Bab 3Selingkuh(Bagian 4)
Waktu belajar telah berakhir untuk hari itu, sehingga Saito dan Shisei langsung menuju ke rumah Shisei. Dijemput oleh mobil mewah berwarna putih jelas tidak membuat Saito merasa seperti ia berangkat ke tempat kerja paruh waktu ini. Tentu saja, sopir pembantu itu masih ceroboh seperti sebelumnya, yang membuat Saito merasakan dorongan untuk menggunakan moda transportasi lain. Meskipun begitu, Shisei tidak akan membiarkan itu terjadi. Dia langsung menempel ke dada Saito, saat mereka terguncang bolak-balik di dalam mobil, tidak membiarkan Saito melarikan diri.
Setelah tiba di kediaman itu, Saito dipandu ke kamar Shisei. Di atas meja putih yang biasa Shisei gunakan sekarang ada sebuah laptop baru. Di sebelahnya ada rak buku dari kayu mahoni, berisi bahan-bahan yang dibutuhkan untuk menerjemahkan.
"Apa Tante tidak ada di sini hari ini?" Saito bertanya pada Shisei.
"Mama tampaknya ada rapat di luar. Mama kalau bahwa dia punya gim serta perangkat lunak pendukung terjemahan, dan dokumen spesifikasi semuanya disimpan di laptop."
"Sangat membantu sekali. Abang cuma akan mengganggumu di sini, jadi Abang akan bekerja di ruangan yang berbeda." Saito hendak mengambil komputer, dan tidak lama Shisei membuka kedua tangannya, menghalangi jalan Saito.
"Tidak bisa. Abang harus bekerja di sini."
"Kamu tidak akan bisa bersantai kalau ada Abang di sini, bukan?"
"Shisei bisa bersantai terlebih kalau Abang ada di sini. Kita akhirnya dapat menghabiskan waktu bersama, jadi berpisah seperti itu tidak masuk akal."
"Maksud Abang, kalau kamu tidak masalah dengan itu, maka Abang tidak keberatan." Saito meletakkan komputer itu lagi, dan duduk di kursi.
Tepat setelah itu, Shisei duduk di pangkuan Saito.
"Bisakah kamu tidak duduk di sini seakan-akan itu merupakan kejadian yang wajar?"
"Pangkuan Abang itu milik Shisei."
"Tidak. Abang tidak bisa bekerja kalau begini."
"Abang tidak perlu bekerja, Shisei yang akan menerjemahkannya."
"Bisakah kamu tidak dengan santainya mencuri pekerjaan Abang?" Saito mengangkat Shisei, dan melemparkannya.
"Ahhh~." Shisei berguling-guling di karpet.
Saito lanjut mengebut komputer itu. Memindai wajah dan sidik jarinya, ia masuk (log in). Ini mungkin untuk melindungi perangkat lunak gim dari segala macam pencurian. Namun, fakta bahwa mereka telah memindai wajah dan sidik jari Saito itu sangat menakutkan baginya, sehingga ia tidak dapat mengagumi tingkat keamanan itu. Mereka mungkin juga telah menyimpan data iris dan gen Saito. Saito kemudian menyalakan perangkat lunak penerjemahan untuk mengujinya, lalu ia tiba-tiba merasakan sesuatu yang basah menyentuh lehernya.
"Eeek!?" Saito berbalik kaget.
"Abang ini lucu sekali. Apa ini mengejutkan Abang?" Shisei menjulurkan lidahnya, dan mencondongkan tubuh ke arah Saito.
Shisei tampaknya menjilat leher Saito begitu.
"Abang datang ke sini buat bekerja! Bisakah kamu tidak mengganggu Abang?"
"Meladeni Shisei adalah salah satu bagian dari pekerjaan Abang."
"Abang tidak ingat pernah menerima permintaan semacam ini!"
Shisei memeriksa Saito dengan cermat.
"Bahkan kalaupun Abang tidak, ini merupakan kesepakatan yang tidak diucapkan. Shisei bisa saja mengambil alih pekerjaan itu dan memberi tahu Mama."
"Erk..." Saito panik.
Biasanya, Shisei siap untuk mendukung Saito, tetapi hari ini dia sangat memaksa.
"Apakah kamu... merajuk? Karena Abang bekerja paruh waktu untuk membelikan Akane hadiah?"
"Bukan. Shisei tahu ini perlu untuk menyenangkan hati Akane, dan kemudian akan menjamin kehidupan yang lebih damai buat Abang."
"Jadi kamu juga bahkan tahu tentang itu..."
Itulah Shisei yang kamu harapkan, dia punya kemampuan untuk menerawang segalanya. Shisei meletakkan kedua tangannya ke pangkuan Saito, menatap Saito seperti dia memohon.
"Tetapi, pikirkanlah tentang perasaan Shisei. Sejak Abang menikah, waktu yang Abang habiskan bersama Shisei berkurang secara drastis. Shisei tahu ini demi mimpi Abang, tetapi aku masih merasa kesepian."
"Shisei..." Saito merasa menyesal.
Karena Shisei unggul dalam segala hal yang dia lakukan, akan mudah untuk melupakannya, tetapi Shisei masihlah seorang manusia, dan bahkan seorang gadis muda. Shisei juga punya emosi, jadi jika dia tidak dapat menghabiskan waktu bersama keluarganya lagi, dia akan secara alami akan merasa begini.
"Maaf, kalau Abang tidak sopan." Saito meraih tangan Shisei, yang menggelengkan kepalanya.
"Bukan salah Abang, kok. Abang sudah berusaha keras untuk beradaptasi dengan lingkungan baru Abang."
"Kamu terlalu baik pada Abang, bukan?"
Kalau Shisei itu kakak sepupunya, Saito mungkin tidak akan berguna.
"Shisei juga ingin dimanjakan oleh Abang."
"Kalau saja ada yang bisa Abang lakukan sebagai permintaan maaf…"
"Sebelah sini." Shisei menarik tangan Saito, ke arah tempat tidur.
Ini merupakan ranjang yang mewah dengan kanopi, dibungkus dengan seprai yang nyaman, sehingga Shisei yang bergaya gotik tampak seperti seorang putri kerajaan sungguhan. Shisei membuka kedua tangannya, dan bertanya.
"Abang, tidurkan aku seperti yang dulu Abang lakukan."
(TL Note: Tidurkan ya, bukan Tiduri.)
"Mau bagaimana lagi."
Saito berbaring di ranjang itu, menerima pelukan Shisei. Saito disambut oleh perasaan yang lembut dan halus. Shisei menjerat kakinya ke Saito. Aroma wangi yang mirip aroma susu menggelitik hidung Saito. Shisei membenamkan wajahnya ke dada Saito, dan mengambil napas dalam-dalam.
"Aroma Abang… merupakan keberkahan… Berpelukan dengan Abang begini terasa menyenangkan…" Shisei mulai bersenandung.
"Ya ampun…"
Saito tahu kalau Shisei tidak memberikan makna yang berbeda pada kata-kata itu, namun tetap saja ia merasa malu. Meskipun mereka itu anggota keluarga, dan sudah adik-kakak kandung, Shisei itu terlalu cantik.
"Elus kepala Shisei."
"Begini?"
"Mmm…"
Ketika Saito dengan lembut membelai kepala Shisei, Shisei menutup matanya. Dengan ekspresi yang mengantuk, Shisei juga mengusapkan kepalanya ke tangan Saito. Ritme pernapasan mereka tumpang tindih, dikarenakan segala sesuatu di sekitar mereka menjadi sunyi. Terbungkus dalam suhu, aroma, dan detak jantung orang yang telah mereka kenal selama bertahun-tahun, kesadaran mereka pun perlahan mencair. Pada akhirnya, mereka berdua tertidur begitu saja, dan Saito belum membuat kemajuan apapun terhadap pekerjaannya.