Epilog
"Maaf, Mbak! Ini semua salahku!"
Di depan kelas 3-A, Maho membungkuk dalam-dalam.
"Apa maksudmu?" Akane tampak bingung.
Lorong selama istirahat makan siang dipenuhi dengan banyak orang, saat sinar matahari yang terang masuk lewat jendela. Suara pesawat di kejauhan dapat terdengar, lalu Saito berdiri di samping Maho, dan mengawasi percakapan itu.
"Aku sudah mencoba merayu Mas sejak aku pulang ke Jepang. Aku tidak ingin Mbak menderita, jadi aku ingin menjadi pengganti Mbak."
"Jadi saat kalian berdua berpelukan di kamar tidur, itu juga karena itu…?"
Maho berbicara dengan ekspresi yang parah.
"Aku benar-benar melakukan yang terbaik, tetapi Mas benar-benar tidak bergeming sama sekali. Aku kira... Mas mungkin tidak punya itu di sana."
"Kamu tahu… Mbak benar-benar mengira itu memang mungkin itu yang terjadi…"
"Hei." Saito keberatan saat ia merasa fitnah dilempar ke mana-mana.
Maho bertepuk tangan.
"Ah, sekarang kalau aku ingat-ingat, Mas benar-benar punya itu! Aku sudah memeriksanya sebelumnya!"
"Bagaimana?!"
"Saat kami sedang man—Mgh!"
Tangan Saito bergerak lebih cepat dari kecepatan cahaya, menutupi mulut Maho. Tepat saat Maho kehabisan udara, dia berhasil lepas dari lengan Saito.
—Tidak perlu memberi tahunya soal itu!
Saito menatap Maho dengan tajam yang mengandung makna itu, sehingga Maho menunjukkan senyum menggoda. Maho pulih dengan sempurna, kembali ke sikap nakalnya yang biasa. Saito sudah merindukan saat sikap Maho patuh dan lemah lembut, tetapi ia lega karena Maho telah mendapatkan kembali kekuatannya.
"Ngomong-ngomong, Mas tidak bersalah! Malahan, Mas itu sering mengunjungiku, dan Mas itu cowok yang hebat! Jadi, tolong maafkan Mas, ya Mbak!"
"Maho, kamu…"
Menerima begitu banyak penilaian positif dari cewek itu, Saito merasa dadanya semakin panas. Di saat yang sama, Akane menunjukkan sedikit keraguan dalam nada suaranya.
"Kalau kamu memang bersikeras begitu, maka Mbak rasa Mbak bisa memikirkannya…tetapi, jangan coba-coba jadi pengganti Mbak lagi, oke?"
"Mengapa?"
"Mbak ingin kamu bahagia. Mbak cukup kuat untuk bertahan hidup melalui rasa sakit dan penderitaan yang berasal dari neraka ini."
"Ini tidak terlalu buruk, oke."
Saito merasa diperlakukan seperti iblis, benar-benar kehilangan semua kehangatan yang ia rasakan. Karena itu, Saito tidak menyangkal fakta bahwa itu seperti dari neraka.
"Oke, aku mengerti. Aku tidak akan coba-coba jadi pengganti Mbak lagi, dan hidup seperti yang aku inginkan!" Maho mengangguk.
"Iya, itu saja sudah cukup." Akane tersenyum.
Dengan begini, Maho mungkin tidak akan pernah coba-coba merayu Saito lagi. Menyadari kalau hidupnya paling tidak akan sedikit lebih tenang sekarang, Saito sekali lagi menghela napas lega.
"Tetapi, Mbak." Maho mendekati Saito, menempelkan bibirnya ke pipi Saito.
Itu menyampaikan sensasi lembut, dan sedikit basah.
""Ap…""
Saito dan Akane terdiam di saat yang sama. Maho mengabaikan reaksi mereka, menggenggam lengan Saito, dan tertawa terbahak-bahak.
"Aku sebenarnya mulai menyukai Mas, sungguhan sekarang. Itu sebabnya aku akan mengambil Mas~."
"Saito…? Beraninya kamu merayu adikku…!" Akane memelototinya.
Aura merah tua terpancar dari setiap bagian tubuh Akane.
"Tidak tidak tidak, aku tidak melakukan apa-apa?!"
Merasakan datangnya musibah baru, Saito langsung menyangkal semua itu. Di saat yang sama, Maho dengan genit bersandar pada Saito, menutupi pipinya dengan tangannya, jelas malu-malu.
"Mas melakukan itu~ Kalau Mas memperlakukanku dengan sangat baik begitu, mana mungkin aku tidak akan mulai menyukai Mas~ Mas mungkin berusaha keras agar aku jatuh cinta pada Mas, bukan?"
"Mana mungkin, Mas tidak begitu!"
Saito tidak bisa mengabaikan cewek itu, tidak lebih dari itu.
"Mas dan aku sebenarnya sudah pergi ke hotel bersama~!"
"He-Hei, apa maksudnya itu?!,"
"Hotel bisnis! Dan aku memesan dua kamar terpisah!"
"Tetapi, kita masih tetap tidur di kamar yang sama, bukan? Bantal lengan Mas itu terasa sangat enak!"
"Tampaknya kalian sudah cukup dekat…" Bahu Akane mulai gemetar.
"Ketika aku bangun, seluruh pakaianku juga hilang."
"Karena kamu sendiri yang melepasnya!"
"Tubuhku terasa sangat panas… semua itu karena Mas!"
"Jadi biang dari semua kejahatan itu Saito…"
Maho menempel pada Saito dengan jauh lebih agresif.
"Aku ingin cepat-cepat membuat anak dengan Mas!"
"Hentikaaaaaaaaaan!!"
Akane mulai berlari ke sekitar kelas mencari senjata yang potensial untuk digunakan, sehingga membuat Saito merasakan bahaya di tubuhnya. Maho seharusnya dapat menyelesaikan kesalahpahaman awal, namun dia cuma memperburuk keadaan sekarang.
"Ah, Mas membuat Mbak marah lagi."
"Kamu yang menyebabkan ini! Kamu yang membuatnya marah!"
Tidak ada kesetaraan di dunia ini.
"Itu membuatku ingat~ Mas, aku sepertinya tahu siapa cewek yang Mas temui di pesta itu!"
"Hah?! Siapa?! Mas kira itu kamu?!" Saito termakan umpan itu, lalu mulut Maho membentuk senyuman licik, dan membuat Saito segera menyesali itu.
"Ahaha~ Jadi Mas sebegitu putus asanya ingin tahu~?"
"Bukan… Mas cuma penasaran."
Sekarang pihak lain (Maho) itu sedang memegang informasi kunci, pertukaran yang setara tidak mungkin dilakukan.
"Bohong banget. Mas benar-benar ingin tahu, tuh~." Maho meletakkan jarinya di bibir merahnya, dan mendekati Saito. "Kalau Mas dapat menciumku dengan inisiatif Mas sendiri, aku akan bersedia memberi tahu Mas~."
"Mana mungkin Mas dapat melakukan itu di sini!"
"Ohh? Jadi Mas tidak masalah kalau kita sedang tidak di sekolah~? Apa aku baru saja mendengar perasaan jujur Mas~?"
"Kamu ini dara..."
"Tidak masalah, mari kita pergi ke tempat di mana cuma ada kita berdua! Siapa yang peduli dengan pelajaran, aku merasa lebih ingin pergi ke karaoke sekarang!"
"Kamu kembali saja ke ruang kelasmu sendiri sana!"
Sekali lagi, Saito menyadari betapa merepotkannya cewek ini.
Saat Akane sedang mengambek di depan mejanya sendiri, Saito mendekatinya. Karena tidak banyak siswa-siswi di sekitar pada saat ini, ini adalah kesempatan emas Saito untuk bicara dengan Akane. Saito tidak bisa terus tinggal di kediaman Shisei, jadi ia akhirnya ingin berbaikan dengan Akane. Tantenya tentu saja lebih dari bersedia untuk membiarkan Saito tinggal selamanya, tetapi ia tidak bisa mengandalkan tantenya selamanya. Walaupun itu neraka, rumahnya dengan Akane merupakan rumahnya yang sesungguhnya.
"...Akane," Saito memanggil Akane, tetapi dia tidak menoleh ke arah Saito, dan menundukkan kepalanya.
"…Apa?"
"Em... Maafkan aku."
Saito tidak bisa menggunakan metode cerdas untuk meyakinkan Akane, jadi ia dengan canggung menggunakan kata-kata terbaik yang bisa ia buat. Di saat yang sama, Saito memelototi Akane.
"Mengapa kamu minta maaf? Karena bukan cuma sahabatku tetapi sekarang adikku juga jatuh cinta padamu? Apa kamu ingin minta maaf karena kamu sangat populer?"
"………" Saito tidak tahu harus menjawab bagaimana.
"…Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu."
"Apa itu?"
Akane mengepalkan tangannya dan menatap Saito.
"Di rumah sakit…Kamu bilang kalau kamu…berharap akan kebahagiaanku…Apa itu benar?"
"Ap…"
Saito menyadari kalau Akane telah menguping, dan panik. Saito dapat mengatakan itu dengan jujur karena ia pikir cuma Maho yang akan mendengarnya, tetapi ternyata Akane juga mendengarnya. Akane pasti sangat jijik, mendengar hal itu dari musuh bebuyutannya.
"Itu…begini…" Saito mati-matian mencoba cari-cari alasan, tetapi Akane tidak mau menyerah.
"Kalau kamu tidak menjawabku dengan jujur, aku tidak akan pernah memaafkanmu."
Tatapan Akane yang tajam membuatnya tampak seperti dia bisa menerawang semuanya. Saito tidak punya ruang untuk melarikan diri lagi.
"…Itu benar." Saito mengaku.
Akane segera mengalihkan pandangannya, dan menundukkan kepalanya.
Daun telinga Akane tampak merah dengan jelas.
"…Aku senang." Suara imut keluar dari bibir Akane yang menggemaskan.
Saito segera merasakan semua darah di tubuhnya memanas. Apa yang Akane maksud dengan itu? Senang karena Saito berharap akan kebahagiaannya? Meskipun Saito itu musuh bebuyutannya? Mengapa? Saito bingung. Saito tidak tahu apa yang dipikirkan Akane. Tetapi, cara Akane gemetaran karena malu itu sangat imut, dan jantung Saito hampir meledak. Akane menarik ujung seragamnya, dengan canggung membuka mulutnya.
"Kalau begitu... Em... Pulanglah ke rumah."
"Ka-Kalau kamu tidak masalah dengan itu…"
"Tidak juga! Bangun di sebelahmu mungkin masih membuatku kesal! Tetapi... kalau kamu tinggal di luar terlalu lama, kakek nenek kita mungkin akan tahu, dan akulah yang akan dimarahi kalau begitu!" Akane mengeluh dengan wajah yang merah padam.
Itu bukti kalau Akane akan pingsan karena malu.
"Kalau begitu... Iya, aku akan pulang kalau begitu."
"Oke…"
Suasana canggung namun manis memenuhi keadaan di antara mereka berdua. Saito tidak pernah membayangkan kalau Akane sendiri yang akan mengajaknya pulang. Pertengkaran mereka kali ini cukup serius, tetapi paling tidak semuanya dapat tenang sekarang—Atau begitulah yang Saito pikirkan.
"…Aku sudah duga itu. Kalian berdua tinggal bersama."
Mendengar suara di belakangnya, Saito berbalik arah, disambut oleh Himari.
Segera setelah itu, teman-teman sekelas mereka di dalam ruang kelas menjadi heboh.
"Ap, mana mungkin…?"
"Akane-chan dan Saito-kun itu…?"
"Aku tahu kalau ada yang tidak beres dengan mereka~!"
"Tetapi tinggal bersama itu…bukankah itu cukup gila?"
"Kita harus memberi tahu semua orang!"
Cerita itu menyebar seperti api, karena ruang kelas itu segera diselimuti oleh suara ledakan.
←Sebelumnya Daftar Isi Selanjutnya→