Bab 1Saingan(Bagian 6)
Sesi belajar ini—atau lebih tepatnya, pengajaran empat mata di antara Saito dan Himari terus berlanjut. Di atas meja terbuka ada buku rujukan yang digunakan Akane saat kalas sepuluh. Akane tampaknya membawa ini bersamanya setelah dia pindah bersama Saito.
"Selanjutnya, kamu gunakan rumus yang barusan ini, dan memasukkannya di situ." Saito menjelaskannya, sampai membuat Himari memelototi catatannya, dan menggerakkan pensil otomatisnya.
"Se-Seperti ini…?" Himari menatap Saito dengan kecemasan yang memenuhi matanya.
"Benar. Kerja bagus."
"Wa-Wah…Aku berhasil menyelesaikannya! Saito-kun, kamu sangat pintar dalam mengajar orang!" Wajah Himari bersinar dengan penuh kegembiraan.
"Benarkah?"
"Iya! Kamu mungkin lebih baik dari guru kita! Benar kan, Akane?"
Akane menyilangkan tangannya, dan mengangkat dagunya.
"I-Ia tidak sepenuhnya buruk, aku rasa. Tetapi, jika dibandingkan denganku, dia ini seperti burung kecil!"
"Burung kecil…? Saito-kun, apa kamu ini anak ayam?" Himari memiringkan kepalanya dengan bingung.
"Maksudku adalah ia tidak bisa dibandingkan denganku sama sekali, anak muda itu!"
"Kita ini sebaya, ingat."
"Saito-kun, Mengapa kamu sangat jago dalam mengajar?" Himari mengabaikan saling olok-olok mereka, dan bertanya.
"Aku membaca beberapa buku pendidikan sebelumnya saat aku sedang bosan, dan sekarang aku mencoba teknik dari yang aku baca di dalamnya."
"Waaah, Saito-kun itu seorang jenius! Hebat!"
Dipuji begini tidak terasa buruk bagi Saito. Ia selalu senang membantu orang.
"Hei, hei, ajari aku beberapa materi lagi! Menerima materi darimu itu sebenarnya menyenangkan!" Mata Himari berbinar dengan gembira, saat dia melihat buku rujukan di depannya.
Meskipun mereka sudah duduk berdekatan, bahu Himari bersandar di bahu Saito. Melalui blus tipis yang dikenakan oleh Himari, Saito dapat merasakan kulit lembut Himari.
"He-Hei…"
"Ada apa…?" Himari menjawab pertanyaan, daun telinganya merah.
Himari merasakan sama persis seperti yang dirasakan Saito. Dan bukannya sedikit menjauh, Himari malah mendorong dirinya ke arah Saito.
"Jangan pura-pura bodoh, kamu tahu kam apa yang aku maksud."
"Kalau kamu tidak memberi tahuku dengan jelas, aku tidak akan paham. Lagipula aku ini kan bodoh."
"Kamu ini…"
"Saito-kun, apa kamu… tidak suka ini?"
Bukannya Saito membenci sensasi mendapati Himari di sebelahnya, tetapi Saito khawatir kalau ia akan berakhir menyakiti perasaan Himari, itulah sebabnya ia hampir tidak mungkin bergerak. Di saat yang sama, tatapan Akane dari seberang meja menusuk Saito. Dilihat dari alis matanya yang terangkat, dia jelas berada dalam suasana hati yang buruk. Saito tidak tahu apakah ini disebabkan oleh kecemburuan yang sebenarnya, atau cuma karena Akane tidak tahan melihatnya di sekitarnya, tetapi aura merah tua yang memancar dari tubuh Akane itu berbicara sendiri.
"Abang, bosan nih. Perhatikan Shisei juga dong." Shisei menempel ke leher Saito dari belakangnya.
Itu merupakan permintaan yang konyol mengingat ini seharusnya menjadi sesi belajar, tetapi Saito tidak akan bisa fokus kalau begini, jadi ia bangun, dan menarik Shisei menjauh darinya.
"Mari kita istirahat dulu sejenak. Fokus terlalu lama itu tidak terlalu efisien dalam jangka waktu yang panjang."
"Ehhh, aku masih bisa terus melanjutkannya kok. Kalau itu bersamamu, aku bisa terus melanjutkannya sepanjang malam!" Himari cemberut.
Meskipun sudah pasti tidak ada makna tersembunyi di balik kata-kata Himari, ekspresinya membuat itu tidak tertahankan lagi bagi Saito.
"Himari akhirnya terbangun karena kegembiraan belajar, jadi mengapa kamu berhenti di tengah jalan!? Apakah kamu berencana untuk sepenuhnya membuat semua kemungkinannya memburuk dan menghancurkannya selamanya!?"
Itu karena kamu marah pada Tuhan entah apa alasannya!—Balas Saito dalam pikirannya, tetapi Akane bukan tipe gadis yang bisa menebak apa yang Saito pikirkan. Saat percikan api mulai terbang di antara Akane dan Saito, Himari memisahkan mereka.
"Tung-Tunggu, tidak usah berkelahi. Aku baik-baik saja kok. Aku juga merasa sedikit lelah, jadi istirahat mungkin merupakan ide terbaik!"
"Benarkah…? Kalau kamu baik-baik saja dengan hal itu, maka aku tidak akan mengatakan apa-apa, tetapi...apa kamu tidak terlalu baik terhadap Saito?"
"Tidak kok, tidak kok! Kalaupun begitu, ia sudah membantuku belajar, jadi aku berterima kasih padanya untuk itu!" Mendengar kata-kata Himari, ekspresi Akane jadi melunak.
Bahkan aura merah yang ada di belakangnya berubah menjadi udara tipis.
—Dia ini penjinak binatang!!
Saito sekali lagi tidak bisa tidak mengagumi bakat Himari. Jika itu dirinya, pasti butuh waktu berjam-jam untuk menjinakkan naga yang berbahaya ini, namun Himari cuma butuh waktu beberapa detik.
"Himari…tolong, jadikan aku muridmu!"
"Eh, a-apa? Bukankah aku yang sedang diajari di sini?"
"Aku ingin tahu bagaimana kamu berhasil menjinakkan Akane dengan sedemikian rupa."
"Jangan perlakukan aku seperti binatang buas, dasar bodoh!" Akane menunjukkan taringnya, dan melolong pada Saito.
Himari menyatukan kedua tangannya di depan dadanya, dan mengarahkan pandangannya ke bawah saat dia menjelaskan.
"Trik agar Akane bersikap baik padamu… itu cinta!"
"Cinta…Kalau begitu, aku rasa itu tidak mustahil untuk aku lakukan." Saito melempar handuk tepat setelah gong itu.
Tidak peduli berapa juta kali mereka terlahir kembali, Saito tidak dapat melihat dirinya mencintai naga yang seperti Akane, atau dicintai olehnya.
"Dan juga, Akane itu menyukai payudara besar, jadi setiap kali aku menekan payudaraku padanya, dia akan segera melunak dan berubah menjadi seekor anak kucing yang manja."
"Himari!? Begitukah caramu memandangku!?" Akane tersipu malu.
"Maksudku, apa aku salah? Ketika kita pergi ke pemandian air panas itu sebelumnya, kamu terus-terusan membelai payudaraku~"
"I-Itu…karena aku…iri…"
"Hmmm?" Himari mendekatkan wajahnya ke wajah Akane yang memerah.
Ketertarikan Shisei tampaknya jadi tergelitik, saat dia menatap ke dada Himari.
"Shisei juga ingin mencobanya."
"Tentu, silakan saja~."
Adegan yang penuh dengan uap di antara gadis-gadis yang terbuka, tepat di depan Saito. Ia ingin menyembunyikan rasa malu dan ketidaknyamanannya sendiri, jadi ia membuka sekantung cokelat.
"Ngo-Ngomong-ngomong, mari isi kepala kita dengan gula, dan beristirahat untuk menyegarkan diri."
Shisei yang mendengar hal ini, kemudian menyodorkan beberapa kartu remi ke Saito.
"Abang, Shisei ingin bermain Consentration*."
(TL English Note plus TL Note: Concentration merupakan permainan kartu dengan cara membolak-balik kartu yang tertutup untuk menemukan pasangan yang identik. Di Jepang permainan ini dikenal dengan istilah Shinkei-suijaku, yang secara bahasa berarti Pemecah Kegugupan.)
"Abang barusan bilang kalau kita harus menyegarkan diri, bukan!?"
"Kehancuran dan penciptaan merupakan dua sisi koin yang sama. Akan merusak otak Abang sepenuhnya dan seluruhnya, sehingga dapat pulih kembali sepenuhnya sekaligus untuk memberi Abang fungsionalitas penuhnya."
"Memangnya aku akan menerima logika macam itu."
"Itu benar. Shisei sebelumnya menghancurkan dunia ini, kemudian membangunnya kembali."
"Memangnya kamu ini Tuhan atau semacamnya?"
"Shisei ingin bermain. Bermain bersama Abang." Shisei duduk di pangkuan Saito tanpa mendengar sanggahan apapun.
Shisei mungkin merasa kesepian karena tersingkirkan selama sesi belajar.
"Mau bagaimana lagi... Sebentar saja, oke?"
"Abang ini memang lemah terhadap permintaan Shisei, ya."
"Kalau kamu tahu itu, maka jangan meminta yang mustahil, oke?" Saito melemparkan tebasan lembut itu ke kepala Shisei. "Kalian mau ikut juga?"
"Tentu saja! Ini mungkin pertama kalinya aku bermain kartu dengan Saito-kun!"
"Aku akan menggunakan ingatanku yang luar biasa untuk mengalahkanmu seutuhnya, Saito!"
Baik Himari maupun Akane tampaknya sangat ingin bermain ini. Meja yang penuh dengan peralatan belajar dan permen itu, dan membereskannya akan memakan waktu yang terlalu lama, jadi mereka malah membuka kartu remi itu di atas karpet. Saito membagikan kartunya, ketika Akane menatapnya seperti ia itu seorang pelaku kejahatan.
"Aku tidak akan membiarkan kecurangan apapun, oke…?"
"Mengapa aku harus curang cuma karena permainan kartu sederhana? Tenang saja."
"Mana mungkin aku bisa mempercayaimu. Kamu mungkin menggunakan feromon jejak untuk meracuniku dan membuatku menuruti perintahmu…" Akane melemparkan tuduhan kasarnya pada Saito.
"Memangnya aku akan menggunakan semacam teknik yang aneh untuk itu. Kalau kamu khawatir, kamu saja yang acak."
"Tidak masalah sih bagiku! Lagipula aku tidak bisa mempercayaimu!" Akane mengambil kartu itu dari Saito, meletakkannya di depannya.
Seperti persimpangan pada papan igo*, dia membariskannya dengan rapi. Itu sama persis seperti Akane yang rajin. Setelah persiapannya selesai, mereka memutuskan urutannya dengan melakukan suten. Urutannya adalah Akane, Shisei, Himari, lalu kemudian Saito. Akane melompat kegirangan karena itu.
(TL Note: Igo/Go/Weiqi/Badik merupakan permainan papan strategis antar dua pemain, berasal dari Tiongkok sekitar 2000 SM sampai 200 SM.)
"Aku berhasil! Aku yang pertama! Aku menang melawan Saito!"
"Permainannya saja bahkan belum dimulai..."
Terlalu awal untuk mabuk kegirangan atas kemenangan ini. Akane mengangkat dagunya, dan memandang rendah Saito.
"Yang pertama menyerang, dia yang akan menang, bukan?"
"Menurutku menjadi yang pertama, tidak akan banyak membantumu dalam permainan Consentration ini."
Malahan, bermain kartu lebih lambat hampir selalu lebih bagus, atau urutannya pun bahkan tidak masalah.
"Ini memalukan, tetapi aku akan menggunakannya demi keuntunganku! Aku tidak akan memberimu kesempatan sedikitpun, dan menebak semua kartu itu sendiri!" Akane penuh dengan motivasi, dan membalikkan dua kartu pertama.
Yang pertama dibuka adalah Enam Sekop, dan yang kedua Ratu Hati. Saito melihat ini dengan seringai, dan meletakkan telapak tangannya di telinganya untuk membuat gerakan mengejek.
"Eh, apa itu? 'Aku tidak akan memberimu kesempatan sedikitpun, dan menebak semua kartu itu sendiri!'? Bukankah itu yang kamu bilang tadi?"
"…! Ka-Kamu tidak akan mendapat kesempatan! Lagipula, melalui insiden yang tidak menguntungkan nanti, beberapa tulang di tubuhmu mungkin akan patah…!"
"Tidak ada pertarungan di atas ring!" Akane dihentikan oleh Himari.
"Aku akan berterima kasih padamu selamanya…" Saito menyatukan kedua tangannya.
Himari itu dewi perdamaian, dan Saito merasa aman dan terlindungi saat berada di sampingnya. Kalau bisa, Saito ingin Himari tinggal bersama mereka.
"I-Iya, memang selalu begitu pada awalnya!" Akane menatap kartu-kartu itu dengan pandangan yang ragu, kemudian membaliknya lagi.
Akane mungkin sedang menandai kartu-kartu itu di kepalanya. Selanjutnya, Shisei membalikkan dua kartu. Dia mendapatkan As Keriting, dan Raja Sekop.
"Terima kasih atas makanannya."
"Jangan memakannya."
Shisei hampir saja ingin memasukkan kartu-kartu itu ke mulutnya tanpa ragu-ragu, kemudian dihentikan oleh Saito di detik terakhir. Mereka memang dapat dengan mudah membeli setumpuk kartu baru, tetapi sesi belajar ini akan berubah menjadi kecepatan bilas lambung (gastric lavage).
"Abang tidak punya hak untuk menghentikan Shisei."
"Abang yakin. Ini bahkan bukan kartumu."
Saito tidak bisa mengatakan ini di depan Himari, tetapi ia benar-benar membawa kartu-kartu ini dengannya.
"Abang tidak punya hak untuk mencuri makanan dari adik perempuanmu yang kelaparan."
"Kartu tidak terhitung sebagai makanan."
"Hidangan utama Shisei itu Abang, dan hidangan yang mewakilinya adalah kertas ini."
"Berhenti bertingkah seakan-akan kamu ini koala yang tinggal di pohon kayu putih (eukaliptus)." Saito menahan Shisei di pangkuannya, dan mengembalikan kartu-kartu itu ke tempatnya semula.
Di saat yang sama, Himari mengamati mereka dengan cermat.
"Bagus sekali, Shisei-chan. Aku juga ingin duduk di pangkuan Saito-kun!"
Shisei mengacungkan jempol pada Himari.
"Tidak masalah, kamu boleh duduk di pangkuan Shisei."
"Tidak keberatan kalau aku melakukannya!"
"Kamu akan menghancurkan Shisei-san!"
Karena Himari memiliki tinggi yang hampir sama dengan Saito, dia mungkin hanya akan menghancurkan Shisei yang kecil.
"Shisei tidak akan hancur, aku mungkin cuma akan membengkak."
"Mengapa!?"
"Abang, mengapa?" Shisei memiringkan kepalanya.
"Memangnya aku tahu tentang hukum fisikmu yang tidak berlaku bagi kami para manusia."
"Ngomong-ngomong, ini giliranku!"
Himari membalikkan dua kartu. Dan kartunnya itu Ratu Berlian dan As Sekop.
"Ahh, tidak bagus~." Dia membaliknya kembali.
"Sudah lama sejak terakhir kali aku bermain Consentration seperti ini." Saito mendapati As Sekop dan As Keriting, serta Ratu Berlian dan Ratu Hati, mendapatkan empat kartu.
"Su-Sudah empat kartu…A-Aku tidak akan kalah!" Akane memancarkan aura permusuhan dan motivasi yang jelas.
Namun, tidak butuh waktu lama buat ruang tamu itu untuk berubah menjadi hiruk-pikuk (karena teriakan Akane).
"Saito punya yang cocok lagi!?"
"Bagaimana kamu bisa menebak kartu-kartu ini dengan baik!? Apakah kamu bisa melihat menembus kartu-kartu ini!?"
"Abang mengambil kartunya terlalu banyak! Apakah Abang tidak punya kebaikan di dalam diri Abang!?"
Jumlah kartunya berkurang, hingga kompetisi usai. Hasilnya adalah: Himari dengan 0 kartu, Akane dengan 2 kartu, Shisei dengan 6 kartu, dan Saito dengan 44 kartu. Setelah kemenangan besar dan sepihak dari Saito, ruang tamu pun menjadi sunyi.
"A-Aku kalah lagi…" Akane dengan erat menggenggam kedua kartunya sampai kartu itu mengedipkan mata, dan dia mulai menangis.
"Waaah…" Mata Himari terbuka karena terkejut.
"Oh iya, bermain Consentration dengan Abang pasti selalu berakhir begini." Shisei membuang kartu itu.
—Aku mengacaukan semuanya…
Saito berpikir kalau ia menahan dirinya cuma akan tidak sopan terhadap Akane yang rajin, jadi ia memutuskan untuk bermain dengan seluruh kemampuannya sebagai gantinya, tetapi ini benar-benar merusak suasana.
"E-Em…mau bermain sekali lagi?" Himari melihat sekelilingnya, tetapi tidak ada orang di sana yang mengangguk.
Ikut serta dalam permainan di mana kekalahanmu sudah tertulis di atas batu, tidak ada yang akan siap untuk itu. Ini bahkan tidak akan terhitung sebagai permainan.
"…Aku akan pergi membeli es krim, kalian bertiga bisa dulu bermain tanpaku." Saito merasa canggung, dan memutuskan untuk keluar dari rumah.
Ia teringat waktu itu saat ia masih SD. Ketika ia bermain Consentration dengan teman-teman sekelasnya di sekolah, Saito menggunakan ingatannya yang tidak terkalahkan itu untuk memenangkan setiap pertandingannya. Pada awalnya, beberapa orang masih melanjutkannya karena minat yang murni, tetapi tak lama mereka segera menghilang. Setelah permainan atau gim piranti genggam (mobile game) lain menjadi populer di kelasnya, Saito tidak pernah diajak lagi. Meskipun kemampuan fisiknya rata-rata itu cukup baik, tetapi tidak ada yang mau repot-repot mengajaknya untuk bermain sepak bola ataupun bisbol.
Itu membangun sebuah citra 'Kalau aku bermain dengannya, itu akan membosankan' dan 'Aku cuma akan kalah telak' yang dimiliki teman-teman sekelasnya pada Saito. Pada saat ia menyadari kalau ia perlu menahan diri dari orang-orang seusianya, ini sudah terlambat. Ketika ia membicarakan hal ini dengan kakeknya Tenryuu, beliau berkata 'Itu tidak masalah. Yang berbakat itu akan mengalahkan yang lemah, dan membuat mereka takut pada yang berkuasa', dan tertawa.
—Itu ... bukan yang aku mau sih.
Saito menggertakkan giginya sambil mengingat kenangan yang menyakitkan ini, kemudian Akane menghampirinya.
"Kamu juga akan pergi berbelanja?"
"Tidak, aku cuma merasa kalau mungkin kamu melarikan diri setelah satu kemenangan, jadi aku ke sini untuk mengawasimu."
"Buat apa aku melakukan itu…"
Akane berjalan berdampingan di sebelah Saito dengan wajah yang masam, saat mereka berdua berjalan ke toko terdekat. Saito ingin melarikan diri dari suasana yang canggung di rumah, namun orang yang paling merepotkan buatnya harus ikut, yang benar-benar tidak membantu masalahnya.
"Ingatanmu itu luar biasa bahkan di luar bidang pembelajaran, ya."
"Pasti menjijikkan, bukan?"
"Eh?" Akane mengedipkan matanya pada Saito dengan kebingungan.
"Aku tahu itu. Ingatanku yang kuat ini… memang menjijikkan." Saito menunjukkan senyuman yang mencela diri sendiri. "Orang-orang di Keluarga Houjo semuanya memiliki kemampuan yang luar biasa. Shisei dapat melakukan perhitungan yang tidak masuk akal dalam sekejap, sedangkan ibunya dapat menghitung kesalahan di bawah satu mikron*, sementara aku punya ingatan dan kemampuan yang luar biasa dalam mengingat ini."
(TL English Note: Satu mikron itu sama dengan sepersejuta meter dan seperseribu milimeter.)
"Jadi itu seperti garis keturunan para jenius ya?"
Saito mengangguk.
"Iya. Karena aku mengingat detail terlalu jago daripada orang lain, baik orang tuaku maupun teman-teman sekelasku menutup diriku, memperlakukanku seperti penguntit."
"Jadi itu sebabnya kamu ingat apa preferensiku sebelumnya."
"Iya. Sudah jelas itu bukan karena aku ini menguntitmu."
Saito menyadari kalau ia mungkin harus lebih berhati-hati dalam hal itu. Tidak seperti ketika ia masih muda dan polos, Saito sekarang tidak terlalu peduli dengan pendapat orang tentangnya, tetapi ia tidak ingin merusak hubungannya dengan keluarga dan teman. Saat Akane berjalan di sebelah Saito, Akane menatap lurus ke depan.
"…Jujur saja, aku ini iri."
"Iri…?" Saito bertanya dan terkejut.
"Maksudku, tentu saja aku akan iri? Kalau aku punya ingatan yang bagus, aku mungkin tidak perlu belajar sekeras ini. Aku juga dapat mengingat apa yang disukai atau dibenci oleh orang lain, sehingga aku dapat memperlakukan mereka dengan lebih baik."
"Kamu… mencoba menghiburku kah…?" Saito meragukan suara yang masuk ke telinganya.
"Tidak sopan! Aku tidak mengajakmu berkelahi karena aku mau! Apa kamu ingin tenggelam ke dasar Teluk Tokyo!?" Akane melontarkan ancaman yang tidak kalian harapkan dari seorang siswi SMA, dan berjalan di depan Saito dengan bahu yang gemetar.
Akane masih agresif seperti biasanya. Namun, Saito merasa kalau langkahnya menjadi sedikit lebih ringan. Tampaknya Akane tidak menganggap Saito menjijikkan setelah pertandingan sebelumnya. Akane hanya kesal karena kalah, dan melampiaskan rasa frustrasinya pada Saito.
Teman-teman sekelas Saito tidak berkelahi dengannya seperti Akane, tetapi mereka menjauhkannya, dan menjaga jarak darinya. Mereka memperlakukannya seperti keberadaan yang tidak teratur, dan meninggalkannya sendirian. Namun, Akane tidak pernah sekalipun menjauhkan dirinya dari Saito. Dia terus-menerus mendekatinya, bertemu langsung dengannya, dan membiarkan percikan api terbang di antara mereka berdua. Saito tentu saja merasa kesal dengan hal itu, tetapi alasannya tidak merasa kesepian seperti saat SMA adalah karena Akane selalu ada di dekatnya. Orang pertama yang menyatakan Saito sebagai saingannya—bagaimanapun juga adalah Akane.