[Peringatan 15+ Ke Atas!]
Bab 11Aku dan Adik Temanku Tinggal di Dunia Kami Berdua
Sudut Pandang Ooboshi Akiteru
Ada pepatah yang bilang kalau perjalanan lebih penting ketimbang tujuan, tetapi aku sama sekali tidak menyukai gagasan itu. Buatku, itu cuma alasan yang payah buat menyembunyikan kegagalan kita. "Kami memang sudah gagal, tetapi tidak apa-apa karena kami sudah mencoba yang terbaik." Omong kosong. Satu-satunya cara buat mencapai sesuatu dalam masyarakat yaitu dengan hasil.
"Aku sudah berusaha sebaik mungkin" bukanlah pengganti nilai yang bagus dan gelar saat perusahaan mencari pegawai baru.
Aku tidak bilang kalau prosesnya itu tidak penting, aku cuma bilang kalau hasilnya jauh lebih penting ketimbang segala yang telah kita lakukan buat mencapainya. Tidak peduli seberapa jauh kita mencoba berenang menyeberangi lautan. Kalau kita tenggelam sebelum mencapai pantai, kita sudah wafat, tamat.
Hasil. Hasil yang paling penting. Kesulitan Ekskul Drama merupakan contoh yang sempurna. Mereka memang telah berusaha keras, tetapi kalau mereka tidak memenangkan hadiah, mereka akan dibubarkan. Hadiah merupakan satu-satunya hasil yang dapat diterima oleh sekolah.
Babak pertama dari Pekan Drama Nasional merupakan babak tingkat regional, diikuti oleh babak tingkat Prefektur buat kelompok yang berhasil. Sekolah setuju bahwa kalau Ekskul Drama berhasil mencapai tingkat Prefektur, mereka tidak akan dibubarkan.
Makanya mereka akan berhasil lolos. Aku dapat menjaminnya. Mengapa? Karena orang-orang yang pendapatnya lebih aku percayai ketimbang pendapat orang lain bilang padaku kalau kinerja mereka bagus. Alasanku mempercayai pendapat mereka yaitu karena mereka 1.000x lebih berbakat ketimbang aku. Ekskul Drama kami cukup kuat buat mengalahkan kompetisi.
Hasil merupakan segalanya, dan makanya aku memilih para bala bantuan dari Aliansi (dan kawan-kawan) yang akan memberikan hasil yang baik buat ekskul ini. Dengan Iroha yang berperan sebagai sang heroin, ekskul ini kembali ke jalur yang tepat buat mendapatkan hadiah yang mereka butuhkan.
Asalkan tidak ada hal lain yang terjadi, itulah...
***
Hari pertunjukan sudah di depan mata. Sekelompok siswa-siswi dengan berbagai macam seragam berkerumun di luar Pusat Kesenian. Seluruh Ekskul Drama di distrik kami berkumpul di sini, dan itu merupakan pemandangan yang mesti dilihat. Pemuda-pemudi ini telah mendedikasikan masa remaja mereka demi mengejar dunia akting.
Sayangnya, langit saat itu mendung. Hujan memang belum turun, tetapi guntur bergemuruh di kejauhan, siap buat melepaskan badai. Menurut ramalan cuaca, kami akan mengalami badai petir dan angin kencang, tetapi badai tersebut mestinya berlalu dengan cepat, sehingga Pekan Raya tetap berlangsung sesuai rencana.
Kami ketemuan di Pusat Kesenian, bukan di sekolah kami. Tempat itu berjarak sekitar enam stasiun dari pemberhentian terdekat dari sekolah, dan kami rasa lebih baik menghindari naik kereta api yang begitu jauh dengan kelompok besar.
Aku datang lebih awal buat membantu Ekskul Drama mempersiapkan diri. Program Ozu sudah diatur dan siap buat dijalankan, dan kami punya semua alat peraga dan barang-barang yang kami butuhkan. Pada titik ini, tidak ada lagi yang dapat aku lakukan.
"Terima kasih banyak atas bantuanmu, Ooboshi-san!"
"Tidak apa-apa. Lakukan yang terbaik, gaes."
Aku kembali ke ruang ganti. Setiap ekskul diberi sebuah ruangan sendiri, lengkap dengan meja rias buat para pemeran bersiap-siap buat penampilan mereka. Saat aku masuk, Iroha sedang melakukan kontes menatap dengan bayangannya di cermin. Iroha berbalik menoleh saat melihatku.
"Bagaimana mekapku, Aki-senpai? Apa sudah sempurna? Apa aku tampak sangat cantik sehingga kamu mau membantuku berdandan?"
"Aku memang tidak tahu, tetapi tunjukkan padaku."
Aku tidak begitu berminat dengan tingkah Iroha, tetapi aku memeriksa wajahnya kayak yang diminta. Buatku, Iroha tampak baik-baik saja. Malahan, aku tidak akan dapat membedakan Iroha dari aktris Hollywood yang sesungguhnya. Aku tidak menyadari, betapa cantiknya penampilan Iroha apabila dia sungguh-sungguh berusaha. Meskipun, aku sudah tahu kalau Iroha itu cantik... ...tetapi jangan coba-coba bilang padanya kalau aku bilang begitu.
Dengan kombinasi kecanggihan dan sentuhan yang sedikit ajaib, Iroha tampak kayak Putri dari negeri dongeng — yang merupakan penampilan yang aku bayangkan buat sang heroin dalam naskah. Meskipun aku sangat terkesan, namun aku cuma bilang:
"Menurutku, tampilanmu sudah bagus."
Mata Iroha menyipit dalam sekejap. "Benar, kamu kalah. Tadi itu sangat buruk. Apa itu caramu memuji gebetanmu, setelah aku berusaha keras buat tampak menarik buatanmu? Inilah sebabnya mengapa kamu tidak akan pernah bercinta."
"Aku tidak menyadari kalau ini merupakan masalah menang atau kalah. Dan juga, kamu bukanlah gebetanku."
"Mungkin, tetapi bagian soalmu yang tidak pernah bercinta itu masih benar! Maksudku, kamu jadi bingung dan bergairah cuma karena berada di sini, di sebuah ruangan dengan kita berdua, bukan? Tidak sulit buat bilangnya." Kekeh Iroha.
Bicara soal "cuma kami berdua," itulah satu-satunya alasan Iroha bersikap kayak gini sekarang. Iroha juga mesti lebih berhati-hati. Kalau aku tidak berhati baja, "tidak pernah bercinta" itu mungkin akan terasa menyakitkan.
"Kamu salah, Iroha."
"Hah?"
"Aku sudah tidak perjaka."
"Apa?"
Pensil celak di tangan Iroha tergelincir di antara jari-jarinya, dan aku dengan cepat menangkapnya di udara.
"Hei, hati-hatilah!"
Iroha menatapku dengan mata terbelalak, bibirnya gemetaran.
"Ka-Kamu bercanda... ...bukan?" Tanya Iroha serak. "Maksudku, kamu sangat keras kepala dan punya obsesi efisiensi yang aneh, dan kamu sangat bebal, dan, dan... ...Mustahil seorang penyendiri kayak kamu..."
"Aku harap juri kompetisi hari ini tidak sekasar kamu."
Aku tidak paham dari mana semua hinaan ini berasal. Apa benar-benar sulit buat percaya kalau aku sudah tidak perjaka?
"Aku sudah tidak perjaka," ulangku, "kalau kamu menggunakan definisi entomologi serangga betina yang menghasilkan telur tanpa dibuahi."
"Apa-apaan ini?! Lelucon otaku bodoh macam apa itu?! Euh! Masih terlalu dini buat omong kosong ini! Lupakan apa yang aku bilang sebelumnya, kamu dan lelucon serangga bodohmu merupakan alasanmu tidak pernah bercinta, Dasar Perjaka Bodoh!"
"Sudah aku bilang, aku sudah tidak perjaka. Atau mungkin maksudmu kali ini yaitu minyak zaitun murni? Maaf membuatmu kecewa, tetapi aku tidak cocok dengan salad, dan aku juga bukan berasal dari Mediterania."
"Lelucon itu tidak lucu sebelumnya dan sekarang kamu bahkan berusaha buat lebih melucu lagi! Aku akan memanggilmu perjaka sebanyak yang kamu mau! Aku juga akan terus menghitungnya! Perjaka, perjaka, perjaka, perjakajakajakajakajakajaka..."
"Astaga! Diamlah atau aku akan memastikan kamu tidak akan pernah dapat mengucapkan kata 'perjaka' lagi, Dasar Perawan!"
"Wah! Cuma 12x! Itu rekor!"
Kalau begini terus, aku dapat sakit kepala sebelum makan siang. Pertama-tama, aku terkejut, Iroha tidak tampak gugup sedikit pun. Iroha pasti punya saraf baja, tetapi aku sudah menduganya.
"Hei, Iroha?"
"Ada apa, Perjaka-senpai? Eh, maksudku... ...Aki-senpai."
Aku mengendalikan keinginan sepersekian detik buat meninju wajah Iroha. Lagipula, apa yang akan aku tanyakan pada Iroha yaitu hal yang serius.
"Apa kamu benar-benar yakin soal ini?"
Seringai menyebalkan di wajah Iroha menghilang dalam sekejap. "Aku yakin."
"Dan kamu tidak masalah kalau Ozu tahu soalmu sekarang?"
Setelah Iroha mengungkapkan dirinya kemarin, kami menjelaskan segalanya pada Ozu dan Ibu Sumire. Masalahnya, Ozu tidak memberikan banyak reaksi, dan aku rasa itu cukup adil. Mungkin Ozu sedang kepikiran banyak hal.
"Aku senang kalau Abang sudah tahu."
Tetapi kalau Iroha senang dengan keputusannya, itulah yang terpenting.
"Aku sudah tahu kalau aku mesti memberi tahu Abang pada akhirnya, dan..." Senyum Iroha. "Aku tahu kalau aku dapat mengandalkanmu untuk menyelesaikan masalah ini."
Aku cuma dapat tersenyum melihat kepercayaan Iroha yang begitu besar. "Kamu pasti bisa. Aku mau kalian berdua terus bekerja denganku. Ingatlah, aku akan bekerja keras demi setiap anggota Aliansi sampai ke tulang."
"Berhati-hatilah, atau kami akan melaporkanmu."
"Cobalah. Asalkan kalian semua mencintai apa yang kalian lakukan, aku tidak khawatir soal itu sama sekali." Seringaiku pada Iroha.
Saat itu, ada kehebohan di luar pintu.
"Hah? Apa ada orang yang datang buat menangkapmu karena melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan?"
"Sangat lucu. Aku cuma berharap tidak ada yang buruk..."
Aku melangkah keluar dari ruangan itu buat memeriksa, tidak berharap sedikit pun.
***
Aku ketemuan dengan Ibu Sumire di luar ruang ganti. Beliau memasang ekspresi jutek yang sama kayak yang selalu beliau lakukan dalam mode Ibu Guru, dan ada aura gelap yang mengalir dari diri beliau. Kalau aku tidak mengenal beliau sebaik ini, aku mungkin tidak akan mengenali hal itu sebagai aura keputusasaan. Namun, beliau berhasil menyembunyikannya dengan wajah beliau.
"Midori-chan bilang kalau dia tidak akan berhasil sampai ke sini," kata Ibu Sumire segera.
"Midori-san apa?" Aku mengerutkan jidatku.
Ibu Sumire mulai menjelaskan. Midori-san telah meninggalkan rumah dengan banyak waktu buat sampai ke Pusat Kesenian. Namun, di tengah perjalanan, Midori-san bertemu dengan beberapa ibu hamil yang akan melahirkan dan mereka memintanya buat menelepon ambulans buat mereka.
Midori-san mungkin saja berhasil sampai di sana, kalau bukan karena petir yang menyambar salah satu bangunan di dekat jalur kereta api dan membakarnya, sehingga menyebabkan penundaan. Jalanan begitu padat sehingga Midori-san bahkan tidak dapat menelepon taksi. Saat hujan mulai turun dengan deras dan angin bertiup lebih kencang dari sebelumnya, Midori-san mulai berlari secepat mungkin, namun saat itu, mustahil dia dapat sampai pada saat Pekan Raya dimulai.
Segala sesuatu yang bisa saja salah terjadi. Hal-hal semacam itu — ibu hamil, badai hujan, sambaran petir — merupakan hal-hal yang sering kita lihat dalam kisah fiksi. Tetapi ini merupakan kehidupan nyata, dan karena beberapa alasan, mereka semua mengincar cewek yang sama.
"Maafkan aku, Kakak... ...Maafkan aku, semuanya."
Ibu Sumire menunjukkan pesan singkat dari adiknya. Bahkan beberapa kata itu sudah cukup buat memberi tahuku betapa kecewanya Midori-san. Midori-san sudah berlatih begitu keras buat waktu yang lama, dan dia sudah berkembang pesat...
Midori-san menganggap hal ini lebih serius ketimbang orang lain, dan mustahil dia akan sengaja terlambat menghadiri pertunjukan yang sebenarnya. Meskipun begitu, serangkaian kebetulan yang sangat jarang terjadi, kini menghalangi jalan Midori-san. Nasib buruk. Tidak ada yang lebih buruk dari nasib buruk.
"Midori-san tidak akan datang?" Tanya salah satu anggota ekskul.
"Tetapi Pekan Raya sudah di depan mata! Apa yang mesti kita lakukan?"
"Apa yang dapat kita lakukan? Kita tidak dapat tampil tanpa Midori-san! Tidak satu orang pun dari kita yang hafal dialog sang hero!"
Iroha mungkin dapat menghafalkannya di luar kepala, yang mana akan lebih bagus lagi kalau dia tidak menggantikan peran sang heroin. Keputusasaan yang sama seperti kemarin kembali menghinggapi klub drama. Bahkan anggota Aliansi Lantai 05 (dan kawan-kawan) mengerutkan jidat.
"Tidak... ...Ibu tidak boleh kehilangan... ...Ekskul Drama... ...Ibu... ...Ibu benci... ...tenis..." Mata Ibu Sumire terbelalak lebar-lebar sambil bergumam dengan gusar di bawah napas beliau, entah bagaimana tetap menjaga ekspresi beliau tetap jutek. Tiba-tiba, sebuah kilatan serius muncul di kedua mata itu. "Midori-chan... ...Kamu sudah bekerja sangat keras... ...Ini semua sangat tidak adil!"
Aku tidak dapat menyalahkan Ibu Sumire karena beliau begitu bingung. Inilah adik beliau yang sedang kita bicarakan. Bukan cuma itu, sebagai seorang Kageishi, Ibu Sumire dipaksa buat jadi seorang Ibu Guru. Kalau adik beliau akan mengalami nasib yang sama, ini mungkin merupakan kesempatan terakhir buat beliau buat tampil. Kalau ekskul ini dibubarkan, beliau tidak akan pernah dapat berakting lagi. Buat Ibu Sumire, hal itu cuma membuat segalanya jadi lebih buruk.
"Ini buruk." Ozu memasang ekspresi muram.
"Kamu benar. Siapa yang menyangka kalau Kageishi-san akan terlambat datang ke suatu ajang?"
Midori-san itu siswi yang sempurna sehingga pemikiran itu tidak pernah terlintas di dalam benakku. Aku tidak punya rencana cadangan kali ini.
Pikirkan!
Bisakah kita mengirim mobil buat Midori-san? Itu tidak akan berhasil. Ada terlalu banyak lalu lintas di luar sana. Bagaimana dengan sepeda? Tidak. Aku meninggalkan sepedaku di rumah, dan meskipun kami meminjam sepeda orang lain, tidak ada jaminan Midori-san akan sampai di sini tepat waktu.
Otoi-san bersandar di tembok, menatapku dengan serius sambil mengulum permen di mulutnya.
"Aki-senpai..." Iroha menatapku sambil memelas.
Pikirkan. Pikirkan. Pikirkan!
Kami membutuhkan seseorang yang hafal semua dialog, dan paling tidak dapat memberikan penampilan yang setengah layak. Tiba-tiba aku kepikiran buat meminta Makigai Namako-sensei buat tampil. Namako-sensei yang menulisnya, jadi pasti dia lebih mengenal naskahnya ketimbang siapapun. Tetapi itu mustahil. Namako-sensei tinggal terlalu jauh. Selain itu, Namako-sensei bahkan bukan seorang siswa. Membawa orang luar, terutama yang jelas-jelas terlalu tua buat bersekolah, dapat membuat kami didiskualifikasi.
Siapa lagi yang tersisa?
"Ibu Guru, bolehkah aku meminjam ponsel pintar Ibu buat berbicara dengan Midori-san?" Tanyaku.
"O-Oke."
Meskipun bingung, Ibu Sumire mulai menekan beberapa nomor di ponsel pintar beliau. Saat ponsel pintar beliau mulai berdering, beliau memberikannya padaku. Saat tersambung, aku mendengar isak tangis dari ujung panggilan telepon.
"Maafkan aku... ...Setelah semua orang bekerja begitu keras, aku... ...aku... ...aku telah menghancurkan segalanya!"
"Ini aku. Apa menurutmu kamu dapat bertahan?"
"Ooboshi-kun! Maafkan... ...Maafkan aku. Aku... ...Aku rasa... ...Aku rasa aku tidak bisa..."
"Tidak apa-apa."
"Aku benar-benar minta maaf, Ooboshi-kun... ...Kamu telah mengajariku banyak hal, dan sekarang segalanya sia-sia!"
"Jangan menyalahkan dirimu sendiri. Semua ini cuma nasib buruk."
"Tidak, bukan... ...Ini selalu terjadi. Aku selalu bertindak berdasarkan emosi tanpa memikirkan segala sesuatunya dengan baik. Hal itu membuatku gagal lebih sering ketimbang yang dapat aku hitung. Kamu paham, bukan? Aku harap aku dapat jadi efisien kayak kamu. Maksudku, ingatkah kamu saat pertama kali kamu muncul, dan aku jadi sangat marah sehingga aku tidak mau menerima bantuanmu?"
"Padahal aku tahu sejak awal kalau kami membutuhkanmu. Aku cuma tidak dapat memaksa diriku buat bilang iya. Hari ini juga, aku melihat beberapa orang yang membutuhkan bantuan, dan aku mendahulukan mereka ketimbang diriku sendiri. Kalau saja aku pura-pura tidak melihat mereka... ...Kalau saja aku mendahulukan diriku sendiri. Itu akan jadi tindakan yang paling efisien, dan sekarang kita tidak akan berada dalam kekacauan ini!" Midori-san mulai terisak.
"Aku rasa kamu salah."
"Apa?"
"Kamu tidak melakukan kesalahan apapun. Tidak sebagai manusia, dan juga tidak dari sudut pandang efisiensi."
"Tetapi, aku—"
"Saat aku bicara soal efisiensi, pada dasarnya maksudku yaitu kamu mesti mengambil jalan terpendek demi membuat dirimu bahagia. Pikirkan betapa kamu akan menyesal meninggalkan para ibu hamil itu. Itu karena kamulah dirimu sendiri sehingga Ekskul Drama itu melekat padamu selama ini. Banggalah pada dirimu sendiri. Kamu telah mengambil tindakan yang paling efisien sesuai dengan cara yang kamu pilih demi menjalani hidupmu."
"Ooboshi-kun... ...Tetapi bagaimana dengan anggota Ekskul Drama lainnya yang telah bekerja keras? Mereka datang berlatih setiap saat, bahkan di akhir pekan, dan mereka terus berlatih di rumah. Aku mestinya jadi Ketua mereka! Dan aku cuma melemparkan semua kerja keras mereka ke wajah mereka! Mereka mestinya membenciku karena itu!"
Hasil. Hasilnyalah yang terpenting. Tidak peduli seberapa keras ekskul ini bekerja. Tanpa hadiah yang mereka dapatkan, semua itu tidak ada gunanya.
"Dengarkan. Apa kamu bersedia melakukan apapun agar membuat pertunjukan ini sukses?"
"Tentu saja aku bersedia!"
"Meskipun kamu tidak dapat berada di sini?"
"Iya! Meskipun begitu!" Midori-san bahkan tidak ragu-ragu. "Aku tahu kalau aku telah bekerja keras, dan rasanya sakit mengetahui kalau aku tidak akan berdiri di atas panggung itu. Tetapi yang lebih buruk lagi yaitu semua orang kehilangan kesempatan ini karena aku!"
"Itulah yang mau aku dengar. Aku punya rencana."
"Rencana?"
Aku berdehem sambil berbicara dengan jelas sehingga semua orang — Midori-san, Ekskul Drama, dan Aliansi Lantai 05 (dan teman-temannya) — akan mendengar apa yang akan aku bilang.
"Aku akan berperan sebagai sang hero."
"Apa?" Para anggota Ekskul Drama menatapku.
Aku sudah menduga reaksi itu. Aku pasti terdengar gila. Tetapi kalau kami tidak mendapatkan hasil yang kami butuhkan di sini, itu akan membuat latihan selama berpekan-pekan jadi tidak berarti. Aku benci buang-buang waktu lebih dari apapun, dan aku tidak akan berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa.
"Tetapi, Ooboshi-san," protes salah satu cewek. "Apa kamu tahu dialognya?"
"Seluruhnya."
Akulah yang menulis ulang skenario Makigai Namako-sensei jadi sebuah skenario. Aku memang tidak dapat dibandingkan dengan Namako-sensei dalam hal menciptakan sebuah cerita dari ketiadaan, tetapi mengubah skenario jadi kumpulan kalimat yang diucapkan merupakan sesuatu yang dapat aku lakukan. Makigai Namako-sensei punya pekerjaan lain yang perlu dikhawatirkan, jadi aku mengambil alih tugas buat menyusun naskahnya.
"Tetapi bagaimana dengan kemampuan aktingmu?" Aku mendengar kalian kepikiran (Aku punya telinga yang baik).
"Aku telah melihat kalian berlatih selama ini. Aku ada di sana saat kalian membaca naskah. Paling tidak, aku paham dasar-dasarnya, meskipun aku tidak berharap kemampuanku akan lebih dari rata-rata, jadi jangan terlalu berharap."
"Begini, aku bahkan tidak pernah kepikiran buat mengambil peran sebagai sang hero, tetapi itu mungkin cocok buatmu!"
"Yoi. Rata-rata berarti tidak payah, paling tidak."
"Sebagai Pembina Ekskul, kamu mendapat dukungan Ibu, Ooboshi Akiteru-kun!"
Kayaknya Ozu, Otoi-san, dan Ibu Sumire mendukungku. Aku menoleh ke arah Iroha, yang tersenyum penuh percaya diri.
"Aku tahu kalau kamu dapat melakukan ini, Aki-senpai! Sebagai Penasihat Sangat Istimewa dari Ekskul Drama ini, aku dapat menjamin kalau kamu akan melakukan pekerjaan dengan bagus!"
Aku juga dapat dukungan dari Iroha.
Para anggota Ekskul Drama saling berpandangan dan mengangguk. Sudah jelas sekarang betapa mereka mempercayai mentor mereka.
"Anggota Ekskul Drama yang lainnya setuju. Bagaimana denganmu?" Tanyaku pada Midori-san lewat telepon.
Sebagai Ketua Ekskul, Midori-san punya keputusan akhir — dan aku mau dia tahu kalau aku menghormatinya.
"Silakan, Ooboshi-kun! Aku mohon bantu kami memenangkan hadiahnya!"
***
Pidato pembukaan telah selesai, dan sekarang sekolah-sekolah lainnya mulai tampil. Tidak lama lagi kami akan naik ke atas panggung.
"Bagaimana ukurannya, Aki-senpai?"
Kami cuma punya satu kostum buat sang hero dan tentu saja, kostum itu dibuat agar sesuai dengan Midori-san.
"Aku tidak akan bohong, ini agak ketat di bagian lengan dan bahu."
Aku berhasil memasukkan lenganku dengan hati-hati, tetapi aku khawatir, kalau-kalau aku akan merobek kainnya. Seandainya saja aku tidak terlalu banyak berolahraga!
"Bagaimana dengan bagian dadanya?"
"Ini... ...tidak terlalu buruk. Aku rasa Midori-san mengikat dadanya saat dia mengenakannya."
"Ah, menurutmu begitu? Maksudku, kamu punya dada yang cukup besar buat seorang cowok, loh."
"Istilah yang kamu cari itu 'otot dada'."
Iya, aku dapat masuk ke dalam kostumnya. Mikrofon nirkabel kecil di bagian dadaku juga bekerja dengan sempurna. Aku memutar ulang seluruh naskah di kepalaku, dan merasa puas, karena aku dapat mengingatnya dari awal sampai akhir. Sejauh ini, paling tidak, kami sudah siap.
"S*alan, kamu benar-benar tampak berbeda saat kamu dimekap," kata Iroha, sambil menatap wajahku secara dekat.
Karena aku berperan sebagai pemeran utama, maka wajar saja kalau aku dimekap. Anggota ekskul lainnya melakukan itu buatku dan itu kayak segala sesuatu soal wajahku telah berubah. Rasanya nyaris menakutkan.
"Kelihatannya cukup bagus, sebenarnya!"
"Kamu yakin?"
"Tentu saja! Hei, mungkin kamu mesti memakai mekap setiap hari mulai sekarang!"
"Tidak usah, terima kasih. Terlalu banyak membuang waktu."
"Hah? Tidak, tidak! Cewek-cewek melakukannya setiap pagi, loh! Meskipun aku rasa kulitmu sangat tampan dan bersih, kamu tidak benar-benar membutuhkannya."
"Kalian berikutnya! Bersiaplah!" Kata salah satu panitia pada kami.
Sekarang giliran kami selanjutnya. Para anggota ekskul yang lain saling bertukar pandang dengan gugup. Kami sudah menunggu di balik tirai. Aku mengintip dari celah di antara mereka. Para penonton penuh sesak dengan orang-orang. Wajah-wajah sombong di barisan depan dengan tangan terlipat mungkin merupakan para juri. Melihat semua orang ini, tiba-tiba aku tersadar kalau kami akan tampil. Aku menelan ludah dengan gugup.
"Kamu tidak perlu khawatir soal apapun, Aki-senpai!" Kata Iroha sambil tersenyum nakal. "Aku tidak akan membiarkan hero kecil kita yang menggemaskan ini gagal! Kalau kamu mengacau, aku yang akan menanggung akibatnya!"
Aku sudah dapat merasakan diriku secara rileks.
"Hei, akulah sang hero. Akulah yang mestinya menjagamu, meskipun kamu tidak menggemaskan."
Dengan begitu, kami mengambil posisi kami.
Tirai mulai terbuka.
***
Sudut Pandang Tsukinomori Mashiro
Sebuah bel berbunyi. Aku melihat tirai-tirai tersingkap dari bangku di sudut. Seluruh tempat jadi gelap, dan para pemirsa yang sedang mengobrol, terdiam dan hening. Selanjutnya, terdengar suara gemerisik dedaunan dan pepohonan hutan. Suara-suara itu berangsur-angsur semakin nyaring seiring dengan detak jantungku.
Inilah kisah yang aku tulis, dan sekarang sedang ditampilkan di atas panggung. Seluruh skenario yang aku tulis buat gim Aliansi diperankan oleh sekelompok penyulih suara yang misterius, tetapi inilah pertama kalinya ada yang diperankan di depan mataku. Bukan cuma itu, skenario ini merupakan skenario yang aku tulis sebagai tanggapan langsung pada perasaanku pada Aki. Skenario ini datang langsung dari hatiku. Aku lebih bangga akan hal itu ketimbang hal lain yang pernah aku tulis.
Aku dengar kalau Iroha-chan mesti mengambil alih peran sang heroin pada saat-saat terakhir. Aku teringat saat Iroha-chan beralih ke mode nakal buat menyingkirkan para perundung di mal. Kalau itu merupakan sesuatu yang dapat dilakukan, Iroha-chan dapat melakukannya dengan mudah.
Aku terkesan dan agak penasaran. Iroha-chan itu seorang cewek SMA biasa dan, setahuku, dia belum pernah mengikuti pelajaran akting, namun penampilannya sungguh luar biasa. Hal ini membuatku menyadari kalau aku sebenarnya tidak tahu apapun soal Iroha-chan, selain fakta kalau dia punya kebiasaan yang membuat Aki merasa jengkel. Siapakah Iroha-chan sebenarnya?
"Inilah kisah soal sebuah pertemuan. Pertemuan yang menyayat hati antara dua orang kekasih yang ditakdirkan buat terpecah oleh kekejaman takdir. Ah, seandainya saja hari-hari kebahagiaan mereka dapat bertahan selamanya!" Teriak seorang cewek, patah hati bergema di setiap suku kata.
Itu Iroha-chan, bukan?
Wah. Kalau aku tidak tahu kalau Iroha-chan akan tampil di dalamnya, aku mungkin tidak akan mengenali suaranya. Aku bahkan tidak dapat membuat diriku percaya kalau ini merupakan sebuah pertunjukan. Iroha-chan membawakan suara sang heroin dengan sempurna.
Panggung menyala sedikit demi sedikit. Pemandangan kota muncul di latar belakang, membuat para pemirsa terkesiap. Itu jelas tidak lebih dari proyeksi gambar citra komputer, tetapi hampir tampak terlalu realistis.
Seorang cewek lajang berjalan melintasi kota — maksudku, panggung. Itulah Iroha-chan.
"Wah..." Aku terkesiap. Iroha-chan sangat cantik, aku mau tidak mau bersuara. Semoga saja tidak ada yang mendengar suaraku...
Iroha-chan mengenakan gaun putih bersih yang sangat kontras dengan latar belakang kota. Iroha-chan tampak kayak seorang Putri khayangan, yang naif dan polos, tetapi lemah. Seorang cewek yang membutuhkan pegangan tangan buat pergi ke mana-mana.
Sang heroin merupakan kebalikan dari Iroha-chan. Tentu saja heroin itu; Dia mencontohku. Tetapi Iroha-chan mengambil peran itu dengan sangat baik, kalian akan mengira kalau dia itu karakter utama dari kisahku selama ini.
"S*alan! Aku terlambat!"
"Hah?"
Tanpa sengaja aku mengeluarkan suaraku lagi. Kali ini, aku benar-benar tidak dapat menahannya. Maksudku...
Apa yang Aki lakukan di atas sana?
Aku kira Ketua Ekskul Drama mestinya yang berperan sebagai sang hero. Paling tidak itulah yang aku dengar. Apa terjadi sesuatu pada Ketua itu? Sesuatu yang membuat Aki mesti mengambil alih?
Aku memang kepikiran itu, sih, namun aku tidak terlalu memikirkannya. Aku sudah dapat merasakan pipiku memerah. Segala yang aku punya masuk ke dalam kisah ini. Seluruh dialog sang hero ditulis dengan membayangkan Aki tercinta, dan dengan suaranya. Saat ini, Aki sedang mengubah citra idealis yang aku punya soalnya jadi kenyataan. Meskipun pasangan Aki itu Iroha-chan, bukan aku.
Pertunjukan berjalan lebih baik dari yang aku kira. Sang hero dan heroin bertemu satu sama lain di tengah kota. Mereka lalu semakin dekat selangkah demi selangkah, pada awalnya saling menggoda dan bertengkar, tetapi pada akhirnya ikatan mereka jadi sesuatu yang tidak tergantikan. Memang klise dan terlalu cengeng, tetapi itulah yang disukai oleh cewek-cewek SMA. Kisah yang aku tulis diadaptasi oleh orang lain, dan sekarang aku melihatnya dari sudut pandang yang lebih objektif. Saat itulah aku menyadari sesuatu.
Bukannya ini... ...benar-benar garing?
Seakan-akan kepala para karakternya dipenuhi dengan hal-hal yang halus. Terlalu banyak garis yang dilapisi dengan lapisan sirup yang sangat tebal. Tidak peduli seberapa banyak para pemeran, penata panggung, dan penata suara bekerja demi menutupinya, naskahnya benar-benar sampah.
Apa aku benar-benar menulis ini? Sekarang setelah aku pikir-pikir, Aki menolaknya saat pertama kali aku tunjukkan padanya, bukan? Aku rasa mungkin ini memalukan sekarang karena diadaptasi buat panggung, tetapi... ...bagaimana kalau skenarioku yang buruk sejak awal?
AH!
Wajahku memerah. Rasa malu ini tidak tertahankan!
Mengapa aku menulis ini?! Mengapa?! Aku tidak percaya aku mengirimkan naskah ini ke Aki! Dan Aki membacanya!
Kalau aku sedang tidak ada di depan umum, aku pasti sudah menjatuhkan diriku ke lantai dan meringkuk kayak bola karena malu sekarang.
Euh. Aku rasa aku mesti meninggalkan rasa panik buat nanti.
Aku mengalihkan fokusku kembali ke pentas. Mari kita abaikan sejenak naskahnya. Drama ini sangat mengesankan dalam banyak hal, tetapi aktingnya sangat bagus. Aki selalu berbicara soal betapa biasa-biasa saja dirinya, dan saat ini, ia memerankan sang protagonis yang paling biasa-biasa saja dengan sempurna.
Secara objektif, aku tidak punya keluhan. Cara Aki berbicara dengan Iroha-chan membuatnya tampak kayak sedang menyaksikan obrolan nyata dan bukan drama.
Apa yang menarik dari mereka berdua? Kemistri mereka lebih dari sekadar mereka punya karakter atau berakting dengan baik. Seakan-akan mereka terlahir buat berakting dalam drama ini dan memerankan karakter-karakter ini. Seakan-akan mereka itu mitra yang telah berlatih bersama selama bertahun-tahun.
"Terima kasih karena telah menemukan diriku yang sebenarnya. Terima kasih telah membebaskanku dari kegelapan sangkarku."
Aku terkesiap.
Raut wajah Iroha-chan saat dia menyampaikan kalimat itu. Setiap cewek akan tahu itu. Atau mungkin aku cuma mengenalinya karena aku juga jatuh cinta pada Aki. Aku selalu percaya pada Aki dan Iroha-chan saat mereka bilang padaku kalau tidak ada apa-apa di antara mereka. Aku cuma terlalu banyak kepikiran. Kayak biasanya. Benar begitu, bukan?
"Aku mohon, tinggallah bersamaku selamanya. Karena kamu selalu ada di sisiku, aku dapat jadi jati diriku sendiri." Suara Iroha-chan kental dengan air mata saat dia menatap mata Aki. "Peluklah aku, agar aku tidak kehilangan hatiku lagi... ...Senpai."
Apa ini memang kemampuan akting Iroha-chan? Ataukah yang barusan ini sungguhan?
Support kami: https://trakteer.id/lintasninja/Follow Channel WhatsApp Resmi Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F
Follow Channel WhatsApp Resmi Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F
