KuraKon - Jilid 5 Bab 2 Bagian 5 - Lintas Ninja Translation

Bab 2
Pacar (Palsu)
(Bagian 5)

Setelah jam pelajaran berakhir, Himari tidak mau membuang-buang banyak waktu dan  meninggalkan kelas bersama Saito. Mereka mengaitkan lengan mereka seperti pasangan sungguhan, dan langsung pamer.

Apa mereka akan pergi berkencan…?

Akane ditinggal, bersiap untuk pulang dengan dadanya dipenuhi perasaan yang samar dan suram. Akhir-akhir ini, Akane dan Saito tidak dapat pergi berbelanja bersama, semua fokus itu tertuju pada Himari.

Tunggu, ini malah seperti aku ingin pergi ke suatu tempat bersama Saito! Sama sekali bukan begitu!

Akane dengan keras menggelengkan kepalanya lalu Maho datang dengan tergesa-gesa ke dalam ruang kelas itu.

"Mbak! Adik Mbak yang menggemaskan ini datang ke sini untuk menjemput Mbak! Mari kita pulang bersama!"

"Iya, mari." Akane merasa seperti sedang disembuhkan oleh adiknya yang bertingkah energik ini.

Akane merasa seperti dia akhirnya punya tempat untuk berpangku. Setidaknya satu juta kali lebih baik daripada saat Akane berada di sekitar Saito. Maho meraih tangan Akane, dan mereka pergi melalui pintu depan.

"Aku barusan melihat Mas dan Himarin berjalan di lorong! Mereka tampak sangat dekat seperti mereka itu pasangan sungguhan!"

"Mereka cuma akting, tidak lebih!" Akane menginjak-injak lantai sambil marah.

"Mbak pikir begitu? Himarin sudah lama menyukai Mas, jadi aku tidak akan terkejut kalau-kalau mereka akan benar-benar pacaran. Mas sendiri juga kelihatannya senang."

"Itu palsu! Semua palsu! Itu cuma akting!"

"Mengapa Mbak sangat kesal begitu?"

"Mbak tidak kesal sama sekali!"

Akane jelas kelas. Bahkan sampai-sampai, Akane sendiri juga menyadarinya. Akane tidak bermaksud bertingkah begini di depan adiknya sendiri, tetapi dia tidak dapat menahan diri. Emosi Akane meluap ke mana-mana. Akane biasanya punya kecenderungan untuk mengamuk kalau berkaitan dengan hal emosinya sendiri, tetapi ini menjadi semakin buruk ketika Saito terlibat di dalamnya. Begitu Saito ada di dekatnya, Akane akan secara alami menjadi galau, dan ketika Saito memperlakukan Akane dengan baik, Akane akan jadi bahagia tanpa henti. Itu seperti aliran emosi yang membingungkan tanpa henti. Tidak peduli apa alasannya, hubungan mereka berdua selalu buruk. Itulah mengapa emosi Akane sangat kacau bahkan saat ini.

"Mbak, mungkin Mbak mesti mengeluarkan stres yang dipendam?" Maho berbicara dengan nada khawatir saat dia melirik ke wajah Akane, sehingga menariknya kembali ke dunia nyata.

"Mbak tidak apa-apa, sungguh."

"Apakah Mbak benar-benar tidak apa-apa? Aku khawatir kalau Mbak mungkin akan meninju orang asing secara acak."

"Mbak itu bukan berandalan!"

"Tidak apa-apa, aku akan melakukan yang terbaik untuk menghapus dan menghilangkan bukti apapun yang dapat digunakan di pengadilan dan berbohong selama sesi kesaksianku untuk memastikan keselamatan Mbak!"

"Mbak tidak akan lakukan apapun yang mengharuskanmu melakukan hal semacam itu! Dan juga, kamu tidak boleh melakukan itu, kamu akan dituntut atas kesaksian palsu!"

Akane merasa sakit hati karena adiknya melihatnya dengan cara yang begitu enteng.

"Mari kita pergi ke pusat gim! Kita bisa menembak beberapa zombi untuk menyingkirkan semua juju jahat itu!"

"Mbak tidak mau yang ada zombi-zombiannya!"

"Oke, kalau begitu kita akan pergi kencan!"

Akane tidak dapat menolak permintaan adiknya, yang menariknya begitu saja. Akane tidak menyukai gim yang aneh dan keji macam itu, tetapi ini jauh lebih baik ketimbang cuma menunggu di rumah selama berjam-jam tanpa henti. Itulah sebabnya Akane setuju untuk ikut. Mereka berpindah dari jalur yang biasa mereka tempuh dari sekolah untuk memasuki kawasan pertokoan yang seperti biasanya dipadati siswa-siswi. Karena mereka tidak mau mengambil risiko ketahuan oleh teman-teman sekelas mereka, Akane dan Saito belum pernah datang ke sini sebelumnya. Akane sering melewati jalan ini bersama Himari, biasanya dalam perjalanan pulang, tetapi itu juga berhenti akhir-akhir ini. Akane selalu diganggu oleh pekerjaan rumah tangga, dan Himari telah menemukan pekerjaan paruh waktu, jadi jadwal mereka tidak pernah cukup cocok. Akane dan Maho berjalan menyusuri jalan yang ramai sambil berpegangan tangan lalu Maho angkat bicara.

"Sekarang kalau aku ingat-ingat, Mbak pernah pergi ke pesta ini beberapa tahun yang lalu, bukan?"

"Pesta…?"

"Mbak tahu, saat Mbak akan wisuda dari SD. Nenek mengajak Mbak ke pesta itu, bukan? Aku sendiri ingin pergi ke sana, tetapi aku merasa belum siap untuk itu. Pesta diadakan di kediaman terpisah itu, milik teman Nenek yang itu…"

"…!" Akane terdiam.

Akane belum pernah pergi ke pesta manapun sebelumnya, tetapi kalau bicara soal satu pesta di kediaman, cuma ada satu. Itu merupakan kediaman mewah dan terpisah yang dimiliki oleh Houjo Group dan tampak seperti istana kerajaan keluarga bangsawan. Semua tamu mengenakan pakaian mahal, menikmati makanan yang belum pernah dilihat Akane sebelumnya. Yang paling mendapat perhatian saat itu yaitu putra Kaisar Tenryuu, penjabat pangeran dan penerus grup—Saito.

"Mbak dalam suasana hati yang sangat baik saat Mbak kembali dari pesta itu, bukan?"

"Apa Mbak begitu…?"

"Iya. Mbak tampak gelisah, galau, merana, dan benar-benar berbeda dari biasanya. Mengapa bisa begitu?"

"Itu…"

Akane mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi pada saat itu lebih dia merasakan tubuhnya memanas. Kenangan yang kembali, rasa malu yang membakar yang memenuhi diri Akane, dicampurkan dengan rasa frustrasi… Rasanya seakan-akan dia telah membuka kotak Pandora, jadi Akane dengan panik membanting kotak itu hingga tertutup kembali.

"Tidak ada apa-apa kok!"

"Hah? Itu tidak benar, bukan~ Dan juga, pertama kalinya Mbak bertemu dengan Mas bukan di SMA, tetapi saat pesta itu, bukan?" Maho menatap wajah Akane dari dekat.

"Mbak tidak tahu! Dan Mbak tidak mau mengingatnya!"

"Jadi memang ada sesuatu yang terjadi?"

"Tidak ada sama sekali! Tidak saat pesta itu!"

"Jadi setelah pesta itu?"

Akane menyilangkan tangannya dan membuang muka.

"Tidak ada yang terjadi! Kita sudahi mengobrol soal ini! Dan kalau kamu tidak mau sudahi, Mbak akan membuatmu makan bubur nasi!"

"Tega-teganya Mbak mengancamku begitu?!"

"Dan agar membuat bubur itu jadi lebih sehat, itu cuma terbuat dari air dan nasi!"

"Jangan! Setidaknya beri aku hamburger yang banyak dilumuri saus!" Maho mulai menangis.

Akane mulai merasa sedikit bersalah, tetapi ini merupakan satu-satunya metode yang bisa dia pikirkan untuk menghentikan pertanyaan tidak akan berakhir ini.

"Oke, baiklah! Mbak tidak perlu memberi tahuku kalau begitu! Aku cuma akan menganggap kalau Mbak dan Mas saling jatuh cinta dan kemudian berpisah."

"Serius deh, tidak ada yang terjadi kok…" Akane menggigit bibirnya.

Setelah pesta itu, sampai ujian masuk SMA, Akane tidak melihat Saito.

Makanya aku…

Akane diliputi perasaan yang sama seperti yang dia rasakan selama upacara penerimaan mereka, jadi dia menamparkan pipinya untuk melupakan hal itu. Akhir-akhir ini, ada yang salah dengan Akane. Bahkan hari ini, pikiran Akane selalu berada di tempat lain… dan sudah begini untuk waktu yang cukup lama. Terutama setelah dia mendengar Saito dan Maho berbicara di rumah sakit.

Mereka berdua masuk ke pusat gim. Biasanya, Akane akan bermain gim jangkar dengan Himari, berfoto di kotak foto, atau bermain gim ritme, tetapi Maho segera berjalan ke belakang dengan gim yang lebih serius.

"Mari kita mainkan gim tembak-tembakan ini, Mbak!"

Maho berhenti di depan tanda yang bertuliskan 'Krisis Pertempuran Senjata.' Layar besar di depan mereka menunjukkan adegan aksi seperti di film, dengan dua senjata yang disediakan pada para pemain.

"Mbak tadi sudah bilang tidak kalau ada zombi-zombiannya, bukan?!" Akane menutupi matanya.

"Yang ini tidak ada zombinya! Mbak akan melawan prajurit manusia atau robot-robot!"

"Be-Benarkah…?"

"Iya, iya! Jadi tidak perlu takut!"

"M-M-Mbak sama sekali tidak takut!"

Akane perlahan-lahan melepaskan tangannya dari matanya dan melihat gim itu sendiri. Akane tidak melihat ada zombi di manapun sejauh ini. Dan juga tidak ada zombi yang menjadi bagian dari rekaman yang diputar di layar. Akane mencarinya secara daring, tetapi situs resminya juga tidak menyebutkan kata "zombi". Melihat semua usaha persiapan ini membuat Maho menghela napas.

"Mbak tidak harus secermat ini, tahu?"

"Cu-Cuma untuk memastikan!" Akane memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas sekolahnya.

Maho biasanya itu cewek yang baik tanpa niat buruk, tetapi dia punya kecenderungan untuk mengerjai Akane kapanpun dia mau. Oleh sebab itu, Akane tidak dapat lengah bahkan untuk sedikitpun. Akane memasukkan cukup uang untuk mereka berdua bermain ronde dan mengambil pistol. Itu disederhanakan tetapi terasa dan bertindak seperti pistol asli. Sempurna sekali untuk suasana hati Akane saat ini. Maho membantu menjelaskan kendalinya.

"Mbak memegang pistolnya di tangan dominan Mbak, meletakkan jari di sini pada pelatuk. Kalau Mbak mau mengganti senjata Mbak, Mbak bisa tekan tombol ini, dan untuk memuat ulang itu dengan tombol ini."

"…Apa ini punya peluru sungguhan?"

"Kalaupun iya, nanti Mbak malah akan membunuh orang di kiri dan kanan dengan peluru nyasar!"

"Mbak rasa begitu…Mbak akan membawa Saito ke sini, kalau tidak…"

"Jangan katakan hal-hal yang akan dapat digunakan sebagai bukti di pengadilan! Dan mengapa Mbak ingin menggunakan peluru sungguhan pada Mas?! Apa kalian berdua sedang bertengkar?!"

"Mbak tidak akan menembak Saito, cuma ingin membuatnya geli dengan beberapa peluru... Mbak punya keinginan yang tidak terpuaskan untuk menguji bayi ini padanya."

"Menakutkan! Perasaan jujur Mbak itu menakutkan!"

Sementara mereka mengobrol berputar-putar, adegan berhenti berputar dan gim dimulai. Akane tidak menontonnya sedetikpun jadi dia tidak tahu bagaimana ceritanya, tetapi yang mesti dia lakukan cuma memusnahkan musuh yang datang padanya. Prajurit musuh pun muncul, lalu Akane dan Maho menodongkan senjata ke arah mereka. Setiap kali tembakan peluru itu bergema, retakan muncul di layar. Setiap kali mereka melawan, para prajurit mulai bersembunyi di balik bayangan, menyerang saat Akane kehabisan peluru.

"Ahhh, ini sangat membuat frustrasi! Tetaplah tenang, oke!"

Para prajurit yang menyerang mulai tampak seperti Saito. Akane menuangkan semua tekanannya yang terpendam ke dalam peluru, tanpa henti menembaki para musuh. Saat Akane membayangkan Saito menghindari peluru itu, bidikannya menjadi jauh lebih akurat. Perlahan tetapi pasti, kepala prajurit musuh diledakkan. Ketika Akane mengambil kotak yang tampak seperti senjata, dia mendapatkan senjata (buff) pada pelurunya. Akane berbaris melalui medan perang penuh dengan teriakan, saat dia mengincar musuh dari kiri ke kanan. Ketika Akane sadar kembali, layar tertulis 'Babak Selesai! Skor Tinggi!’ dalam teks tebal. Itu diikuti sorakan keras dari sekeliling mereka. Akane bahkan tidak sadar kalau dia sudah menarik banyak perhatian dari pengunjung lain.

"Wah, wah! Kita dapat skor tinggi, Mbak! Yang terbaik ketiga di seluruh negeri! Apa Mbak diam-diam seorang pemain gim?!"

"Mbak belum pernah memainkan gim ini sebelumnya."

"Kalau begitu bagaimana Mbak bisa sangat jago dalam memainkannya?!"

"Mbak cuma menganggap semua musuh itu sebagai Saito, dan kemudian tubuh Mbak bergerak dengan sendirinya… Memberi tahu Mbak untuk membunuh mereka secepat mungkin."

"Mengapa Mbak sangat membenci Mas sih?!"

"Mbak bersyukur karena kita tidak tinggal di Amerika Serikat. Kalau begitu Mbak mesti sudah membeli senjata sekarang…"

"Ya ampun, aku sama bersyukurnya! Aku merasa kasihan pada Mas! Mas akan mati seratus kali lipat."

Karena gimnya sudah selesai, Akane dengan cepat melarikan diri dari sana. Maho tampaknya berencana untuk memecahkan rekor nasional, tetapi Akane mau menghindari perhatian yang tidak perlu. Sudah ada kehebohan di sekolah, jadi Akane sudah lebih dari lelah.

"Hei, mari kita mainkan ini bersama! Atau lebih tepatnya, mainkan ini untukku!" Maho berpegangan pada lengan Akane, menunjuk pada apa yang tampaknya seperti gim arkade tinju.

Sebuah samsak merah menjuntai di mesin seperti kotak, dengan sarung tinju tersedia di dekatnya.

"Maho…apa menurutmu Mbak ini semacam pembunuh bayaran? Mana mungkin Mbak bisa melakukan ini!"

"Tentu saja Mbak bisa! Anggap saja samsak merah itu sebagai Mas dan pukul ia dengan benar!"

"Saito itu… samsaknya…" Akane tiba-tiba dipenuhi dengan dorongan motivasi.

Akane memakai sarung tinju itu, menatap ke samsaknya. Samsak itu tiba-tiba tampak seperti membesar, wajah Saito menyeringai pada Akane seakan-akan ia sedang mengejek Akane, mengatakan sesuatu seperti "Kikiki, kamu tidak akan pernah bisa mengalahkanku."

"Lihat saja… aku akan menghancurkan wajah sombongmu itu…"

"Wajah?! Di mana Mbak melihat wajah?! Mbak tidak berbicara tentang wajahku, bukan?!" Maho benar-benar khawatir.

Akane menarik napas dalam-dalam, menarik kembali lengannya, dan memukulkannya pada samsak itu dengan sekuat tenaga. WHAPOW, suara ledakan terdengar, bersama dengan musik perayaan dari mesin, saat suara mekanik mengatakan "Skor Tinggi!" Karena senang, Maho melompat-lompat ke arah Akane.

KuraKon5-2-5

"Astaga, Mbak! Mbak mendapatkan skor tertinggi kedua!"

"Tampaknya Mbak dapat menghancurkan wajah Saito dengan baik."

"Wajah Mas sudah bukan masalah lagi sekarang! Tetapi Mbak itu luar biasa, itu merupakan kekuatan amarah yang mendorong Mbak! Mari kita incar skor tertinggi!"

"Kamu benar…Mbak butuh lebih banyak kekuatan untuk melenyapkan Saito…" Akane mengangguk puas.


←Sebelumnya           Daftar Isi          Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama