Bab 4Perasaan Terpendam
Memastikan bahwa Saito masih asyik dengan gim horornya, Akane diam-diam menutup pintu ruang tamu. Akane benar-benar berharap Saito berhenti memainkan gim menakutkan ini selama-lamanya, tetapi jika dia terlalu banyak ikut campur dengannya, akan ada perkelahian lain, dan dia tidak menginginkannya. Karena Saito tidak mempermasalahkan kesukaan Akane, dia memiliki kewajiban untuk menghargai Saito.
Dengan pemikiran ini, Akane memasuki ruang belajarnya sendiri, dan mengunci pintunya. Sudah waktunya untuk perencanaan strategi. Dia mengebut (boot up) aplikasi perpesanannya (L*NE), lalu menelepon Himari.
"Maaf membuatmu menunggu lama."
'Aku tidak menunggu sama sekali ~ Malahan, aku harusnya berterima kasih karena kamu telah meluangkan waktu untukku saat kamu sedang sibuk seperti ini.'
"Aku selalu bisa meluangkan waktu untukmu, Himari."
'Aku habis pergi ke Temjon, oke. Aku mencoba gim-gim semacam ini di mana kamu harus mengalahkan zombi, tetapi mereka cukup sulit untuk dikalahkan. Aku langsung mendapat GIM SELESAI (GAME OVER), jadi mungkin akan lebih murah untuk menghemat uang dan membeli konsol.’
"Kalau begitu, kamu boleh datang kemari dan..." Dia memulai kalimatnya, tetapi tidak lama menjadi terdiam sedetik kemudian.
Itu tidak boleh. Jika dia mengundang Himari ke rumahnya, akan sulit untuk menyembunyikan hubungannya dengan Saito. Jika Himari mengetahui tentang pernikahan Akane dengan Saito, dia mungkin tidak akan pernah berbicara dengannya lagi, dan Akane tidak akan sanggup menanggungnya.
"E-Em… kalau kamu ingin menemukan topik yang umum dengan Saito, mengapa tidak membaca beberapa buku yang ia suka saja?"
'Oh, betul juga ya! Aku penasaran buku macam apa yang ia suka, ya?’
"Sudah pasti buku mesum." Akane berbicara hanya menurut gambaran yang dia miliki terhadap Saito.
'Iya, bagaimanapun juga dia kan laki-laki. Aku rasa aku akan membeli beberapa buku mesum dari toko serba ada, dan membacanya!'
"Tunggu, bagaimana rencanamu untuk memulai percakapan dengan topik itu?" Akane merasa temannya mulai menapakkan kaki ke arah yang salah.
'Contohnya, "Apakah kamu menyukai hal semacam ini, Saito-kun?" atau “Bagaimana kalau kita mencoba ini pada kita berdua?”, kamu tahu?'
"Aku merasa sepertinya kamu melewatkan beberapa langkah di sana!"
'Benar! Ia mungkin cuma akan merasa jijik!’ Himari tertawa tanpa satupun kekhawatiran di dunia ini.
Hanya dengan mendengar tawa energiknya, pipi Akane menjadi rileks. Meskipun mereka hanya terhubung melalui panggilan telepon ini, rasanya seperti mereka berbicara sambil membelakangi satu sama lain. Tiba-tiba, Himari bergumam dengan suara malu-malu.
'Belum lagi... aku tidak ingin memulai dengan hal-hal mesum, tetapi berkencan di taman hiburan... dan hal-hal yang semacamnya.'
"…Iya."
Mendengar perasaan serius Himari, bahkan Akane pun tidak bisa apa-apa selain mengangguk. Sahabatnya itu memang serius. Dia jatuh cinta pada Saito, dan ingin Saito membalas cintanya. Akane sendiri tidak pernah mengalami perasaan yang seperti ini sebelumnya, tetapi dia menganggapnya sebagai sesuatu yang indah dan menakjubkan.
"Aku akan mencari tahu jenis buku yang disukai Saito."
'Terima kasih! Maaf telah meminta begitu banyak darimu.'
"Tidak apa-apa. Aku mendukungmu untuk memenangkannya sekarang, jadi serahkan saja padaku!" Dia menjawab dengan penuh percaya diri, memutuskan panggilan, kemudian meninggalkan ruang belajarnya.
—Tetapi, aku penasaran apa alasannya…
Dia memegang ponsel pintarnya dengan satu tangan, dan mulai berpikir-pikir. Menanyakan Saito secara langsung seperti itu tidak akan menjadi masalah, tapi dia tidak ingin disalahpahami, dan memberinya pemikiran yang salah kalau dia mungkin memiliki perasaan pada Saito. Yang lebih buruk lagi kalau Saito mulai melihatnya sebagai penguntit.
—Cowok itu selalu memandangku dengan rendah dan sombong...Meskipun ia kekanak-kanakan ketika ia tidak bisa bertaruh itu agak lucu.
Akane mengenang, dan tersenyum. Namun, dia langsung kembali sadar, dan menggelengkan kepalanya.
—Cowok itu tidak ada lucunya sama sekali! Cowok itu itu adalah musuhku!
Akane menilai bahwa diam-diam mencari-cari di rak buku Saito adalah metode teraman, jadi dia diam-diam mendekati ruang belajarnya. Dia dengan sembunyi-sembunyi memegang gagang pintu itu hingga terbuka satu inci, dan melihat ke dalam. Saito sepertinya tidak ada di dalamnya. Dia dengan hati-hati membuka pintu, menyelinap ke dalam, dan menutup pintu itu. Dia melihat sekeliling ruangan, mencari rak buku, hanya untuk menemukan buku catatan di atas meja. Tertulis di sampulnya, tertulis 'Catatan Super Rahasia' dengan huruf besar dan hitam.
—Catatan Super Rahasia…? Aku ingin tahu apa yang ia tulis di dalamnya…?
Rasa penasaran tumbuh di dalam diri Akane. Itu mencapai batas yang sudah tidak bisa ditahan lagi. Catatan ini seharusnya berisi informasi berharga tentang Saito, yang ia sembunyikan selama ini. Apa yang ia rencanakan? Mengingat ini Saito, itu tidak mungkin sesuatu yang biasa saja. Jika dia tidak mengetahuinya sekarang, dia mungkin akan menyesalinya nanti di sepanjang kehidupan bersama mereka.
—Mengintip sekilas saja seharusnya tidak apa-apa saja, kan?
Akane menelan ludah, dan membolak-balik halamannya. Di dalamnya, tertulis—
'Apakah kamu sebegitu tertariknya padaku?'
"………!" Akane hampir secara refleks langsung membuang catatan itu, hanya hampir saja menghentikan dirinya tepat waktu.
Jika dia melakukan itu, Saito akan segera mengetahui bahwa dia telah menyelinap ke kamarnya. Namun, kalimat itu terasa seperti Saito lihat menembus dirinya, dan foto dirinya di sebelahnya terasa sangat narsis, bahkan lebih menyengat lagi. Mau bagaimana lagi, gambaran dirinya yang Saito gambar sendiri membuatnya terlihat sangat tampan.
Dari halaman kedua dan seterusnya, itu berubah menjadi buku flip, menunjukkan Saito bertanya 'Apakah kamu sebegitu tertariknya padaku?' sambil menaikkan rambutnya.
—Apakah ia punya waktu luang sebanyak itu!? Ia bahkan tidak belajar di ruangannya sendiri, malah membuat buku flip seperti ini!? Ketika aku sedang belajar seperti hidupku bergantung pada hal itu?!
Akane dengan erat menggenggam 'Catatan Super Rahasia' (versi buku flip), bahunya bergetar karena marah, ketika dia mendengar suara di belakangnya.
"Ternyata cukup bagus, bukan?"
"Kyaaaaaa!?" Akane tersentak.
Berbalik arah, ada Saito yang sedang berdiri di sana.
"A-Apa yang terjadi! Tidak perlu sampai seterkejut ini juga, kan?"
"Tunggu! Kamu salah! Aku tidak tergabung dalam agensi intelijen mana pun!"
"Agensi intelijen…?" Saito bingung.
"Aku tidak akan tertipu semudah ini! Daripada jatuh ke tanganmu di sini, lebih baik aku melompat keluar jendela dan melarikan diri!"
"Tunggu dulu, santai saja, mengapa kamu panik seperti itu?" Saito menarik Akane, yang sudah bergerak untuk membuka jendela.
"Jangan pura-pura bodoh! Kamu menyiapkan catatan bodoh ini, dan memperkirakan bahwa aku akan menyelinap ke ruanganmu, bukan!?"
"Catatan-catatan itu seharusnya hanya coretan, tetapi... karena itu benar-benar tidak boleh dilihat siapapun, makanya aku menulis 'Catatan Super Rahasia' di atasnya."
"Eh… Jadi, kamu masih belum menyadarinya?"
"Menyadari apa?" Saito berkedip kebingungan.
Melihat wajah itu, Akane menghela napas lega. Dia tampaknya terlalu memikirkan hal ini.
"Iya… aku ingin kamu memberi tahuku beberapa buku yang menarik, kamu tahu. Apapun yang kamu baca baru-baru ini dan sukai juga tidak apa-apa."
Akane merasa bodoh karena tidak menanyakan ini secara langsung. Dia tidak ingin Saito menyerangnya, jadi dia mengambil jalan memutar yang agak merepotkan.
"Iya… aku membaca ‘Sejarah Manusia dari Sudut Pandang Pangan dan Prajurit’, dan itu membuatku tertawa." Saito meletakkan sebuah buku spesialis yang berat ke lengan Akane.
"Sangat berat! Apa kamu harus menertawakan ini!?"
"Aku berguling-guling di lantai, ya. Melihat bagian dari sejarah manusia yang sama sekali tidak melakukan apapun selama perang yang keras, semuanya tertulis di dalamnya."
"Kamu meremehkan segalanya, ya! Kamu pikir kamu itu siapa!"
"Pengamat dunia ini."
"Pe... ngamat…?"
Akane agak bingung, tapi dia tahu Saito bertingkah seperti mesias lagi. Dia merasa ingin mengembalikan buku berat ini pada Saito, tetapi itu bisa membantu penelitian Himari, jadi dia menerimanya.
"Ada yang lain? Buku yang sedikit lebih…ringan dan layak?”
"Kalau kamu ingin buku untuk menghabiskan waktumu, aku menyarankan 'Konflik Ubermensch dan Kebencian - Perjalanan Pemenang'."
Sekali lagi, Saito memberikan buku sampul keras (hardcover) yang tebal dan berat pada Akane. "Ubermensch dan Kebencian? Oh iya, kamu suka hal-hal yang berbau pahlawan seperti ini, bukan."
"Tidak, tidak sama persis. Ini adalah buku yang memperdebatkan tentang sejarah aktual dan masalah modern dalam kaitannya dengan cita-cita Nieztsche tentang Ubermensch."
"Ini sama sekali tidak ringan!"
"Apa, yang bahkan kamu tidak tahu tentang Tuan Nietzsche?"
"Iya, aku belajar tentangnya di pelajaran filsafat!" Akane merasa seperti Saito memandang rendah dirinya, jadi dia memprotes.
"Benar. Membicarakan tentang Nietzsche dan pemikirannya itu cukup kasar, tetapi dapat memiliki gambaran umum tentang masyarakat memang luar biasa, dan itu membuatku tertawa setiap saat."
"Mengapa kamu menertawakan masyarakat… Juga, apa maksudmu Tuan Nietzsche? Kamu sangat menyukainya, kah."
"Jauh lebih ramah daripada cuma memanggilnya Nietzsche, bukan?"
"Mengapa kamu sangat ramah dengan orang terkenal yang belum pernah kamu temui?"
Akane sekali lagi gagal memahami jalan pikiran Saito. Namun Saito sendiri tidak menanggapi hal ini, karena wajahnya biasa saja.
"Aku selalu menginginkan seseorang yang bisa diajak berbagi kesan denganku, mengerti. Waktu yang tepat. Ayo membacanya kapan-kapan dan katakan padaku apa yang kamu pikirkan tentang buku itu."
"Aku akan mencoba yang terbaik…"
Kepala Akane mulai sakit dari cuma memikirkannya saja, jadi dia dengan cepat pergi dari ruang belajar Saito dengan buku-buku itu di tangannya.
Duduk di ruang kelas 3-A, Himari menghela napas.
"Aku meminjam buku-buku yang kamu ceritakan dari perpustakaan, tetapi aku tidak paham apa-apa. Rasanya seperti sedang membaca buku dalam bahasa asing~"
"Ini nyaris sangat rumit, bukan… Itu bukan buku yang akan kamu baca untuk menghabiskan waktu…" Akane jatuh ke mejanya, akibat kelelahan.
Dia merasa tidak dapat dimaafkan karena mungkin ada sesuatu yang tidak bisa dia mengerti, jadi dia menghabiskan malam-malam terakhirnya dengan membaca buku, dan mencari tahu apa yang ada di dalamnya. Mendengar kata-kata Akane, Himari berkedip karena bingung.
"Hah? Kamu juga membaca buku-buku itu?"
"I-Iya…"
"Mengapa?"
"Mengapa… eh, begini…" Kata-kata Akane menyangkut di tenggorokannya.
—Karena aku tidak mau Himari saja yang membaca buku itu.
Tentu saja, tidak mungkin dia bisa mengatakan itu. Dia bahkan tidak tahu alasan mengapa dia merasa begitu lagi terhadap pemikiran itu. Saat dia mati-matian berusaha untuk menemukan jawaban ini di dalam dirinya, semua yang dia lakukan diikuti oleh perasaan suram, dan tidak pasti.
"Maafkan aku karena tidak bisa membantumu lebih dari ini. Harusnya aku meminta beberapa rekomendasi yang lebih sederhana."
"Tidak, tidak masalah! Kamu benar-benar membantuku! Kalau aku tidak mengerti maksud dari apa yang tertulis dalam buku ini, aku bisa langsung meminta Saito-kun memberi tahuku!"
"Eh?"
"Aku akan segera kembali! Terima kasih telah memberiku bahan pembicaraan!" Himari membawa buku itu ke sampingnya, dan berjalan menuju meja Saito.
Akane menghargai kemampuan Himari dalam bertindak dan keterampilannya dalam berkomunikasi. Mengakui kekalahannya dan meminta bantuan dari Saito adalah sesuatu yang tidak pernah bisa dia harap untuk melakukannya.
"Hei, hei, Saito-kun, kamu suka baca buku ini, kan? Aku sudah mencoba membacanya, tetapi ini terlalu sulit bagiku, jadi bisakah kamu membantuku sedikit?" Himari meletakkan buku seukuran batu ke meja Saito.
Sebagai respons, Saito dengan ragu mengangkat satu alis matanya.
"Kamu... bisa baca?"
"Bukankah itu terlalu kejam!? Aku mungkin bodoh, tetapi itu terlalu berlebihan!" Himari cemberut sebagai bentuk protesnya.
"Iya… maaf. Aku cuma sangat terkejut. Aku pikir gadis sepertimu tidak akan membaca hal-hal semacam ini."
"Ngo-Ngomong-ngomong, apa maksud dari bagian 'Kebencian' ini?"
"Coba cari di kamus saja?" Saito kembali ke kegiatan membaca mandiri.
Ia tidak bisa menahan diri bahkan terhadap gadis populer di kelas. Akane merasa ingin berteriak, "Sikap macam apa itu!?", tetapi dia juga tidak ingin membuat mereka berdua berpisah dan memperburuk keadaan. Himari hanya bisa menunjukkan senyuman masam.
"Aku sudah mencari maknanya selama satu jam penuh, menggunakan kamus dan penjelasan daring, tetapi aku masih belum sepenuhnya memahaminya."
"Satu jam penuh? Kamu benar-benar berusaha, ya." Saito mengangkat kepalanya dari bukunya.
"Ini membicarakan tentang sesuatu yang dirasakan oleh orang yang lemah terhadap orang yang kuat… tetapi ketika di situ dikatakan orang yang kuat, apakah yang mereka maksud itu mereka yang kuat secara fisik dalam pertarungan?"
"Kamu mungkin berbicara tentang permusuhan?"
"Eh, apa yang barusan itu!? Apakah itu sesuatu untuk dimakan, seperti wortel?"
"Bukan itu. Mengapa langsung mengarah ke makanan?*" Saito menghela napas, tetapi ia sendiri sepertinya menikmati hal ini.
(TL English Note: Seluruh percakapan ini tercipta karena Himari yang tidak bisa membaca kanji, tetapi menyampaikan itu dalam bahasa Inggris (dalam hal ini Bahasa Indonesia) dalam artian langsung itu hampir mustahil untuk dimengerti, jadi aku mengubahnya sedikit.)
Saito menutup buku yang sedang ia baca, dan menatap langsung ke wajah Himari.
"Misalnya, ada seorang siswa atau siswi yang tidak terlalu pintar."
"Kamu membicarakanku, bukan?"
"Tidak, siapa saja kok bukan kamu secara khusus. Mereka merasakan kemarahan dan penyerangan terhadap siswa atau siswi yang pintar, berpikir 'Mengapa ia sangat pintar? Tidak adil kalau ia dilahirkan dengan begitu banyak bakat. Alasanku dimarahi karena nilaiku yang buruk adalah karena ada siswa yang sangat baik sepertinya. Itu bukan karena aku belajar, tetapi itu salahnya. Mari kita semua membunuhnya bersama-sama', kamu tahu."
"Itu sangat egois!"
"Ini yang dimaksud kebencian. Kamu tidak bekerja keras untuk mengalahkan orang yang kuat, tetapi menganggap mereka sebagai orang jahat, dan membuat dirimu sendiri, orang yang lemah, tampak seperti orang yang adil dan benar. Itu sama dengan mengatakan 'Semua orang kaya itu bersalah!' atau 'Tidak adil kalau hanya dia yang sangat cantik!', kamu tahu." Saito mengangkat bahunya.
Mendengar penjelasan ini, mata Himari bersinar.
"Ahhhh! Aku mengerti! Itu sangat mudah dimengerti! Kamu sangat pandai dalam mengajari orang lain, Saito-kun!"
"Lagipula, aku itu seorang jenius." Saito menyombongkan dirinya, tapi ia menunjukkan senyuman yang tipis.
—Ia bertingkah sombong lagi…
Melihat dari kejauhan, Akane merasakan kemarahan yang menumpuk di dalam dirinya. Jika Akane berdiri di sana dan bukan Himari, dia akan memberi Saito hak penuh sekarang. Namun, Himari tidak menunjukkan kemarahan terhadap sikap sombong Saito, dan hanya menanyakan pertanyaan berikutnya sambil tersenyum. Saito juga tampak puas setiap kali memberikan jawaban.
"Himari itu hebat." Shisei berbisik, yang telah muncul di sebelah Akane tanpa dia sadari.
"Hebat… dalam hal apa?"
"Berurusan dengan Abang. Abang suka mengajar orang lain, dan sering diandalkan. Itu sebabnya Abang sudah merawat Shisei sejak aku masih muda."
"Itu masuk akal."
"Kamu harus belajar dari Himari, Akane."
"Me-Mengapa aku menjadi bagian dari percakapan ini sekarang!?" Akane bimbang.
"Kamu tidak bergantung pada Abang, bukan?"
"Ten-Tentu saja tidak… Harga diriku tidak mengizinkanku untuk bergantung padanya, dan aku tidak ingin ia berpikir kalau ia lebih baik dariku."
"Abang akan lebih senang jika kamu melakukannya."
"Me-Mengapa aku harus membuatnya senang!?"
"Kamu tidak mengerti kah?" Shisei memiringkan kepalanya.
"Aku rasa tidak, ya!"
Akane tidak mengerti mengapa wajahnya mulai memanas.
"Tidak apa-apa kalau begitu. Selamat tinggal." Shisei menjauh dari bangku Akane, dan diseret keluar ruangan oleh sekelompok gadis.
Mereka bahkan sampai memasukkan roti kukus ke dalam mulutnya sehingga Shisei tidak bisa berteriak minta tolong.
(TL Note: Kasihan banget nih anak.)
Baru-baru ini, seorang gyaru di kelasnya sering menghampiri dan meminta penjelasan Saito tentang buku-buku. Hari ini seperti biasanya, Saito berdiri di lorong, mencoba memberikan sebuah jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh Himari.
"Jadi pada dasarnya, 'Ubermensch' ini sebagaimana yang Nietzsche sebutkan sebenarnya bukanlah seseorang berkekuatan super, melainkan seseorang yang berfokus pada apa yang ingin ia lakukan, dan tidak menghindar dari upaya yang diperlukan, menemukan caranya sendiri tidak peduli bagaimana caranya."
"Jadi seseorang seperti Akane?"
"Aku rasa kamu bisa memanggilnya 'Ubermensch', iya."
Kalah bersaing dengan Saito selama dua tahun berturut-turut dalam urusan nilai pasti membuatnya semangat, dan bahkan menurunkan motivasinya. Namun, Akane tidak menyerah. Dia bersumpah suatu hari nanti pasti akan mampu mengalahkan Saito, dan bekerja keras untuk hal itu setiap hari.
—Sekarang, kalau aku pikir-pikir lagi, dia benar-benar luar biasa
Kalau Saito berada di posisi yang sama dengan Akane, ia mungkin sudah melempar handuk. Dia akan menempatkan dirinya pada alas yang benar, mengatakan sesuatu seperti 'Ini tidak efisien' atau 'Tidak dapat mengatasi kesenjangan bakat'. Karena Akane tidak membuat alasan ini untuk dirinya sendiri, dia adalah orang yang kuat, tidak diragukan lagi. Meskipun itu mungkin melelahkan.
"Aku sudah cukup mengerti semua yang membuatku bingung tadi malam! Terima kasih banyak!"
"Mengapa kamu bahkan membaca buku ini? Buku bergambar akan jauh lebih cocok buatmu."
"Ahh, kamu memperlakukanku seperti orang bodoh lagi!" Himari cemberut.
"Aku berusaha untuk menjadi perhatian di sini. Aku rasa membaca buku dengan huruf saja seperti ini pasti membosankan."
"Tidak masalah sama sekali! Meskipun kepalaku mulai kelieungan setelah kurang lebih lima menit membaca!"
"Itu pasti terdengar seperti masalah bagiku, kamu tahu?"
"Mudah saja! Terkadang aku merasa kesadaranku kosong begitu saja, tetapi itu bukanlah masalah besar!"
"Rawat dirimu lebih baik lagi, oke."
Saito masih belum bisa memahami maksud Himari membaca semua ini. Ini pastinya bukanlah jenis genre yang akan dibaca oleh seorang siswi sepertinya, namun dia tampak sangat menyukainya dan senang dengan segala penjelasan yang diberikan oleh Saito padanya. Meskipun dia jelas-jelas memaksakan dirinya, sepertinya tidak tampak seperti itu sama sekali.
"I-Iya, kamu tahu, terkadang aku ingin membaca sebuah buku yang sedikit lebih serius, itu pastinya akan memberiku pengalaman hidup yang berharga, bukan? Mungkin itu akan membantu menaikkan nilaiku sedikit?"
“Bahkan kalau kamu membenamkan gigimu ke dalam buku begini, aku ragu kalau itu akan membantu ujian-ujian SMA."
"Pokoknya, terima kasih, ya! Maaf karena aku selalu mengganggumu!" Himari menepuk tangannya bersamaan, dan menundukkan kepalanya.
Dia mungkin terlihat seperti seorang gyaru yang buruk dari luar, dengan penampilan mencolok yang kamu harapkan, tetapi tidak seperti gyaru-gyaru pada umumnya, dia peduli, dan sangat sopan.
"Kamu tidak merepotkan kok. Mengobrol denganmu itu menyenangkan."
"Eh? Be-Benarkah…?"
"Suer dah."
"A-Ahaha… sedikit memalukan mendengarmu mengatakan hal itu." Himari menggaruk pipinya.
Lehernya, yang memiliki kalung yang dipasangi di bawahnya, berubah menjadi sedikit merah. Saito tidak punya niat tertentu saat mengatakan hal itu, tetapi melihat reaksi yang Himari pasang membuat Saito juga merasa malu.
"Tetapi, selalu memberi tahuku pasti merepotkan, bukan?"
"Aku tidak suka memberi tahu orang lain. Dan, bagaimanapun juga, aku berutang budi padamu."
Himari menatap Saito dengan tampang bingung.
"Utang budi? Apa aku menyelamatkan beberapa kerabatmu tanpa menyadarinya? Ataukah aku menyelamatkan nyawa seseorang?"
"Memang bukanlah masalah besar sih ...Meskipun begitu, aku rasa kamu telah menyelamatkan nyawaku." Saito mengarahkan pandangannya ke arah ruang kelas.
Dia bertatapan mata dengan Akane yang sedang melirik ke arah mereka, tak lama dia mengalihkan pandangannya lagi.
"Ketika aku dan Akane bertengkar, kamu selalu datang untuk melerai kami, bukan?"
"Aku cuma tidak bisa saja melihat orang bertengkar..."
"Berkat hal itu, kamu menyelamatkanku beberapa kali. Tanpa adanya dirimu, aku pasti sudah mati saat ini." Saito merasakan rasa terima kasih yang murni saat dia menjelaskannya.
"Yang-yang benar saja saat ini, kamu tidak perlu berterima kasih padaku karena hal itu!" Himari jadi bingung, dan menarik tubuhnya ke belakang.
Karena hal itu, Himari menabrak seorang siswa yang berjalan menyusuri lorong. Menghindari yang berikutnya, dia sekarang menabrakkannya ke bahu Saito.
"Ah, ma-maaf."
"Tidak masalah…"
"Ahh, ya ampun, apa sih yang aku lakukan! Ini sangat memalukan~." Himari meletakkan telapak tangannya ke pipinya yang memerah, sambil terkikik.
Biasanya dia selalu dipenuhi dengan energi, tetapi Saito menyadari bahwa Himari memiliki sisi dan ekspresi feminim. Dia menyatukan tangannya, dan melanjutkan kata-katanya.
“Tetapi, Akane itu bukan gadis nakal loh, kamu tahu? Dia yang memberi tahuku tentang buku-buku yang kamu suka."
"Mengapa dia mau melakukan itu?"
"Ah…Iya, aku cuma ingin mengobrol denganmu lebih banyak lagi. Aku rasa aku mungkin akan dapat lebih memahamimu kalau aku membaca buku-buku yang kamu sukai."
Itu tampak seperti Himari tertarik berteman dengan Saito. Merasa sedikit bingung, Saito menggaruk-garuk pipinya.
"Aku senang mendengarnya, tetapi…kamu tidak perlu memaksakan dirimu atau semacamnya, oke?"
"Aku tidak memaksakan diriku kok! Aku mungkin orang yang bodoh, tetapi aku akan memahaminya dengan baik kalau kamu menjelaskannya padaku. Tidak bisa melihat hal-hal yang kamu lakukan itu... akan menyedihkan."
"Begitukah cara kerjanya?"
"Begitulah cara kerjanya… Dengan orang yang seperti itu, kamu ingin melihat pemandangan yang sama." Himari menyatukan kedua tangannya di depan dadanya, dan membisikkan sesuatu dengan kepalanya menghadap ke bawah.
Ketika Himari menatap Saito lagi, tatapannya terasa penuh pesona, dan memikat. Aroma parfumnya, Saito menjadi lebih sadar akan hal itu. Himari sedikit panik, dan kembali ke topik pembicaraan.
"Ngo-Ngomong-ngomong, Akane itu gadis yang baik! Ketika aku diganggu waktu SD, dialah orang yang menyelamatkanku."
"Ada orang yang mau merundungmu…? Aku rasa seperti sebaliknya mereka yang akan dipukuli oleh seluruh kelas…"
"Kamu pikir aku ini siapa, sih?" Himari memberi Saito tatapan merasa terganggu.
"Penguasa kelas, kan?"
"Itu tidak benar! Saat ini, aku mungkin bergaul dengan semua orang, tetapi kala itu aku buruk dalam berurusan dengan orang lain. Karena aku tampak berbeda dari mereka, aku menonjol secara negatif." Himari meletakkan satu tangannya ke rambut pirangnya yang indah, sambil menunjukkan senyuman masam.
Seperti yang Himari katakan, kalau kamu menggunakan mode (fesyen) semacam ini sejak SD, kamu akan tampak menonjol dari kerumunan, dan diperlakukan sebagai orang luar.
"Tetapi aku tidak membenci penampilanmu."
"Eh, be-benarkah?"
"Iya. Ada banyak orang yang tidak akan tampak ayu dengan rambut pirang, tetapi itu sangat cocok buatmu. Selera fesyenmu juga bagus, jadi kamu tahu cara membuat dirimu tampak lebih menarik."
"Te-Terima kasih…"
"Iya, aku ragu itu akan sangat berarti, karena itu datang dari seorang cowok yang tidak masuk akal sama sekali." Saito mengangkat bahunya.
"Tidak kok, dipuji oleh Saito-kun… membuatku bahagia." Pipi Himari berubah menjadi merah muda samar, saat dia tersenyum.
Saito benar-benar berharap kalau Himari tidak akan mengatakan hal semacam ini secara blak-blakan. Mudah bagi seorang cowok untuk salah memahami kebahagiaannya, dan mengubahnya menjadi beberapa potensi kasih sayang romantis terhadap dirinya.
"Kamu dan Akane benar-benar mirip satu sama lain."
"Dari mananya?"
"Ketika aku dirundung, Akane juga mengatakan hal yang sama. 'Warna rambut Ishikura-san indah', mengerti. 'Semua orang yang berbicara buruk tentang itu tidak masuk akal', katanya."
"Pada para perundung?"
"Secara langsung di dalam ruang kelas. Itu seperti pernyataan perang, dan itu sangat keren…" Himari berbicara seperti dia mengagumi seorang pahlawan yang menyelamatkannya.
"Tetapi aku yakin dia cuma mengatakan apa yang dia pikirkan, sih."
"Mungkin saja." Himari tertawa terbahak-bahak. "Karena dia melindungiku, Akane juga dirundung, mejanya penuh coretan dan hinaan tertulis, tapi dia sendiri yang mencari pelakunya, dan memberi mereka perhatian yang buruk setelahnya."
"Itu menyebalkan…"
"Iya, Akane saja sampai mengalami kesulitan."
"Aku sebenarnya lebih bersimpati dengan para pelakunya."
"Mereka!?"
"Mendapati mereka, Akane mungkin membuat mereka menyesal dilahirkan ke dunia ini, pasti sangat keras."
"Ahh, aku penasaran…Ahaha…"
Itu persis seperti yang Saito bayangkan.
"Akhirnya, mereka semua terlalu takut untuk merundung seseorang lagi, tetapi Akane juga akhirnya terasingkan. Berkat Akane, aku terselamatkan. Itulah sebabnya...Akane itu penyelamatku yang berharga. Aku ingin dia bahagia, apapun yang terjadi." Himari memandang Akane yang duduk di kelas dengan tatapan seorang kakak yang peduli.
Saito sekali lagi berpikir kalau Akane itu orang yang lantang dan tidak peduli dalam hal ketidakberuntungannya sendiri. Dia juga tidak bisa menyembunyikan perasaannya sendiri. Entah itu terhadap orang-orang yang merundung orang lain, atau mereka yang membuat orang lain menderita. Dia hanya mengerahkan pada tenaga ini, pada keyakinan ini, dan dengan canggung melangkah maju. Dia seperti seekor naga yang ceroboh, dan berwarna merah tua seperti yang disarankan oleh namanya*.
(TL Note: Kanji 'Aka' pada nama Akane adalah variasi untuk kata 'Merah'.)
"…Iya, dia berbahaya kalau kamu tidak berada di dekatnya."
"…Iya." Himari menyejajarkan bahunya dengan bahu Saito, dan bergumam.
Akane mengerutkan alisnya. Selama menit yang sedang hangat sekarang, mereka berdua hampir saja terlalu dekat. Mereka saling berbicara satu sama lain, tersenyum satu sama lain, bahu mereka hampir bersentuhan. Mereka bahkan terlihat cukup dekat untuk menjadi sepasang kekasih.
—Apa sih yang mereka berdua bicarakan…?
Akane tidak bisa mendengar percakapan mereka dari dalam ruang kelas. Karena dia tidak ingin menghalangi Himari, dia juga tidak bisa mendekati mereka.
"Apa kamu penasaran dengan Abang dan Himari?"
"!?"
Shisei tiba-tiba bertanya pada Akane tanpa peringatan apapun, membuat Akane hampir terjatuh dari bangkunya. Akane meletakkan tangannya di jantungnya yang berdebar kencang, dan memperbaiki postur tubuhnya.
"A-Aku tidak penasaran, kamu tahu… Aku hanya merasa kalau aku belum pernah melihat wajah itu pada Himari sebelumnya."
Itu adalah wajah seorang gadis yang kebingungan. Pipinya berwarna merah samar, disebabkan oleh rasa malu, dan matanya terpejam karena mengantuk, namun dipenuhi dengan panas. Wajah Himari ketika dia mengobrol dengan Saito jauh lebih manis ketimbang wajah apapun yang dia tunjukkan saat mengobrol dengan Akane. Pasti warna cinta yang mengubahnya menjadi seperti ini.
"Ini bukan pertama kalinya dia begini. Saat Himari melihat Abang, dia juga memasang wajah begitu."
"Benarkah?" Akane memberikan reaksi terkejut, dan Shisei menganggukkan kepalanya.
"Himari sudah seperti ini sejak masa kelas sepuluh kita. Apa kamu tidak pernah menyadarinya, Akane?"
"A-Aku tidak tahu tuh…" Akane tidak punya kata-kata untuk menjawabnya.
Akane merasa sedikit terkhianati mengetahui tentang sahabatnya dari orang lain.
"Abang dan Himari itu sangat cocok satu sama lain."
"A-Apakah mereka benar-benar cocok? Aku merasa gadis yang cantik seperti Himari disia-siakan oleh cowok itu."
"Karena Himari itu baik dan lembut, dia akan menerima bagian egois dari Abang, dan kedekatan mereka sangat hebat. Shisei tidak pernah melihat keduanya bertengkar sebelumnya."
Dengan tatapan yang dapat melihat segalanya, Shisei mengamati Akane dengan cermat.
"A-Aku sih tidak peduli."
"Jadi, mengapa kamu sekarang berada dalam suasana hati yang buruk?"
"Aku tidak kok!"
Akane merasa senang karena Himari mampu bergaul dengan Saito, dari lubuk hatinya yang paling dalam. Dengan begini, dia telah membantu Himari. Dia berhasil membuat Himari bahagia. Namun, perasaan suram apa yang ada jauh di dalam dirinya? Perasaan tidak nyaman yang tumbuh dalam diri Akane ini membuatnya gelisah, dan kebingungan. Itu adalah perasaan yang sama yang dia rasakan ketika dia melihat Shisei berpegangan pada Saito. Seperti yang Shisei katakan, mungkinkah ini perasaan cemburu?
—Ti-Tidak mungkin! Kita sedang membicarakan Saito, kamu tahu!? Kami itu bermusuhan, dan aku membencinya lebih dari siapapun di dunia ini! Mengapa aku merasa cemburu karena seseorang yang tidak bisa aku dukung!?
Akane dengan panik menggelengkan kepalanya. Ini merupakan imajinasinya, tidak lebih dari itu. Menerimanya lebih dari itu…dia terlalu takut untuk melakukannya.
Jam pelajaran berakhir untuk hari ini. Setelah Saito meninggalkan ruang kelas, Himari melompat ke arah Akane tanpa ragu-ragu.
"Terima kasiiiiih! Aku bisa banyak mengobrol dengan Saito-kun hari ini!"
"Se-Selamat buatmu…"
Sementara Akane merasakan payudara Himari yang diberkati dengan baik menekannya, Akane mengucapkan kata-kata syukur yang jujur. Dia sendiri benar-benar menikmati serangan payudara ini, tetapi tercekik olehnya itu benar-benar masalah yang berbeda.
"Saito-kun bilang kalau aku menyelamatkan nyawanya, dan ia bahkan memuji penampilanku, berkata kalau ia menyukainya! Bukankah ini berjalan dengan lancar? Hei, bagaimana menurutmu?" Himari mendesak Akane saat matanya memancarkan kegembiraan.
"Memuji penampilanmu…Saito melakukan hal itu?"
Mendapati cowok bajingan dan bodoh itu, Akane sulit membayangkan kalau kata-kata ini bisa keluar dari mulutnya.
"Iya! Dia bahkan bilang kalau rambut pirangku terlihat cocok buatku, dan menyebutkan kalau aku punya selera fesyen!"
"…………"
Saito tidak pernah bilang pada Akane hal semacam itu, atau begitulah yang membuat dirinya berpikir. Tentu saja, Akane juga tidak ingin Saito melakukannya. Hanya saja...Akane sendiri cukup sadar diri untuk tampak bergaya, dan dia menghabiskan banyak waktu untuk menata rambutnya. Bahkan di rumahnya saja, dia tidak pernah sekalipun membuat rambutnya berantakan, selalu siap siaga sehingga dia tidak akan menunjukkan rasa malu di depan Saito. Namun, Himari itu satu-satunya orang yang menerima pujian semacam ini darinya. Mengapa? Perasaan cemburu terus tumbuh di dalam diri Akane.
"Bukankah ini pertanda baik? Benarkan? Bagaimana menurutmu?"
"Em…iya…Aku tidak terlalu paham soal cinta, tetapi dalam skala suka dan tidaknya, kalian pasti menuju ke spektrum yang sama."
"Baik! Aku tahu itu! Ahh, aku sangat menyukai Saito-kun! Aku mencintainya!" Himari merangkulkan kedua lengannya, berputar dan membalik tubuhnya.
"Hei, kamu terlalu banyak menjerit. Bagaimana kalau seseorang mendengarmu?"
"Ah…maaf, aku sangat bahagia." Himari menunjukkan senyuman yang malu-malu, dan memelankan suaranya.
Melihat Himari kehilangan dirinya dalam teriknya panas saat itu merupakan pemandangan yang langka.
"Karena kamu sudah banyak membantuku, aku harus membalas kebaikanmu ini, Akane."
"Kamu tidak perlu melakukannya, aku tidak berbuat banyak kok."
"Tidak, itu semua berkatmu! Aku akan membeli kue tar stroberi 'Philia', jadi mari kita bersantai di rumahmu sebentar dan mengobrol-obrol!"
'Philia' merupakan nama toko manisan yang sangat disukai oleh Akane, terutama kue tar stroberi yang mereka jual di sana. Secara refleks, Akane melompat ke arah Himari.
"Kedengarannya bagus! Sudah lama sekali sejak kita nongkrong bareng......ya." Akane meletakkan telapak tangannya di mulutnya karena terkejut.
Saito sekarang tinggal di rumahnya. Akane punya pilihan untuk mengusirnya selama Himari menginap, tapi begitu Himari melihat barang-barang pribadi Saito, semuanya akan berakhir. Karena hal itu, kalau dia mengajak Himari ke rumahnya yang lama, semua barang pribadi Akane sekarang tidak ada, jadi Himari akan segera mengetahuinya hanya dengan melihat kamar Akane yang kosong.
—A-Apa yang harus aku lakukan tentang ini!?
Akane hampir tidak tahu lagi. Darah mengalir deras ke kepalanya, dan dia tidak tahu mesti berbuat apa. Bahkan kemampuan berpikir dan belajarnya yang cepat tidak banyak membantunya dalam hal ini. Pada akhirnya, dia dengan putus asa mencari alasan.
"Saat ini… rumahku berubah menjadi rawa yang dalam, jadi aku tidak bisa mengajak siapapun ke sana."
"Bagaimana bisa kamu tinggal di sana sekarang!?" Himari berteriak karena kaget.
Akane tidak berpikir sampai sejauh itu, jadi dia panik.
"To-Tong..."
"Tong…?"
"Membagi tong itu menjadi dua, aku menggunakannya seperti perahu saat aku mengambang di atas air..."
"Kamu berbohong padaku sekarang, iya kan!?"
(TL Note: Makanya kalau bohong yang niat, wkwk.)
Mata Akane melihat ke sekeliling tempat.
"Benar… Saat hujan, bagian dalam tong penuh dengan air, dan aku hampir tenggelam…"
"Kamu bahkan tidak punya atap!? Kamu harus segera pindah dari sana, kamu tahu!?"
"Ini merupakan rumahku tersayang yang sudah aku tempati selama bertahun-tahun… Aku tidak akan kalah melawan penggusuran yang datang…" Akane sendiri bahkan tidak tahu apa yang dia katakan lagi.
Himari cuma menunjukkan ekspresi sedih.
"Apakah kamu tidak ingin aku datang sampai segitunya? Shisei-chan mendatangiku, membual tentang bagaimana dia mengunjungi rumahmu sebelumnya…"
(TL Note: Shisei Laknat. Untuk kawaii, jadi Mimin maafin.)
"Eh!?" Akane bingung. "Ja-Jadi…apakah kamu juga mendengar…tentang orang itu?"
"Orang itu?"
"Itu… em…"
"Semua yang Shisei-chan bilang padaku hanyalah bahwa dia pergi ke rumah barumu, dan bahwa kamu menyajikannya makan malam yang lezat, cuma itu."
Akane menghela napas lega. Tampaknya Shisei tidak membocorkan apapun tentang pernikahannya dengan Saito pada Himari.
"Maaf, hanya saja aku tidak ingin kamu datang dulu… keadaannya masih sedikit berantakan saat ini, dan semuanya sedang direnovasi kecuali bagian ruang tamu, jadi itu cuma sedikit memalukan."
"Apakah aku... mengganggumu?" Himari menunjukkan ekspresi bermasalah, saat dia melihat Akane.
Kalau terus begini, persahabatannya dengan Himari akan terancam hancur.
"Kamu tidak menggangguku! Aku akan senang kalau kita bisa nongkrong! Kita cuma bisa menggunakan dapur dan ruang tamu, jadi kalau kamu setuju dengan hal itu…"
Wajah Himari berseri-seri.
"Tentu saja! Mari kita beli kue tar stroberi dalam perjalanan pulang juga!"
"Aku akan mengirimkan alamatku nanti… jadi bolehkah aku pulang duluan?"
"Eh? Aku sih tidak masalah."
"Terima kasih…"
Sebelum Himari datang ke rumahnya, Akane pertama-tama harus mendiskusikan semua hal dengan Saito, dan melakukan bersih-bersih. Kalau dia menyuruh Saito tetap di ruang belajarnya, kemungkinan ia bertemu dengan Himari seharusnya akan rendah.
—Ini akan baik-baik saja, semuanya akan berhasil.
Akane mengepalkan tangannya, dan meyakinkan dirinya sendiri.
"Haaaaah!? Himari akan mampir ke sini untuk bertamu!?" Saito menjerit, awalnya itu meragukan bagi telinganya.
"Aku cuma tidak bisa bilang tidak… Karena aku sibuk dengan pernikahan kita, kami tidak punya banyak waktu untuk melakukan hal-hal bersama, dan aku tidak ingin Himari berpikir bahwa aku bosan dengannya atau semacam itu…"
"Apakah kamu sendiri sadar apa yang sudah kamu lakukan? Dunia akan berakhir."
"Apakah insiden ini akan sebesar itu!?"
"Dunia kita akan berakhir. Himari punya banyak teman, jadi seluruh sekolah akan segera mengetahui kalau kita sudah menikah."
Saito tidak melihat Himari sebagai tipe orang yang akan menyebarkan sesuatu yang bersifat pribadi seperti itu begitu saja, tetapi orang-orang bisa saja berbuat salah, jadi jika dia ceroboh sekali saja, tidak ada jalan untuk kembali. Akane tahu tentang hal ini, dan memegang ujung roknya.
"Shisei-san yang berbual pada Himari tentang telah berkunjung ke rumahku sebelumnya, jadi dia akhirnya iri…Aku juga tidak bisa memberikan perlakuan khusus pada Shisei-san…"
Saito menghela napas lelah.
"Kalau Shisei adalah biang dari kekacauan ini, maka aku juga harus disalahkan. Seharusnya aku pastikan kalau dia tidak akan membuka mulutnya."
"A-Apa kamu akan membunuh Shisei-san…?" Akane menelan ludahnya sendiri.
"Aku tidak akan melakukan sesuatu yang begitu kasar. Aku cuma akan menyuapnya dengan roti kukus setiap hari."
"Apakah dia akan puas cuma dengan satu saja..."
"Dia mungkin akan ragu-ragu, ya."
Kerakusan Shisei berada di alam keberadaan berbeda sama sekali. Dia mungkin dapat memakan seribu roti kukus setiap hari. Saito akan bangkrut jika ia benar-benar melakukan hal itu. Ekspresi Akane menegang.
"Aku akan membereskan semua barangmu dari ruang tamu biar dia tidak curiga. Aku juga akan menggunakan deodoran untuk menghapus semua aromamu yang tertinggal."
"Apakah aromaku itu biang dari semua kejahatan atau semacamnya?" Saito mulai merasa tertekan.
"Kalau bisa, aku ingin kamu tetap di ruanganmu, tetapi aku tidak tahu kapan Himari akan pulang… Belum lagi kamu harus tidur di luar kalau dia menginap."
"Aku tidak mau tidur di luar. Aku akan menginap di rumah Shisei kalau itu terjadi."
"Di rumah Shisei-san… Kalian akan mandi bersama dan tidur bersama, bukan?" Akane memberi Saito wajah yang muram.
"Jika orang tua Shisei yang memintaku, bagaimana bisa aku menolaknya di sana?"
Di saat yang sama, orang tua Shisei tidak bisa menolak keinginan putri tercinta mereka. Selama Saito mendapatkan bantuan di kediaman itu, ia akan terikat pada posisi di mana ia tidak dapat menolak permintaan Shisei apapun itu.
"Kalau begitu jangan! Merupakan sebuah kejahatan, tidur bersama dengan seorang gadis kecil!"
"Dia seusia denganmu."
"Itu tidak ada hubungannya dengan ukuran tubuh! Jangan tidur di luar! Sampai Himari pulang, kamu akan tetap di ruang belajarmu di lantai dua!" Bahu Akane naik turun sambil marah.
"Baiklah kalau begitu. Aku agak khawatir perihal pergi ke toilet sih, tetapi...dengan begini, semuanya akan beres." Saito mengambil botol air kosong yang baru saja ia minum.
"Tunggu, apa yang kamu rencanakan dengan botol itu?"
"Menggunakannya untuk keadaan daru—."
Akane menutup telinganya.
"Lupakan saja, aku tidak mau mendengarnya lagi. Beri aku isyarat kalau mau ke toilet, dan aku akan pastikan situasinya aman."
"Aku mengandalkanmu. Keberhasilan misi ini bergantung padamu. Kalau kamu gagal…"
"Aku tidak akan gagal, aku pastikan!" Akane menunjukkan ekspresi dengan penuh tekad.
Dia tentu saja takut akan kemungkinan datangnya kegagalan yang Saito bicarakan. Dia dengan cepat mengambil botol plastik itu dari Saito, dan membuangnya ke tempat sampah.
"Himari bilang dia akan sampai ke sini sekitar pukul 5 sore, kita masih punya waktu. Kita cuma perlu bersih-bersih sedikit, dan—"
Tepat saat Akane sampai di tengah kalimat, bel pintu berbunyi. Mereka berdua membeku seperti patung es. Sebuah harapan samar membara di dalam diri mereka, mereka berdua memohon agar badai akan berlalu selama mereka tidak bergerak. Namun, bel pintu berdering sekali lagi, benar-benar menghancurkan percikan kecil yang tersisa.
"Mungkin kamu yang harus… menjawabnya?"
"Ka-Kamu saja yang pergi, Saito…"
"Bagaimana kalau itu Himari, hah!?"
"Be-Benar juga…" Akane secara perlahan dan hati-hati menekan tombol monitor di interkom.
Yang ditampilkan di layar itu adalah Himari, yang menunjukkan senyuman yang lebar.
"Aku sangat bersemangat sampai-sampai aku datang lebih awal dari yang kita putuskan! Mungkin aku seharusnya tidak melakukannya ya?"
"Tidak apa-apa kok, sungguh." Akane menjawab dengan suara robot, dan menekan tombol monitor untuk mematikan layarnya.
Keheningan memenuhi ruang tamu itu. Saito dan Akane saling memandang satu sama lain, wajah mereka pucat dan kusut. Otak dari dua siswa-siswi peringkat teratas di angkatan mereka langsung membeku, dan berhenti bekerja. Orang yang pertama kali bergerak itu Akane, saat dia mulai berlarian.
"Ce-Cepatlah dan sembunyikan jejak kalau kamu tinggal di sini! Sambil aku melakukannya, aku hanya bisa menghapus semua keberadaanmu!!"
"Jangan bunuh aku begitu saja!" Saito memprotes saat ia mengambil buku yang ia tinggalkan di atas meja.
Mencoba berlari menuju ke kamar mandi, Akane menabrak dinding, kembali ke dapur untuk mengeluarkan cangkir dan mangkuk nasi Saito dari rak peralatan makan, dan tak lama tersandung ke sana juga. Meninggalkannya sendirian saat dia panik kalau ini akan berakhir fatal. Dalam skenario terburuk, Akane mungkin menghancurkan setengah dari rumah ini.
"Aku yang akan melakukan bersih-bersih! Kamu tahan saja Himari agar tidak masuk rumah dulu!"
"Di-Dimengerti!" Akane bergegas menuju pintu masuk.
Dari sana, Saito cukup cepat dalam mendengar suara dan kata-kata yang dituturkan di antara Akane dan Himari. Pada saat yang sama, Saito mengambil semua yang bisa ia temukan yang dapat menunjukkan keberadaannya, seperti konsol gim, dan juga dompetnya. Karena ia tidak punya waktu untuk berlari ke lantai dua dan turun lagi, ia cuma memasukkan semuanya ke dalam lemari ruang tamu.
"Rumah ini sangat indah. Apa ini bangunan baru?"
"I-Iya."
"Ibu dan ayahmu pasti sudah sangat bekerja keras!"
"Kakek-nenekku... memberi mereka uang..."
Suara kedua gadis itu mulai mendekat ke ruang tamu.
—Mengapa dia sudah membiarkan Himari masuk!?
Saito semakin panik. Entah Akane berasumsi kalau Saito sudah selesai membereskan semuanya, atau dia tidak bisa menahan Himari lebih lama lagi. Kalau Saito ingin naik ke lantai dua dan ruang belajarnya, ia harus lewat lorong di luar ruang tamu. Dengan melakukan hal itu, ia akan bertemu dengan Himari dan Akane. Ia punya pilihan untuk melarikan diri ke kebun, tetapi pintu masuknya terkunci, jadi ia tidak akan bisa masuk lagi.
Bahkan saat ia memikirkan cara untuk melarikan diri, langkah kaki kedua gadis itu semakin dekat. Daun pintu diputar, dan Saito menggunakan pilihan terakhirnya dan masuk ke dalam lemari. Ia menyakiti tubuhnya di beberapa bagian tubuh saat melakukan hal itu, tetapi ia berhasil menjaga lemari tetap berdiri kokoh.
Ia menutup pintu dari dalam, dan mencoba mengendalikan napasnya yang panik. Sekarang karena sudah seperti ini, ia terpaksa menunggu di dalam lemari sampai Himari benar-benar meninggalkan ruang tamu. Dari celah kecil di antara pintu, ia mengintip ke dalam ruang tamu. Saat masuk, Himari meletakkan kotak putih di atas meja.
"Jarang sekali aku tidak perlu mengantre untuk mendapatkan kue tar stroberi dari 'Philia'. Itu membuatku dapat menghabiskan lebih banyak waktu denganmu, jadi aku beruntung sekali!"
"Mungkin hari ini bukan hari yang begitu melelahkan…" Akane menunjukkan ekspresi kebingungan.
Akane jelas menganggap hal ini lebih dari sebuah kesialan. Dia mulai menyiapkan teh di dapur, tetapi gerakannya itu canggung dan tampak tidak nyaman. Kamu tidak perlu sepeka Himari untuk menyadari kalau ada yang aneh. Setelah menggigit kue tar stroberi itu, ekspresi Akane langsung meleleh menjadi satu.
"Sangat enak…!"
"Memang benar~!"
Akane dan Himari saling tersenyum satu sama lain.
"Krim ini rasanya paling enak. Ini sangat kental dan manis, tetapi tidak menghalangi jelasnya rasa stroberi. Mereka juga menggunakan stroberi yang lezat, aku dapat merasakan adanya cinta di dalam kue tar ini."
"Kamu sangat ketat dalam hal stroberi ya, Akane." Himari menyeringai saat Akane menyipitkan matanya karena gembira.
Sebagai respons untuk hal itu, Akane mengangkat dagunya.
"Tentu saja. Dasar dari semua manisan ialah stroberi…Bukan, maksudku dari semua masakan, aku berani mengatakannya! Tidak berlebihan untuk mengatakan kalau sel kita juga terbuat dari stroberi!"
"Yep, aku benar-benar paham~!"
Suasana ceria yang memenuhi ruangan itu. Saito kesulitan menahan keinginan untuk membalas pembicaraan yang kacau ini, saat Himari menyesap teh hitamnya, dan meletakkan cangkirnya kembali.
"Mungkin seharusnya aku sedikit mempercepat tindakanku, kamu tahu."
"Kamu membicarakan cowok itu?" Akane mengangkat satu alisnya.
"Iya. Kami sudah lumayan dekat selama beberapa hari terakhir, dan aku tidak merasa kalau ia membenciku, jadi aku kepikiran untuk mengajaknya berkencan."
"I-Iya…menurutku itu bagus."
Tiba-tiba, obrolan tentang cinta menjadi topik utama. Kemungkinan besar, baik Himari maupun Akane tidak menyadari kalau Saito sedang bersembunyi di lemari. Saito merasa bersalah mendengarkan sesuatu yang seharusnya tidak ia dengar. Di saat yang sama, Himari merasa gelisah dengan cara yang memalukan, dan melanjutkan omongannya.
"Ini merupakan pertama kalinya aku mengalami hal semacam ini, jadi aku akan mengajaknya sendiri… aku agak takut. Bisakah kamu bertanya pada Saito-kun apakah ia mau berkencan denganku akhir pekan ini?"
Saito hampir menjerit keras di dalam lemari. Ia benar-benar tidak mengharapkan perkembangan seperti ini. Memikirkan Himari memiliki perasaan terhadapnya dari semua orang. Ia memang merasa kalau Himari sering mengobrol dengannya akhir-akhir ini, tetapi ia hanya menganggap ini sebagai bagian dari kepribadiannya yang ramah secara umum. Ia merasa tubuhnya semakin panas, dan kesulitan bernapas, mungkin juga itu karena udara yang lembap di dalam lemari.
"…Maaf." Akane mengalihkan pandangannya. "Mengajaknya begitu saja itu agak…"
"Tidak, tidak masalah! Aku juga minta maaf, memintamu melakukan sesuatu yang aneh seperti itu! Aku akan mencoba bertanya padanya sendiri, aku cuma perlu memiliki sedikit lebih banyak keberanian!"
"Maafkan aku…"
"Tidak apa-apa kok, sungguh! Kamu tidak perlu meminta maaf, astaga."
Baik Himari dan Akane terdiam, cuma bisa memegang cangkir di tangan mereka. Suasana canggung menyelimuti mereka berdua. Saat Saito sedang menunggu sesuatu yang terjadi, suara notifikasi datang dari ponsel pintarnya.
—Sial, aku lupa memasang mode diam!
Keringat dingin mengalir di punggung Saito, saat ia mengeluarkan ponsel pintarnya. Yang ditampilkan di layar itu adalah satu pesan dari Shisei.
'Manusia tampaknya berkedip tujuh juta kali dalam setahun.'
Itu adalah informasi yang sebenarnya tidak penting sama sekali. Saito buru-buru mematikan suara notifikasinya, dan pesan lain masuk.
"Shisei ingin memantau Abang selama setahun untuk melihat apakah itu benar."
Diperhatikan sedekat ini selama setahun penuh merupakan pemikiran yang lumayan kasar, bahkan jika orang lain yang dimaksud adalah Shisei. Karena Saito tidak punya waktu untuk menjawabnya, ia memasukkan ponselnya kembali ke sakunya.
"Hah? Apa kamu barusan mendengar sesuatu datang dari lemari?"
"Eh? A-Aku tidak mendengarnya tuh?"
"Kedengarannya seperti suara notifikasi."
"Mung-Mungkin itu cuma imajinasimu saja! Atau mungkin itu datang dari luar!"
Akane tampaknya mengetahui kalau Saito sedang bersembunyi di dalam lemari, karena wajahnya menjadi pucat.
"Aku mengerti."
"Pasti begitu." Akane mengangguk.
Keheningan panjang lainnya menyusul. Meskipun mereka sudah lama bersahabat, mereka tetap menundukkan kepala. Akhirnya, Himari mengangkat kepalanya, dan menatap langsung ke mata Akane.
"Aku akan bertanya untuk memastikan saja, oke? Kamu baik-baik saja kalau aku mengajak Saito-kun berkencan, kan?"
"Me-Mengapa kamu menanyakan hal itu padaku?" Akane bingung.
"Karena aku merasa kalau kamu sudah tertarik padanya sejak kelas sepuluh."
"Aku tidak tertarik padanya, sama sekali tidak!"
"Kalau kamu punya perasaan terhadap Saito-kun, maka aku tidak ingin menghalangimu, Akane. Aku memang menyukainya, tetapi aku juga menyukaimu. Jadi…apa kamu yakin?" Himari menunjukkan tatapan khawatirnya pada Akane.
Rasanya Himari dapat menangkap sedikitpun keraguan atau guncangan emosi di dalam diri Akane.
"Tentu saja tidak masalah."
"Kalau begitu, kamu tidak suka Saito-kun, kah?" Himari bertanya sebagai konfirmasi terakhir.
"Aku tidak menyukainya!" Akane tersipu, dan berbicara dengan bahu gemetar. "Aku benci cowok yang sombong, angkuh, tidak peka, dan egois itu!!"
Mendengar kata-kata ini, rasa sakit menjalar di dada Saito. Itu cuma sebentar, tetapi itu adalah rasa sakit yang tajam dan pasti yang membuatnya menggertakkan gigi belakangnya.
—Apa tadi... barusan? Mengapa dadaku…?
Di tengah kegelapan di dalam lemari, Saito menekan satu tangan di dadanya. Kata 'benci' yang telah ia dengar dari Akane setidaknya ratusan kali, bahkan mungkin ribuan kali, dan ia sudah sangat terbiasa dengan itu sampai-sampai ia menjadi mati rasa karenanya. Namun, mengapa ia merasa sangat campur aduk sekarang?
"Syukurlah~." Himari menghela napas lega. "Aku benar-benar tidak ingin kita menjadi saingan, kamu tahu."
"Ma-Mana mungkin. Cowok itu adalah musuhku."
"Benar, aku yang terlalu memikirkannya! Aku ini benar-benar bodoh!"
"Aku tidak merasa kalau itu membuatmu seperti orang bodoh, tetapi…" Akane menunjukkan senyuman masam.
Namun Himari meraih tangannya, dan menyeringai.
"Aku sendiri yang akan mengajaknya berkencan, jadi bisakah kamu membantuku? Aku ingin tahu tentang jenis pakaian yang ia sukai, dan tempat-tempat yang ingin ia kunjungi!"
"I-Iya…" Akane mengangguk dengan canggung.
Keesokan paginya, Saito kesiangan. Dia bergegas menyusuri lorong dan ia hampir tidak sampai ke sekolah tepat waktu sebelum mata pelajaran dimulai, saat Himari berlari ke arahnya dengan senyum berseri-seri.
"Selamat pagi, Saito-kun! Kamu lumayan terlambat hari ini."
"I-Iya, aku tidak bisa tidur nyenyak tadi malam."
"Aku kira kamu bakalan izin, alpa atau sakit. Beruntungnya kamu tidak sakit atau semacamnya."
Meskipun itu merupakan percakapan yang sama yang biasanya ia lakukan dengan Himari, Saito cuma bisa merasa gugup. Sekarang Saito sudah tahu perasaan Himari, kata-kata lega yang datang darinya ini tidak terdengar seperti sopan santun lagi. Butuh beberapa waktu bagi Saito, tetapi baru sekarang ia menyadari kalau tatapan yang Himari arahkan padanya berbeda dari caranya berinteraksi dengan siswa lain.
Akhirnya, semua yang Himari lakukan sebelumnya itu masuk akal. Karena itulah, Saito tidak bisa bertindak mencurigakan, dan mengubah sikapnya secara berlebihan. Meskipun mau bagaimana lagi, ia tidak ingin Himari tahu kalau ia sudah menguping.
"Bukankah seharusnya kamu langsung ke bangkumu? Belnya akan segera berbunyi." Saito mencoba berjalan masuk ke dalam kelas, saat Himari mengikutinya.
"De-Dengarkan aku! Bisakah kamu meluangkan waktumu buatku istirahat makan siang ini? Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu!"
"...Aku tidak masalah." Saito sangat menyadari tentang apa sebenarnya pembicaraan ini.
"Yei! Ini janji ya! Jadi sebaiknya kamu datang!" Himari berputar di tempat dan pergi ke bangkunya.
Dia berjalan ke Akane, yang memberi mereka pandangan sedari tadi, dan menyeringai lebar. Saito tidak punya pilihan lain sekarang selain menemuinya, tetapi ia tidak tahu reaksi apa yang harus ditunjukkan di saat seperti ini. Saat Saito melirik ke arah Himari yang telah duduk, Himari menunjukkan senyum malu-malu, dan melambaikan tangannya, yang membuat jantung Saito semakin deg-degan.
Sementara ia menderita karena hal ini, jam pelajaran menjelang istirahat makan siang telah berakhir, dan Saito langsung menuju ke ruang kelas yang kosong. Itu merupakan ruang terpencil, yang jauh dari segala huru-hara di sekolah. Matahari bersinar di dalamnya melalui celah di antara gorden, menciptakan suasana yang aneh dan supranatural. Tidak lama berselang setelah Saito memasuki ruang kelas itu, pintunya terbuka sekali lagi, dan Himari yang pucat berdiri di ambang pintu, terdiam seperti robot.
"Hima..." Saito memanggil gadis itu, tetapi Himari membanting pintu sampai tertutup sebelum ia bisa menyelesaikan kata-katanya.
—Ehhhh…? Aku kira dia mau mengobrol denganku?
Saat Saito terbingung, Himari membuka pintunya lagi. Kali ini, Himari tersenyum dengan cerah, dan melambaikan tangannya pada Saito.
"Ma-Maaf membuatmu menunggu, Saito-kun! Aku kira kamu belum ada di sini!"
"Mungkin aku datangnya terlalu cepat ya? Aku bisa saja kembali lagi nanti setelah kita selesai makan siang…"
"Tidak, pertama-tama aku ini masih belum terlalu lapar, jadi aku ingin menunggu di sini! Apa kamu baik-baik saja kalau tidak makan siang dulu, Saito-kun?"
"Aku sedang tidak nafsu makan saat ini…"
"Ahaha, kalau begitu kita sama dong~.” Himari tersenyum dengan suaranya yang semangat seperti biasanya…tetapi Saito bisa mengerti kalau ada ketegangan yang jelas dari suara Himari yang bergetar.
Matanya berkeliaran ke mana-mana, dan ujung jarinya juga gemetaran. Kegugupan ini tersampaikan langsung ke Saito, yang menelan ludahnya sendiri. Himari pergi dan menutup pintu di belakangnya. Semakin dekat dia mendekati Saito, semakin cepat jantung Saito mulai deg-degan. Himari telah memakai kilap bibir (lip gloss) yang berbeda jika dibandingkan dengan dia pakai pagi ini, yang mengkilap lebih terang, memaksa Saito untuk mengalihkan pandangannya.
Akhirnya, Himari berhasil menjangkau Saito. Meskipun Himari tidak berlari, dia menarik napas dalam-dalam. Bibirnya yang basah terbuka, tetapi ditutup lagi dengan ragu-ragu. Tidak tahan dengan suasana yang menyesakkan ini, Saito membuka mulutnya.
"E-Em." "Iya..."
Pada akhirnya, mereka berdua berbicara secara bersamaan.
"Ah, ma-maaf! Kamu saja duluan, Saito-kun!"
"Ti-Tidak, aku tidak punya sesuatu untuk disampaikan…"
“Bukannya kamu mau mengatakan sesuatu?"
"Cuma imajinasimu saja. Apa yang ingin kamu katakan, Himari?"
"A-Aku ingin…bertanya pada Saito-kun…" Himari menyatukan kedua telapak tangannya, hampir seperti dia akan hancur pada titik tertentu kalau dia tidak melakukannya. "Sa-Saito-kun…apa yang biasanya kamu lakukan di akhir pekan…?" Himari bertanya, menatap Saito dengan ekspresi yang tidak pasti.
"Membaca buku, bermain gim, aku rasa…"
"A-Aku mengerti, jadi kamu jarang keluar rumah ya?"
"Kecuali Shisei mau aku ke rumahnya, jadi tidak juga…"
"Jadi ini semacam pelayanan di keluargamu, bukan."
"Iya ... semacam itulah."
Percakapan mereka berjalan canggung, dan Saito menyadari betapa keringnya bagian belakang tenggorokannya terasa.
"…Apakah kamu pernah berjalan-jalan dengan gadis-gadis selain dari keluargamu?"
"…Tidak, aku belum pernah."
"Ka-Kalau begitu…" bisik Himari dengan suara yang hampir saja tidak terdengar. "Maukah kamu… pergi berkencan denganku?"
Itu merupakan kalimat yang singkat, tetapi lutut Himari bergemetar dengan hebat. Matanya dipenuhi dengan harapan dan ketakutan pada saat yang bersamaan saat dia menatap Saito. Ditatap begini, jantung Saito berdetak kencang.
"…Apakah kamu... menyukaiku?" Saito bertanya.
"Eh!? Ehhh!? Ka-Kamu langsung menanyakanku di depan wajahku!?" Himari panik.
"Ah, maaf…" Karena Saito belum terbiasa dengan suasana seperti ini, ia langsung melontarkan pertanyaan tanpa basa-basi sedikitpun.
"Me-Mengatakan aku menyukaimu, atau memintamu berkencan denganku, aku pikir kamu tidak akan tahu bagaimana kamu harus bereaksi, jadi pertama-tama aku ingin kamu lebih mengenalku saat berkencan nanti… itulah alasannya…" ujar Himari dengan wajahnya yang tertunduk, dan pipinya yang merah padam.
Meskipun dapat berinteraksi dengan hampir semua orang dengan baik, begitu Himari berada di depan Saito, dia berakhir seperti gadis yang sedang jatuh cinta. Dia dengan erat mengerucutkan bibirnya, dan bahunya menyusut. Saito merasakan wajahnya semakin panas hanya dalam hitungan detik.
"Ah, tetapi…mungkin aku cuma akan mengganggumu…Apa kamu tidak suka berkencan denganku…?"
"Itu tidak mungkin. Setiap cowok pasti akan senang menerima undangan semacam ini darimu, Himari."
"Jadi…bagaimana denganmu, Saito-kun?" Himari bertanya, suaranya bergetar karena cemas.
"Tentu saja aku senang."
"Syukurlah…" Himari menghela napas lega.
Melihat Saito dan Himari meninggalkan ruang kelas 3-A, Akane tidak bisa duduk dengan tenang dan mengikuti mereka. Mengapa Akane pergi dan melakukan hal itu? Dia sendiri juga tidak tahu. Dia sudah mendengar tentang rencana Himari untuk mengajak Saito berkencan selama istirahat makan siang ini, jadi mungkin dia ingin melihat sendiri apakah semuanya berjalan lancar. Lagi dia mengharapkan kesuksesan temannya.
—Pasti itulah alasannya. Tidak ada alasan lain lagi.
Dia terus mengatakan itu pada dirinya sendiri, saat dia bersembunyi tepat di luar ruang kelas itu. Dari dalam kelas, dia mendengar suara Saito dan Himari, yang terbungkus dalam suasana yang baik. Saito ditanya apakah dia membenci rencana kencannya, kemudian ia menjawab.
"Tentu saja aku senang."
Itu adalah respons yang diharapkan. Himari memang cukup baik untuk tetap berteman dengan seseorang seperti Akane, dan dia telah akrab dengan Saito sejak masa kelas sepuluh mereka. Ini merupakan kesuksesan yang nyata. Akane seharusnya merasa senang untuk temannya, dan bersorak untuknya…namun, perasaan muram di dalam dadanya semakin kuat. Sesuatu yang tidak nyaman memenuhi dada Akane, karena hal itu membuatnya sulit bernapas. Tidak mampu menahan sensasi ini, Akane hendak berjalan menjauh dari ruang kelas yang kosong itu, saat Shisei menghalangi jalannya.
"Apa kamu tidak masalah dengan hal ini?"
"...Kamu ini sedang membicarakan apa ya?" Akane mengalihkan pandangannya.
"Kamu pasti tahu apa yang Shisei bicarakan. Abang, dan Himari. Apakah kamu yakin tidak ingin menghentikan mereka?"
"Mengapa aku harus menghentikan mereka?"
"Kamu masih belum mengerti juga ya?"
"Sekali lagi, apa sih yang kamu bicarakan ini…!" Nada suara Akane semakin gelisah, tetapi Shisei terus menatapnya dengan tatapan yang tenang.
"Apa Shisei harus menjadi orang yang mengatakan apa yang kamu rasakan, dan apa yang kamu pikirkan?"
"Jangan beri tahu Himari sesuatu yang aneh oke! Aku ingin dia senang! Apa yang aku rasakan tidak masalah! Aku tidak mampu melihatnya bersedih." Akane menggertakkan giginya karena marah.
Jika Akane membiarkan perasaan yang tumbuh di dalam dirinya ini berkeliaran bebas dan liar, maka persahabatannya dengan Himari yang disayanginya, dan hubungannya untuk saling membenci dengan Saito, semuanya akan hancur.
"Shisei tidak akan memberi tahu Himari. Tetapi, bolehkah aku memberi tahu Akane, tentang dirimu, dan perasaanmu?" Tubuh kecil Shisei tiba-tiba tampak sebesar raksasa.
"……!"
Ketakutan menguasai Akane, dan satu-satunya pilihan yang tersisa hanyalah melarikan diri dari Shisei, dari Himari dan Saito, dan bahkan dari dirinya sendiri.
Makan malam berakhir, dan Akane baru saja akan bergegas meninggalkan ruang keluarga. Baru-baru ini, mereka berdua bermain gim bersama, menonton film, atau sekadar menghabiskan waktu dalam suasana yang sama, membentuk ikatan layaknya keluarga, tetapi hari ini Akane tidak punya waktu luang untuk melakukan hal itu.
"Kamu yakin tidak mau belajar di sini?" Saat Saito memanggil Akane, dia tiba-tiba berhenti.
Dia bahkan tidak berbalik untuk menanggapinya.
"Aku dapat lebih fokus kalau belajarnya di ruang belajarku sendiri."
"Aku mengerti…"
"Itu benar, apa itu masalah buatmu?"
"Tidak kok, tidak juga…" Saito menggaruk pipinya. "Aku cuma ingin mengobrol sedikit. Jadi begini, Himari mengajakku berkencan."
"Aku juga tahu itu. Mendapati kamu bisa diajak berkencan oleh gadis yang baik, ya? Dia itu imut, tampak lebih cantik dariku, dan secara keseluruhan merupakan orang yang hebat. Dia tampak disia-siakan bagimu."
"Aku rasa begitu."
Himari populer di kalangan cowok dan cewek, mungkin dikelilingi oleh banyak calon pujaan hatinya. Akane merasakan amarah tumbuh di dalam dirinya, dan menyilangkan kedua lengannya.
"…Jadi? Mengapa kamu memberi tahuku tentang hal itu? Aku sibuk mempersiapkan pelajaran buat besok, oke."
Sepertinya mereka telah kembali ke hari-hari pertikaian mereka di masa lalu ketika masih belum ada pernikahan paksa yang terjadi. Namun meskipun begitu, ada sesuatu yang berbeda dari sebelumnya.
"Bolehkah aku pergi ke kencan itu?"
"Mengapa kamu menanyakan hal itu padaku? Aku akan pergi berbelanja sendirian pada hari itu."
"Bukan begitu maksudku. Kita secara teknis sudah menikah, bukan?"
"Tetapi bukan karena cinta, kita dipaksa melakukannya! Kita setuju melakukan ini agar impian kita bisa terwujud. Dengan siapapun kamu pergi berkencan, dengan siapapun kamu pacaran… itu tidak ada kaitannya denganku!" Mengatakan semua yang dia inginkan, Akane terengah-engah.
Dia mengepalkan tangannya, dan menatap Saito. Menghadapi hal itu, Saito menghela napas samar.
"…Dimengerti. Aku cuma ingin memastikan hal itu."
"Ah…" Akane terdengar seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi langsung menutup mulutnya.
Saito berbicara dengan nada yang lebih acuh tak acuh, seakan-akan untuk membuang suasana yang tidak nyaman dan mencekam ini.
"Aku belum pernah berkencan sebelumnya, jadi menurutmu tempat apa yang akan membuat Himari senang?"
"Aku tidak tahu hal itu ...Jangan tanya aku." Akane menggigit bibirnya.
"…Maaf."
Tidak ada satupun dari mereka yang bergerak satu inci, seakan mereka hanya terpaku di tanah. Di tengah suasana yang tegang ini, Saito merasakan bahunya menegang.
Saat istirahat makan siang, Saito duduk di bangku taman di halaman sekolah, sambil membaca buku. Namun, isi bukunya tidak masuk ke kepalanya. Perasaan tidak sabar membara di dalam dadanya, bersamaan dengan perasaan yang tidak menentu dan tidak pasti yang menyiksanya.
"Abang belum membuat kemajuan sama sekali saat ini." Shisei menunjuk dan duduk di sebelah Saito.
"Abang cuma sedang memikirkan banyak hal." Saito menyerah, dan menutup bukunya.
"Soal kencan Abang dengan Himari?"
"Sekali lagi betapa menakutkannya caramu mengetahui hal itu ...tetapi iya, kurang lebih begitu."
"Shisei tahu segalanya tentang Abang." Shisei membusungkan dadanya dengan percaya diri.
"Sejujurnya, Abang menganggapnya sebagai suatu kehormatan bahwa Himari mengajak Abang berkencan. Abang tidak membencinya, kami memang cukup akrab, dan karena dia orang yang baik, Abang yakin kencannya akan sangat seru."
"Lalu apalagi yang Abang khawatirkan? Pergi saja ke kencan itu, dan jadilah dewasa bersama Himari."
"Ap…"
Karena Shisei menyodorkan kata-kata ini tanpa reaksi sama sekali, Saito menjadi orang yang goyah.
"Himari juga menginginkan itu. Tidak ada orang yang akan terganggu."
"Benar…Bahkan Akane saja bilang kalau dia membenci Abang, jadi…" gumam Saito, yang membuat bahu Shisei berkedut.
"Abang, apa Abang merasa terganggu dengan kata-kata itu?"
"Tentu saja Abang tidak terganggu…"
"Kalau Akane tidak mengatakan hal itu, apakah Abang akan ragu-ragu?"
"…………"
Saito sendiri bahkan tidak tahu mengapa hal ini terasa tidak benar baginya. Kalau ini Saito dari beberapa waktu lalu, ia akan menerima ajakan Himari tanpa penyesalan. Bahkan sebagai seorang teman sekelas, menghabiskan waktu bersama Himari akan terasa sangat seru. Tidak seperti Akane, Himari bersedia menyesuaikan dirinya dengan Saito. Meskipun Himari seharusnya buruk dengan buku-buku yang kompleks seperti yang dibaca oleh Saito, dia berusaha keras agar dia memiliki topik yang sama dengan Saito. Jika ia mulai berpacaran dengan Himari, yang siap memandikannya dengan seluruh kasih sayang, ia pasti tidak akan menyesalinya. Namun, ekspresi sedih Akane tidak bisa hilang dari pikirannya.
"Abang."
"Aduh!"
Shisei menghilangkan pikiran dan kekhawatiran Saito, saat dia mencongkel Saito dengan jarinya.
"Apa yang sedang kamu lakukan! Itu organ vital Abang!"
"Aku rasa ini akan membuatmu terbangun."
"Tentu saja Abang akan terbangun… Abang merasakan suatu bahaya akan menimpa hidup Abang." Saito berdeham.
"Tidak ada jaminan kalau kata-kata itu mencerminkan kebenaran. Terkadang, Abang mengenakan topeng untuk melindungi diri Abang sendiri." kata Shisei.
"Apa maksudmu?"
“Akane itu seseorang yang sulit untuk dimengerti. Abang mungkin sudah berusaha untuk memahaminya, tetapi Abang malah salah paham. Jika Abang ingin membuat pernikahan ini bahagia, Abang perlu memastikan perasaan Akane." Shisei meletakkan kepalanya di pangkuan Saito, dan berbaring di bangku taman.
Shisei meraih seragam sepupunya seperti seprai, dan segera tertidur.
"…Kamu memang satu-satunya orang yang paling tidak Abang mengerti, kamu tahu." Saito dengan lembut mengusap rambut Shisei.
Alarm yang nyaring berbunyi pada pagi hari di akhir pekan. Saito menggerutu dan mematikan alarm itu, dan perlahan ia mendorong tubuhnya. Karena ia sekali lagi tidak dapat tidur nyenyak pada malam sebelumnya, kepalanya terasa pening. Akane tidak ada di sampingnya. Karena Saito tidak bisa merasakan sisa panas di sisi ranjangnya, Akane mungkin sudah pergi beberapa saat yang lalu. Sejak makan malam pada kemarin lusa, mereka jarang mengobrol satu sama lain.
Saito masih belum bisa menghilangkan rasa kantuknya, tetapi ia juga tidak bisa meluangkan waktu, karena ia memiliki rencana penting untuk diurus. Ia menamparkan telapak tangannya ke pipinya, dan bangkit dari ranjangnya. Ia kemudian memasuki ruang belajarnya, dan memilih beberapa pakaian bergaya barat dari lemarinya. Dia pergi dengan jaket modis dan pakaian rajutan di bawahnya, tidak lupa beberapa celana ramping. Saito bukanlah orang yang paling banyak perhatian terhadap dunia fesyen, tetapi karena kakeknya Tenryuu mengirimi itu padanya, semua itu merupakan pakaian bermerek yang sempurna untuk berkencan. Ia tentunya tidak menduga kalau pakaian-pakaian ini berguna pada saat-saat seperti ini.
Setelah ia selesai berpakaian rapi, ia menuruni tangga menuju lantai satu, dan segeramembasuh wajahnya. Ia juga menggunakan pomade yang baru ia beli kemarin, dan menata ujung rambutnya. Akane kebetulan berjalan menyusuri lorong, dan melihatnya dari cermin.
"Ini pertama kalinya aku melihatmu menata rambutmu." Akane berbicara dengan nada merendahkan.
"Apa itu masalah buatmu?"
"Tidak. Hanya saja aku merasa kalau kamu berusaha keras untuk penampilanmu hari ini."
"Lagipula ini kan kencan. Aku tidak boleh sampai mengecewakan pihak lain." Saito berkomentar, dan mencuci tangannya.
"…Meskipun kamu tidak pernah menata rambutmu saat aku di rumah."
"Kamu ingin aku untuk melakukannya?"
"Tentu saja tidak! Itu bahkan tampak tidak cocok buatmu! Sangat menjijikkan caramu berusaha tampak lebih seperti seorang cowok flamboyan (playboy)!"
Mulut Akane kurang lebih sepuluh kali lebih beracun dan tajam dari biasanya.
—Mengapa kamu berada dalam suasana hati yang buruk?
Kalau Saito menanyakan hal itu, Akane mungkin akan mengamuk selamanya. Apakah dia marah karena kencan itu? Saito menyelesaikan persiapannya, dan memakai sepatunya di pintu masuk. Bukannya belajar seperti yang biasanya dia lakukan, Akane malah berdiri dengan canggung di belakang Saito.
"Apakah kamu... benar-benar akan pergi?"
"Kalau kamu tidak ingin aku pergi, maka aku tidak akan pergi." Saito berkata, yang membuat Akane menyilangkan tangannya, dan mengalihkan wajahnya.
"Aku tidak akan menghentikanmu! Kita kan cuma menikah di atas kertas, jadi kamu bisa melakukan apapun yang kamu inginkan, bahkan kalau itu berkencan dengan Himari!" Dia memancarkan tanda permusuhan yang nyata.
'Aku benci cowok yang sombong, angkuh, tidak peka, dan egois itu!!'
Kata-kata yang Saito dengar saat ia bersembunyi di lemari terngiang kembali di kepalanya, dan menusuk dadanya. Pada akhirnya, Akane benar-benar membencinya. Saito merasa kalau melalui kehidupan bersama, mengadu pendapat mereka, mengenal satu sama lain, mereka mungkin akan menjadi sedikit lebih dekat, dan Akane mungkin tidak akan membencinya lagi...Namun, tidak ada yang berubah.
Buku yang ingin dibuka dan dibaca Saito… tetap tertutup, halaman-halamannya tersembunyi darinya. Awalnya, itu seharusnya baik-baik saja. Ini cuma pernikahan yang terpaksa yang akan memungkinkan Saito agar mendapatkan hak waris perusahaan kakeknya...Namun, mengapa dadanya begitu sakit?
"Kalau begitu… aku berangkat ya. Aku mungkin akan pulang terlambat, jadi tidak usah menungguku untuk makan malam." Saito membuka pintu yang berat itu, dan berusaha melangkah keluar.
Namun, tepat saat ia melangkahkan kakinya, sesuatu memberatkan punggungnya.
"Tidak… jangan pergi."
"……!"
Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari kalau Akane menempel padanya. Sensasi lembut dari tubuhnya, aroma harum yang mengalir darinya, bahkan kehangatannya, semuanya secara langsung tersampaikan pada Saito. Dia gemetaran. Dirinya yang kikuk itu gemetaran. Meskipun Saito tidak bisa melihat wajah Akane dengan jelas, ia tahu kalau Akane pasti sedang menangis. Dan kemudian, seperti dia mengeluarkan semua perasaan yang terpendam di dalam dadanya, Akane berteriak.
"Aku tidak tahu mengapa aku tidak ingin kamu pergi…Tetapi, aku tidak bisa tahan dengan hal ini! Saat aku memikirkanmu akrab dengan cewek lain, berbelanja dengannya, dadaku terasa sakit! Meski cuma di atas kertas saja, kamu tetaplah suamiku!" Rasa sakit yang Akane rasakan, Saito menyerapnya langsung dari punggungnya.
Saito tahu apa yang Akane rasakan, karena ia sendiri juga tidak mengerti perasaannya. Menikah tanpa mengetahui apa itu cinta, mereka berdua terguncang oleh kata-kata mereka satu sama lain, meskipun mereka seharusnya tidak merasakan apa pun selain saling membenci. Kalau dia itu seseorang yang tidak kamu pedulikan, mengapa kamu terguncang sampai seperti ini? Mengapa hati mereka berdua begitu terasa kacau? Saito menghela napas, dan berbalik arah.
"…Aku ingin mendengar kata-kata itu lagi."
"Eh…?" Akane menatap Saito dengan ekspresi tidak percaya, air mata mengalir ke pipinya.
"Aku sudah membatalkan kencannya. Jadi, kamu sebenarnya tidak membenciku, ya?" Saito bertanya, yang membuat wajah Akane memerah semerah stroberi.
"Haaaaaaaaaaaaaaaah!?"
Amarah dan rasa malu, atau mungkin campuran keduanya yang menjadi satu, menyebabkan Akane menjadi semakin menjadi-jadi, saat dia memukulkan tinjunya ke dada Saito.
"Ini curang! Kamu menjebakku! Aku membencimu! Bagaimanapun juga aku membencimu! Aku tidak tahan lagi denganmu!"
Baik tinju maupun hinaan Akane itu tidak mempan lagi. Saito selalu kesulitan menyaring perasaan jujur Akane, tetapi meskipun begitu ia bisa melihatnya saat ini. Sambil tersenyum, Saito menerima tinju Akane.
"Ha ha ha, meskipun sebenarnya kamu sama sekali tidak membenciku?"
"Eeuuhhh…!" Akane mengepalkan tinjunya, dan memelototi Saito. "Ka-Kalau kamu tidak jadi berkencan, lalu mengapa kamu berpakaian seperti ini?"
"Kita berencana pergi belanja hari ini, bukan?"
"Belanja… Itu kan cuma untuk membeli makanan saja."
"Ayo kita jalan-jalan sedikit hari ini, kita harus menikmati akhir pekan ini, bukan?"
"Tetapi…"
Saito menarik tangan Akane saat dia masih ragu-ragu.
"Mari kita pergi."
"Ah…"
Meskipun Akane agak bingung, dia tidak mencoba untuk melepaskan tangan Saito dari tangannya. Sepertinya sikap angkuh dan tekadnya yang biasanya itu memang kebohongan yang terang-terangan, dia dengan sungguh-sungguh mengikuti di belakang Saito.
"Tunggu, aku bahkan tidak mengenakan pakaian yang modis!"
"Kamu sudah sangat modis, menurutku."
"Erk…Ka-Kamu sebaiknya membelikanku sesuatu untuk menebus semua kebohongan ini."
"Kena kamu. Enaknya kamu dibelikan apa ya, bagaimana kalau cincin?” Akane yang kebingungan itu terlalu menggemaskan, Saito tidak bisa menahan diri untuk tidak menggodanya lagi.
"Cin-Cin-Cincin!? Bukankah ini terlalu cepat untuk hal itu!?" Akane panik, dan wajahnya semakin memerah.
Sensasi lembut dari tangan yang Saito pegang membuat detak jantungnya berdetak semakin cepat. Ia tidak tahu apakah ini layak disebut sebagai kencan. Namun, Saito yakin kalau hari ini akan penuh dengan kegembiraan buatnya.