[Peringatan 15+ Ke Atas!]
Bab 9Aku Punya Rencana buat Meningkatkan Ekskul Drama
Keesokan harinya sepulang sekolah, aku berada di lantai empat blok seni dan sains: Tanah Tanpa Tuan. Aku menuju ke ruang kelas kosong yang biasa digunakan Ekskul Drama buat latihan bersama Ozu dan Otoi-san. Ibu Sumire sudah pergi duluan buat mendiskusikan apa yang akan dilakukan bersama mereka, sementara Iroha jaga-jaga di ruang kelas yang berbeda.
"Jadi misi kita yaitu buat memastikan Ekskul Drama yang tidak berbakat ini mendapatkan hasil di Pekan Raya yang akan datang, ya? Astaga, Aki, kamu benar-benar tahu bagaimana membuat suasana tetap asyik."
"Dan Aki memberikannya pada kita entah dari mana," tambah Ozu. "Itu bagian dari apa yang membuatnya begitu asyik, sih."
"Masa depan Aliansi bergantung pada hal ini, jadi aku membutuhkan kalian semua di dek."
"Kamu sudah memberiku kasteya, jadi aku senang melakukan apapun yang kamu mau." Otoi-san memegangi tas sekolahnya di atas bahunya yang kendur, dan tas kecil yang berisi kue kasteya berayun-ayun di tangan yang lain. "Ditambah lagi, ini terdengar menarik. Aku tidak akan membiarkannya payah, jadi bersiaplah, ya?" Otoi-san menggerakkan Suckies ke dalam mulutnya sehingga ujungnya mengarah ke arahku dengan penuh tantangan.
Aku mengangguk sebagai tanggapan. "Aku tahu. Aku tidak mau kamu memperlakukan mereka dengan mudah."
Dengan begitu, aku menuntun mereka ke ruangan di ujung lorong.
"Itu orangnya! Sutradara paling tidak manusiawi di dunia!" Geram seorang cewek.
Detik berikutnya, cewek itu mengayunkan sebuah benda tumpul ke arah kepalaku. Aku meluncurkan diriku ke depan, siap buat meninju wajah cewek ini. Namun pada saat terakhir, aku menyadari kalau aku mengenalnya, dan alih-alih melayangkan pukulan, aku malah mencolek jidatnya.
"Euh!"
Cewek itu — Kageishi Midori — mengeluarkan jeritan bernada tinggi dan membungkuk ke belakang sebelum jatuh dengan spektakuler ke bokongnya.
Aku mengambil senjata yang terlepas dari tangan Midori-san dan menghela napas jengkel. "Palu busa, ya? Ini salah satu alat peragamu?"
"Menurutmu apa yang kamu lakukan?! Jadilah pelaku kejahatan yang baik dan dikalahkan!"
"Hei, itu merupakan pembelaan diri yang dibenarkan. Suatu saat aku membuka pintu, berikutnya aku diserang secara brutal."
"Aku tidak menyangka kalau kamu bereaksi begitu cepat! Apa kamu pernah berada di Ekskul Seni Bela Diri atau semacamnya?"
"Aku melakukan sedikit otodidak dalam hal-hal kayak Aikido, jadi aku bisa melindungi diriku dari orang aneh. Aku tidak menyangka kalau waktu reaksiku begitu mengesankan. Mungkin rata-rata dibandingkan dengan siswa-siswi lainnya."
Dua bahaya terbesar dalam hidup merupakan kecelakaan yang tidak terduga, dan insiden yang tidak beruntung. Kalau kalian pernah memainkan Gim Kehidupan, kalian akan mengerti; kadang-kadang, hal-hal buruk terjadi secara acak, cuma karena takdir memutuskan buat memutar roda warna-warni. Itu semua menghasilkan waktu yang terbuang sia-sia dan kerugian besar yang paling buruk. Aku memang tidak tahu soal kalian, tetapi hal semacam itu sangat membuatku kesal.
Kalian tahu apa cara terburuk buat membuang-buang waktu kita? Terjebak dalam kecelakaan. Makanya, setiap kali aku keluar, aku bilang pada diriku sendiri kalau setiap mobil akan menabrakku, dan setiap pejalan kaki hampir saja mengeluarkan pisau dan menghabisiku. Makanya aku memutuskan buat belajar bela diri dasar — buat jaga-jaga kalau salah satu dari skenario ini benar-benar terjadi.
Namun, saat aku bilang dasar, sih, maksudku memang dasar. Atlet bela diri manapun mungkin dapat mengalahkanku dalam waktu 10 detik.
"Aku juga merasa kalau menyerangku kayak gitu sangat ekstrem. Bukan berarti aku mengharapkanmu buat menerima kabar kedatanganku dengan duduk."
"Ten-Tentu saja tidak! Maksudku, Kak— Ibu Kageishi barusan bilang pada kami kalau kamu akan mengambil alih segalanya."
Aku mengalihkan pandanganku dari Midori-san di lantai dan mendongak ke arah jendela, di mana Ibu Sumire bersandar di dinding. Ibu Sumire melipat kedua tangan beliau, dan punya ekspresi yang sangat tenang. Mata kami ketemuan, dan beliau memberiku anggukan yang lebih dingin dari agen rahasia manapun.
Pada saat yang sama, aku merasakan ponsel pintarku bergetar. Aku pun membuka LIME.
Murasaki Shikibu-sensei: Ibu tidak dapat membujuk Midori-chan sepenuhnya! GLHF!
Aku menjawab dengan jentikan jari yang fasih.
"Terima kasih buat tidak ada apa-apanya."
Mungkin itu agak kasar. Melihat lebih dekat, cuma Midori-san yang tampak keberatan dengan Aliansi yang mengambil alih Ekskul Drama. Anggota lainnya tampak baik-baik saja dengan hal itu; Cuma Midori-san saja yang tampak cemberut.
"Pasti ada sesuatu yang terjadi di balik layar! Ibu Kageishi selalu bilang kalau beliau mau membiarkan kita mengembangkan kemandirian kita, jadi mengapa beliau memanggilmu?"
"Kamu membuat ini terdengar kayak semacam konspirasi."
"Ini lebih buruk dari itu! Aku yakin kalau kamu... ...kamu memaksakan dirimu pada Ibu Kageishi, dan sekarang kamu memaksakan dirimu ke Ekskul Drama, Dasar B*bi!"
"Apa hidung ini tampak kayak moncong buatmu?"
"Kamu salah satu Sutradara terkenal di Hollywood, bukan? Seseorang bernama besar?! Mustahil kamu tidak bersalah! Aku tahu soal hal semacam ini! Ini kayak di manga-manga di mana ada seorang Pengusaha yang gagal, tetapi lalu ia membalikkan keadaan dengan istirahat bareng seorang wanita!"
"Oke, tetapi ini kehidupan nyata."
Aku kira Midori-san mestinya jadi adik yang cerdas, tetapi ternyata itu cuma kecerdasan dalam buku. Kayaknya Midori-san tidak dapat membedakan fakta dan khayalan. Paling tidak, hal itu tampaknya berjalan dalam keluarga.
"Dengarkan, aku tidak melakukan apapun pada Pembina kalian. Lagipula, apa yang aku mau dari Ekskul Drama kecil-kecilan kayak kalian? Tidak ada salahnya menggunakan akal sehat sesekali, loh."
"Akal sehat? Tunggu, apa itu berarti kamu akan menjadikan kami semua sebagai bu-bu-budak cocok tanammu?!"
"Mengapa, apa kamu mau aku melakukannya?"
"Ti-Ti-Tidak! A-A-Aku bukan orang mesum!"
"Kamu langsung mengambil kesimpulan kayak gitu. Ibu Kageishi cuma merasa kalau kalian membutuhkan bantuan buat Pekan Raya yang akan datang. Apa menurutmu kamu tidak mempercayai penilaian beliau?"
"Te-Tetapi... ...begini... ...kami sudah bekerja keras selama ini. Segalanya sendirian juga." Midori-san menatap lantai dengan sedih sambil memikirkan kata-kata selanjutnya. "Kami tidak dapat menyerahkan segalanya pada seseorang yang tiba-tiba muncul begitu saja."
Dari sudut pandang Midori-san, mungkin terasa kayak mereka sedang diserang. Meskipun Midori-san tahu kalau mereka membutuhkan masukan dari orang luar buat mengetahui kelemahan mereka, mungkin ada bagian emosional dalam dirinya yang mencoba buat menolak kami.
Itu tidak terlalu berbeda dengan apa yang terjadi dengan Aliansi baru-baru ini, makanya aku paham apa yang Midori-san rasakan. Mashiro memasuki tempat perlindungan kecil kami yang aman, dan secara tidak sengaja mengancam buat memecah belah kami. Setelah kami mengatasi kedatangan Mashiro, aku dapat mengingat prinsip-prinsipku, dan bahkan menemukan cara-cara baru buat tumbuh lebih kuat. Meskipun mereka tidak menyukaiku, kalau Ekskul Drama mengizinkanku buat mengambil alih, siapa yang tahu kemungkinan tidak terbatas apa yang menunggu mereka di sisi lain?
Sudah waktunya buatku untuk melakukan sedikit aktingku sendiri. Kalau aku mau Kageishi Midori-san berada di pihakku, aku mesti turun langsung ke intinya.
"Aku paham. Aku cuma menonton sebagian kecil dari latihan kalian, tetapi aku dapat tahu seberapa besar usaha yang telah kalian lakukan."
"Apa?" Mata Midori-san membelalak mendengar nada suaraku yang lembut.
Sebelumnya aku memang bersikap kasar pada Midori-san, tetapi sekarang aku bersikap baik, penuh pengertian, dan empati. Perbedaannya mungkin membuatku tampak lebih baik ketimbang yang sebenarnya. Aku rasa secara teknis, kita dapat menyebutnya sebagai manipulasi emosi, tetapi itu semua demi kebaikan yang lebih besar. Ingat, tujuanku selalu efisiensi, bukan kebajikan.
"Tetapi justru karena aku tahu betapa kerasnya kalian bekerja, aku mau membantu."
"Ooboshi-kun..."
"Aku telah melihat potensi kalian secara langsung. Aku benar-benar merasa kalau kalian dapat melangkah jauh."
Ini akan jadi jalan yang sangat, sangat panjang kalau mereka mau punya kesempatan buat memenangkan kompetisi apapun. Mudah-mudahan Midori-san cuma menerima kata-kataku begitu saja dan menganggapnya sebagai pujian.
"Dengarkan, kalian berlatih sendiri di sini, di padang gurun ini tanpa masukan sama sekali dari Pembina kalian, dan kalian mengorbankan waktu istirahat makan siang kalian demi melakukannya. Entahlah apa aku pernah melihat sekelompok orang yang bekerja keras kayak kalian sebelumnya."
Midori-san menatap lantai, pipinya memerah.
"Tetapi," lanjutku, "bekerja keras tidak akan mendapatkan apa yang kalian mau kalau kalian menuju ke arah yang salah. Ini kayak matematika, sungguh. Bayangkan kerja keras kalian merupakan pengali 10 kali lipat. Kecuali kalau hasilnya -10. Tidak peduli berapa pun nilai positif yang kalian kalikan, hasilnya akan selalu negatif."
Aku bahkan tidak mengada-ada pada saat itu. Mereka memang benar-benar bekerja keras. Yang mesti aku lakukan yaitu mengarahkan mereka ke jalur yang benar.
"Kalian punya kekuatan buat jadi Ekskul Drama terhebat di Pekan Raya. Yang perlu kalian lakukan yaitu fokuskan usaha kalian di bidang yang tepat!" Dengan setiap kata, nada bicaraku jadi semakin bersemangat dan tegas.
Aku menyampaikan seluruh pidatoku sambil memperhatikan napas Midori-san buat memastikan dia tidak dapat menyela. Midori-san masih menatapku dengan kaget saat aku mengucapkan kalimat terakhir.
"Kalau ekskul ini tidak mendapatkan hasil di Pekan Raya, ekskul ini akan dibubarkan. Dan saat ini, itulah arah yang kalian tuju."
"Tetapi... ...Tetapi kami..." Tidak dapat memberikan bantahan, Midori-san mengalihkan pandangannya lagi.
Aku tahu kalau Midori-san tidak akan dapat berdebat denganku. Midori-san itu Ketua Ekskul. Midori-san mestinya sudah tahu lebih banyak dari siapapun kalau mereka tidak sedang dalam urusan memenangkan hadiah.
"Aku dapat membantu kalian menghindari nasib itu. Kalau kalian mau bertahan, biarkan aku membantu kalian. Kalau kalian mau jatuh dan terbakar, tolaklah aku. Pilihan ada di tangan kalian."
Masih duduk di lantai, Midori-san mengulurkan tangannya ke arahku. Sejenak, Midori-san membiarkannya melayang di udara, sebelum menoleh ke sesama anggota ekskul buat meminta dukungan.
"Midori-san..." Mereka menatap Midori-san dengan kecemasan di mata mereka.
Suara-suara itu menyadarkannya, Midori-san menatapku dengan tatapan penuh semangat. "Aku paham apa yang kamu bilang, tetapi aku tetap tidak dapat menyerahkan segalanya padamu tanpa pikir panjang."
"Aku paham, karena itu aku tidak menyarankan kami mengambil alih segalanya. Kami di sini bukan buat mengambil peran utama. Kami di sini buat mendukung kalian agar kalian dapat membidik target yang lebih tinggi lagi."
"Mendukung kami?"
"Kayak yang aku bilang, kalian memang punya ketekunan, tetapi kalian menggunakannya dengan cara yang salah. Kami datang buat memperbaikinya."
"Tetapi..."
Midori-san masih tampak diliputi keraguan. Saatnya buat memainkan kartu as terakhirku. Aku berharap tidak akan sampai kayak gini, tetapi aku kehabisan pilihan saat ini.
"Kalau kamu menolakku karena menurutmu aku ini b*bi yang menodai Kakakmu, kamu salah soal itu."
"Dan menurutmu aku akan mempercayaimu cuma karena kamu bilang begitu?! Aku sudah tahu kalau cowok-cowok itu pembohong yang didorong oleh nafsu!"
"Karena itulah aku membawa bukti. Benar begitu bukan, Ozu?" Tanyaku pada Ozu dari balik bahuku.
Ozu menyeringai. Kami sudah mempersiapkan diri buat hal ini, dan Ozu sudah tahu persis apa yang aku bicarakan.
"Itu benar. Aki cuma punya satu orang yang istimewa, dan orang yang istimewa itu yakni aku!"
"GAH!"
"Tung-Tunggu, maksudmu — Tunggu sebentar, apa itu suara gemuruh itu? Kedengarannya kayak suara dinosaurus atau semacamnya!"
"A-Ah, astaga! Kayaknya ada siswa yang memutuskan buat berlari dengan sangat keras di halaman! Ibu akan memarahi mereka nanti," jawab Ibu Sumire, membuka jendela dan mencondongkan tubuh beliau keluar dengan sangat sengaja.
Terima kasih, si pencoret anonim. Kamu telah menyelamatkan seluruh anggota Ekskul Drama dan sang adik dari menyaksikan mode penggemar yaoi Ibu Sumire yang penuh. Sampai hari ini, pelakunya belum teridentifikasi.
"O-O-Ooboshi-kun! A-Apa maksudmu bilang... ...Eum..."
"Aku Kohinata Ozuma, satu-satunya punya Aki. Senang bertemu denganmu, Kageishi-san."
"Kohinata-kun dan Ooboshi-kun... ...apa kalian berdua... ...menjalin hubungan kayak gitu?!" Oceh Midori-san, wajahnya merah padam dan bibirnya bergetar saat dia berbicara.
Secara teknis, kami memang tidak bohong. Ozu itu "satu-satunya"... ...temanku. Kami cuma memutuskan buat tidak menjelaskan bagian itu. Midori-san-lah yang membumbui segala sesuatunya dengan imajinasinya yang busuk.
"Apa kamu percaya padaku sekarang?"
"Ah, eum, eh, itu..." Midori-san menempelkan kedua tangannya ke pipinya yang terbakar. "O-Oke, aku percaya padamu! Mak-Maksudku, kamu boleh mencintai siapapun yang kamu mau! Bukan posisiku buat menghakimi, bukan?!"
Midori-san ini benar-benar adiknya Ibu Sumire. Meskipun Midori-san tidak menyadarinya, jelas kalau ide soal aku menjalin hubungan dengan Ozu telah membuat detak jantungnya meroket dari caranya mencengkeram dadanya sekarang.
Kayak yang aku bilang sebelumnya, ini merupakan upaya terakhir demi membuat Midori-san menerima rezim baru Ekskul Drama. Aku cuma berharap tidak akan ada rumor aneh yang beredar setelah ini. Meskipun begitu, membuat Midori-san percaya kalau aku berhubungan dengan Ibu Sumire akan terasa 💯 kali lebih memalukan dan menyebalkan.
"Dan kamu paham sekarang kalau aku tidak melakukan sesuatu yang samar-samar dengan Ibu Kageishi, bukan?"
"Iya..."
Aku menghela napas lega. "Okelah, kalau begitu. Sekarang, kalau kamu tidak mau kami membantu ekskul, kamu bebas menolak kami. Dengarkan saja apa yang akan aku bilang terlebih dahulu."
Midori-san memejamkan matanya dengan serius dan selama beberapa saat, dia tetap diam. Setelah kami memutuskan buat membantu Ekskul Drama, Ibu Sumire memberi tahu kami soal beberapa detail yang lebih kecil. Ekskul itu kecil, dan hampir tidak punya anggaran, atau bahkan tempat buat berlatih. Midori-san merupakan satu-satunya alasan mengapa ekskul ini masih berjalan. Bukan cuma karena Midori-san berhasil mengisi ruang kelas yang kosong, tetapi juga karena kemampuan kepemimpinannya yang menjaga semangat di dalam ekskul. Kalau ada satu hal yang Midori-san sangat seriuskan, itulah Ekskul Drama.
Maka tidak heran, kalau Midori-san sangat menentang kami saat kami muncul tiba-tiba. Itu pasti membuat frustrasi, secara halus.
"Oke deh. Aku akan mendengarkanmu." Meskipun frustrasi, Midori-san mengangguk. "Apa ada yang menentang?"
"Kalau kamu tidak keberatan, Midori-san, maka kami juga! Kami juga tidak mau kita bubar!"
"Terima kasih." Midori-san berbalik ke arahku dan melotot. "Ingatlah kalau aku siap buat menolakmu kapan saja!"
"Tentu saja, aku tidak ada masalah dengan itu."
Midori-san meraih tanganku yang terulur dan berdiri. Negosiasi selesai. Setelah kami memberitahukan rencana kami, terserah Midori-san, sebagai Ketua Ekskul, buat menerimanya. Kalau Midori-san menerimanya, maka tidak ada anggotanya yang dapat mengeluh. Aku cuma berharap Midori-san mau.
"Aku tahu kalau kamu dapat melakukannya, Aki. Tidak ada yang dapat memenangkan hati mereka kayak kamu!"
"Terima kasih. Akan lebih mudah kalau Midori-san tidak terlalu keras kepala."
"Aku paham. Kayaknya kita mesti menjelaskannya kalau hal ini sampai ke Iroha yang malang, ya?"
"Apa?" Pertanyaan Midori-san tidak terjawab, dan dia dengan cepat beralih ke pertanyaan berikutnya. "Apa dua orang siswa-siswi di belakangmu itu juga bagian dari ini?"
"Iya, mereka akan membantuku dalam membantu kalian."
Aku memperkenalkan dua orang lainnya secara singkat: Ozu, pemrogram kami; Dan Otoi-san, teknisi suara kami.
"Apa mereka dekat dengan Kak — maksudku, Ibu Kageishi juga?"
"Aku rasa dapat dibilang begitu. Ozu sering bicara dengan Ibu Kageishi, paling tidak."
Iya, secara teknis Ozu tidak bicara dengan "Ibu Kageishi" tetapi dengan "Murasaki Shikibu-sensei." Sekali lagi, secara teknis itu tidak bohong.
Mata Midori-san menyipit dengan curiga, seolah-olah dia tidak yakin apa dia mesti mempercayai kami atau tidak. Sebenarnya, Ozu cuma bicara pada Ibu Sumire buat mendukungku saat aku mengomeli beliau karena ilustrasi-ilustrasi beliau.
Sementara itu, Ibu Sumire sedang mengamati kami dengan keraguan di wajah beliau yang tenang. Tuduhan adik beliau pada hubunganku dengan beliau mungkin tidak masuk akal, mungkin karena tidak ada hal kayak gitu yang pernah terjadi di antara kami.
Tunggu... ...bukannya saat itu Ibu Sumire memintaku buat melepaskan kotak pelindungku buat beliau? Ah, mungkin ada kecurigaan yang dilemparkan. Pada diri beliau, sih, bukan padaku.
"Apa kalian yakin tidak menyembunyikan sesuatu?" Desak Midori-san.
"Tidak ada sama sekali." Sebelum Midori-san sempat berpikir terlalu keras soal itu, aku memulai penjelasanku. "Biar aku jelaskan bagaimana tepatnya kami mau membantu ekskul ini. Inilah masalah yang kalian hadapi saat ini..."
Para anggota ekskul mengosongkan ruang di depan papan tulis agar aku dapat menulis di atasnya. Secara garis besar, ada empat masalah utama yang mengganggu ekskul ini. "Keterampilan" para pemeran, naskah, tata panggung, dan tata suara. Semua ini perlu ditangani kalau ekskul ini mau punya kesempatan buat mencapai sesuatu di Pekan Raya yang akan datang.
"Mengesampingkan akting buat saat ini, aku mau menyampaikan rencanaku buat menangani tiga kategori lainnya."
Rencanaku yaitu kayak gini:
Memperbaiki naskah -> Menggunakan skenario Makigai Namako-sensei yang ditolak olehku.
Memperbaiki panggung -> Memanfaatkan salah satu program Ozu, yang akan menyempurnakan alat peraga dan latar belakang yang kami punya. Kami juga akan meminta Murasaki Shikibu-sensei untuk membuatkan latar belakang buat kami.
Memperbaiki suara -> Meminta Otoi-san buat mengawasi tata suara.
Ini merupakan rencana dalam bentuk yang paling sederhana. Buat naskahnya, kami akan membuang sampah fiksi-"ilmiah" dan menggantinya dengan skenario yang diberikan Makigai Namako-sensei pada kami buat Koyagi, yang ditulis ulang sebagai skenario. Ibu Sumire dan Ozu akan mengerjakan arahan panggung dan latar belakang, sementara Otoi-san akan bertanggung jawab atas suara. Karena kami tidak dapat membocorkan identitas rahasia Ibu Sumire, aku cuma dapat bilang kalau kami punya seorang ilustrator jarak jauh, Murasaki Shikibu-sensei, yang membantu kami dengan latar belakang dari jauh.
Kami mengincar hadiah di Pekan Raya musim panas mendatang. Pertama-tama, kami mesti meningkatkan penampilan ke level rata-rata. Lalu kami dapat mengubahnya jadi sesuatu yang disukai para juri.
"Wah, kamu memberikan presentasi ini kayak semacam rapat bisnis."
"Iya! Maksudku, Ooboshi-kun bukanlah Sutradara besar di Hollywood tanpa alasan, bukan?"
Para anggota ekskul tampak terkesan dengan rencanaku. Iya, semuanya kecuali salah satu dari mereka...
"Aku memahami perlunya perubahan tata panggung dan tata suara, tetapi mengapa kita mesti menggunakan naskah yang benar-benar baru?!" Midori-san bangkit berdiri, membanting meja di depannya. "Kamu benar-benar berpikir skenario barumu dapat lebih bagus dari yang sudah kami punya?"
"Lihat saja sendiri. Aku membawanya di sini, jadi silakan baca sekilas dan beri tahu pendapatmu." Aku mengeluarkan salinan cetak skenario Makigai Namako-sensei dan membagikannya ke sekeliling ruangan.
Meskipun manis dan seram, skenario-skenario itu masih ditulis oleh seorang profesional. Ditambah lagi, cerita-cerita itu sejuta kali lebih bagus ketimbang... ...apapun yang aku tonton di ekskul tempo hari. Midori-san membolak-balik halaman dengan raut wajah yang muram, tetapi tidak lama kemudian, seluruh tubuhnya bergetar. Akhirnya, Midori-san berhasil sampai pada bagian akhir... ...dan air mata mengalir di pipinya.
"Si-Siapa yang tahu adanya cinta yang semurni ini!" Para anggota ekskul yang lainnya terisak sesunggukan kayak Midori-san. Mereka mulai mendiskusikan naskah itu di antara mereka sendiri. "Aku mau sekali gunakan naskah ini! Aku tidak dapat memikirkan hal lain yang lebih bagus buat ekskul ini!"
Tanpa ragu, sepenuhnya, atau tertipu sepenuhnya.
"Wah..."
Aku sudah tahu kalau ini lebih bagus ketimbang yang mereka punya sebelumnya (hei, apapun akan lebih bagus ketimbang yang mereka punya sebelumnya), tetapi aku tidak mengharapkan reaksi kayak gini. Apa ini hal yang disukai oleh cewek-cewek SMA modern? Tidak bisakah mereka melihat betapa mengerikannya hal itu? Ozu dan Otoi-san nyaris tidak mengangkat alis mata mereka saat mereka selesai membacanya, jadi mustahil cuma aku saja.
Ibu Sumire tampak sangat khawatir dengan selera adik beliau sekarang, tetapi selama mereka senang menggunakan ini sebagai naskah baru, itu yang terpenting.
"Iya, skenario ini benar-benar sesuatu yang luar biasa. Aku akan senang menggunakannya." Midori-san menoleh ke belakangnya. "Tetapi..."
"Kami yang bertanggung jawab atas pengarahan panggung," jelas salah satu cewek. "Mengubah naskah secara tiba-tiba memang hal yang sulit buat kami..."
Sebagian besar alat peraga yang sudah ekskul ini punya cuma cocok buat naskah fiksi ilmiah. Mengubah genre sekarang berarti membutuhkan sejumlah besar alat peraga baru.
"Kalau alat peraga kecil, tidak masalah, tetapi jujur saja, kami tidak punya waktu atau anggaran buat membuat sesuatu yang besar, dan itu sebelum memulai dengan latar belakang..."
Aku yakin kalau aku tidak perlu memberi tahu kalian, kalau aku sudah siap buat itu.
"Ozu akan mengurus semua itu. Kita sudah pernah membicarakan hal ini sebelumnya, bukan, Ozu?"
"Selama kalian setuju dengan proyeksi dan Realitas Berimbuh buat latar belakang kalian, kita akan baik-baik saja. Cuma butuh waktu tiga hari buat menyatukan segalanya, hanya saja aku mesti melupakan tidur."
"Jadi kita sudah oke buat latar belakangnya. Kita dapat pilah-pilih alat peraga yang lebih besar nanti. Bisakah kami serahkan barang-barang yang lebih kecil pada kalian buat sementara waktu?"
"Tentu saja! Kami akan membuat alat peraga terbaik yang pernah kalian lihat!"
Itulah tata panggung yang sudah diatur. Sedangkan buat suara...
"Kalian punya video yang pernah kalian buat sebelumnya?" Tanya Otoi-san.
"Kami punya arsip dari tahun lalu."
"Bagus, biarkan aku melihatnya."
Kayaknya Otoi-san akan mengurusnya sendiri.
"Sekarang, mengenai aktingnya..."
"Kalian tidak dapat 'Memperbaiki' akting dengan membalik tombol atau menulis program," kata Midori-san. "Kecuali kalau kalian punya sesuatu yang besar di lengan baju kalian."
"Jangan meremehkanku."
Aku membuka LIME dan mendapati bahwa Iroha telah mengirim pesan padaku buat memberi tahuku kalau dia sudah siap.
Waktu yang tepat.
"Aku mau setiap pemeran di sini mengikuti pelajaran dengan Penasihat Khusus di ruang kelas yang berbeda."
"Penasihat Khusus, katamu? Iya, dia sebaiknya jago kalau dia mau kita belajar sesuatu."
"Tidak usah khawatir, aku yakin dia dapat mengajari kalian satu atau dua hal. Kalian akan paham saat bertemu dengannya."
Mustahil mereka akan tidak puas. Dia itu aktris terbaik yang pernah aku temui, sih.
***
Kami pindah ke ruang kelas sebelah. Ada tirai gelap yang menutupi seluruh ruangan.
"Aku bahkan tidak menyadari kalau ini sudah diatur di sini," Midori-san menghela napas, sama terkejutnya dengan dua pemeran di sebelahnya.
Aku sudah mengatur dengan Ibu Sumire sebelumnya agar pihak sekolah mengizinkan Ekskul Drama menggunakan ruangan ini hari ini. Aku memasang tirai gelap saat makan siang, berusaha agar tidak ada yang mengetahuinya. Menurut Ibu Sumire, pengurusan dokumen buat memesan ruangan itu memang merepotkan, tetapi rupanya beliau "mengancam" mereka sedikit dan secara ajaib, prosesnya jadi lebih cepat. Inilah pertama kalinya persona "Ratu Berbisa" beliau benar-benar menguntungkanku.
"Aku dengar kalau kalian sudah berhasil." Sebuah suara bicara pada kami dari dalam kegelapan.
Di sana, di tengah ruangan, berdiri seseorang yang misterius, mengenakan topi loper koran dan kacamata hitam kayak langsung dari Hollywood.
Oke, aku akan menghentikan dramatisasi ini. Kita semua sama-sama tahu kalau itulah Iroha.
"Ini dia. Penasihat Khusus kalian."
"Hah? Siapa sebenarnya dia?"
"Sayangnya, dia mesti merahasiakan identitasnya. Namun, aku dapat menjamin kalau dia merupakan seorang aktris yang luar biasa, sih."
"Panggil saja aku 'Sersan'."
Ibunda Iroha melarang keras Iroha buat berhubungan dengan seni pertunjukan, jadi Iroha mesti menyamar agar kegiatannya tetap tersembunyi.
"Dia tampak agak... ...mencurigakan. Apa kamu yakin soal ini?" Kata Midori-san.
"Kamu itu Midori-san, bukan? Bukannya mestinya kamu lebih khawatir soal seberapa jago aku dapat berakting ketimbang siapa aku sebenarnya?"
"Aku rasa begitu. Kalau begitu, mengapa kamu tidak mencobanya?" Ada percikan tantangan dalam suara Midori-san saat mereka berdua saling bertatapan.
Aku merasa tidak perlu campur tangan sama sekali. Iroha benar-benar siap buat melakukan tugasnya.
Maka, Iroha pun memulai lokakarya istimewanya. Aku menyerahkan sepenuhnya isi lokakarya ini padanya.
"Pertama-tama, aku mau kalian membaca naskah yang diberikan hari ini dan memutuskan siapa yang akan mengambil peran masing-masing. Lalu, aku mau kalian memerankan adegan pembuka buatku."
Ketiga orang pemeran tersebut mulai mengikuti instruksi Iroha. Tidak terlalu banyak karakter dalam naskah ini. Sebagian besar merupakan sang hero dan heroin utama.
"Kamu mesti jadi sang hero, Midori-san!"
"Aku? Apa kalian yakin?"
"Tentu saja! Tidak ada satu pun dari kita yang sebagus kamu!"
"Yoi!"
Setelah Midori-san terpilih sebagai hero utama, dua orang cewek lainnya tidak membuang-buang waktu buat membagi peran yang tersisa. Sang heroin akan diperankan oleh Yamada-san, seorang cewek yang polos kayak namanya.
"Bagus! Sekarang coba aku lihat adegan pembukanya!" Kata Iroha dengan penuh semangat.
Para pemeran mengambil posisi. Aku membuka salinan naskah sehingga aku dapat mengikutinya. Adegan pembuka terdiri dari hero utama yang secara harfiah berpapasan dengan sang heroin di sekolah. Adegan ini memang tidak orisinal kayak roti tawar, dan dibuat cuma buat memberikan alasan agar mereka berdua dapat saling berbicara.
Namun, setelah itu, sang heroin mendapatkan keberanian dari pertemuan itu dan akhirnya mulai membuka diri pada dunia lagi, jadi aku rasa hal itu sudah cukup.
"Tiga, dua, satu, mulai!"
Ini dia.
Midori-san berjalan di atas "panggung" dari salah satu ujung ruang kelas.
"Astaga. Aku. Akan. Terlambat. Aku. Mesti. Bergegas."
"Potong!" Teriak Iroha begitu Midori menyelesaikan kalimat pertamanya. "Apa-apaan itu tadi?! Kamu mestinya jadi cowok yang terlambat masuk kelas! Mengapa kamu berbicara kayak robot dan membaca setiap kalimat kayak kamu itu Mbak-Mbak Asisten Gugel? Apa kamu menganggap ini serius?"
"Aku menganggap segalanya serius!" Midori-san keberatan. "Dan aku bicara kayak manusia!"
"Benarkah? Aku belum pernah melihat manusia yang berbicara kayak gitu, terutama saat mereka sedang terburu-buru."
Aku juga tidak, buat apa itu. Gerakan Midori-san menunjukkan kalau dia sedang berkeliaran di sekitar Ozu buat mencari hatinya, bukannya mencoba buat sampai ke kelas tepat waktu. Buat sesaat, aku rasa Midori-san mungkin sedang memerankan robot dari salah satu naskah fiksi ilmiah yang mereka punya secara tidak sengaja.
"Sudahlah. Jalan terus saja," kata Iroha dengan enggan.
Sang hero berlari di sebuah tikungan dan berpapasan heroin kita.
"Ik!" Pekik Yamada-san.
"Uf," bunyi Midori-san.
Alis mata Iroha memang berkedut frustrasi, tetapi buat saat ini dia membiarkan mereka berlanjut.
"Reaouka?"
"I-Iya... ...Aku baik-baik saja..."
"MagdIsrryharuryyty—"
"Potong!"
Kayaknya, Iroha sudah tidak tahan lagi.
"Hei! Mengapa kamu terus menghentikan kami?" Tuntut Midori-san.
"Mestinya sudah jelas! Yamada-san, kamu baik-baik saja. Midori-san, kamu mestinya berbicara dalam bahasa Jepang!"
"Kamu bilang aku terlalu robotik, jadi aku memutuskan buat fokus pada pengucapanku!"
"Itu yang kamu bilang 'Fokus pada pengucapan'-mu? Kamu melontarkan kalimat-kalimat itu dengan sangat cepat sampai-sampai menembus penghalang suara!"
(TL Note: Admin aja gak tau doi ngomong apaan!)
Cewek-cewek itu saling memelototi satu sama lain. Dua orang anggota ekskul lainnya meringis.
"Dengarkan, aku melakukan segalanya dengan benar. Aku tidak paham apa yang kamu keluhkan."
"Nnngh! Oke. Aku akan berperan sebagai sang hero sebentar agar kamu dapat melihat bagaimana cara melakukannya. Perhatikan baik-baik, oke?"
Iroha mengambil posisinya dan adegan dimulai lagi. Iroha mulai berlari pelan ke tengah ruangan.
"Astaga, aku akan terlambat! Aku mesti bergegas!"
Itulah adegan yang paling sederhana yang dapat dibayangkan, tetapi Iroha tampak sangat khawatir akan terlambat, dan itu membuatku gugup. Kalau aku memejamkan mataku, aku tidak akan dapat membedakan suara Iroha dengan suara cowok-cowok di kelasku. Iroha bahkan berbicara kayak seorang cowok. Seluruh adegan selesai tanpa hambatan.
"Bagaimana?" Tanya Iroha sambil menepuk-nepuk rambutnya yang acak-acakan.
"Wa-Wah..." Gemetar Midori-san. "Itu sangat sempurna, meskipun itu merupakan adegan yang singkat! Caramu berbicara, nada bicaramu, napasmu, gerakanmu... ...Rasanya kayak kamu itu karaktermu! Sekarang aku paham mengapa kamu sangat mengkritik aktingku."
"Senang mendengarnya. Cobalah buat tidak terlalu tidak sabar saat membaca dialog. Pikirkanlah dengan sungguh-sungguh siapa karaktermu saat itu. Mengapa kamu tidak mencoba sekali lagi?"
"Oke!"
Permusuhan Midori-san yang sebelumnya sudah tidak tampak. Inilah kekuatan sebenarnya dari kemampuan akting Iroha. Mengambil posisinya sekali lagi, Midori-san memulai adegan itu kembali. Segalanya tampak mendingan.
"Astaga. Aku. Akan. Terlambat. Aku. Mesti. Bergegas."
"Gah!"
Sudahlah.
Ini akan jadi hari yang panjang...
Lokakarya menghabiskan sisa hari itu. Sementara itu, kami juga mengerjakan yang lainnya.
"Kalian tidak dapat membunyikan musik dengan volume maksimal begitu saja. Mesti memudar, loh, seiring dengan perkembangan adegan. Juga mesti memastikan kalian membawakannya pada waktu yang tepat, oke?"
"O-Oke! Terima kasih!"
"Aku paham kalau kalian belum terbiasa melakukan hal kayak gini, tetapi aku tidak akan puas dengan tata suara yang jelek."
"Bagaimana dengan bagian ini, Otoi-san?"
Bimbingan Otoi-san memang keras, tetapi tampaknya berhasil. Kayaknya aku juga tidak perlu campur tangan di sini. Sementara itu, tim pengarah panggung sedang sibuk membuat alat peraga. Mereka juga bekerja dengan baik; naskah Makigai Namako-sensei tidak punya sesuatu yang terlalu sulit buat dibuat. Ozu sudah pulang ke rumah buat mulai menyelesaikan masalah alat peraga yang lebih besar.
"Apa. Yang. Mesti. Kita. Lakukan?"
"Mestinya 'Apa yang mesti kita lakukan?' Ah!"
Segi akting juga mengalami kemajuan. Dengan kecepatan siput, tentu saja, tetapi itu merupakan kemajuan.
"Mari kita cukupkan di sini buat hari ini."
Bel berbunyi. Saatnya ekskul-ekskul menuntaskan latihan dan pulang.
"Masih banyak tugas yang mesti dilakukan..." Gumam Otoi-san.
Sementara itu, Iroha, tampak kayak berantakan. Rambut Iroha menjulur kemana-mana, dan napasnya terengah-engah. Namun, para anggota ekskul tampak ceria, terdorong oleh kemajuan yang telah mereka capai.
"Bagaimana menurutmu?" Tanyaku pada Midori-san saat segalanya selesai.
Midori-san mengangguk ke arahku. "Penasihat Khusus kalian itu aktris yang hebat, dan metode pengajarannya sangat mudah diikuti. Aku rasa teman-teman juga senang."
"Senang mendengarnya."
"Aku memang tidak suka mengakuinya, tetapi aku menyadari betapa banyak kekurangan kami sebagai sebuah ekskul setelah apa yang kalian ajarkan pada kami hari ini." Midori-san berhenti sejenak. "Jadi, aku mohon... ...aku akan sangat berterima kasih kalau kalian dapat menetap dan membantu kami memenangkan hadiah di Pekan Raya."
Midori-san membungkuk, dan para anggota ekskul di belakangnya mengikutinya.
"Aku akan dengan senang hati."
Dan begitulah cara Aliansi Lantai 05 (dan kawan-kawan) terlibat dalam memberikan pelajaran pada Ekskul Drama.
***
Sepekan berlalu, dan sepekan berikutnya. Ekskul Drama berlatih bersama sepulang sekolah setiap hari, dan kami bergabung dengan mereka. Midori-san masih tampak mengalami kesulitan, meskipun gurunya sangat hebat.
"Aku. Mohon. Jangan. Bohong. Pada. Dirimu. Sendiri. Soal. Bagaimana. Perasaanmu."
"Gah! Aku tidak bohong! Ini mengerikan!"
Aku mendengar banyak kata "Gah" dan "Goh" dari Iroha akhir-akhir ini. Masih butuh beberapa waktu sebelum Midori-san dapat bangkit. Namun, kelompok-kelompok lainnya membuat kemajuan yang bagus.
"Bagaimana dengan ini, Otoi-san?"
"Sudah oke."
"Benarkah?!"
"Jangan terlalu percaya diri, oke? Ini jauh lebih baik dari sebelumnya, tetapi kalian belum siap buat liga besar."
"Benar!"
Berkat Otoi-san, tata suara jadi lebih bagus.
"Aku sudah cukup mahir menggunakan program pementasan Ozu-san!"
Hampir semua alat peraga yang lebih kecil sudah selesai dibuat, dan program Realitas Berimbuh semu Ozu (yang disebutnya "Pembuat Latar Belakang") sudah selesai. Dengan menyiapkan beberapa monitor transparan, program ini dapat menciptakan latar belakang yang tampak sangat realistis. Sudah lama sekali aku tidak melihat kemampuan Ozu secara maksimal, dan aku sungguh kagum. Aku tidak perlu mencemaskan lagi mengenai tata panggung.
Jujur saja, tidak banyak yang dapat aku lakukan pada saat itu. Iroha, Otoi-san, dan Ozu memang ahlinya, dan aku sudah selesai mendelegasikan tugas pada mereka. Aku serahkan penjadwalan dan segala sesuatunya pada Midori-san, yang membuat segalanya jadi lebih mudah buat semua orang. Aku memang mencoba memberi tahu Midori-san soal penggunaan waktu yang efisien beberapa kali, tetapi dia ternyata jago mengatur waktu.
Midori-san juga mengurus pengadaan perlengkapan panggung yang diperlukan. Entah bagaimana, Midori-san bahkan berhasil mendapatkan properti yang tepat sesuai dengan naskah yang diminta oleh Makigai Namako-sensei. Sekarang masuk akal bagaimana Midori-san dapat mempertahankan Ekskul Drama ini sendirian buat waktu yang lama.
Yang perlu aku lakukan cuma menyingkir dan mengamati saja.
"Midori-san, apa kamu berusaha menampilkan penampilan yang sempurna sejak awal?"
"Iya, aku berusaha. Apa itu masalah?"
"Tentu saja. Sebelum mencoba buat membuat segalanya sempurna, kamu mesti membiasakan diri dengan setiap kalimat, satu per satu. Aku rasa kamu terlalu tegang karena mencoba buat melakukannya dengan benar setiap saat."
Midori-san sejauh ini merupakan masalah terbesar kami, tetapi Iroha mengatasinya dengan sangat baik. Bukan cuma Midori-san saja: Iroha mengarahkan seluruh pemeran dengan luar biasa. Melihat Iroha sekarang, aku bahkan tidak dapat melihat bayangan dirinya yang menyebalkan. Iroha lebih tampak kayak seorang guru, dan guru yang baik. Aku mau tidak mau berharap Iroha akan lebih sering kayak gini.
"Hm?"
Pandanganku mengembara ke sudut ruangan, di mana aku melihat salah satu anggota ekskul terengah-engah. Itulah cewek yang memerankan sang heroin. Aku mencari-cari namanya dalam ingatanku.
"Apa kamu baik-baik saja, Yamanaka-san?"
"Ah, Ooboshi-san. Eum, namaku Yamada."
"A-Ah, benar. Maaf."
Ah iya. Yamada. Yamada-san.
Pokoknya.
"Kamu tampak agak pucat. Mungkin kamu mesti istirahat."
"Aku baik-baik saja. Aku dapat terus berjalan."
"Jangan memaksakan dirimu. Kalau kamu berlatih saat kamu tidak kuat, kamu tidak akan mendapatkan apa-apa."
Yamada-san menggelengkan kepalanya. "Terima kasih telah mengkhawatirkanku, tetapi aku janji kalau aku baik-baik saja. Aku cuma agak lelah, itu saja."
Aku terdiam, tidak yakin bagaimana cara meresponsnya.
"Begini, aku belum pernah melewatkan satu sesi pun sebelum kalian datang, dan ini merupakan pertama kalinya aku merasa kita mencapai sesuatu. Jadi aku mau terus maju."
Etos kerja Yamada-san sangat mengagumkan.
"Oke. Pastikan kamu berhenti kalau sudah terlalu lelah, oke?"
"Pasti!"
Dan dengan begitu, heroin kita, Yamada-san kembali berlatih. Meskipun Yamada-san bilang kalau dia baik-baik saja, namun hal itu agak mengkhawatirkan. Aku tidak mau memaksa Yamada-san buat mengikuti sisa sesi, kalau-kalau hal itu akan melunturkan motivasinya. Pada saat yang sama, aku tahu kalau motivasi merupakan obat yang sangat kuat. Saat kita terlalu bersemangat dalam melaksanakan sesuatu, maka akan mudah buat mengabaikan hal-hal yang buruk, dan terkadang hal-hal yang tidak diinginkan dapat terjadi.
Aku memutuskan buat menceritakan apa yang terjadi dengan Yamada-san pada Midori-san nanti. Apapun yang terjadi, segalanya akan baik-baik saja. Lagipula, aku punya beberapa rencana cadangan.
Saat itu, aku merasakan sepasang mata menatapku. Aku mendongak ke pintu kelas dan melihat sesosok tubuh mengintip dari celahnya. Rambutnya pirang keperakan dan... ...tidak ada gunanya menjelaskan lebih lanjut, karena kayak yang mungkin sudah kalian duga, itulah Mashiro.
Tidak lagi...
Aku menghela napas, bangkit, dan menuju ke lorong.
"Ini mulai jadi hal yang dilakukan setiap hari. Kamu tidak perlu menungguku, loh? Kamu boleh pulang saja."
"Aku tidak menunggumu." Mashiro memang langsung membuang muka, tetapi ada nada lembut dalam nada bicaranya.
Sudah lama sejak aku menolak Mashiro, dan dia berjanji agar membuatku jatuh cinta padanya. Setelah itu, Mashiro memperlakukanku dengan jutek, sama kayak sebelumnya. Namun, baru-baru ini, Mashiro kayak sudah tidak lagi malu dan sekarang dia mendekatiku buat berbicara sebanyak mungkin. Namun, bukan cuma itu saja...
"Ini. Aku membuatkanmu roti isi ikan tuna."
"A-Ah. Terima kasih."
"Ka-Kamu sudah bekerja terlalu keras buat hal ini dan tidak menjaga dirimu sendiri. Ber-Berhati-hatilah, oke?"
"O-Oke..."
Mashiro benar-benar bertingkah seakan-akan dia itu pacarku.
"Dengarkan, kamu tidak boleh terlalu terang-terangan soal ini, atau orang-orang akan salah paham. Kita tidak benar-benar pacaran, loh."
"Eum, apa kamu lupa atau semacamnya?" Mashiro mengerjap ke arahku. Senyuman kecil dan puas muncul di bibir Mashiro. "Kita itu pacaran. Di sekolah, terutama."
Ah, benar. Perjanjianku dengan Tsukinomori-san. Sebagai imbalan atas posisi di Honeyplace Works buat timku, aku mesti pura-pura jadi pacar Mashiro dan menjauhkan dirinya dari cowok-cowok, sampai lulus.
Memang agak lucu bagaimana aku mulai dengan jadi orang yang mencoba memerankan peran tersebut, tetapi sekarang keadaan berbalik.
Mashiro menggunakan kesepakatan itu demi keuntungannya!
"Dan aku juga tidak bercanda. Aku akan membuatmu jatuh cinta padaku. Meskipun aku mesti gunakan hubungan palsu kita buat melakukannya."
Bahkan saat orang-orang sedang menyerang, kepribadian mereka tidak berubah. Suara Mashiro terdengar pelan saat dia berbicara, dan pipinya memerah.
"A-Aku tidak dapat menghadapinya lagi! Matilah dalam api, dah!"
"Eh. Dah."
Mashiro berlari pergi dengan tatapannya yang tertancap kuat di lantai. Benar-benar cara yang tepat buat melepas kepergian seseorang.
Mashiro cuma dapat menahan keberaniannya di dekatku kayak gitu selama maksimal tiga menit. Rasanya kayak penggemar yang dibatasi waktu. Aku memang mau bilang banyak hal pada Mashiro, tetapi aku mungkin akan menghancurkan kepercayaan diri yang telah dia bangun dengan susah payah.
Aku melihat Mashiro mulai menenun jalan melewati tumpukan bangku dan meja, saat tiba-tiba dia berhenti, berbalik, dan berlari ke arahku.
Mashiro berdiri berjinjit dan berbisik ke telingaku, "Aku tidak sabar buat menonton pentasnya."
"O-Oke."
Lalu Mashiro memaksa menunduk lagi, berbalik, dan bergegas pergi. Aku melihat Mashiro berjuang melewati puing-puing lagi, kegelisahan misterius muncul di perutku. Aku belum pernah jago memahami emosiku. Bagaimana perasaanku pada Mashiro?
Aku berada dalam masalah. Aku kira aku telah mengakhiri segalanya saat aku menolak Mashiro, tetapi aku kira emosi manusia lebih kompleks dari itu. Hal terbaik buat saat ini, menurutku, yaitu tidak terlalu memikirkannya. Aku mesti berurusan dengan Ekskul Drama terlebih dahulu dan terutama. Satu-satunya tujuanku yaitu melindungi Aliansi dan memandunya menuju masa depan.
***
"Aku tidak sabar buat menyaksikan apa yang akan dilakukan Tsukinomori-san selanjutnya. Berapa lama lagi sampai kamu jatuh cinta pada Tsukinomori-san, ya?"
"Senang kalau kamu bersenang-senang..."
Catatan Admin:
• Itu saja Update Mimin pekan ini, silakan nantikan pekan depan buat yang mau membaca lanjutannya di blog, atau silakan kunjungi Rewards Trakteer kami agar tidak menunggu pekan depan! Dan buat para pelanggan Rewards Trakteer kami, Mimin mau mengingatkan kalau kami sudah sampai ke Jilid 11. See you soon, gaes!
Support kami: https://trakteer.id/lintasninja/Follow Channel WhatsApp Resmi Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F
Follow Channel WhatsApp Resmi Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F
