Bab 4Kasih Sayang Adik(Bagian 5)
Karena Akane tidak tahu tentang situasi Maho, Saito-lah orang yang mengunjunginya setiap hari. Setelah jam pelajaran berakhir, Saito meninggalkan ruang kelas, menaiki bus tua ke luar kota. Di dalam bus, ada seorang kakek-kakek yang menonjol. Dua orang cewek yang tampak seperti siswi SD duduk dengan gugup di bangku mereka. Mereka tampak sangat mirip, jadi mereka kemungkinan kakak beradik.
Karena Saito diminta pergi berbelanja untuk Maho, ia turun dari bus satu sebelum ke rumah sakit, dan mampir ke rumah makan cepat saji, dan kemudian tiba di rumah sakit. Itu merupakan rumah sakit yang besar dengan 12 lantai, dan aula resepsi itu ramai dengan para pembesuk. Saito naik lift, memeriksa dirinya di cermin. Meskipun Maho menjadi alasan mengapa Saito diusir dari rumahnya sendiri, anehnya ia tidak dapat meninggalkan Maho sendirian. Mungkin Saito masih menyimpan perasaan pada Maho pada saat ia bertemu dengan Maho di pesta, itu benar-benar membingungkan.
Maho sedang berbaring di ranjang, dan menatap langit-langit. Saat Saito memasuki ruangan, Maho menatap ke atas, dan dengan panik menyeka matanya agar tersenyum pada Saito.
"Yaho, Mas. Datang untuk menemuiku lagi? Mas itu sangat menyukaiku, ya~."
"Kamu barusan menangis, bukan?"
"A-Aku tidak menangis, kok~ Air hujan barusan membasahi mataku."
"Kita sedang di dalam ruangan."
Ketidakmampuan untuk berkata jujur, sebenarnya Maho dapatkan dari kakaknya. Maho tidak tampak seperti orang yang punya banyak teman, jadi dia mungkin sedih karena kakaknya tidak datang membesuk. Saito memindahkan meja kecil di samping ranjang, meletakkan makanan cepat saji di atasnya.
"Ini, Mas bawakan kamu oleh-oleh."
"Yeeei~ Makanan yang mereka sajikan di sini pada dasarnya rasanya seperti apapun, dan cuma sayuran saja~." Maho dengan antusias membuka kantong plastik itu, dan mengeluarkan isinya.
"Cuma minuman ringan dan satu burger? Aku bilang kalau aku ingin kentang goreng juga~."
"Kalau Mas terlalu memanjakanmu, Mas-lah yang akan ditegur oleh dokter dan orang tuamu."
"Tetapi Mas akan mendapatkan banyak cinta dariku, bukan?"
"Mas tidak memerlukan itu."
"Mas mendengarkan permintaanku karena Mas ingin dicintai, bukan?"
"Itu karena kamu tidak akan membiarkan Mas sendirian."
Karena Maho sangat bersikeras ingin makan hamburger ketika Saito akan datang lain kali, Saito tidak melihat pilihan lain selain menyerah. Makanan sehat dan seimbang dari rumah sakit mungkin lebih baik untuk kesehatan Maho, tetapi - menyenangkan hatinya juga penting. Maho mungkin kekurangan tenaga untuk menggigit banyak, karena dia mengunyah hamburger dengan perlahan, dan mengangkat suara gembira.
"Mmmm! Ini dia! Makan makanan cepat saji secara diam-diam dari dokter tidak pernah tua~!"
"Apa kamu meminta Akane begini sebelumnya?"
"Mbak tidak akan pernah membelikannya untukku, Mas tahu. Mbak malah menyuapiku makanan laut yang aneh, jamur, atau embel-embel makanan sehat lainnya." Maho memasukkan sesedot minuman ringan ke dalam mulutnya, dan menyesapnya dalam-dalam. "Mekdi yang ada di Amerika itu sangat berbeda dari yang ada di Jepang."
"Benarkah?"
