Yumemiru Danshi wa Genjitsushugisha [WN] - Seri 9 Bab 207 - Lintas Ninja Translation

Baca-Yumemiri-Danshi-WN-Ch-207-Bahasa-Indonesia-di-Lintas-Ninja-Translation

Bab 207
Mimpi, Meskipun Aku Mesti Meninggalkannya

Cuaca di musim gugur ini tidak menentu. Saat itu mulai menunjukkan tanda-tanda tahunan biasanya, dan hujan deras tiba-tiba turun di malam hari. Suara hujan yang memantul dari atap, biasanya menstimulasi gendang telingaku saat aku sedang berbaring di ranjang. Trik untuk tidur dalam kondisi begitu yaitu, aku biasanya menganggap suara hujan itu sebagai suara yang menenangkan. Mungkin karena kondisi kesehatanku saat ini dan kekhawatiran yang aku alami sepanjang hari, aku mungkin merasa nyaman untuk membenamkan diri dalam sentimentalitas yang misterius. Sebelum aku menyadarinya, hari sudah pagi.

Saat aku selesai bersiap-siap dan meninggalkan rumah, ada banyak genangan air di luar, tetapi awan yang samar-samar cukup menghalangi sinar mentari pagi yang bergerak ke arah timur. Menurut ramalan cuaca, cuaca hari ini akan cerah. Aku merasa lega, karena tidak perlu membawa payung.

"...Apa kamu bawa perban pengganti?"

"Ah..."

"Dasar bodoh."

Dia itu memang Kakak yang mengambil keuntungan dari cederaku dan menumpang naik mobil Ibu ke dan dari sekolah, meskipun dia mengomeliku soal hal-hal semacam itu. Hei, hei, apa kamu yakin mau kehilangan salah satu dari sedikit kesempatan yang kamu punya untuk berolahraga? Baru-baru ini area perutku, aku tidak bisa bilang kalau aku banyak banyak berolahraga akhir-akhir ini, tetapi aku merasa seperti aku tidak bergerak sebanyak biasanya karena aku selalu hati-hati setelah aku cedera. Aku memang dulu pernah melakukan sedikit olahraga secara sukarela agar Natsukawa memperhatikanku sejenak, tetapi aku yakin cadangan ototku dari waktu itu akan segera habis. Sudah aku duga, aku tidak mau punya tubuh yang tidak keren, jadi paling tidak aku mesti membuat tubuhku sebagus mungkin...

Aku segera keluar dari mobil dan bergegas ke pintu masuk dengan banyak gerakan yang tidak perlu. Pintu yang aku tarik dengan berat badanku terhalang oleh kunci, dan aku pun ditolak oleh rumah kami. Aku menopang hidungku yang frustrasi dengan tersenyum sambil mengangkat ujung mulutku.

Aku agak merasa unggul saat aku naik mobil melewati siswa-siswi yang tampaknya mengalami kesulitan berjalan kaki ke sekolah, menghindari genangan air yang berserakan di pinggir jalan. Karena ini terjadi saat musim gugur, siswa-siswi yang diantar jemput ke dan dari sekolah setiap hari di tengah musim panas pasti tidak ada bandingannya. Aku yakin kalau kebaikanku akan berkurang dan di kehidupan selanjutnya aku akan terlahir sebagai hewan yang derajatnya lebih rendah ketimbang manusia. Menurutku, aku yang dulu berjalan kaki ke sekolah sepanjang jalan, akan terlahir kembali sebagai kucing cantik yang makan "tulle" setiap hari. Tidak, ...itu mustahil.

Kami tiba di sekolah dan berjalan melewati gerbang sekolah. Memang Kakak ini hebat, cara dia mengancam semua orang di sekitarnya dan memonopoli jalan bebas genangan air tidak menunjukkan belas kasihan pada siapa saja. Apa ini merupakan ekspresi dari niatnya kalau dia tidak membutuhkan kebaikan? Tampaknya dia masih belum melupakan sumpahnya dari kehidupan sebelumnya untuk menggulingkan Raja Agung Enma dan jadi pemimpin Neraka.

Saat aku pergi ke ruang kelasku, pemandangan yang sama seperti biasanya menyebar. Pada saat hujan di siang hari, kalian dapat melihat cewek-cewek tampak berbeda dari biasanya karena 'Panas dan lembab─' atau 'Seragamku basah─', tetapi tampaknya hujan yang turun semalaman tidak terlalu berpengaruh. Tatap...

Saat aku berjalan ke bangkuku, Natsukawa sudah duduk di belakangku seperti biasanya. Tampaknya Ashida tidak ada di sini hari ini. Setelah aku memberanikan diri untuk melewatinya dan meletakkan tasku di atas meja, aku membulatkan tekad memanggil Natsukawa, yang masih duduk diam.

"E-Euh... Selamat pagi."

"Selamat pagi..."

Kalau kalian bertanya mengapa aku mesti ragu-ragu untuk sekadar menyapa saja, yaitu, karena aku tidak yakin dengan suasana hati Natsukawa, dengan tatapan matanya yang masih tertunduk ke meja. Dia membalas sapaanku dengan tepat, dan aku penasaran, apa ini... ...tidak masalah?

"Natsukawa, kemarin..."

"..."

"...Eum."

Meskipun aku melanjutkan kata-kataku untuk bicara dengan segera, pandangan Natsukawa masih ke arah bawah meja tanpa bergerak sedikit pun. Natsukawa tidak bergerak sedikit pun, meskipun aku berharap melihat dia melakukan kontak mata dan menciptakan postur mendengarkan seperti model obrolan pada umumnya. Sejauh yang bisa aku pikirkan, ini perkembangan yang terburuk dan kata-katanya tidak dapat mengikuti kecepatan seperti kepalanya sedang pucat.

Sewaktu aku bergumam dengan canggung, Natsukawa dengan tenang berdiri.

"─Maaf. Sebentar, ya...."

"Ah, iya..."

Pada akhirnya, Natsukawa langsung keluar dari ruang kelas tanpa menatapku. Dia terasa dingin, atau lebih tepatnya, dia jelas sedang tidak enak badan. Aku tidak berani mengejarnya, dan aku cuma bisa duduk santai di bangkuku, seakan-akan aku sudah kehilangan seluruh tenagaku.

Meskipun aku tahu apa yang sedang terjadi, ini tetap kejutan besar buatku. Saat aku setengah linglung, aku menyadari kalau waktu pasti sudah berlalu, dan aku mendengar suara pemilik bangku di belakangku kembali. Alasan perginya dia sebelumnya dari bangkunya, pasti karena "Tidak ada yang bisa aku katakan padamu saat ini", dan walaupun dia balik lagi dengan ekspresi gembira di sini, cuma akan membuat ekspresiku jadi tidak karuan.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Untuk menjernihkan pikiranku, aku mengingat kembali peristiwa yang terjadi kemarin sepulang sekolah.

Nona Muda datang menghampiriku menawarkan diri untuk mengantarku pulang sampai cedera di tangan kiriku tidak jadi lagi masalah. Saat aku sedang bingung dengan tawaran yang tidak terduga ini, Natsukawa bertanya mengapa Nona Muda itu bilang hal semacam itu. Setelah beberapa tanya jawab di sana-sini, kami akhirnya sampai ke topik penyebab cederaku. Kalau dipikir-pikir lagi, aku mungkin mesti memaksakan diri untuk ikut campur dan mengatakannya.

Natsukawa mengesampingkan penyebab cederaku ini karena "kecerobohan"-ku. Tentu saja, itu yang aku bilang padanya. Natsukawa cuma bilang pada Nona Muda apa yang sudah aku jelaskan padanya. Nona Muda pasti sudah tahu di rumah sakit kalau aku tidak akan bilang yang sebenarnya pada orang-orang di sekitarku, tetapi...

"─Tidak, tentu saja, itu tidak benar!"

Jadi dia mengubah warna matanya, membentak dan bilang yang sebenarnya.

Aku tidak tahu, apa yang membuat Nona Muda marah — Iya, aku agak paham. Sikapnya padaku jelas melembut, dan dia bahkan menawarkan diri untuk bertanggung jawab atas cederaku. Dia pasti sangat merasa bersalah. Kalimat "Sajou Wataru cedera karena kecerobohannya" yang diucapkan oleh Natsukawa, yang tidak terlibat dan tidak ada hubungannya dalam kejadian itu, mungkin merupakan pernyataan yang membuat Nona Muda merasa kalau orang yang seharusnya dia pertanggungjawabkan direndahkan.

Tetapi, bukan itu masalahnya.

"Ia menusuk tangan kirinya sendiri untuk melindungi nyawaku!"

Bocor juga.

Seharusnya akulah yang bilang yang sebenarnya, bukan Nona Muda yang melakukannya. Ini bukan cuma soal aku dan Nona Muda. Alasannya selain membayar perawatan medis, Keluarga Shinonome bisa menekan OSIS dan memberikan penjelasan palsu pada pihak sekolah, dan karena niatku dan kenyamanan Keluarga Shinonome itu cocok. Meskipun lubang di tangan kiri ini benar-benar dibuat olehku, secara harfiah aku dilarang untuk membicarakan apa saja yang akan mengarah pada fakta kalau Nona Muda sudah mencoba melakukan sesuatu seperti mutilasi diri yang dapat menimbulkan cedera sendiri benar-benar tabu. Jadi, menutupi kebenaran ini sudah bukan cuma di antara kedua belah pihak.

Nona Muda bernapas di bahunya, bilang yang sebenarnya, seakan-akan dia menyerang Natsukawa dengan kebenaran. Aku jauh lebih pusing akibat fakta bahwa Nona Muda sudah melanggar larangan yang tabu tersebut ketimbang fakta bahwa Natsukawa sudah mengetahui kebenarannya.

"...Hei, Kakek Pengawas."

"A-Aku sungguh minta maaf..."

Seperti yang diharapkan dariku, aku tidak punya pilihan selain memelankan suaraku dan mengeluh. Kalau pihak sekolah ataupun orang dewasa lainnya menginterogasiku karena hal ini, aku tidak akan bisa lagi mencoba mengarang-ngarang alasan dan mungkin akan mengatakan yang sebenarnya, termasuk fakta bahwa Nona Muda mau menodongkan pisau pemotong (cutter) ke leherku. Aku memikirkan hal itu karena merekalah yang pertama kali memberi tahuku, dan karena aku sudah sampai sejauh ini, mana mungkin lagi aku bisa menyembunyikan kebenarannya dari mereka sebagai siswa SMA. Saat asap bocor di luar, tidak peduli apa kalian itu orang dewasa atau anak-anak, kalian pasti akan ribut soal kebakaran.

"Nona Muda...!!!"

"Hi—...Ah."

Nona Muda yang gelisah itu mendapatkan kembali ketenangannya setelah kakek-kakek itu mengelus pundaknya dan memanggilnya dengan lebih keras dari sebelumnya. Namun, itu sudah terlambat.

Nona Muda, mungkin memikirkan kembali apa yang dia katakan kurang dari sepuluh detik sebelumnya, dan wajahnya memucat lalu jatuh dalam keadaan tercengang. Tampaknya, meskipun dia merasa menyesal atas cederaku ini, kepribadiannya yang suka berkeliaran ke arah yang aneh, sama sekali tidak berubah.

Di sisi lain, ada juga hal yang mesti aku lakukan.

"Na-Natsukawa. Sebenarnya begini..."

"─....–ngapa....?"

"Apa...?"

Aku tidak sadar kalau Natsukawa sudah berdiri secara diagonal di belakangku, karena aku habis menahan Nona Muda untuk membuatnya diam. Aku tidak merasakan apa-apa, kecuali perasaan canggung, karena sudah berbohong padanya, dan saat aku berbalik dan melihat ke tanah untuk menghindari kontak mata, aku melihat bintik-bintik basah di tanah di bawah kaki Natsukawa. Saat aku mendongak ke atas, aku lupa berkedip.

"Mengapa... ...jadinya begitu?"

"...!"

Itu merupakan air mata yang pertama kali aku lihat keluar darinya. Aku cuma bisa mengikuti arah tetesan air mata itu yang tidak sengaja mengalir di pipiku dengan mataku. Aku berusaha untuk mengatakan sesuatu padanya, namun pikiranku sedang kosong.

Aku sudah bohong. Terlebih lagi, di luar rasa bersalahku karena berusaha membuatnya diam, aku rasa Natsukawa sedang menungguku, pipinya menggembung kayak biasanya.

Kalau dipikir-pikir lagi, mungkin kecerobohanku yang membuatnya berpikir begitu. Aku memang pernah bersumpah untuk tidak akan mengganggunya lagi — Meskipun aku kira aku sudah bersumpah untuk melakukan itu. Aku sangat senang bisa ada di dekatnya sampai-sampai aku tidak bisa mematahkan perasaanku padanya, dan sekarang tagihan untuk sumpah itu sudah jatuh tempo.

Cuma pada saat-saat kayak gini, aku tidak punya kebijaksanaan untuk mengorbankan tangan kiriku secara mendadak.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama