Bab 2Pacar (Palsu)(Bagian 7)
Rumah Himari berada di dalam rumah susun 7 lantai, terletak di lantai tiga. Mereka melewati ruang penjaga yang kosong, memasuki ke dalam lift kecil. Bagian dalam dipenuhi dengan pengingat untuk hari pengumpulan sampah atau informasi lain tentang orang-orang mencurigakan yang muncul di area tersebut. Kotak itu perlahan naik ke lantai, karena Saito tidak tahu mesti melihat ke mana. Himari mengenakan blazer Saito, tetapi ia masih dapat melihat blazer Saito yang basah kuyup, membuatnya terganggu. Biasanya, Himari sangat ceria dan bersemangat, namun dia sekarang seperti anak kecil yang lemah lembut.
Bel berbunyi dan pintu lift terbuka, yang membuat Saito menghela napas lega. Beberapa sistem kunci tergantung di dinding lorong ini, dengan mainan anak-anak berserakan di sana-sini. Akhirnya, Himari berhenti di depan plat pintu yang bertuliskan "Ishikura." Dia mengobrak-abrik tas sekolahnya, mengambil kunci dengan beberapa gantungan kunci di atasnya.
"Ngomong-ngomong, aku akan…" Saito mengulurkan tangannya, menunggu untuk menerima blazernya dari Himari.
Namun Himari punya rencana lain, dan dia meraih tangan Saito.
"…Maukah kamu mampir sebentar?"
Tidak butuh banyak waktu buat Saito untuk menyadari betapa gugupnya Himari. Tangan Himari yang meraih Saito tampak gemetaran.
"Aku tidak bisa…"
"Blazermu jadi basah kuyup karena aku! Aku tidak ingin sampai kamu masuk angin. Jadi aku bisa membuatkan teh untukmu! Ini teh herbal enak yang aku dapatkan dari pemilik kafe tempatku bekerja!"
Saito mendapati dirinya tidak dapat langsung menolak tawaran Himari. Saito biasanya lemah dalam hal yang berkaitan dengan Himari, dan Himari juga sudah sangat membantunya selama kasus ini. Himari pada dasarnya terseret ke dalam seluruh situasi dengan Houjo Group.
"…Boleh deh. Kalau itu cuma sebentar, aku rasa."
"Bagus!" Himari menarik Saito masuk seakan-akan dia sedang berjoget kegirangan.
Saito menduga kalau itu kamar anak cewek pada umumnya dengan warna merah muda dan mainan yang mewah, tetapi itu jauh. Kamar itu diwarnai dengan warna putih yang mencolok, memberikan kesan yang lebih santai, dan dilengkapi dengan laci besar. Sebuah meja kaca berdiri di atas permadani di tengah. Bagian dalam bersih dan rapi, tidak menunjukkan tanda-tanda kotoran di sudut manapun. Di atas meja belajar Himari ada sebotol parfum, dan juga bingkai-bingkai foto. Yang satu menunjukkan Himari dan Akane, dengan yang satunya itu foto Saito sendiri.
"Ini itu…"
Saito melihat foto itu, sehingga membuat Himari panik.
"A-Ah, maaf! Aku tidak mengambilnya secara diam-diam! Aku cuma membeli foto ini saat kunjungan wisata kita! Pasti menjijikkan melihat seseorang menyimpan foto ini! Aku akan mengembalikannya padamu!"
"Kamu tidak perlu melakukannya."
Saito benar-benar merasa malu, tetapi begitulah.
"A-Apa kamu yakin?"
"Kamu membelinya, jadi kamu berhak memasangnya."
"Kalau begitu bolehkah aku meminta foto tambahan yang bisa aku pajang di kamarku?!"
"Kalau itu... aku rasa lebih baik tidak."
"Aku akan membelinya! Aku dapat gaji dari pekerjaan paruh waktu, jadi aku dapat membayar 100 ribu untuk satu foto!"
"Foto-foto ini tidak semahal itu!"
Saito tidak tahu mengapa Himari menghargai satu foto semahal itu. Malahan, Saito benci mengingat hal-hal tentang masa lalu, tetapi tidak ada yang dapat ia lakukan pada kenangannya. Makanya Saito tidak membeli foto dari kunjungan wisata. Dan karena orang tua Saito tidak pernah terlalu peduli untuk menjaga pertumbuhan yang telah ia alami, juga tidak ada foto dirinya di dalam rumah mereka.
"Aku akan ganti baju dengan sangat cepat, jadi tunggu saja di sini."
Himari melangkah keluar ke lorong, meninggalkan Saito sendirian di kamar cewek itu. Saito tidak tahu mesti duduk di mana, jadi ia cuma berdiri seperti anjing yang mandi di tengah hujan, sambil melihat-lihat ke sekeliling kamar lagi. Di rak buku meja belajar, Saito melihat ada majalah wanita, buku tentang gaya rambut, seni kuku, dan buku spesialis lainnya. “Mekanisme Nafsu dan Keinginan”, “Studi Psikologi Massa”, “Proses Bimbingan Emosional”, dan seterusnya. Banyak buku tentang psikologi karena beberapa alasan. Dan buku-buku itu juga tampak cukup usang.
—Dia...membaca semua ini? Apa dia ini sebenarnya cukup pintar?
Saito mengambil sebuah buku acak. Membalik halaman, Saito melihat beberapa bagian teks digarisbawahi, dengan tambahan catatan kecil yang ditulis dengan tulisan tangan cewek. Himari tidak cuma membaca buku itu, tetapi dia juga mempelajarinya dengan benar. Himari memang tidak terlalu ahli dalam belajar untuk mata pelajaran sekolah, tetapi dia dapat bersemangat tentang hal-hal yang dia pedulikan.
"Maaf sudah membuatmu menunggu!"
Himari kembali ke kamar, jadi Saito dengan cepat mengembalikan buku itu. Himari membawa nampan dengan teko di satu tangan, memamerkan keahliannya dalam melayani...dan dengan sendirinya itu baik-baik saja, tetapi Saito agak bingung dengan pakaian Himari. Himari mengenakan pakaian rajutan dengan bahu terbuka dan sweter panjang yang sampai ke pinggangnya, yang nyaris tidak menutupi pahanya. Di bawah itu adalah pertanyaan tingkat Schrödinger apakah Himari mengenakan celana pendek atau rok.
"Oi, kamu tidak mengenakan apapun di bawah sweter itu!"
"Hah?! Tunggu, aku mengenakan pakaian dalam!”
"Bukan itu! Aku tidak melihatmu mengenakan baju ataupun celana!"
"Ah, itu? Jangan khawatir, sweter ini memang dirancang seperti itu. Ini seperti gaun satu setelan (one-piece)." Himari tertawa dengan cara yang lucu dan meletakkan dua cangkir ke atas meja.
Karena Himari meletakkan lututnya ke lantai, pahanya sekali lagi tampak jelas, mengganggu Saito ke mana dia harus melihat.
"Aku sudah lebih dari khawatir..."
"Apa aku membuat jantungmu berdebar kencang?"
"…Sedikit."
"Yei~!" Telinga Himari menjadi sedikit merah, saat dia menuangkan teh ke dalam cangkir.
Aroma yang menyegarkan memenuhi kamar itu, memberikan kehangatan dan kenyamanan.
"Jangan cuma berdiri. Silakan duduk! Sebelah sini, sebelah sini~." Himari menarik lengan Saito, menyuruhnya duduk di ujung ranjang.
Saito ragu-ragu terlalu lama dan mendapati dirinya mematuhi keinginan Himari. Saito punya perasaan seperti duduk di sebelah seorang cewek di ranjang cewek itu akan lebih dari sekadar ranjang, tetapi pergi sekarang cuma akan menyakiti perasaan Himari. Melihat tidak ada jalan keluar dari hal ini, Saito mengambil cangkirnya dan menyesapnya. Rasa yang enak memenuhi mulut Saito, tenggelam jauh ke dalam tenggorokannya.
"Ini cukup enak."
"Benar, kan? Mereka biasanya tidak menjual daun teh ini di toko biasa."
Himari juga mencoba tehnya, menghela napas puas. Himari mengulurkan kakinya yang mulus dan panjang dan meletakkan tangannya ke ranjangnya. Setelah itu, Himari membuka aplikasi perpesanannya dan menunjukkan layarnya ke Saito.
"Coba lihat, ini grup obrolan kelas kita."
"Kita punya itu? Aku bukan bagian dari grup itu, kamu tahu."
"Begitu juga Akane. Katanya dia tidak boleh diganggu."
"Dan aku bahkan tidak diajak…"
"Kamu tampaknya memang tidak tertarik sejak awal."
"Aku rasa begitu sih, tetapi…"
Saito masih merasa sakit hati karena tidak ada yang mau repot-repot mengajaknya. Terlebih lagi saat Saito melihat Shisei menjadi bagian dari obrolan, mengirimkan emoji secara acak.
"Yang lebih penting, lihat ini. Semua orang sedang membicarakan kita." Himari menggesekkan jarinya ke sepanjang layar, menampilkan lebih banyak pesan.
'Ishikura-san dan Houjo-san sepertinya sangat dekat, ya!'
'Aku melihat mereka berjalan melalui kawasan bisnis beberapa jam yang lalu!'
'Sungguh? Apakah mereka sedang berkencan?'
"Mereka itu sangat mesra.'
'Himariii, beri tahu kami!'
'Bodoh, dia pasti sedang sibuk sekarang!'
'Ah…'
'Aku tahu~'
'Astaga~'
…Begitulah dan seterusnya. Semua rumor tentang Saito dan Akane segera dilupakan, karena teman-teman sekelas mereka haus akan lebih banyak materi Himari♥Saito. Saito dipenuhi dengan rasa kagum.
"Itu gila ... rencanamu berhasil dengan sempurna."
"Ahaha, itu cuma kebetulan, sungguh."
"Aku sangat meragukan hal itu. Di rak buku di sana, aku dapat melihat begitu banyak buku tentang psikologi. Apakah kamu mempelajari hal ini?"
"Ah… aku rasa."
"Kamu benar-benar jago memanipulasi orang, ya?"
"Jago…Iya, aku mesti menguasainya atau aku tidak akan dapat bertahan."
"Apa maksudmu?"
Himari membungkus lengan panjangnya ke sekitar cangkir teh, dan menatap permukaan air.
"Aku sudah cerita padamu tentang bagaimana aku dulu dirundung waktu SD, bukan?"
"Iya."
Karena Himari terlihat mencolok dengan rambut pirang, dia selalu menarik banyak perhatian negatif. Konsensus umum itu mengasingkan apapun selain diri kalian sendiri.
"Berkat bantuan Akane, perundungan itu akhirnya berhenti, tetapi itu mulai lagi ketika kelas kami berubah. Akane akhirnya dibenci karena dia membelaku, jadi aku rasa aku tidak bisa membiarkan semua ini terus berlanjut. Aku juga tidak mau merepotkan Akane lebih dari yang diperlukan." Himari berbicara dengan nada yang tegas.
Tidak seperti Akane, Himari itu cewek yang baik hati, tetapi dia punya kehendak saat dia perlu.
"Makanya aku banyak belajar. Sehingga tidak ada yang berani menyerang kami. Agar semua orang menyukaiku. Dan untuk itu, aku mesti mengendalikan hati mereka."
"…Begitu."
Alasan Akane berhasil mempertahankan tempatnya di kelas meskipun kepribadiannya yang keras mungkin karena bantuan Himari. Tidak ada siswa-siswi yang berani melawan teman siswi yang paling populer di sekolah. Himari menatap Saito dengan sedikit kekhawatiran di matanya.
"…Aku yakin cewek sepertiku itu tidak ada imut-imutnya sama sekali."
"Tidak, aku menghargai apa yang telah kamu lakukan untuk temanmu."
Keluarga Houjo tidak pernah ragu dalam memilih metode apapun untuk mencapai tujuan mereka. Dibandingkan dengan tindakan Tenryuu di masa lalu, upaya Himari agak tampak lucu bagi Saito, dan motifnya juga sederhana. Namun, ada satu hal yang mengganggu Saito.
"Aku agak takut... kalau kamu mungkin menggunakan teknik itu padaku."
Mata Himari terbuka lebar karena terkejut.
"Aku tidak akan menggunakannya pada orang yang aku sayangi! Itu tidak adil! Memperoleh sesuatu melalui cara ini tidak akan membuatku bahagia sama sekali!"
(TL Note: Ah masa'?)
"Aku rasa begitu."
Namun, pacaran dengan seseorang berarti menggunakan teknik-teknik ini sampai tingkat tertentu, setidaknya. Saito memastikan untuk memasak makanan favorit Akane, memberinya hadiah, dan umumnya bekerja keras agar mereka dapat akur. Dalam hal mengutak-atik hati seseorang, Saito tidak ada bedanya dengan Himari.
"Ngomong-ngomong, kamu itu benar-benar banyak membantuku. Tanpa dirimu, kami mungkin akan terjebak dalam kekacauan ini selamanya. Maaf kamu harus melalui ini." Saito menundukkan kepalanya ke arah Himari.
"Tidak apa-apa, aku juga mendapat banyak keuntungan dari ini."
"Kamu mendapat keuntungan?"
"Lagipula, aku tidak pernah menduga untuk melakukan hal semacam ini sebelumnya. Kamu belum pernah mampir ke rumahku sebelumnya. Meskipun saat ini kita sedang pura-pura jadi kekasih…dimulai dari kebohongan, tetapi…tidak mesti berakhir begitu juga, bukan?"
(TL Note: Kata-kata seorang pelakor.)
Ranjang Himari berderit. Himari meletakkan satu tangannya ke ranjang, mendorong tubuhnya ke arah Saito. Aroma wangi melayang dari bahunya yang terbuka.
"Aku sudah menikah…"
"Memang benar sih, tetapi itu cuma pernikahan paksa, bukan? Karena keluargamu. Atau, apa kamu benar-benar punya perasaan terhadap Akane?"
"Aku tidak punya."
Saito seharusnya tidak punya. Saito telah melihat ekspresi menggemaskan Akane dari waktu ke waktu, tetapi Akane memberi Saito terlalu banyak masalah. Dengan penampilan Akane, Saito tidak dapat disalahkan karena hampir menjadi korban mereka. Namun, dengan Akane menjadi manusia yang setara dengan naga yang kejam, mana mungkin Saito dapat jatuh cinta pada seseorang macam itu. Setelah keheningan singkat, Himari meletakkan tangannya ke pangkuan Saito, mendekatkan wajahnya.
"Kalau begitu… aku punya kesempatan, bukan? Aku tidak masalah…menjadi simpananmu, kamu tahu?" Himari berbisik dengan penuh semangat.
Mata Himari dipenuhi dengan nafsu dan keinginan, menjebak Saito. Saito dapat merasakan jantungnya berdegup sangat kencang. Menyadari kalau Himari serius dan kalau dia akan menerima Saito kapan saja, tubuh Saito mulai memanas.
"Jangan jadi cewek murahan." Saito mencoba menghentikan Himari, tetapi Himari tidak mau mendengarkan.
"Aku tidak begitu kok. Asalkan aku bisa mendapatkanmu, aku tidak masalah melakukannya dengan cara apapun yang mungkin."
"Bahkan sebagai simpanan?"
"Ada seorang cewek yang bahkan berhasil mengalahkanku dalam hal itu."
"Hah…?"
"Ah…"
Saito menyipitkan matanya lalu Himari menutup mulutnya.
"Siapa yang kamu bicarakan?"
"Ma-Maaf, lupakan saja tentang itu."
"Kamu tahu aku tidak dapat lupakan hal itu. Apa maksudmu?"
"Aku sangat menyesal. Itu salahku. Aku tahu kalau tidak akan ada yang senang meskipun aku mengeluh tentang hal ini." Himari terdiam.
Meskipun Saito menanyai Himari lebih jauh, mendapatkan informasi itu akan sulit. Saito menghela napas pasrah.
"Aku akan bertingkah seakan-akan aku tidak mendengarnya."
"Iya ..." Himari menundukkan kepalanya.
Untuk menghilangkan suasana yang canggung ini, Himari berbicara dengan suara yang energik.
"Oh iya! Saito-kun, apa kamu tidak lapar? Mari kita makan malam bersama. Aku mungkin tidak sejago Akane, tetapi aku ini cukup pandai memasak."
"Aku tidak bisa menetap di sini untuk makan malam, kamu tahu?"
"Benarkah. Baik Ayah maupun…dia…tidak pulang hari ini."
"Apa mereka sedang dalam kunjungan?"
Himari menyebut "dia" bukan ibunya, yang membuat Saito angkat bicara.
"Bukan kunjungan. Saat aku afa di sini ... mereka berdua tidak pulang." Himari menyatukan tinjunya ke pangkuannya.
Himari berbeda dari siswi populer pada umumnya di sekolah, menunjukkan sisi lemahnya. Kesunyian yang menusuk terpancar dari diri Himari.
"…Kita sama."
"Hah?"
"Kedua orang tuaku juga membenciku. Mereka tidak pernah pulang, atau mereka datang untuk menontonku selama festival olahragaku atau selama hari pembagian raport. Ini lucu, bukan?"
"…Aku rasa tidak." Himari menghela napas.
—Iya, itu sama sekali tidak lucu.
"Tetapi… aku senang mengetahui kalau aku tidak sendirian." Himari tersenyum.
Meskipun tidak ada untungnya kalau mereka menjadi jiwa yang sama, cuma berbagi rasa sakit yang sama itu semacam anugerah yang menyelamatkan bagi Himari. Menyadari hal itu, kalau Saito tetap berada dalam suasana yang manis namun menindas ini lagi, ia mungkin akan melakukan sesuatu yang tidak dapat diubah.
"Aku mesti pulang sekarang."
"Kamu tidak boleh." Himari menempel ke pinggang Saito.
Jarak antara mereka berdua semakin melebur, saat panas mereka berubah menjadi satu. Lengan Himari tidak akan membiarkan Saito pergi, apapun yang akan terjadi.
"Hei…"
"Cuma sebentar… saja lagi, tolong? Aku sangat kesepian…"
Saito tidak dapat menghilangkan tangisan Himari.
Bahkan sudah larut malam, Saito tidak menunjukkan tanda-tanda akan pulang. Akane melihat mereka berdua meninggalkan kelas bersama, jadi kencan mereka pasti masih berlangsung. Apa yang mereka lakukan sekarang, dan di mana? Mungkin saja mereka menginap semalam di suatu tempat? Memikirkannya saja, Akane jadi merasa gelisah dan dia tidak dapat fokus pada pelajarannya. Setelah mengerjakan satu halaman pertanyaannya, Akane sadar kalau dia sedang mengerjakan sesuatu di luar lingkup ujian satu jam kemudian.
"Aku tidak bisa…Dan itu semua salah Saito…"
Haruskah Akane menelepon Himari untuk menanyakan lokasi Saito sekarang? Tetapi kalau Himari memberikan tanggapan langsung, itu cuma akan lebih menyakiti Akane. Mungkin Akane tidak akan melihat Saito pulang karena ia mungkin sedang duduk di ruang belajarnya. Secercah harapan ini mengilhami Akane untuk mengambil buku referensinya ke lantai satu dan menunggu di sana. Akane duduk di sofa di ruang tamu dan mencoba mengerjakan pekerjaan rumahnya, tetapi tidak berhasil.
Akane menyalakan televisi, tetapi tidak ada acara menarik yang ditayangkan. Akane mengikutinya dengan mencoba menyembuhkan diri sendiri dengan menonton video kucing secara daring, tetapi itu juga tidak berpengaruh. Setelah apa yang terasa seperti kesendirian yang menyiksa tanpa akhir, Akane mendengar pintu depan terbuka.
—Saito!
Akane secara refleks bangkit, dan tidak lama duduk kembali dan memperbaiki posturnya. Kalau Akane bergegas ke pintu masuk untuk menyambut Saito, itu akan membuatnya tampak seakan-akan dia sedang menunggu kepulangan Saito. Seperti anak anjing yang menunggu pemiliknya pulang. Akane tidak akan tahan dihina seperti itu. Sebaliknya, Akane tetap duduk di sofa, berpura-pura membaca buku referensinya. Akhirnya, Saito melangkah ke ruang tamu, masih mengenakan seragam sekolahnya. Ada kerutan yang terlihat di blazernya, dan Saito tampak kelelahan secara keseluruhan.
"Aku pulang."
"……"
Saito dengan canggung menyapa Akane, yang tidak memberikan jawaban.
"Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa sama sekali. Makan malam sudah ada di atas meja, jadi makanlah dan tidurlah."
"Makan malam…" Saito meringis saat melihat ramen gelas di atas meja. "Bukankah kamu bilang kalau ramen gelas buruk bagi tubuh? Bahkan ketika kita bertengkar, kamu akan memasak makanan buatku."
"Aku tidak peduli! Kamu menyukainya, bukan? Kalau begitu makan saja dan hancurkan tubuhmu!"
"Mengapa kamu sangat marah?"
"Aku tidak marah!" Akane membentuk tinju ke pangkuannya saat dia meraung.
Akane tidak benar-benar marah. Akane tahu kalau rencana kencan palsu ini diperlukan untuk membuat hidup mereka kembali normal, dan Saito kemungkinan besar bekerja keras untuk itu. Saito tidak dapat disalahkan. Akane seharusnya tidak mencela Saito. Apa yang Saito lakukan dengan Himari, di mana Saito tetap bersama Himari, semua itu tidak ada hubungannya dengan Akane. Atau begitulah seharusnya, tetapi Akane tetap tidak bisa menahan rasa penasarannya. Pikiran dan perasaannya benar-benar kacau, Akane di luar kendali.
"Apa kamu... bersama Himari selama ini?"
"I-Iya. Setelah berjalan-jalan keliling kota, kami mampir ke rumahnya."
"Ru-Rumahnya…Bagaimana dengan orang tuanya?"
"Sedang tidak ada di rumah hari ini."
"…!"
Akane tidak bisa menatap ke wajah Saito lagi, jadi dia memilih untuk kabur. Akane bergegas menaiki tangga dan langsung masuk ke ruang belajarnya sendiri. Mendorong punggungnya ke pintu yang tertutup, Akane menarik napas dalam-dalam. Detak jantung Akane mulai terasa sakit, seperti yang dia rasakan di telinganya. Perasaan apa yang Akane miliki? Akane sendiri tidak tahu. Mengapa benjolan hitam yang terletak di hatinya ini sangat mengganggu Akane? Itu membuatnya gila. Dan pada saat itu, Akane menerima telepon masuk dari Himari.
"Halo…"
'Akane, apa Saito-kun sudah pulang dengan selamat?'
Suara Himari tetap energik dan ceria seperti biasanya. Atau lebih tepatnya, Himari terdengar jauh lebih bersemangat dari biasanya.
"…Iya."
'Bagus! Ia sudah makan malam denganku, jadi kamu tidak perlu khawatir tentang itu.'
"Aku tidak pernah begitu. Dan juga itu tidak menghasilkan apa-apa."
'Sempurna, kalau begitu. Dengarkan ini, Akane, saat aku bilang kalau ia bisa bergabung denganku untuk mandi, ia merasa sangat malu!'
"Aku tidak mau mendengar itu!" Akane meraung.
Himari, tentu saja, tidak tahu bagaimana harus bereaksi terhadap hal itu.
'A-Akane? Apa yang membuatmu begitu nyaring? Kamu akan membuatku tuli jika kamu berteriak begitu.'
"Ma-Maaf…" Bahu Akane menegang.
Himari tidak dapat disalahkan untuk ini. Yang Himari coba lakukan cuma membantu Saito dan Akane di saat mereka membutuhkan, didorong oleh niat baik.
"Em, Himari…menjadi kekasih pura-pura pasti sangat membebanimu, bukan? Kamu bisa berhenti kalau ini sudah berlebihan…"
'Aku tidak merasa terganggu sama sekali. Walaupun itu tidak sungguhan, aku tidak masalah punya hubungan semacam ini dengan Saito-kun.'
"Tetapi... rumornya sebagian besar sudah hilang..."
'Itu masih belum cukup. Kita mesti berbuat lebih banyak lagi.'
"Berapa lama kalian berencana untuk melanjutkan ini…?"
'Selama sisa hidup kami, mungkin?' Himari tertawa.
—Selama sisa hidup mereka…
Apakah dia bersungguh-sungguh sebagai pasangan palsu, atau sebagai pasangan asli? Tiba-tiba, nada suara Himari turun drastis.
'...Apa kamu tidak menginginkan ini? Saito-kun dan aku berakhir dalam hubungan semacam ini? Kalau kamu merasa cemburu, maka aku akan berhenti.'
"A-Aku tidak cemburu! Aku tidak punya perasaan apapun untuk cowok itu!" Akane merasakan panas mengalir ke tengkuknya dan lebih jauh ke atas.
'Kalau begitu tidak apa-apa! Kamu dan Saito-kun bisa tinggal bersama seperti sebelumnya, dan aku diizinkan untuk mesra-mesraan seperti yang aku inginkan dengannya! Semua orang senang, dan kita tidak akan punya masalah, bukan?'
"Iya…tidak ada masalah sama sekali…"
(TL Note: Akane-nya juga nyebelin, gaes.)
Jadi begitulah yang Akane katakan, tetapi sensasi gelisah di dadanya ini tidak mereda tidak peduli apa yang dia katakan pada dirinya sendiri.