Bab 208
Objek Ketakutan
"Mengapa... ...kamu melakukan hal semacam itu....?"
Dia memang tidak tampak sedih pada awalnya. Dia tampak terkejut, dan matanya terbuka lebar. Dia tampaknya tidak menyadari kalau dia sedang meneteskan air mata. Pada saat itu, aku begitu kesal dengan situasi yang mendadak ini, sampai-sampai aku tidak punya waktu untuk kepikiran, mengapa perilaku Natsukawa berubah.
"Mengapa sih... ...tidak, ini lebih dari itu..."
"'Lebih dari itu.'...? Ya..."
Mata Natsukawa menyipit lebih tajam dari yang pernah aku lihat sebelumnya saat aku akhirnya mengeluarkan kata-kataku. Itu pasti mengaburkan pandangannya dan Natsukawa pada akhirnya tampaknya menyadari perubahan yang terjadi di dalam tubuhnya.
"Ah..."
Tetesan air mata jatuh dari pipi Natsukawa dan mengenai tangannya yang terbuka. Saat dia mengusapkan tangannya ke wajahnya dan memastikan bahwa ujung jari yang menyentuh pipinya basah, wajahnya yang rapi jadi berkerut seakan-akan dia sadar, dan dia menyeka matanya berulang kali dengan ujung lengan bajunya seakan-akan dia tergesa-gesa.
"Na-Natsukawa..."
"...!"
"Ah..."
Saat aku mengulurkan tangan tanpa berpikir panjang, Natsukawa mengambil langkah menjauh dariku, seakan-akan dia sudah dipermainkan. Kenyataan bahwa aku belum mampu untuk mengungkapkan alasanku sampai saat ini merupakan kejutan kuat buatku. Aku terdiam tanpa sengaja.
"Ma-Maafkan... ...aku...!"
Natsukawa pun tampak kesal. Aku bisa tahu kalau dia mati-matian untuk menghentikan air matanya. Namun, ujung lengan bajunya semakin basah, dan dia tampak tidak bisa berbuat apa-apa.
"─...!"
"Ah..."
Natsukawa berbalik untuk menyembunyikan wajahnya yang menangis dan mulai berlari. Tidak butuh waktu lama sampai punggungnya tidak terlihat lagi di luar gerbang sekolah. Meskipun seandainya aku berusaha mengejarnya, tubuhku tidak bisa bergerak, seakan-akan aku sedang diikat. Meskipun seandainya aku dapat bergerak, aku tidak punya kepercayaan diri untuk melakukan apa-apa mengenai situasi ini, atau kata-kata yang bisa aku ucapkan saat ini.
"—..."
Aku tidak tahu entah sudah berapa lama waktu berlalu, aku jadi tertegun, pikiranku kosong, dan lalu tubuhku jadi bebas. Perasaan nostalgia akan kehilangan yang begitu jelas ditolak oleh orang yang aku sukai, membuatku jadi tenang, dan aku mulai memikirkan alasan mengapa Natsukawa melarikan diri dariku.
─ Kalau aku pikirkan lagi matang-matang, itu juga sudah benar, bukan?
Kalau aku pikir-pikir lagi, itu merupakan kesimpulan yang wajar. Pertama-tama, alasan mengapa aku tidak mau Natsukawa mengetahui kebenaran tentang cedera ini merupakan jawabannya.
Ada seseorang di depanku yang menodongkan pisau pemotong (cutter) ke lehernya sendiri. Aku tahu kalau aku terus menyaksikan saja, sebuah tragedi yang mengerikan akan menantiku. Jadi aku mesti melakukan sesuatu.
Iya, langsung saja aku tunjukkan saja pada orang itu darah karena cedera di depannya.
Itu memang ide yang gila. Sungguh gila rasanya melukai diri sendiri begitu dalam untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Nyatanya, aku pun sangat menyesal setelah aku melakukan itu. Mengapa aku mesti melakukan itu dengan cara begini? Pasti ada cara lain yang lebih aman, bukan?
Natsukawa tidak bisa terima kalau aku sudah melakukan hal semacam itu. Dia tidak mau percaya kalau seseorang yang dekat dengannya sudah melakukan hal yang begitu gila. Dia takut akan dorongan ini yang menurutku sendiri pun juga menakutkan.
Ini bukan sesuatu yang dapat dia pikirkan secara logis. Makanya dia tidak punya pilihan lain selain meneteskan air mata di luar kesadarannya dan melarikan diri kayak gitu. Demi melindungi dirinya sendiri dari sesuatu yang tidak bisa dia pahami, untuk menjauhkan diri dariku.
"—Pak Sopir."
"! I-Iya..."
"Bisa tidak aku mendapatkan tasku kembali? Aku tidak perlu Anda menjaganya dalam perjalanan pulang atau semacamnya."
"Hah, ...Te-Tetapi."
"Anda tidak perlu melakukannya."
"...Silakan."
Aku mengambil tasku yang disodorkan ke tanganku seakan-akan aku mau merebutnya. Kalau dipikir-pikir lagi, menurutku aku memang sudah bersikap tidak sopan pada Pak Sopir itu. Aku memang agak marah, tetapi sejujurnya tidak terlalu marah. Aku juga merasa sedikit lebih mendingan, karena aku tidak lagi merasa bersalah karena terus menyembunyikan kebenaran.
Lagipula, entah mengapa, dengan samar-samar aku sudah tahu, Natsukawa akan bereaksi bagaimana pada kebenaran ini. Makanya aku tidak bilang padanya, karena aku takut dia akan memandangku kayak gitu. Karena aku akan melakukan hal yang sama, andai saja orang itu bukan Nona Muda yang menodongkan pisau pemotong (cutter) ke lehernya sendiri pada waktu itu. Pada saat itu, aku memang sadar akan nasibku bahwa hal ini mungkin akan diketahui cepat ataupun lambat.
"E-Eum...!"
"...Ada apa?"
"Itu..."
Nona Muda itu tampak agak putus asa. Dia mendekatiku dan meminta maaf, sambil dengan cemas menarik bagian seragamku.
Menurutku, aku sudah sampai pada batas waktuku.
Fakta kalau dia itu meminta maaf, itu berarti kalau dia masih berusaha memulihkan kembali hubungannya denganku. Padahal ini hubungan yang tipis yang pada awalnya dihubungkan oleh penghubung yang bisa meledak dalam sekejap. Terlebih lagi, harusnya akan lebih mudah kalau kami tidak pernah terlibat satu sama lain lagi.
"Kamu itu cewek yang bandel. Kamu memang begitu."
"Ah..."
Seakan-akan untuk menghadapkan aku pada kemungkinan yang nyata, aku menyentuh leher yang ditodongkan pisau pemotong (cutter) pada waktu itu dengan tangan kiriku. Kulit yang halus, yang terlindungi sebagai ganti dari cederaku, memang terasa hangat bahkan melalui tanganku yang diperban, dan aku bisa tahu, kalau kulit itu bisa saja mengeluarkan banyak darah.
"Ha-Habisnya... ...Natsukawa-san—"
"Tidak usah khawatirkan itu!"
"...Maafkan aku."
Ke mana perginya sikap tegasnya saat menyanggah Natsukawa? Nona Muda kuat yang dulu ada di atas panggung, sekarang tidak lagi bisa ditemukan. Yang ada di sini sekarang malah Nona Muda yang lemah dan mudah disentuh lehernya oleh seorang cowok yang licik. Cara Nona Muda menatapku pada saat aku melepaskan tanganku, sungguh sangat meninggalkan kesan buruk buatku.
Pada akhirnya, aku tidak pernah diurus oleh Keluarga Shinonome.
♦
Pada akhirnya, aku mesti bilang, perban di tangan kiriku tidak lagi berdarah dan aku jadi tenang. Aku mulai terbiasa dengan sensasi nyeri dan gatal yang timbul akibat proses regenerasi kulitku ini. Aku benci tangan kiriku karena aku pikir kalau bukan karena tangan ini, hal-hal yang seperti kemarin itu tidak mungkin terjadi.
Meskipun begitu, kalau aku menabrak dinding di sampingku lagi, meskipun aku tidak mau, aku mungkin akan disadarkan oleh Natsukawa lagi. Sampai kemarin, aku mungkin cuma dicap sebagai 'si ceroboh', tetapi sekarang aku mungkin disalahpahami dan ditakuti sebagai "Cowok ini memang b*jingan gila yang akan melakukan hal semacam itu.". Ini memang benar-benar sangat menyebalkan... ...Percayalah.
Terima kasih berkat kalian semua, pemikiran naif bahwa "Ini soal diriku sendiri" sudah hilang. Aku akan menjaga tangan kiri ini dengan segala cara. Aku bersedia mempertaruhkan tangan kananku untuk itu.
(TL Note: Hei, sudah kita gak mau punya MC yang kedua tangannya cacat!)
"...."
Natsukawa, yang duduk di bangku belakang, tidak mengeluarkan suara atau bergerak sedikitpun. Aku yakin dia masih menundukkan kepalanya. Kalau cuma karena aku di dekatnya, dia melakukan itu, maka hal mudah yang bisa aku lakukan yaitu menceritakan yang sebenarnya secara singkat. Tetapi, kalau tidak ada yang berubah, meskipun aku sudah menjaga jarak, maka aku mesti menghadapinya dengan benar.
Andai saja penyebab yang membuat Natsukawa menangis itu persis kayak yang aku duga. Aku punya alasan untuk membuat Natsukawa memahami kalau tindakanku dengan benar. Itu berarti, "Aku tidak akan pernah melakukan hal yang serupa lagi". Lalu, pada saat itu, aku tidak punya cara lain untuk menghentikan tindakan Nona Muda di Ruang OSIS. Meskipun begitu, aku dapat memastikan, kalau aku tidak akan melakukan tindakan yang serupa lagi.
─ Habisnya, aku tidak menduga kalau rasanya akan sesakit ini...
Itu memang menyakitkan. Itu sangat menyakitkan. Itu tidak ada pada tingkat rasa sakit yang biasa. Rasa sakit yang parah ini merupakan gambaran yang tidak bisa ditentang. Itu memang rasa sakit yang meledak-ledak. Bergantung pada keadaan perutku, bahkan harga diriku pun juga akan berakhir. Aku tidak bisa meramalkan hal ini dan aku tidak tahu apa makna dari adanya benda asing yang menancap di telapak tanganku.
Aku memang biasa menonton berita soal pengaruh negatif dari anime, manga, dan gim pada anak-anak seakan-akan itu masalah orang lain, tetapi tampaknya aku juga sangat terpengaruh oleh media-media tersebut. Aku sudah melihat terlalu banyak adegan di mana seorang karakter utama cowok menggunakan dirinya sebagai tameng untuk melindungi teman-temannya dan mencabut pisau yang tertancap di bahunya dengan ekspresi kosong di wajahnya. Di suatu tempat dalam benakku, aku berpikir, "Iya, itu memang keren".
Coba saja aku sudah tahu rasa sakit karena melakukan itu sebelumnya. Meskipun ini memang keadaan darurat pada tingkat tertinggi pun, pilihan untuk mengambil gunting pemotong (cutter) yang tergeletak di lantai, pasti akan lenyap pada kesempatan pertama. Menurutku, paling tidak aku akan menendang kotak pena yang isinya berceceran ke mana-mana itu dan menjauhkan kepala Nona Muda itu — Itulah yang mungkin akan aku lakukan...!?
(TL Note: Kenapa baru kepikiran sekarang, Bang!?)
Pada akhirnya, aku meremehkan umpan balik dari tindakan yang merugikan diriku sendiri tersebut. Aku tidak akan pernah rela mengorbankan diriku untuk membantu orang lain lagi. Tidak ada gunanya mengorbankan diriku untuk seseorang yang bukan keluarga atau cewek yang aku cintai. Fakta kalau penyebab cedera ini karena kecerobohanku juga itu sama saja.
Kalau saja aku bisa menjelaskan hal itu pada Natsukawa suatu saat nanti.—
Paling tidak, tidak untuk saat ini. Baik kemarin, maupun hari ini, buat Natsukawa, aku akan jadi cowok yang paling tidak bisa dimengerti dan gila. Meskipun aku berperilaku normal, dia mungkin akan menjauhkan diri dariku cuma dengan aku bicara padanya. Aku mungkin bisa dengan terpaksa bilang padanya, tetapi... ...hatiku tidak akan kuat menerima hal itu. Aku akan menunggu sampai tangan kiriku sembuh dan kalau stress dari situasi ini menyebabkan ketidakseimbangan hormon, aku mungkin sudah menumbuhkan jari dari area yang terluka.
Untungnya, Natsukawa dan aku saat ini duduk di depan dan di belakang satu sama lain. Aku akan sangat menghargai kalau dia bisa terbiasa melihat punggungku tanpa bicara padaku. Kalau itu membuat Natsukawa tersenyum manis seperti biasanya, tidak apa-apalah. Kalau itu gagal, aku akan membiarkannya mendengarkan ceritaku tanpa ada jarak cinta apalagi cinta sejati.
"Kita akan mengganti posisi bangku hari ini!"
Untuk saat ini, dengan begini — Apa?
"─Ba-Baiklah! Kalau begitu, mulai hari ini dan seterusnya, kalian semua akan duduk di posisi bangku ini!"
"...?"
Saat aku mulai menyadari, Natsukawa sudah tidak lagi duduk di belakangku.
Author Note: Meskipun ini tidak ada hubungannya dengan cerita utama, tetapi ada kesalahan di animenya, jadi aku meminta maaf di Laporan Aktivitas.
Admin Note: Ada di Laporan Aktivitas 16.
Follow Channel WhatsApp Resmi Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F
Baca juga dalam bahasa lain: