JitsuImo - Jilid 1 Bab 2 - Lintas Ninja Translation

Bab 2
Tampaknya, Ibu Tiri dan Adik Tiriku Akan Pindah ke Rumahku...

Ini Senin pagi, sudah sepekan setelah pertemuanku dengan keluarga Tominaga.

Saat perjalanan menuju sekolah, aku bertemu seorang teman yang bandel dan dengan santainya memberi tahunya tentang ayahku menikah lagi.

"–Jadi berbahagialah, Kousei. Akhirnya, aku akan mendapatkan seorang adik cowok."

"Aku tidak tahu harus bahagia karena apa, tetapi selamat."

"Apakah kamu tidak bertingkah seakan-akan ini urusan orang lain?"

"Karena ini memang urusan orang lain?"

"...Begitu ya, kamu benar. Mungkin memang begitu."

Ketika aku menjadi yakin, aku menatap Kousei yang berjalan sambil malas-malasan di sebelahku.

Ia tampak seperti seorang cowok yang keren dan tampan dari sebuah manga shoujo.

Rambut pirang dan tindikan. Ia itu tinggi dan langsing, seperti seorang model.

Tetapi itu bukan berarti kalau ia itu cowok yang ceria, ataupun ia punya tingkat kesadaran yang tinggi.

Namun cowok ini, Kousei Ueda, yang sangat populer di kalangan para cewek, dan aku masuk ke sekolah yang sama sejak SMP sampai SMA saat ini, dan kami bahkan masih sekelas sampai sekarang.

Ia itu memang bukan cowok bandel yang begitu, tetapi ia cuma menyebalkan kadang-kadang.

"Jadi, Kousei, aku ada satu permintaan buatmu."

"Ditolak."

"Pasangan Ayah dan keluarganya akan pindah liburan musim panas ini. Makanya–."

"Aku tidak mau mendengarnya."

"Aku mau kamu membantuku untuk persiapan menyambut keluarga baruku."

"..."

"Khususnya, aku butuh bantuanmu untuk merapikan kamar. Aku sedang berusaha untuk mengosongkan kamar yang tidak terpakai untuk calon adikku, dan aku dapat menggunakan bantuanmu yang berpengalaman dalam bekerja paruh waktu sebagai seorang pemindah barang."

"Haaa... Aku tadi sudah bilang padamu kalau aku tidak mau mendengarnya, bukan?"

Sebagai kebiasaan, Kousei dengan iseng menyisir rambutnya ke atas alis matanya. Pada ujung jalan lain, para cewek yang sedang dalam perjalanan menuju sekolah berteriak dengan nada tinggi saat melihatnya.

Tetapi Kousei mengakhirinya dengan satu kata, "Mengganggu," yang membuatku kesal karena aku ini sangat tidak populer.

"Jadi, Kousei, kamu bebas hari Sabtu ini, bukan?"

"Aku punya rencana, kamu tahu?"

"Seperti apa?"

"Tidur."

"Itu bukan rencana, itu mah keinginan. Mengapa kamu tidak membantuku saja sebentar?"

"Itu merepotkan."

"Dasar teman yang tidak berguna... Aku selalu menunjukkanmu PR dan catatanku, iya kan?"

Aku sering menunjukkan PR-ku pada Kousei, meskipun itu tidak membantunya sama sekali.

"Aku mohon? Kamu itu satu-satunya orang yang aku kenal yang bisa mengerjakan tugas semacam ini. Ayahku sedang sibuk dengan kerjaannya akhir-akhir ini, karena itu beliau tidak ada di rumah saat akhir pekan, dan sangat banyak untuk dikerjakan olehku sendiri saja..."

"Seperti yang aku katakan, itu merepotkan–."

Kousei berhenti dan sepertinya kepikiran sesuatu saat ia mengatakan itu.

"–Kalau begitu, aku akan meminjamkan Hinata buatmu, kamu bisa menggunakannya sesukamu."

Ia menyengir.

Hinata Ueda merupakan adik ceweknya Kousei.

Dia saat ini sedang duduk di bangku kelas sepuluh SMA dan masuk di sekolah yang sama dengan kami, Akademi Yuuki.

Dia itu cewek yang sangat baik, jujur, penuh kasih sayang, berpikiran positif, dan pekerja keras, sangat berlawanan dengan Kousei. Kepribadiannya sendiri itu cukup untuk membuatnya mendapatkan yakuman* yang sempurna, tetapi ketika kamu memasukkan tampangnya dalam campuran itu, itu berlipat ganda.

(TL Note: Yakuman itu merupakan batas nilai dari permainan mahjong Jepang sekitar 32.000 poin atau terkadang 48.000 poin.)

"Aku yakin kalau dia itu pasti akan senang untuk melakukannya."

