Tomodachi no Imouto ga Ore ni Dake Uzai [Light Novel] - Jilid 2 Bab 4 - Lintas Ninja Translation

[Peringatan 15+ Ke Atas!]

Bab 4
Pembina Ekskul Drama Iseng pada Ekskul Olahraga

Dalam keberuntungan pertamaku dalam beberapa hari ini, kondisiku membaik setelah tidur nyenyak. Bahkan proses berpikirku yang kacau, akhirnya mulai menyatu membentuk sesuatu yang masuk akal. Memang belum ada satu pun masalahku yang terpecahkan, tetapi paling tidak aku sudah punya gambaran yang lebih jelas soal apa yang akan aku lakukan buat mengatasinya.

Saatnya buat membalikkan keadaan. Aku tidak akan membiarkan siapapun lolos dengan mengacaukan rasa realitasku lagi. Satu per satu, aku akan mengatur segalanya kembali ke mode normal. Cara yang paling efisien buat memulai segala sesuatunya yaitu membuat daftar masalahku berdasarkan urutan prioritas, dan cara termudah buat melakukannya yaitu dengan menegaskan kembali prioritas hidupku sendiri.

Nomor satu yaitu mendapatkan tempat di Honeyplace Works demi Aliansi Lantai 05. Rintangan terbesar buat itu saat ini yaitu perasaan Mashiro, tetapi selama dia tidak mengizinkanku menghadapinya secara langsung, berurusan dengan hal itu akan sulit. Itulah sesuatu yang dapat ditunda buat nanti.

Aku memutuskan buat mengatasi ancaman terbesar kedua: Penerimaan Koyagi: When They Cry di masa mendatang. Aku membiarkan alam bawah sadarku bekerja demi menentukan apa yang mesti aku lakukan pada skenario Makigai Namako-sensei, sementara secara aktif, aku berkonsentrasi pada sesuatu yang lebih produktif.

Aku menunggu sampai waktu istirahat. Saat teman-teman sekelasku selalu ribut karena lupa membawa buku paket, atau karena belum menyelesaikan PR. Sementara itu, aku mulai mengerjakan naskah suara buat lima orang karakter baru yang kami punya. Ibu Sumire berhasil menyelesaikannya lebih awal. Aku menghubungkan kibor ke ponsel pintarku dan mulai mengetik.

Makigai Namako-sensei bertanggung jawab atas cerita Koyagi. Namun, aku yang bertanggung jawab menciptakan frasa pertarungan dan UI-nya. Membuat cerita yang bertele-tele memang sesuatu yang tidak aku kuasai, tetapi membuat kalimat unik buat setiap karakter kayak gini bukanlah hal yang sulit buatku. Pada awalnya, Makigai Namako-sensei memeriksa setiap kalimat yang aku ketik, sebelum akhirnya menganggap kemampuanku "sangat memadai" dan membiarkanku memegang kendali penuh.

Aku memang tidak yakin apa itu sebuah pujian atau bukan, tetapi karena aku tidak pelu persetujuan Namako-sensei lagi, membuat prosesnya jadi jauh lebih cepat, dan memungkinkan Namako-sensei buat fokus sepenuhnya pada cerita utama.

"Oke, aku rasa aku akan beristirahat sejenak sekarang."

"Kerja yang bagus, Aki. Aku juga sudah selesai mengerjakan ilustrasinya," panggil Ozu dari belakangku saat aku melakukan peregangan.

"Terima kasih, Ozu. Bagaimana menurutmu?"

"Kelihatannya bagus. Karakter kayak gini sangat populer saat ini, dan dia bahkan memasukkan semua detail kecil kayak aksesori dan sebagainya. Murasaki Shikibu-sensei benar-benar bekerja dengan baik. Aku rasa kita juga tidak akan mengalami masalah dengan sensor di luar negeri."

Itu salah satu beban pikiranku...

Ozu selalu memeriksa skenario dan ilustrasi setelah aku selesai. Aku tidak akan senang menyetujui apapun tanpa paling tidak sepasang mata kedua yang memeriksanya.

"Bagus. Aku baru saja selesai menulis kalimat-kalimat ini, jadi bisakah kamu memeriksanya juga?" Tanyaku.

Karakter-karakter baru ini punya kepribadian dan perilaku yang cukup mencolok. Ada seorang cewek yang kehilangan abangnya saat dia masih muda, dan sekarang sangat dekat dengan cowok yang lebih muda; Serta seorang tante-tante yang senang melihat orang kehilangan akal sehatnya karena paranoid. Lalu ada seorang pria yang tampak kayak berandalan dengan otot dan mohak-nya, tetapi diam-diam sangat menyukai hal-hal yang feminim.

Pokoknya, kami sudah mendapatkan gambarannya. Mereka semua memang ada di luar sana, tetapi itu berarti bahwa kalimat-kalimat mereka lebih mudah ditulis.

"Cewek ini yang sangat menyayangi abangnya memang agak terlalu dekat dengan kehidupan kita."

"Hah? Dia mestinya sangat menjijikkan."

