Bab 39
Makna dari Terbenamnya Mentari
Buku dengan penjualan terlaris tahun lalu, "Kambing dan Semangka", menceritakan tentang kisah dari karakter utama, seorang siswa SMA yang setia pada buku, yang bertemu dan berpisah dengan seorang gadis yang datang dari kota selama musim panas.
Sang protagonis melihat sang gadis sedang berjalan ke sungai di tengah malam dan mencoba untuk menghentikannya, mengira kalau dia ingin bunuh diri, tetapi sang gadis bilang kalau dia tidak ingin bunuh diri, tetapi 'karena bulan yang tercermin di sungai'.
Sang protagonis kemudian bertemu dengan sang gadis lagi di perpustakaan di kota yang biasanya ia kunjungi. Sang gadis kemudian menyebut nama panggilan sang protagonis pada saat masa kecilnya – Inilah waktunya untuk seluruh aktivitas klub selesai.
"Maaf aku meminjamnya duluan, aku akan membacanya secepat yang aku bisa."
Aku dan Takane-san duduk bersebelahan dan membaca buku. Peraturannya secara alami menjadi aku yang bertanggung jawab dalam membalikan halaman, dan ketika Takane-san selesai membaca halaman saat ini, dia akan mencolek sikuku.
"Nikmati waktumu, aku juga telah meminjam buku-buku lain, dan aku punya setumpuk buku."
"Aku punya beberapa buku yang belum sempat aku baca juga. Aku cuma tidak bisa membawanya semua sekaligus."
"Iya, begitulah. Itulah bagaimana yang aku rasakan ketika hal-hal menjadi terlalu menarik. Terutama ketika aku berada di penghujung seri, aku berhenti di buku terakhir."
"Aku juga mau membaca buku yang sangat Nagito-san senangi."
"Aku rasa kamu mungkin akan suka buku itu. Tetapi, aku cuma baca yang arus utama (mainstream) saja sih."
Aku menyebutkan judul buku yang aku punya, yang mungkin akan membuat Takane-san tertarik, dan kami mengobrol tentang dia akan meminjamnya lain kali – Karena kami sekarang berada di klub yang sama, aku senang karena kami bisa menghabiskan waktu kami bersama pada aktivitas ini, dan walaupun hanya mengobrol soal buku aku itu menyenangkan.
Saat kami mengobrol, kami sampai di pintu masuk gedung dan mengganti sepatu kami, lalu aku keluar lewat pintu depan duluan dan menunggu Takane-san muncul.
Ketika kami meninggalkan perpustakaan, Nakano-san dan Sakai-san mengambil jalan yang yang berbeda, mungkin karena memperhatikan kami.
Dengan kata lain, satu-satunya alasan mengapa kami bersama saat ini adalah karena Takane-san bilang kalau dia 'pacar'-ku 'yang sekarang'.
"Aku harap aku juga bisa dengan bangga menyatakan kalau aku pacarmu..."
"Nagito-san, aku rasa kamu tidak masalah apa adanya saja."
"...Ta-Takane-san..."
Aku bergumam di dalam hati, tetapi itu hanyalah ocehan biasa yang biasa aku ungkapkan pada diriku sendiri. Tetapi tiba-tiba Takane-san muncul dari belakang – tampak sedikit merasa malu.
"Kalau Nagito-san bilang kalau aku itu pacarmu, begitu... Aku rasa itu akan membuatku sangat senang. Tetapi merahasiakannya membuat ini sepertinya lebih penting lagi buat kita untuk menghabiskan waktu bersama..."
"Aku rasa begitu. Sakai-san juga bilang kalau dia lebih suka kalau ini dirahasiakan."
"Iya. Aku ingin tetap merahasiakannya, tetapi aku merasa sepertinya harus memberi tahu Sakai-san... Itulah keegoisanku."
"Ti-Tidak... Itu tidak benar. Aku senang ketika Takane-san mengatakan itu."
"...Nagito-san."
Bahkan cuma memanggil namaku begitu saja sudah cukup membuat jantungku deg-degan.
Ketika hanya ada kami berdua begini, tampaknya tidak peduli berapa banyak waktu yang kami punya, itu tidak akan pernah cukup.
