Bab 3Selingkuh(Bagian 1)
Satu malam telah berlalu sejak kencan, atau lebih tepatnya tamasya, dari Akane dan Saito.
"Mengapa kamu sarapan sambil menonton televisi!?"
"Bukankah kamu juga sering melakukan hal yang sama!?"
Mereka berdua duduk di meja menyantap sarapan, bertengkar seperti biasanya. Memegang garpu bagai senjata pembunuh, Akane tampak seperti iblis yang datang langsung dari neraka.
"Aku telah melakukan yang terbaik dengan omelet gulung hari ini! Aku menggunakan bayam dan wortel untuk menulis tanggal berdirinya Keshogunan Muromachi!"
"Kamu jelas terlalu berlebihan pada sarapan yang sederhana ini! Kita bahkan belum sampai ke sekolah!"
Belum lagi bahwa arah usaha Akane merupakan misteri mutlak bagi Saito. Dengan cara apa menempatkan tanggal ketika Ashikaga Takauji memperkenalkan kode feodal ke dalam omelet gulung akan membantu siapapun?
"Ini demi pelajaran kita tentu saja!"
"Aku tidak percaya kalau belajar dengan omelet gulung akan membuahkan banyak hasil."
"Ada biskuit yang membantu dalam abjad, bukan!?"
"Iya, aku pernah lihat Shisei memakannya sebelumnya, tetapi…"
Shisei segera memasukkan kukis itu ke mulutnya begitu dia mengeluarkan kukis-kukis dari bungkusnya—dengan kecepatan penyedot debu—jadi dia jelas tidak berniat mempelajari apapun. Namun Akane tidak terlalu mendengarkannya, sambil dia membentuk tinju yang gemetar.
"Usaha dan kerja kerasku… semuanya hancur karena kamu tidak menyadarinya sedikitpun… Mengunyah telur itu sambil menonton televisi, tampak seperti orang bodoh…"
"Tetapi telur ini enak sih?"
"Bukan itu masalahnya! Aku ingin kamu memakan ini sambil mengingat tanggalnya!"
Saito menghela napas.
"Kamu harusnya bilang saja padaku."
"Kamu seharusnya menyadarinya tanpa aku harus bilang padamu! Katakan padaku betapa menakjubkannya aku! Lihat makanan yang aku buat, jangan ke televisinya!"
"Iya iya, ini enak."
"Aku tidak dapat merasakan gairah di balik kata-kata itu!"
"Apa yang mesti aku lakukan, hah!? Berlutut untuk memberi tahumu betapa enaknya telur ini!?"
"Terserahlah, aku pergi!" Akane tersentak, dan berlari menaiki tangga.
—Mengapa semuanya selalu berakhir begini…
Saito memegangi kepalanya, saat ia duduk di meja. Ia terlalu berekspektasi tinggi, mengira kalau setelah "bukan kencan" kemarin, jarak di antara mereka telah mendekat, dan mungkin semuanya akan sedikit lebih damai mulai sekarang, tetapi itu hanyalah gencatan senjata sementara. Mereka segera bercekcok satu sama lain lagi seperti ini.
Bahkan saat ini, senyuman Akane saat dia duduk di ayunan itu tidak akan meninggalkan bekas di kepala Saito. Itu sesuci malaikat, dan seindah dewi. Kalau saja Akane selalu tersenyum seperti itu, kehidupan Saito pasti akan jauh lebih indah melebihi apa yang dapat ia bayangkan.
—Oh iya…Dia menginginkan cincin itu, bukan…
Kalau Saito memberikan Akane cincin itu sebagai hadiah, akankah Akane menunjukkan senyuman itu lagi pada Saito? Akankah Akane berhenti bertengkar karena hal-hal sepele, dan dapat akur dengan Saito? Saito memang tidak menyukai gagasan untuk membeli kasih sayangnya dengan cincin, tetapi itu bukan merupakan pemikiran yang buruk juga.
—Iya, cincin itu bukanlah sesuatu yang dapat kita beli sebagai siswa SMA.
Saito mengambil omelet gulung yang tersisa, melihat tanggal yang telah ia hancurkan, dan memasukkan omelet itu ke mulutnya.
←Sebelumnya Daftar Isi Selanjutnya→