"Tidak, jangan Hinata-chan. Aku tidak bisa memintanya melakukan sesuatu yang sangat rumit."

"Apa kamu yakin kamu mau aku yang membantumu?"

"Iya!"

"Jawaban instan... Dia sendiri yang bilang kalau dia itu bebas di hari Sabtu sih."

"Atau lebih tepatnya, abang macam apa yang akan membiarkan adik ceweknya masuk ke rumah seorang cowok, sendirian?"

"Nah ini. Tidak apa-apa karena aku percaya padamu."

"Percaya padaku? Maksudmu..."

"Kamu boleh menyerangnya kalau kamu mau."

"Dasar b*jingan. Kamu cuma ingin menikmati waktumu sendiri dengan memaksakan adikmu melakukan semua tugas itu, iya kan?"

Kousei menggaruk-garuk kepalanya lagi dan berkata, "Aaah, itu merepotkan."

"Tidak akan begitu merepotkan kok. Aku cuma mau kamu menata dan membuang beberapa benda yang tidak aku butuhkan, dan aku akan membelikanmu makan malam ketika kita sudah selesai."

"Bukan begitu maksudku, Hinata itu–."

Tepat saat Kousei baru saja ingin mengatakan sesuatu, sebuah kuncir yang akrab masuk di antara kami.

"–Aku ini apa? Bang?"

Panjang umur. Waktunya sangat tepat sampai-sampai aku dan Kousei jadi kaget.

"Uhh, Hinata..."

Kousei memasang wajah yang jijik saat dia mengatakan itu, tetapi Hinata tampaknya tidak memperhatikan itu.

"Selamat pagi, Ryouta-senpai."

"Pa-Pagi, Hinata-chan..."

Aku tidak bisa apa-apa selain mengalihkan pandanganku.

Aroma harum yang khas dari cewek datang padaku, dan perhatianku secara tidak sengaja tertuju pada Hinata.

Hinata telah menjadi semakin dewasa saat dia masuk SMA.

Walaupun dia tidak begitu tinggi, badannya itu sehat dan bugar, yang dapat terlihat bahkan dari bagian atas seragamnya, dan dia memiliki sosok yang feminim yang membuat sulit untuk dipercaya kalau dia itu masih siswi SMP sampai akhir-akhir ini.

Sebagai tambahan, Hinata itu sangat intim yang mana itu merupakan masalah terbesarnya.

Bahkan saat ini, dia tidak keberatan menyelip di antara aku dan Kousei, atau bahkan ketika bahu kami saling bergesekan satu sama lain.

Karena aku itu tidak kebal terhadap para cewek, aku saat ini sedang kewalahan.

Terkadang kami bertiga berangkat ke sekolah bersama-sama seperti ini, tetapi aku masih belum terbiasa dengan jarak kedekatannya.

Iya, mungkin aku cuma terlalu sadar akan kehadirannya.

Hinata kemudian menatapku dengan senyuman riang terpampang di wajahnya.

"Apa yang kamu bicarakan dengan Abang barusan?"

"Oh, iya. Kami sedang membicarakan soal bersih-bersih rumahku."

Hinata menaruh jari telunjuknya di bibirnya yang cemberut dan memiringkan kepalanya.

Aku rasa dia seharusnya tahu kalau bahkan sikapnya yang menggemaskan itu punya kekuatan penghancur yang lumayan.

"Bersih-bersih rumahnya Ryouta-senpai? Tetapi apa hubungannya itu denganku...?"

"Ryouta mau Abang yang membantunya bersih-bersihnya pada hari Sabtu."

Kousei menyela tanpa jeda.

"Eh?"

"Hei, Hentika-."

"Ayahnya Ryouta menikah lagi, dan ia akan bersih-bersih kamar yang akan digunakan oleh calon adik tirinya. Tetapi Abang punya rencana, jadi mengapa tidak kamu saja yang pergi dan lakukan itu untuk Abang?"

Ocehan Kousei bahkan lebih mengganggu.

Mana mungkin Hinata mau datang ke rumahku sendirian dari awal.

"Tentu saja kamu boleh meno-" [TL Note: Potongan dari menolak.]

"Aku akan melakukannya!"

"Lihat, dia menolaknya– tunggu, apa kamu serius?"

"Abang sejak dulu selalu merawatku! Jadi, serahkan saja padaku, Ryouta-senpai!"

"Be-Benarkah?"

Benar-benar cewek yang baik, tidak seperti abangnya yang tidak berguna.

Kemudian aku menatap ke abangnya, yang menyeringai sedari tadi. Itu seperti ia memaksa adiknya untuk melakukan semua tugas itu untuknya. Tetapi aku tidak akan membiarkan rencananya berhasil.

