Bab 4Perasaan Terpendam(Bagian 2)
Duduk di ruang kelas 3-A, Himari menghela napas.
"Aku meminjam buku-buku yang kamu ceritakan dari perpustakaan, tetapi aku tidak paham apa-apa. Rasanya seperti sedang membaca buku dalam bahasa asing~"
"Ini nyaris sangat rumit, bukan… Itu bukan buku yang akan kamu baca untuk menghabiskan waktu…" Akane jatuh ke mejanya, akibat kelelahan.
Dia merasa tidak dapat dimaafkan karena mungkin ada sesuatu yang tidak bisa dia mengerti, jadi dia menghabiskan malam-malam terakhirnya dengan membaca buku, dan mencari tahu apa yang ada di dalamnya. Mendengar kata-kata Akane, Himari berkedip karena bingung.
"Hah? Kamu juga membaca buku-buku itu?"
"I-Iya…"
"Mengapa?"
"Mengapa… eh, begini…" Kata-kata Akane menyangkut di tenggorokannya.
—Karena aku tidak mau Himari saja yang membaca buku itu.
Tentu saja, tidak mungkin dia bisa mengatakan itu. Dia bahkan tidak tahu alasan mengapa dia merasa begitu lagi terhadap pemikiran itu. Saat dia mati-matian berusaha untuk menemukan jawaban ini di dalam dirinya, semua yang dia lakukan diikuti oleh perasaan suram, dan tidak pasti.
"Maafkan aku karena tidak bisa membantumu lebih dari ini. Harusnya aku meminta beberapa rekomendasi yang lebih sederhana."
"Tidak, tidak masalah! Kamu benar-benar membantuku! Kalau aku tidak mengerti maksud dari apa yang tertulis dalam buku ini, aku bisa langsung meminta Saito-kun memberi tahuku!"
"Eh?"
"Aku akan segera kembali! Terima kasih telah memberiku bahan pembicaraan!" Himari membawa buku itu ke sampingnya, dan berjalan menuju meja Saito.
Akane menghargai kemampuan Himari dalam bertindak dan keterampilannya dalam berkomunikasi. Mengakui kekalahannya dan meminta bantuan dari Saito adalah sesuatu yang tidak pernah bisa dia harap untuk melakukannya.
"Hei, hei, Saito-kun, kamu suka baca buku ini, kan? Aku sudah mencoba membacanya, tetapi ini terlalu sulit bagiku, jadi bisakah kamu membantuku sedikit?" Himari meletakkan buku seukuran batu ke meja Saito.
Sebagai respons, Saito dengan ragu mengangkat satu alis matanya.
"Kamu... bisa baca?"
"Bukankah itu terlalu kejam!? Aku mungkin bodoh, tetapi itu terlalu berlebihan!" Himari cemberut sebagai bentuk protesnya.
"Iya… maaf. Aku cuma sangat terkejut. Aku pikir gadis sepertimu tidak akan membaca hal-hal semacam ini."
"Ngo-Ngomong-ngomong, apa maksud dari bagian 'Kebencian' ini?"
"Coba cari di kamus saja?" Saito kembali ke kegiatan membaca mandiri.
Ia tidak bisa menahan diri bahkan terhadap gadis populer di kelas. Akane merasa ingin berteriak, "Sikap macam apa itu!?", tetapi dia juga tidak ingin membuat mereka berdua berpisah dan memperburuk keadaan. Himari hanya bisa menunjukkan senyuman masam.
"Aku sudah mencari maknanya selama satu jam penuh, menggunakan kamus dan penjelasan daring, tetapi aku masih belum sepenuhnya memahaminya."
"Satu jam penuh? Kamu benar-benar berusaha, ya." Saito mengangkat kepalanya dari bukunya.
"Ini membicarakan tentang sesuatu yang dirasakan oleh orang yang lemah terhadap orang yang kuat… tetapi ketika di situ dikatakan orang yang kuat, apakah yang mereka maksud itu mereka yang kuat secara fisik dalam pertarungan?"
"Kamu mungkin berbicara tentang permusuhan?"
"Eh, apa yang barusan itu!? Apakah itu sesuatu untuk dimakan, seperti wortel?"
"Bukan itu. Mengapa langsung mengarah ke makanan?*" Saito menghela napas, tetapi ia sendiri sepertinya menikmati hal ini.
(TL English Note: Seluruh percakapan ini tercipta karena Himari yang tidak bisa membaca kanji, tetapi menyampaikan itu dalam bahasa Inggris (dalam hal ini Bahasa Indonesia) dalam artian langsung itu hampir mustahil untuk dimengerti, jadi aku mengubahnya sedikit.)
Saito menutup buku yang sedang ia baca, dan menatap langsung ke wajah Himari.
"Misalnya, ada seorang siswa atau siswi yang tidak terlalu pintar."
"Kamu membicarakanku, bukan?"
"Tidak, siapa saja kok bukan kamu secara khusus. Mereka merasakan kemarahan dan penyerangan terhadap siswa atau siswi yang pintar, berpikir 'Mengapa ia sangat pintar? Tidak adil kalau ia dilahirkan dengan begitu banyak bakat. Alasanku dimarahi karena nilaiku yang buruk adalah karena ada siswa yang sangat baik sepertinya. Itu bukan karena aku belajar, tetapi itu salahnya. Mari kita semua membunuhnya bersama-sama', kamu tahu."
"Itu sangat egois!"
"Ini yang dimaksud kebencian. Kamu tidak bekerja keras untuk mengalahkan orang yang kuat, tetapi menganggap mereka sebagai orang jahat, dan membuat dirimu sendiri, orang yang lemah, tampak seperti orang yang adil dan benar. Itu sama dengan mengatakan 'Semua orang kaya itu bersalah!' atau 'Tidak adil kalau hanya dia yang sangat cantik!', kamu tahu." Saito mengangkat bahunya.
Mendengar penjelasan ini, mata Himari bersinar.
"Ahhhh! Aku mengerti! Itu sangat mudah dimengerti! Kamu sangat pandai dalam mengajari orang lain, Saito-kun!"
"Lagipula, aku itu seorang jenius." Saito menyombongkan dirinya, tapi ia menunjukkan senyuman yang tipis.
—Ia bertingkah sombong lagi…
Melihat dari kejauhan, Akane merasakan kemarahan yang menumpuk di dalam dirinya. Jika Akane berdiri di sana dan bukan Himari, dia akan memberi Saito hak penuh sekarang. Namun, Himari tidak menunjukkan kemarahan terhadap sikap sombong Saito, dan hanya menanyakan pertanyaan berikutnya sambil tersenyum. Saito juga tampak puas setiap kali memberikan jawaban.
"Himari itu hebat." Shisei berbisik, yang telah muncul di sebelah Akane tanpa dia sadari.
"Hebat… dalam hal apa?"
"Berurusan dengan Abang. Abang suka mengajar orang lain, dan sering diandalkan. Itu sebabnya Abang sudah merawat Shisei sejak aku masih muda."
"Itu masuk akal."
"Kamu harus belajar dari Himari, Akane."
"Me-Mengapa aku menjadi bagian dari percakapan ini sekarang!?" Akane bimbang.
"Kamu tidak bergantung pada Abang, bukan?"
"Ten-Tentu saja tidak… Harga diriku tidak mengizinkanku untuk bergantung padanya, dan aku tidak ingin ia berpikir kalau ia lebih baik dariku."
"Abang akan lebih senang jika kamu melakukannya."
"Me-Mengapa aku harus membuatnya senang!?"
"Kamu tidak mengerti kah?" Shisei memiringkan kepalanya.
"Aku rasa tidak, ya!"
Akane tidak mengerti mengapa wajahnya mulai memanas.
"Tidak apa-apa kalau begitu. Selamat tinggal." Shisei menjauh dari bangku Akane, dan diseret keluar ruangan oleh sekelompok gadis.
Mereka bahkan sampai memasukkan roti kukus ke dalam mulutnya sehingga Shisei tidak bisa berteriak minta tolong.
(TL Note: Kasihan banget nih anak.)