas struktural kubis yang terlalu matang.

"Aku mencintai pacarku, dan sejak kami mulai berpacaran, aku menyadari sesuatu. Perasaan yang aku punya terhadap Ibu Sumire itu bukanlah cinta."

"Kalau begitu, apa itu?"

"Kekaguman... ...Hormat. Aku cuma salah mengartikan emosi itu sebagai cinta."

"Kamu salah mengartikan perasaanmu?"

Pengakuannya selaras denganku karena suatu alasan. Masa muda dan cinta... ...Aku selalu mengabaikan hal-hal itu. Sebaliknya, aku malah terjun ke dunia kerja, seefisien mungkin. Kalau dulu aku tahu perasaan romantis yang sesungguhnya, saat ini aku pasti tidak tahu itu. Jujur saja, aku tidak yakin aku punya hak untuk memahami emosi itu lagi.

Suzuki terdengar kayak ia mendapati jawabannya dengan relatif cepat, dan itu membuatku iri.

"Mustahil!" kata Takamiya. "Kamu cuma haus padanya, bukan? Bagaimana dengan kecantikannya, dan kakinya yang panjang dengan celana ketat itu! Ayolah, akui saja!"

"Oke, kamu tahu saja, deh! Hahaha!"

Lupakan apa yang aku bilang. Mana mungkin aku iri pada cowok ini. Beberapa saat yang lalu aku mencurahkan isi hatiku, dan saat ini aku penasaran apa itu punya fungsi vakum yang menyedot seluruh kata-katanya kembali.

Setelah menghancurkan emosiku dengan tawa perutnya, Suzuki membawakan obrolan ini kembali ke jalurnya.

"Maksudku itu, aku mengikuti saran Ōboshi, meningkatkan kekuatanku, dan menemukan cewek yang cantik! Makanya aku berutang budi padanya!" Suzuki tertawa.

"Menurutku kamu terlalu banyak membaca. Kesuksesanmu tidak ada hubungannya denganku."

Ozu terkekeh. "Biarkan ia berterima kasih kalau ia mau, bukan? Apa salahnya?"

"Iya, tentu saja! Terima kasih sudah mendukungku, Kohinata!" Suzuki merangkul bahu Ozu, dan mereka berdua tertawa bersama. Mengapa mereka mengeroyokku? Aku tidak tahu.

"Be-Begini, menurutku aku paham apa maksudmu, Kohinata-kun! Ōboshi-kun, kamu punya aura dewasa dan bisa diandalkan dalam dirimu."

Saat ini Maihama pun ikut bergabung dengan barisan mereka. Jelas sekali, kalau dia cuma ikut-ikutan tanpa banyak bukti — tidak kayak cowok-cowok yang lain, aku tidak melakukan apa-apa untuk membantunya secara pribadi — tetapi aku mungkin cuma akan mendapatkan lebih banyak pujian kalau aku mencoba menunjukkan hal itu, jadi aku tidak mau melakukannya.

Ah, dan aku tidak cukup aneh untuk berpikir kalau Maihama mungkin jatuh hati padaku cuma karena dia tampak agak bingung saat dia memujiku. Dia mungkin mencoba untuk bersikap halus soal itu, tetapi tatapannya diarahkan langsung ke Ozu. Dia menggebet Ozu, bukan aku — menyetujui pendapatnya dalam upaya untuk menunjukkan kalau mereka setuju untuk hal yang sama!

Aku tidak butuh pipa rokok dan topi detektif untuk menyelidiki hal itu.

Maihama Kyouko jelas merupakan salah satu dari cewek-cewek yang menggebet Ozu untuk sementara waktu saat ini. Dia telah mencoba mengundangnya ke Festival Musim Panas sebelum liburan. Saat itu aku belum ada hubungannya dengan dia, jadi aku belum berusaha mencari tahu soal namanya.

Kalau dipikir-pikir lagi, mau tak mau aku mengagumi tekadnya untuk mengajak Ozu berkencan dan memastikan dia ada di kelompok karyawisata yang sama dengan Ozu. Aku tahu kalau dia berusaha sekuat tenaga untuk mendekatkan jarak di antara mereka. Hatinya mendesaknya untuk bergegas maju.

Dulu aku memandang rendah orang-orang yang membiarkan masa muda dan romansa  mendikte tindakan mereka, namun sekarang aku menyadari kalau dia mengambil tantangan untuk mengejar mimpinya engan cara yang sama sepertiku.

Aku melirik ke arah Mashiro, yang duduk di depanku.

Dia juga punya tekad saat dia mengakui perasaannya padaku. Aku memang sudah menolaknya saat itu, menilai kalau ini bukanlah saat yang tepat buatku untuk memikirkan soal percintaan, tetapi dia langsung menyerangku. Bertentangan dengan kepercayaan umum, mungkin saja sebenarnya cewek-cewek itu lebih tegas dalam urusan percintaan.

"Hmf." Mashiro menangkap tatapanku, menyipitkan matanya, dan cemberut.

"Lihatlah dirimu, menjilat seorang cewek cuma karena dia memujimu. Kamu membuatku muak."

"Eh, sebenarnya tidak begitu, bukan?"

"Entahlah. Cobalah lihat ke cermin dan lihat sendiri." Mashiro berbalik dengan tajam, sepenuhnya dalam mode marah. Kayaknya kami tidak akan akur hari ini, berkat apa yang terjadi pagi ini.

Tiba-tiba aku melihat pipi Mashiro yang menggembung ditusuk dengan jari. Jari Takamiya, tepatnya.

"Kamu cemburu pada Kyouko? Astaga, betapa menggemaskannya itu?"

"He-Hei. Berhentilah menusukku."

"Aku rasa kamu dan Ōboshi benar-benar pacaran, ya? Kalau kalian tidak berpacaran kamu mungkin tidak akan marah karena hal semacam itu. Aku jarang melihat kalian bertingkah seperti pasangan, loh? Aku kira kalian mungkin sudah berpisah atau semacamnya. Ataukah jangan-jangan kalian sebenarnya tidak pacaran sejak awal."

Wajah kami terdiam di saat yang bersamaan.

"Ten-Tentu saja kami pacaran!" kata Mashiro. "Aku kan sudah memberi tahu semua orang soal itu saat aku baru pindah ke sekolah ini."

"Maksudku, itu aneh sejak awal. Hal yang biasanya dilakukan itu menyembunyikan hubungan kalian, bukan?"

"Be-Benarkah begitu? Aku tidak tahu soal itu..."

"Aku juga tidak tahu." kataku.

Aku kira keberadaan kami yang merupakan tipe orang yang tidak ramah memang agak menyedihkan. Baik Mashiro maupun aku juga belum pernah berpacaran sebelumnya, dan kami hampir tidak punya teman, jadi kami tidak tahu apa-apa soal norma sosial.

"Itu karena kamu berusaha keras untuk memberi tahu semua orang. Jadi aku pikir, mungkin ada sesuatu yang terjadi di sekolah lamamu, dan kamu khawatir soal berbaur, jadi kamu terikat jadi semacam pasangan palsu dengan Ōboshi. Meskipun menurutku itu cenderung cuma terjadi dalam fiksi!" Takamiya tertawa.

"I-Iya, fiksi. Imajinasimu terlalu aktif. Benar begitu, Aki?"

"Be-Benar! Pura-pura pacaran? Apaan itu, khayalan terhebat seorang kutu buku? Hahaha..."

S*alan, tawa itu terlalu dipaksakan! Mengapa otot wajahku tidak mau bergerak?!

Aku tidak menyangka kalau naluri seseorang bisa seakurat itu. Terutama saat dia sendiri tidak punya bukti sedikitpun!

Takamiya Asuka jelas merupakan cewek yang ditakuti. Mungkin dia lebih dari sekadar preman: seperti berandalan fanatik. Belum lagi dia itu  Teman Sekelas Nomor Berapapun yang Tak Diketahui sampai baru-baru ini, baru saat ini aku tahu kalau dia sebenarnya punya kepribadian yang istimewa. Apa itu karena aku? Apa ada sesuatu soalku yang menarik perhatian orang-orang aneh?

Atau jangan-jangan semua orang memang kayak gini, dengan individualitasnya masing-masing, dan satu-satunya perbedaan yaitu apa aku dapat meluangkan waktu untuk mengenal mereka atau tidak.

"Oke, kalian tahu tidak? Bolehkah aku menanyakan sesuatu yang sudah lama ingin aku tanyakan?"

