Bab 4Perasaan Terpendam(Bagian 9)
Alarm yang nyaring berbunyi pada pagi hari di akhir pekan. Saito menggerutu dan mematikan alarm itu, dan perlahan ia mendorong tubuhnya. Karena ia sekali lagi tidak dapat tidur nyenyak pada malam sebelumnya, kepalanya terasa pening. Akane tidak ada di sampingnya. Karena Saito tidak bisa merasakan sisa panas di sisi ranjangnya, Akane mungkin sudah pergi beberapa saat yang lalu. Sejak makan malam pada kemarin lusa, mereka jarang mengobrol satu sama lain.
Saito masih belum bisa menghilangkan rasa kantuknya, tetapi ia juga tidak bisa meluangkan waktu, karena ia memiliki rencana penting untuk diurus. Ia menamparkan telapak tangannya ke pipinya, dan bangkit dari ranjangnya. Ia kemudian memasuki ruang belajarnya, dan memilih beberapa pakaian bergaya barat dari lemarinya. Dia pergi dengan jaket modis dan pakaian rajutan di bawahnya, tidak lupa beberapa celana ramping. Saito bukanlah orang yang paling banyak perhatian terhadap dunia fesyen, tetapi karena kakeknya Tenryuu mengirimi itu padanya, semua itu merupakan pakaian bermerek yang sempurna untuk berkencan. Ia tentunya tidak menduga kalau pakaian-pakaian ini berguna pada saat-saat seperti ini.
Setelah ia selesai berpakaian rapi, ia menuruni tangga menuju lantai satu, dan segeramembasuh wajahnya. Ia juga menggunakan pomade yang baru ia beli kemarin, dan menata ujung rambutnya. Akane kebetulan berjalan menyusuri lorong, dan melihatnya dari cermin.
"Ini pertama kalinya aku melihatmu menata rambutmu." Akane berbicara dengan nada merendahkan.
"Apa itu masalah buatmu?"
"Tidak. Hanya saja aku merasa kalau kamu berusaha keras untuk penampilanmu hari ini."
"Lagipula ini kan kencan. Aku tidak boleh sampai mengecewakan pihak lain." Saito berkomentar, dan mencuci tangannya.
"…Meskipun kamu tidak pernah menata rambutmu saat aku di rumah."
"Kamu ingin aku untuk melakukannya?"
"Tentu saja tidak! Itu bahkan tampak tidak cocok buatmu! Sangat menjijikkan caramu berusaha tampak lebih seperti seorang cowok flamboyan (playboy)!"
Mulut Akane kurang lebih sepuluh kali lebih beracun dan tajam dari biasanya.
—Mengapa kamu berada dalam suasana hati yang buruk?
Kalau Saito menanyakan hal itu, Akane mungkin akan mengamuk selamanya. Apakah dia marah karena kencan itu? Saito menyelesaikan persiapannya, dan memakai sepatunya di pintu masuk. Bukannya belajar seperti yang biasanya dia lakukan, Akane malah berdiri dengan canggung di belakang Saito.
"Apakah kamu... benar-benar akan pergi?"
"Kalau kamu tidak ingin aku pergi, maka aku tidak akan pergi." Saito berkata, yang membuat Akane menyilangkan tangannya, dan mengalihkan wajahnya.
"Aku tidak akan menghentikanmu! Kita kan cuma menikah di atas kertas, jadi kamu bisa melakukan apapun yang kamu inginkan, bahkan kalau itu berkencan dengan Himari!" Dia memancarkan tanda permusuhan yang nyata.
'Aku benci cowok yang sombong, angkuh, tidak peka, dan egois itu!!'
Kata-kata yang Saito dengar saat ia bersembunyi di lemari terngiang kembali di kepalanya, dan menusuk dadanya. Pada akhirnya, Akane benar-benar membencinya. Saito merasa kalau melalui kehidupan bersama, mengadu pendapat mereka, mengenal satu sama lain, mereka mungkin akan menjadi sedikit lebih dekat, dan Akane mungkin tidak akan membencinya lagi...Namun, tidak ada yang berubah.
Buku yang ingin dibuka dan dibaca Saito… tetap tertutup, halaman-halamannya tersembunyi darinya. Awalnya, itu seharusnya baik-baik saja. Ini cuma pernikahan yang terpaksa yang akan memungkinkan Saito agar mendapatkan hak waris perusahaan kakeknya...Namun, mengapa dadanya begitu sakit?
"Kalau begitu… aku berangkat ya. Aku mungkin akan pulang terlambat, jadi tidak usah menungguku untuk makan malam." Saito membuka pintu yang berat itu, dan berusaha melangkah keluar.
Namun, tepat saat ia melangkahkan kakinya, sesuatu memberatkan punggungnya.
"Tidak… jangan pergi."
"……!"
Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari kalau Akane menempel padanya. Sensasi lembut dari tubuhnya, aroma harum yang mengalir darinya, bahkan kehangatannya, semuanya secara langsung tersampaikan pada Saito. Dia gemetaran. Dirinya yang kikuk itu gemetaran. Meskipun Saito tidak bisa melihat wajah Akane dengan jelas, ia tahu kalau Akane pasti sedang menangis. Dan kemudian, seperti dia mengeluarkan semua perasaan yang terpendam di dalam dadanya, Akane berteriak.
"Aku tidak tahu mengapa aku tidak ingin kamu pergi…Tetapi, aku tidak bisa tahan dengan hal ini! Saat aku memikirkanmu akrab dengan cewek lain, berbelanja dengannya, dadaku terasa sakit! Meski cuma di atas kertas saja, kamu tetaplah suamiku!" Rasa sakit yang Akane rasakan, Saito menyerapnya langsung dari punggungnya.
Saito tahu apa yang Akane rasakan, karena ia sendiri juga tidak mengerti perasaannya. Menikah tanpa mengetahui apa itu cinta, mereka berdua terguncang oleh kata-kata mereka satu sama lain, meskipun mereka seharusnya tidak merasakan apa pun selain saling membenci. Kalau dia itu seseorang yang tidak kamu pedulikan, mengapa kamu terguncang sampai seperti ini? Mengapa hati mereka berdua begitu terasa kacau? Saito menghela napas, dan berbalik arah.
"…Aku ingin mendengar kata-kata itu lagi."
"Eh…?" Akane menatap Saito dengan ekspresi tidak percaya, air mata mengalir ke pipinya.
"Aku sudah membatalkan kencannya. Jadi, kamu sebenarnya tidak membenciku, ya?" Saito bertanya, yang membuat wajah Akane memerah semerah stroberi.
"Haaaaaaaaaaaaaaaah!?"
Amarah dan rasa malu, atau mungkin campuran keduanya yang menjadi satu, menyebabkan Akane menjadi semakin menjadi-jadi, saat dia memukulkan tinjunya ke dada Saito.
"Ini curang! Kamu menjebakku! Aku membencimu! Bagaimanapun juga aku membencimu! Aku tidak tahan lagi denganmu!"
Baik tinju maupun hinaan Akane itu tidak mempan lagi. Saito selalu kesulitan menyaring perasaan jujur Akane, tetapi meskipun begitu ia bisa melihatnya saat ini. Sambil tersenyum, Saito menerima tinju Akane.
"Ha ha ha, meskipun sebenarnya kamu sama sekali tidak membenciku?"
"Eeuuhhh…!" Akane mengepalkan tinjunya, dan memelototi Saito. "Ka-Kalau kamu tidak jadi berkencan, lalu mengapa kamu berpakaian seperti ini?"
"Kita berencana pergi belanja hari ini, bukan?"
"Belanja… Itu kan cuma untuk membeli makanan saja."
"Ayo kita jalan-jalan sedikit hari ini, kita harus menikmati akhir pekan ini, bukan?"
"Tetapi…"
Saito menarik tangan Akane saat dia masih ragu-ragu.
"Mari kita pergi."
"Ah…"
Meskipun Akane agak bingung, dia tidak mencoba untuk melepaskan tangan Saito dari tangannya. Sepertinya sikap angkuh dan tekadnya yang biasanya itu memang kebohongan yang terang-terangan, dia dengan sungguh-sungguh mengikuti di belakang Saito.
"Tunggu, aku bahkan tidak mengenakan pakaian yang modis!"
"Kamu sudah sangat modis, menurutku."
"Erk…Ka-Kamu sebaiknya membelikanku sesuatu untuk menebus semua kebohongan ini."
"Kena kamu. Enaknya kamu dibelikan apa ya, bagaimana kalau cincin?” Akane yang kebingungan itu terlalu menggemaskan, Saito tidak bisa menahan diri untuk tidak menggodanya lagi.
"Cin-Cin-Cincin!? Bukankah ini terlalu cepat untuk hal itu!?" Akane panik, dan wajahnya semakin memerah.
Sensasi lembut dari tangan yang Saito pegang membuat detak jantungnya berdetak semakin cepat. Ia tidak tahu apakah ini layak disebut sebagai kencan. Namun, Saito yakin kalau hari ini akan penuh dengan kegembiraan buatnya.