Langit sudah mulai berganti warna. Makna dari terbenamnya mentari telah banyak berubah sebelum aku menyadarinya.
––————––————––————––————––––––
Sesampainya di tempat parkir sepeda, aku mengeluarkan sepedaku.
Aku akan mengantarmu sampai ke stasiun lagi hari ini, aku penasaran apakah aku bisa berkata begitu. Mengetahui bahwa Sakai-san menyaksikanku, dan pulang bersama Takane-san lagi hari ini, aku penasaran apakah aku tidak cukup gugup.
Sebelum aku dapat mengatakan apa yang aku pikirkan, kami mulai mengobrol. Saat kami meninggalkan pintu gerbang sekolah, Takane-san mengangkat satu tangan kecilnya padaku dan berkata,
"Sampai jumpa besok, Nagito-san."
"I-Iya. Sampai jumpa besok..."
Tidak ada satupun dari kami yang mampu memalingkan wajah kami ke belakang. Takane-san, yang berdiri dan benar-benar tertutup oleh bayangan, tersenyum – mungkin seharusnya aku juga begitu.
Rasa kesepian atau semacamnya seharusnya tidak semudah itu terpampang pada wajah seseorang. Bahkan Takane-san pun seperti itu – namun.
'Sebanyak dan sebisa mungkin bersama Nagito-san... Aku juga selalu berpikir begitu.'
Saat dia hampir perjalanan menuju ke stasiun, Takane-san tampak tidak menunjukkan senyuman di wajahnya.
Aku mendorong sepedaku dan menyusul Takane-san. Mata Takane-san melebar sedikit ketika dia melihatku berdiri di depannya.
"...Maafkan aku. Tampaknya aku masih ingin menghabiskan waktu sedikit lebih lama bersamamu."
"......"
Cara yang aku gunakan untuk menuangkannya dalam dalam kata-kata, dengan mengatakan 'tampaknya'.
Aku ingin tetap bersama Takane-san selama mungkin. Aku tahu kalau aku harus segera pulang ke rumah untuk membantu Kak Ruru menyiapkan makan malam – walaupun begitu, aku masih ingin sedikit waktu lebih lama lagi.
Kami berjalan pelan-pelan, menyusuri jalan yang tidak mulus menuju ke stasiun – Pada akhirnya berhenti di lampu lalu lintas.
Takane-san berada di belakangku. Dan ketika aku berbalik ke belakang – dia menarik ujung seragamku dan berkata.
"...Bersama-sama sampai stasiun... Apakah itu tidak masalah?"
Takane-san juga berpikir begitu. Aku sangat bahagia karena dia mampu tersenyum dengan lebih alami ketimbang senyum palsu yang dia dia pasang saat kami berpisah tadi.
"Iya, dengan senang hati. Takane-san, apakah kamu ada les hari ini?"
"Meskipun aku menghabiskan waktuku untuk pulang hari ini, aku masih akan sempat."
"Begitu. Kalau kamu memang buru-buru, kita bisa naik sepeda bersama-sama... Tetapi mungkin itu bukan ide yang bagus."
Kalau kami ketahuan naik sepeda bersama, itu mungkin akan menjadi masalah. Meskipun aku tidak merasa kalau Takane-san akan berpikir begitu.
"Jujur saja, aku selalu kangen naik sepeda seperti itu... Aku bahkan ingin jadi orang yang mengendarainya."
"...Sangat sulit mengayuhnya kalau ada aku di belakang, kamu tahu?"
"Tidak masalah. Aku percaya diri dengan kekuatan fisikku."
Meskipun akan menjadi masalah kalau aku mengatakan ini – tetapi terlepas dari apakah dia benar-benar akan melakukannya atau tidak, Takane-san, yang mengatakannya dengan begitu sungguh-sungguh memang...
"...Sangat imut."
"...E...e-em, Nagito-san. Aku bisa mendengarmu."
"...Ma-Maaf...!"
Aku keceplosan. Aku mengatakan apa yang aku pikirkan, tetapi ini bukanlah sebuah manga.
Ini membuatku penasaran tentang bagaimana reaksi Takane-san – Mengejutkan sekali!
Dia menutup mulutnya dan tertawa dengan gembira. Tetapi dia sepertinya merasa malu untuk menunjukkan kalau dia sedang tertawa, dan langsung saja, dia tersipu seakan-akan terengah-engah.
"Ma-Maafkan aku. Ini kasar, bukan? Tertawa begini..."
"Aku tidak merasa begitu, melihat Takane-san tertawa begini membuatku–."
–Tepat saat aku akan menyelesaikan apa yang ingin aku katakan, lampu lalu lintasnya menyala. Seseorang dari belakang yang datang bersama kami, menyadari kami, dan kami berjalan menjauh.
"...Aku sudah lama belum tertawa seperti ini lagi. Ini semua berkat kamu, Nagito-san."
Aku baru saja mengatakan apa yang aku pikirkan, meskipun aku sendiri berpikir kalau aku tampak seperti badut.
Kalau Takane-san bilang begitu, dan kalau dia tertawa, itu membuatku bahagia.
"Aku juga ingin melihat kamu tertawa, Nagito-san. Kapan kamu merasa senang?"
"...Melakukan hal ini saja sekarang ini membuatku merasa senang... Malahan..."
"...Malahan?"
Sebanyak yang dia bilang di sekolah, paling tidak aku seharusnya mampu mengatakan sebanyak ini dengan jujur.
"Aku menikmati hanya dengan berduaan bersama Takane-san saja. Seperti di ruang kelas, saat aktivitas klub, dan sekarang."
"...Begitu."
Takane-san menjawab, seperti dia acuh tak acuh. Tidak dia ingin menanyakanku secara lebih spesifik kapan aku tertawa atau semacamnya – jadi begitulah pikirku.
"...Aku juga. Hanya dengan duduk di sebelahmu... Tetapi, aku tidak bisa mengobrol bersamamu dengan mudah, jadi aku berusaha mencari tahu beberapa metode."
"Begitu... Aku juga. Aku juga penasaran apakah ada untuk menanamkan rasa kenormalan di sekitar hubungan kita, bahkan hubungan semacam itu di mana kita dapat mengobrol dengan normal di dalam ruang kelas."
Aku ingin merahasiakannya, tetapi aku ingin mengubah situasi di mana aku tidak dapat mengobrol dengannya meskipun dia duduk tepat di sebelahku – ini seperti mengejar dua ekor kelinci.
"Aku senang... Aku kira hanya aku saja yang terburu-buru."
Tetapi kalau kami berdua memikirkan hal yang sama, itu lain cerita.
"Aku berusaha untuk mengobrol sealami mungkin. Kalau aku sengaja atau semacamnya, itu akan membuatnya lebih menonjol."
"Iya. Tetapi, agak sulit untuk melakukannya tidak disengaja."
"A-Aku mengerti... Aku juga tidak merasa kalau ini akan mudah."
"...Tetapi aku senang bisa berada di sebelahmu. Aku bisa melihat Nagito-san dari sangat dekat."
Sangat dekat – Apakah ini berarti bahwa Takane-san menatapku ketika aku tidak menyadarinya? Ini akan menjadi semakin dan bertambah sulit untuk tidak disengaja.
Memasuki area pejalan kaki di depan stasiun, kami melewati toko buku dan kafe yang pernah kami masuki sebelumnya. Sambil melihat-lihat tempat-tempat itu, Takane-san mengeluarkan ponsel pintarnya.
"...Aku telah kepikiran untuk mengambil foto dari beberapa tempat yang pernah aku kunjungi baru-baru ini bersama Nagito-san."
Foto-foto dari tempat-tempat itu sangat indah, tetapi aku ingin berfoto bersama Takane-san.
"Nagito-san, bolehkah aku memintamu untuk berhenti sejenak?"
"Hmmm!? ...!?"
Ketika aku berhenti, aku merasa kalau Takane-san dengan lembut meringkuk padaku dari belakang. Perasaan yang menyerang punggungku itu... – Bukan, bukan, bukan, tentu saja bukan.
Cekrik. Suara 'cekrik'-an terdengar dari belakang. Itu merupakan suara kamera pada ponsel yang Takane-san pegang di tangannya terulur dan tertuju pada kami.
Sebuah swafoto – oleh Takane-san.
Itu memang asumsiku kalau dia tidak mau melakukan hal semacam ini. Tetapi yang pertama itu gagal, karena Takane-san memegang ponselnya dengan kedua tangannya dan tampak kesusahan.
"...Apakah kamu mau memotretnya sampai kita dapat foto yang bagus?"
"......."
Tidak perlu lagi khawatir dengan orang-orang yang melintas di jalanan. Tidak dapat dipungkiri kalau aku gugup setiap kali aku melihat seseorang yang mengenakan seragam.
Yang penting sekarang adalah Takane-san dapat tersenyum. Aku cuma ingin berpikir tentang apa yang dapat aku lakukan di saat-saat kami sedang bersama seperti ini.
"...Bolehkah aku mencobanya lagi?"
Tidak sulit untuk memberi tahunya kalau dia boleh mengambil fotonya sebanyak yang dia mau, dan bukan cuma sekali. Meskipun dia cuma mendekatiku dan mengangkat tangannya, seluruh tubuhku sedikit berguncang.
––————––————––————––————––––––
Takane-san bilang kalau dia akan mengirim hasil swafotonya nanti, dan itu sampai tepat pada saat aku sedang yang bersantai di ruang tamu setelah makan malam.
Dan Kak Ruru menyelinap padaku seperti seorang ninja dari belakang, tanpa sepengetahuanku – Di saat aku sedang menampilkan hasil swafoto, dia muncul dari balik sofa dan duduk disebelahku.
"Uwaaa...! Tunggu, Kak Ruru!"
"Jangan-jangan ini, Nozomi-chan? Bagaimana Kakak bilangnya ya, dia itu manis seperti bidadari..."
"...Kalau Kakak menunggu, aku akan menunjukkannya pada Kakak secara normal."
"Ah, Nakkun itu jahat. Kakak kan juga mau tahu tentang Nozo-chan. Kalau Kakak punya waktu luang pada hari libur Kakak, kakak mungkin akan menghubunginya dan mengajaknya mengetahui bersama."
Seberapa tertariknya sih Kakak pada pacarnya adik Kakak ini? Tidak buruk dalam cara apapun. Atau mungkin memang buruk.
"Iya, kalau Takane-san-nya mau sih, tidak masalah, tetapi aku lebih suka kalau aku ikut untuk yang pertama kalinya."
"Nakkun ini sangat baik, ya? Bahkan ketika Kakak memintamu sesuatu yang sedikit gila, kamu menganggapnya serius."
"Itu bukan 'sedikit'. Tetap saja, aku juga tidak sepenuhnya melarang, dan lagi pula aku cuma berpikir kalau ada baiknya aku mengawasi Kakak."
"Kamu akan menjadi kuli panggul, bukan? Nozo-chan akan senang denganmu karena itu, itu sih sudah pasti."
"Aku penasaran tentang itu. Ah, Kak Ruru, tentang bentonya, ada beberapa keadaan hari ini, dan Takane-san jadi tidak bisa memakannya–."
Sebelum aku dapat menyelesaikan kalimatku, Kak Ruru mulai bergerak, aku kira dia cuma akan dengan mulus merentangkan tangannya – tetapi ternyata sekaligus, dia menjepitku dengan kuncian kepala (headlock/gerakan bela diri.)
"Kakak mau Nozo-chan untuk memakannya! Tetapi kalau Nakkun yang menghabiskan semuanya, itu juga tidak masalah."
"Ini bukan 'tidak masalah' sama sekali... Sudah saatnya Kakak tuntaskan mengusili adik Kakak begini, Kakak tahu?"
"Olahraga juga bagus untuk menenangkan stres, kamu tahu?"
"Kan, ada banyak cara yang lain... A-Aku tidak bisa melepaskan diri..."
–Pada akhirnya, teknik itu yang dilakukan padaku sampai Kak Ruru bilang kalau dia mau mandi dan meninggalkan ruang tamu.
Haruskah aku dihukum cuma karena bento itu? Sambil memikirkan hal ini dengan tajam, aku menuju lantai atas ke kamarku sambil membawa ponselku dan berterima kasih pada Takane-san atas fotonya.