Bab 4Perasaan Terpendam(Bagian 5)
"Haaaaah!? Himari akan mampir ke sini untuk bertamu!?" Saito menjerit, awalnya itu meragukan bagi telinganya.
"Aku cuma tidak bisa bilang tidak… Karena aku sibuk dengan pernikahan kita, kami tidak punya banyak waktu untuk melakukan hal-hal bersama, dan aku tidak ingin Himari berpikir bahwa aku bosan dengannya atau semacam itu…"
"Apakah kamu sendiri sadar apa yang sudah kamu lakukan? Dunia akan berakhir."
"Apakah insiden ini akan sebesar itu!?"
"Dunia kita akan berakhir. Himari punya banyak teman, jadi seluruh sekolah akan segera mengetahui kalau kita sudah menikah."
Saito tidak melihat Himari sebagai tipe orang yang akan menyebarkan sesuatu yang bersifat pribadi seperti itu begitu saja, tetapi orang-orang bisa saja berbuat salah, jadi jika dia ceroboh sekali saja, tidak ada jalan untuk kembali. Akane tahu tentang hal ini, dan memegang ujung roknya.
"Shisei-san yang berbual pada Himari tentang telah berkunjung ke rumahku sebelumnya, jadi dia akhirnya iri…Aku juga tidak bisa memberikan perlakuan khusus pada Shisei-san…"
Saito menghela napas lelah.
"Kalau Shisei adalah biang dari kekacauan ini, maka aku juga harus disalahkan. Seharusnya aku pastikan kalau dia tidak akan membuka mulutnya."
"A-Apa kamu akan membunuh Shisei-san…?" Akane menelan ludahnya sendiri.
"Aku tidak akan melakukan sesuatu yang begitu kasar. Aku cuma akan menyuapnya dengan roti kukus setiap hari."
"Apakah dia akan puas cuma dengan satu saja..."
"Dia mungkin akan ragu-ragu, ya."
Kerakusan Shisei berada di alam keberadaan berbeda sama sekali. Dia mungkin dapat memakan seribu roti kukus setiap hari. Saito akan bangkrut jika ia benar-benar melakukan hal itu. Ekspresi Akane menegang.
"Aku akan membereskan semua barangmu dari ruang tamu biar dia tidak curiga. Aku juga akan menggunakan deodoran untuk menghapus semua aromamu yang tertinggal."
"Apakah aromaku itu biang dari semua kejahatan atau semacamnya?" Saito mulai merasa tertekan.
"Kalau bisa, aku ingin kamu tetap di ruanganmu, tetapi aku tidak tahu kapan Himari akan pulang… Belum lagi kamu harus tidur di luar kalau dia menginap."
"Aku tidak mau tidur di luar. Aku akan menginap di rumah Shisei kalau itu terjadi."
"Di rumah Shisei-san… Kalian akan mandi bersama dan tidur bersama, bukan?" Akane memberi Saito wajah yang muram.
"Jika orang tua Shisei yang memintaku, bagaimana bisa aku menolaknya di sana?"
Di saat yang sama, orang tua Shisei tidak bisa menolak keinginan putri tercinta mereka. Selama Saito mendapatkan bantuan di kediaman itu, ia akan terikat pada posisi di mana ia tidak dapat menolak permintaan Shisei apapun itu.
"Kalau begitu jangan! Merupakan sebuah kejahatan, tidur bersama dengan seorang gadis kecil!"
"Dia seusia denganmu."
"Itu tidak ada hubungannya dengan ukuran tubuh! Jangan tidur di luar! Sampai Himari pulang, kamu akan tetap di ruang belajarmu di lantai dua!" Bahu Akane naik turun sambil marah.
"Baiklah kalau begitu. Aku agak khawatir perihal pergi ke toilet sih, tetapi...dengan begini, semuanya akan beres." Saito mengambil botol air kosong yang baru saja ia minum.
"Tunggu, apa yang kamu rencanakan dengan botol itu?"
"Menggunakannya untuk keadaan daru—."
Akane menutup telinganya.
"Lupakan saja, aku tidak mau mendengarnya lagi. Beri aku isyarat kalau mau ke toilet, dan aku akan pastikan situasinya aman."
"Aku mengandalkanmu. Keberhasilan misi ini bergantung padamu. Kalau kamu gagal…"
"Aku tidak akan gagal, aku pastikan!" Akane menunjukkan ekspresi dengan penuh tekad.
Dia tentu saja takut akan kemungkinan datangnya kegagalan yang Saito bicarakan. Dia dengan cepat mengambil botol plastik itu dari Saito, dan membuangnya ke tempat sampah.
"Himari bilang dia akan sampai ke sini sekitar pukul 5 sore, kita masih punya waktu. Kita cuma perlu bersih-bersih sedikit, dan—"
Tepat saat Akane sampai di tengah kalimat, bel pintu berbunyi. Mereka berdua membeku seperti patung es. Sebuah harapan samar membara di dalam diri mereka, mereka berdua memohon agar badai akan berlalu selama mereka tidak bergerak. Namun, bel pintu berdering sekali lagi, benar-benar menghancurkan percikan kecil yang tersisa.
"Mungkin kamu yang harus… menjawabnya?"
"Ka-Kamu saja yang pergi, Saito…"
"Bagaimana kalau itu Himari, hah!?"
"Be-Benar juga…" Akane secara perlahan dan hati-hati menekan tombol monitor di interkom.
Yang ditampilkan di layar itu adalah Himari, yang menunjukkan senyuman yang lebar.
"Aku sangat bersemangat sampai-sampai aku datang lebih awal dari yang kita putuskan! Mungkin aku seharusnya tidak melakukannya ya?"
"Tidak apa-apa kok, sungguh." Akane menjawab dengan suara robot, dan menekan tombol monitor untuk mematikan layarnya.
Keheningan memenuhi ruang tamu itu. Saito dan Akane saling memandang satu sama lain, wajah mereka pucat dan kusut. Otak dari dua siswa-siswi peringkat teratas di angkatan mereka langsung membeku, dan berhenti bekerja. Orang yang pertama kali bergerak itu Akane, saat dia mulai berlarian.
"Ce-Cepatlah dan sembunyikan jejak kalau kamu tinggal di sini! Sambil aku melakukannya, aku hanya bisa menghapus semua keberadaanmu!!"
"Jangan bunuh aku begitu saja!" Saito memprotes saat ia mengambil buku yang ia tinggalkan di atas meja.
Mencoba berlari menuju ke kamar mandi, Akane menabrak dinding, kembali ke dapur untuk mengeluarkan cangkir dan mangkuk nasi Saito dari rak peralatan makan, dan tak lama tersandung ke sana juga. Meninggalkannya sendirian saat dia panik kalau ini akan berakhir fatal. Dalam skenario terburuk, Akane mungkin menghancurkan setengah dari rumah ini.
"Aku yang akan melakukan bersih-bersih! Kamu tahan saja Himari agar tidak masuk rumah dulu!"
"Di-Dimengerti!" Akane bergegas menuju pintu masuk.
Dari sana, Saito cukup cepat dalam mendengar suara dan kata-kata yang dituturkan di antara Akane dan Himari. Pada saat yang sama, Saito mengambil semua yang bisa ia temukan yang dapat menunjukkan keberadaannya, seperti konsol gim, dan juga dompetnya. Karena ia tidak punya waktu untuk berlari ke lantai dua dan turun lagi, ia cuma memasukkan semuanya ke dalam lemari ruang tamu.
"Rumah ini sangat indah. Apa ini bangunan baru?"
"I-Iya."
"Ibu dan ayahmu pasti sudah sangat bekerja keras!"
"Kakek-nenekku... memberi mereka uang..."
Suara kedua gadis itu mulai mendekat ke ruang tamu.
—Mengapa dia sudah membiarkan Himari masuk!?
Saito semakin panik. Entah Akane berasumsi kalau Saito sudah selesai membereskan semuanya, atau dia tidak bisa menahan Himari lebih lama lagi. Kalau Saito ingin naik ke lantai dua dan ruang belajarnya, ia harus lewat lorong di luar ruang tamu. Dengan melakukan hal itu, ia akan bertemu dengan Himari dan Akane. Ia punya pilihan untuk melarikan diri ke kebun, tetapi pintu masuknya terkunci, jadi ia tidak akan bisa masuk lagi.
Bahkan saat ia memikirkan cara untuk melarikan diri, langkah kaki kedua gadis itu semakin dekat. Daun pintu diputar, dan Saito menggunakan pilihan terakhirnya dan masuk ke dalam lemari. Ia menyakiti tubuhnya di beberapa bagian tubuh saat melakukan hal itu, tetapi ia berhasil menjaga lemari tetap berdiri kokoh.
Ia menutup pintu dari dalam, dan mencoba mengendalikan napasnya yang panik. Sekarang karena sudah seperti ini, ia terpaksa menunggu di dalam lemari sampai Himari benar-benar meninggalkan ruang tamu. Dari celah kecil di antara pintu, ia mengintip ke dalam ruang tamu. Saat masuk, Himari meletakkan kotak putih di atas meja.
"Jarang sekali aku tidak perlu mengantre untuk mendapatkan kue tar stroberi dari 'Philia'. Itu membuatku dapat menghabiskan lebih banyak waktu denganmu, jadi aku beruntung sekali!"
"Mungkin hari ini bukan hari yang begitu melelahkan…" Akane menunjukkan ekspresi kebingungan.
Akane jelas menganggap hal ini lebih dari sebuah kesialan. Dia mulai menyiapkan teh di dapur, tetapi gerakannya itu canggung dan tampak tidak nyaman. Kamu tidak perlu sepeka Himari untuk menyadari kalau ada yang aneh. Setelah menggigit kue tar stroberi itu, ekspresi Akane langsung meleleh menjadi satu.
"Sangat enak…!"
"Memang benar~!"
Akane dan Himari saling tersenyum satu sama lain.
"Krim ini rasanya paling enak. Ini sangat kental dan manis, tetapi tidak menghalangi jelasnya rasa stroberi. Mereka juga menggunakan stroberi yang lezat, aku dapat merasakan adanya cinta di dalam kue tar ini."
"Kamu sangat ketat dalam hal stroberi ya, Akane." Himari menyeringai saat Akane menyipitkan matanya karena gembira.
Sebagai respons untuk hal itu, Akane mengangkat dagunya.
"Tentu saja. Dasar dari semua manisan ialah stroberi…Bukan, maksudku dari semua masakan, aku berani mengatakannya! Tidak berlebihan untuk mengatakan kalau sel kita juga terbuat dari stroberi!"
"Yap, aku benar-benar paham~!"
Suasana ceria yang memenuhi ruangan itu. Saito kesulitan menahan keinginan untuk membalas pembicaraan yang kacau ini, saat Himari menyesap teh hitamnya, dan meletakkan cangkirnya kembali.
"Mungkin seharusnya aku sedikit mempercepat tindakanku, kamu tahu."
"Kamu membicarakan cowok itu?" Akane mengangkat satu alisnya.
"Iya. Kami sudah lumayan dekat selama beberapa hari terakhir, dan aku tidak merasa kalau ia membenciku, jadi aku kepikiran untuk mengajaknya berkencan."
"I-Iya…menurutku itu bagus."
Tiba-tiba, obrolan tentang cinta menjadi topik utama. Kemungkinan besar, baik Himari maupun Akane tidak menyadari kalau Saito sedang bersembunyi di lemari. Saito merasa bersalah mendengarkan sesuatu yang seharusnya tidak ia dengar. Di saat yang sama, Himari merasa gelisah dengan cara yang memalukan, dan melanjutkan omongannya.
"Ini merupakan pertama kalinya aku mengalami hal semacam ini, jadi aku akan mengajaknya sendiri… aku agak takut. Bisakah kamu bertanya pada Saito-kun apakah ia mau berkencan denganku akhir pekan ini?"
Saito hampir menjerit keras di dalam lemari. Ia benar-benar tidak mengharapkan perkembangan seperti ini. Memikirkan Himari memiliki perasaan terhadapnya dari semua orang. Ia memang merasa kalau Himari sering mengobrol dengannya akhir-akhir ini, tetapi ia hanya menganggap ini sebagai bagian dari kepribadiannya yang ramah secara umum. Ia merasa tubuhnya semakin panas, dan kesulitan bernapas, mungkin juga itu karena udara yang lembap di dalam lemari.
"…Maaf." Akane mengalihkan pandangannya. "Mengajaknya begitu saja itu agak…"
"Tidak, tidak masalah! Aku juga minta maaf, memintamu melakukan sesuatu yang aneh seperti itu! Aku akan mencoba bertanya padanya sendiri, aku cuma perlu memiliki sedikit lebih banyak keberanian!"
"Maafkan aku…"
"Tidak apa-apa kok, sungguh! Kamu tidak perlu meminta maaf, astaga."
Baik Himari dan Akane terdiam, cuma bisa memegang cangkir di tangan mereka. Suasana canggung menyelimuti mereka berdua. Saat Saito sedang menunggu sesuatu yang terjadi, suara notifikasi datang dari ponsel pintarnya.
—Sial, aku lupa memasang mode diam!
Keringat dingin mengalir di punggung Saito, saat ia mengeluarkan ponsel pintarnya. Yang ditampilkan di layar itu adalah satu pesan dari Shisei.
'Manusia tampaknya berkedip tujuh juta kali dalam setahun.'
Itu adalah informasi yang sebenarnya tidak penting sama sekali. Saito buru-buru mematikan suara notifikasinya, dan pesan lain masuk.
"Shisei ingin memantau Abang selama setahun untuk melihat apakah itu benar."
Diperhatikan sedekat ini selama setahun penuh merupakan pemikiran yang lumayan kasar, bahkan jika orang lain yang dimaksud adalah Shisei. Karena Saito tidak punya waktu untuk menjawabnya, ia memasukkan ponselnya kembali ke sakunya.
"Hah? Apa kamu barusan mendengar sesuatu datang dari lemari?"
"Eh? A-Aku tidak mendengarnya tuh?"
"Kedengarannya seperti suara notifikasi."
"Mung-Mungkin itu cuma imajinasimu saja! Atau mungkin itu datang dari luar!"
Akane tampaknya mengetahui kalau Saito sedang bersembunyi di dalam lemari, karena wajahnya menjadi pucat.
"Aku mengerti."
"Pasti begitu." Akane mengangguk.
Keheningan panjang lainnya menyusul. Meskipun mereka sudah lama bersahabat, mereka tetap menundukkan kepala. Akhirnya, Himari mengangkat kepalanya, dan menatap langsung ke mata Akane.
"Aku akan bertanya untuk memastikan saja, oke? Kamu baik-baik saja kalau aku mengajak Saito-kun berkencan, kan?"
"Me-Mengapa kamu menanyakan hal itu padaku?" Akane bingung.
"Karena aku merasa kalau kamu sudah tertarik padanya sejak kelas sepuluh."
"Aku tidak tertarik padanya, sama sekali tidak!"
"Kalau kamu punya perasaan terhadap Saito-kun, maka aku tidak ingin menghalangimu, Akane. Aku memang menyukainya, tetapi aku juga menyukaimu. Jadi…apa kamu yakin?" Himari menunjukkan tatapan khawatirnya pada Akane.
Rasanya Himari dapat menangkap sedikitpun keraguan atau guncangan emosi di dalam diri Akane.
"Tentu saja tidak masalah."
"Kalau begitu, kamu tidak suka Saito-kun, kah?" Himari bertanya sebagai konfirmasi terakhir.
"Aku tidak menyukainya!" Akane tersipu, dan berbicara dengan bahu gemetar. "Aku benci cowok yang sombong, angkuh, tidak peka, dan egois itu!!"
Mendengar kata-kata ini, rasa sakit menjalar di dada Saito. Itu cuma sebentar, tetapi itu adalah rasa sakit yang tajam dan pasti yang membuatnya menggertakkan gigi belakangnya.
—Apa tadi... barusan? Mengapa dadaku…?
Di tengah kegelapan di dalam lemari, Saito menekan satu tangan di dadanya. Kata 'benci' yang telah ia dengar dari Akane setidaknya ratusan kali, bahkan mungkin ribuan kali, dan ia sudah sangat terbiasa dengan itu sampai-sampai ia menjadi mati rasa karenanya. Namun, mengapa ia merasa sangat campur aduk sekarang?
"Syukurlah~." Himari menghela napas lega. "Aku benar-benar tidak ingin kita menjadi saingan, kamu tahu."
"Ma-Mana mungkin. Cowok itu adalah musuhku."
"Benar, aku yang terlalu memikirkannya! Aku ini benar-benar bodoh!"
"Aku tidak merasa kalau itu membuatmu seperti orang bodoh, tetapi…" Akane menunjukkan senyuman masam.
Namun Himari meraih tangannya, dan menyeringai.
"Aku sendiri yang akan mengajaknya berkencan, jadi bisakah kamu membantuku? Aku ingin tahu tentang jenis pakaian yang ia sukai, dan tempat-tempat yang ingin ia kunjungi!"
"I-Iya…" Akane mengangguk dengan canggung.