Bab 2Pacar (Palsu)(Bagian 6)
Saito berjalan melewati kawasan perbelanjaan lalu ia kebetulan masuk ke dalam pusat gim tertentu. Kalau saja itu cuma pusat gim biasa, Saito mungkin tidak perlu ketakutan begini. Namun, apa yang benar-benar membuat Saito merinding yaitu Akane yang benar-benar menghancurkan mesin tinju dengan sekuat tenaga. Khalayak menyaksikan ini dengan takjub, dengan Maho melompat-lompat kegirangan. Dan kemudian, Akane berteriak, "Saito, dasar kamu bodoh!" dari atas paru-parunya. Saito menyaksikan semua hal ini terungkap.
Untuk sepersekian detik, Saito merasa seperti ia melihat dirinya sebagai samsak itu. Dan tanpa ragu, Akane juga merasakan hal yang sama dalam pikirannya.
"Ada apa, Saito-kun?" Himari menatap wajah Saito saat dia berhenti di sampingnya.
"Ma-Mari kita pergi ke sebelah sana, mungkin." Saito memegang tangan Himari dan mengajaknya pergi dari sekitar pusat gim.
"I-Ini pertama kalinya…kamu pernah memegang tanganku, bukan…?" Himari tersipu.
Itu sangat menggemaskan, tetapi Saito tidak melakukannya karena maksud romantis. Saito cuma merasakan insting yang mendesaknya untuk melarikan diri. Kalau saja Akane melihat mereka berdua berkencan di kawasan bisnis sekarang—bahkan kalaupun itu cuma berpura-pura—dia kemungkinan besar akan menghancurkan kepala Saito. Itulah seberapa banyak amarah yang menumpuk di dalam diri Akane saat ini.
Kawasan bisnis ini dipenuhi dengan sesama siswa-siswi yang mengenakan seragam yang sama dengan Saito dan Himari, mulai dari teman biasa hingga pasangan yang tampak terbuka. Seperti yang dikatakan Himari sebelumnya, kalau mereka pamer sebagai pasangan yang sedang berkencan, itu akan membuatnya semakin tampak seperti mereka sedang pacaran sungguhan.
"Jadi apa yang mesti kita lakukan sekarang?" Saito angkat bicara.
"Kamu menanyakan hal itu pada seorang cewek?"
"Aku sama sekali belum punya pengalaman dalam hal semacam ini, dan aku rasa kamu mungkin tahu satu atau dua hal."
(TL Note: Ah, masa' Bang?!)
"Jangan buat aku terdengar seperti cewek murahan! Hari ini...juga pertama kalinya aku berkencan dengan seorang cowok..." Himari tampak sedikit terganggu oleh komentar Saito, dan cemberut secara terbuka.
Himari mungkin tampak seperti seorang gyaru dari luar, tetapi dia itu sangat polos. Kalau saja Himari berambut hitam dan mengenakan seragamnya dengan benar, Saito mungkin tidak akan melihatnya sebagai seorang gyaru.
"Maaf, ini mungkin kencan pertamamu, tetapi ini tetap saja cuma kencan pura-pura."
Himari dengan panik melambaikan tangannya.
"Ti-Tidak apa-apa! Cuma dengan pulang dengan Saito-kun yang aku cintai saja itu sudah lebih dari cukup buatku, sungguh!"
Sisipan itu membuat Saito semakin merasa bersalah. Meskipun ini cuma kencan palsu, Saito ingin Himari sendiri menikmatinya. Ini merupakan tugas Saito, dan apa yang pantas Himari dapatkan.
"Kamu maunya pergi ke mana, Himari?"
"Aku tidak masalah ke manapun yang kamu mau, Saito-kun."
"Tetapi aku mau tahu kamu maunya pergi ke mana."
Himari meletakkan jari telunjuknya ke bibirnya, sambil berpikir.
"Hmm, kalau begitu… hotel, mungkin?"
"Pada kencan pertama kita?!"
"Ahaha, aku rasa aku sedikit terlalu cepat…Tetapi, aku rasa akan baik-baik saja dengan begitu, kamu tahu?" Mata Himari, yang penuh dengan gairah, menatap Saito.