"Pertama-tama Hinata-chan, Kousei cuma punya rencana 'tidur', jadi aku harap kamu bisa meyakinkannya untuk pergi bersamamu."

"Hei, Abang! Apa ia maksud dengan 'rencana'? Abang mesti pergi dan menolongnya."

"...Baiklah, baiklah. Aku akan membantumu."

Aku agak lega ketika Kousei setuju ketika ia dibujuk oleh Hinata.

Jujur saja, sulit buatku untuk membiarkan Hinata membantuku seorang diri.

Tetapi lebih dari itu, aku tidak bisa apa-apa selain merasa canggung saat aku membayangkan cuma berduaan di rumahku bersamanya.

"Oh, aku juga ikut, jadi kita bertiga akan melakukan yang terbaik!"

"Apa? Tidak, kalau Kousei sudah ada–"

JitsuImo1-2-1

"Hinata akan ikut bersama kita. Beruntungnya dirimu, Ryouta."

Kousei menyengir lagi.

Aku tahu kalau aku yang memintanya menolongku, tetapi aku memutuskan di dalam hatiku kalau aku tidak akan membiarkannya kabur.

(TL Note: Sebelum lanjut ke bagian berikutnya, Admin cuma ingin mengingatkan untuk membaca novel ini di Lintas Ninja Translation, kalau kalian tulisan ini muncul di situs web lain segera pindah ke situs web kami, karena kami menerjemahkan novel ini dengan sepenuh hati, bukan asal comot hasil terjemahan orang.)

***

Tanggal 21 Juli.

Pada hari ini, ketika liburan musim panas akhirnya datang, truk pindahan tiba pada siang hari.

Sebagian besar tugas telah dikerjakan oleh perusahaan pindahan, jadi aku dan ayahku menunggu dengan santai di ruang tamu.

Ngomong-ngomong, Tante Miyuki dan Akira sedang pergi ke apotek dan pasar swalayan untuk membeli beberapa barang sebelum datang ke sini.

"Hei, Ayah."

"Ada apa?"

"Apakah itu semua barang yang mereka pindahkan?"

Mempertimbangkan keadaan rumah kami yang berantakan, aku menduga kalau jumlah barang yang banyak untuk setiap rumah tangga akan dibawa masuk. Tetapi faktanya, itu cuma sekitar setengahnya saja.

Aku dengar kalau mereka telah menyingkirkan seluruh barang yang tidak mereka butuhkan sebelum mereka datang, dan kalau mereka telah tidur bersebelahan di atas satu kasur futon di dalam kamar beralas delapan.

"Oh begitu. Jadi Akira itu dulu tidak punya kamarnya sendiri..."

Dari apa yang Ayah bilang padaku, aku jadi agak bisa membayangkan bagaimana mereka tinggal bersama.

Aku yakin anak cowok seusianya mungkin akan terus menginginkan satu atau dua hal dari ibunya.

Aku merasa prihatin terhadap situasi Akira.

"Ayah senang kamu sudah bersih-bersih kamar di lantai atas. Ayah yakin mereka akan senang karena kamu melakukan itu."

"Aku harap begitu. Tetapi aku yakin dia akan bilang, 'aku sebenarnya tidak butuh kamar.'"

"Apa itu imitasi dari Akira? Tidak, dia tidak akan bilang begitu, iya kan?"

Ayahku tersenyum pahit.

"Ngomong-ngomong, apa Ayah sudah bilang pada Akira kalau Ayah sudah menyiapkan kamar untuknya?"

"Iya, begitulah."

"Kalau begitu mungkin Ayah bisa tunjukkan padanya."

"Ayah cuma akan melakukan itu kalau begitu... Ayah rasa..."

Setelah kurang lebih satu jam, tugas pindahan telah selesai.

Begitu ayahku selesai mengoperasikan sesuatu di tabletnya, para pekerja bilang, "Terima kasih banyak!" Mereka pergi dengan senyuman yang segar di wajah mereka.

Untuk bilang kalau aku kaget itu mungkin akan menjadi seperti meremehkan, tetapi masih ada tugas membuka kotak-kotak untuk dilakukan. Aku tidak bisa melanjutkan tanpa izin Tante Miyuki dan Akira.

Untuk saat ini, aku dan ayahku cuma membiarkan waktu berlalu sampai mereka tiba. Sekitar tiga puluh menit kemudian, Tante Miyuki dan Akira akhirnya tiba.

Ketika aku menyambut mereka di depan pintu, Tante Miyuki dan Akira sedang memegang banyak kantong kertas dan kantong belanja dari kain.

"Maaf kami terlambat. –Mulai saat ini, aku harap kalian akan merawat kami."

"Be-Begitu juga sebaliknya..."

Aku tidak tahu bagaimana cara menanggapi situasi ini, jadi aku cuma menundukkan kepalaku.

"Aku akan membawakannya untuk Tante."

"Tante akan menyerahkannya padamu, kalau begitu. Terima kasih, Ryouta-kun."

Aku menerima sebuah kantong belanja dari kain dan sebuah kantong kertas dari Tante Miyuki yang sedang tersenyum.

Aku mengintip sekilas dalamnya dan melihat bahwa itu dipenuhi dengan bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari. Di dalamnya juga ada sampo, losion, dan barang yang dikhususkan untuk wanita lainnya.

Aku sedikit gugup.

Terkadang ayahku akan mengundang orang-orang dari tempat kerjanya ke rumah kami, tetapi ada seorang wanita datang dan tinggal di rumah kami itu lain cerita. Realisasi bahwa kami akan tinggal bersama perlahan mulai meresap.

"Aku akan ke lantai atas kalau begitu."

"Silakan."

Tiba-tiba, mataku bertemu dengan mata Akira.

Tante Miyuki sedang menuju ke ruang tamu, tetapi Akira masih berdiri di depan pintu, tampak seakan-akan dia ingin mengatakan sesuatu.

"Ada apa? Apa kamu tidak mau masuk?"

"...Em, senang bertemu denganmu."

"O-Ohh... Senang bertemu denganmu, juga."

Aku agak merasa malu. Lebih tepatnya, aku merasa malu karena aku tertangkap oleh Akira yang merasa malu.

"Baiklah kalau begitu, maaf mengganggu..."

Dengan begitu, Akira pergi dari pintu depan dan mengikuti Tante Miyuki ke ruang tamu.

"Lain kali, bilang saja 'aku pulang' daripada 'maaf mengganggu'. Kamu itu tidak menggangguku sih."

Ketika aku mengatakan itu ke belakang Akira, dia sedikit mengangguk.

Dengan sikap semacam ini, aku perlahan akan mendekatkan jarak di antara aku dan Akira.

Aku mengikuti Akira ke ruang tamu.

***

Kami mengobrol sedikit dan memutuskan untuk mengeluarkan isi kotak-kotak sampai malam hari.

Aku menunjukkan sekeliling rumah pada Akira dan akhirnya membawanya ke lantai atas di depan kamarku.

"Yang terakhir namun buat yang terburuk, ini kamar Akira."

"Ini kamarku?"

"Iya. Kamar di sebelahnya itu kamarku. Kamar yang di sebelah sana itu kamarnya ayahku dan Tante Miyuki. Dan kamar yang di ujung lorong itu merupakan kamar mandi."

"O-Oke..."

Akira tampaknya agak bingung.

Dia berdiri di depan pintu, menatap ke apa yang ada di dalamnya.

"Ayolah, jangan malu-malu, silakan masuk."

"Ah~!?"

Aku mendorong punggung Akira dan agak dengan paksa menyeretnya masuk ke kamarnya.

Di dalam kamar yang cerah dan menghadap ke selatan, cahaya matahari masuk ke ujung tirai renda. Cahaya yang terpantul ke lantai kayu yang berkilau, menerangi setiap sudut dari kamar ini.

Aku telah membuka jendela sebelum kedatangan Akira, jadi tidak terlalu panas di dalam kamar ini.

Tetap saja, kamar ini mengingatkanku pada hari saat Ueda bersaudara datang ke rumahku untuk membantuku bersih-bersih.

Kamar ini sebenarnya gudang yang berantakan, tetapi berkat mereka berdua, ini telah menjadi tempat yang indah untuk ditinggali. Hinata melakukan segalanya dengan senyuman di wajahnya, dan Kousei menjadi sangat proaktif dengan bertanya, "Apa yang mesti aku lakukan berikutnya?"

Aku benar-benar tidak bisa cukup berterima kasih pada mereka.

Aku berjanji untuk membelikan mereka makan malam lain kali, jadi aku akan membiarkan makan apapun yang mereka inginkan.

Ngomong-ngomong, aku dan ayahku melapisi ulang lantainya dan membeli ranjang dan rak yang baru. Kami juga sudah memasang pendingin ruangan (AC) baru beberapa hari yang lalu.

Dengan semua ini, kamar Akira itu tampak seperti rumah baru.

Tetapi aku tidak mau lancang soal itu.

Kami cuma membuat persiapan yang biasa untuk menyambut anggota keluarga baru.

Jadi aku cuma akan memberi tahu Akira kalau Kousei dan Hinata membantu kami bersih-bersih kamar ini.

"Bagaimana menurutmu?"

Tidak ada tanggapan saat aku bicara padanya.

Seketika, aku penasaran ada apa, tetapi kemudian Akira bilang, "Wah..." sambil terkagum-kagum.

"Apa kamu menyukainya?"

"Apa kamu yakin aku boleh menggunakan kamar yang begitu indah ini?"

"Tentu saja. Aku telah menyuruh para pekerja memindahkan kotak-kotak itu ke ujung kamar, jadi kamu tinggal mengeluarkan isi kotak-kotaknya saja."

"Oke."

"Kalau kamu mau menata ulang furniturnya, aku akan membantumu, dan kalau kamu butuh sesuatu, jangan ragu untuk memintaku atau ayahku."

Akira bilang, "Terima kasih." dan berbalik arah.

Aku mungkin sedikit lengah.

Makanya apa yang aku lihat pada saat berikutnya benar-benar mengejutkanku.

Aku telah membayangkan senyuman yang maskulin, polos dan riang keluar dengan suka cita.

Tetapi di sana ada, senyuman yang malu-malu dari seorang cewek yang polos.

Jantungku berdenyut kencang.

–Aku secara tidak sadar menatap Akira.

Hal berikutnya yang aku tahu, Akira memiringkan kepalanya sambil memasang wajahnya yang biasanya yang seperti Buddha.

"...Apa ada yang salah?"

"Oh, tidak, bukan apa-apa, sungguh!"

Kataku sambil berbohong, dan mengambil kotak kardus terdekat.

"Kalau begitu aku akan membantumu mengeluarkan isi kotak-kotakmu. Mari kita mulai dengan kotak yang satu ini–."

"Ahh! Kamu tidak perlu melakukannya—!"

"Eh?"

Wajah Akira memerah dan dia tiba-tiba mulai panik.

Aku menatap kotak itu dan melihat bahwa itu dilabeli "Pakaian (Lainnya)" dengan spidol permanen.

Aku menyadari, "Lainnya" juga bisa berarti pakaian dalam. Bahkan di antara para cowok, itu pasti merupakan sesuatu yang mesti diwaspadai.

"Te-Terima kasih. Aku yang akan mengurus sisanya sendiri, jadi kumohon bisakah kamu keluar? Baiklah, kalau begitu–."

"Eh...–"

–Duar!

Pintu pun memisahkan kami tanpa ada kesempatan untuk mengatakan sepatah kata.

"Oke, nikmati waktumu..."

Aku tersenyum dan berbicara ke pintu, tetapi tentu saja tidak ada balasan.

Aku dapat merasakan kalau hati Akira itu masih tertutup rapat, persis seperti pintu itu yang memisahkan kami.

Tidak, tidak, hubungan kami baru saja dimulai.

Aku seharusnya menguatkan diriku dan memikirkan apa yang mesti aku lakukan berikutnya.

***

Makan malam di malam itu dimulai dengan Tante Miyuki yang mencuci piring, aku dan Akira yang menyiapkan makanan, dan ayahku berkeliaran, tidak mengerti apa yang mesti beliau lakukan.

Ini pertama kalinya dalam waktu yang lama kami memakan makanan yang layak di meja.

Baik aku maupun ayahku tidak jago dalam memasak, jadi kami biasanya makan makanan yang dibungkus dari toko bento atau makanan siap saji dari pasar swalayan, dan ini juga berarti kami biasanya berhemat dalam urusan makanan, pengecualiannya cuma ketika kami menanak nasi.

Makanya aku jadi jauh lebih terkesan.

Kapan terakhir kali aku memakan makanan buatan rumah yang layak seperti ini?

Aku mesti segera mengungkapkan rasa terima kasihku pada Tante Miyuki yang membuatkannya untuk kami.

"Hamburger ini lezat! Itu sangat enak, Tante Miyuki!"

"Oh, Tante membelinya dari bagian hidangan pendamping dengan stiker diskon di atasnya."

"...Eh?"

"Tetapi Tante senang kamu menyukainya. Ahahaha..."

Dalam sekejap, rasa maluku mengalahkanku dan aku berubah pucat.

"R-Ryouta... pffft... tentu saja, itu mustahil..., untuk salah mengira makanan siap saji dengan makanan buatan rumah, biasanya setidaknya... pffft..."

Ayah menahan tawanya dengan sekuat tenaga.

Ayah macam apa beliau, yang bahkan tidak mencoba untuk menindaklanjuti kesalahan putranya.

"Tetapi tetap saja, bayam ini dengan biji wijen itu bikin ketagihan. Seperti yang diharapkan dari Miyuki-san, aku dapat memakan ini setiap hari."

"Oh, itu juga tersedia dari bagian hidangan pendamping... Kalau kamu memang suka sampai segitunya, mungkin aku akan membelinya setiap hari..."

"Uhhh..."

...Sudah puaskan.

