Bab 4Perasaan Terpendam(Bagian 6)
Keesokan paginya, Saito kesiangan. Dia bergegas menyusuri lorong dan ia hampir tidak sampai ke sekolah tepat waktu sebelum mata pelajaran dimulai, saat Himari berlari ke arahnya dengan senyum berseri-seri.
"Selamat pagi, Saito-kun! Kamu lumayan terlambat hari ini."
"I-Iya, aku tidak bisa tidur nyenyak tadi malam."
"Aku kira kamu bakalan izin, alpa atau sakit. Beruntungnya kamu tidak sakit atau semacamnya."
Meskipun itu merupakan percakapan yang sama yang biasanya ia lakukan dengan Himari, Saito cuma bisa merasa gugup. Sekarang Saito sudah tahu perasaan Himari, kata-kata lega yang datang darinya ini tidak terdengar seperti sopan santun lagi. Butuh beberapa waktu bagi Saito, tetapi baru sekarang ia menyadari kalau tatapan yang Himari arahkan padanya berbeda dari caranya berinteraksi dengan siswa lain.
Akhirnya, semua yang Himari lakukan sebelumnya itu masuk akal. Karena itulah, Saito tidak bisa bertindak mencurigakan, dan mengubah sikapnya secara berlebihan. Meskipun mau bagaimana lagi, ia tidak ingin Himari tahu kalau ia sudah menguping.
"Bukankah seharusnya kamu langsung ke bangkumu? Belnya akan segera berbunyi." Saito mencoba berjalan masuk ke dalam kelas, saat Himari mengikutinya.
"De-Dengarkan aku! Bisakah kamu meluangkan waktumu buatku istirahat makan siang ini? Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu!"
"...Aku tidak masalah." Saito sangat menyadari tentang apa sebenarnya pembicaraan ini.
"Yei! Ini janji ya! Jadi sebaiknya kamu datang!" Himari berputar di tempat dan pergi ke bangkunya.
Dia berjalan ke Akane, yang memberi mereka pandangan sedari tadi, dan menyeringai lebar. Saito tidak punya pilihan lain sekarang selain menemuinya, tetapi ia tidak tahu reaksi apa yang harus ditunjukkan di saat seperti ini. Saat Saito melirik ke arah Himari yang telah duduk, Himari menunjukkan senyum malu-malu, dan melambaikan tangannya, yang membuat jantung Saito semakin deg-degan.
Sementara ia menderita karena hal ini, jam pelajaran menjelang istirahat makan siang telah berakhir, dan Saito langsung menuju ke ruang kelas yang kosong. Itu merupakan ruang terpencil, yang jauh dari segala huru-hara di sekolah. Matahari bersinar di dalamnya melalui celah di antara gorden, menciptakan suasana yang aneh dan supranatural. Tidak lama berselang setelah Saito memasuki ruang kelas itu, pintunya terbuka sekali lagi, dan Himari yang pucat berdiri di ambang pintu, terdiam seperti robot.
"Hima..." Saito memanggil gadis itu, tetapi Himari membanting pintu sampai tertutup sebelum ia bisa menyelesaikan kata-katanya.
—Ehhhh…? Aku kira dia mau mengobrol denganku?
Saat Saito terbingung, Himari membuka pintunya lagi. Kali ini, Himari tersenyum dengan cerah, dan melambaikan tangannya pada Saito.
"Ma-Maaf membuatmu menunggu, Saito-kun! Aku kira kamu belum ada di sini!"
"Mungkin aku datangnya terlalu cepat ya? Aku bisa saja kembali lagi nanti setelah kita selesai makan siang…"
"Tidak, pertama-tama aku ini masih belum terlalu lapar, jadi aku ingin menunggu di sini! Apa kamu baik-baik saja kalau tidak makan siang dulu, Saito-kun?"
"Aku sedang tidak nafsu makan saat ini…"
"Ahaha, kalau begitu kita sama dong~.” Himari tersenyum dengan suaranya yang semangat seperti biasanya…tetapi Saito bisa mengerti kalau ada ketegangan yang jelas dari suara Himari yang bergetar.
Matanya berkeliaran ke mana-mana, dan ujung jarinya juga gemetaran. Kegugupan ini tersampaikan langsung ke Saito, yang menelan ludahnya sendiri. Himari pergi dan menutup pintu di belakangnya. Semakin dekat dia mendekati Saito, semakin cepat jantung Saito mulai deg-degan. Himari telah memakai kilap bibir (lip gloss) yang berbeda jika dibandingkan dengan dia pakai pagi ini, yang mengkilap lebih terang, memaksa Saito untuk mengalihkan pandangannya.
Akhirnya, Himari berhasil menjangkau Saito. Meskipun Himari tidak berlari, dia menarik napas dalam-dalam. Bibirnya yang basah terbuka, tetapi ditutup lagi dengan ragu-ragu. Tidak tahan dengan suasana yang menyesakkan ini, Saito membuka mulutnya.
"E-Em." "Iya..."
Pada akhirnya, mereka berdua berbicara secara bersamaan.
"Ah, ma-maaf! Kamu saja duluan, Saito-kun!"
"Ti-Tidak, aku tidak punya sesuatu untuk disampaikan…"
“Bukannya kamu mau mengatakan sesuatu?"
"Cuma imajinasimu saja. Apa yang ingin kamu katakan, Himari?"
"A-Aku ingin…bertanya pada Saito-kun…" Himari menyatukan kedua telapak tangannya, hampir seperti dia akan hancur pada titik tertentu kalau dia tidak melakukannya. "Sa-Saito-kun…apa yang biasanya kamu lakukan di akhir pekan…?" Himari bertanya, menatap Saito dengan ekspresi yang tidak pasti.
"Membaca buku, bermain gim, aku rasa…"
"A-Aku mengerti, jadi kamu jarang keluar rumah ya?"
"Kecuali Shisei mau aku ke rumahnya, jadi tidak juga…"
"Jadi ini semacam pelayanan di keluargamu, bukan."
"Iya... semacam itulah."
Percakapan mereka berjalan canggung, dan Saito menyadari betapa keringnya bagian belakang tenggorokannya terasa.
"…Apakah kamu pernah berjalan-jalan dengan gadis-gadis selain dari keluargamu?"
"…Tidak, aku belum pernah."
"Ka-Kalau begitu…" bisik Himari dengan suara yang hampir saja tidak terdengar. "Maukah kamu… pergi berkencan denganku?"
Itu merupakan kalimat yang singkat, tetapi lutut Himari bergemetar dengan hebat. Matanya dipenuhi dengan harapan dan ketakutan pada saat yang bersamaan saat dia menatap Saito. Ditatap begini, jantung Saito berdetak kencang.
"…Apakah kamu... menyukaiku?" Saito bertanya.
"Eh!? Ehhh!? Ka-Kamu langsung menanyakanku di depan wajahku!?" Himari panik.
"Ah, maaf…" Karena Saito belum terbiasa dengan suasana seperti ini, ia langsung melontarkan pertanyaan tanpa basa-basi sedikitpun.
"Me-Mengatakan aku menyukaimu, atau memintamu berkencan denganku, aku pikir kamu tidak akan tahu bagaimana kamu harus bereaksi, jadi pertama-tama aku ingin kamu lebih mengenalku saat berkencan nanti… itulah alasannya…" ujar Himari dengan wajahnya yang tertunduk, dan pipinya yang merah padam.
Meskipun dapat berinteraksi dengan hampir semua orang dengan baik, begitu Himari berada di depan Saito, dia berakhir seperti gadis yang sedang jatuh cinta. Dia dengan erat mengerucutkan bibirnya, dan bahunya menyusut. Saito merasakan wajahnya semakin panas hanya dalam hitungan detik.
"Ah, tetapi…mungkin aku cuma akan mengganggumu…Apa kamu tidak suka berkencan denganku…?"
"Itu tidak mungkin. Setiap cowok pasti akan senang menerima undangan semacam ini darimu, Himari."
"Jadi…bagaimana denganmu, Saito-kun?" Himari bertanya, suaranya bergetar karena cemas.
"Tentu saja aku senang."
"Syukurlah…" Himari menghela napas lega.
Melihat Saito dan Himari meninggalkan ruang kelas 3-A, Akane tidak bisa duduk dengan tenang dan mengikuti mereka. Mengapa Akane pergi dan melakukan hal itu? Dia sendiri juga tidak tahu. Dia sudah mendengar tentang rencana Himari untuk mengajak Saito berkencan selama istirahat makan siang ini, jadi mungkin dia ingin melihat sendiri apakah semuanya berjalan lancar. Lagi dia mengharapkan kesuksesan temannya.
—Pasti itulah alasannya. Tidak ada alasan lain lagi.
Dia terus mengatakan itu pada dirinya sendiri, saat dia bersembunyi tepat di luar ruang kelas itu. Dari dalam kelas, dia mendengar suara Saito dan Himari, yang terbungkus dalam suasana yang baik. Saito ditanya apakah dia membenci rencana kencannya, kemudian ia menjawab.
"Tentu saja aku senang."
Itu adalah respons yang diharapkan. Himari memang cukup baik untuk tetap berteman dengan seseorang seperti Akane, dan dia telah akrab dengan Saito sejak masa kelas sepuluh mereka. Ini merupakan kesuksesan yang nyata. Akane seharusnya merasa senang untuk temannya, dan bersorak untuknya…namun, perasaan muram di dalam dadanya semakin kuat. Sesuatu yang tidak nyaman memenuhi dada Akane, karena hal itu membuatnya sulit bernapas. Tidak mampu menahan sensasi ini, Akane hendak berjalan menjauh dari ruang kelas yang kosong itu, saat Shisei menghalangi jalannya.
"Apa kamu tidak masalah dengan hal ini?"
"...Kamu ini sedang membicarakan apa ya?" Akane mengalihkan pandangannya.
"Kamu pasti tahu apa yang Shisei bicarakan. Abang, dan Himari. Apakah kamu yakin tidak ingin menghentikan mereka?"
"Mengapa aku harus menghentikan mereka?"
"Kamu masih belum mengerti juga ya?"
"Sekali lagi, apa sih yang kamu bicarakan ini…!" Nada suara Akane semakin gelisah, tetapi Shisei terus menatapnya dengan tatapan yang tenang.
"Apa Shisei harus menjadi orang yang mengatakan apa yang kamu rasakan, dan apa yang kamu pikirkan?"
"Jangan beri tahu Himari sesuatu yang aneh oke! Aku ingin dia senang! Apa yang aku rasakan tidak masalah! Aku tidak mampu melihatnya bersedih." Akane menggertakkan giginya karena marah.
Jika Akane membiarkan perasaan yang tumbuh di dalam dirinya ini berkeliaran bebas dan liar, maka persahabatannya dengan Himari yang disayanginya, dan hubungannya untuk saling membenci dengan Saito, semuanya akan hancur.
"Shisei tidak akan memberi tahu Himari. Tetapi, bolehkah aku memberi tahu Akane, tentang dirimu, dan perasaanmu?" Tubuh kecil Shisei tiba-tiba tampak sebesar raksasa.
"……!"
Ketakutan menguasai Akane, dan satu-satunya pilihan yang tersisa hanyalah melarikan diri dari Shisei, dari Himari dan Saito, dan bahkan dari dirinya sendiri.