Bab 2Reservasi Pesta Piza untuk Gadis yang Sangat Cantik
Hari Selasa. Ini masihlah hari lain dengan cuaca yang indah dan cerah... tetapi sayangnya, pikiranku masih berawan.
Karena masih belum ada bukti nyata bahwa Mitsumine masih hidup hari ini.
(Tidak apa-apa. Aku sudah memeriksa notifikasi di ponselku sejak kemarin, dan ketika aku mencari 'siswi SMA bunuh diri, tetapi aku tidak mendapatkan informasi hit apa pun. Jadi, Mitsumine seharusnya masih belum meninggal sekarang. Lebih dari apapun, dia telah berjanji padaku kalau dia akan tetap hidup sampai pekan depan.)
Buku catatan kosakataku, yang mana aku biasanya selalu sudah membukanya, terbaring di dalam tasku hari ini. Itu karena aku telah memikirkan tentang itu sepanjang waktu sambil duduk di bangku peron sehingga aku tidak bisa belajar. Serius. Aah. Di situasi ini, bahasa Inggris dan matematika yang sudah aku perjuangkan tidak berguna.
Itu akan hebat jika aku memiliki dalih dan kemampuan untuk mengeluarkan kata-kata yang dapat memastikan bahwa Mitsumine masih akan bisa hidup besok.
Ada lima menit tersisa sampai waktu ketika Mitsumine biasanya turun di stasiun ini untuk berganti kereta api. Aku memakai arlojiku pada pertama kalinya hari ini karena aku ingin untuk memeriksa setiap detik pun.
Aku melihat jarum panjang dan pendek arlojiku bergerak sangat lambat selama tepat lima menit.
Apa yang tampak seperti sebuah keabadian bagiku akan berakhir dengan suara gemuruh kereta api dan dentuman di kejauhan.
"Selamat pagi."
Dengan rapi mengenakan seragam sekolah. Rambut panjang dan halus yang seharusnya tidak terasa terlalu panas ketika dia telah turun. Penyuara jemala (headphone) putih yang murni.
Gadis yang sangat cantik, berpakaian persis sama seperti kemarin, turun dari kereta api dengan langkah yang cepat.
"........ Selamat pagi."
Satu-satunya gadis cantik yang aku kenal yang menggunakan stasiun pedesaan ini lebih awal di pagi hari adalah Mitsumine.
Meskipun aku memiliki keyakinan tertinggi masih akan hidup hari ini, sekujur tubuhku mulai berkeringat.
"Ini hebat karena kamu hadir ke sekolah hari ini."
"Tentu saja aku hadir. Lagipula, tidak sepertimu, aku itu pelajar teladan yang sempurna dengan kehadiran dan ketepatan waktu yang juga sempurna."
"...Bukan begitu, itu akan baik-baik saja bahkan jika kamu tidak hadir."
"Apa-apaan tuh? Sesuatu seperti 'Kamu luar biasa untuk hidup.'?. Aku tidak pandai dengan kata-kata itu. Seharusnya bukankah itu menjadi 'Kamu luar biasa selama kamu melakukan yang terbaik'? ...Itu juga salah, ya. Lagipula, bahkan jika kamu melakukan yang terbaik, tidak ada yang akan berubah."
Apakah ini sarkasme? Atau apakah ini mencela diri sendiri? Aku bukan mencoba untuk bilang kalau itu tidak akan hebat jika dia meninggal atau apalah.
Mitsumine berkata dengan cemberut, dan mulai menatapku yang hanya berdiri dan masih terheran-heran.
"A-kun, apakah kamu benar-benar menggunakan stasiun ini?"
"Jika aku tidak, lalu mengapa kita turun di sini bersama kemarin?"
"Tidak maksudku, kebetulan semacam itu jarang, benar kan? Haa... Mungkin A-kun seperti penggemarku atau semacamnya? Aku akan memberi tahumu dari awal, tetapi aku siap untuk melaporkanmu kapanpun."
"Kamu jelas sekali salah!! Tolong, bisakah kamu berhenti mengatakan hal-hal seperti itu tentangku."
Aku terluka. Aku sudah berbohong kalau aku bukanlah seorang penggemar, tetapi aku hanya terluka biasa.
Aaah. Hatiku yang lembut terluka.
"Betapa kejamnya! Kamu akan membuat A-kun menangis!" Ketika aku protes pada Mitsumine, dia menjawab, "Ia benar-benar menangis. Betapa malangnya."
Betapa dinginnya! Aku akan benar-benar menangis.
Tetapi sekarang bukan waktunya untuk bercanda, jadi aku menghentikan tangisan palsuku dan membuka mulutku untuk kembali ke cerita yang telah aku gelincirkan.
"...Iya mau bagaimana lagi kamu tidak pernah memperhatikan. Mitsumine, kamu tidak pernah benar-benar melihat ke belakang, iya kan?"
Itu benar. Dia tidak pernah duduk, tidak pernah melihat ke ponselnya, tidak pernah melihat ke buku catatan kosakatanya, dia hanya memasang penyuara jemala putihnya yang murni dan melihat dari kejauhan melintasi rel.
Itu normal kalau dia tidak pernah memperhatikan memperhatikanku, yang selalu berada di belakangnya.
"Hei Mitsumine, apa yang selalu kamu lihat?"
"........ Tidak ada."
"Mengapa kamu seperti itu? Tidak masalah untuk memberi tahuku, iya kan?"
"Diamlah. Aku benar-benar tidak melihat apapun secara khusus."
Suaranya sangat dingin sehingga aku menghentikan diriku untuk bertindak lebih jauh.
Aku selalu berpikir kalau Mitsumine melihat ke sisi lain rel.
(Mungkin itu memang rel itu sendiri yang dia lihat.)
–––Di sebelah mana dia bisa melempar dirinya ke atas apapun.
Kenyataan dari imajinasiku mengirimkan kedinginan di bawah tulang belakangku sampai jari-jari kakiku.
Jika tebakanku benar, lalu jumlah berapa kali aku mengagumi punggung Mitsumine dan lirikannya, dia malah berpikir untuk bunuh diri.
Dia berpikir kalau dia ingin wafat.
(Karena terpikat oleh penampilannya seperti itu, aku benar-benar orang yang bodoh, iya kan...)
Aah, aku ingin sebuah mesin waktu. Lalu, aku akan pergi dan mengalahkan omong kosong dari diriku sendiri karena senang dengan kehidupanku yang lumayan 'luar biasa'.
Tetapi tidak ada yang bisa aku lakukan tentang itu saat ini, jadi aku harus menebusnya sekarang. Aku mencubit lenganku untuk menjaga Mitsumine dari mencari tahu dan memfokuskan ulang tenagaku.
"Baiklah, tidak apa-apa. Kalau begitu mengapa kamu tidak mulai melihatku saja mulai hari ini! Aku ingin menyelesaikan permainan Shiritori dari yang sebelumnya. Tidak masalah, kamu bisa melihat beberapa orang keren di pagi hari."
"Haa? Mengapa aku harus melihat A-kun di pagi hari ketika itu sangat menyenangkan?"
"Haaaa? Aku itu lebih menyegarkan dari penyiar berita cuaca pagi, tidak peduli bagaimana kamu melihatnya!"
"Tidak mungkin. Ini masih terlalu awal di pagi hari untuk melihat wajah A-kun. Itu masih belum cukup menyegarkan."
"Kalau begitu aku akan menunjukkanmu wajah larut malamku! Tidak, sebaliknya, aku lebih bertanggung jawab atas acara larut malam, aku tidak harus bangun lebih awal. Mitsumine juga, kamu lebih banyak menonton televisi di malam hari, kan?"
"Yo, penyiar larut malam."
"Tidak, ada apa dengan 'penyiar larut malam' ? Apakah kamu kritikus larut malam atau apalah? Apa yang kamu lakukan pada acara itu di awal?"
"Fufu. Aha, A-kun itu orang yang bodoh, benar kan? Fufufu, A-ku-, fuhaha."
Serangan balik yang tak terhentikan berhasil dalam menghancurkan otot perut Mitsumine.
Mitsumine, yang tertawa terbahak-bahak, pasti sudah mencapai batasnya dan tumbang ke bangku di sebelahku. Dia melanjutkan tertawa untuk beberapa saat, sebelum akhirnya berhasil untuk mengeluarkan kata-kata.
"Jadi, Kurage." (TL English Note: Ubur-ubur.)
"Eh?"
"Seperti yang kamu bilang, Shiritori. Bukankah kita ingin melanjutkan? Itu akan mengganggu jika kita tidak mengakhiri ini sampai pekan depan."
"Oh, ooh. Aku mengerti, itu benar."
Tawa dari Mitsumine memang sangat imut sehingga saranku menghilang dari pikiranku.
Ge, ge, ge. Aku mencoba mengingat kata yang berhubungan dengan laut yang dimulai dengan 'ge' dari kata-kata yang aku cari dengan putus asa kemarin ketika aku kembali pulang.
Lalu, aku mencoba untuk membicarakan sesuatu yang baru saja masuk di pikiranku.
"Baru saja kepikiran, apa yang selalu kamu dengarkan dengan penyuara jemala itu, Mitsumine?"
Tiba-tiba aku menyadari sebuah perasaan yang tidak nyaman.
Sejak beberapa waktu yang lalu, Mitsumine telah mengobrol denganku dengan menyalakan penyuara jemalanya. Aku penasaran dengan bagaimana dia bisa mendengarkan suaraku sambil menyalakannya.
Terlebih lagi, ketika aku memikirkan kembali, aku menyadari bahwa Mitsumine selalu memakai penyuara jemala. Aku penasaran apakah dia memiliki semacam kasih sayang pada benda itu.
"Uwaa, kamu mengulur waktu. Licik, kamu memang licik. Seperti yang diharapkan dari seorang penyiar larut malam."
"Jangan buat pemendekan nama yang aneh. Dan juga, Aku tidak suka nama panggilan itu." (TL Note: Penyiar = Penyiar Berita.)
"Hmph. Iya, karena tidak ada cara lain, aku akan memberikanmu sebuah rintangan. Aku memberi tahunya ekslusif untuk sang penyiar larut malam A-kun."
Tampaknya, Mitsumine belum menyadari kecurigaanku.
Melepaskan penyuara jemalanya tanpa indikasi apapun kalau dia ingin menghentikan musiknya, Mitsumine tersenyum dengan indah dan membuka mulutnya.
"Aku sedang mendengarkan sebuah lagu yang populer akhir-akhir ini, lagu yang terus berteriak 'kamu' dan 'aku' dan juga 'aku cinta kamu' tanpa henti."
"Hee~, itu tidak terduga. Aku kira kamu mendengarkan musik dengan genre hard rock atau punk."
"... A-kun, apa yang kamu pikirkan tentangku? Karena jawaban itu, aku mungkin akan memukulmu lagi. Kamu pikir seorang gadis yang rapi, manis, dan sangat cantik sepertiku akan mendengarkan rock."
"Eh mengerikan! Kamu terlalu cepat bergantung pada kekerasan! ...Tidak, aku tidak berkata begitu karena ingin dipukul, aku sebenarnya berpikir begitu dari awal. Menjadi teladan dan sempurna itu tidak relevan, kamu bisa mendengarkan musik apapun yang kamu sukai, bukan? Tidak ada yang mengatur preferensi seseorang. Itu yang pikirkan untuk apa kamu memakai penyuara jemala."
Penyuara jemala kurang rentan terhadap kebocoran suara daripada penyuara telinga (earphone), jadi aku pikir dia mendengarkan sesuatu dengan lirik yang tidak ingin dia ekspos. Itulah apa yang aku pikirkan tetapi.
"....... Kamu salah."
Tampaknya, aku hanya terlalu memikirkannya.
"Oke. Kalau begitu, karena aku sudah mengulur beberapa waktu, mari kita melanjutkan permainan shiroritori-nya. Dengan 'Geshō'." (TL English Note: Tentakel cumi-cumi.)
" 'Sō, apa ya? Sō–, Sō––."
Mitsumine bersenandung dan mencari kata.
Lalu sekali-kali, dia mencoba untuk mengulur waktu dengan berpaling padaku dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan sederhana, dan selama itu, aku mendengarkan kereta api tujuan sekolah dan sampai di stasiun kami.
Waktu berlalu ketika aku sedang bersama Mitsumine.
"Masih belum, aku masih belum kalah. Aku masih belum kalah, jadi aku aman untuk pekan depan!"
Mitsumine telah melihat pelatihan datang, dan berkata sambil mengacungkan jari telunjuknya padaku.
Normalnya, aku akan mengatakan, "Tidak, ini adalah kemenanganku." tetapi karena aku akan bermasalah jika permainannya diselesaikan di sini, aku berkata, "Mau bagaimana lagi~. Kalau begitu, aku bisa memberimu setiap waktu yang kamu butuhkan, lagipula aku yang akan menjadi pemenangnya, aku tunggu akhir pekan ini." ketika aku berkata begitu, Mitsumine tampak frustrasi, dan aku membuat pose berani dalam pikiranku. Dengan begini, dia mungkin tidak akan meninggal hari ini. (TL English Note: Pose berani (guts pose) pada dasarnya adalah pose yang para atlet buat setelah menang, kalian bisa meng-google-nya, sebenarnya.]
Setelah itu, Mitsumine pergi duluan sendirian, menaiki kereta api itu dengan gagah.
Satu-satunya alasan mengapa dia tidak datang bersamaku adalah, tentu saja, bahwa dia memiliki banyak teman yang menunggunya. Aku bukan satu-satunya orang yang mengaguminya.
Iya, ini hanya perkara yang biasa. Seperti biasanya, ekspresi di wajahnya selagi dia mendengarkan pembicaraan seseorang sangat berbeda dari Mitsumine yang sebelumnya sehingga itu membuat hatiku sakit.
Aku harap aku menyadarinya lebih awal. Tidak ada yang bisa aku lakukan tentang itu sekarang.
Lagi-lagi, lagi-lagi.
–——, Aku memperhatikan selagi dia menaiki kereta api, plester yang aku tempel pada Mitsumine kemarin sudah menghilang tanpa jejak. Nomor telepon yang telah ditulis di bawahnya juga.
(Apa dia membuang plester itu? Tidak, itu tidak penting, apa yang penting itu apakah Mitsumine sudah menyimpan nomorku atau tidak sebelum menghapusnya...)
Aku membenci ketika aku sendirian karena aku akan berakhir dengan banyak pikiran. Aku bahkan jadi tambah bingung.
Kemudian, memikirkan itu aku mengosongkan kepalaku, aku menampar pipiku sendiri.
Jepret. Lirikanku dan lirikan Mitsumine bertemu.
(Di-dia melihat ke sini!?)
Dan kemudian, dia tersenyum padaku dan berkata "Bodoh~".
(Apa-apaan, apa-apaan, apa-. Jangan cuma tersenyum padaku seperti itu tiba-tiba sekali!!)
Keseharianku yang biasanya, baru saja menjadi sedikit lebih luar biasa.
Kemarin lusa, aku sedang menatap gadis yang sangat cantik, tetapi saat ini, Mitsumine mengenali keberadaanku.
Itu mungkin normal, karena kami telah berbicara sampai beberapa waktu yang lalu, karena dia belum pernah berbalik ke arahku di dalam kereta api, gaya destruktif itu terlalu kuat.
"Hatiku akan hancur, aku telah mengagumi Mitsumine selama hampir satu setengah tahun sekarang," aku benar-benar ingin berteriak, tetapi.
"Sepulang sekolah. Di sebuah ruang kelas yang kosong. Jangan lupa."
Aku menekan perasaanku dan mengucapkan ini dalam diam, dan Mitsumine agak mengangguk dengan sedikit enggan. Lalu dia kembali ke ekspresi 'Gadis yang Sangat Cantik'.
"Sepulang sekolah di hari Selasa, temui aku di ruang kelas yang kosong di bangunan sebelah."
Janji ini telah dibuat secara paksa kemarin saat aku sedang berlari menuju stasiun.
"Hei Mitsumine, apakah kamu memiliki rencana apapun sepulang sekolah?"
"Tidak. Tetapi memangnya mengapa?"
"Hebat. Kalau begitu, maukah kamu menghabiskan waktu bersamaku besok sepulang sekolah?"
Mitsumine tampak sangat waspada terang-terangan menjauhkan diri dariku. Apakah itu terlalu kasar?
"Itu bukan seperti itu. Aku tidak akan menyakitimu atau apapun!!"
"... Kalau begitu untuk apa?"
"Untuk apa? Iya, untuk memastikan kalau Mitsumine tidak akan melaju begitu saja dan meninggal. Aku mencoba untuk terus memantaumu, mengawasimu."
Tampak meragukan kata-kataku, Mitsumine mengeluarkan ludah.
"Mengapa? Itu tidak penting apakah aku meninggal atau tidak, lagipula kamu yang bilang begitu."
Mitsumine berkata, seolah-olah ingin menambahkan, "Memang seperti itu ujung-ujungnya."
"Tidak tidak tidak tidak. Maksudku, jika Mitsumine meninggal sekarang, bukankah aku harus pergi mengambil permata itu pekan depan, semuanya dengan sendiri?"
Aku berpura-pura tidak memperhatikan apapun dan berkata dengan jelas dengan wajah yang serius.
"Nanti, orang-orang dari toko pasti akan berkata, 'Ah, mereka berdua putus. Padahal mereka tampak begitu bahagia bersama, pasangan itu hanya sekilas saja.' benarkan? Bukankah akan aneh jika aku harus mengambil aksesori untuk dua orang itu semuanya sendiri? Aku akan sangat menyedihkan!"
Oh, tidak bagus. Itu dimaksudkan untuk menjadi alasan, tetapi hanya memikirkannya saja membuatku menangis.
"Haa!? Itu alasannya!? A-kun adalah orang yang berpura-pura aneh, kamu baru saja menuai apa yang kamu tabur!"
"Maksudku, ini pertama kalinya seorang pramuniaga rokok bertanya padaku apakah aku sedang bersama pacarku jadi aku tidak bisa apa-apa!! Itu luar biasa bahagianya!!"
"Kamu sebenarnya orang yang bodoh, iya kan?"
Oke. Sebagai ganti dari stik mah itu, aku entah mengapa berhasil menangkis kecurigaan itu dari Mitsumine.
Tetapi bagaimanapun juga, biaya dari kekalahan itu terlalu hebat. Tidak, Mari kita tidak usah memikirkan itu."
Ngomong-ngomong, untuk saat ini.
"Jadi, besok sepulang sekolah, kita akan bertemu di ruang kelas yang kosong di bangunan sebelah, OK? DO-YOU-UNDERSTAND-?" (TL Note: Kok gak diterjemahkan, Min? Kata TL English-nya dia pakai Engrish atau Japanglish, buat yang belum tahu bisa di-Google ya, selain itu tidak Admin terjemahin biar sama bahasanya kayak bahasa anak Jaksel/Jaxel, wkwk.)
"Menyebalkan~... Haa. Karena berkata apapun itu tidak berguna, baiklah. Walau aku yakin kalau ruang kelas kosong itu terkunci karena itu jarang digunakan, kan?"
"Jangan khawatir, aku punya kuncinya."
Aku mengeluarkan sebuah kunci kecil dari saku seragamku.
"Eh, mengapa?"
"Itu diberikan padaku pada saat bersih-bersih di musim semi, tetapi aku lupa mengembalikannya dan pulang ke rumah. Lalu di hari berikutnya, aku mau lihat kalau ada cadangan di ruang staf aku pikir aku simpan saja itu."
"Uwa, kamu lebih b*j*ngan tadi yang aku bayangkan. Jangan bilang kalau itu adalah caramu mendapatkan kunci untuk ke atap........?"
"Tidak, aku diberikan oleh kakak kelas di klubku. Meskipun, aku yakin begitulah cara dia mendapatkannya juga. Jadi lain kali kalau Mitsumine ingin mendapatkan kunci, kamu bisa menggunakan teknik ini."
"Tidak, aku tidak akan menggunakan sesuatu seperti itu. Sebaliknya, mendapatkan kesempatan semacam itu sangat langka!"
Dan begitulah, entah mengapa, aku berhasil membuatnya berjanji. Perpanjangan waktu satu minggu ini, aku harus membuat Mitsumine berpikir bahwa dia tidak keberatan hidup selama 80 tahun yang akan datang.
Namun, karena aku mendengar alasan yang jelas alasan mengapa dia ingin meninggal, aku tidak dapat mengatasi masalahnya secara mendasar. Jika begitu kejadiannya, satu-satunya hal yang bisa aku lakukan untuk membuatnya berpikir, "Aku bersenang-senang setiap hari sehingga itu terasa memalukan untuk meninggal dunia," lalu memiliki tujuan untuk 'aku hanya harus hidup sampai berumur 100 tahun saja'.
Itulah apa yang aku pikirkan, tadi malam aku telah dengan panik memutar otakku untuk membuat rencana sepulang sekolah akan membuat Mitsumine tersenyum.
Kamu luar biasa, diriku! Kamu melakukan hal yang hebat, diriku! Mungkin aku akan menjadi penasihat acara ke depannya.
Ah, sepulang sekolah hari ini. Aku penasaran wajah semacam apa yang akan dia buat saat dia melihat ruang kelas yang sudah aku siapkan untuknya hari ini.
"Ahhh, aku tidak bisa melakukannya lagi. Ini yang terburuk!"
Saat aku berjalan ke ruang kelas, aku dapat mendengar suara tatapan temanku. Berdengung di ujung ruangan.
"Selamat pagi, kamu menyebalkan seperti biasa. Apa kabar?"
"Oh, selamat pagi. Apa maksudmu 'apa kabar', kalau kita memiliki kuis di jam pelajaran pertama hari ini. Aku tidak belajar sama sekali. Aku pasti akan gagal."
"Ya ampun... Tidak usah dipedulikan."
SMA Shirosaki adalah sebuah sekolah persiapan. Itulah mengapa kami selalu memiliki kuis harian dan sangat ketat tentang tenggat waktu pengiriman.
Namun, alasan mengapa kuis ini dibenci lebih dari hal lain adalah karena sistem sampah 'saling menilai dengan orang yang duduk di sebelahmu'.
"Dari mana kita akan mulai hari ini?"
"Halaman 120 sampai halaman 150."
"Bisakah aku melakukannya tepat waktu? Hei, bisakah aku melakukannya tepat waktu jika aku mulai sekarang??"
"Aku rasa kita bergantung padamu."
"Waaaaa! Jangan menyerah padaku! Kita berteman, kan!?"
Dan gadis yang duduk di sebelahnya terkenal sebagai gadis paling imut di kelas. Itulah mengapa ia berusaha keras. Ia tidak ingin dia berpikir kalau ia adalah orang yang bodoh.
Dalam kasus ini, karena aku duduk di sebelah teman dekatku, kamu bisa menghindari nilai merah dengan membuat janjian kalau kami akan saling menilai hasil kerja kami cara yang cerdas sambil memberikan nilai tambahan.
Aah, yap. Aku sampah. Panggil aku sampah.
"Aku tidak bisa melakukannya lagi, aku benar-benar mati. Kuisnya terlalu sering."
"Benar~?"
"Pertama-tama, topiknya terlalu panjang."
"Itu terlalu membingungkan."
"Ahhh, ini mengerikan. Aku benar-benar ingin mati."
"..........."
Aku tidak setuju dengan kata-kata biasa temanku. Biasanya, aku akan dengan ceroboh setuju dengannya dan memberi tahunya tuk bertahan di sana.
Aku tidak berpikir kalau dia benar-benar ingin mengakhiri hidup, dan aku mengerti kalau dia hanya berkata demikian untuk menunjukkan kalau dia ingin pergi dari sini yang dia begitu membenci kuis itu.
Aku mengerti, sih.
"Jangan meninggal. Masih ada lima menit tersisa sebelum kuisnya dimulai. Kamu bisa mengerjakannya tepat waktu... Di samping itu, jika kamu meninggal, aku akan kesepian."
Itu memang tidak sesuai. Aku mengatakannya karena beberapa alasan, aku ingin berkata 'aku ingin mati' dengan tujuan yang sama.
Setelah melihat 'aku ingin mati' yang sungguhan, kata-kata itu tampak kasar dan menyedihkan, tapi aku tidak bisa mengeluarkan pemikiran itu dari kepalaku bahwa orang ini benar-benar ingin mengakhiri hidup.
Aku tidak tahu apakah ia terkejut dengan jawaban seriusku yang tidak biasanya, atau apakah aku baru saja membuat wajah muram.
Kau melihatku dengan tampang bingung di wajahnya, aku mencoba yang terbaik untuk membuat suara ceria untuk menutupinya.
"Ahh, maaf atas jawaban serius yang tiba-tiba. Aku mau membaca manga tentang pengaturan semacam itu kemarin."
"Uwa, aku pikir begitu. Sebaliknya, bukankah kamu terlalu terpengaruh oleh itu... Tidak tentu saja aku tidak ingin meninggal. Aku pasti ingin hidup sampai aku mendapatkan seorang pacar dan pergi berkencan dengannya."
"Ooh, jadi kamu abadi. Selamat!"
"Ha? Kamu mau mengajak aku berkelahi?? Apakah kamu mencoba memprovokasiku?"
"Kamu harus belajar untuk kuismu dulu."
Temanku, yang telah mengambil posisi bertarung, kembali ke mejanya, terlihat sedih dengan komentarku. Telah berkata begitu, aku juga tidak punya banyak kelonggaran, dan aku kembali ke mejaku, mencoba belajar sebanyak mungkin sebelum menit terakhir.
Sepanjang waktu aku membaca buku paketku pikiranku terpusat pada apa yang baru saja aku bilang. Atau sebaliknya, itu berakhir pergi ke sana.
Setelah kejadian kemarin, rasanya aku menjadi sedikit peka terhadap pemikiran ingin meninggal dunia.
Mungkin saja karena aku sekarang sudah menyadari kekuatan dari kata-kata itu. Itu aneh bagaimana kita tidak menyadarinya sampai kita melihat hal yang sesungguhnya. Itu hanya seperti menyembunyikan sebuah pohon di dalam hutan.
Itu benar. Mungkin ada beberapa orang-orang "asli" di antara perasaan "aku ingin mati" yang membanjiri ruang kelas. Lagipula, bahkan Mitsumine, yang banyak orang-orang pertimbangkan paling jauh dari kata bunuh diri, benar-benar ingin mengakhiri hidupnya.
(...Bahkan diriku, belum pernah memikirkan tentang betapa seriusnya aku ketika berkata 'aku ingin mati'.)
Aku penasaran seberapa kuat 'aku ingin mati' itu yang semestinya, sehingga dapat berubah menjadi perasaan yang sesungguhnya. Atau apakah itu mungkin tidak asli dari awal, tapi sebaliknya itu menjadi lebih nyata karena konsentrasinya meningkat secara bertahap?
Ketika aku mulai memikirkan tentang ini, aku menjadi agak takut dengan suara orang-orang yang berbicara di sekitarku.
"Mitsumine!"
"........"
"Emm, Mitsumine-san?"
"Ah, tidak... Apa, A-kun?"
"Apa maksudmu 'Apa'?
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya berpikir kalau akan lebih mudah jika aku harus memasang ekspresi wajah itu."
Sepulang sekolah.
Ketika aku memasuki ruang kelas bangunan sebelah, Mitsumine sudah berada di sana menungguku. Mematikan ponselnya dan berbalik ke arahku dengan ekspresi yang lelah di wajahnya.
"......Apakah kamu ditolak?"
"Eh? Apa?"
"Itu pertama kalinya aku menunjukkan wajah ini ke seseorang."
"Maksudmu wajah yang lelah itu? Atau kamu menceritakan tentang sesuatu yang nyala/mati??"
Mitsumine menjauhkan lirikannya dariku, dan bergumam dengan singkat, "Keduanya." Dia tampak agak takut.
"Tidak, sebaliknya, aku sebenarnya merasa lega."
"Lega?"
"Aku menyadari bahwa Mitsumine adalah orang yang normal juga. Aku merasakan rasa kedekatan."
Jika aku menggunakan sebuah contoh, itu akan seperti ketika seorang idola yang memiliki wajah yang rupawan makan makanan cepat saji. 'Ah, jadi orang dengan wajah cantik itu makan makanan cepat saji! Aku kira mereka hanya makan kabut!' atau sesuatu seperti itu.
Aku tidak tahu apakah kalian akan mengerti, tetapi tolong lakukan.
"Apa-apaan? Bahkan para idola makan makanan cepat saji, kan? Kamu terlalu banyak berkhayal."
Tidak bagus, aku tidak bisa menyampaikan pesan. Mitsumine melihatku seolah-olah aku aneh, aku mencoba menjelaskan dengan panik.
"...Itu seperti yang kamu bilang tetapi."
"Fufu. Baiklah apapun itu. Ngomong-ngomong, apa yang kamu inginkan dengan memanggilku ke sini?"
"Oh, aku sangat senang kamu bertanya."
Seolah-olah aku telah mengantisipasi ini aku mengeluarkan kunciku dan membuka pintunya. Ada piza yang tampaknya lezat atas meja di kelas yang selalu sepi itu, didominasi oleh aroma lezat keju dan saus tomat.
"...Apa-apaan."
"Selamat datang, Mitsumine! di Aula Pesta Piza di SMA Shirosaki!"
Mitsumine menatap ruang kelas itu dengan tatapan yang kosong di wajahnya. Itu adalah hal yang bagus karena aku telah menyelesaikan bersih-bersih lebih awal untuk bersiap hanya untuk bisa melihat ini, sudut mulutku yang masih terangkat, aku merentangkan tanganku dan menuntunnya masuk.
"...Bagaimana kamu mendapatkan piza itu?"
"Aku memesan lewat telepon dan meminta itu untuk diantarkan beberapa waktu yang lalu."
"Bukankah itu melanggar peraturan..."
"Aku mengambilnya di luar sekolah, jadi aku tidak berada pada posisi yang terikat dengan peraturan sekolah~. Oleh karena itu, itu tidak bersalah."
Tanda damai (V peace). Dengan demikian, itu telah diputuskan.
Aku tidak bisa peduli tentang tatapan herannya.
"......... Ngomong-ngomong, apa ini?"
"Itu adalah gim berjudul Pop-Up Pirate. Bukankah itu tampak seru? Ngomong-ngomong untuk pesta hari ini, peraturannya siapa yang menang boleh memakan piza sebanyak yang dia mau."
"Uwa, Ada apa dengan itu? Aku tidak peduli dengan pizza jadi itu tidak tampak seru sama sekali sih."
"Oi, jangan mengejek Pirate-san! Itu dapur yang harus makan di dalam saat ini kamu tahu? Eh, jangan bilang kamu tidak tahu itu? Uwaa, Mitsumine ketinggalan zaman~!!"
"Itu tentu saja bukan suatu keharusan, dan kata-kata itu yang seharusnya tidak keluar dari mulut seorang siswa SMA sangat menyebalkan."
Meskipun dia mengatakan ini, dia mengambil mainan pedang itu yang sudah terbaris.
"Asal kamu tahu saja, aku sangat jago dalam permainan kesempatan."
"Aye, mari. Aku akan menunjukan kekuatan sesungguhnya dariku yang akan dinobatkan sebagai juara setelah memenangkan permainan ini."
"Ada apa dengan itu? Betapa lemahnya. Aku tidak mengerti bagaimana A-kun bisa sangat bangga dengan itu."
"Apakah kamu tidak tahu frasa "Dia yang menertawakan bajak laut itu, akan menangisi bajak laut itu."
"Itu pertama kalinya aku mendengarkan frasa itu sih? ...Kalau begitu itu adalah bonus pemula bagiku."
Berkata begitu, Mitsumine mulai serius menaksir lubang itu agar bisa ditancapkan pedang. Matanya terlalu serius meskipun dia tidak tampak seperti ingin melakukan apapun. Dia benar-benar benci kalah, iya kan?
"Maaf, A-kun. Seluruh piza itu mungkin akan berakhir di dalam perutku."
"Oh, kamu bilang ya! Sekarang tunjukkan padaku bisa kamu lakukan."
Segera setelah aku bilang begitu, bajak lautnya melompat dari pedagang yang Mitsumine gunakan untuk menikamnya."
"Uwa, lezat~! Kejunya sangat lengket!! Ini yang terbaik yang seru!!"
"~~!!" (TL English Note: Suara merajuk.)
"Seperti yang diharapkan itu jauh berbeda dari dan bagian yang didambakan!! Jagung, mayones, dan keju semuanya lezat!! Aku rasa aku ingin tinggal di seberang restoran piza di masa depan. Aku bisa mendapatkan tiga porsi makan siang hanya dari mencium aromanya saja."
Aku menyumbat mulutku dengan piza. Mitsumine melihatku menjengkelkan.
Walaupun dengan semua perkataan itu, jumlah kekalahan Mitsumine menumpuk dengan menyedihkan, dan kebanyakan piza habis ke perutku.
Entah mengapa, aku merasa prihatin bahkan untuk menyarankan ini.
Tidak maksudku, tidak mungkin aku tahu kalau dia seburuk ini dalam permainan ini!
"Piza piza piza piza... Irisan terakhir piza margherita pasti akan menjadi milikku...!"
Mitsumine tampaknya menjadi sangat lapar menyaksikanku mengisi mulutku dengan piza yang terlihat lezat, sekarang dia benar-benar terpesona dan menggumamkan sesuatu seperti ini.
Oi Mitsumine. Aku tahu kamu mengatakannya dengan suara yang pelan, Tetapi aku masih bisa mendengar semuanya kamu tahu?
"Baiklah, kalau begitu aku akan mulai lagi!"
Dan sekarang, pertandingan untuk irisan piza terakhir dimulai––!
"Aaaa."
Itu selesai dalam lima detik. Itu selesai terlalu cepat.
Tentu saja itu Mitsumine yang mengirim kepala bajak laut itu terbang.
Aku penasaran apakah dia terlalu bias terhadap wajah, gaya dan bakat, dan tidak menetapkan statistik apapun agar beruntung. Aku sangat kasihan padanya.
"Uuuuu! ....Ayolah, cepat makanlah."
Mitsumine cemberut dengan mata berair. Eh? Makhluk imut macam apa ini? Aku merasa seperti langsung ingin melindunginya, dan jika dia mau, aku akan memesan piza lain untuknya secepatnya.
"Tidak, aku sudah kenyang. Jadi Mitsumine bisa memakannya. Akan mubazir jika menyisakannya."
"...Kamu benar-benar tidak perlu memikirkanku sih."
"Apa aku terlihat seperti cowok yang akan memikirkan itu?"
"Nn~, Maaf kamu tidak ya!"
Ehh. Jawaban yang langsung?
"Selamat makan~!"
Berkata begitu, Mitsumine lalu mengisi wajahnya dengan piza, dengan senyuman lebar yang tidak biasanya di wajahnya. Itu menghabiskan waktu satu detik untuknya. Dia pasti sangat lapar.
Tidak, entah mengapa, iya. Itu perasaan yang campur aduk.
Apakah aku benar-benar begitu tidak memedulikan terhadap orang-orang biasa??
(...Aku hanya melihat Mitsumine mengisi wajahnya dengan piza, jadi siapa yang peduli tentang sesuatu seperti itu.)
————Aku harap dia bisa hidup bahagia seperti ini biasanya.
Meskipun adalah semacam harapan fana, aku tidak bisa apa-apa selain berharap tentang itu.
←Sebelumnya Daftar Isi Selanjutnya→