Apa Himari ini cuma murni menguji reaksi Saito, atau apa dia itu tulus? Tubuh Himari, dan pinggangnya ramping, didorong ke arah Saito. Saito merasakan air liur menumpuk jauh di dalam mulutnya. Jantung Saito berdetak dengan sangat cepat, bahkan tidak memungkinkannya untuk menelan ludah.
"…Aku tidak bisa melakukan itu."
"Mengapa? Padahal di sampingmu ada seorang cewek yang bersedia mendengarkan permintaan apapun yang mungkin kamu punya. Kamu bahkan juga dapat meninggalkanku begitu kamu selesai melakukannya denganku."
"Aku tidak mau menyakitimu. Kalaupun kita memang mau melakukan itu, itu mungkin akan terjadi setelah kita benar-benar pacaran."
"Saito-kun…" Mata Himari berbinar, saat seringai tipis keluar dari bibirnya dan bahunya santai. "Kamu itu benar-benar bodoh. Kalau saja kamu bertindak lebih mementingkan dirimu sendiri dan memanjakan dirimu sendiri, kamu mungkin bisa saja membuatku membencimu. Kalau kamu menghargaiku sebanyak ini, aku malah akan semakin jatuh cinta padamu."
"Maaf."
"Tidak usah minta maaf. Aku sangat senang." Himari menempel ke lengan Saito. "Ajak saja aku ke manapun yang kamu mau. Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu."
"Dimengerti."
Kalau Himari menginginkannya, maka Saito harus menurutinya. Saito memutuskan untuk membawa Himari ke toko buku di gang belakang di mana ia selalu membeli rilisan terbaru dalam perjalanan pulang. Itu merupakan toko kecil dengan majalah manga yang dijajakan di rak dan buku-buku yang ditujukan untuk anak-anak dipajang. Tugas tulisan tangan digantung di jendela kaca luar, menciptakan perasaan yang akrab. Bermacam-macam buku yang juga tidak spesial, tetapi pilihan mereka itu agak sopan, sering kali sesuai dengan selera Saito. Aroma tinta yang samar di sekitar, dan pemilik yang tidak ramah menciptakan suasana yang tenang dan menyenangkan. Himari melihat sekeliling beberapa kali dan menarik napas dalam-dalam.
"Tempat... ini punya suasana yang hebat."
"Oh, kamu bisa tahu, ya?"
"Iya. Ini cukup sederhana, tetapi itulah yang bagus dari itu. Seperti kita berada di dunia yang berbeda dari luar."
Saito mengangguk dengan kuat.
"Betul sekali. Ini tidak terlalu menonjol, yang membuat semua pelanggan aneh keluar. Ini membuatku merasa seperti memasuki perpustakaan kuno, dan tanpa ada orang yang membuat keributan, aku dapat meluangkan waktu untuk mencari buku baru. Mencari buku secara daring itu memang satu hal yang praktis, tetapi memeriksanya dengan tanganmu sendiri secara langsung akan memberimu rasa keakraban. Mengerti segala sesuatu tentang buku dengan semua indramu merupakan bagian yang terbaik dari membaca buku."
Himari tertawa terbahak-bahak.
"Aku rasa aku belum pernah melihatmu berbicara dengan penuh semangat tentang sesuatu."
"Aku tidak berencana melakukan itu…" Saito tiba-tiba merasa malu.
Karena Saito telah menemukan jiwa yang sama dalam diri Himari yang mengerti perasaannya, ia baru saja mulai melontarkan apa yang ia pikirkan selama ini.
"Saito-kun yang tenang dan kalem seperti biasanya juga cukup keren. Tetapi aku suka saat kamu bersemangat karena sesuatu. Jadi, ceritakan lebih banyak tentangmu?"
"…Iya."
Himari tidak mengolok-olok Saito dalam artian apapun, tetapi itu cuma akan membuat Saito semakin gelisah. Saito mendapati dirinya tidak dapat menatap langsung ke mata Himari, yang terasa seperti bisa menerawang dirinya.
"Buku macam apa yang kamu sukai, Saito-kun?"
"Aku ini tidak secara khusus berpaku pada genrenya. Kadang-kadang aku cuma sesuaikan dengan urutan di rak buku."
"Sungguh!? Itu luar biasa!"
"Namun, itu sangat tidak efisien, dan itu membebani anggaranku, jadi aku berhenti melakukan itu."
Saito mungkin orang yang akan mewarisi Houjou Group, tetapi orang tuanya itu cuma orang biasa. Saito mungkin menerima cukup uang untuk bertahan hidup dari mereka, tetapi itu tidak cukup untuk membeli buku secara acak begitu saja.
"Aku ingin baca buku favoritmu. Punya saran?"
"Hmmm…Aku tidak tahu mesti menyarankan apa pada seseorang yang kepalanya akan meledak kalau dia membaca buku…"
"Kepalaku akan baik-baik saja! Dan aku akan membaca apapun yang kamu sarankan padaku!"
"Kalau begitu aku akan membelikanmu buku sebagai tanda terima kasih atas segalanya."
Mata Himari terbuka lebar karena terkejut.
"Sungguh?! Aku pasti akan membacanya! Berulang-ulang sampai aku dapat melafalkannya dengan hati! Tentu saja, ini kan hadiah dari Saito-kun!" Himari tampak sangat gembira, saat Saito membawanya masuk ke toko.
Dengan Himari yang sangat termotivasi ini, Saito berusaha memilihkan buku yang akan membantunya dalam beberapa hal. Untuk masa depan Himari, lebih dari apapun. Dengan pemikiran itu, Saito mengambil ringkasan hukum dari rak buku.
"Err… ada apa ini? Batu bata?" Himari bergidik melihat gumpalan tebal di depannya.
"Ini merupakan ringkasan dari semua hukum di Jepang. Ada konstitusi, hukum perdata, hukum pidana, dan hukum dagang tertulis di sini. Itu akan banyak membantumu."
"Aku tidak ingin jadi pengacara, kamu tahu?!"
"Aku kenal pengacara yang mungkin mendapatkan lisensi mereka dari pasar gelap dengan bagaimana mereka menolak pertanyaan mereka sendiri, jadi aku yakin kamu bisa melakukannya juga kalau kamu memutuskan untuk melakukannya. Kamu setidaknya akan jauh lebih baik pada para saksi di pengadilan. Dan juga, mengetahui tentang hukum itu penting meskipun kamu tidak ingin jadi pengacara. Orang-orang yang tahu sistem akan tahu jalan menuju kemenangan. Kalau kamu tidak tahu apa-apa, kamu akan berakhir di pengadilan melawan beberapa mantan suamimu yang gila, yang menuduhmu melakukan kekerasan dalam rumah tangga."
"Aku tidak tahu kalau masyarakat itu tempat yang menakutkan! Aku tidak akan pernah lolos selama sisa hidupku!"
"Iya, jika kamu terus-terusan begini… kamu tahu."
"Aduh?! Kehadiranku itu benar-benar sempurna, setidaknya!" Himari menekankan, tetapi Saito mengabaikannya dan menuju ke kasir.
Sebuah buku seukuran ini cukup menguras banyak isi dompet Saito, tetapi itu merupakan tanda terima kasih, jadi Saito dapat menanganinya.
"Tung-Tunggu sebentar! Aku maunya sesuatu yang lain sebagai tanda terima kasih, sebenarnya!"
"Jadi kamu… tidak suka literatur hukum? Padahal aku sangat suka, kamu tahu…" Saito tampak sedih.
"Aku tidak tahu apa aku akan menyukainya atau tidak, tetapi mana mungkin aku dapat mengingat semua itu! Dan aku akan merasa tidak enak kalau membiarkan benda ini berdebu di laci!" Himari menggigil ketakutan.
Memaksa seseorang untuk mempelajari sesuatu biasanya akan memiliki efek yang sebaliknya, dan Saito tahu akan hal itu.
"Mengerti. Pikirkan saja apa yang kamu mau dan katakan padaku, oke?"
"Itu juga tidak mesti sesuatu yang berupa fisik, bukan. Misalnya…Aku bisa saja meminta Anda melakukan 5000 kali tolak angkat (push-up), atau menggali lubang untukku yang akan kamu kunjungi setiap hari."
"Apa kamu mau aku mati?"
Karena memang seperti itulah kedengarannya.
"Itu cuma sebuah contoh! Aku cuma ingin tahu seberapa jauh yang bisa aku minta!"
"…Iya, sebagian besar, aku akan biarkan kamu meminta apapun."
Saito tahu kalau Himari tidak akan meminta sesuatu yang aneh-aneh. Tidak seperti Akane, yang akan membuat Saito diasingkan dari bumi, dan Maho yang meminta kesuciannya, Himari pasti meminta yang aman. Setelah mereka berdua masuk ke dalam toko sebentar, mereka pun akhirnya keluar. Karena rilisan baru yang ditunggu-tunggu Saito sudah keluar, ia juga membelinya di samping. Mereka terus berjalan menyusuri kawasan perbelanjaan lalu aroma harum melayang ke arah mereka. Himari melihat sebuah toko krep dengan papan reklame yang berwarna-warni, yang punya antrean besar siswa-siswi yang menunggu di depannya.
"Saito-kun, apa kamu suka krep?"
"Kalau krimnya tidak terlalu banyak. Aku terkadang makan krep bersama Shisei."
"Aku belum pernah makan krep yang tidak manis. Mari kita saling suap-suapan, oke?"
"Seperti kita ini pasangan…"
"Kita ini memang pasangan, bukan?" Himari mengedipkan mata pada Saito, yang tidak punya bantahan.
Mereka mengantre di belakang siswa-siswi lain dan memesan krep. Saito memilih yang rasa tuna dan keju sebagai camilan sore yang lebih banyak, sedangkan Himari memilih es krim tiga lapis vanila coklat karamel, yang sejujurnya terdengar seperti guna-guna untuk mengucapkan mantra sihir. Seperti namanya, krep itu penuh sesak, dan hampir runtuh. Saito khawatir cuma dengan melihat krep bergoyang. Namun Himari tampak tenang seperti biasa, dan cuma mengunyahnya.
"Hm, enak! Krep dari tempat ini merupakan yang terenak!"
"Jadi ada perbedaan rasa ya, antartoko?"
"Tentu saja! Ayolah, coba digigit."
"Nyam."
Himari tiba-tiba menyodorkan krep itu ke mulut Saito, yang secara refleks menggigitnya.
—Manis.
Itu jauh lebih manis daripada permen atau krep apapun yang Saito rasakan hingga saat ini. Rasa manis ini meleleh di dalam tubuh Saito, membuatnya merasa pusing.
"Itu merupakan sebuah ciuman tidak langsung buatku!"
"Bukankah aku yang mendapatkannya…?"
Darah Saito mengalir deras ke kepalanya. Yang ini tidak dapat dihindari, jadi itu tidak masuk dalam hitungan— itulah yang ingin Saito katakan pada dirinya sendiri, tetapi ia menyadari kalau ia sudah menggigit dari tempat yang tepat Himari menggigitnya. Perasaan dan rasa malu memenuhi tubuh Saito seakan-akan ia telah menjilat bibir Himari secara langsung. Himari pada ujungnya cuma tersenyum sendiri.
"Aku selalu memimpikan ini."
"Memimpikan apa?"
"Pergi kencan sepulang sekolah dengan orang yang aku cintai, jajan-jajan, makan makanan lezat, dan cuma menghabiskan waktu berduaan. Aku sudah lama ingin mengalami hal semacam ini sejak aku masih SD."
"Bukankah kamu itu cukup romantis?"
"Aku tidak romantis kok, ini biasa saja!"
"Aku, misalnya, tidak pernah memikirkan hal ini."
Jangankan di SD, Saito tidak pernah kepikiran topik ini sampai sekarang di SMA. Yang Saito pedulikan hanyalah buku, dan ia memutuskan untuk tidak terlibat dengan orang-orang yang dapat memberinya pengetahuan substansial. Namun, di sinilah Saito, pura-pura berkencan dengan cewek yang paling populer di sekolah.
"…Aku punya beberapa keraguan di sini, tetapi kita ini cuma pura-pura berkencan, bukan?"
"Hmm? Iya. Memangnya menurutmu bagaimana?"
"Aku merasa kalau kita melakukan cukup banyak hal yang biasa dilakukan untuk kencan sungguhan. Mana bedanya antara kencan sungguhan dan kencan pura-pura?"
"Ah ..." Himari terdiam.
"Woi, apa-apaan dengan kesan 'Ups, aku ketahuan'-mu itu?!"
"Aku masih belum ketahuan!"
"Apa maksudnya itu?!"
Himari panik.
"E-Emm, oke! Kalau ini memang kencan sungguhan, maka kamu pasti sudah mati sekarang!"
"Aku tidak tahu kalau kencan itu pertempuran sampai mati."
Saito menganggap kencan itu sebagai aktivitas yang lebih damai. Karena itu, Himari pasti jauh lebih berpengalaman daripada Saito, jadi dia mungkin akan tahu.
"Pada kencan sungguhan, kita pasti sudah berciuman sekarang! Karena kita cuma pura-pura, kami mengganti hal itu dengan ciuman tidak langsung! Dan kamu sudah bertahan!"
"Aku lebih baik…"
Saito tidak paham apa yang sebenarnya Himari bicarakan, tetapi ia menebak-nebak apa yang Himari coba katakan. Pada dasarnya, karena ini cuma kencan pura-pura, Himari menahan diri demi Saito.
"Pokoknya, biarkan aku coba gigit krepmu!" Himari kemungkinan besar mau mengganti topik, dan dengan panik mengunyah krep Saito. "~~~?! Sa-Sa-Sangat pedas!" Kepala Himari memerah jadi semerah tomat.
(TL Note: Azab seorang pelakor.)
"Ini tidak terlalu pedas. Ini cuma 'Krep Keju Tuna Cabai Merah Rawit Setan', seperti yang kamu lihat."
"Namanya saja sudah terdengar pedas!"
"Ini sangat biasa saja. Mereka bahkan punya krep yang 50 kali lebih pedas kalau kamu mau. Cuma kamu mesti memeriksa menu tersembunyi mereka."
"Mengapa kios krep butuh menu tersembunyi?! Air! Aku butuh air!" Himari mulai berlari.
Himari dengan panik mencari mesin penjual otomatis tetapi tidak berhasil. Himari mulai gemetaran sambil menggigit bibirnya, dan segera mencapai batasnya.
"Sebelah sini!" Saito ingat taman terdekat dan berlari.
Himari mencapai air mancur, mendorong tubuhnya ke depan, dan menyesapnya dengan cepat. Akibatnya, air itu benar-benar terciprat ke wajahnya, membuat Himari basah kuyup, tetapi dia benar-benar mengabaikannya. Begitu Himari berhasil bertahan hidup melalui pedasnya cabai, dia langsung duduk di bangku taman.
"Ya ampun, itu pedas... Aku kira lidahku akan terbakar..."
"Kamu itu lebai ah. Itu masih di tingkat yang lebih biasa, jadi kamu tidak dapat menembus tingkat ini, ya."
"Siapa yang aku lawan?! Aku tidak akan ikut lomba makan cepat!"
"Kalau kamu secara tidak sengaja membeli ramen pedas yang sepuluh kali lipat dan mesti hidup selama seminggu, kamu akan berterima kasih padaku." Saito bilang begitu seperti ia pernah mengalami hal ini sebelumnya.
"Oh... Begitu…?" Himari tampak bingung, tidak menyadari kalau rambut dan seragamnya basah kuyup.
Blusnya menempel di dadanya yang berisi juga basah, tanpa sadar memperlihatkan pakaian dalamnya. Roknya juga mengalami nasib yang sama, memperlihatkan tetesan air di pahanya yang berkilauan di bawah sinar matahari.
"Aku rasa kamu mesti pulang hari ini, kalau tidak kamu akan masuk angin."
"Aku baik-baik saja, aku masih bisa melanjutkan ini!"
"Jangan paksakan dirimu, kamu dengar aku."
"Aku tidak begitu! Aku sedang berkencan dengan Saito-kun, jadi aku tidak mau pulang!"
Himari menangis seperti anak kecil, yang merupakan pertama kalinya bagi Saito. Biasanya, Himari sendiri tetap mempertahankan aura dewasa, makanya Saito tidak dapat bilang tidak.
"Ini." Saito melepas blazernya dan meletakkannya ke bahu Himari.
"Ap…"
"Kamu tidak dapat jalan dengan keadaan begini. Aku akan mengantarmu pulang, jadi mari kita pulang?"
"O-Oke…" Himari tersipu saat dia memegang blazer Saito.