Kimi no Sei - Jilid 1 Bab 1

 Bab 1
Bertemu dengan Seorang Gadis yang Sangat Cantik di Atap

Ini mungkin sangat mengejutkan tetapi teman sekelasku di sekolah, Mitsumine Iroha, adalah gadis yang disayang oleh Dewa.

Dia cantik, cerdas, atletis, dan memiliki kepribadian yang ramah. Protagonis manga macam apa dia ini?

Sangat tidak mungkin seorang gadis sepertinya tidak akan menjadi populer, dan aku dengar kalau dia memenangkan kontes kecantikan bahkan menuntun sebuah klub penggemar <fan club> di sekolah sebelah. Ketika aku mendengar cerita ini, aku diyakinkan bahwa dia sangat berkarisma jadi tidak terlalu mengejutkan kalau dia memiliki satu atau dua klub penggemar.

Satu dari pepatah terkenal berbunyi "Dewa tidak memberikan dua keberkahan.", tetapi tampaknya seolah-olah Dewa telah memberikannya tiga atau empat hal dalam sebuah paket yang beragam, seorang gadis spesial dengan banyak bakat dan janji akan masa depan yang cerah yang sangat disayangi oleh Dewa.

---Saat ini, Mitsumine Iroha yang sangat sama, berada di depan mataku mencoba untuk melakukan bunuh diri.

"......Siapa kamu?"

Hari Senin, aku melewatkan jam pelajaran ketiga ke sebuah atap yang cerah dan bercahaya. Di tepian atap itu berdiri seorang gadis yang cantik jelita. Rambutnya yang panjang dan agak kecoklatan itu disinari oleh matahari dan berkibar di udara. Pakaian seragamnya yang sangat rapi. Sebuah profil yang sempurna. Penyuara jemala <headphone> yang putih murni.

Dan sepasang sepatu rapi sejajar di depan pagar rendah yang hampir tidak ada sama sekali.

Pada situasi seperti ini orang-orang bisa mengerti kalau dia ingin bunuh diri, dia termenung dengan suara yang tampak larut ke udara, dengan wajah datar tak berekspresi membuatku ingin bertanya padanya ke mana perginya senyumnya yang biasa.

Aku bertanya-tanya kalau itu dikarenakan angin yang berhenti bertiup, mungkin juga karena aku sangat berkepala dingin pada situasi darurat seperti ini. Meskipun ada jarak yang kecil di antara kami, aku bisa mendengar suaranya dengan jelas, yang terlalu rendah bahkan untuk seorang gadis.

"Tidak, maksudku, apa yang kamu lakukan di sini?"

"Apa maksudmu, bukankah kamu bisa mengetahuinya dengan hanya melihatnya? Aku mau bunuh diri lah."

Daripada menjawab pertanyaanku, Mitsumine lebih memilih untuk bertanya kembali, menatap gelisah ke arahku, orang yang telah menanyainya dengan tatapan kosong di wajahku.

Lagipula, sebutannya sebagai yang "sangat cantik" dari SMA Kinosaki bukan hanya untuk ajang semata. Bahkan pada saat seperti ini, rambutnya sangat cantik, menerpa birunya langit, yang membuatku hampir lupa untuk bernapas, dan pikiranku menjadi kosong.

Tetapi dia terlihat seperti dia ingin mulai menangis, dan suaranya terdengar goyah, jadi aku berusaha yang terbaik untuk menahan pikiranku dari amukan di luar kendali.

"Mungkin, kamu juga..."

Dia menuturkan kata-kata itu dengan ragu-ragu. Kata-kata yang dia keluarkan muncul tanpa mencapai ujungnya, tetapi apa yang seharusnya melanjutkan kata-kata itu?

--Apa kamu datang ke sini untuk bunuh diri juga?

Ekspresi di wajahnya tampaknya hanyalah sebuah petunjuk akan ketakutan dan kegelisahan, tidak seperti ekspresi kosong yang ia tunjukkan sebelumnya. Mungkin Mitsumine hanya menggertak tetapi dia juga mungkin agak galau.

Otakku akhirnya memahami apa yang terjadi, dan kaki-kakiku kehilangan kekuatannya dan dengan segera mulai bergetar.

Aku takut. Aku tidak bisa apa-apa selain merasa ketakutan.

Walaupun demikian, aku tidak bisa membiarkan dia tewas di tempat ini. 

Aku berpijak dengan telapak kakiku, mengambil waktu sejenak untuk mengambil napasku, mempersiapkan diriku. Dengan caranya bertingkah di awal, mungkin saja masih ada peluang untuk menghentikannya dari bunuh diri. Dengan pendapat di pikiranku, aku berjalan ke arah yang berlawanan dari Mitsumine dengan ekspresi yang ceria di wajahku.

"Ahhh, aku paham aku paham. Itu benar, maafkan aku!"

"........Eh?"

"Aku sungguh minta maaf, tetapi aku di sini hanya untuk melewatkan pelajaranku. Bukankah ini tempat yang indah? Tidak mungkin ada orang di sini jadi sangat tenang. Sebenarnya ini tempat favoritku untuk tidur, kamu tahu?"

Aku mengatakannya tanpa berpikir dan mengeluarkan sebuah bantal yang aku sembunyikan di bawah sebuah tudung kecil di atas atap. Lalu aku menatap ke arah Mitsumine, yang menatapku dengan tatapan yang mencengangkan di wajahnya.

Oke, dengan cara ini aku bisa menarik perhatiannya, mungkin aku bisa melakukannya.

"Mengapa kamu malah tidur di saat seperti ini!? Meskipun ada orang yang mau mengakhiri hidupnya di sini, apa tidak ada lagi yang ingin kamu katakan?"

Kena deh!

"Err.. emm... hmm... Ah! Kalau kamu menunggu lima menit lagi, aku mungkin bisa mengatakan sesuatu yang masuk akal, jadi apa baik-baik saja jika aku memintamu untuk menunggu selama lima menit?"

"Ini tidak baik-baik saja, kamu tahu? Ini tidak baik-baik saja sama sekali! Bisakah kamu tidak memeras begitu dengan sangat putus asa!? Ini bukan lelucon; aku bicara dengan sungguh-sungguh dan serius sekarang!!"

"Tidak, bahkan jika kamu berkata begitu..."

Bahkan jika kamu berkata begitu, aku tidak bisa apapun selain mencoba untuk mendapatkan perhatianmu dengan berpura-pura membosankan dan tidak bisa membaca suasana hati.

Karena kata-kata itu aku hanya bisa menelan ludah, jantungku berdetak lebih cepat dari yang biasanya. Aku ingin berpikir lebih keras, tetapi suara detak jantungku tetap menggangguku dan aku mulai kehilangan akal sehatku.

(... Baiklah!)

Aku secara putus asa mencoba untuk mendorong kegelisahanku ke belakang dadaku dan berbalik ke arahnya dengan wajah yang acuh tak acuh.

"Tidak, ini pertemuan pertama kita. Bukankah akan menjengkelkan kalau ditegur secara putus asa untuk tidak bunuh diri? Maksudku, bukankah kata-kata pria yang seperti itu tidak bernilai apa-apa?"

"Kamu benar kalau itu sangat menjengkelkan, tetapi tidak masalah bagaimanapun itu, bukankah kamu terlalu dingin? Aku bertanya-tanya mengapa aku harus bertemu dengan pria ini sebelum aku tewas..."

Mitsumine termenung dengan penyesalan dan melirikku selagi aku mulai menaruh bantal di kedua kakiku, bersiap untuk tidur siang. Tatapan penuh hina ini sangat menyakitkan.

"Tunggu. Maaf. Aku masih berusaha menangkap kata-kata itu dengan pemahamanku sendiri saat ini. Mengapa kamu malah tidur siang seperti itu!?"

"Maksudku, em, aku datang ke sini untuk melewatkan pelajaran dan tidur siang..."

"Bisakah kamu membaca suasana hati!? A, ku, Aku serius sekarang! Aku benar-benar berencana untuk melompat dari sini jadi...!!"

Mitsumine berteriak dengan wajah yang penuh dengan emosi. Ini adalah pertama kalinya aku melihat dia begini, jadi aku bisa tahu betapa seriusnya keputusan yang diambilnya untuk bunuh diri. Aku sudah menatapnya setiap pagi, jadi aku bisa tahu dengan sangat jelas.

Tetap saja, meskipun ini hanya keegoisan, aku tidak bisa membiarkan Mitsumine tewas seperti ini.

"Udara bukan diciptakan untuk dibaca, itu diciptakan untuk bernapas. Seperti susahnya membaca udara yang tak berwarna dan transparan!!" (TL English Note: Kata "Suasana Hati", 空気, Kūki, juga bermakna "Udara".)

Aku dengan penuh semangat mengeluarkan pepatah favoritku dari dasar tenggorokanku. 

"Lebih tepatnya, Mengapa Mitsumine tidak bisa tewas begitu saja di sini? Aku juga tidak mau kamu tewas di tempat favoritku. Kalau itu terjadi, mereka pasti akan menyegel tempat ini!!"

"...Kamu, kamu meninggalkan hatimu di suatu tempat, iya kan? Itu adalah kemungkinan terburuk untuk dibicarakan."

"Aku baik-baik saja menjadi yang terburuk! Seperti yang aku bilang, kata-kata dari pria yang baru kamu temui itu tidak bernilai apa-apa!"

"Uuu... Daya persuasifmu yang aneh itu benar-benar membuatku marah...!! Se-Sebenarnya, bukankah kamu ingin bilang 'Mengapa kamu ingin bunuh diri?' atau 'Kalau ada suatu hal yang mengganggumu, kamu bisa memberi tahuku.'?"

Mitsumine, yang tersenyum mencela dirinya sendiri selagi berada di ambang air mata, menyampaikan pesan yang terucapkan kalau dia tidak menginginkan hal yang seperti itu sama sekali.

Itulah mengapa aku tidak mau menyentuh <bertindak jauh> tentang itu.

"Ini tidak begitu penting bagi seseorang kecuali orang yang mereka sendiri tahu alasan mereka ingin bunuh diri. Tidak ada aturan yang menyatakan kamu tidak boleh tewas tanpa alasan yang jelas. Di samping itu, ada kalanya ketika kamu ingin meninggal meskipun tidak ada sesuatu yang ekstrem terjadi jadi... Ya, aku akan mendengarmu kalau ada sesuatu yang ekstrem yang terjadi kok."

"... Tiba-tiba kamu berkata dengan nada yang serius, iya kan? Tidak juga, tidak seperti itu kok. Aku hanya sedikit lelah akan segalanya."

"Hmm. Kurasa sulit ya menjadi populer itu."

Pemberhentian yang mendadak dalam nada perkataannya yang sangat kuat sehingga aku secara tidak sadar membiarkan itu bocor dari mulutku lalu Mitsumine mengangkat bahunya dan berkata "Sudah kuduga."

"Aku rasa itu aneh hanya karena kamu populer, kau akan segera terhubung dengan kebahagiaan, iya kan? Pertama-tama, orang-orang populer tidak akan menjadi populer jika mereka tidak menginginkannya bukan."

"....Ya, jika kamu menaruhnya demikian, kamu mungkin benar. Tetapi pastinya, tampak bahagia. Aku pikir kami sangat terpesona oleh hasilmu yang luar biasa dan penampilan berserimu sehingga kami tidak menyadari ekspresi apa yang dirimu buat itu."

Aku tidak bilang kalau aku juga berpikir demikian pagi ini. Kalau aku bilang begitu, Mitsumine pastinya akan mengambil langkah maju untuk turun ke jurang.

"...Aku mengerti. Itu mungkin begitu."

Mitsumine, yang masih belum menyadari pemikiran batinku, menggumamkan sesuatu di mulutnya seolah-olah mengkonfirmasi sesuatu, dan diikuti oleh tatapan yang agak terkejut, dia tersenyum dengan sangat bahagia.

"Kamu punya cara berpikir yang menarik. Itu sudah cukup lama sejak aku bicara seperti ini aku pikir tidak masalah kalau aku tewas, tetapi untuk pertama kalinya aku bertemu dengan orang yang mengerti begitu banyak."

"Oh, jadi apa tidak baik-baik saja kalau kita mengobrol sedikit lagi?"

"Tidak, itu baik-baik saja. Aku akan tewas sekarang."

"...Aku mengerti."

"Kalau aku mengobrol sedikit resolusiku akan tergoyahkan, akankah itu? Karena seperti yang tadi kamu bilang, kata-kata darimu yang baru saja aku temui, tidak akan bernilai apa-apa."

Aku merasa sangat tidak nyaman karena Mitsumine, yang mengejekku dan menyengir, tidak tampak seperti orang yang ingin bunuh diri.

Karena jika saja aku datang ke sini sedikit lebih telat, Mitsumine mungkin saja sudah menjadi jenazah dan aku akan jadi orang pertama yang menemukannya. Berpikir untuk berbicara dengan seseorang yang mungkin saja akan tewas bagaimanapun membuatku sadar akan betapa kerasnya situasi ini, dan memberikanku perasaan yang aneh, berdebar-debar dan tidak biasa sehingga aku tidak bisa diam dan tidak berbuat apa-apa.

Aku berbaring di atas atap dengan pemikiran ini di pikiranku, berpura-pura untuk tidur dengan mataku yang tertutup, mendengarkan detak jantungku yang masih berdebar-debar dan dengan putus asa mencoba untuk membuat akal sehatku bekerja meskipun sedang di ambang kepanikan.

Tetap tenang. Aku tidak bisa panik di saat seperti ini.

Ahh, jujur saja. Aku takut. Aku sangat takut.

Di sepanjang hidupku, aku belum pernah melihat kejadian (percobaan) bunuh diri, jadi tentu saja aku takut. Sebagai tambahan, orang yang ingin melakukannya adalah, dari semua orang, Mitsumine Iroha, yang membuat kepalaku panik bahkan lebih, dan sebuah ketidaksabaran yang tidak bisa dijelaskan menyebar secara perlahan ke sekujur tubuhku.

Aku bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan, alasan khusus aku ingin menghentikannya dari bunuh diri adalah keegoisanku semata, dan aku bahkan tidak dekat dengannya.

Itu hanya karena kami berbagi stasiun kereta api yang sama. Dia kebetulan selalu berdiri di depanku, menunggu datangnya kereta api. Dia memakai penyuara jemala putih dan menatap ke ke kejauhan dan aku hanya menatapnya dari belakang. Aku hanya mengaguminya.

Tetap saja, aku tidak bisa membiarkannya tewas seperti ini. Karena, dia tidak seperti aku.

Meskipun itu hari yang menyenangkan, aku lebih tertekan dengan permulaan pekan lainnya, jadi aku menyelinap ke luar jendela UKS dan melewatkan pelajaran di atas atap, menggunakan metode yang aku pelajari dari seorang senpai yang merupakan pemalas biasa, dan sekarang itu sudah menjadi kebiasaan.

Aku berjuang untuk tetap bertahan pada kegiatan belajarku di sekolah, aku harus memaksakan diri untuk hadir, pulang pergi menggunakan kereta api ke sekolah yang sangat jauh dan sedikit memberatkan, dan hubungan manusia yang mengganggu juga agak menyulitkan. Akumulasi dari hal-hal kecil ini mempercepat pemikiranku untuk bunuh diri yang tidak berarti, dan segalanya menjadi tidak penting.

Aku tidak benar-benar ingin meninggal, tetapi aku juga tidak tahu apa yang aku ingin lakukan dengan kehidupanku, dan aku merasa cukup melelahkan untuk pergi ke sekolah. Hanya karena demikian, aku berpikir 'aku tidak layak untuk hidup' dan mengeluhkan hal itu di media sosial.

Ya, tidak ada waktu sama sekali, aku telah menjadi siswa SMA yang diproduksi massal dengan "betapa sakitnya" dan "aku ngantuk" sebagai pepatah favoritnya.

Aku bertanya-tanya kalau inikah cara orang-orang menjalani kehidupan mereka. Aku yakin mereka begitu. Aku rasa perasaan sakit untuk tidak ingin hidup ini, tidak dikhususkan padaku sebagai satu-satunya di dunia. 

Aku telah menyadari ini dalam kehidupan sehari-hariku yang membosankan. Tetapi karena aku menyadarinya, aku merasa seperti aku tidak bisa melakukan apa-apa tentang itu, jadi aku datang kembali ke atap untuk melewatkan pelajaran.

Di pertengahan hari-hari ini, aku melangkah maju untuk melihatnya berdiri tegak dan menunggu datangnya kereta api. Terlepas dari dia suka atau tidak, hanya itu hal hebat yang bisa kulakukan.

Kalau aku berlebihan, aku akan bilang kalau itulah salah satu alasanku untuk ingin tetap hidup. Itu benar-benar spesial bagiku, seseorang yang hidup tanpa tujuan setiap hari.

Ini benar-benar sebuah keajaiban bahwa aku bisa bertemu dengannya di sini dan saat ini, walaupun ini benar-benar ketidaksengajaan. Aku punya kesempatan untuk menghentikannya. Jika begitu kenyataannya, tidak mungkin aku hanya membiarkannya pergi begitu saja.

Mungkin satu-satunya alasan mengapa belum ada hal yang baik yang terjadi di kehidupanku selama ini, adalah karena aku harus bertemu dengan Mitsumine di sini.

Kebetulan ini sepertinya adalah nasib dari pikiran delusiku.

Kalau aku membiarkan Mitsumine tewas seperti ini, aku pasti akan menyesalinya seumur hidupku.

Aah, dan di samping itu. Aku punya banyak hal membosankan yang berjejer untuk dibicarakan, namun pada akhirnya semuanya bermuara pada satu hal ini.

----Meskipun aku sering bilang kalau aku ingin meninggal, ketika Mitsumine berkata demikian, rasa ketakutanku tak tertahankan.

Aku benar-benar ingin berteriak, "Jangan meninggal." Aku ingin bilang, "Akan baik-baik saja untuk hidup meski hanya sejenak lebih lama, jadi tolong pikirkan ulang."

Namun, tidak mungkin kalau kata-kata dariku, seseorang yang dia baru temui untuk pertama kalinya, akan memberikan efek apapun padanya.

Tidak peduli beberapa kalinya aku, orang yang asing, menegurnya untuk tidak bunuh diri, itu tidak berguna. Faktanya, sekalipun sahabatnya ataupun orang tuanya yang menegurnya, itu akan terasa tidak bertanggung jawab, itu mungkin malah akan mendorongnya untuk mempercepat langkahnya daripada berhenti untuk bunuh diri.

Tidak peduli seberapa banyak mereka menahannya kembali, pada akhirnya, mereka sendirilah yang menjalani kehidupan mereka masing-masing.

Bahkan jika mereka hidup setelah itu, siapa akan bertanggung jawab atas mereka? Aku tidak yakin seseorang akan melakukannya. Kalau kenyataannya begitu, tidak akan begitu sakit untuk mengakhiri hidup sesegera mungkin. Aku tahu ini, makanya aku punya pemikiran tentang kematian setidaknya sekali, meskipun daya tarik dari pemikiran itu berbeda.

Pertama-tama, dia benar. Meskipun aku sudah menghentikannya, dia masih bisa membunuh dirinya sendiri. Itulah mengapa aku tidak punya pilihan lain selain  berkata sesuatu yang bisa menggulingkan rencananya.

Aku harus menghentikannya dari membunuh dirinya sendiri, tanpa menyentuh alasannya ataupun lukanya.

Hanya ada satu cara yang aku, seorang yang bodoh, bisa pikirkan.

"Hei. Sebenarnya. Aku selalu bermimpi untuk bolos sekolah dan pergi ke laut. Kalau kamu ingin mengakhiri hidup ngomong-ngomong, mari kita lakukan bersama <bolos ke sekolah dan pergi ke laut> sekarang!"

".....Ha?"

"Tidak maksudku, kalau kamu ingin mengakhiri hidup ngomong-ngomong, bukankah akan lebih baik jika wafat setelah mengumpulkan banyak amal baik contohnya dengan pergi bersamaku? Aku bisa memenuhi mimpiku untuk bolos sekolah dan pergi ke laut bersama seorang gadis. Kamu bisa mengumpulkan amal baik sebelum kamu wafat. Ini adalah solusi Win Win."

"...Di samping itu, aku telah menghitung cukup amal baik yang menemaniku seumur hidup."

"Bisakah kamu dengan yakin? Aku tidak peduli loh kalau kamu nanti menyesalinya setelah masuk neraka karena ternyata masih kurang sedikit lagi."

----Ya, ancam dia.

Selama aku tidak punya alasan untuk menghentikannya dari bunuh diri, aku tidak punya pilihan lain selain meminta Mitsumine untuk berhenti sendiri.

Pada awalnya, Mitsumine cemberut seolah-olah dia tidak mengerti apa yang aku bicarakan, tetapi akhirnya dia tampak mengerti apa aku katakan, dan wajah cantiknya berubah menjadi ekspresi yang jengkel.

"Dan kalau kamu pergi bersamaku hari ini, aku janji aku tidak akan ikut campur dengan kasus bunuh dirimu dan aku tidak akan memberi tahu siapapun tentang itu."

"Itu tidak bisa terjadi kalau aku langsung lompat saja sekarang!"

"Ah ah, tolong tungguuu!! Tolong lihat ke arah tangan kanankuuu!!!"

Mitsumine melirikku dan memutar tatapannya ke tangan kananku. Di luar sudut matanya, sebuah telepon yang kubawa untuk memutar beberapa musik.

"Kalau kamu melompat sekarang, aku akan segera memanggil 119. Dengan begitu, kalau kamu belum tewas dengan segera, kamu masih bisa terselamatkan!" [TL English Note: 119 adalah nomor darurat di Jepang.]

".....Uu."

"Tidak, pikirkan itu dengan jelas. Kamu tidak ingin mengambil satu kesempatan itu dan diselamatkan, karena kamu populer, itu mungkin bahkan lebih buruk."

"~~Bukankah kamu jadi kejam dengan mengancamku seperti itu!? B*j*ng*n! Kamu yang terburuk! Pengecut!"

"Haaa, aku tidak peduli apa aku berlaku tidak adil lah, atau jadi seorang b*j*ng*n lah! Aku sangat putus asa dengan mimpi yang sudah lama kupendam untuk menjadi kenyataan! Hei, aku memohon padamu saat ini! Maukah kamu membantu siswa SMA yang malang ini!? Maukah?"

Lalu aku berlutut dengan posisi dogeza. Itu posisi dogeza yang sangat sempurna kalau menurutku sih. [TL English Note: Dogeza adalah posisi seperti bersujud di dasar tanah/lantai.]

Mungkin tidak akan ada orang yang menyangka kalau aku mencoba untuk menutupi fakta bahwa aku hampir terjatuh karena kakiku gemetar hingga batasnya.

Tolong mengangguklah.

Aku tidak memintamu untuk hidup berabad-abad lamanya. Hanya satu hari saja.

Bagaimanapun caranya, tetaplah hidup di esok hari.

Tolong tetaplah hidup. Aku memohon padamu. Aku mohon padamu begitu.

Aku tetap mendengungkan pujian-pujian di pikiranku, sebuah doa yang tidak bisa aku ungkapkan lewat kata-kata.

Tidak peduli betapa hati-hatinya aku meregangkan telingaku, yang bisa kudengar hanyalah suara angin dan jantungku berdebar kencang.

Aku bertanya-tanya apakah dia sudah tewas ketika aku sedang melihat ke bawah. 

Rasa cemas adalah satu-satunya hal yang terlintas dalam benakku.

Aku takut akan waktu itu, yang tampak seperti tidak berakhir, tetapi aku harus memeriksanya.

---Aku melihat ke atas, berdoa dengan putus asa.

"_______."

Langit yang biru. Awan yang putih.

Dan seorang gadis yang cantik luar biasa.

"Ahh ya ampun! Sudah berhentilah berlutut, kamu terlalu putus asa!!"

Sebelum aku berdiri Mitsumine Iroha, dengan putus asa bertahan dengan kedua tangannya, berpegangan padaku.

Dia, belum tewas.

"...Ya, karena niatku untuk mengakhiri hidup belum berubah, aku akan pergi bersamamu untuk hari ini. Sebagai gantinya, kejadian ini kamu tidak boleh bilang ke siapa-siapa kalau aku ingin bunuh diri."

"Dimengerti! Sebagai rasa terima kasih, aku akan membuat perjalanan yang menyenangkan!"

Setelah bilang begitu, aku dengan putus asa mengangkat sudut mulutku dan mengambil tangan Mitsumine.

Di saat itu, aku sangat yakin kalau tangan Mitsumine sangat dingin sehingga aku hampir melepaskannya.

"... Sangat mudah ya menyelinap keluar dari sekolah."

"Ya, orang-orang yang berpikir begitu bisa melakukan apapun!"

Berlawanan denganku yang memberinya sebuah jempol dengan senyum besar, bibir Mitsumine cemberut dan dia memiliki tatapan yang tidak puas di wajahnya. Walaupun begitu, mempertimbangkan fakta kalau dia berhasil meninggalkan sekolah dan datang bersamaku, tampaknya dia berencana untuk tetap bersamaku hingga akhir.

Apakah ini benar-benar karena dia ketakutan akan kematian? Atau apakah kamu menyerah pada idenya untuk mengakhiri hidup karena aku mengganggumu?

Selagi aku memikirkan tentang ini ketika melirik sosok cantiknya, kepala Mitsumine berbalik ke arahku, jantungku berdebar sedikit karena peristiwa yang mendadak ini.

"...Kunci."

"Eh?"

"Seperti yang kubilang, kunci yang aku ambil! Kembalikan!"

Kunci.

Kunci yang dia maksud itu, tentu saja, kunci untuk masuk atap. 

Tidak seperti Mitsumine, yang sepertinya sudah membuat persetujuan untuk pergi lebih dulu, aku harus kembali ke UKS karena aku melewatkan pelajaran lewat jalur UKS.

Kala itu, aku mengambil kunci masuk atap itu agar Mitsumine tidak akan bunuh diri sebelum aku datang kembali.

"Iya. Nih."

"........Eh."

"Mengapa kamu tampak sangat terkejut?"

"...Wajahku tidak tampak seperti itu kok?"

Setelah berkata begitu, aku dengan takut-takut mengambil kunci itu yang berada di tanganku dan menyembunyikan itu di dalam saku dalam seragamnya seolah-olah itu sangat penting.

Sepertinya, dia berpikir kalau aku tidak akan mengembalikan kuncinya semudah itu.

Kurasa itu benar. Sejujurnya, aku juga tidak ingin mengembalikan kunci itu.

Tetap saja, kalau aku ambil kunci itu secara paksa, aku akan kehilangan sedikit 'kepercayaan' yang telah aku dapat dari Mitsumine.

Di samping itu, akan lebih nyaman jika dia berpikir untuk bunuh diri di atas atap. Itu lebih baik daripada dia bunuh diri di tempat lain, tempat yang aku tidak tahu, tanpa sepengetahuanku.

"...Terima kasih."

Aku mendengar sebuah suara kecil terucap dari sebelahku. Aku bertanya-tanya apa maksud dari terima kasih itu. Sambil aku memikirkan itu, sudah terlambat bagiku untuk membalasnya, jadi aku pura-pura belum mendengarnya.

Hanya memikirkan tentang itu lebih dalam akan mencekikku, jadi aku memutuskan untuk hanya melihat pemandangan di luar jendela berubah linglung.

(Cuaca di luar sangat indah.)

Ini merupakan pertama kalinya aku menaiki kereta api dengan tujuan laut (pantai), yang sedikit sangat jauh, jadi semuanya tampak baru di mataku. Walaupun itu masih di dalam prefektur, aku merasa seolah-olah bernapas sedikit lebih lega selagi aku menatap ke pemandangan yang asing.

Aku merasa seolah dunia kecilku, dunia yang kurang dari lima sentimeter dalam radius, telah meluas sedikit.

"Bagaimanapun juga, ini sangat menenangkan."

Suara teredam Mitsumine menggema di dalam mobil (angkutan umum) di mana di dalamnya hampir tersisa hanya kami berdua.

"Tidak ada orang sama sekali. Aku sedikit bersemangat karena aku dari tadi berada di kereta api yang bising dan kacau."

"Itu karena ini adalah siang di hari kerja. Seluruh pelajar sedang sekolah."

"Itu benar... Aku tiba-tiba merasa seperti aku melakukan sesuatu yang salah."

"Uwaa, seperti yang diharapkan dari seorang siswi teladan."

"....Aku bukan siswi yang teladan. Ini adalah sesuatu yang normal, atau sebaliknya, A-kun yang sangat acuh tak acuh-lah yang aneh di sini."

(TL Note: A-kun dianjurkan dibaca Ei-kun bukan A-kun, seperti pengucapan huruf A dalam bahasa Inggris. Tetapi kalau kalian ingin membaca A-kun juga tidak masalah, kami memberikan cara pengucapan aslinya.)

"Tidak, tentu saja aku lebih normal darimu. Mitsumine adalah orang yang sangat serius. Kamu tidak perlu memikirkannya terlalu dalam, dibawa enak saja. Ini seperti perjalanan wisata... Karena kamu ingin mengakhiri hidup, kamu tidak perlu khawatir tentang orang-orang akan memarahimu."

"Ada beberapa orang yang berpikir demikian! Tidak semua orang hidup sesembrono dirimu! Tidak apa-apa kan! Aku berbeda dengan seseorang yang sudah sering kabur dari sekolah!"

Aku belum bilang padanya kalau ini adalah pertama kalinya aku benar-benar serius untuk bolos sekolah.

Ketika aku mengatakannya, Mitsumine memalingkan wajahnya seolah berkata, 'Aku tidak peduli lagi.' meskipun memiliki penampilan yang sama dengan dengan Mitsumine yang aku lihat di kereta api menuju sekolah dan di sekolah, dia agaknya tampak berbeda.

'Mitsumine Iroha' yang aku kenal bukanlah tipe gadis yang akan meninggikan suaranya seperti ini. Ataupun dia yang sepertinya mengubah ekspresinya sesering ini.

Itulah mengapa aku ingin mengenal Mitsumine Iroha lebih dalam lagi.

Bukan Mitsumine yang sempurna yang orang-orang idolakan, tetapi seseorang yang sangat bermasalah sampai-sampai dia ingin bunuh diri sama (sangat bermasalahnya) seperti diriku.

Tentu saja akulah satu-satunya yang mengetahui seperti apa dia sebenarnya. Mitsumine adalah seorang yang perfeksionis dan serius, aku bisa tahu dari beberapa kata yang dia keluarkan kalau dia tidak akan pernah menunjukkan sifat aslinya kecuali dia sedang berada di situasi yang sulit seperti ini.

(Aku agak senang.)

Aku tahu tidak pantas untuk untuk bilang begini di saat seperti ini, tetapi berpikir kalau akulah satu-satunya yang tahu satu bagian dari gadis sempurna yang dia sembunyikan secara alami membuat sudut mulutku terangkat.

"Hei."

Mitsumine yang bertampang cemberut mencoba berkata sesuatu padaku, tetapi segera berhenti. Lalu, setelah mengalihkan tatapannya seolah-olah dia sedikit ragu, dia berbalik ke arahku lagi.

"....Siapa namamu? Jika aku tidak bisa memanggilmu, aku akan kerepotan. Kamu mungkin di angkatan yang sama denganku, ya?"

"Aku di angkatan yang sama. Kelas sebelas. Aku memang tidak begitu mencolok, dan tidak seperti Mitsumine aku di jurusan sastra."

"Hmm, aku mengerti. Aku telah memikirkan tentang ini sejenak, tetapi kamu mengenaliku, iya kan?"

 "Iya, Mitsumine itu terkenal. Kamu bisa memanggilku 'Si A' atau apapun yang kamu mau. Tidak ada gunanya memberi tahu nama pada orang yang mau mengakhiri hidupnya."

"...Aku mengerti. Tetapi aku tidak memanggilmu "Si A"  karena terdengar seperti orang jahat, jadi aku memanggilmu A-kun."

"Aah."

Aku memberikan anggukan kecil dan menatap ke luar jendela. Pemandangan yang berubah dengan cepat masih segar dan membuatku lupa akan perasaan mencekik yang kualami. 

Di sampingku, Mitsumine, juga menatap ke luar jendela. Seperti biasanya, aku terpikat dengan sosok cantiknya----

"Hei Mitsumine, apakah ada tempat di mana kamu ingin sekali ke sana?"

Aku berusaha memikirkannya dengan putus asa, tetapi aku tahu aku tidak bisa merantai Mitsumine ke dunia ini jika aku hanya melakukan apa yang sedang kulakukan.

"Mengapa tiba-tiba bertanya begitu? Apa untungnya mendengar itu dari orang yang mau mengakhiri hidupnya hari ini?"

Aku bertanya-tanya apakah ini balasan atas apa yang sudah kulakukan sebelumnya. Mitsumine menyeringai dan menatap ke arahku seolah-olah berkata, 'Kena deh kamu.'.

"...Aku minta maaf tentang yang sebelumnya. Itu terjadi karena aku merasa bosan hanya diam saja dari tadi. Kamu juga begitu bukan?"

"Iya, benar."

"Kalau begitu, mari kita main shiritori dengan kata-kata yang berhubungan dengan laut. Yang kalah harus mentraktir minuman kepada yang menang." (TL English Note+TL Note: Shiritori pada dasarnya adalah permainan menyambung kata di mana peserta setelahnya harus mengatakan kata yang dimulai dengan suku kata terakhir kalimat sebelumnya.)

"...Aku tidak bisa bilang apa-apa. Kalau begitu, mari kita mulai dengan laut itu sendiri. 'Mizu'." [TL English Note: Mizu = Air.]

"Diawali dengan 'Zu'!? Kamu tampak tidak semangat, tetapi kamu benar-benar ingin menang, bukan? Zu, Zu, 'Zuwaigani'! [TL English Note: 'Zuwaigani' = Kepiting salju.]

" 'Ni' ya? Ni, Ni, 'Niboshi'."  [TL English Note: Niboshi = Ikan sarden kering.]

"Itu mah sudah dikeringkan, jadi kan tidak ada kaitannya dengan lautan, bukan?"

"Diamlah! 'Shi'!"

"Shi, shi, shi..."

Pada akhirnya, kami bermain shiritori dengan sesuka hati, dan terus berlanjut bahkan sampai kami turun dari kereta api. Selagi kami bersama, main-main tetapi juga serius memainkan permainan itu, kami sampai ke tempat tujuan kami, laut (pantai).

"Sa, sa, sa...? 'Saba'!" (TL English Note: Saba = Ikan Makarel)

" 'Ba' lagi!? Sedikit sekali nama ikan yang diawali dengan 'Ba'... Ah! Lihat Mitsumine, kita bisa melihat laut dari sini!" 

"Benar! ...Meskipun itu laut, Bagaimanapun itu tampak berbeda dari yang kubayangkan..."

"Iya, tidak mungkin ada laut yang seindah di manga yang berlokasi di sekitar sini. Pertama-tama, jikalau laut ini begitu indah sehingga mungkin itu akan menjadi penarik wisatawan, dan kita mungkin sudah pernah ke sini sebelumnya."

Sebagai respons dari kata-kataku yang tanpa impian dan harapan, Mitsumine tertawa dan mengangguk, sambil mengeluarkan suara 'Fufu'.

"Aku berharap untuk melihat laut yang indah dan jernih, jadi aku setuju denganmu. Tetapi di samping itu, mungkin itu sempurna untuk kita."

Aku berpindah beberapa jarak menjauh dari Mitsumine, yang berkata begitu padaku dengan nada yang mengejek diri sendiri.

Apanya yang sempurna untuk kita?

Tidak peduli seberapa kamu menatapnya, kan, benar-benar pantai yang sepi dan sunyi yang mungkin tidak cocok dengan Mitsumine.

"Iya, tidak bisa disamakan denganmu Mitsumine-san... Laut yang cocok denganku adalah lautan yang jernih dan indah di Hawaii."

"Maaf, aku seperti sedang meninjumu saat ini."

"Haiii..."

Aku menyembunyikan pendapat ini dan bicara hal yang tidak masuk akal, dan dengan begitu, Mitsumine memberikan pukulan ke punggungku. Pukulan yang tidak terduga itu sangat berat. "Hyuu! Pukulan yang dahsyat!!" Aku berteriak, lalu dia menghantamku lagi, kali ini di perutku. Aku terasa seperti menangis karena dia tidak ragu untuk menjadi brutal. Dan saat ini, aku malah bahagia dengan kebrutalannya, benar-benar aneh.

"Jadi, kami sudah sampai. Apa yang ingin kamu lakukan sekarang?"

'Ini buruk,' aku berpikir, membiarkan mataku berkeliaran seolah-olah aku sedang mencoba untuk melarikan diri dari tatapan Mitsumine yang mungkin telah melihat menembusku.

Memang benar kalau aku ingin bolos sekolah dan pergi ke pantai. Tetapi pada waktu itu, aku hanya ingin melarikan diri ke laut yang luar biasa, aku tidak begitu ingin melakukan apapun di sana. Karena itu rencana yang dadakan dari awal, tidak mungkin aku berpikir lebih jauh dari sekadar mengajak Mitsumine ke pantai.

Tidak peduli bagaimana kamu melihatnya, aku berada dalam keadaan darurat.

Lalu, dengan secepat kilat, aku dengan putus asa membaca kata-kata di tanda yang kulihat saat itu, mencoba melarikan diri dari tatapan skeptis 

"... Disebutkan, mereka menawarkan pengalaman praktis untuk ekstraksi mutiara."

"Ha?"

Mitsumine menatapku ragu.

Aku kira itu normal, aku bahkan tidak tahu kalau mutiara bisa dipanen di lautan ini, dan aku bahkan tidak pernah berpikir untuk mencoba mengekstrak mutiara. Tentu saja, soalnya aku belum pernah melakukannya.

Namun, ini adalah peluang yang tak terbantahkan untuk menunda pengakhiran hidup Mitsumine, meskipun itu hanya untuk sebentar. Aku mengulang perkataanku, berpura-pura seolah itu adalah rencanaku sejak awal.

"Tentu saja, itu adalah hal yang standar untuk dilakukan ketika kamu datang ke laut. Cobalah gunakan tanganmu untuk melakukan ekstraksi mutiara."

"Laut standar seperti apa yang kamu bicarakan? Laut yang seperti itu jarang sekali...."

"Eeeh! Jangan-jangan Mitsumine, pernahkah kamu melakukan itu sebelumnya!? Hidupmu benar-benar sia-sia. Itu aktivitas yang sangat mengasyikkan!"

"..........Ha?"

"Begitu sangat menyedihkan untuk tewas tanpa mengalami hal itu bahkan sekali. Aku akan menangis. Haaa~. Aku bersyukur kamu belum meninggal waktu itu."

"Itu pasti bohong, kan? Tidak peduli seberapa aku melihatnya, kamu berbohong, itu tidak lucu."

"Haaa? Itu tidak bohong~~. Kamu tidak bisa memutuskannya sendiri. Aku tidak bisa bilang apa-apa, itu akan menjadi perlakuanku hari ini!"

"Maaf, tetapi itu bukan omongan yang bisa membuatku wajib untuk melakukannya."

"Oh, sepertinya kita satu-satunya pelanggan! Betapa beruntungnya! Itu semua berkat ini adalah siang hari di hari kerja! Ah, itu pegawainya. Permisiiii!"

"A-kun, kamu tidak mendengarkan aku, kan? B*j*ng*n KY ini. Haa... Aku sangat menyedihkan, aku hanya ingin mengakhiri hidupku..." (TL English Note: KY pada dasarnya bermakna seseorang yang tidak bisa membaca suasana hati.)

Walaupun dia mendesah, setelah dia tersesat ke bujukanku yang berlebihan, dia pada akhirnya ikut bersama.

"Luar biasa, apa-apaan ini!? Ini sangat seru! Aku mungkin orang yang ahli dalam hal ini bukan!!"

Setelah pegawai toko menunjukkannya cara untuk mengeluarkan mutiara pertama dari kerang yang sudah disediakan, dia mengerti caranya dan sangat bersemangat. Suatu pengalaman dalam mengeluarkan pertama tampak beresonansi dengan Mitsumine.

"Itu bagus, iya kan..."

Kerangku, di sisi lain, setelah semua kepura-puraan itu, masih berantakan di tanganku. Dan aku masih belum mengetahui di mana sebenarnya pertama itu berada.

Mitsumine tersenyum kegirangan seraya dia melirik ke samping ke arahku. Aku sedikit benci dengan caranya menatap.

"Aree~~, siapa yang membuatku melakukan ini? Apa kamu sedikit terlalu tidak terampil untuk orang yang berpengalaman?? Iya, Aku melakukannya dengan mudah kok??"

"...Aku pasti tidak akan kalah. Jangan merendahkan kecintaanku terhadap mutiara."

"Fufu. Tolong gunakan yang terbaik sepenuhnya darimu~"

"S**l*n! Hanya kamu sedikit terampil! Aku tipe orang yang memiliki bakat hebat mereka matang terlambat!"

Aku melirik ke arah Mitsumine yang sedang terkekeh bahagia, dan memfokuskan seluruh perhatianku ke tugas yang ada di tangan, kembali ke tugas mengeluarkan mutiara.

Ah, ini tidak bagus. Aku melakukan ini karena ini dibutuhkan, tetapi aku menggali kuburanku sendiri dengan berpura-pura berpengalaman. Tetapi aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja di sini.

(Aku pasti akan mengambil sesuatu yang jauh lebih hebat dari Mitsumine...!)

Dan saat aku memulainya, dihasut oleh Mitsumine, langit menjadi lebih gelap dari waktu ke waktu aku hanya bisa mengambil sesuatu yang memuaskan.

"Terima kasih banyak. Tadi itu sangat seru."

"Tadi sangat seru juga mengajari kalian. Pacar Anda sangat bagus dalam melakukannya, iya kan?"

Ketika kami mengobrol dengan pegawai untuk membayar tagihan, pegawai itu tersenyum dan berkata demikian. Ini tampaknya merupakan alasan mengapa dia (pegawai itu) menatap kami seolah-olah dia menatap ke sesuatu yang mempesona selagi kami bekerja.

"Tidak, ini bukan pacarku..."

Aku mencoba membenarkan kesalahpahaman. Aku melirik sekilas ke arah Mitsumine, lalu menyatakan kembali kata-kataku.

Mungkin kesalahpahaman ini bisa digunakan untuk sesuatu yang lain. 

"Terima kasih banyak!! Dia luar biasa, bukankah begitu, pacarku!? Dia terbaik!!! Ya ampun, aku mencintaimu."

"Haaa!? Siapa yang pacarm--, mmm."

Aku mengambil langkah berani dengan menutup mulut Mitsumine ketika dia membuka mulutnya dengan jijik atas kata-kataku dan berteriak-teriak karena bisikan di telinganya.

"Bukankah itu baik-baik saja! Anggap saja sebagai amal baik untuk seorang siswa SMA yang menderita!! Kamu akan dapat banyak pahala!! Suaraku akan memberikan efek di neraka untukmu di masa yang akan datang!"

"Pertama-tama, mengapa kamu berpikir kalau aku akan masuk neraka!? Tentu saja aku akan masuk surga! Di samping itu, masalah sesepele ini tidak akan memberikan efek apa-apa."

"Tidak, itu akan. Tanpa keraguan itu akan. Jangan merendahkan suara yang kau dapatkan dariku yang menjalani kehidupan dengan hanya melakukan perbuatan yang baik! Suaraku tentu akan memutuskan apakah kamu akan masuk ke surga atau tidak."

"Dan itu datang dari mulut seorang pria yang suka melewatkan pelajaran. Aku rasa kamu harus memperhatikan dirimu terlebih dahulu."

"Aku memohon padamu! Malah, sebaliknya, bagaimana caramu menjelaskan hubungan kita ke pegawai itu?"

"Ini sudah biasa-..."

Mitsumine berkata, selagi dia memeras otaknya.

Kami hanya dipertemukan oleh kesempatan dan pergi bersama untuk melihat lautan. Kami bukanlah teman, kekasih, atau bahkan teman sekelas. Kami tidak memiliki satu pun hal umum yang bisa disebutkan.

Aku penasaran bagaimana Mitsumine akan menjelaskan hubungan kami, jadi aku dengan sabar menunggu responsnya, lalu Mitsumine mendesah dengan tampak cemberut di wajahnya.

".......Iya, apalah. Akan merepotkan untuk menjelaskannya, aku juga akan tewas tidak lama lagi. Paling tidak, aku bisa membantu seorang siswa SMA yang tidak populer."

"Kamu benar-benar ingin menusukku, bukan begitu..."

Di antara kami berpura-pura menjadi pasangan dan menjelaskan hubungan kami, kerepotan menjelaskan lah yang terlintas. Aku bertanya-tanya apakah ini kalimat yang seharusnya aku senang mendengarnya. Aku tidak bisa sampai pada kesimpulan, tetapi aku juga tidak ingin, jadi aku membiarkannya begitu.

Melihatku memegang dadaku setelah mendengar perkataan kasar Mitsumine, pegawai itu tersenyum dan berkata "Kalian sangat akur, ya?" dan memberikan kami mutiara yang kami keluarkan tadi.

"Saat ini, kami mempunyai kampanye di mana kami akan memproses permata yang Kalian keluarkan menjadi aksesori secara gratis. Prosesnya akan memakan waktu selama sekitar satu pekan, apakah kalian ingin melakukannya?"

Dengan kata lain, kalau kami menyetujui penawaran itu, kami harus datang kembali lagi ke sini dalam satu pekan.

Ketika aku menatap ke Mitsumine untuk bertanya apakah dia akan mengambil tawaran itu atau tidak, tatapannya berkeliaran seolah-olah dia ragu.

".........Err."

Mungkin dia ingin mutiara yang dia ekstrak sendiri, tetapi khawatir kalau itu tidak masalah jika dia tewas hari ini. Atau jangan-jangan dia tetap diam, tidak mampu untuk berkata, 'Itu tidak masalah karena aku akan tewas hari ini.'

Mitsumine pasti sangat polos dan pembohong yang buruk. Jika dia tidak menginginkan itu, dia bisa saja dengan mudah mengatakan begitu tanpa mengkhawatirkan tentang apa yang pegawai itu pikirkan.

Namun, kepolosannya dan perputaran peristiwa ini adalah peluang yang bisa aku ambil keuntungannya dalam rangka menjaga Mitsumine tetap hidup selama mungkin. Tidak mungkin aku tidak bisa mengambil keuntungan dari ini.

Berpikir demikian, aku tersenyum ceria dan mengambil tangan Mitsumine, yang sedang memasang wajah kebingungan, untuk pamer kepada pegawai itu. Itu bisa disebut 'pegangan kekasih'.

"Tolong diproses. Kami akan kembali lagi dalam sepekan untuk mengambilnya. Lihat, lagipula kami sepasang kekasih yang saling mencintai satu sama lain."

"Haaa!? Tungg-, A-ku-"

"Fufu, Kalian sangat dekat. Aku mengerti. Aku akan menunggu kalian pekan depan."

Aku menunduk ke pegawai yang tersenyum dan meninggalkan toko bersama Mitsumine, yang sepertinya masih ingin mengatakan sesuatu. Selagi kami berjalan menuju stasiun, Mitsumine melirikku dan membuka mulutnya dengan  frustasi. Itu seperti yang sudah kuduga.

"Mengapa kamu bilang kita akan kembali lagi pekan depan untuk mengambilnya? Bukankah aku bilang padamu aku akan mengakhiri hidup hari ini! Apakah kamu sudah lupa!? Apa otakku sudah kosong!? Kamu KY baka!!" (TL Note: Baka = Bodoh)

"Haaa!? Kita akan meninggalkan masalah jika tidak mengambilnya, jadi bisakah kamu menundanya selama sepekan? Kamu tidak memiliki alasan khusus untuk meninggal secepatnya, bisakah kamu mengakhiri hidup setelah mengambil barang itu jadi kamu bisa menerimanya!? Maksudku, Bukankah permata yang Mitsumine ambil adalah yang terbaik dari yang terbaik?! Jadi akan sia-sia jika tidak memprosesnya?"

"...Itu benar, tetapi-"

"Sekarang kamu bilang begitu, kita masih belum sampai ke akhir dari permainan 'Shiritori yang berkaitan dengan laut'. Mari kita buat hukumannya yang kalah akan mendengar satu harapan dari yang menang. Bukankah itu lebih mengasyikkan?"

"Ja-jangan memutuskan itu sendir-".

"Ah, iya iya. Aku paham sekarang. Aku rasa aku paham. Mitsumine, apa kamu takut kalah denganku?"

Aku berdiri diam, tersenyum untuk memamerkan semangat pantang menyerahku, selagi aku berdoa di pikiranku.

Aku punya dua rencana untuk disebutkan, 'Rencana Itu Sia-Sia' dan 'Rencana Penghasutan'. Seperti yang diduga, dia pasti akan terikat dengan benda itu yang harus dia ambil untuk diekstrak, dan dengan begitu dia akan terhasut dan terganggu.

"Jadi, bagaimana menurutmu?"

Jantungku berdebar.

"...Tentu saja, aku tidak akan kalah tidak peduli bagaimana! Aku pasti akan menendang bokongmu dalam sepekan!!"

Senyumannya yang penuh tekad dan pantang menyerah terlalu cantik, dan aku kehilangan kata-kata seketika. Dan juga, aah.

Aku bisa melihat Mitsumine lagi esok hari. Aku terharu akan itu.

"Iya, sudah ditetapkan kalau begitu, kita akan datang kembali Senin depan untuk mengambilnya."

"Aku merasa telah ditipu, tetapi tidak bisa bilang apa-apa. Itu tidak mengubah apapun kalau aku akan selama sepekan... Aku tidak mengerti dirimu A-kun."

Dia berkata dengan putus asa, seolah-olah dia menyerah. Kata-kata Mitsumine sangat bersandar pada asumsi kalau dia ingin mengakhiri hidupnya, tetapi aku sangat bahagia bahwa dia memutuskan untuk hidup selama satu pekan lagi, sehingga aku berusaha menghentikan wajahku dari mengendur.

Sebaliknya, inilah saat semuanya dimulai. Dalam satu pekan ini aku harus mengatur bagaimanapun caranya meyakinkan Mitsumine untuk tetap hidup, aku harus meyakinkannya untuk hidup sampai lima puluh, tidak delapan puluh tahun lagi.

"Baik, Mitsumine! Untuk sekarang, ayo balapan lari ke stasiun!"

"Mengapa kamu begitu bersemangat?! Kamu tiba-tiba bilang padaku begitu, itu mengerikan. Benar, aku benar-benar tidak mengerti maksudmu!"

Lalu, kami tiba di stasiun dengan ngos-ngosan karena lari, dan bermain shiritori saat perjalanan pulang di kereta api, tetapi permainannya sangat memanas sehingga tidak selesai-selesai.

Hari ini saja, aku mulai kehabisan kosakata di tanganku, jadi aku berpikir untuk membeli buku gambar tentang kehidupan maritim saat perjalanan pulang. Aku merasa sedikit merasa malu untuk membeli buku itu di umurku yang segini, sih.

Dengan pemikiran yang kekanak-kanakan, aku turun di stasiun di mana aku selalu melihat dari bagian belakangnya, dan untuk pertama kalinya aku melihat Mitsumine dari bagian depannya dan melambai padanya.

"Mitsumine, sampai jumpa besok!! Aku pasti akan melihatmu lagi di sini besok!"

"Lagi-lagi itu, lagi-lagi itu, diamlah. Terlalu panas di sini. Aku bisa mendengarmu dengan jelas."

Mitsumine mengatakannya dengan tatapan jijik yang tulus di wajahnya, lalu menambahkan suara sekilas, "Dah," dan lalu naik ke kereta api yang segera datang.

Aku mengeluarkan penyuara jemalaku yang biasanya dari tasku, memakainya, dan menatap ke Mitsumine di peron stasiun sampai dia menghilang dari pandanganku.

"Dia tidak bilang, 'Sampai jumpa lagi'."

Suara 'Dah'-nya terlalu lemah untuk janji akan bukti pasti kalau aku akan bertemu lagi dengan Mitsumine esok hari. Iya, mungkin aku hanya terlalu tidak percaya padanya, sih.

Jujur saja, aku takut berpisah dengan Mitsumine. Lagipula, aku mungkin tidak bisa bertemu dengannya lagi. Walaupun begitu, dia adalah tipe orang yang menepati janjinya, jadi aku melambaikan tanganku berpura-pura tidak ada yang akan terjadi.

.......Bohong sih. Sebenarnya ada janji yang aku buat dengannya sebelum kami berpisah.

"Mitsumine, tutup matamu."

"..Apa?"

"Rahasia. Ayolah, cepat ke sini."

"....."

"T-o-l-o-n-g!! Aku tidak akan melakukan hal aneh!! Akhirat! Untuk kehidupan akhiratmu!!"

Mitsumine mungkin berpikir tidak ada gunanya mengatakan sesuatu pada diriku yang tidak wajar.

"Kalau kamu melakukan sesuatu yang aneh, aku akan membuat A-kun wafat bersamaku."

Dia secara perlahan mendesah, dan menutup matanya. Benar, dia benar-benar teman yang polos dan baik.

Setelah mengkonfirmasi bahwa Mitsumine benar-benar menutup kedua matanya, aku mengambil tangannya dan meraih spidol ajaib yang aku keluarkan dari tasku sebelumnya dengan ketat. Lalu, dengan jari yang gemetar, aku dengan panik menuliskan huruf-huruf dan angka-angka di tangannya.

"...Oke. Kamu bisa membuka matamu sekarang."

Setelah menuntaskannya, aku memanggil Mitsumine. Dia segera membuka mulutnya dengan tampang yang tidak puas di wajahnya.

"A-kun, kamu pembohong. Kamu pasti melakukan sesuatu yang aneh, kan?"

"Bukankah ini masih diterima oleh batas toleransi!? Aku tidak melakukan sesuatu yang membahayakan!"

"Tetapi ini tetap saja aneh. Apa ini?"

Mitsumine menunjuk perban yang aku pasang di pergelangan tangannya. Itu adalah salah satu hal yang aku ambil dari UKS ketika aku meninggalkan sekolah, hanya untuk jaga-jaga, tetapi aku tidak menyangka ini akan berguna di sini.

"Ini adalah nomor bebas pulsa A-kun."

"........Apa kamu ingin pergi ke dokter?"

"Tidak, aku tidak ingin!? Lihat sini, kamu salah. Itu bukanlah reaksi yang aku cari. Itu lebih seperti, "Kyaa~ betapa indahnya!' "

"...Haa."

"Tolong tunggu. Tidak usah dibawa serius."

Aneh. Di sinetron yang aku tonton, tidak terjadi seperti ini.

"Err... Aku telah menuliskan sebuah nomor telepon di bawah yang akan menghubungkan kamu dengan aku, A-kun, meskipun itu di larut malam ataupun pagi-pagi buta. Ini adalah produk spesial, tetapi kali ini, ini adalah hadiah terbatas untukmu, Mitsumine-san."

"...Haa."

"Dan ini gratis selama yang kamu inginkan, aku akan menjawab dalam lima dering. Uwaa! Betapa nyamannya! Benar-benar murah!"

Hentikan. Tolong jangan menatapku dengan belas kasihan. Bahkan hatiku sakit saat aku mengatakan ini.

"Itu berarti, bagaimana bilangnya ya, um."

Ahh, kurasa ini sangat membosankan, aku seharusnya lebih sering mengikuti mata pelajaran Bahasa Jepang Modern.

Jadi aku bisa tahu kalau 'rembulan itu indah' = 'AKU MENCINTAIMU'.

Atau, 'Aku milikmu' = 'Selama aku hidup'.

"Jika kamu merasa seperti ingin wafat, hubungi aku."

Lalu aku bisa mengutarakan kata-kata itu lebih indah dan bagus.

"...Lihat sini, tidak peduli bagaimana kamu memasangnya, aku masih akan membencinya. Kamu sudah menjadi penghalang dari tujuanku untuk mengakhiri hidup sekali, apa yang membuatmu berpikir aku akan memanggilmu, orang yang baru pertama kali kutemui hari ini, ketika aku merasa ingin wafat?"

Setelah berkata begitu, Mitsumine menjulurkan lidahnya dan mengeluarkan "Yang benar saja, kamu terlalu banyak membaca manga."

Fakta bahwa aku tidak bisa bilang apa-apa karena itu sebenarnya benar membuatnya bahkan lebih menyayat hatiku.

"Jadi perban ini sebagai segel pelindung untuk nomor bebas pulsa A-kun? Kamu tidak perlu melakukannya, karena jika aku ingin mengakhiri hidupku, aku akan tewas sendiri secara sembunyi-sembunyi."

Kata-kata Mitsumine begitu kasar. Meskipun kata-katanya begitu kasar dan tajam.

Aku bertanya-tanya apakah dia sadar kalau dia tersenyum sejenak ketika dia berkata begitu. Atau ini hanyalah halusinasi yang dibuat olehku, berharap kalau itu benar-benar dia?

"...Aku mengerti. Itu mungkin begitu."

Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi Mitsumine tidak berusaha mengelupas perbannya, dan mengganti posisi tasnya ke tangan kirinya, tangan yang diberi perban.

Hanya itu satu-satunya fakta.

"Wajahnya yang tersenyum saat ini, sangat imut."

Kimi-no-sei-1


Aku mengingat kembali kejadian itu selagi aku menatap ke kereta api yang Mitsumine telah naiki di depanku.

Senyuman yang seharusnya aku lihat saat itu lebih imut dari hari-hari sebelumnya ketika aku menatapnya dari belakang dan mengaguminya seolah-olah dia adalah karya seni, berasumsi bahwa aku tidak akan pernah bisa mencapainya.

Aku merasa seperti aku akan secara tidak sengaja jatuh ke emosi yang tidak aku mengerti.

Langit berubah warna menjadi jingga redup. Aku tidak bisa hanya berdiri di sini selamanya. Di samping itu, aku punya misi penting hari ini, yaitu mampir ke toko buku dan membeli sebuah buku bergambar tentang kehidupan laut.

"...Ayo pulang."

Aku bergumam pada diriku sendiri selagi aku mencoba mengatur perasaanku, dan mendorong masuk sisa perban dan semuanya ke saku  seragamku sebelum berjalan pulang.

Selagi aku keluar loket tiket stasiun, yang sedikit redup, dikarenakan atapnya, dan terbenamnya matahari sangat menyilaukan sehingga aku menyilaukan mataku dan cemberut.

Hari ini adalah hari di mana terbenamnya matahari tidak seindah biasanya.


←Sebelumnya          Daftar Isi           Selanjutnya→


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama