Yumemiru Danshi wa Genjitsushugisha [WN] - Seri 5 Bab 132 - Lintas Ninja Translation

baca-yumemiru-danshi-wa-genjitsushugisha-wn-seri-5-ch-13-bahasa-indonesia-di-lintas-ninja-translation

Bab 132
Tidak Dapat Aku Pahami

"..."

"..."

Jam pulang sekolah terakhir sudah semakin dekat, aku disambut tatapan bingung, bukan cuma dari Natsukawa, tetapi juga dari semua orang di ruang kelas. Tentu saja, tidak perlu dikatakan lagi, mana mungkin kami bisa menyelesaikan tugas ini dengan semua huruf ditulis tangan. Untuk mencegah kebocoran dari pihak luar, mereka dilarang membawa pulang tugas ini, dan sisa tugas itu dikumpulkan berdasarkan jenisnya dan disortir kembali  keesokan harinya.

"...Apa mereka memang selalu kayak gini?"

"Eh...?"

"Yang aku bicarakan itu Sasaki, oke? Dan para senpai kelas sebelas di pojok sana."

"Eum..."

Saat aku bertanya pada Natsukawa setelah berjalan keluar ke lorong, dia menggelengkan kepalanya, meskipun itu seakan-akan dia mengalami kesulitan saat menjawab pertanyaanku. Jawabannya sangat lain dari yang aku harapkan, dan mau tidak mau aku memalingkan seluruh tubuhku ke arah Natsukawa. Saat aku melihat wajahnya, dia tampak kayak tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan itu dengan kata-kata.

"Eh? Apa mereka tidak begitu?"

"Mereka itu para senpai yang bergabung di Ekskul Klub Sepak Bola yang sama dengan Sasaki-kun dan mereka bertugas sebagai manajer di sana... ...Pada awalnya mereka mengajariku banyak hal melalui Sasaki-kun."

"...Lalu?"

...Mereka berdua itu memang para senpai yang baik kalau dia menganggap mereka begitu saja. Namun, ada kemungkinan kalau Natsukawa cuma menganggap mereka kayak gitu karena dia itu baik hati. Mungkin juga kalau para senpai sebenarnya cuma mengincar Sasaki yang tampan dan mereka tidak memikirkan Natsukawa. Tetapi mungkin itu cuma cara pandang yang tampak sempit.

"Mungkin, ia sudah bosan dengan Panitia Pelaksana Festival Budaya. Ia sudah sering mengeluh soal itu selama beberapa kali waktu itu..."

"..."

Aku tidak bisa bertanya bagian mana. Beberapa waktu yang lalu, saat aku masuk ke dalam ruang kelas ini untuk pertama kalinya, aku mendapati ada sesuatu yang aneh. Beban kerja Panitia Pelaksana Festival Budaya yang jelas terlalu banyak ini dan cara kerja mereka yang tidak efisien. Kalau aku dipaksa untuk bekerja kayak gitu selamanya, aku mungkin akan mengeluh, "Kami ini sudah bukan anak kecil lagi!". Tidak, tunggu, kami ini memang masih siswa-siswi SMP belum lama ini. Namun, itu masih merupakan metode yang buruk dalam mengerjakan sesuatu.

"...Apa Sasaki juga kayak gitu?"

"Ten-Tentu saja tidak! Ia cuma tidak bisa menolak... ...Inoue-senpai itu pacar dari Kapten Klub Sepak Bola... ...dan Sasaki-kun juga diberi tahu oleh para senpai-nya, "Mari kita keluar dari sini dan pergi ke ekskul kita", kayak gitu..."

"..."

Gawat. Aku hampir saja mendecakkan lidahku, aku pun agak mendongak dan menelan ludahku.

Aku paham. Aku bisa memahaminya. Alasan mengapa para senpai kelas sebelas itu curiga pada Panitia Pelaksana Festival Budaya, dan alasan mengapa Sasaki bimbang antara perasaannya pada Natsukawa dan tekanan dari para senpai-nya. Aku tidak tahu mengapa aku tidak bisa memahami ini... ...Pengalaman kerja paruh waktuku mungkin akan sangat berguna dalam berbagai hal dengan cara yang tidak perlu... ...Mungkin aku akan lebih bahagia kalau aku belum mengetahui bagian yang itu.

Aku mengalihkan perhatianku dengan menggerakkan tubuhku.

Ada beberapa hal yang tidak bisa aku terima di dalam diriku. Tetapi aku tidak tahu apa itu. Apa jangan-jangan itu karena aku telah dirundung oleh OSIS atau karena aku telah melihat situasi macam apa yang terjadi pada Panitia Pelaksana Festival Budaya sebenarnya? Kalau dipikir-pikir lagi, aku rasa memang sudah semestinya begitu, tetapi aku merasakan perasaan tidak nyaman yang aneh. Ada sesuatu yang lebih dari itu.

"Tung-Tunggu sebentar...!"

Dia mencengkeram lengan bajuku. Aku lupa kalau aku berjalan semakin cepat untuk menyembunyikan ketidaksenangan di raut wajahku. Aku hampir meninggalkan Natsukawa di belakang. Aku sangat terkejut melihat betapa tidak mungkinnya hal itu terjadi. Aku tidak percaya kalau aku telah secara tidak sengaja melupakan Natsukawa....

"Tunggu —Ah..."

Saat aku berbalik, wajah Natsukawa lebih dekat dari yang aku kira. Dia sangat imut sampai pernah membuatku jatuh hati. Itu sangat jelas sampai-sampai aku mau tidak mau terdiam tanpa sengaja. Ah, dia imut sekali. Aku sangat menyadari bahwa "Makanya aku dulu menyukai cewek ini.", dan posisi bahwa "Mau tidak mau aku punya ekspektasi yang tinggi" membuatnya melakukan hal ini. Inilah pemandangan yang luar biasa indah buatku. Kalau ditengok ke belakang, itu cuma pemandangan semata saja.

—Ah.

Aku tidak paham mengapa aku memutarbalikkan pemandangan yang luar biasa indah ini.

"—A-Aku mesti berbelanja dulu..."

Wah, Natsukawa bergegas meninggalkanku. Rasa-rasanya ini kayak dia naik kereta peluru yang melintasi tempat yang tertutup salju yang diterangi oleh sang surya yang terbenam. Itu sangat disayangkan. Karena beberapa alasan, aku merasa kayak aku telah jadi sesuatu yang lain dari keberadaan idolaku yang aku dukung.

Apa ini yang dinamakan cinta? Keinginan untuk bertemu dengannya dan rasa kesepian karena tidak bertemu dengannya datang menghampiriku. Aku memang sudah mengalami hal ini berkali-kali sejak aku masih kelas delapan. Namun, yang aku rasakan saat ini merupakan jenis kesepian yang agak lain dari kesepian lainnya. Ini kayak perasaan yang biasa kalian rasakan saat aku pulang dari taman hiburan saat aku masih kecil dulu. Apa menurutku Natsukawa itu ibarat USJ?* (TL Note: Un*versal Studios Japan)

Mungkin ini memang bukan lagi cinta. Meskipun begitu, kayaknya kesombonganku karena ingin selalu ada di dekatnya, meskipun itu cuma sebentar, tampaknya tidak ada yang berubah sama sekali.

Aku merasa agak membenci diriku sendiri.

"Kakak ada di mana, Bu?"

"Entahlah? Apa dia tidak ada di kamarnya?"

Usai aku mandi, Kakak, yang biasanya duduk di sofa di ruang tamu dan bermalas-malasan, hari ini tidak ada di sana. Aku pun duduk di sana dengan senang hati, memainkan ponsel pintarku sambil bersantai, tetapi entah mengapa aku merasa agak gugup. Lagipula, aku baru selesai mandi, aku tahu kalau aku mungkin akan bermain gim di kamarku sambil minum es café au lait.

Aku berjalan menaiki tangga sambil mendengarkan suara es yang membentur gelasku. Kayaknya Kakak sedang lelah, tetapi aku tidak dengar suara apa-apa dari lantai atas. Biasanya aku bisa mendengar Kakak sedang berbicara lewat telepon dengan seseorang yang tidak aku kenal, mungkin seorang teman ceweknya. Tidak diragukan lagi, kalau Kakak berbicara padanya dengan gembira. Kadang-kadang aku masih tidak percaya kalau Kakak itu Wakil Ketua OSIS. Selain itu, aku merasa kasihan pada Kakak karena mesti berurusan dengan segala masalah itu di tengah-tengah persiapannya mengikuti ujian masuk kuliahnya. Sudah aku duga, aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau aku bergabung dengan OSIS.

Tetapi Kakak ya Kakak, dan aku ya aku. Begitulah cara kami menjaga jarak. Kalau aku berusaha lebih bersikap baik pada diriku sendiri, aku mungkin akan mendengarkan orang berkata "Itu menjijikkan" padaku. Dalam hal ini, pilihan terbaik yang dapat aku lakukan yaitu mengabaikan keadaan Kakak kayak yang biasa aku lakukan, lalu bermain gim dan bersantai.

...Eh? Apa aku membiarkan lampu di kamarku menyala?

"Selamat datang kembali."

"Ah... ...Aduh!!?"

Aduh, sakit sekali!!!?

Aku menghantamkan sikuku ke gagang pintu dengan sekuat tenaga. Aku mati-matian mempertahankan gelasku dengan satu tangan, tetapi itu memang salahku. Aku langsung mengeluh kesakitan dan menangis di tempat. Aku menatap Kakak, yang membuatku kaget dan tanganku terasa sangat sakit.

"Menakutkan!! Apa maksudnya Kakak duduk di ranjang di kamar seorang cowok kayak itu sesuatu yang wajar!? Kakak membuatku takut!"

"Kamu sangat menjengkelkan, memangnya apaan sih yang kamu takutkan?"

Mestinya akulah yang jadi satu-satunya orang yang masuk ke kamar ini. Karena beberapa alasan, lampu kamarku menyala, dan wajar saja kalau aku sangat ketakutan, saat mendapati ada seseorang yang duduk, tanpa bergerak sedikit pun, di tengah kamar ini, di atas ranjangku. Aku pun tidak menyadarinya selama sedetik pun. Seriusan, kalimat "Selamat datang kembali" yang dilontarkan Kakak sebenarnya bukan dimaksudkan untuk menyambutku kembali.

"Eh? Eh? Yang benar saja, apaan sih yang Kakak mau? Apa Kakak salah masuk kamar?"

"Tentu saja tidak."

Dasar Kakak s*alan! Mengapa Kakak mengambil alih ranjang seorang cowok dan bertindak sangat memerintah? Bukannya duduk di ranjang kayak gini itu bukanlah hal yang wajar? Kakak benar-benar duduk di atas ranjangku kayak bantal.

"Eh, ini soal Festival Budaya... ...dan—"

"Ah, Kakak hendak bicara soal Panitia Pelaksana Festival Budaya."

"..."

Kalau memang benar begitu, aku bisa paham mengapa Kakak datang ke kamarku. Tidak, itu tidak masuk akal karena Kakak masuk ke sini tanpa izin atau Kakak menempati ranjangku. Mengapa Kakak bersikap seolah-olah Kakak lebih punya hak atas kamarku ketimbang aku? A-Apa jangan-jangan... ...sejak awal ini sebenarnya memang bukan kamarku...?

"Begitu, ya. Aku menyadari sesuatu."

"...Hah? Apa kamu mendengarkan?"

"Tidak, aku tidak terlalu tertarik dengan hal itu, sih."

Aku meletakkan gelasku di meja samping dan duduk di ranjangku. Aku masih merasa sangat tidak nyaman di ruangan yang nyaman, yang aku ciptakan ini. Inilah ruang pribadiku dengan privasi tertinggi. Tentu saja, aku merasa sangat tertekan dengan kehadiran dunia luar. Tanpa di duga, itu di dalam kandangku.

Mengenai masalah anggota Panitia Pelaksana Festival Budaya, ada perasaan yang kuat kalau mereka ingin mengambil alih dan melepaskan diri dari OSIS dan melakukan apa saja semau mereka. Namun menurutku, kita punya masalah lain. Kita tidak boleh membiarkan Panitia Pelaksana Festival Budaya mengambil alih.

"Jadi — Ah."

Aku hendak bertanya pada Kakak apa Kakak tahu sesuatu, tetapi pandanganku mulai bergetar. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi, tetapi aku tahu bahwa kalau saja aku memegang gelas, aku pasti sudah menumpahkannya.

"—Hah...?"

Hah?

Aku sedang duduk di ranjangku sampai saat ini. Jika pandanganku tiba-tiba bergetar dalam keadaan kayak gitu, aku berasumsi kalau aku terjatuh ke ranjang. Aku tahu itu, jadi aku tidak terlalu terkejut.

Kalau bukan karena wajah Kakak yang menatapku tepat di atasku.

"...Eh? Apa? Hah? Eh? Apa yang terjadi?"

What's happened!?* (TL Note: Apa yang terjadi!?)

Aku terkejut melihat sesosok Mbak-Mbak yang tampak seperti dosen asing berpose kayak "OMG!" dalam benakku. Aku belum pernah melihat orang ini sebelumnya. Apa ini kepribadian keduaku? Atau apa ini aku di kehidupan sebelumnya? Aku sangat gugup sampai-sampai aku menciptakan suara yang aneh.

"...~~!"

Kakak, pelaku yang memegang bahuku, mendorongku ke belakang. Akibatnya, aku menatap Kakak dengan kepalaku di pangkuan Kakak, dan Kakak memasang wajah yang mengerikan, tetapi haruskah aku mengolok-olok Kakak? Aku menanggung begitu banyak rasa malu. Apa yang mesti aku lakukan kalau aku mesti menanggungnya?

"...Ada apa dengan keadaan ini?"

"Di-Diamlah."

Aku sangat terkejut dan heran dengan betapa mustahilnya hal itu, tetapi setelah aku berputar-putar sekali atau dua kali, aku jadi lebih tenang. Kakak juga pasti telah melepaskan sesuatu, atau jangan-jangan Kakak mendapat pukulan dalam perkelahian dengan raut wajah penuh semangat, sambil berkata, "Itu bagus, bukan...!?", dan membuat gerakan seakan-akan sedang menyeka keringat di dagunya. Jangan pernah biarkan keringat itu menetes ke arahku. Kakak berkelahi dengan siapa?

Hey! C'mon!!* (TL Note: Hei! Ayolah!!)

Apa itu benar-benar Kakak?

Author's Note: Are you OK?* (*TL Note: Apa Kakak baik-baik saja?)

Support kami: https://trakteer.id/lintasninja/

Follow Channel WhatsApp Resmi Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F

Baca juga dalam bahasa lain:

Bahasa Inggris / English

←Sebelumnya           Daftar Isi          Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama