Bab 4Perasaan Terpendam(Bagian 8)
Saat istirahat makan siang, Saito duduk di bangku taman di halaman sekolah, sambil membaca buku. Namun, isi bukunya tidak masuk ke kepalanya. Perasaan tidak sabar membara di dalam dadanya, bersamaan dengan perasaan yang tidak menentu dan tidak pasti yang menyiksanya.
"Abang belum membuat kemajuan sama sekali saat ini." Shisei menunjuk dan duduk di sebelah Saito.
"Abang cuma sedang memikirkan banyak hal." Saito menyerah, dan menutup bukunya.
"Soal kencan Abang dengan Himari?"
"Sekali lagi betapa menakutkannya caramu mengetahui hal itu ...tetapi iya, kurang lebih begitu."
"Shisei tahu segalanya tentang Abang." Shisei membusungkan dadanya dengan percaya diri.
"Sejujurnya, Abang menganggapnya sebagai suatu kehormatan bahwa Himari mengajak Abang berkencan. Abang tidak membencinya, kami memang cukup akrab, dan karena dia orang yang baik, Abang yakin kencannya akan sangat seru."
"Lalu apalagi yang Abang khawatirkan? Pergi saja ke kencan itu, dan jadilah dewasa bersama Himari."
"Ap…"
Karena Shisei menyodorkan kata-kata ini tanpa reaksi sama sekali, Saito menjadi orang yang goyah.
"Himari juga menginginkan itu. Tidak ada orang yang akan terganggu."
"Benar…Bahkan Akane saja bilang kalau dia membenci Abang, jadi…" gumam Saito, yang membuat bahu Shisei berkedut.
"Abang, apa Abang merasa terganggu dengan kata-kata itu?"
"Tentu saja Abang tidak terganggu…"
"Kalau Akane tidak mengatakan hal itu, apakah Abang akan ragu-ragu?"
"…………"
Saito sendiri bahkan tidak tahu mengapa hal ini terasa tidak benar baginya. Kalau ini Saito dari beberapa waktu lalu, ia akan menerima ajakan Himari tanpa penyesalan. Bahkan sebagai seorang teman sekelas, menghabiskan waktu bersama Himari akan terasa sangat seru. Tidak seperti Akane, Himari bersedia menyesuaikan dirinya dengan Saito. Meskipun Himari seharusnya buruk dengan buku-buku yang kompleks seperti yang dibaca oleh Saito, dia berusaha keras agar dia memiliki topik yang sama dengan Saito. Jika ia mulai berpacaran dengan Himari, yang siap memandikannya dengan seluruh kasih sayang, ia pasti tidak akan menyesalinya. Namun, ekspresi sedih Akane tidak bisa hilang dari pikirannya.
"Abang."
"Aduh!"
Shisei menghilangkan pikiran dan kekhawatiran Saito, saat dia mencongkel Saito dengan jarinya.
"Apa yang sedang kamu lakukan! Itu organ vital Abang!"
"Aku rasa ini akan membuatmu terbangun."
"Tentu saja Abang akan terbangun… Abang merasakan suatu bahaya akan menimpa hidup Abang." Saito berdeham.
"Tidak ada jaminan kalau kata-kata itu mencerminkan kebenaran. Terkadang, Abang mengenakan topeng untuk melindungi diri Abang sendiri." kata Shisei.
"Apa maksudmu?"
“Akane itu seseorang yang sulit untuk dimengerti. Abang mungkin sudah berusaha untuk memahaminya, tetapi Abang malah salah paham. Jika Abang ingin membuat pernikahan ini bahagia, Abang perlu memastikan perasaan Akane." Shisei meletakkan kepalanya di pangkuan Saito, dan berbaring di bangku taman.
Shisei meraih seragam sepupunya seperti seprai, dan segera tertidur.
"…Kamu memang satu-satunya orang yang paling tidak Abang mengerti, kamu tahu." Saito dengan lembut mengusap rambut Shisei.