"Mereka menjual burger steik pertama di pagi hari, dan walaupun Mas memesan minuman ukuran S, Mas akan mendapatkan yang setara dengan ukuran L di Jepang, dan mereka punya lebih banyak kentang."
"Kamu pasti tahu banyak."
"Lagipula, aku ini seorang perantau yang kembali." Maho membusungkan dadanya dengan percaya diri.
Maho meletakkan hamburger yang setengah dimakan itu ke atas meja, menatapnya dengan tatapan yang tajam. Maho mungkin masih ingin memakan semuanya, tetapi tubuhnya tidak mengizinkannya.
"Kalau kamu masih selemah itu, mengapa kamu berkeliling dunia?"
"Itu merupakan mimpiku. Karena Ibu dan Ayah sudah banyak bekerja, menghasilkan uang untuk operasiku yang mahal, akhirnya aku berhenti terbaring di ranjang, tetapi…aku masih belum sepenuhnya kembali normal."
"Lalu mengapa kamu memaksakan dirimu..."
"Aku takut."
"Takut apa?"
Maho memegang lengannya, sedikit gemetar.
"Takut kalau aku mungkin tidak bisa bangun lagi suatu hari nanti. Aku tidak tahu kapan ajal menjemputku. Jadi, aku ingin melakukan semua yang aku mau selagi aku masih bisa."
"…Benar."
Saito merasa ia mulai mengerti dari mana tenaga yang tidak berujung Maho berasal. Maho didorong oleh perasaan panik dan tekanan. Maho cuma mencoba lari dari ketakutannya sendiri.
"Dan, saat aku bepergian keliling dunia, Mbak juga akan merasa damai. Kalau aku akhirnya sakit lagi, setidaknya Mbak tidak akan melihatku dalam keadaan begitu."
"Apa kamu juga merahasiakan semua itu dari Mbakmu?"
"…Iya. Aku selalu membuat Mbak khawatir sejak aku kecil… Mbak itu terlalu menyayangiku…"
Namun Maho sangat menyayangi Akane, itulah yang Saito pikirkan. Karena mereka saling peduli satu sama lain, mereka nyaris tidak merindukan satu sama lain, menyakiti perasaan mereka dalam prosesnya. Benar-benar pemikiran yang aneh kalau terlalu banyak rasa sayang dapat menyakiti orang lain.
"Jadi kamu mencoba merayu Mas itu demi Akane, ya?"
"Ap…"
"Awalnya, Mas kira kamu cuma cemburu karena Mas mencuri kakakmu darimu. Tetapi, ternyata bukan itu. Kamu cuma... ingin Mbakmu bahagia."
Maho menundukkan kepalanya, menyatukan kedua tangannya di atas selimut.
"…Bagaimana Mas bisa tahu?"
"Apa yang membuat Mas terganggu itu kurangnya rasa permusuhan yang kamu miliki terhadap Mas. Memang jelas kalau kamu tidak menyukai Mas, tetapi itu tidak sekuat yang Mas duga. Lagipula, Mas sudah merasakan rasa permusuhan sejati yang diarahkan pada Mas setiap hari, jadi Mas bisa tahu."
Meskipun Saito sangat berharap kalau ia tidak mendapatkannya. Setelah menghabiskan satu tahun di kelas yang sama dengan Akane, dan menikahinya, Saito menjadi cukup ahli dalam membedakan tingkat permusuhan yang ditujukan padanya.
"Aku menyerah." Maho menghela napas. "Mas benar sekali. Aku mendengar sesuatu tentang seorang cowok yang membuat Mbak marah. Karena ia, Mbak tidak bisa berada di posisi teratas di angkatannya, dan Mbak selalu merasa frustrasi karena cowok itu. Namun, Mbak dipaksa untuk menikah dengannya, itu terlalu kejam."
"…Iya, itu merupakan cerita yang konyol."
Mereka (Tenryuu dan Chiyo) itu memaksa air untuk bercampur dengan minyak. Meskipun motif mereka memberikan cinta yang tidak terpenuhi dengan cara yang berbeda, itu terlalu konyol.
"Kalau Mbak cuma akan menderita melalui pernikahan ini, jadi aku rasa akan lebih baik kalau aku menggantikan posisi Mbak. Sehingga Mbak dapat menjalani kehidupannya seperti yang dia inginkan."
"Walaupun itu berarti kamu harus menikahi Mas, dan tidak pernah bersama dengan orang yang mungkin membuatmu jatuh cinta suatu hari nanti?"
"Asalkan itu dapat membuat Mbak bahagia, maka tidak apa-apa." kata Maho tanpa ragu-ragu.
Akhirnya, gambaran tentang cewek anggun, jujur, dan sakit-sakitan, yang diceritakan dari Akane, tumpang tindih dengan gadis yang ada di depannya. Sikap Maho yang polos dan nakal hanyalah topeng palsu, dan inilah dia yang sebenarnya.
"Tetapi… aku rasa aku telah melakukan kesalahan. Mbak tampak sangat marah. Mbak bahkan bilang kalau dia membenciku sekarang. Aku kira... semuanya sudah berakhir sekarang." Air mata mulai menumpuk di mata Maho, bibirnya bergetar.
"Dia masih menyukaimu sampai saat ini. Dan itu tidak akan berubah apapun yang kamu lakukan."
Sama seperti Saito yang tidak akan pernah membenci Shisei, meskipun Shisei sering kali merepotkan. Ikatan mereka tidak akan hancur hanya karena satu atau dua pertengkaran.
"Tetapi…"
"Jangan khawatir. Mas akan ada di sini, jadi kamu tidur saja. Cepatlah sembuh, lalu temui Akane." Saito memberi tahunya, sehingga Maho akhirnya berbaring.
Tangan Maho yang ramping menyembul dari balik selimut. Saito ingat saat ia menggenggam tangan Akane dan sekarang menggenggam tangan Maho. Saat Maho membungkus telapak tangan Maho yang kecil ke dalam kedua tangannya, Maho dengan tenang menutup matanya.
"Tangan Mas… terasa sangat nyaman. Ini berbeda dari tangan Mbak, tetapi sangat menenangkan…"
"Mas sering melakukan ini pada Shisei sampai dia tertidur."
"Mengapa Mas menjagaku begini? Padahal, yang aku lakukan itu cuma menyusahkan Mas…"
"Itu…"
Saito sendiri juga tidak begitu yakin akan hal itu. Saito jelas tidak membenci Maho, dan ia sadar akan bahaya kalau ia meninggalkan Maho sendirian. Tetapi, tampaknya bukan cuma itu. Saito tidak dapat membiarkan Maho sendirian. Saito merasa harus bertanggung jawab dan menjaga Maho. Itulah yang Saito rasakan.
—Ahh, begitu.
Saito akhirnya sadar. Kebangkitan emosi ini yang tidak pernah ia bayangkan akan memilikinya, Saito bingung. Meskipun pihak lain itu orang yang membenci Saito lebih daripada orang lain.
"Mas juga…berharap akan kebahagiaan Akane."
"Mas juga begitu…?" Maho berkedip bingung.
"Saat kamu kehabisan tenaga seperti biasanya, dan menderita di tempat semacam ini, dia akan sedih. Dan… Mas tidak ingin senyumannya menghilang."
"Senyuman Mbak memang sangat imut."
"Iya, sehingga harus Mas akui."
Saito dan Maho saling tersenyum satu sama lain.
"Kamu mungkin khawatir kalau pernikahan ini akan merampas kebahagiaan Akane, tetapi Mas tidak berencana membuatnya menderita. Mas juga tidak akan mencuri kakakmu darimu. Itu sebabnya, berhentilah khawatir padanya."
Meskipun tanpa kasih sayang, tanpa cinta, bukan apa-apa selain pernikahan paksa, mereka berdua masih tinggal bersama sampai sekarang. Karena mereka berdua punya nasib yang sama, Saito ingin Akane bahagia, dan menjalani kehidupannya dengan damai. Saito ingin orang yang ia temui setiap pagi menyambutnya dengan senyuman.