"Suatu hari, aku didekati oleh seorang cewek yang mirip dengannya, di dekat stasiun. Dia mengira kalau aku ini abangnya, yang hilang 10 tahun yang lalu."

"Kalau itu bukan jebakan buat gim simulasi kencan..."

"Memang tidak masalah kalau itu di dalam gim, tetapi dalam kehidupan nyata, itu agak menjijikkan."

"Mungkin begitulah cara wanita mendekati pria akhir-akhir ini. Apa yang kamu bilang padanya, sih?"

"Aku cuma membawanya ke kantor polisi."

"Aduh..."

Bahkan saat Ozu mendapati cewek-cewek melemparkan diri mereka padanya di setiap kesempatan, ia tidak pernah gagal buat menghancurkan mereka sepenuhnya. Meskipun aku rasa dalam kasus khusus ini polisi memang pilihan yang tepat. Itu, atau rumah sakit.

"Itu masuk akal buatku, loh? Aku bilang padanya kalau polisi mungkin dapat membantu menemukan abangnya, tetapi lalu dia mengurungkan niatnya bahkan sebelum kami sampai di sana."

"S*alan, itu berarti dia mungkin masih ada di luar sana. Dia mengingatkanku pada seorang cewek lainnya, sebenarnya. Yang lebih tua yang memintamu jadi adiknya."

"Maksudku, itu dapat menjelaskan bagaimana kamu dapat punya adik kayak Iroha."

Ozu cukup tampan buat menoleh ke setiap orang yang lewat. Ditaksir bukanlah pengalaman yang langka buat Ozu. Meskipun cewek-cewek yang mendekati Ozu selalu aneh dan bertingkah kayak keluar dari novel visual, jadi tidak heran ia sering mengeluh soal mereka. Namun, hal itu tidak menghentikan lebih banyak lagi yang datang, sih.

"Oke, aku juga sudah baca naskahnya sekarang." Ozu mengangguk puas.

"Itu cepat sekali!"

Ozu pasti sedang melihat-lihat saat kami berbicara.

"Ini bagus sekali. Semua sangat berkarakter," kata Ozu.

"Senang mendengarnya."

"Namun, aku tidak menyangka kalau kamu akan menulis soal cowok kemayu kayak gini."

"Terima kasih, tetapi kamu tidak perlu mengomentarinya."

Meminta orang lain memeriksa sesuatu yang aku tulis memang membuatku sangat sadar diri, kayak mereka membaca pikiranku secara langsung. Aku tidak akan pernah percaya diri kayak Makigai Namako-sensei, yang dapat menulis apapun yang dia mau dan nikmati tanpa hambatan. Aku rasa kita dapat bilang kalau kepercayaan diri itu memang hal yang benar-benar Namako-sensei punya.

"Pokoknya, ini sangat bagus. Kalimat-kalimatnya sempurna, dan sangat cocok dengan desain karakternya. Kamu benar-benar dapat melakukan apa saja, ya, Aki?"

"Mungkin, tetapi tidak dengan baik. Kalau aku punya bakat yang nyata, aku mungkin akan mengkhususkan diriku pada sesuatu, bukannya cuma mengambil sesuatu yang tidak penting. Kalau Makigai Namako-sensei punya waktu, aku yakin dia akan dapat menghasilkan kalimat-kalimat yang lebih baik dari ini."

"Mengisi peran orang lain merupakan sebuah bakat, loh."

"Dengarkan, kalau aku ini memang sehebat yang kamu kita, aku mungkin sudah dapat membuat gim ini sendiri."

"Bang, mengapa kamu itu selalu merendah?"

Bahkan saat kami bercanda, tidak ada satu pun dari kami berhenti bekerja. Sambil memeriksa dialog yang disuarakan, Ozu memasukkannya ke dalam perangkat lunak penulisan skenario agar dapat direkam nantinya. Itu merupakan program buatan sendiri. Program ini membuat dialog mudah dibaca oleh penyulih suara sambil menyisakan ruang yang cukup buat catatan, dan memberikan nomor berkas pada setiap dialog sehingga teknisi suara dapat mengelola rekaman dengan lebih baik.

Otoi-san merupakan orang yang meminta sistem penomoran berkas, dan bilang kalau program ini terlalu sulit buat digunakan sebelumnya. Otoi-san meminta dengan sangat baik agar kami mengubahnya, atau kalau tidak dia akan membunuh kami. Saat ini, Otoi-san cuma marah dan membuat ancaman pembunuhan setiap kali kami meminta bantuannya saat dia sedang sibuk. Aku senang melihat hal itu sebagai sebuah kemajuan.

Aku dan Ozu terus bekerja dengan kecepatan yang stabil, dan tidak lama kemudian, jeda setelah jam pelajaran ketiga berakhir. Setelah mengambil begitu banyak waktu istirahat kemarin, aku sempat khawatir soal berapa banyak yang mesti aku kejar, tetapi pada akhirnya, ternyata tidak terlalu buruk. Malahan, ini agak lebih mudah, karena aku dapat mengistirahatkan otakku yang terlalu banyak bekerja. Iroha akan dapat merekam baris baru secepatnya sore ini. Aku membuka LIME dan mengirimkan pesan pada Iroha dan Otoi-san.

AKI: Maaf atas pemberitahuan singkat ini, tetapi apa kamu dapat melakukan dialog baru buatku sepulang sekolah hari ini?

Iroha: Eh, entahlah. Aku tidak benar-benar merasakan bisa begitu. Tetapi kalau kamu berlutut dan memohon buat mendengar suara indahku, aku mungkin akan mempertimbangkannya.

Jawaban Iroha membuatku marah, jadi aku mengabaikannya buat saat ini.

Otoi: 20 bungkus Suckies.

Tidak butuh waktu lama buat Otoi-san untuk menjawab. Aku mungkin mesti menjelaskannya. Suckies yakni permen asal Amerika Serikat yang sangat disukai oleh Otoi-san. Itu merupakan merek permen lolipop yang terkenal dengan iklan yang sangat keras dan menjengkelkan. Otoi-san memang bekerja demi permen dan makanan manis, bukannya uang.

AKI: Itu banyak sekali gulanya. Apa kamu mau terkena diabetes?

Otoi: Jangan bilang begitu.

AKI: Aku cuma khawatir dengan kesehatanmu.

Otoi: Tidak masalah. Bisakah kamu mengambilkanku 20 bungkus Suckies atau tidak?

AKI: Oke...

Otoi: Bagus deh. Sampai jumpa di studio!

Dan negosiasi kami pun selesai. Aku memang sempat membuat Otoi-san marah di babak pertama, tetapi untungnya tidak terjadi apa-apa. Meskipun Otoi-san mudah tersinggung soal hal-hal yang tidak penting, dia jauh lebih dewasa ketimbang Mashiro ataupun Iroha, dan dapat melupakannya dengan cepat. Kali ini, penyebutan "diabetes" yang membuat Otoi-san tersinggung. Terakhir kali, itu karena aku meminta efek suara "percikan air" pada Otoi-san. Aku masih tidak tahu apa yang membuat Otoi-san marah, terutama karena saat aku meminta suara orang yang "berjalan di bawah air", dia sama sekali tidak mempermasalahkannya.

Bagaimanapun, semua itu terselesaikan saat aku meminta Otoi-san buat bilang langsung padaku kalau aku bilang sesuatu yang menyinggung perasaannya, sehingga kami dapat memperbaiki segalanya saat itu juga. "Jangan bilang begitu," atau "jangan mengungkit-ungkitnya," sudah cukup buat menyampaikan pesan Otoi-san padaku.

"Diabetes..."

Aku punya daftar di ponsel pintarku soal topik atau kata-kata yang mesti dihindari di sekeliling Otoi-san. Ini dia sejauh ini:

Efek suara percikan air

"Urus saja itu."

Angsa

"Biarkan saja begitu."

(Air) Bocor

Sesuatu yang terlalu puitis

Diabetes

Memang tidak ada pola buat hal-hal ini, tetapi itu tidak menghentikanku buat mengerutkan jidatku dan mencoba menyelesaikannya dari waktu ke waktu, kayak yang aku lakukan saat ini.

Saat itu, ponsel pintarku berdengung. Ternyata itu Iroha.

Iroha: Jangan tinggalkan aku begitu saja padahal kamu sudah baca pesannya!

Iroha: Kamu tidak mau mendengar suara surgawiku?!

Iroha: Dengar, minta maaflah dan aku tidak akan marah. Lalu kamu dapat memohon padaku buat melakukan dialog hari ini!

Rupanya, Iroha tidak suka diabaikan. Siapa yang menyangka?

Paling tidak Iroha jadi dirinya yang biasanya di LIME, dan tidak melakukan tingkah sok sempurna sebagai siswi teladan. Jujur saja, itu memang melegakan, dan dengan helaan napasku yang damai membiarkan Iroha setelah baca pesannya sekali lagi. Mengabaikan Iroha memang cara terbaik buat menghadapinya saat dia melakukan salah satu dari kebiasaannya mengirim santu (spam). Kayak biasanya, tidak butuh waktu lama buat Iroha untuk mengirimiku pesan lagi.

Iroha: Oke, deh! Aku akan datang buat melakukan rekaman bodohmu!

Semua berjalan lancar kayak yang aku duga. Meskipun Iroha mengambil setiap kesempatan yang dia bisa buat membuatku jengkel, paling tidak dia serius dalam hal pekerjaannya. Meskipun aku mengabaikan Iroha atau mengiriminya banyak cacian, dia tidak akan pernah melewatkan rekaman kalau dia dapat melakukannya. Aku hampir bisa melihat Iroha menggeram dan menggertakkan giginya ke arah ponsel pintarnya.

Pemikiran itu membuatku tersenyum. Itu akan jadi pelajaran buat Iroha karena telah bersikap aneh akhir-akhir ini.

AKI: Terima kasih. Aku menantikan eksekusimu pada karakter-karakter ini.

Balasanku memang singkat, manis, dan cuma dengan sedikit motivasi. Iroha membalas dengan mengirimkan stiker karakter anime yang pemarah. Itu memang tidak masalah buatku, karena kami punya seluruh pemain selama sesi rekaman saat ini.

Jam pelajaran keempat akhirnya berakhir, menandakan dimulainya waktu makan siang. Karena ini ada dalam daftar tugasku, aku segera melirik ke meja di sebelahku buat melihat apa Mashiro secara ajaib sedang mau diajak ngobrol.

Mashiro sedang mengerutkan kening ke arah ponsel pintarnya, mengetik sesuatu dengan gerakan secepat kilat. Tampak jelas kalau Mashiro sedang tidak mau diganggu. Mashiro meringkuk di atas mejanya kayak landak berduri, dan bahkan teman sekelas kami tidak ada yang berani mendekatinya. Mashiro pasti sedang berbicara dengan seseorang di LIME — Siapa pun itu, kayaknya dia akan mendapatkan esai. Ah, tetapi tunggu. Mashiro suka menulis cerita, bukan? Itu lebih masuk akal. Aku memutuskan buat tidak menghalangi Mashiro.

Aku memang berencana buat membalas pernyataan cinta Mashiro padaku secara langsung, tetapi kalau dia terus begini, mengirim pesan lewat LIME jadi pertimbangan yang sangat nyata. Bagaimanapun, aku tidak berencana buat menanganinya hari ini, jadi aku mendorongnya kembali ke bagian bawah daftarku.

Masalah berikutnya yaitu skenarionya Makigai Namako-sensei. Aku memang meminta Namako-sensei buat mengulangnya di LIME kemarin, tetapi kayak dia tidak paham. Rasanya kayak aku dapat melihat Namako-sensei sekarang, membungkuk di atas laptopnya saat dia menulis lembar demi lembar demi lembar demi apa yang dia anggap sebagai "keadilan".

Kalau saja aku tahu di mana Namako-sensei tinggal, aku dapat masuk ke sana dan secara fisik menahannya buat tidak menulis apapun, tetapi sayangnya aku tidak tahu. Aku cuma mau membuat Namako-sensei menulis hal-hal yang sangat gelap yang dulu sangat dia kuasai, tanpa mesti melakukan banyak obrolan canggung dengannya di LIME. Hal terakhir yang aku mau yaitu Namako-sensei kehilangan motivasinya buat menulis itu.

Aku melangkah keluar dari ruang kelas, siap buat pergi dan menikmati makan siangku yang sepi dengan roti.

"Ooboshi-kun."

Aku dihentikan oleh Ibu Kageishi Sumire, yang kayaknya sedang menungguku di luar kelas. Saat ini, beliau berpakaian kayak setiap Bapak-Ibu Guru yang pernah kalian lihat di foto-foto.

"Apa ada sesuatu? Aku kira Ibu tidak mengajar kami hari ini."

"Ibu mau bertanya apa kamu sudah merasa mendingan."

"Apa? Ah. Ah, iya. Aku tidur nyenyak semalam, jadi pada dasarnya aku sudah kembali normal."

"Ibu senang mendengarnya. Mari kita pergi, kalau begitu."

"Pergi ke mana?" Tanyaku kembali pada Ibu Sumire, yang sudah mulai berderak.

Ibu Sumire berbalik, mengarahkan tatapan tajam beliau padaku. "Tidak usah tanya. Ikut saja. Kamu sudah janji pada Ibu, bukan?"

"Janji? ...Ah!"

Ibu Sumire memang bilang sesuatu kayak gitu, bukan? Kalau beliau mau hadiah karena telah menyelesaikan tenggat beliau lebih awal. Agak kurang ajar, mengingat ini merupakan tenggat pertama yang benar-benar beliau tepati, tetapi apapun permintaan beliau, pasti sangat berarti buat beliau kalau beliau bersedia melanggar tradisi yang sudah berlangsung lama.

"Dimengerti. Tetapi ada baiknya ini bagus."

"Iya, memang. Ini..."

Kami berbicara dengan tenang, mengabaikan bisik-bisik siswa-siswi di sekitar kami yang penasaran siapa cowok tidak bernama yang bersama dengan ibu guru paling menakutkan di sekolah ini. Tatapan Ibu Sumire melembut di balik kelopak mata beliau yang dipasang dengan hati-hati.

Ibu Sumire menghela napas. "Ini soal masa depan Ibu."

***

Lantai empat blok sains dan seni kami dikenal sebagai Tanah Tanpa Tuan. Tiga lantai pertama diisi dengan Laboratorium, Ruang Rekaman, Ruang Musik dan Kerajinan Tangan, serta Laboratorium Komputer, dan Perpustakaan. Namun, lantai empat ini benar-benar kosong. Itu memang tempat yang penuh kekacauan dan kebingungan, tidak terikat oleh aturan dan norma-norma sosial. Tidak ada satu pun dari ruang kelas yang digunakan. Sebaliknya, itu merupakan tempat pembuangan meja, bangku, dan berbagai macam barang yang tidak terpakai, yang berasal dari setiap lantai lainnya. Selain itu, siswa-siswi mengadopsi sikap "toh ini cuma tumpukan sampah, jadi siapa yang peduli," yang membuat mereka membuang kaleng-kaleng kosong dan bungkus permen ke mana-mana di sini.

Hal ini jadi sangat buruk sampai-sampai Kepala Sekolah akhirnya kehilangan kesabaran, dan sekarang tempat ini jadi zona terlarang buat siswa-siswi.

Tetapi, Ibu Sumire malah menuntunku langsung ke tempat ini. Kami melangkah melewati pita kuning yang membatasi tangga, dan aku dapat merasakan jantungku berdebar-debar karena rasa bersalah yang luar biasa saat kami menaiki tangga.

Rasanya kayak memasuki dunia yang sama sekali baru. Mengapa lbu Sumire membawaku ke sini? Kalau beliau mau berbicara empat mata, beliau bisa saja memanggilku ke Ruang BK kayak biasanya; Meskipun aku rasa tempat ini lebih dari itu.

Setelah kami berada di lorong, Ibu Sumire akhirnya berhenti dan membuka salah satu jendela.

"Ayolah, mulailah berkumpul!" Suara wanita yang bersemangat terdengar dari celah jendela.

Dari suaranya, lapangan tenis berada tepat di belakang gedung ini. Tim Tenis Putri pasti sangat bersemangat kalau mereka memulai latihan saat jam makan siang dimulai. Aku menatap mereka, melihat kehidupan mereka yang sangat bertolak belakang dengan kehidupan kami.

"Ooboshi-kun," Ibu Sumire memulai, dengan nada serius. "Kamu dapat melihat cewek-cewek muda di sana memanfaatkan masa muda mereka, bukan?"

"Iya. Terus?"

"Ibu penasaran apa kita dapat mencoba menempatkan diri kita pada posisi mereka. Bayangkan kalau kamu merelakan seluruh waktu makan siangmu yang berharga dan mencurahkan segalanya demi jadi yang terbaik di tenis."

"Iya. Ekskul Tenis Putri kita memang salah satu yang terbaik."

"Mungkin begitu, tetapi meskipun begitu, cuma ada sedikit peluang buat mereka untuk bermain secara profesional. Sisanya mungkin akan meraih kejayaan di turnamen antar-SMA atau semacamnya, tetapi itu saja. Seberapa besar nilainya? Tidakkah menurutmu itu cuma membuang-buang waktu?"

"Tergantung orangnya, aku rasa. Ibu tidak akan pernah melihatku bergabung dengan ekskul olahraga. Tidak dalam 1.000.000 tahun."

Kalau seseorang memilih buat mengabdikan seluruh hidup mereka pada satu cabang olahraga, mungkin mereka bisa jadi seorang profesional. Tetapi itu buat orang-orang yang secara alami punya bakat olahraga dan cocok buat hal semacam itu. Aku sih tidak, jadi tidak ada gunanya buatku untuk bergabung dengan ekskul kayak gitu. Meskipun aku memberikan yang terbaik, aku sudah dapat melihat diriku mencapai batas kemampuanku dengan cukup cepat, membuat seluruh ide itu sama sekali tidak efisien dan tidak ada gunanya.

Ibu Sumire mengangguk saat beliau mendengar tanggapanku yang meremehkan. "Itu benar. Ibu juga sama."

"Dengarkan, aku tidak paham maksud Ibu dengan hal ini. Keberatan buat langsung ke intinya saja?"

"Salah satu Ibu Guru lainnya sedang cuti melahirkan."

"Benar..."

Ibu Sumire benar-benar meluangkan waktu bust menjelaskan apa yang beliau mau dariku.

"Ibu turut berbahagia buat beliau, tentu saja, di satu sisi... ...Tetapi begini, segala sesuatu di dunia ini diatur pada keseimbangan tertentu. Ini kayak bagaimana kita tidak dapat menciptakan tenaga dari ketiadaan. Hal yang sama berlaku buat kebahagiaan. Tingkat kebahagiaan di dunia ini konstan. Saat satu orang bahagia, orang lain mesti jadi tidak bahagia buat mengimbanginya."

"Eh, aku kira Ibu dapat melihat hal-hal kayak gitu. Jadi, apa Jam Pelajaran Filsafat ini sudah selesai?"

"Biar Ibu jujur saja."

"Ah bagus, aku sudah menunggu itu."

Detik berikutnya, Ibu Sumire berlutut dengan jidat beliau menempel ke lantai.

"Ibu mohon bantu-bantu Ekskul Drama!"

Ada keheningan. Sebungkus keripik kentang kosong terjatuh.

Coba ulang lagi, Ibu, barusan bilang apa?

"Dari mana asalnya kalimat itu? Apa Ibu cuma mencoba membuang waktuku? Ataukah Ibu mencoba membuatku marah dengan seluruh wafel itu?"

"Euh! Aduh! Aduh! Aduh! Berhentilah menusukkan jari kakimu ke titik tekanan Ibu! Ah!"

Aku menancapkan kakiku ke titik tepat di atas tulang ekor Ibu Sumire, menyebabkan beliau terjatuh ke lantai dengan mata beliau terpejam dan lidah beliau terjulur keluar. Beliau mulai bergerak-gerak di lantai.

(TL Note: Jangan ditiru ya Adick-Adick!)

"Da-Dasar Anak Bandel! A-Apa kamu suka membuat Ibu berlutut di de-depanmu kayak gini?!"

"Jangan salah paham. Aku cuma memukul titik penyaluran yang akan memperbaiki panggul Ibu yang kacau, karena Ibu telah merusaknya dengan membungkuk di atas meja dan menenggak alk*hol sepanjang waktu. Lagipula, mengapa Ibu tidak bilang apa yang Ibu mau sejak awal? Apa gunanya semua hal yang mendalam itu?"

"I-Itu penting! Ngh! Ibu bersumpah!"

"Oke, kalau begitu beri tahu aku bagaimana caranya!"

"Ja-Jangan berteriak! Ibu mohon! Ibu akan memberi tahumu sekarang juga!" Rintih Ibu Sumire, mata beliau berair. "Me-Mengapa kamu selalu saja mengambil kesimpulan kayak gitu? Ibu yakin kalau kamu juga terlalu cepat selesai di ranjang! Kamu tahu kalau cewek-cewek membenci hal itu? Iya, maksud Ibu, itu imut kalau kamu itu seorang shota, tetapi..."

"Itu bukan satu-satunya titik tekanan yang aku tahu bagaimana cara menyerang Ibu."

"Maafkan Ibu! Maaf, maaf, maafkan Ibu! Ibu bersumpah akan menjelaskan semuanya sekarang juga!"

Aku menjentikkan jari-jariku dan memelototi Ibu Sumire, yang dibalas dengan berlutut. Tidak aku sangka, inilah wanita yang sama yang dengan mudahnya menguasai satu kelas yang terdiri dari 40 orang siswa-siswi.

"Oke, oke, jadi izinkan Ibu jelaskan semuanya secara berurutan. Kamu tahu kalau Ibu itu Pembina Ekskul Drama, bukan, Tuan Akiteru?"

"Memang iya sih, tetapi cuma karena Ibu mengumumkannya di kelas tempo hari. Ibu tidak memintaku sebagai Pembina Ekskul Drama atau semacamnya."

"Benar. Ibu belum pernah membicarakannya denganmu atau Aliansi sebelumnya." Ibu Sumire menghela napas sebelum melanjutkan. "Pokoknya, Ekskul kami terancam bubar."

"Bubar?"

"Yoi. Kalau kami tidak berhasil lolos ke Tingkat Prefektur buat Pekan Raya Drama Nasional, ekskul ini akan bubar. Itulah ultimatum dari Kepala Sekolah sendiri!"

"Kedengarannya cukup mendadak. Apa, apa Bapak Kepala Sekolah mencoba buat memusnahkan beberapa ekskul atau semacamnya?"

"Kami tidak punya banyak anggota, dan kami tidak pernah meraih banyak prestasi. Ibu rasa itu karena mereka tidak mau membuang-buang anggaran sekolah demi ekskul kecil kayak ekskul kami."

"Apa yang terjadi dengan apa yang disebut 'Generasi Cemerlang'?" Tiba-tiba aku teringat akan istilah yang Ibu Sumire gunakan saat beliau membicarakannya di kelas.

Bibir Ibu Sumire melengkung mengancam. "Itu merupakan sebuah kebohongan."

"Euh. Paling tidak tunjukkanlah sedikit penyesalan!"

"Iya, itu tidak sepenuhnya bohong. Anggota ekskul Ibu tentu saja punya bakat yang cukup buat mendapatkan gelar itu..."

"Bakat kayak apa yang sedang kita bicarakan di sini?"

"Itu tidak penting. Singkat cerita, Ekskul Drama terancam dibubarkan."

Cara buat menghindari pertanyaan. Padahal semakin cepat kita menyelesaikan masalah ini, semakin baik.

"Maksudku, apa itu benar-benar penting kalau itu terjadi?"

Ibu Sumire dan anggota Aliansi lainnya (tidak termasuk penulis skenario kami) ketemuan sepekan sekali buat sebuah pertemuan kecil. Namun, belum pernah sekalipun aku mendengar beliau berbicara soal Ekskul Drama binaan beliau, jadi beliau tidak mungkin begitu terikat dengan ekskul tersebut.

"Ibu juga akan punya lebih banyak waktu luang kalau ekskul ini bubar, bukan?"

Sudah jadi hal yang wajar buat membaca kisah-kisah di internet soal Bapak-Ibu Guru yang mengalami keretakan di bawah tekanan yang sangat besar karena mesti jadi Pembina. Mereka bukan cuma punya pekerjaan mengajar reguler, tetapi mereka juga mesti hadir di akhir pekan buat membantu memimpin ekskul. Mereka mesti bekerja ekstra, namun tidak mendapatkan kompensasi yang sepadan. Kalian dapat bilang apa saja yang kalian mau soal itu sebagai hal yang luar biasa buat dilakukan buat siswa-siswi, tetapi secara pribadi aku menyebutnya sebagai kerja paksa. Dalam kasus Ibu Sumire, beliau sudah bekerja dua pekerjaan sebagai guru dan ilustrator. Selain itu, beliau juga jadi Pembina sebuah ekskul. Bahwa beliau punya waktu luang sama sekali sudah merupakan keajaiban. Hal itu cukup untuk membuatku mempertimbangkan buat sedikit lebih lunak dengan tenggat beliau.

"Tidak, Ibu tidak dapat membiarkan ekskul itu gagal." Geleng Ibu Sumire, alis mata beliau berkerut. "Sekolah ini punya peraturan yang menyebalkan kalau setiap guru mesti jadi Pembina Ekskul. Kalau Ekskul Drama gagal, segalanya akan jadi sangat buruk buat Ibu."

"Kedengarannya memang menyebalkan, tetapi apa yang Ibu maksud dengan 'buruk'?"

"Saat ini, Midori-chan itu Ketua Ekskul Drama."

"Midori-chan?"

"Kamu tahu, bukan? Adik Ibu! Kageishi Midori."

"Kageishi... ...Midori?"

Kedengaran suara bel yang samar-samar. Masuk akal kalau aku pernah mendengar nama itu sebelumnya kalau dia itu adiknya Ibu Sumire, tetapi entah mengapa aku merasa pernah mendengarnya di tempat lain.

"Midori-chan itu adik terbaik yang dapat Ibu minta! Tetapi Ibu tidak akan membiarkanmu memiliki Midori-chan, oke?"

(TL Note: Foreshadowing!😁)

"Aku tidak menginginkan adik Ibu."

Setelah dipikir-pikir lagi, aku hampir tidak tahu apa-apa soal kehidupan keluarga Ibu Sumire. Yang aku tahu, keluarga beliau terdiri dari para guru yang keras kepala. Makanya beliau mesti mengesampingkan cita-cita beliau buat jadi seorang ilustrator dan memilih berkarier di bidang pendidikan. Aku belum pernah membayangkan kalau adik beliau akan berada di SMA yang sama denganku.

Kira-kira kayak apa Midori-san itu...

"Midori-chan memang sangat imut! Tetapi Midori-chan juga sangat serius!"

"Benar..."

"Dan Midori-chan juga seorang cewek yang baik, selalu melakukan apa yang diminta oleh Kakaknya yang cantik ini!"

"Benar...?"

"Midori-chan memimpin semua sesi dan melakukan semua tugas sampingan buat Ibu juga! Pada dasarnya, Midori-chan melakukan semua tugas membina sehingga Ibu tidak perlu melakukannya!"

"Ah, aku paham. Jadi Midori-san ini berperan sebagai Pembina dan Ibu berperan sebagai orang yang pura-pura."

Oke, lupakan semua yang aku bilang soal bersikap lunak pada tenggat Ibu Sumire. Aku masih ingat beliau bicara soal ekskul beliau dengan sangat bangga saat di kelas. Mungkin akting memang cocok buat beliau, sih.

"Namun, kamu tidak peduli, bukan? Berkat Midori-chan, Ibu punya waktu buat mengerjakan semua ilustrasi buat Koyagi."

"Iya, aku rasa."

"Ah, ini benar-benar pengaturan yang sempurna!" Ibu Sumire mengatupkan kedua tangannya. Mata beliau bersinar sebentar sebelum kembali menggelap. "Tetapi kalau Ekskul Drama ini bubar... ...nasib Ibu sudah pasti."

"Hmm? Ah, benar."

Aku menengok ke arah yang ditunjuk oleh jari Ibu Sumire. Di sana, di luar jendela, ada lapangan tenis, penuh dengan cewek-cewek yang riang dan suara bola tenis yang memantul. Jadi, di situlah beliau akan berakhir.

"Jadi maksud Ibu yaitu Ibu Guru yang mengambil cuti melahirkan dulu jadi Pembina Ekskul Tenis, dan kalau Ekskul Drama bubar, Ibu mesti menggantikan beliau?"

"Itu benar! Ibu benci tenis!" Akhirnya, wajah Ibu Sumire yang keras itu benar-benar runtuh. Beliau memelukku sekarang, air mata dan ingus, dan keringat misterius mengalir di wajah beliau. "Ekskul Tenis Putri kita merupakan salah satu yang terbaik! Sesi latihan mereka berlangsung selamanya, dan mereka selalu berlatih selama 24 jam sehari, 7 hari dalam sepekan! Midori-chan juga tidak akan berada di sana, jadi Ibu tidak dapat berleha-leha, dan Ibu tidak akan punya waktu buat menggambar apapun lagi!"

baca-imouza-jilid-2-bab-4-bahasa-indonesia-di-Lintas-Ninja-Translation

"Iya, ini memang agak sulit. Apa Ibu bahkan cukup jago dalam tenis buat mengajar mereka? Terutama saat mereka begitu elite?"

"Tentu saja tidak! Selama masa sekolah Ibu, Ibu selalu berada di ekskul-ekskul budaya!"

"Masuk akal. Lagipula, Ibu itu kan seorang ilustrator."

"Dan, dan, semua yang Ibu dapatkan di Penjasorkes itu D!"

"Ah, Dasar Jiwa yang Malang. Bagaimanapun, aku paham: Ibu tidak cocok buat Ekskul Tenis. Jadi mengapa siapapun yang bertanggung jawab atas hal semacam ini berpikir kalau menjadikan Ibu sebagai Pembina merupakan ide yang bagus?"

Ibu Sumire terdiam mendengar pertanyaan yang menurutku cukup masuk akal. Keringat terus mengucur di jidat beliau saat mata beliau melirik ke sana kemari. Aku tidak membutuhkan alat pendeteksi kebohongan buat mengetahui kalau ini merupakan sesuatu yang sangat, sangat tidak mau beliau ceritakan padaku.

"Tunggu. Jangan bilang kalau Ibu—"

"I-Itu bukan salah Ibu!" Ratap Ibu Sumire, menempelkan wajah beliau padaku dan menutupi wajahku dengan ingus. "I-Ibu tidak tahu apa yang Ibu bilang! Kepala Sekolah baru saja menghampiri Ibu dan bilang kalau Ibu tampak jago dalam olahraga! Dan Ibu bilang pada beliau 'Iya, Pak, ini merupakan jenis tubuh yang tidak dapat kalah bahkan melawan atlet terkuat!'"

"Cara macam apa itu buat berbicara dengan atasan Ibu?! Euh! Ibu itu bagaikan seorang badut!"

"Tetapi Ibu mesti pura-pura jago olahraga atau Bapak-Ibu Guru lainnya akan mengira kalau Ibu itu seorang otaku dan merundung Ibu di Ruang Guru! Kalau Bapak Wakil Kepala Sekolah mengetahui hal ini, beliau mungkin akan menggunakan wewenang beliau buat memecat Ibu!"

"Ibu terlalu lebai. Inilah kehidupan nyata, bukan salah satu manga aneh buatan Ibu. Iya, maksudku, mungkin hal semacam itu terjadi di sekolah lain, tetapi Ibu tahu kapan Ibu mesti tutup mulut Ibu... ...Iya, sebagian besar waktu, aku rasa..." Suaraku terhenti. Tentu saja, aku mau percaya bahwa ketakutan Ibu Sumire itu memang cuma khayalan, tetapi aku cuma seorang anak SMA. Dunia nyata mungkin jauh lebih menakutkan ketimbang yang aku kira. "Euh. Begini, inilah yang terjadi saat Ibu mencoba jadi seseorang yang bukan diri Ibu."

"Oke, aku paham maksud Ibu. Kalau Ekskul Drama bubar, itu akan berdampak buruk buat Aliansi juga. Aku tidak tahu apa yang Ibu harapkan buat aku lakukan. Bukannya ini masalah yang cuma dapat dipecahkan oleh para anggota?"

"Ibu mohon! Kamu tahu kalau Ibu menepati tenggat Ibu cuma demi ini, bukan?!"

"Kalau kamu tidak membantu Ibu, dapat dipastikan kalau Ibu akan jadi Pembina Ekskul Tenis! Kalau itu terjadi, kamu dapat berpamitan pada ketepatan waktu Ibu!"

"Ketepatan waktu apanya?"

"Ibu mohon, bisakah kamu datang dan melihat salah satu latihan makan siang kami? Maka kamu akan tahu apa yang Ibu bicarakan!" Lengan Ibu Sumire melingkar erat di lenganku sekarang, dan jelas sekali beliau tidak berencana buat melepaskannya tanpa jawaban "Iya."

Aku malu buat bilang kalau sensasi lembut dari tubuh dewasa Ibu Sumire dan panas tubuh beliau mengirimkan sensasi yang menggetarkan tubuhku. Namun, itu cuma sesaat. Buat seseorang dengan tubuh yang seksi, beliau pasti tidak mampu membuatku tertarik bahkan saat beliau menempel padaku kayak gini.

Aku menghela napas saat aku berusaha melepaskan diri dari Ibu Sumire. "Oke!"

"Iya! Tuanku!" Ibu Sumire melompat-lompat dengan penuh semangat, kayak orang tua yang baru saja menyerah pada rengekan beliau akan konsol gim terbaru.

"Jadi, di mana ekskul Ibu ini berlatih?" Tanyaku dengan enggan.

"Di sebelah sana."

"Hah?"

Ibu Sumire menunjuk ke arah lorong, yang terhalang oleh tumpukan meja dan bangku. Kalau dilihat lebih dekat, aku dapat melihat celah kecil di antara tumpukan meja dan bangku itu, cukup buat dilewati seseorang.

"Kami berlatih di ruang kelas yang tidak terpakai tepat di ujung lorong ini. Memang belum ada orang yang pernah ke sana, karena dianggap angker, tetapi ini memang tempat yang sempurna buat kami!"

***

"Begini, menurutku kamu dan Murasaki Shikibu-sensei itu pasangan yang cocok satu sama lain."

"Dengarkan, aku tidak peduli apa kamu itu sahabatku atau seorang Paus, jangan pernah bilang begitu lagi."

"Iya, maafkan aku, aku rasa itu agak kasar. Maaf!"

Follow Channel WhatsApp Resmi Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F

←Sebelumnya           Daftar Isi          Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama