Prolog
Wajahku tidak punya fitur yang menonjol. Nilaiku tidak sempurna ataupun buruk dalam mata pelajaran apapun. Aku belum pernah mendapat tepuk tangan dalam pertunjukan musik, tidak pernah menjadi jagoan di tim olahraga manapun, dan aku biasa-biasa saja dalam segala bentuk seni. Aku membiarkan manekin di toko mendikte selera fesyenku, dan tidak tertarik membuat diriku tampak menarik di mata lawan jenis.
Biasa-biasa saja. Rata-rata. Diproduksi secara massal. Tanyakan pada seratus orang yang sudah meninggalkan kesan terkecil dalam hidup mereka dan aku pasti akan jadi yang pertama.... ...Tunggu, sebenarnya, mereka harusnya tidak mengingatku, jadi aku pun tidak akan memberikan jawaban.
Apalah itu, begitulah caramu menggambarkan Ōboshi Akiteru (aku), dan itulah ikhtisar dari statistik SMA-ku. Bahkan protagonis yang memasukkan diri sendiri dalam simulasi kencan SMA lebih menarik ketimbang aku.
Meskipun aku lembek, membosankan, dan tidak penting, mana mungkin sesuatu yang istimewa akan terjadi padaku selama peristiwa besar yang pahit dan manis yang dialami setiap remaja menantikan: Karyawisata yang akan datang. Sebetulnya aku tidak sedih mengenai hal itu, itulah yang aku mau.
Aku mendedikasikan seluruh masa remajaku untuk membuat gim bersama Aliansi Lantai 05. Kami memang masih duduk di bangku SMA, jadi kalau kami mau membuat gebrakan di industri ini, kami mesti menganggap ajang semacam ini sebagai ketenaran. Itu berarti menjaga jarak aman untuk menghindari pengaruh yang tidak semestinya, dan membiarkan mereka melewati kami. Lalu kami dapat mendedikasikan waktu kami secara efisien untuk hal-hal penting dan mencapai tujuan kami dalam waktu sesingkat mungkin.
Itulah filosofiku... ...sampai saat ini.
Memang agak ironis, sih, tetapi setelah banyak hal yang terjadi, aku mulai berpikir untuk mengevaluasi kembali sikapku pada kehidupan pribadiku. Saat itulah aku memusatkan perhatianku pada karyawisata itu: Kesempatan sempurna untuk melakukan hal itu. Dan saat ini aku sedang memikirkan karyawisata itu.
Itulah malam sebelum kami berangkat, dan aku tidak bisa tidur. Mungkin karena aku terlalu bersemangat buat menghadapi hari esok, bukan?
Salah.
"Senpai, Senpai, lihat ini, Senpai! Akhirnya aku bisa mengalahkan monster ini!"
Aku tidak menjawab.
Saat itu sudah larut malam, dan aku ada di apartemenku. Di kamarku, lebih spesifiknya. Lampu telah dimatikan, cuma menyisakan cahaya biru samar dari layar kristal cair. Dari posisiku berbaring di ranjang, aku bisa melihat perhiasan emas kepala di rambut bersandar pada bingkai ranjangku. Suara klik tanpa ampun dari kontroler saat dia menekan tombol demi tombol kayaknya memantul ke dinding.
"Hari-hari ini segalanya soal pelemparan kunai dan bom tong! Itulah gunanya para pemburu sungguhan! Rasakan itu!"
Aku tidak meresponsnya.
Ada karakter yang muncul di layar, sedang menggali mayat monster raksasa yang roboh di tanah. Itulah bagian terbaru dari gim berburu populer itu. Intinya yaitu bekerja sama dengan teman-temanmu dan mengalahkannya. Cewek ini sedang bermain sendirian.
"Wah, bos berikutnya ini sangat kuat! Hei, Senpai! Jangan tidur, dong, Senpai. Tolong aku sini!"
"Astaga, kamu menyebalkan sekali, deh! Mau berapa lama lagi kamu main di kamarku?!"
Akhirnya aku membentak.
Aku sih tidak akan peduli kalau dia cuma terus bermain sendirian, tetapi saat ini dia mencoba melibatkanku saat aku jelas-jelas sedang berbaring di ranjangku.
"Euh... ...Ada apa dengan bentakan barusan? Kamu sadar sudah jam berapa sekarang, bukan?"
"Aku akan segera membalikkan pertanyaan itu padamu. Aku juga akan membungkusnya dalam paket kecil yang rapi."
"Kamu tidak usah khawatir soal itu, Senpai! Dinding ini, seratus persen kedap suara, kok! Aku sangat berhati-hati untuk tidak mengganggu siapapun kecuali kamu, jadi santai saja, oke?"
"Kalau begitu, tidak akan ada orang yang menghentikanku untuk membentak."
"Iya; Itu membuatku melompat-lompat. Tuh, semua ini soal perhatianku saat aku sedang asyik memainkan gim yang bagus."
"Jadi, kamu boleh bersuara nyaring, sedangkan aku tidak boleh? Apa yang terjadi dengan kesetaraan jenis kelamin? Aku kira masyarakat sudah jadi lebih mendingan dalam hal ini."
"Pria dan wanita itu setara, tetapi kamu dan aku sama sekali lain dari kebanyakan pria dan wanita! Buat kita, akal sehat itu jadi omong kosong!"
"Ngomong-ngomong soal omong kosong..."
Cewek yang berguling-guling di lantai apartemenku sambil tertawa ini Kohinata Iroha. Dia itu adik cewek dari temanku, Kohinata Ozuma, yang tinggal di apartemen sebelah di lantai lima. Dengan kata lain, dia itu adik cewek dari temanku. Dia suka memperlakukan apartemenku sebagai rumah keduanya, datang tidak antar dan pulang tidak dijemput, dan dia berperilaku keterlaluan sampai-sampai membuatku jengkel. Namun, hari ini keadaannya agak lain.
"Mengapa kamu masih ada di sini padahal ini sudah larut malam, loh? Biasanya kamu sudah pulang jam segini."
"Ibu tidak mengalihkan pandangannya dariku, jadi aku jarang-jarang bisa mampir ke sini akhir-akhir ini. Akhir-akhir ini aku sangat merindukanmu, Senpai. Aku sangat merindukan kemesraan kita! Aaah, celakalah aku! Waaah!"
"Kamu menyebut itu akting? Aku sudah tahu kalau kamu bisa memasukkan lebih banyak emosi ke dalamnya ketimbang itu."
"Kita tidak sedang rekaman saat ini. Kamu tidak perlu menyutradarai aku."
"Euh."
Dia punya pendapat yang sangat valid.
Rengekannya mungkin palsu, tetapi aku percaya saat dia bilang tidak diizinkan untuk bersenang-senang untuk sementara waktu saat ini. Ibunya, Kohinata Otoha-san (atau Amachi Otoha-san) merupakan alasan utama Iroha tidak diizinkan untuk mengakses segala media hiburan apapun.
Biasanya hal itu tidak terlalu jadi masalah, karena Otoha-san begitu sibuk dengan pekerjaannya sampai-sampai dia hampir tidak ada di rumah, namun saat dia sedang liburan panjang dan menghabiskan waktu sekitar jam dua puluh empat per tujuh (kayak baru-baru ini), akan lebih sulit buat Iroha untuk mampir ke apartemenku dan menikmati hiburan yang dia tolak. Tidak heran kalau dia ada di sini saat ini, memainkan seluruh gim yang dia lewatkan.
"Bukannya kamu mesti terburu-buru menyelesaikan seluruh gim ini malam ini. Kamu kan bebas menggunakan apartemenku saat aku sedang berkaryawisata."
"Hmf. Kalau itu sih, tidak ada gunanya."
"Mengapa tidak ada gunanya?"
"Kalau tidak ada Senpai, ini namanya bukan apartemen Senpai lagi."
"Kalau kamu cuma datang untuk main-main, tidak masalah apa ada aku di sini ataupun tidak ada."
Iroha menghela napas secara berlebihan. "Kamu tidak paham. Kamu tidak paham, Senpai!" Dia mengacungkan jarinya ke arahku, bak seorang jaksa penuntut umum yang memberikan barang bukti penting. "Film tidaklah sama kalau kamu menontonnya melalui layanan streaming ketimbang di bioskop! Konser tidaklah sama kalau kamu menontonnya di televisi dibandingkan menontonnya secara langsung! Datang ke kamarmu tidaklah asyik kecuali kalau kamu ada di sini bukan untuk aku isengi! Ini tidak akan terasa nyata, mengisengimu dari kejauhan."
"Contohmu itu terlalu detail. Itu malah membuatmu tampak semakin bodoh."
"Aku cuma bilang, kalau aku mesti mengisi ulang tenagaku sebelum kamu berangkat."
"Astaga, mengapa ini sering terjadi akhir-akhir ini?"
Dengan "begini", Yang aku maksud yaitu mendapati seorang cewek di kamar yang sama denganku pada larut malam, sebelum aku lekas tidur. Aku yakin kalau aku mengeluhkan hal ini pada Ozu, ia akan menggodaku karena aku "beruntung".
Namun, baru-baru ini saja aku menyuruh cewek lain menginap di kamarku. Cewek itu tidak lain tidak bukan yaitu Tsukinomori Mashiro. Aku sedang memikirkannya saat ini. Dia merupakan teman masa kecilku, sedingin kulitnya yang pucat, dan dengan lidahnya yang tajam. Dia juga sepupuku, serta pacar palsuku yang terikat dalam kontrak. Sebenarnya ada banyak cara untuk menggambarkan hubungannya denganku, tetapi itu menunjukkan betapa dalamnya hubungan kami itu.
Pacaran palsu atau tidak, dia sudah menyatakan perasaannya padaku beberapa waktu lalu, dan aku tahu kalau dia belum menyerah padaku. Aku ceroboh dengan membiarkan dia menginap di apartemenku semalaman, mengingat situasi ini. Tidak ada yang perlu merasa bersalah — kami cuma bertukar pikiran untuk memperbaiki masalah kehilangan sementara Murasaki Shikibu-sensei — tetapi aku masih belum berhasil menjelaskan hal ini sepenuhnya pada ibunya.
Dan kini aku melakukannya lagi, hampir tidak lama setelah ini. Jelas, aku masih belum kapok.
"Tunggu, bukannya aku mau begini. Ditambah lagi, ini malam sebelum karyawisata... ...Mengantuk, tidak terangsang. Istirahat, bukan nafsu. Itulah yang aku cari saat ini..."
"Apa yang kamu gumamkan, Senpai? Kamu tahu kalau orang yang bicara sendiri itu bisa dianggap orang aneh yang tidak bisa punya teman, bukan?"
"Aku tidak berbicara pada diriku sendiri. Aku mencoba meyakinkan para Dewa soal sesuatu di sini."
"Tunggu, apa kamu yakin itu yang mau kamu lakukan? Itu satu miliar kali lebih aneh ketimbang berbicara pada dirimu sendiri." Aku bisa mendengar seringai dalam suara Iroha.
Kalau saja dia membiarkanku bersikap aneh. Komentarnya menarikku kembali dari ambang tidurku. Otakku sama efektifnya dengan Jell-O dalam hal segala kekuatan berpikir logis yang dia punya saat ini, dan aku dengan tajam membelakangi Iroha dan menarik selimut menutupi kepalaku. Lalu aku menariknya kembali beberapa saat kemudian.
Aku tidak bilang apa-apa.
"Nyehehe." Iroha memutar kepalanya — dan cuma kepalanya — ke arahku, seringai jahat di wajahnya dan binar mencurigakan di matanya.
Secara mental mengirimkan kutukan ke arahnya, aku menarik selimutku lagi.
"Bah!" Selimutnya turun lagi.
"Gaaarhh! Apa kamu sudah bisa berhenti?! Memangnya apa yang sudah aku lakukan sampai aku pantas menerima ini?!"
Aku ini memang seorang cowok yang sabar, tetapi aku pun punya batasnya. Apa, aku tidak sabar karena aku baru membentaknya untuk kedua kalinya? Aku mau melihatmu mencoba dan bertahan dengan bentakan ini meskipun itu sekali. Lalu beri tahu aku, aku punya sekring yang pendek.
"Aku tidak akan membiarkanmu tidur malam ini!" Iroha terkekeh.
"Mengapa kamu sangat hiperaktif saat ini? Biarkan aku tidur. Besok aku ada karyawisata."
"Iya, makanya aku melakukan ini—agar kamu ketiduran dan ketinggalan. Semua orang akan melihat kalau kamu pun, seorang cowok yang punya kendali penuh atas hidupnya seperti robot manusia super, dapat jadi lengah. Kepopuleranmu akan semakin meledak sampai semua orang di angkatanmu mau berteman denganmu! Selamat, Senpai! Kamu akan jadi pemenang sejati dalam karyawisata ini!"
"Wah, terima kasih banyak. Sayang sekali, aku tidak kayak kamu atau Tomosaka, jadi aku tidak mau jadi populer. Dan aku tidak akan pernah jadi populer."
Sebagai seorang siswi teladan, Iroha selalu jadi pusat perhatian di kelasnya, dan temannya Tomosaka Sasara selalu bersaing untuk mendapatkan perhatian tersebut. Pasangan ini punya kecemerlangan yang melampaui skala popularitas dan berada di luar jangkauan rata-rata manusia.
Tentu saja mereka berdua menarik secara fisik, tetapi mereka juga menyembunyikan bakat rahasia mereka. Dalam kasus Iroha, itu merupakan aktingnya dan dalam kasus Sasara, kemampuannya mendominasi media sosial. Keterampilan tersembunyi ini merupakan sumber kepercayaan diri dan karisma yang mereka tunjukkan di luar. Jelas sekali, makanya mereka sangat populer. Sungguh konyol menganggap kalau aku bisa mencapai hal itu dengan semakin menonjol karena satu kesalahan bodoh.
"Tetapi kamu ingin mulai bertingkah kayak seorang normie, bukan, Senpai?"
"Aku cuma sedikit mengevaluasi ulang pandanganku soal kehidupan pribadiku, cuma itu saja. Aku tidak mau jadi normie, dan lagipula, aku tidak akan pernah punya kualifikasi untuk jadi seorang normie."
"Tidakkah kamu berpikir kalau kamu bersikap agak kasar pada dirimu sendiri? Mengenalmu, Senpai, kamu pasti dapat dengan mudah jadi seorang normie kalau kamu sungguh-sungguh melakukannya!"
"Aku akan percaya kalau kamu menunjukkan buktinya padaku. Dan itu akan jauh lebih baik, karena kamu jelas telah banyak memikirkan hal ini."
"Jangan mulai bersikap analitis padaku! Aku cuma mencoba untuk mengobrol padamu. Apa gunanya cuti dari Koyagi kalau kamu tidak mau mematikan bagian otakmu itu?" Iroha menggelengkan kepalanya tidak setuju.
"Kamu tidak perlu mulai bersikap masuk akal saat ini, loh...?" gumamku, mengetahui bahwa aku jadi agak cengeng.
Itu cuma karena apa yang dia bilang sangat masuk akal. Aku sudah bicara dengan beberapa profesional kelas atas akhir-akhir ini —Canary, Amachi Otoha, Tsukinomori Mizuki— dan terus memantau tren di Honeyplace Works, dan aku mulai menyadari kalau Aliansi tidak bisa puas cuma dengan duduk dan bermain-main dalam gelembung kecil Koyagi lagi.
Senang rasanya mengetahui hal itu, namun tim kami itu kecil dan tidak punya anggaran yang memadai atau jumlah personel yang cukup. Mendorong tim itu terlalu keras bisa menghasilkan kerusakan yang nyata, kayak insiden baru-baru ini yang menimpa punggung Sumire.
Kalau aku mau rekan-rekan satu timku bercuti, aku mesti memerintahkan dan mengistirahatkan diriku sendiri. Lalu aku mesti memanfaatkan waktu luang itu untuk bicara dengan lebih banyak orang di luar penggemar produk kami, memperluas wawasanku, dan menghasilkan gim yang akan membuat Koyagi terpuruk dalam hal popularitas.
Paling tidak itulah rencananya, tetapi aku tidak melihat ada salahnya mengambil waktu cuti cuma untuk bersenang-senang bersama teman seangkatanku juga...
"Kalau kamu mau berbaur dengan masyarakat luas, langkah pertama yaitu begadang semalaman dan bermain-main denganku!"
"Kamu benar-benar punya kepercayaan diri yang tinggi untuk seseorang yang barusan bilang hal yang tidak masuk akal. Kamu tidak melakukan ini buatku. Kamu cuma mau bermain gim bersamaku."
"Yoi!"
"Setidaknya sangkallah perkataanku!"
Iroha seratus kali lebih lengket ketimbang biasanya malam ini. Inikah keadaan kucing dan anjing sehari sebelum pemiliknya pergi berlibur? Aku memang curiga kayak gitu, tetapi aku belum pernah punya piaraan sebelumnya, jadi aku tidak yakin.
Tidak ada keraguan kalau ini merupakan sebuah masalah. Kalau aku tidak cukup tidur, maka aku ketinggalan mungkin akan jadi kenyataan. Aku tidak mau ketinggalan...
Ternyata tidak ada yang mesti aku khawatirkan.
Tepat beberapa menit kemudian, dalam waktu seperdelapan puluh dari kegilaan hiperaktifnya, Iroha melemparkan tubuh bagian atasnya ke ranjangku dan tertidur lelap, berbaring di sana kayak tumpukan cucian yang belum aku singkirkan.
"Aku lupa kalau Iroha sebenarnya menjaga kesehatannya. Aku yakin kalau dia akan kesulitan begadang meskipun dia mau begitu."
Benar-benar sekejap saja. Aku hampir tidak percaya kalau dia berusaha memaksakan diri untuk begadang semalaman bersamaku, padahal aku baru akan pergi selama beberapa hari darinya. Bukannya aku akan pindah ke luar negeri atau semacamnya. Apa adik cewek temanku sangat mendambakan perhatian sebanyak ini?
Baterainya sudah benar-benar kering. Aku mengamati wajahnya, senyuman alami terbentuk di bibirku, sebelum kelopak mataku jadi terlalu berat untuk tetap terbuka.
"Selamat malam," kataku, meskipun tidak ada seorang pun yang mendengarku.
Lalu, aku membiarkan arus lembut tidur menarikku ke bawah.
"Di-Dingin!"
Rasa dingin yang tiba-tiba membuatku melompat dari ranjang.
Apa-apaan itu?!
Ditarik dengan paksa dari tidurku, aku duduk di ranjangku dan secara alami melihat ke sekeliling kamarku. Aku tidak marah atas gangguan itu. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tertidur, tetapi menilai dari segarnya tubuhku, mungkin itu sudah cukup untuk menyebutnya sebagai tidur malam yang nyenyak — tetapi siapapun akan waspada kalau mereka terbangun oleh dering alarm yang tidak mereka ingat pengaturannya. Apalagi saat mereka sudah terbiasa dengan tetangga mereka yang keluar masuk apartemen mereka dengan bebas, namun tidak dibangunkan dengan cara normal kayak gitu.
Aku mesti bangun, menangkap pelakunya (yang mungkin saja Iroha), dan menceramahinya dengan tegas secepat yang aku bisa.
"Apa sih yang kamu lakukan?!"
"Permisi? Apa yang sedang kalian lakukan?"
"Ap— Mashiro...-san?"
Di sana, di samping ranjangku, ada seorang cewek cantik berambut perak, menatapku dengan tangan di pinggulnya.
Itulah Tsukinomori Mashiro. Sedingin itu, kulitnya yang pucat dan nada suaranya yang tajam — Oke, aku sudah melalui ini. Intinya, Mashiro sedang berdiri di sana, tatapannya sangat dingin sampai-sampai dia kayak badai salju yang hebat. Setiap helai rambut di kulitku berdiri tegak, dan aku mendapati diriku penasaran kok aku masih bisa hidup setelah terkena cahaya itu.
Ah, kalian penasaran mengapa aku memanggilnya dengan "-san"? Itulah sesuatu soal suasana mengesankan di sekelilingnya yang memaksaku untuk bicara dengan hormat.
Awalnya aku kira tatapan itulah yang membuat sekujur tubuhku merinding, tetapi itu bukanlah sesuatu yang supranatural; hanya saja jendela kamarku telah terbuka lebar, membiarkan hembusan angin musim gugur yang segar masuk. Sebenarnya aku mestinya tidak bertindak sangat polos soal itu.
"Buat apa kamu membuka jendelaku?"
"Mengapa, kamu keberatan dengan itu?"
"...Tidak, Bu." Nada suaranya tidak mengundang perdebatan dan membuatku terhuyung-huyung untuk duduk tegak di ranjangku. Aku tidak paham. Ini apartemenku — dialah yang masuk ke sini dan membuka jendelaku tanpa meminta izin, jadi mengapa aku merasa menyesal? Mengapa dia melancarkan serangan ini pagi-pagi sekali sejak awal? "E-Eum, Mashiro-san. Bolehkah aku bertanya mengapa kamu marah?"
"Kamu tidak bisa menebaknya?"
"Eh, tidak... ...Sayangnya aku tidak punya petunjuk apapun."
"Ah? Maksudmu, wajar kalau kamu membiarkan Iroha-chan tidur nyenyak di kamarmu kayak gitu?" Mashiro menusukkan jarinya ke kaki di ranjang, seakan-akan dia mengutuk orang yang ada di ujung ranjang itu ke neraka. Aku mengikuti jari itu, lalu mendapati bahwa Iroha sedang tidur nyenyak dalam posisi yang sama persis kayak saat dia tertidur tadi malam. "Apa yang terjadi dengan jadi pacarku? Atau menurutmu status hubunganmu sebagai pacarku tidak jadi masalah, dan kamu dapat mengajak seorang cewek untuk tidur kapanpun kamu mau?"
"Euh..."
"Dasar tukang selingkuh!"
"Aku sangat menyesal!"
Aku tidak punya alasan yang sah. Aku memang sampah, polos dan sederhana. Tentu saja, aku tidak benar-benar berpacaran dengan Mashiro, tetapi dia masih punya hak untuk mengeluh soal ini.
"Aku tidak percaya ini! Kamu yang terburuk! Orang mesum! Iblis yang nafsu!"
"Tidak! Aku berjanji kami tidak melakukan sesuatu yang aneh! Kamu salah paham, Mashiro!"
"Apa, jadi kamu membuat alasan dan mencoba menyalahkanku? Apa, aku sangat bodoh sampai-sampai tidak paham? Begitukah maksudmu?"
"Tidak! Bukan itu maksudku!"
"Kamu tidak akan pernah tahu bagaimana mesti bereaksi saat kamu ketahuan melakukan sesuatu yang buruk. Kamu tahu kalau anak SD pun bisa mengetahui sebanyak itu, bukan? Kamu membuatku kecewa."
"Maafkan aku! Aku benar-benar minta maaf! Itu semua salahku!"
"Kamu pikir aku akan memaafkanmu cuma karena kamu meminta maaf?"
"Hngh. Aku mau memberi tahumu betapa tidak masuk akalnya hal itu, tetapi menurutku kamu suasana hatimu sedang tidak enak buat mendengarkanku..."
"Tentu saja tidak! Kamu cuma perlu diam dan menerimanya! Hmf!" Mashiro cemberut dan membuang wajahnya dengan tajam, sebelum bergumam, "Setelah semua keberanian yang aku kumpulkan, mengira kalau kita bisa lebih dekat dalam karyawisata ini... ...Segala sesuatunya tidak bisa jadi lebih buruk lagi!"
"Eum... ...Ehh... ...Maafkan aku. Aku tidak begitu paham. Bisakah kamu bilang sekali lagi, agak lebih nyaring, sampai-sampai telingaku yang cacat dapat mendengarmu?"
"Aku barusan bilang bagaimana cowok bajingan yang menjemput cewek-cewek pada malam sebelum bulan madu dapat mati dalam api!"
"Itulah hal yang sangat buruk untuk 'dikatakan saja'! Selain itu, ini bukanlah bulan madu kita; ini cuma karyawisata."
"Permisi? Apa kamu benar-benar berpikir kalau kamu berada dalam posisi yang tepat untuk berkomentar saat ini?"
"Maaf."
"Hah!?" Mashiro mendengus dan mengalihkan perhatiannya ke barang-barang lainnya di kamar itu. "Begitu. Jadi dia datang untuk bermain gim."
Ada kontroler tergeletak di sebelah tangan Iroha, dan layar televisi masih menyala, menunjukkan si pemburu terjebak dalam animasi menganggur tanpa akhir sambil menunduk ke resepsionis di depannya. Tampaknya barang buktinya sudah cukup untuk membuat Mashiro kembali sadar.
"Itu benar," kataku. "Otoha-san sedang liburan dari bisnisnya, jadi Iroha datang untuk memainkan kumpulan gim ini. Secara pribadi, menurutku dia tidak mesti segera datang ke mari. Dia akan bisa bermain di sini semaunya setelah kita selesai dalam karyawisata."
"Aku tahu kalau dia itu musuhku, Aki, tetapi bukannya menurutmu itu agak kejam?"
"Apa?"
"Ah, sudahlah. Mungkin menurutku lebih baik kalau aku tidak bilang apa-apa." Apa yang dia bicarakan?
Cewek-cewek dalam hidupku punya kebiasaan membuat pernyataan yang membingungkan dan berbicara pelan-pelan sampai-sampai aku tidak bisa memahami apa yang mereka bilang. Aku harap mereka tidak melakukannya; Ada risiko kalau aku akan kehilangan beberapa informasi penting yang mungkin dapat aku gunakan untuk membuat hidupku jadi lebih efisien.
Paling tidak Mashiro tidak terdengar kayak dia marah lagi. Aku memutuskan untuk bangun sebelum aku melakukan sesuatu yang membuatnya marah lagi, agar kami bisa melupakan semua hal di belakang kita ini.
Saat aku hendak bangun dari ranjangku dan seprainya berdesir, Iroha mulai menggeliat. "Mmngh... ...Senpai... ...Dingin sekali..." Dia menarik selimutku ke arah dirinya. Begitu selimut itu diremas sepenuhnya olehnya, dia membenamkan wajahnya ke dalamnya. "Mmh... ...Bau Senpai... ...Sangat menenangkan..."
"Ngh... ...Ngh...!"
Rupanya kata-kata itu telah menyulut granat yaitu amarah Mashiro. "Iroha-chan! Bangunlah. Bangunlah!"
***
"’Pacarku dan Adik Cewek Temanku Mau Bertarung Sampai Mati!’, Bagaimana menurutmu, Aki? Saat ini ada judul novel ringan buatmu."
"Padahal kamu bisa mengatakan hal lain, tetapi kamu lebih memilih untuk mencoba membuatku marah? Aku khawatir suatu hari kamu akhirnya akan melampaui batasmu, Ozu."
"Tunggu, aku mengacaukan judulnya. Semestinya: ’Sepupu serta Teman Masa Kecilku, yang juga merupakan Pacar Palsuku, dan Adik Cewek Temanku Mau Bertarung Hingga Mati!’"
"Itu terlalu banyak informasi yang tidak perlu untuk sebuah judul. Menjejalkan kata-kata sebanyak mungkin di sana untuk mencoba dan menyampaikan lagi sebenarnya dapat membuat itu semakin membingungkan."
Support kami: https://trakteer.id/lintasninja/