"Semua yang aku buat cuma salad telur ini, sup miso, dan nasi yang dimasak. Maafkan aku, aku akan membuat yang lebih baik lagi besok."

""Oke...""

Saat itu aku menyadari kalau kami benar-benar ayah dan putranya.

Pada saat itu.

"Ku...fufu..."

Kemudian aku sebuah suara yang menahan tawa.

Aku dengan santai menatap ke sebelah Tante Miyuki.

Wajah Akira memerah dan dia tampak seperti dia hampir saja tidak bisa menahannya lagi.

"Akira, ada apa?"

"Ti-Tidak, bukan apa-apa kok."

"Apa maksudmu, bukan apa-apa? Wajahmu merah."

"Seperti yang aku bilang, bukan apa-apa."

Memang jelas kalau dia mencoba untuk menahan tawanya. Fakta bahwa seorang ayah dan putranya yang salah memahami intinya tampaknya telah menggelitik Akira.

Aku agak merasa malu, tetapi juga agak merasa bahagia.

Aku harap Akira akan terbuka secara bertahap padaku pada titik ini.

Namun, ada orang-orang di dunia ini yang tidak mau dan tidak bisa membaca suasana.

Saat aku menatap Akira dengan ekspresi santai, ayahku membuka mulutnya lagi.

"Miyuki-san, nasi ini bukan nasi kami, iya kan? Rasanya lebih enak ketika berasnya berbeda."

"Itu merupakan sisa beras yang sudah dicuci yang kami bawa dari rumah. Itu sudah agak lama..."

"Guhh..."

Ayahku mengerang lagi dan aku memucat lagi.

Tante Miyuki, mengapa kamu memilih ayahku?

Apa Tante yakin kalau Tante akan bahagia bersama ayah yang mengecewakan ini?

Cuma Akira yang mampu menahan tawanya di tengah-tengah suasana yang halus.

***

Setelah makan malam, masing-masing dari kami menggunakan waktu kami untuk bersiap-siap mandi.

Aku dan Ayahku biasanya cuma mandi biasa saja, tetapi hari ini beliau bilang kalau beliau akan mulai menggunakan air panas.

Aku senang sekali, karena satu-satunya waktu di mana aku berendam di bak mandi adalah ketika aku dan ayahku pergi ke pemandian umum.

"Ryouta-kun, air mandimu sudah siap."

Ketika aku dengan malas-malasan menunggu di kamarku sambil membaca sebuah manga, Tante Miyuki datang untuk memanggilku.

"Oke deh, aku akan man–..."

Aku tidak bisa berkata apa-apa.

Tante Miyuki mengenakan piyama yang menampakkan kulit beliau, yang masih lembab setelah mandi.

Aku bingung harus melihat ke arah mana dan mengalihkan pandanganku.

Kali ini, namun, tatapanku jatuh ke kaki beliau.

Paha beliau yang mulus dilembabkan dengan minyak kecantikan, lutut dan pergelangan kaki beliau yang rapat seakan-akan tidak tahu makna dari mengendur, dan kelima jari kaki beliau dengan lembut dan rapi berbaris seperti semacam karya seni.

Kaki beliau tampak seakan-akan merupakan sebuah saklar yang dapat membalikkan seorang pria dari alasan ke naluri mereka.

Aku menatap ke kaki-kaki itu sejenak.

"Ada apa, Ryouta-kun? Apa ada sesuatu di kaki Tante?"

"Ti-Tidak ada apa-apa, aku akan pergi sekarang..."

Aku berhasil menahan hasratku dan bergegas untuk bersiap-siap mandi.

Tetapi aku ini masihlah seorang siswa SMA yang sehat.

Aku mau Tante Miyuki bisa sedikit lebih mengendalikan diri. Aku benar-benar berharap.

Aku bergegas menuju kamar mandi untuk menghilangkan pikiran nakal yang terlintas dalam benakku sejenak.

Aku memastikan kalau tidak ada orang di dalamnya dan membuka pintu ke ruang ganti.

Di dalam ruang ganti kamar mandi kami, ada sebuah wastafel dan sebuah mesin cuci. Sangat mudah untuk mencuci mukaku dan mencuci pakaian di sini.

Aku baru saja ingin melepas kausku dan memasukkannya ke keranjang cucian, lalu tanganku tiba-tiba berhenti.

Di dalam keranjang cucian.

Ada sesuatu, yang mungkin merupakan pakaian yang telah Tante Miyuki kenakan tadi.

Aku rasa itu mustahil, tetapi aku tidak bisa apa-apa selain penasaran apakah itu disengaja  untuk mendorongku masuk setelahnya.

Tidak, apa yang aku dapati setelah menghabiskan setengah hari, hari ini yaitu bahwa Tante Miyuki itu wajar.

Aku berpura-pura tidak melihat apa-apa, memasukkan kausku ke keranjang cucian, dan melepaskan celana Harpan-ku dan semuanya– Tepat setelahnya, seseorang berdiri di depan pintu.

–*Tok tok...

Jangan bilang itu–

"Maaf, ini aku..."

Itu suara Akira, itu bukanlah suara yang aku harapkan.

Aku mengelus-elus dadaku dan menjawab. "Kamu boleh masuk."

"Maaf, aku masih belum–."

Akira langsung terdiam ketika aku membukakan pintu dan menampakkan wajahku.

"Ada apa? Apa kamu mau mandi duluan?"

JitsuImo1-2-2

"Ah, aaah, ah, em, itu..."

Akira sedikit gemetaran, wajahnya menjadi merah dan biru.

"Aku telah melepaskan pakaianku, jadi lain kali–."

Momen setelahnya, pintu ditutup dengan dibanting, dan aku mendengar suaranya berlari.

Aku tidak tahu pasti, tetapi mungkin dia ingin mandi duluan.

Kemudian aku berendam di bak mandi untuk pertama kalinya untuk waktu yang lama dan menatap ke atas langit-langit, yang mana ditutupi oleh tetesan air.

Kami berempat akan tinggal di rumah ini bersama-sama.

Ketika aku memikirkan itu, aku merasa terharu.

Setelah wanita yang merupakan ibu kandungku pergi, kami berdua telah berhasil untuk bertahan dengan sendirinya, tetapi sekarang kami akan memulai ulang dengan keluarga baru.

Tentu saja, dengan pertambahan jumlah anggota keluarga ini, mungkin akan ada peningkatan penyesuaian dalam masalah.

Namun, kalau kami saling menghargai satu sama lain dan saling mendukung satu sama lain, kami pasti bisa mengatasi masalah-masalah itu.

Ayahku-lah yang seharusnya memikirkan hal-hal ini, tetapi aku yakin beliau tidak memikirkan sampai sejauh itu.

***

Setelah keluar dari bak mandi, aku memutuskan untuk menyikat gigiku sambil mengganti pakaianku.

Aku mengambil sikat gigiku dari baris keempat, dan mengeluarkan isi pasta gigi dari tabungnya dan memakainya– kemudian aku mendengar suara ketukan pelan lainnya.

"...A-Apa kamu sudah selesai sekarang?"

Itu Akira lagi. Kali ini, dia berbicara di balik pintu.

"Aku sudah selesai."

"...Apa kamu sudah berpakaian?"

"Aku sudah berpakaian."

Lalu pintu ruang ganti perlahan terbuka dan dan Akira perlahan masuk dengan malu-malu.

"Apa kamu mau mandi setelahnya?"

"Ah, iya... aku akan meminjam bak mandinya."

"Kamu tidak perlu meminjamnya. Ini juga rumah Akira sekarang."

Ketika aku mengatakan itu, Akira tersipu dengan canggung dan mengelus-elus siku kirinya.

"Terima kasih... dan maafkan aku soal yang tadi..."

"Maaf untuk apa?"

"Kamu tahu, aku telah melihat banyak hal..."

Wajah Akira semakin merona.

"Oh, itu? Aku tidak keberatan sama sekali."

"A-Ap, kamu tidak keberatan diintip!?"

"Itu wajar bagi seorang anggota keluarga untuk telanjang."

Dalam kasus Tante Miyuki, ini mungkin berbeda.

"Hah, itu wajar!?"

Kalau kamu pergi ke kolam renang, ruang ganti atau pemandian umum, itu wajar kalau orang-orang melihatmu telanjang. Dari awal, kalau di antara para lelaki, kamu tidak perlu terlalu khawatir.

Namun, ketidakpercayaan Akira terhadap pria mungkin telah membuatnya menahan diri terhadap hal-hal semacam itu.

"Tetapi akulah yang seharusnya minta maaf. Aku akan berhati-hati lain kali."

"I-Iya... Itu akan jadi lebih baik... Terima kasih, Ryouta-kun."

Dia terdengar seperti orang asing.

"Mari kita lihat, kamu boleh memanggilku 'Aa'."

"Aa?"

"Kamu boleh memanggilku dengan nama depanku, Ryouta, atau Abang, atau mungkin Akang, tetapi aku akan lebih senang kalau kamu memanggilku Aa."

Itu dimaksudkan untuk menghormati abangmu dengan memakai sebutan 'Aa'. Kedengarannya bagus.

"...Kalau begitu, aku akan memanggilmu 'Aa'."

"Oh!"

Setelah aku mengenalnya sedikit lebih baik lagi, aku mulai menyikat gigiku. Lalu–

"...Em, jadi euh, Aa, bisakah Aa keluar?"

"Pff– Apa? Aa masih belum selesai menyikat gigi Aa kok..."

"A-Aku mesti mandi..."

"Kamu tidak usah pikiran Aa, oke? Aa akan menyikat gigi Aa, lalu Aa akan keluar dari sini."

"Ke-Keluar saja dari sini!"

Aku diusir dari kamar mandi saat aku tengah  menyikat gigiku.

Aku tidak punya pilihan selain menyikat gigiku di sofa ruang tamu dan menunggu Akira keluar dari kamar mandi, tetapi ternyata dia mandinya lumayan lama dan tidak keluar-keluar pada akhirnya.

Pada akhirnya, aku berkumur-kumur di dapur dan pergi kembali ke kamarku.

Akira tampaknya tidak menyukai konsep menunjukkan tubuh telanjangnya ke orang-orang, bahkan pada orang-orang dari jenis kelamin yang sama.

Aku masih khawatir.

Aku penasaran apakah Akira akan bereaksi seperti itu setiap kali kami pergi ke wisata sekolah atau ke pemandian air panas ke depannya.

Ketika aku memikirkannya, aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Karena Akira akan semakin bertambah tua, dia akan mendapatkan masalah kalau dia terus-terusan begini.

Aku rasa aku harus turun tangan, secara langsung. Aku mesti mendapatkan kesempatan untuk menggosok punggung kami satu sama lain. Aku tidak tahu akan berapa lama waktu yang dibutuhkan agar hubungan kami bisa sampai ke titik itu, tetapi aku yakin itu akan terjadi...

Dengan tekad ini dalam pikiranku, aku tertidur hari itu.

***

–Di dalam sebuah mimpi.

Aku masih SD, berjalan dengan pelan menyusuri lorong yang gelap dan dingin.

Aku mengintip ke dalam ruang tamu seakan-akan aku telah ditarik oleh sebuah suara, dan di sana ada kedua orang tuaku, ayahku, dan ibuku berhadapan satu sama lain di meja.

Ayahku sangat marah, dan ibuku melihat ke bawah.

Aku menahan suaraku dan mendengarkan dengan seksama ke suara di dalam.

"Ia bilang kalau ia tidak menginginkan anak-anak... Makanya–."

"Ryouta itu anakku. Tentu saja aku akan membawanya!"

"Tetapi Ryouta–!"

"S*alan kamu! Kalau kamu memang mau pergi, ya sudah pergi saja sana! Dan jangan pernah berada di dekat Ryouta lagi! Aku akan membesarkan Ryouta seorang diri!"

Itulah ketika aku terbangun.

Satu kenangan lainnya dari waktu itu...

Bahkan saat ini, sepuluh tahun kemudian, aku terkadang punya ingatan yang jelas dari waktu itu.

Ternyata itu bukanlah sebuah pemaksaan.

Itu tidak menyebabkan masalah lagi.

Aku cuma diberi tahu kalau aku tidak perlu itu.

Mungkin kejadian itu sangat membuatku trauma sehingga aku tidak bisa berhenti memimpikannya...

Aku menyingkirkan suasana hatiku yang murung dan menarik ponselku lebih dekat, itu cuma beberapa menit setelah pukul empat pagi.

Ini masih terlalu pagi untuk bangun. Mari kita tidur lagi.

Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Akira ya?

Bagaimana dia menerima kabar pernikahan Tante Miyuki dan pasangannya?

Aku harap Akira tidak begitu sakit hati sampai-sampai dia memimpikan kejadian itu...

Ketika aku menutup kantung mataku lagi, aku teringat kembali pada saat hari di mana aku pertama kali bertemu dengan Akira.

[Hukum Pewarisan Mendel tidak punya kesamaan dengan darah, bukan?]

Mungkin saja suatu hari Akira akan menyadari makna sesungguhnya dari kata-kata itu.


xxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Notabene Penerjemah (Reeze27): Mohon maaf atas ditundanya penerjemahan novel ringan yang satu ini. Rencana awal kami yaitu proses penerjemahan novel ini sepekan sekali, namun karena ada kasus penyalinan konten kami (Lintas Ninja Translation) yang dilakukan oleh oknum tertentu, kami mesti menunda penerjemahan novel ini, dan akhirnya baru dapat kami posting saat ini. Kami ingatkan pada para pembaca untuk selalu membaca novel terjemahan pada sumber aslinya. Dan untuk oknum di luar sana, tolong pesan kami dibaca dan ditanggapi baik-baik, hapus hasil terjemahan kami dari situs web Anda, dan coba belajar untuk menerjemahkan sendiri. Demikian dari kami sampai jumpa di pembaharuan berikutnya.


Support kami: https://trakteer.id/lintasninja

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxx


←Sebelumnya         Daftar Isi           Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama