Yumemiru Danshi wa Genjitsushugisha [WN] - Seri 9 Bab 206 - Lintas Ninja Translation

Baca-Yumemiru-Danshi-WN-Ch-206-Bahasa-Indonesia-di-Lintas-Ninja-Translation

Bab 206
Aku Tidak Bisa Membiarkannya Begitu Saja, Bagian 6

Di sebuah ruang di bagian belakang tempat parkir sepeda, di mana jarang ada siswa-siswi di sana. Seakan-akan mereka sudah bisa menebak apa yang akan terjadi, Wataru dan Shinonome-san berjalan menuju ke tempat itu. Aku buru-buru menyusul di belakang mereka.

"..."

"...Begitu, ya?"

Tidak bisa mencerna situasinya, cuma dengan tatapan yang bergulir di antara Wataru dan Shinonome-san. Aku punya firasat buruk akan sesuatu, tetapi ketegangan di tempat itu menahan kata,-kataku agar aku bisa mendengarkan cerita secara detail.

"...Jadi? Ada alasan apa kamu datang bicara empat mata denganku, seakan-akan kamu sembunyi-sembunyi di suatu tempat, dalam situasi kayak gini?"

Wataru bertanya dengan nada suara yang agak melantur. Seakan-akan ia tidak berpikir apa-apa setelah mendengar kata-kata Shinonome-san kalau dia sedang diawasi sesuai dengan arahan keluarganya. Tampak jelas kalau dia bermaksud untuk menghilangkan suasana yang semakin keruh.

"...Tangan ini..."

"!"

Menanggapi kata-kata Wataru, Shinonome-san membalas tatapan yang menyakitkan. Titik tatapan itu tertuju pada tangan kiri Wataru, yang sedang diperban dengan sedikit bercak coklat kemerahan. Setelah menatapnya selama sejenak, dia maju mendekati Wataru, seperti yang dia bilang dia diizinkan untuk melakukannya di bawah batasan ada di dalam pengawasan.

"Hei, apa yang..."

Wataru berjalan mundur satu langkah. Namun, Shinonome-san tidak kunjung berhenti berjalan maju dan terus berjalan ke depan posisi Wataru saat ini. Lalu, dengan lembut dan hati-hati, dia mengangkat tangan kiri Wataru, sambil dia perhatikan, agar tidak menyentuh bagian yang cedera. Aku dan Wataru pun terkejut dengan tindakannya yang mendadak ini.

"Ah, ...ini semua salahku, ...kalau saja aku tidak melakukan itu..."

"Tidak, sebentar, ...Nona Muda..."

Seolah-olah sedang mengobati pembengkakan, Shinonome-san meletakkan tangan kiri Wataru di atas telapak tangannya sendiri dan mengelusnya dengan ujung jari yang berlawanan. Lalu, seakan-akan untuk menghilangkan kekesalan dari wajah Wataru, dia menempelkan pipinya yang putih itu ke telapak tangan itu dan memejamkan matanya seakan-akan sedang berdoa. Wajahnya menunjukkan raut kesedihan dan penyesalan. Dia tampak seperti ingin menangis setiap saat.

Saat aku tercengang, sopir itu, yang bilang kalau ia sedang mengawasi Shinonome-san, kini mulai bergerak.

"Sini tas Anda."

"Eh..., eum, eh, ini tasnya Wataru..."

"Saya tahu."

Kakek-kakek yang sangat tua itu mengulurkan tangannya yang bersarung tangan putih padaku, dan tanpa sengaja, aku hampir menyerahkan tas Wataru tanpa ragu-ragu. Namun, aku mampu menguatkan genggaman kedua tanganku dan memeluk tas itu dengan erat agar tidak diambil.

"Aku yang akan mengantarkan Tuan Sajou pulang ke rumahnya."

"I-Itu..."

Aku pun bingung, dan saat aku mengalihkan pandanganku ke arah Wataru, mata kami langsung berhadapan.

Wataru, yang tangan kirinya masih digenggam oleh Shinonome-san, mengangguk-angguk seakan-akan ia sudah menyerah dengan ekspresi bingung. Aku pun mengendurkan tanganku dan mengulurkan tasnya itu.

"Tas Anda, saya taruh di bagasi, ya."

"Ah..."

Rasa kehilangan yang muncul saat udara tidak lagi masuk ke dalam tas Wataru yang kosong melompong. Tas Wataru mungkin sudah menjadi tameng pertahanan yang membuatku bisa menenangkan diri di tempat ini. Kehilangan tas itu, tiba-tiba aku merasa rentan dan tidak aman.

"Sajou-san."

"...Ada apa?"

Shinonome-san mundur selangkah—, tetapi mulai bicara sambil tetap memegang tangan kiri Wataru. Saat ia dipanggil, Wataru membalas dengan nada suara yang terdengar seperti ia sedang jengkel. Aku penasaran apakah Wataru tidak takut karena bagian yang terluka dipegang oleh pihak lain? Meskipun ia dengan lembut mencoba membuat Shinonome-san melepaskannya..., ...melakukan sesuatu seperti perlawanan itu agak berlebihan...

"Aku dengar kalau orang tuamu mengantar-jemputmu ke dan dari sekolah."

"Iya, benar. ...Aku tidak tahu kamu mendengarnya siapa."

"Dan saat kamu pulang hari ini, orang tuamu tidak bisa datang dan makanya kamu mesti pulang ke rumah dengan berjalan kaki."

"Eh, yang benar saja, deh, siapa yang memberi tahumu?"

Kalau dipikir-pikir, iya juga. Wataru memang diantar jemput ke dan dari sekolah oleh orang tuanya menggunakan mobil untuk meringankan dampak dari cedera di tangan kirinya, tetapi ia berjalan pulang bersamaku hari ini. Aku terlalu sibuk pulang bersamanya sampai-sampai aku tidak pernah menanyakan hal itu padanya. Begitulah yang terjadi.

Dari mana Shinonome-san mengetahui hal ini? Entah mengapa, aku merasa dia kayaknya punya kekuatan yang tidak dipunyai cewek-cewek pada umumnya, tetapi aku penasaran apa aku dapat mengetahui hal itu juga kalau aku mau...

"Maka dari itu, mulai hari ini, aku akan bertanggung jawab sebagai orang yang mengantarmu pulang sampai cederamu ini tidak lagi jadi beban buatmu."

"Apa...?"

Wataru tampak terganggu dengan situasi di mana Shinonome-san terus mengetahui situasi ini dari awal hingga akhir. Hal yang sama juga terjadi padaku. Aku sudah mendengarkan obrolan itu sejak tadi, tetapi aku tidak bisa memahami satu pun makna di balik keterlibatan Shinonome-san dalam cedera Wataru. Mengapa Shinonome-san mesti mengantar Wataru pulang mulai hari ini?

Kalau benar begitu, itu seakan-akan aku tidak akan lagi—...

Aku tidak akan lagi menanyakan alasan perasaan yang meluap dari dalam diriku. Baris perasaanku yang tertekan, mungkin merupakan reaksi perlindungan diri yang tersiksa oleh kegundahan dan kegalauan ini, mengarah ke sisi kanan bagian atas seakan-akan dibalik oleh pegas.

"─E-Eum!"

"! Na-Natsukawa...?"

"Biar aku... saja yang akan bertanggung jawab untuk mengantar Wataru pulang!"

Aku memang tidak tahu kisah yang sebenarnya dari situasi ini. Tetapi satu hal yang dapat aku pastikan "Wataru akan pulang bersamaku". Aku tidak perlu menambahkan sesuatu yang berlebihan untuk itu. Untuk beberapa saat setelah perban dibalut di tangan kiri Wataru, memangnya siapa yang memperhatikan Wataru dari belakang, terus siapa juga yang selalu ada di sampingnya dan siapa juga yang mengobati cedera di tangannya saat di sekolah? Aku memang tidak bermaksud untuk bilang kalau cuma aku saja yang melakukan itu, tetapi aku tidak mau membiarkan orang lain yang baru saja pulang dari kunjungan bisnis mengambil peranku.

Shinonome-san melepaskan tangan Wataru dan membalikkan tubuhnya ke arah kami.

"...Dengan berjalan kaki, ya?"

"Euh, iya... ...De-Dengan berjalan kaki...."

"Memangnya kamu tanggung jawab untuk apa?"

"I-Ini..."

"'Natsukawa Aika'-san?"

"...."

Matanya yang biru dan tatapannya yang kuat itu diarahkan ke padaku.

Tujuan Shinonome-san memang jelas bukan untuk membebani lawannya yang sedang cedera. Tetapi dia menggunakan mobil sebagai sarana untuk mengantarnya pulang dan berusaha mengambil peranku.

Bagaimana denganku, di sisi lain? Aku tidak mau Wataru terbebani oleh cederanya sendiri dan menyebabkan kecelakaan yang baru lagi. Karena alasan inilah, aku akan menggantikan peran tangan kiri Wataru dan bertindak sebagai orang yang mengawasinya. Karena alasan itulah, kami akan pulang bareng hari ini — "Mana yang paling pasti?", dan "Mana yang paling berguna untuk Wataru?" ...Sudah jelas, tidak ada kata-kata yang paling pas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

"..."

Kalau begitu, untuk apa dia mesti bertanggung jawab? Memang benar, kalau aku mungkin tidak punya tanggung jawab untuk terus berusaha melakukan hal-hal semacam itu di samping Wataru. Meskipun begitu, alasanku tetap berada di sampingnya yaitu karena aku tidak bisa tinggal diam, aku tidak bisa membiarkannya begitu saja, aku tidak bisa tidak mengkhawatirkannya...!

"Natsukawa, ini..."

"Shinonome-san sendiri, untuk apa kamu bertanggung jawab?"

"He-Hei, Natsukawa."

Seiring dengan kata-kata yang aku balas, aku sadar kalau aku saat ini sedang bersaing... Aku merasa kalau aku tidak bisa tidak membencinya, dan selama aku menuangkan hal itu ke dalam kata-kataku dan menyampaikannya, aku tidak akan mundur.

"Kamu punya tanggung jawab atau alasan apa untuk mendekati Wataru?"

"...Natsukawa-san."

"Kalau itu cuma kebaikan semata, aku sendiri juga bisa melakukan itu. Kamu tidak perlu repot-repot melakukan hal semacam itu, Shinonome-san, padahal kamu jarang sekali berhubungan dengan Wataru...!"

...Aku tidak mau kalah.

Aku ingin tahu lebih banyak dari Shinonome-san.

Aku memang tidak merasa kalau ada yang mereka sembunyikan dariku saat ini.

Aku mau menjalani hari esok yang sama lagi.

Di tengah-tengah ketegangan ucapanku, aku menangkap tatapan Shinonome-san. Tidak ada kegelisahan di matanya. Dia mampu menghadapiku. Dia dapat merasakan keinginan untuk menyambutku. Berlawanan dengan sudut pandangku, yang dipenuhi dengan informasi yang tidak menyenangkan, tidak ada rem yang dapat menenangkan hatiku.

"Aku memang punya suatu tanggung jawab dan alasannya."

"...Eh?"

Kata-kata yang menjatuhkan itu menghancurkan momentumku.

Angin berhenti seakan-akan waktu sudah berhenti. Kepalaku yang dingin meminta ketenangan, dan dengan kembalinya firasat buruk, aku jadi ingat kalau ada kenyataan yang tidak mau aku akui. Punggung yang menjauh dariku dan wajah yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Vekor hatiku sudah kehilangan haknya.

"...Memangnya apa tanggung jawab dan alasannya itu?"

"Na-Natsukawa, sudah cukup. Aku juga tidak mau merepotkan Natsukawa."

"Bukannya Wataru terluka karena kecerobohannya...? Ia sedang membawa benda tajam, lalu terjatuh, dan tanpa sengaja benda itu menusuknya."

"I-Iya, itu memang benar."

Begitulah urutan kejadian yang mengarah pada cederanya yang diceritakan oleh Wataru padaku.

Sementara kekhawatiranku semakin bertambah karena cederanya yang serius, aku merasa, kalau Wataru, yang sudah berusaha keras untuk membantu dalam Festival Budaya ini, bisa saja jadi terlalu mendalami peran, sampai-sampai ia bisa mengalami kecelakaan. Ada bagian dalam diriku yang tercengang karena kecerobohannya.

"Itu karena kecerobohan... ...Wataru, bukan?"

Kalau memang benar begitu, aku bisa tetap ada di sampingnya selama yang aku mau. Aku bisa saja menyembunyikan kesalahannya dengan alasan atas kepribadian Wataru. Aku bisa saja mengobrol dengannya tanpa mencari-cari alasan, cuma menggunakan cedera itu sebagai alasan. Sebagai penutup untuk menutupi rasa cemasku, aku bisa saja berpegangan padanya sekarang—

"...Kecerobohan? Kecerobohan, katamu...?"

"...!"

"He-Hei..."

Suara Shinonome-san berubah nada. Wajahnya yang berkulit putih berubah jadi merah padam, dia mengepalkan tangannya dengan erat, mengertakkan gigi dan mulai menggoyangkan bahunya.

Diiringi dengan ekspresi yang tampak seperti campuran antara kemarahan dan tangisan, matanya yang tajam, yang jadi makin berkilau oleh kelembapan, menoleh ke arahku.

"—Tidak, tentu saja, itu tidak benar!"

Ini merupakan pertama kalinya dia menunjukkan sikap yang emosional begitu padaku. Sikap tenang yang dia tunjukkan selama peragaan busana saat Festival Budaya dan kelancangan yang dia tunjukkan pada Wataru sebelumnya, sudah menghilang, dan dia melontarkan kata-kata yang kuat padaku, rambut pirangnya bergoyang-goyang tertiup angin. Aku tidak mau menantangnya, aku juga tidak berani tantangannya—Aku cuma mau tahu kebenarannya.

"Co-Cowok ini..."

"Hei, Nona Muda!"

"Nona Muda!"

"Mencoba melindungiku...!"

Shinonome-san mengeluarkan kata-katanya meskipun dia terganggu oleh gemetar tubuhnya. Wataru dan sang sopir menghentikannya dengan memegang bahunya, dia bahkan tidak mengamuk. Wataru tampak berusaha menutup mulutnya, tetapi tangan kirinya sedang diperban dan ia ragu-ragu untuk bergerak.

"Ia menusuk tangan kirinya sendiri untuk melindungi nyawaku!"

Kebenaran, yang ditunggangi oleh hasrat, turun padaku bagaikan air dingin.

Seiring dengan momentum pada kata-katanya itu, setetes air mata turun dari salah satu mata Shinonome-san yang biru. Transparansi air matanya, yang tidak dapat aku rasakan kebohongan sedikit pun keluar darinya, mengalir melalui kulitnya yang memerah.

Ah... ...Aku.

"Berhentilah kesakitan! Tunjukkan tangan kirimu yang berdarah! Agar aku yang bodoh ini, bisa berhenti menangis!"

Aku– Aku sudah tidak tahu apa-apa lagi, deh.

←Sebelumnya             Daftar Isi              Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama