Bab 4Cincin(Bagian 6)
Hari ini, Akane kembali mencari cincin berbentuk hati itu. Akane bahkan tidak punya waktu untuk belajar setelah jam pelajaran selesai. Akane memang merasa jengkel memikirkan kekalahan melawan Saito dalam hal nilainya, tetapi cincin itu punya prioritas yang lebih utama sekarang. Akane berjalan ke dan dari sekolah berulang-ulang kali, memeriksa setiap bayangan, setiap tempat tersembunyi, sehingga dia tidak akan melewatkan apapun. Dia menelepon setiap hari ke pos polisi di sekitarnya, dan bertanya kepada orang-orang di pusat perbelanjaan. Namun, kantung itu tidak dapat ditemukan. Akane duduk di bangku di taman umum, dan menghela napas.
"Haaaa…"
"Fiuh…"
Akane mendengar helaan napas dari sampingnya, dan melihat ke atas, lalu mendapati Shisei sedang duduk di bangku di sebelahnya. Shisei memegang sesuatu seperti bungkus roti di tangannya, seperti sedang dalam kesedihan.
"Shi-Shisei-san…? Apa yang sedang kamu lakukan?"
"Latihan menghela napas."
"Begitu…" Akane tidak punya tenaga untuk menanyakan detailnya.
"Itu bohong. Akane tampak sedang kesulitan akan sesuatu, jadi Shisei penasaran apa yang sedang kamu lakukan."
"Tidak apa-apa, aku tidak sedang kesulitan."
Kalau Akane dapat memberi tahu Shisei tentang masalahnya, Shisei pasti akan mengungkapkan hal ini kepada Saito. Tepat saat Akane hendak bangun, Shisei menyatakan.
"Tidak perlu khawatir, Shisei tidak akan memberi tahu Abang."
"Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku sedang memikirkan itu!?"
Di hadapan keterkejutan Akane, Shisei cuma memiringkan kepalanya.
"Apa kamu ingin tahu penjelasan mengenai proses berpikir secepat kilat Shisei? Kebanyakan orang tidak dapat mengikutinya, dan berakhir dengan kesehatan jiwa mereka yang memburuk."
"Tidak, tidak usah deh…"
Akane lebih senang menjaga kesehatan jiwanya dalam kondisi yang sebaik mungkin. Cukup melihat Saito dan metode belajarnya saja itu sudah membuat Akane sangat pusing. Shisei meraih tangan kanan Akane, dan memeriksanya dengan cermat.
"…Kamu menghilangkan cincin itu, ya?"
"…!" Tubuh Akane terpaku. "A-Aku tidak kehilangannya. Aku juga tidak cukup peduli untuk memakai cincin itu."
"Kamu sangat menyukai cincin itu. Kamu bahkan sampai memakainya ke sekolah, itulah sebabnya Abang harus menyembunyikannya."
"Erk…Jadi kamu juga mengetahuinya…?"
Persepsi Shisei tentang sekelilingnya memang sangat menakutkan. Penampilannya mungkin tidak lebih dari sekadar siswi SMA biasa, tetapi apa yang ada di dalamnya mungkin lebih jauh dari itu. Di saat yang sama, Shisei melompat dari bangku taman itu.
"Shisei akan membantumu mencari cincin itu."
"Eh…mengapa…?"
Itu berarti Akane cuma akan menghalangi waktu Shisei bersama Saito.
"Akane selalu membuatkan makanan enak untuk Shisei. Kamu itu orang yang baik. Shisei tidak ingin kamu sedih."
"Aku merasa kalau kamu itu terlalu mudah untuk dimenangkan..."
Akane tidak tahu apakah Shisei itu bersikap dewasa atau kekanak-kanakan. Mungkin melihat Shisei sebagai sesama manusia merupakan kesalahan pertama dalam persamaan.
"Kalau kita tidak segera menemukan cincin itu, kamu akan berakhir bertengkar dengan Abang lagi. Tetapi, Shisei ingin Abang hidup dengan damai."
"Kamu sangat menyukai Saito, ya."
"Sangat suka. Shisei sayang Abang."
Shisei meletakkan tangannya di belakang pinggulnya, dan mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, saat dia menyatakan dengan kejujuran yang murni di matanya. Ekspresi Shisei tampak sedikit lebih lembut daripada sebelumnya, memungkinkan Akane untuk melihat senyuman yang tipis.
Akane mendapati dirinya merasa cemburu. Cemburu terhadap kejujuran, kelucuan, dan kekuatan Shisei dalam mencintai seseorang sebanyak ini. Alasan Shisei populer di kalangan teman-teman sekelasnya tentu bukan cuma karena penampilannya. Meskipun Shisei mungkin tidak menunjukkannya, dia terasa jauh lebih dalam daripada orang lain.
Dengan begitu, mereka berdua mulai mencari cincin itu. Mereka mulai dari ruang kelas 3-A, melakukan rute yang biasa. Tempat sampah sekolah, di dalam lemari alat kebersihan, di balkon, Akane memeriksa segala macam tempat, dan Shisei melihat lokasi yang bisa dia pikirkan. Shisei bahkan tidak peduli dengan rambut indahnya yang akan berakhir kotor, saat dia merangkak di halaman halaman.
Meski begitu, kantung itu masih tidak dapat ditemukan. Matahari mulai terbenam, dan tubuh Shisei bergetar lembut karena angin sepoi-sepoi. Saat aroma kota di malam hari telah memenuhi udara, Akane merasa menyesal karena membawa gadis kecil ini begini hingga larut malam. Kalaupun ada, mengandalkan kebaikan Shisei merupakan tindakan yang egois. Shisei juga menginginkan cincin itu. Atau lebih tepatnya, Shisei ingin mengabdikan seluruh dirinya untuk Saito, dia lebih pantas mendapatkan cincin itu ketimbang Akane. Shisei tidak akan kehilangan hadiah dari Saito, menghargainya selamanya.
Namun, Shisei masih memutuskan untuk membantu Akane. Shisei mengutamakan perasaannya, dan berusaha sekuat tenaga agar Saito dan Akane bisa hidup bersama dengan damai. Akane tidak dapat mengandalkan Shisei lebih dari ini. Ini akan berlebihan. Baik bagi Akane, maupun Shisei. Itulah sebabnya Akane terhenti, di tengah kegelapan yang mulai muncul.
"…Maaf, tetapi itu sudah cukup."
"Cukup? Apa kamu menyerah pada cincin itu?" Shisei berkedip.
"Aku tidak akan menyerah begitu saja. Tetapi, aku tidak dapat merepotkanmu lebih dari ini. Aku akan terus mencarinya sendiri."
"Itu kebiasaan burukmu mencoba untuk menangani semuanya sendiri."
"Ini salahku, tanggung jawab yang harus dipikul olehku. Aku harus menjadi orang yang menemukannya, dan hanya aku saja." Akane membentuk kepalan tangan.
Itu benar, ini semua salah Akane. Akane menerima cincin untuk pertama kalinya, dan sangat bersemangat karena hal itu. Akane mengabaikan semua perasaan yang dimasukkan ke dalam cincin itu, dan merusak semuanya karena dia ceroboh. Akane seharusnya lebih berhati-hati. Akane seharusnya lebih menghargainya. Seharusnya begitu—Akane mulai membenci dirinya sendiri, saat rasa bersalah dan penyesalan memenuhi tubuhnya.
"Mengapa tidak meminta bantuan Abang saja? Abang pasti dapat menyelesaikan masalah apapun, Shisei yakin itu."
"Itu satu-satunya hal yang tidak dapat aku lakukan!" Akane menggelengkan kepalanya dengan kekuatan penuh.
Saito mengetahui hal itu akan menjadi skenario terburuk. Dua teman sekelas yang saling membenci satu sama lain tiba-tiba menikah, mencoba menemukan titik temu, dan sekarang entah bagaimana berhasil hidup bersama dengan cukup damai. Kalau terus begini, semua kasih sayang yang mungkin dimiliki Saito untuk Akane akan hilang, dan hubungan mereka akan pecah lagi. Sebelumnya, Akane akan baik-baik saja dengan hal itu, tetapi saat ini...dia takut akan hal itu.