KuraKon - Jilid 3 Bab 1 Bagian 7 - Lintas Ninja Translation

Bab 1
Saingan
(Bagian 7)

Setelah membeli es krim untuk mereka berempat, Saito dan Akane kembali ke rumah mereka. Di ruang tamu, Shisei dan Himari sedang bermain gim.

"Ah, ah, Shisei-chan! Ada zombi yang datang di sebelah sana!"

"Zombi itu teman kita. Kita bisa akrab dengan mereka."

"Aku meragukan hal itu! Lihat, ia mencoba menggigitmu!"

"Tembaaaaak!" Shisei membakar zombi yang mendekat dengan penyembur api.

Zombi itu tertelan ke dalam lautan api, berteriak ketakutan, dan berubah menjadi abu. Mereka sedang bermain gim horor. Sesuatu yang seharusnya tidak ada di sini di rumah Akane. Akane sendiri menyadari hal ini, dan tampak pucat.

"Ka-Kalian berdua, apa yang kalian lakukan..."

Himari melompat dari sofa.

"Ah, selamat datang kembali! Jadi kamu membeli gim zombi, ya Akane! Mengapa kamu tidak memberi tahuku?"

"Be-Begini…Ayah sebenarnya membelikan ini untukku…bukan?" Akane menatap ke arah Saito.

Jangan bergantung padaku untuk itu!

Saito tahu kalau Akane sedang panik, tetapi meminta pendapat Saito dari semua orang merupakan langkah yang terburuk.

"Mengapa Saito-kun kenal dengan Ayahmu, Akane?"

Sudah diduga, Himari sudah mulai curiga. Akane menjadi panik, dan mencoba mencari-cari alasan.

"I-Itu…Ayah bertemu dengan Saito di pasar swalayan saat membeli ikan! Setelah bertarung habis-habisan, mereka berdua pergi ke pemancingan ikan tuna di pertengahan musim dingin…!"

Pertemuan yang kebetulan macam apa itu seharusnya!?

Saito memelototi Akane. Di saat yang sama, Akane membalas dengan pelototan tajam, tetapi itu tidak pantas dikeluarkan sedikitpun.

"Saito-kun, kamu ini suka ke pemancingan ikan tuna ya?" Himari tertarik pada topik yang aneh ini.

Sekarang karena sudah begini, mau tidak mau Saito juga harus ikut bersandiwara.

"I-Iya, memancing ikan tuna itu seru! Kamu juga bisa langsung menyantapnya di tempat!" Saito mengacungkan jempolnya pada Himari.

“Waah, hebat! Ajak aku bersamamu saat kamu pergi lain kali!"

"Ka-Kalau ada kesempatan…"

"Bisakah gadis sepertiku memancing dan mendapatkan ikan tuna?"

Saito menunjukkan giginya yang putih dan cerah, lalu mengedipkan matanya pada Himari.

"Kalau kamu mengalami masalah, percayakan saja padaku."

"Kamu sangat keren, Saito-kun! Sudah pasti, pasti aku akan percayakan padamu!"

"Ha ha ha…" Keringat dingin Saito tidak mau berhenti bercucuran.

Meskipun ini diperlukan agar percakapan ini mengarah ke mana-mana, Saito merasa tidak enak kalau kebiasaan aneh ini ditambahkan ke dalam sosoknya. Ia tidak pernah sekalipun pergi ke pemancingan ikan tuna. Namun, ia mungkin harus terjun langsung ke sana demi masa depan mereka. Akane dan Saito mundur ke lorong, dan mengadakan pertemuan darurat dengan suara yang berbisik.

"Mengapa kamu tidak menyingkirkan konsolnya?"

"Masih ada terlalu banyak hal lain yang lebih penting, dan aku tidak punya waktu lagi untuk itu! Karena aku tidak menemukan ada gim yang tergeletak di sekitar konsol itu, jadi aku kira itu akan baik-baik saja..."

"Itu tadi gim yang aku unduh dari toko."

Akane menatap Saito dengan kaget.

"Unduh? Jadi yang akan terus berjalan tidak peduli di manapun kamu meninggalkannya?"

"Ini bukan semacam boneka santet! Pokoknya, kamu dapat menyimpan gim yang diunduh di konsol ini tanpa memerlukan CD!"

"Sepertinya bukan masalah yang besar kok..."

Menghadapi perbedaan dalam budaya ini, Saito hanya bisa memegangi kepalanya dengan putus asa. Akane itu orang awam seperti Anda pada umumnya, jadi pengetahuan tentang dunia gim semacam itu tidak akan berhasil dengannya.

"Aku akan menjelaskan semuanya nanti! Kita harus menyingkirkan gim itu darinya, karena kalau tidak, semuanya akan berakhir buruk."

Akane menelan ludahnya.

"Se-Semuanya akan berakhir buruk…Jangan bilang, apa orang-orang yang memainkan gim itu akan berubah menjadi zombi?!"

"Memangnya apa ini, gim terkutuk!? Bukan itu maksudku…di konsol itu ada beberapa…gim erotis di dalamnya."

Akane terdiam. Amarah dan rasa jijik tercampur dalam ekspresi Akane, saat dia menyatakan ini dengan suara robot.

"…Aku akan menelepon polisi."

"Ini gim untuk semua umur! Jadi siswa SMA sepertiku boleh memainkannya!"

"Mengapa kamu punya gim yang semacam itu di konsol itu!? Da-Dasar kamu ini, orang yang menyimpang!"

"Aku bukan orang yang menyimpang! Ini seperti cakram (disk) penggemar dari gim pertarungan yang populer! Seri utamanya berkisah tentang pembunuhan satu sama lain tanpa ampun…tetapi dalam seri ini mereka bermain voli pantai sambil mengenakan pakaian renang…"

"Halo, ini Pak Polisi ya? Ada seseorang yang aku ingin kalian hapus sepenuhnya dari planet ini."

"Hentikan itu!" Saito mencuri ponsel pintar itu dari Akane, dan menutup teleponnya.

Akane segera mengambil kembali ponselnya, dan mengamankannya ke ujung lorong. Dia menunjuk Saito, dengan tatapan yang mengutuk.

"Sem-Sembrono sekali! A-Aku perlu membersihkan seluruh tubuhmu dengan pemutih untuk menghilangkan semua bau busuk ini darimu!"

"Katakan saja apa yang maumu! Pada saat ini, mereka akan mendapati kalau gim ini menurut mereka adalah milikmu, yang telah dibeli oleh Ayahmu, jadi kamu harus menjelaskannya pada mereka!"

"Gawaaaat!!" Akane berlari kembali ke ruang tamu.

Akane menegur kedua pemain gim itu, menyuruh mereka untuk kembali belajar, dan menyita konsolnya. Saito mengambil konsol gim itu dari Akane karena dia akan melemparnya ke dalam lemari, dan menyimpannya dengan aman. Dengan begitu, sesi belajarnya dilanjutkan. Agar Himari tidak memikirkan yang aneh-aneh, atau malah jadi malas belajar, Saito menaruh semua perhatiannya pada Himari. Kalau Himari bersantai, dia mungkin akan menyadari kalau ada banyak hal aneh dengan rumah Akane.

Dengan begitu, Himari akan dengan cepat menangkap semua yang telah diajarkan Saito padanya, dan akan sangat senang semakin lama sesi belajar ini berlangsung. Akhirnya, matahari mulai terbenam di luar jendela.

"Ahhh, kepalaku kelieungan~." Setelah belajar lebih banyak dari biasanya, Himari menjatuhkan diri ke catatannya, matanya berputar.

"Kerja bagus." Akane menyeduh teh hitam, membawanya ke kelompok mereka.

Shisei tidak menunggu sedetikpun untuk menyesapnya, dan menyebabkan lidahnya terbakar. Dia meletakkan cangkirnya ke atas meja, dan menatap Saito.

"Abang, tolong tiup ini untukku."

"Lakukan sendiri."

"Mana mungkin Shisei bisa dengan kapasitas paru-paru Shisei ini. Aku mana bisa mendinginkannya dengan benar."

"Kamu tidak perlu meniup seluruh cangkir itu dari meja, jadi kamu bisa melakukannya sendiri."

Didesak oleh Saito, Shisei mulai meniup tehnya sendiri. Himari melihat bagian tehnya sendiri, dan mencium aromanya.

"Baunya enak…kamu jago dalam membuat teh, Akane~."

"Itu karena kamu mengajariku. Kamu masih jauh lebih jago dariku."

"Itu tidak benar~ Kamu sekarang sudah jauh lebih jago.."

"Kamu memang bilang begitu, tetapi kamu masih tahu lebih banyak daripada aku dalam memilih jenis teh."

Mendengar percakapan ini terjadi, Saito berpikir di dalam hati: Cewek ini...Dia tidak menjadikan orang lain saingannya kecuali aku... Jika Akane mampu memperlakukan orang lain secara normal begitu, Saito berharap Akane bisa mencoba hal itu padanya juga. Himari meminum seteguk teh, dan kemudian menatap Saito.

"Terima kasih banyak untuk hari ini. Kalian banyak membantuku. Karena bantuan kalian, aku merasa aku jadi jauh lebih baik dalam menangani matematika."

"Senang mendengarnya. Aku dapat melihat kalau kamu masih bisa menjadi lebih baik, jadi jangan menyerah ya."

"Benarkah? Kalau begitu…bisakah kamu mengajariku lagi lain kali…di rumahmu, mungkin?"

(TL Note: Kamu sudah di rumahnya, Mbak.)

"Itu mungkin akan sedikit merepotkan."

Lagipula, lokasi mereka saat ini juga merupakan rumah Saito. Mendengar hal ini, Himari melontarkan senyuman yang menggoda.

"Mengapa? Padahal aku ingin sekali melihat kamar Saito-kun."

"Dengarkan ini…" Saito merasakan suhu tubuhnya sendiri mulai naik.

"Ahh, kamu jadi memerah, imut sekali!" Himari meletakkan sikunya di mejanya, mendekatkan bahunya ke bahu Saito.

Karena hal itu, Himari jadi menabrak cangkir, dan teh pun tumpah ke pakaiannya dan buku catatannya.

"Ah."

"Apa kamu baik-baik saja!?" Akane tersentak.

"Tunggu, aku akan membawa serbet!" Saito berlari menuju dapur, dan mengeluarkan serbet kecil dari laci. "Ini, silakan gunakan ini."

"Terima kasih!" Himari menerima serbet itu...dan tak lama kemudian, dia segera memiringkan kepalanya.

Himari berkedip karena kebingungan.

"…Hah? Mengapa Saito-kun tahu di mana serbet itu berada?"

""……!!""

Baik Saito maupun Akane mematung seperti habis disambar petir. Himari melihat ke serbet itu, dan kemudian ke Saito. Dengan ekspresi yang belum pernah dilihat Saito pada Akane, Akane mulai berkeringat deras.

KuraKon3-1-7

Ini buruk. Benar-benar buruk.

Saito merasakan sesuatu membuatnya panas jauh di dalam perutnya. Jika ia memberikan jawaban yang salah di sini, Himari yang teliti dan peka ini akan segera mengetahui rahasia mereka. Dengan lidah yang kering, Saito dengan hati-hati memilih kata-katanya.

"Ba-Barusan tadi…aku cuma menebaknya, oke…"

Himari tetap diam. Saito menduga tidak mungkin alasan semacam itu akan berhasil pada Himari, tetapi Saito tetap memastikan ekspresi Himari.

"Aku paham! Kamu benar-benar hebat, Saito-kun!" Mata Himari berbinar dengan penuh kegembiraan.

Kamu benar-benar mempercayai hal itu!?

Saito dipenuhi dengan setengah perasaan lega, dan setengah bingung. Himari ini terlalu jujur dan baik, seperti biasanya.

"Menurut perhitungan Shisei, peluang menemukan serbet dalam upaya pertamamu di rumah besar ini adalah sekitar 560.000 per…Meh-meh-meh."

Saito buru-buru menutup mulut Shisei sebelum dia dapat memperumit masalahnya lagi. Himari menerima serbet itu dan menyeka pakaiannya sampai kering, tetapi nodanya tidak hilang begitu saja.

"Aku rasa akan lebih baik untuk mencuci pakaianmu sekarang karena sudah begini."

"I-Iya, di mana kamar mandinya?"

"Shisei akan memandumu ke sana. Ada juga pakaian gantinya." Shisei berjalan menyusuri lorong seperti ini adalah rumahnya sendiri, menuntun Himari.

Setelah itu, Saito mendengar suara keran yang diputar, dengan air yang mengalir ke wastafel. Akane tetap berada di ruang tamu bersama Saito, dan memberinya tatapan yang mencela.

"Karena kamu menggoda Himari, kamu membuat kesalahan yang mendasar."

"Aku tidak menggodanya."

"Kamu sudah jelas menggodanya! Dan juga, kalau kamu menolak saja untuk sesi belajar ini, seluruh kekacauan ini tidak akan terjadi!" Akane dengan agresif mendekati Saito, dan menekan jarinya ke dada Saito.

(TL Note: Sadar dirilah Mbak, ini juga salah lu!)

"Aku akan merasa tidak enak pada Himari kalau aku menolak usulan sesi belajar ini."

"Apa? Apa kamu tidak ingin membuatnya sedih? Kamu akan melakukan apa saja untuk membuatnya bahagia? Membuatnya melakukan permintaanmu?"

"Aku tidak punya motif tersembunyi macam itu!"

"Saat Himari meringkuk padamu, kamu punya tampang kriminal!"

"Kamu bercanda, bukan…?" Saito menjadi sangat khawatir.

"Aku tidak bercanda! Kamu memasang wajah yang seolah berkata 'Berikan uangmu'!"

"Arah motif tersembunyi yang tiba-tiba berubah! Sekarang aku menjadi seorang penipu!"

"Ngomong-ngomong, melihat kalian semua bermesraan dan genit itu menjijikkan! Melihatmu membuatku ingin marah! Tidak bisakah kamu menyayat kulitmu dari wajahmu!"

"Jangan meminta yang tidak-tidak!"

"Kalau kamu tidak mau melakukannya sendiri, maka aku yang harus—"

Tiba-tiba, sekeliling mereka berubah menjadi gelap.

"Kyaa!?"

"Kalau kamu tidak mau melakukannya sendiri, maka aku yang harus—"

Tiba-tiba, sekeliling mereka berubah menjadi gelap.

"Kyaa!?"

Sensasi lembut menempel di tubuh Saito. Seakan-akan sikap Akane yang teguh dan keras kepala barusan itu hanyalah kebohongan, Akane memeluk tubuh Saito saat dia gemetar ketakutan.

"Kamu... kamu ini benar-benar br*ngsek."

"Aku tidak takut karena pemadaman listrik!" Akane menatap Saito dengan air mata yang mengalir di matanya.

"Tetapi banyak air mata menetes di wajahmu?"

"A-Aku baru saja meneteskan beberapa obat tetes mata!"

"Dalam sepersekian detik itu!?"

"Keraguan sesaat itu dapat berakibat fatal! Bagaimana kalau bola matamu keluar karena matamu kering!?"

"Aku benar-benar tidak tahu..."

Saito tidak pernah mendengar kalau teriakan manusia dapat membuat bola mata mereka kering. Bagaimanapun juga, ruang tamu dan dapur diselimuti oleh kegelapan. Bahkan lampu dari pemutar CD dan penanak nasi juga tidak menyala. Dari luar jendela, Saito melihat lampu menyala di rumah-rumah tetangga. Sepertinya tidak semua jalan mengalami pemadaman ini, melainkan karena rumah Saito menggunakan terlalu banyak listrik, yang menyebabkan listriknya turun.

"Aku akan memeriksa pemutusnya." Saito mencoba meninggalkan ruang tamu, lalu kemudian Akane memegang baju Saito.

Akan tampak putus asa untuk menahan air matanya, saat dia memohon.

"Jangan tinggalkan aku sendirian di tempat yang menakutkan ini!"

"Ini rumahmu sendiri, kamu ingat?" Saito tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

"Seseorang mungkin saja tinggal di dalam langit-langit! Seorang kakek-kakek dengan piyama bermotif hati mungkin sedang memperhatikan kita sambil tersenyum!"

"Hentikan itu, kamu cuma akan memberiku mimpi buruk."

Saito bahkan tidak ingin membayangkan hal itu.

"Kemungkinannya tidak terbatas! Kalau terus begini, kita berdua akan mati!"

"Aku benar-benar meragukan hal itu..."

Akane menempel di sisi Saito, tidak menunjukkan tanda-tanda kalau dia akan tenang. Kalau Saito memaksanya pergi, Akane mungkin akan terluka, tetapi kalau Akane terus-menerus menarik seragam Saito, sebuah tragedi akan terjadi pada akhirnya. Saito menyerah, dan duduk di ruang tamu, menunggu lampunya kembali menyala.

Akane bahkan tidak berpikir untuk menjauh dari Saito. Akane cuma berusaha tampak tegar, tetapi lemah di dalam. Saito mendengar suara gemerisik rok Akane, dan mencium aroma harum dari rambutnya. Karena mereka duduk di tengah kegelapan yang mutlak, indra Saito yang lainnya menjadi lebih peka. Saat Saito mulai merasa canggung, Akane berbisik.

"Apakah para cowok… lebih menyukai cewek yang jujur?"

“Mengapa kamu menanyakan hal itu padaku?"

"…Tidak ada alasan khusus." Tangan Akane yang memegang kemeja Saito gemetaran.

Karena wajah Akane menghadap ke bawah, Saito tidak dapat mengetahui ekspresinya, tetapi bibirnya tertutup rapat. Dalam menghadapi hal itu, Saito merasakan sesuatu yang menyakitkan jauh di dalam dadanya. Cewek yang jujur? Itu kemungkinan besar merujuk pada Himari. Lalu, siapa gadis yang tidak jujur itu?

"Sejujurnya, Aku rasa kamu itu tidak masalah apa adanya dirimu."

"…!" Akane menelan ludahnya. "A-Aku tidak sedang membicarakan… diriku…"

Bahkan saat ini, Akane bertindak bodoh.

"Kalau begitu aku juga tidak membicarakanmu, tetapi si cewek berinisial A ini."

"Cewek berinisial A…seperti seorang kriminal."

"Dia ini tidak ada hubungannya denganmu, jadi itu tidak masalah, bukan?" Saito tertawa.

Saito tidak tahu untuk alasan apa Akane menanyakan hal ini, atau apa niat Akane yang sesungguhnya. Namun, Saito segera menyadari kalau Akane mengumpulkan banyak keberanian untuk menanyakan hal ini, dan kalau ini merupakan sesuatu yang berhubungan erat dengan perasaan jujur Akane. Itu sebabnya Saito berbicara dengan hatinya juga.

"Memang benar kalau dia itu menyebalkan, tetapi akhir-akhir ini, aku jadi lebih baik dalam memahami apa yang dia pikirkan."

"Be-Benarkah…?" Akane bertanya, seperti kucing yang takut didekati oleh manusia.

"Iya. Dia itu bawel dan keras kepala, pekerja keras, dan mudah malu karena segala hal. Dia tidak benar-benar menunjukkan perasaannya secara langsung dan di depan orang lain, tetapi dia tidak punya niat yang buruk. Malahan, dia mengharapkan kebahagiaan orang lain lebih dari siapapun yang aku kenal."

"Ka-Kamu terlalu berlebihan dalam memikirkannya…" Tubuh Akane bergerak, seakan-akan dia merasa malu.

"Itulah sebabnya…dia mungkin lebih menyebalkan daripada siapapun yang ada di dunia ini…tetapi aku tidak membencinya." Setelah Saito menyelesaikan monolognya, ia merasakan daun telinganya menjadi panas.

Mereka berdua tidak jujur tentang perasaan mereka satu sama lain. Mengucapkan kata-kata ini saja, jantung Saito sudah berdebar kencang.

"Lebih menyebalkan daripada siapapun di dunia ini… Apa maksudnya… Dasar bodoh." Penghinaan yang keluar dari bibir Akane lemah, dan lebih imut dari apapun.

Saito merasakan Akane sedang menempelkan dahinya di dada Saito. Dan dengan hal itu sebagai suatu pertanda, lampu di dalam ruang tamu menyala lagi.

"Sepertinya lampunya sudah kembali menyala."

"I-Iya." Akane menghela napas lega, kemudian Himari memasuki ruang tamu.

"Ah, itu mengejutkanku, aku kira lampunya turun begitu saja…"

"Ah..." Akane terdiam.

Akane meringkuk di dekat Saito, tangannya menempel di kemeja Saito. Meskipun Akane dengan jelas telah melupakan dirinya sendiri di dalam ketakutan yang dia rasakan, ini bukanlah pemandangan yang biasanya dapat kamu lihat dari Akane. Oleh karena itu, mata Himari terbuka lebar karena terkejut.

"…Cukup dekat, ya?"

"Kami tidak dekat sama sekali!!" Jeritan Akane bergema di seluruh rumah.


←Sebelumnya           Daftar Isi         Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama