Bab 4Perasaan Terpendam(Bagian 3)
Baru-baru ini, seorang gyaru di kelasnya sering menghampiri dan meminta penjelasan Saito tentang buku-buku. Hari ini seperti biasanya, Saito berdiri di lorong, mencoba memberikan sebuah jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh Himari.
"Jadi pada dasarnya, 'Ubermensch' ini sebagaimana yang Nietzsche sebutkan sebenarnya bukanlah seseorang berkekuatan super, melainkan seseorang yang berfokus pada apa yang ingin ia lakukan, dan tidak menghindar dari upaya yang diperlukan, menemukan caranya sendiri tidak peduli bagaimana caranya."
"Jadi seseorang seperti Akane?"
"Aku rasa kamu bisa memanggilnya 'Ubermensch', iya."
Kalah bersaing dengan Saito selama dua tahun berturut-turut dalam urusan nilai pasti membuatnya semangat, dan bahkan menurunkan motivasinya. Namun, Akane tidak menyerah. Dia bersumpah suatu hari nanti pasti akan mampu mengalahkan Saito, dan bekerja keras untuk hal itu setiap hari.
—Sekarang, kalau aku pikir-pikir lagi, dia benar-benar luar biasa.
Kalau Saito berada di posisi yang sama dengan Akane, ia mungkin sudah melempar handuk. Dia akan menempatkan dirinya pada alas yang benar, mengatakan sesuatu seperti 'Ini tidak efisien' atau 'Tidak dapat mengatasi kesenjangan bakat'. Karena Akane tidak membuat alasan ini untuk dirinya sendiri, dia adalah orang yang kuat, tidak diragukan lagi. Meskipun itu mungkin melelahkan.
"Aku sudah cukup mengerti semua yang membuatku bingung tadi malam! Terima kasih banyak!"
"Mengapa kamu bahkan membaca buku ini? Buku bergambar akan jauh lebih cocok buatmu."
"Ahh, kamu memperlakukanku seperti orang bodoh lagi!" Himari cemberut.
"Aku berusaha untuk menjadi perhatian di sini. Aku rasa membaca buku dengan huruf saja seperti ini pasti membosankan."
"Tidak masalah sama sekali! Meskipun kepalaku mulai kelieungan setelah kurang lebih lima menit membaca!"
"Itu pasti terdengar seperti masalah bagiku, kamu tahu?"
"Mudah saja! Terkadang aku merasa kesadaranku kosong begitu saja, tetapi itu bukanlah masalah besar!"
"Rawat dirimu lebih baik lagi, oke."
Saito masih belum bisa memahami maksud Himari membaca semua ini. Ini pastinya bukanlah jenis genre yang akan dibaca oleh seorang siswi sepertinya, namun dia tampak sangat menyukainya dan senang dengan segala penjelasan yang diberikan oleh Saito padanya. Meskipun dia jelas-jelas memaksakan dirinya, sepertinya tidak tampak seperti itu sama sekali.
"I-Iya, kamu tahu, terkadang aku ingin membaca sebuah buku yang sedikit lebih serius, itu pastinya akan memberiku pengalaman hidup yang berharga, bukan? Mungkin itu akan membantu menaikkan nilaiku sedikit?"
“Bahkan kalau kamu membenamkan gigimu ke dalam buku begini, aku ragu kalau itu akan membantu ujian-ujian SMA."
"Pokoknya, terima kasih, ya! Maaf karena aku selalu mengganggumu!" Himari menepuk tangannya bersamaan, dan menundukkan kepalanya.
Dia mungkin terlihat seperti seorang gyaru yang buruk dari luar, dengan penampilan mencolok yang kamu harapkan, tetapi tidak seperti gyaru-gyaru pada umumnya, dia peduli, dan sangat sopan.
"Kamu tidak merepotkan kok. Mengobrol denganmu itu menyenangkan."
"Eh? Be-Benarkah…?"
"Suer dah."
"A-Ahaha… sedikit memalukan mendengarmu mengatakan hal itu." Himari menggaruk pipinya.
Lehernya, yang memiliki kalung yang dipasangi di bawahnya, berubah menjadi sedikit merah. Saito tidak punya niat tertentu saat mengatakan hal itu, tetapi melihat reaksi yang Himari pasang membuat Saito juga merasa malu.
"Tetapi, selalu memberi tahuku pasti merepotkan, bukan?"
"Aku tidak suka memberi tahu orang lain. Dan, bagaimanapun juga, aku berutang budi padamu."
Himari menatap Saito dengan tampang bingung.
"Utang budi? Apa aku menyelamatkan beberapa kerabatmu tanpa menyadarinya? Ataukah aku menyelamatkan nyawa seseorang?"
"Memang bukanlah masalah besar sih ...Meskipun begitu, aku rasa kamu telah menyelamatkan nyawaku." Saito mengarahkan pandangannya ke arah ruang kelas.
Dia bertatapan mata dengan Akane yang sedang melirik ke arah mereka, tak lama dia mengalihkan pandangannya lagi.
"Ketika aku dan Akane bertengkar, kamu selalu datang untuk melerai kami, bukan?"
"Aku cuma tidak bisa saja melihat orang bertengkar..."
"Berkat hal itu, kamu menyelamatkanku beberapa kali. Tanpa adanya dirimu, aku pasti sudah mati saat ini." Saito merasakan rasa terima kasih yang murni saat dia menjelaskannya.
"Yang-yang benar saja saat ini, kamu tidak perlu berterima kasih padaku karena hal itu!" Himari jadi bingung, dan menarik tubuhnya ke belakang.
Karena hal itu, Himari menabrak seorang siswa yang berjalan menyusuri lorong. Menghindari yang berikutnya, dia sekarang menabrakkannya ke bahu Saito.
"Ah, ma-maaf."
"Tidak masalah…"
"Ahh, ya ampun, apa sih yang aku lakukan! Ini sangat memalukan~." Himari meletakkan telapak tangannya ke pipinya yang memerah, sambil terkikik.
Biasanya dia selalu dipenuhi dengan energi, tetapi Saito menyadari bahwa Himari memiliki sisi dan ekspresi feminim. Dia menyatukan tangannya, dan melanjutkan kata-katanya.
“Tetapi, Akane itu bukan gadis nakal loh, kamu tahu? Dia yang memberi tahuku tentang buku-buku yang kamu suka."
"Mengapa dia mau melakukan itu?"
"Ah…Iya, aku cuma ingin mengobrol denganmu lebih banyak lagi. Aku rasa aku mungkin akan dapat lebih memahamimu kalau aku membaca buku-buku yang kamu sukai."
Itu tampak seperti Himari tertarik berteman dengan Saito. Merasa sedikit bingung, Saito menggaruk-garuk pipinya.
"Aku senang mendengarnya, tetapi…kamu tidak perlu memaksakan dirimu atau semacamnya, oke?"
"Aku tidak memaksakan diriku kok! Aku mungkin orang yang bodoh, tetapi aku akan memahaminya dengan baik kalau kamu menjelaskannya padaku. Tidak bisa melihat hal-hal yang kamu lakukan itu... akan menyedihkan."
"Begitukah cara kerjanya?"
"Begitulah cara kerjanya… Dengan orang yang seperti itu, kamu ingin melihat pemandangan yang sama." Himari menyatukan kedua tangannya di depan dadanya, dan membisikkan sesuatu dengan kepalanya menghadap ke bawah.
Ketika Himari menatap Saito lagi, tatapannya terasa penuh pesona, dan memikat. Aroma parfumnya, Saito menjadi lebih sadar akan hal itu. Himari sedikit panik, dan kembali ke topik pembicaraan.
"Ngo-Ngomong-ngomong, Akane itu gadis yang baik! Ketika aku diganggu waktu SD, dialah orang yang menyelamatkanku."
"Ada orang yang mau merundungmu…? Aku rasa seperti sebaliknya mereka yang akan dipukuli oleh seluruh kelas…"
"Kamu pikir aku ini siapa, sih?" Himari memberi Saito tatapan merasa terganggu.
"Penguasa kelas, kan?"
"Itu tidak benar! Saat ini, aku mungkin bergaul dengan semua orang, tetapi kala itu aku buruk dalam berurusan dengan orang lain. Karena aku tampak berbeda dari mereka, aku menonjol secara negatif." Himari meletakkan satu tangannya ke rambut pirangnya yang indah, sambil menunjukkan senyuman masam.
Seperti yang Himari katakan, kalau kamu menggunakan mode (fesyen) semacam ini sejak SD, kamu akan tampak menonjol dari kerumunan, dan diperlakukan sebagai orang luar.
"Tetapi aku tidak membenci penampilanmu."
"Eh, be-benarkah?"
"Iya. Ada banyak orang yang tidak akan tampak ayu dengan rambut pirang, tetapi itu sangat cocok buatmu. Selera fesyenmu juga bagus, jadi kamu tahu cara membuat dirimu tampak lebih menarik."
"Te-Terima kasih…"
"Iya, aku ragu itu akan sangat berarti, karena itu datang dari seorang cowok yang tidak masuk akal sama sekali." Saito mengangkat bahunya.
"Tidak kok, dipuji oleh Saito-kun… membuatku bahagia." Pipi Himari berubah menjadi merah muda samar, saat dia tersenyum.
Saito benar-benar berharap kalau Himari tidak akan mengatakan hal semacam ini secara blak-blakan. Mudah bagi seorang cowok untuk salah memahami kebahagiaannya, dan mengubahnya menjadi beberapa potensi kasih sayang romantis terhadap dirinya.
"Kamu dan Akane benar-benar mirip satu sama lain."
"Dari mananya?"
"Ketika aku dirundung, Akane juga mengatakan hal yang sama. 'Warna rambut Ishikura-san indah', mengerti. 'Semua orang yang berbicara buruk tentang itu tidak masuk akal', katanya."
"Pada para perundung?"
"Secara langsung di dalam ruang kelas. Itu seperti pernyataan perang, dan itu sangat keren…" Himari berbicara seperti dia mengagumi seorang pahlawan yang menyelamatkannya.
"Tetapi aku yakin dia cuma mengatakan apa yang dia pikirkan, sih."
"Mungkin saja." Himari tertawa terbahak-bahak. "Karena dia melindungiku, Akane juga dirundung, mejanya penuh coretan dan hinaan tertulis, tapi dia sendiri yang mencari pelakunya, dan memberi mereka perhatian yang buruk setelahnya."
"Itu menyebalkan…"
"Iya, Akane saja sampai mengalami kesulitan."
"Aku sebenarnya lebih bersimpati dengan para pelakunya."
"Mereka!?"
"Mendapati mereka, Akane mungkin membuat mereka menyesal dilahirkan ke dunia ini, pasti sangat keras."
"Ahh, aku penasaran…Ahaha…"
Itu persis seperti yang Saito bayangkan.
"Akhirnya, mereka semua terlalu takut untuk merundung seseorang lagi, tetapi Akane juga akhirnya terasingkan. Berkat Akane, aku terselamatkan. Itulah sebabnya...Akane itu penyelamatku yang berharga. Aku ingin dia bahagia, apapun yang terjadi." Himari memandang Akane yang duduk di kelas dengan tatapan seorang kakak yang peduli.
Saito sekali lagi berpikir kalau Akane itu orang yang lantang dan tidak peduli dalam hal ketidakberuntungannya sendiri. Dia juga tidak bisa menyembunyikan perasaannya sendiri. Entah itu terhadap orang-orang yang merundung orang lain, atau mereka yang membuat orang lain menderita. Dia hanya mengerahkan pada tenaga ini, pada keyakinan ini, dan dengan canggung melangkah maju. Dia seperti seekor naga yang ceroboh, dan berwarna merah tua seperti yang disarankan oleh namanya*.
(TL Note: Kanji 'Aka' pada nama Akane adalah variasi untuk kata 'Merah'.)
"…Iya, dia berbahaya kalau kamu tidak berada di dekatnya."
"…Iya." Himari menyejajarkan bahunya dengan bahu Saito, dan bergumam.
Akane mengerutkan alisnya. Selama menit yang sedang hangat sekarang, mereka berdua hampir saja terlalu dekat. Mereka saling berbicara satu sama lain, tersenyum satu sama lain, bahu mereka hampir bersentuhan. Mereka bahkan terlihat cukup dekat untuk menjadi sepasang kekasih.
—Apa sih yang mereka berdua bicarakan…?
Akane tidak bisa mendengar percakapan mereka dari dalam ruang kelas. Karena dia tidak ingin menghalangi Himari, dia juga tidak bisa mendekati mereka.
"Apa kamu penasaran dengan Abang dan Himari?"
"!?"
Shisei tiba-tiba bertanya pada Akane tanpa peringatan apapun, membuat Akane hampir terjatuh dari bangkunya. Akane meletakkan tangannya di jantungnya yang berdebar kencang, dan memperbaiki postur tubuhnya.
"A-Aku tidak penasaran, kamu tahu… Aku hanya merasa kalau aku belum pernah melihat wajah itu pada Himari sebelumnya."
Itu adalah wajah seorang gadis yang kebingungan. Pipinya berwarna merah samar, disebabkan oleh rasa malu, dan matanya terpejam karena mengantuk, namun dipenuhi dengan panas. Wajah Himari ketika dia mengobrol dengan Saito jauh lebih manis ketimbang wajah apapun yang dia tunjukkan saat mengobrol dengan Akane. Pasti warna cinta yang mengubahnya menjadi seperti ini.
"Ini bukan pertama kalinya dia begini. Saat Himari melihat Abang, dia juga memasang wajah begitu."
"Benarkah?" Akane memberikan reaksi terkejut, dan Shisei menganggukkan kepalanya.
"Himari sudah seperti ini sejak masa kelas sepuluh kita. Apa kamu tidak pernah menyadarinya, Akane?"
"A-Aku tidak tahu tuh…" Akane tidak punya kata-kata untuk menjawabnya.
Akane merasa sedikit terkhianati mengetahui tentang sahabatnya dari orang lain.
"Abang dan Himari itu sangat cocok satu sama lain."
"A-Apakah mereka benar-benar cocok? Aku merasa gadis yang cantik seperti Himari disia-siakan oleh cowok itu."
"Karena Himari itu baik dan lembut, dia akan menerima bagian egois dari Abang, dan kedekatan mereka sangat hebat. Shisei tidak pernah melihat keduanya bertengkar sebelumnya."
Dengan tatapan yang dapat melihat segalanya, Shisei mengamati Akane dengan cermat.
"A-Aku sih tidak peduli."
"Jadi, mengapa kamu sekarang berada dalam suasana hati yang buruk?"
"Aku tidak kok!"
Akane merasa senang karena Himari mampu bergaul dengan Saito, dari lubuk hatinya yang paling dalam. Dengan begini, dia telah membantu Himari. Dia berhasil membuat Himari bahagia. Namun, perasaan suram apa yang ada jauh di dalam dirinya? Perasaan tidak nyaman yang tumbuh dalam diri Akane ini membuatnya gelisah, dan kebingungan. Itu adalah perasaan yang sama yang dia rasakan ketika dia melihat Shisei berpegangan pada Saito. Seperti yang Shisei katakan, mungkinkah ini perasaan cemburu?
—Ti-Tidak mungkin! Kita sedang membicarakan Saito, kamu tahu!? Kami itu bermusuhan, dan aku membencinya lebih dari siapapun di dunia ini! Mengapa aku merasa cemburu karena seseorang yang tidak bisa aku dukung!?
Akane dengan panik menggelengkan kepalanya. Ini merupakan imajinasinya, tidak lebih dari itu. Menerimanya lebih dari itu…dia terlalu takut untuk melakukannya.