"Ten-Tentu saja."

"Kalian pertama kali kencan di mana?"

"Kencan pertama kami, ya? Iya, aku rasa aku bisa memberi tahu kalian..." Aku tahu kalau dia berusaha terdengar enggan, tetapi dia berusaha keras untuk menyembunyikan senyuman di wajahnya.

Tunggu, aku tahu persis apa ini! Kalian tahu saat kalian mendapatkan seseorang yang benar-benar mau melanjutkan kehidupan cintanya, tetapi saat seseorang benar-benar bertanya pada mereka, mereka berpura-pura tidak mau berbagi apa-apa? Mashiro dulunya benci perilaku pasangan yang aneh kayak gitu.

Itu merupakan tren yang didokumentasikan dengan baik oleh sejarah. Seorang pahlawan yang menggulingkan seorang diktator dalam perang pembebasan, untuk memerintah negara dengan cara yang sama setelah menjadi raja.

"Kami kencan di... Iya, kami kencan di restoran Prancis di lantai paling atas hotel mewah ini. Pemandangan malam di sana sungguh menakjubkan."

"Kamu bercanda. Restoran Prancis mewah buat kencan pertama kalian? Bukannya itu terlalu berlebihan?"

Aku sangat setuju. Kencan pertama kami yang sebenarnya itu di bioskop pada saat itu di mal, tetapi kayaknya Mashiro tidak mau nya begitu. Oke, jadi itu sebenarnya memang bukan kencan. Iroha juga ada di sana. Ozu dan Sumire harusnya juga ada di sana, tetapi mereka tidak ikut karena menurut mereka akan lucu kalau aku jalan-jalan dengan harem mini, aku rasa.

"Benar-benar mewah, aku belum pernah mengalami itu sebelumnya," kata Mashiro.

"Ada lukisan-lukisan mahal di dinding, dan cahayanya redup, dengan cuma lampu-lampu yang bersinar lembut di bawah naungannya. Ada aroma yang harum namun halus di udara, dan melodi klasik yang nyaman diputar di latar belakang yang mungkin tidak kalian sadari kalau kalian tidak memperhatikannya. Aku saat itu mengenakan gaun yang aku simpan cuma untuk acara kayak gitu, dan meskipun aku gugup, aku mulai mendekati meja tempat Aki duduk..."

"S*alan, aku bisa membayangkannya sekarang..." kata Takamiya.

"Aku juga, saat aku memejamkan mata. Ini kayak kalian sedang membaca dari novel yang ditulis dengan baik." Maihama menghela napas, senang.

Mashiro memang jago dalam mengatur adegan. Tidak mengherankan. Dia mungkin cuma seorang penulis kawakan yang bercita-cita tinggi, tetapi dia dibimbing oleh editor profesional, yang menjadikannya semiprofesional.

Namun, apa dia benar-benar mesti menggunakan bakat menulisnya saat menggambarkan kehidupan cinta kami?

"Hidangannya keluar satu demi satu, masing-masing tampak sangat lezat dan rasanya sama nikmatnya dengan hidangan bintang tiga lainnya. Sulit buatku bahkan untuk memotong mentega dengan pisau, karena baru saja meneliti tata krama makan yang sesuai untuk tempat makan kayak gitu. Saat aku melihat pantulan diriku di mata Aki, aku merasa sangat malu, dan aku mesti membuang wajahku..."

"Kedengarannya luar biasa! Sangat berkelas! Dan satu miliar kali lebih romantis ketimbang Drakor."

"Pisau yang kamu gunakan dengan susah payah untuk memotong mentega! Benar-benar twist metafora klasik yang luar biasa. Perasaan tajam dari Aki. Benar-benar aliterasi! Menggunakan mata Ōboshi-kun untuk menggambarkan dirimu berfungsi untuk menciptakan lapisan tambahan: perasaan halus kalau ia sedang menatap pacarnya! Ah, Tsukinomori-san, aku benar-benar bisa membayangkan betapa anggunnya penampilanmu malam itu."

Dan sekarang Maihama bertingkah seakan-akan ini adalah mata pelajaran Sastra karena suatu alasan, membuat dirinya tampak semakin aneh. Bukannya dia naksir dengan Ozu cukup buatku untuk mengingatnya? Mengapa dia bersikeras untuk mencoba tampil lebih menonjol? Kita sudah punya cewek nakal yang fanatik, dan sekarang kita punya Maihama Kyouko, S.S. (Sarjana Sastra) di sini. Aku agak takut untuk mengetahui berapa banyak orang aneh lainnya yang bersembunyi di kelasku.

"Lalu Aki menatap mataku."

"Ah..."

Mashiro yang tadinya berbicara dengan sangat lancar, namun kini dia tiba-tiba terdiam. Itu sudah jelas alasannya. Apa yang terjadi selanjutnya yaitu informasi rahasia: di saat itulah aku menolak pengakuan berani dari Mashiro.

Aku cuma bisa membayangkan betapa buruknya nasibku kalau dia melanjutkan ceritanya. Kencan pertama kami, dan aku menolaknya. Mashiro sudah mengatasi pengalaman yang menghancurkan itu dan melakukan yang terbaik untuk memenangkan hatiku bahkan sampai saat ini. Aku tidak tahu kayak apa rasanya; Aku selalu lari dari romansa dan khayalan masa muda.

Tetapi aku yakin itu sangat melelahkan.

Bagaimanapun Mashiro memutuskan untuk menampilkan adegan berikutnya, aku tidak berhak ikut campur. Aku akan mengambil apapun yang dia berikan padaku, apa darahku akan terbakar dan itu akan membuat kepalaku terbang, atau hiu menerobos jendela untuk memenggal kepalaku.

" ’Aku sudah memesan kamar di hotel ini. Aku harap kamu siap, Mashiro, karena aku tidak akan membiarkanmu tidur malam ini.’ Dan kemudian, Aki dengan lembut memelukku, dan—"

"Aku tidak melakukan itu!"

"Hmf. Jadi kamu menyangkalnya? Aku kira aku boleh bilang apapun yang aku mau?"

"Iya, aku tahu aku bilang begitu, tetapi— Tunggu, tidak, aku tidak bilang begitu. Aku barusan memikirkannya. Pergilah dari kepalaku!"

"Saat pikiran itu terlintas dalam benakmu, semuanya sudah terlambat. Kamu sudah mencabut hakmu untuk mengeluh."

"Apa yang terjadi dengan kebebasan berpikir dan berpendapat?!"

"Kamu tidak punya kebebasan berpikir dan berpendapat. Kebebasan berekspresiku itu jauh lebih penting."

Aku benar-benar tidak butuh dia untuk menggunakan interpretasi hukum sebagai bentuk permainan kekuasaan. Maksudku, aku paham kalau dia tidak bisa memberi tahu semua orang kalau aku menolaknya, tetapi kami ini cuma siswa-siswi SMA. Kami tidak bisa memainkan saxophone-euphonium-xylophone. Bentuk seni perkawinan itu cuma cocok dilakukan antara pria dan wanita yang sudah menikah.

Kalau kalian bingung soal saxophone-euphonium-xylophone, lihatlah huruf pertama setiap kata dan — Iya, kalian benar, tidak ada yang peduli.

Aku cuma tidak mau Takamiya dan Maihama mendapatkan ide-ide lucu soal apa yang terjadi, karena siapa yang tahu rumor macam apa yang akan mulai beredar di antara cewek-cewek di kelas kita nantinya?

Tetapi kemudian, mereka semua biasa-biasa saja. Berdasarkan pengalaman mereka, mereka akan mengetahui kalau hal ini cuma sebuah kisah lebai yang dilebih-lebihkan demi pengaruhnya.

"Wah, bagus sekali, Ōboshi! Lagipula kamu sudah tidak perawan, hah?" kata Takamiya. "Ini, Kyouko-chin, aku berutang permen padamu."

"Ah. Terima kasih."

"Kalian benar-benar membuat taruhan soal pengalaman pertama orang di sini?"

Belum lagi mereka menelan mentah-mentah cerita Mashiro. Dan Maihama — orang yang tampak lebih polos dari mereka berdua — yang bertaruh kalau kami telah melakukan itu? S*alan, cewek-cewek memang menakutkan.

"Yah, aku kalah! Itu berarti aku masih berutang permen pada sepuluh orang lagi saat ini."

"Kamu membuat taruhan yang sama dengan sepuluh orang?!"

"Sekitar dua pertiga cewek di kelas kita mau ikut. Dan di sinilah aku, mengira kalau keperawananmu masih utuh!"

"Penghinaanmu berdampak pada banyak level, dan aku benci itu."

Tetapi iya, aku memang masih perawan. Seorang perawan yang kagum dengan intuisi gila Takamiya. Dari suaranya, mayoritas orang bertaruh kalau Mashiro dan aku akan sudah melakukan pengalaman pertama bersama. Menurut mereka, kami telah melangkah seberapa jauh, ya? Tetapi dengan begitu, memikirkan betapa beracunnya Mashiro setelah liburan musim panas, menurutku itu wajar kalau orang-orang berasumsi. Aku juga berpikir kalau aku sudah jadi bagian dari furnitur sejak berpacaran dengan Mashiro seperti sebelumnya, tetapi yang jelas aku cuma tidak menyadari perhatian yang aku dapatkan.

"Tung-Tunggu, mengapa itu berarti kami telah melakukan itu?" kata Mashiro. "Aku tidak pernah bilang apa yang terjadi selanjutnya. Kalian tidak bisa bilang kalau kami bukan cuma berbicara dan membentuk koneksi spiritual... ...Pikirkan soal itu."

"Apa kamu bercanda? Tentu saja sepasang muda-mudi menginap dalam satu kamar berdua, sesuatu tentu akan terjadi!"

"I-Itu tidak... ...Tunggu..." Jauh dari disembunyikan di balik poninya kayak biasanya, mata Mashiro terbuka, dan dia mengalihkan tatapan iblisnya ke arahku.

"Kamu tidur berduaan semalam dengan Iroha-chan tadi malam, bukan?!"

"Kok kamu mengungkit itu lagi?"

Meskipun ini merupakan topik yang sensitif, aku harap dia paling tidak memberiku sedikit peringatan sebelum aku diharapkan bisa membaca bibirnya. Dia beruntung karena aku telah mengungkap begitu banyak rahasia akhir-akhir ini dan terbiasa membaca bibir secara tiba-tiba kayak gini.

"Tunggu. Pikirkan soal apa yang kamu katakan barusan, dan lalu ingatlah kalau kamu juga pernah tidur di kamarku bersamaku."

"Aku... ...rasa itu benar juga."

"Benar begitu, bukan? Secara logika, cuma ada satu kesimpulan. Yang mana itu—"

"Hari di mana aku melampaui batas denganmu? Tanpa menyadarinya?"

"Itu pun, tidak sepenuhnya begitu."

Mashiro perlu belajar untuk tidak mempercayai prasangkanya sendiri. Dia mendapat nilai penuh pada setiap ulangan Sastra, dan Bahasa Jepangnya juga cukup bagus untuk menulis novel, jadi mengapa dia tidak memahami gagasan dasar ini?

"Hei, lihat ini! Mereka berkomunikasi dengan menatap, dengan cara itu saja pasangan bisa melakukannya! Mereka menyimpan rahasia dari kita, Kyouko-chin!"

"I-Itu benar, Asuka-chan. Mereka saling jatuh cinta, aku jadi malu melihat mereka begitu!"

"S*alan, inilah arti jadi remaja!" kata Suzuki. "Aku mesti memastikan pacarku juga merasa dicintai!"

Daaan komunikasi diam-diam kami pun jadi bumerang. Tentu saja isi obrolan kami masih dirahasiakan, tetapi harusnya sudah jelas kalau orang-orang akan melihat itu sebagai tanda cinta saat kami saling menatap kayak gitu. Dan digoda soal itu membuat wajah Mashiro jadi merah padam.

"T-Tidak, itu... ...Maksudku, kalian memang benar, tetapi... ...Tolong jangan menggoda kami!"

"Astaga, kamu sungguh menggemaskan, Tsukinomori-san! Lihat ini!"

Seru Takamiya, tanpa henti menyodok pipi Mashiro yang membara.

"Hentikaaan! Kamu bertingkah seperti orang bodoh saat ini."

Meskipun dia yang dirundung, Mashiro tidak terlihat atau terdengar sebal kayak yang aku duga. Dia bahkan menyebut Takamiya sebagai "orang bodoh" begitu saja; menghinanya.

Aku suka berpikir kalau itu merupakan tanda kalau kedua cangkang yang tertutup rapat di sekitar hatinya mencoba untuk terlepas, cukup untuk memperlihatkan mutiara yang bersinar di dalamnya.

***

"Jadi, apa kamu akhirnya sadar kalau kamu sebenarnya tidak biasa? Dan orang-orang sebenarnya iri padamu?"

"Aku menarik kembali semua yang pernah aku bilang soal jadi orang yang tidak ramah dan remaja yang tidak pada tempatnya. Maaf. Itukah yang kamu incar, Ozu?"

"Berarti kamu tidak akan membiarkanku lolos, ya?"

***

baca-imouza-ln-jilid-8-bab-1-bahasa-indonesia-di-lintas-ninja-translation

[Aku dan Cewek Terimut di Seluruh Dunia, Iroha (2)]

Iroha: Senpai~

Iroha: Senpai!!!!!!

Iroha: Senpai;((((

Iroha: Senpai;))))

AKI: Hentikan itu.

Iroha: Akhirnya, dibalas juga!

AKI: Apa-apaan dengan spam yang tidak masuk akal itu?

Iroha: Ini bukan tidak masuk akal! Aku memanggil namamu sambil menyalurkan setiap emosi di bawah sinar mentari (termasuk cinta!).

Iroha: Pengguna Koyagi akan rela mati demi paket suara yang langka ini!

AKI: Lucu sekali, kamu menyebut itu sebagai paket suara. Padahal yang aku lihat cuma teks saja.

Iroha: Aku yakin kamu bisa mendengarku membaca semua ini dengan lantang!

***

baca-imouza-ln-jilid-8-bab-1-bahasa-indonesia-di-lintas-ninja-translation

Iroha: Dan itu mestinya terdengar kayak suara asliku!

Iroha: Ayolah, libatkan imajinasimu. Kamu bisa mendengarnya saat ini, bukan? Suaraku yang menggemaskan...

AKI: ...

Iroha: Begini, aku pikir kamu akan merindukanku saat karyawisata, karena tidak bisa mendengar suaraku dan sebagainya.

AKI: Benar.

Iroha: Dan karena aku seorang kouhai baik yang peduli pada senpai-ku, aku berpikir, berpikir, dan berpikir bagaimana cara agar aku bisa membantumu.

AKI: Hmm.

Iroha: Inilah yang aku temukan! Menggodamu dari jauh melalui LIME!

AKI: [*.

Iroha: Kamu barusan mengetik karakter itu secara acak! Aku yakin kamu menggunakan kibor geser dan tidak juga menatap ke layar!

Iroha: Aku tahu barusan kamu ingin ketik "Oke.", tetapi kamu secara tidak sengaja menyetelnya ke simbol! Ini bukan pertama kalinya!

***

baca-imouza-ln-jilid-8-bab-1-bahasa-indonesia-di-lintas-ninja-translation

AKI: ¥[x]

Iroha: Kamu benar-benar akan beralih ke kibor lain untuk mengetik itu lagi!?!

AKI: Gagal lagi. Kamu mesti jadi seorang detektif.

AKI: Selalu hanya ada satu kebenaran!!* (TL Note: Referensi Detektif Conan.)

Iroha: Sekarang aku benar-benar tahu kalau kamu tidak menggunakan otakmu, karena kamu melontarkan referensi anime secara acak!

AKI: Ups, kami sedang bergerak.

AKI: Aku juga tidak bertanggung jawab, jadi tidak ada hiburan lagi buatmu.

Iroha: Apa?! Aku ada di sini bukan untuk dihibur!

Iroha: Aku do sini untuk memastikan kalau kamu baik-baik saja, Senpai!

AKI: Sampai jumpa.

Iroha: HEEEEEEEEEEEEI! Aku belum selesai ngomong!!!

Iroha: WAAAH! SENPAI BODOH!

Iroha: SENPAI BESAR DAN BODOH!

***

Support kami: https://trakteer.id/lintasninja/

Lihat juga:

• Nonton Perman (1983) Episode 4: "Halo, Aku Perko!" Takarir Bahasa Indonesia - Lintas Ninja Fansub

←Sebelumnya          Daftar Isi           Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama