Tomodachi no Imouto ga Ore ni Dake Uzai [Light Novel] - Jilid 2 Bab 6 - Lintas Ninja Translation

[Peringatan 15+ Ke Atas!]

Bab 6
Adik Temanku Iseng pada Jati Dirinya Sendiri!

Kita tidak akan pernah tahu apa yang kita punya sampai segalanya hilang.

Teman-teman sekelas kita setelah lulus, orang tua kita setelah kita pindah... ...Kehidupan ini penuh dengan sangat banyak perubahan, dan cuma saat kita berakhir sendirian, kita akan menyadari kalau semua orang yang kita anggap remeh sebelumnya begitu berharga buat kita.

Makanya sangat banyak orang yang bilang pada kita buat menghargai orang-orang di sekitar kita, dan bersyukur atas apa yang kita punya.

Namun, pertimbangkanlah hal ini.

Apa rasa kehilangan itu berasal dari kehilangan sesuatu yang penting buat kita? Kalau orang-orang dan benda-benda itu memang sangat berharga, mengapa kita membiarkan mereka pergi begitu saja? Kalau kita tidak menganggap mereka penting pada saat itu, mengapa kehilangan mereka membuat mereka jadi penting?

Sejauh yang aku ketahui, meningkatnya rasa nilai yang melekat pada benda-benda ini setelah benda-benda itu hilang, cuma berasal dari kesalahan psikologis.

Prinsip kelembaman juga berlaku buat masyarakat. Kalau sesuatu telah berhenti, sulit buat membuatnya bergerak. Kalau sesuatu bergerak, sulit buat menghentikannya. Ini semua terdengar sangat teknis, tetapi ini juga berlaku buat pikiran manusia.

Begitu seseorang mulai marah, akan sangat sulit buat menyadarkannya; Begitu juga kalau mereka tiba-tiba memutuskan buat menjadikan kita sebagai objek kasih sayang mereka. Saat kehidupan kita terjebak dalam sebuah pola, secara tidak sadar kita cenderung mengikutinya dan tetap berpegang pada rutinitas yang kita ketahui.

Jadi, apa yang akan terjadi kalau rutinitas kita tiba-tiba terhenti karena kekuatan di luar kendali kita? Ini sama dengan kepikunan. Aplikasikan rem pada kendaraan yang sedang melaju, dan apapun yang ada di dalamnya akan terlempar ke depan.

Kembali ke kehilangan, wajar kalau sesuatu yang hilang tiba-tiba kayak gitu akan membuat kita merasa bingung, tetapi itu tidak ada hubungannya dengan nilainya. Perasaan bingung inilah yang membuat orang menyimpulkan kalau "Kita tidak akan pernah tahu apa yang kita punya sampai segalanya hilang." Mereka merasa bingung, sehingga mereka berpikir kalau hal tersebut pasti penting; namun ternyata tidak.

Yang mau aku bilang yaitu bahwa aku belum pernah menghargai perundungan Iroha sama sekali! Aku cuma merasa aneh dengan hal itu karena semua kelembaman ini. Cuma itu saja.

"Apa ada sesuatu yang terjadi, Ooboshi-senpai? Lenganmu gemetaran."

"Aku baik-baik saja."

Sekolah usai buat hari ini. Kayak yang telah kami janjikan di LIME, aku dan Iroha ketemuan di sebuah taman yang sepi, beberapa blok jauhnya dari sekolah. Kami sedang dalam perjalanan menuju rumahnya Otoi-san buat merekam dialog karakter baru. Otoi-san punya sebuah studio kecil di sana yang dengan baik hati mengizinkan kami buat menggunakannya. Aku sudah menyiapkan persembahan kecil berupa 20 bungkus Suckies yang akan kami berikan buat Otoi-san sebagai tanda terima kasih.

Itu semua lezat dan bagus, tetapi ada ketegangan yang sangat canggung di udara. Iroha telah tersenyum manis selama ini, dan tidak sekalipun dia keluar dari karakter Siswi Teladan Sempurna Nona Muda Kecil-nya. Tidak ada orang lain di sekitar, namun Iroha tidak melontarkan satu pun hinaan atau sindiran ke arahku.

Ngh! Aku tidak tahan lagi!

"Iroha!"

"Iya, Ooboshi-senpai?" Iroha menoleh ke arahku, rambutnya yang panjang berayun-ayun pelan. Aku dapat mencium aroma bunga yang manis dari Iroha. Iroha menahan rambutnya dengan tangannya dan memiringkan kepalanya ke arahku dengan penuh tanda tanya, dan aku dapat melihat hamparan ladang di belakangnya.

Seakan-akan setiap gerakan Iroha diperhitungkan buat jadi seanggun mungkin, belum lagi angin yang berhembus dengan kecepatan yang tepat melalui rambutnya.

"Kapan kamu berencana buat menghentikan akting wanita sempurna itu?"

"Memangnya mengapa, terserahlah apapun maksudmu itu? Aku cuma jadi jati diriku sendiri — Cewek yang sama kayak biasanya."

"Hentikan itu. Di mana seringai hinaan itu? Komentar-komentar bodoh itu? Hinaan yang tidak masuk akal?"

"Aku tidak akan pernah bersikap kasar kayak gitu!"

"Sungguh, kamu tidak perlu memaksakan dirimu sendiri buat terus bersikap kayak gitu."

"Kamu itu sangat keras kepala. Kayak yang kamu tahu, aku memang selalu bersedia menanggapi permintaanmu sebaik mungkin, tetapi memintaku buat memperlakukanmu dengan tidak baik sudah keterlaluan!"

"Aku benar-benar tidak dapat menghadapi hal ini! Berhentilah bersikap begitu... ...tidak menyebalkan! Itu benar-benar menyebalkan!"

"Akulah yang mulai kehilangan kesabaran. Aku ini sudah lemah lembut dan sopan, tetapi kamu malah mengeluh karena seorang cewek kayak aku mau menghabiskan waktu bersamamu?"

"Aku tidak mengeluh sama sekali! Aku sangat senang, s*alan!"

"Okelah, itu sudah cukup. Aku mohon jangan membuatku bingung di masa mendatang." Iroha menyelesaikan omelannya dengan sedikit gusar.

Benar-benar argumen yang bodoh. Aku sudah kehilangan alur pikiranku di tengah jalan. Namun, jelas buatku kalau Iroha berniat agar terus melakukan tindakan ini apapun yang terjadi. Bahkan cara Iroha cemberut sekarang ini lebih mirip dengan "siswi yang tidak puas" ketimbang jati dirinya yang biasanya.

Hal ini membuatku merasa aneh, terutama karena aku sudah lama berharap kalau Iroha akan jadi jauh lebih... ...normal. Sekarang Iroha memang sudah normal, aku tidak merasakan apa-apa selain menyebalkan. Rasanya kayak apapun yang mengikatku pada kenyataan perlahan-lahan terlepas.

Kami akhirnya tiba di studionya Otoi-san. Rumah Otoi-san yang terpisah dari rumah kami terletak di lingkungan yang tenang. Berjalan kaki dari sekolah kami membutuhkan waktu sekitar tujuh menit. Kami berjalan lurus melewati gerbang dengan papan nama Keluarga Otoi, dan berjalan melewati tamannya yang luas menuju gudang yang terletak tidak jauh dari rumah. Karena kami itu pengunjung biasanya, kami tidak perlu membunyikan bel pintu; Kami punya izin masuk gratis buat langsung masuk.

Di dalam gudang, ada satu set tangga yang mengarah ke rubanah. Kami menuruni tangga yang suram dan sunyi senyap itu buat menemukan sebuah studio rekaman yang lengkap dengan peralatannya di bagian bawah. Hal pertama yang kami lihat yaitu ruang kendali, penuh dengan berbagai peralatan rekaman, pengeras suara, dan ampli. Bilik rekaman berada di balik lapisan kaca kedap suara, lengkap dengan bangku, meja, dan mikrofon.

Pintu di sisi berlawanan dari ruangan ini mengarah ke toilet dan ketel uap, jadi dapat dibilang studio ini punya segala yang penghuninya butuhkan.

Seluruh tempat ini kedap suara dari atas ke bawah, jadi tidak ada risiko tetangga memanggil polisi saat suara berisik. Di tempat perlindungan rahasia inilah Iroha diizinkan buat melakukan sihirnya.

"Hei, gaes. Senang kalian berhasil kemari." Cewek di ruang kendali bersandar di bangkunya di tengah ruang kendali. "Sudah aku bilang pada kalian buar memberi tahuku lain kali, eh? Kalian memang benar-benar menyebalkan kadang-kadang. Tetapi terserahlah, kita sudah sampai di sini sekarang."

"Maaf. Tetapi ini sangat membantu, Otoi-san."

Inilah Otoi-san. Otoi-san bertanggung jawab atas seluruh produksi suara buat Aliansi Lantai 05. Rambut sebahu Otoi-san berwarna merah yang hampir menyilaukan dan serapi kobaran api. Seragam Otoi-san acak-acakan dan dikenakan dengan kasar bukan sebagai tindakan pemberontakan, tetapi cuma karena lebih nyaman kayak gitu. Dengan cara kancing-kancing pada blus Otoi-san dikancingkan (atau dalam beberapa kasus tidak), ada kilasan dari apa yang ada di baliknya, dan sulit buat mengetahui di mana aku mesti menatap. Meskipun begitu, Otoi-san sendiri tampaknya tidak peduli.

Cara Otoi-san membungkuk di bangkunya dan caranya hampir tidak peduli buat tetap membuka matanya, memberikan kesan yang lain, bahwa dia menjalani kehidupan dalam kabut apatis. Otoi-san berada di kelas yang sama denganku, dan sampai tahun lalu, kami juga berada di kelas yang sama. Ekskul Penyiaran memang menaruh harapan besar pada Otoi-san buat jadi Ketua berikutnya, tetapi pada awal tahun, dia meninggalkan catatan di Ruang Ekskul yang bilang kalau dia itu "bosan," dan tidak pernah kembali. Sebaliknya, Otoi-san menghabiskan waktunya buat bekerja di studio di rumahnya.

Aku memang dengar kalau Otoi-san punya beberapa nama besar dari industri musik dan penyulih suara yang mampir buat melakukan rekaman di sini, tetapi aku tidak tahu secara pasti. Otoi-san itu bukanlah tipe orang yang suka membicarakan soal dirinya sendiri, dan aku pun bukanlah tipe orang yang suka mengorak-ngorek.

Kami tidak berinteraksi satu sama lain lebih dari yang benar-benar diperlukan, dan tidak ada satu pun dari kami yang merasa perlu buat bersikap ramah secara dangkal. Hubungan kami memang sangat profesional.

Aku yakin kalau kamu mungkin penasaran siapa nama depan Otoi-san. Iya, itu—

(TL Note: 😁)

Tunggu, sudahlah. Aku lebih suka tidak membuat wajahku ditendang.

Dari segi kepribadian, kayak yang sudah kalian duga, Otoi-san melakukan segala sesuatu sesuka hatinya, sesuka hatinya.

"Kamu sudah mendapatkan barangnya?" Tanya Otoi-san.

"Ini dia. 20 bungkus Suckies."

"Bagus, tampak lezat. Teruslah membawa barang-barangnya, dan gunakan tempat ini kayak punyamu sepuasnya."

Bilang kalau Otoi-san menyukai makanan manis merupakan pernyataan yang meremehkan. Otoi-san punya gigi yang sangat manis. Otoi-san dikenal sering pulang sekolah lebih awal karena kehabisan permen.

Otoi-san membuka tas yang aku berikan dan langsung memasukkan salah satu permen Suckies ke dalam mulutnya.

"Mana tipnya?" Tanya Otoi-san sambil mengelus permen lolipop itu.

Aku sudah tahu kalau ini akan terjadi. Tip merupakan bagian terpenting dalam bertransaksi dengan Otoi-san, lebih dari harga dasar, dalam hal ini, 20 bungkus Suckies, yang tidak lain merupakan prasyarat buat transaksi yang sebenarnya.

Otoi-san bukanlah bagian dari Aliansi; Otoi-san lebih kayak tentara bayaran yang kami kontrak dari waktu ke waktu, tetapi yang terpenting, dia merahasiakan identitas asli Iroha. Aku tidak pernah menyangka kalau Otoi-san akan menyimpan rahasia sebesar itu secara cuma-cuma.

"Inilah kue baru dari Meifuudou. Bagaimana menurutmu?"

"Meifuudou, ya?"

Setiap pekerjaan yang Otoi-san lakukan buat kami membutuhkan tip dalam bentuk kue atau kukis yang mewah. Pasti menyenangkan membayar seseorang dengan kue dan bukan dengan uang, bukan?

Sayangnya, itu salah besar. Keluarga Otoi-san sangat kaya raya, dan pekerjaan audio ini tidak lain merupakan hobi buatnya. Makanya Otoi-san tidak pernah menerima pembayaran tunai. Karena ini merupakan hobi, maka tidak ada kewajiban apapun buat Otoi-san. Kalau Otoi-san tidak mau melakukannya pada hari tertentu, dia cuma akan memberi tahu kami, dan selesai sudah. Namun, pekerjaan ini sangat penting buat kami, dan setelah beberapa kali ditolak, kami membuat kesepakatan: Setiap kali kami membutuhkan bantuan Otoi-san, kami akan membawakan satu macam makanan manis yang enak sebagai tambahan bayarannya.

Otoi-san sangat sulit buat dibuat terkesan. Ada beberapa kali saat aku membawakan kue buat Otoi-san, dan dia menyuruh kami pulang karena dia tidak menyukainya. Aku dapat menghabiskan waktu yang lama di toko kue, mencoba memilih kue yang paling Otoi-san sukai.

"Hmm... ...Iya, yang ini kelihatannya enak. Kalian boleh rekaman buat hari ini."

Yoi!

Aku mengepalkan tanganku. Syukurlah Otoi-san mau menerimanya. Setelah semua yang terjadi di sekitarku, ditolak pada saat ini mungkin merupakan paku terakhir di peti m*tiku.

"Begini, Otoi-san, mungkin akan lebih mudah kalau kamu memberi tahuku jenis kue yang kamu mau sebelumnya. Itu akan jauh lebih efisien ketimbang aku mesti menebak-nebak setiap kali."

"Euh. Tidak, kalau aku mesti memikirkan hal itu akan sangat merepotkan. Aku mesti usaha dan melihat apa yang ditawarkan setiap kali mereka membuka toko baru. Pilih saja sesuatu yang enak setiap kali kalian mau rekaman dan kita akan baik-baik saja."

Aku rasa begitu. Aku cuma mengikuti semua hal soal rolet kue karena aku tahu kalau Otoi-san tidak dapat membuat segalanya jadi mudah buatku. Mungkin itu akan jadi penelitian yang lebih manis buat PR.

Buat sebagian makanan yang belum pernah aku makan sendiri, aku yakin aku akan cari tahu banyak soal itu. Ngomong-ngomong, ada parfe crème brûlée baru di tempat di belakang stasiun, yang merupakan perpaduan sempurna antara rasa manis dan—

Tunggu, lupakan itu sekarang.

"Aku akan masuk ke bilik sekarang. Apa kamu sudah mendapatkan naskahnya buatku, Aki-senpai?" Tanya Iroha.

baca-imouza-jilid-2-bab-6-bahasa-indonesia-di-Lintas-Ninja-Translation

"Ah. Ini." Aku mengambil naskah yang sudah dicetak dari tasku dan memberikannya pada Iroha, setelah itu dia berjalan masuk ke dalam bilik dengan anggun.

"Oke, biar aku siapkan ini." Otoi-san berdiri dan menggerakkan tangannya secara halus di atas peralatan rekaman di depannya.

Tidak kayak kata-kata Otoi-san, gerakannya begitu cepat dan tepat. Bahkan, ekspresi mengantuk di mata Otoi-san pun hilang saat dia memfokuskan diri pada mesin di depannya. Inilah alasan mengapa aku memilih Otoi-san sebagai teknisi suara kami. Dari luar, kayaknya Otoi-san memang tidak peduli soal apapun, tetapi kalau menyangkut suara, dia sangat peduli, dan pekerjaannya sangat cermat pada tingkat tertinggi. Otoi-san tidak pernah berkompromi, dan hasilnya secara konsisten lebih dari sempurna. Hal ini cukup membuat waktu yang aku habiskan buat meneliti kue, tampak sepele.

Otoi-san melirik melalui jendela ke dalam bilik rekaman sambil bekerja. Otoi-san menghela napas jengkel saat melihat Iroha membaca kalimat-kalimat yang ada, tatapannya tajam.

"Begini, kamu selalu punya harapan yang sangat tinggi, Aki."

"Hah? Apa maksudmu?"

"Kebanyakan Pengarah Dialog memberikan naskah pada para penyuluh suara mereka beberapa hari sebelumnya. Membuat mereka melakukan rekaman tanpa latihan akan membuat mereka kesal."

"Aku rasa itu memang komentar yang wajar, tetapi... ...Iroha ini lain."

Aku punya alasan kuat buat menyimpan naskah dari Iroha sampai detik-detik terakhir. Ibu Iroha sangat membenci bisnis pertunjukan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal itu. Kalau Iroha meninggalkan naskah itu tergeletak di sekitar rumah dan Ibunya menemukannya, maka tamatlah riwayat kami. Itu memang tidak akan sebanding dengan risikonya, tetapi sayangnya itu berarti Iroha tidak punya kesempatan buat berlatih sebelumnya.

"Karena kamu tidak mengizinkan Kohinata berlatih, pada dasarnya kamu telah mengubahnya jadi binatang buas."

"Lima menit, bukan?"

"Yoi. Cuma itu yang Kohinata butuhkan buat membaca seluruhnya dan masuk ke dalam karakter dengan sempurna."

"Memang benar apa yang mereka bilang soal keterbatasan membangun karakter, ya?"

Tiba-tiba aku mendengar suara siulan dari dalam bilik. Aku mendongak, dan tampaknya Iroha telah selesai membaca naskahnya. Iroha sudah siap buat pergi dan, sambil melirik ke arahku, aku dapat mengetahui bahwa Otoi-san juga sudah siap.

"Mari kita mulai. Siap, Kohinata?" Tanya Otoi-san ke mikrofon yang terhubung ke bilik.

"Aku siap! Aku akan melakukan yang terbaik buat memberikan penampilan yang bagus buatmu juga, Aki-senpai!"

Ah, jadi bahkan di sini pun Iroha tetap bersikap kayak gitu. Kapan Iroha akan menghentikannya?

"Ini dia. Tiga, dua, satu..." Di akhir hitungan mundur, Otoi-san menekan tombol isyarat pada konsol.

Wajah Iroha berubah jadi cemberut serius saat dia bersiap buat beraksi. Hari ini, Iroha membaca dialog yang aku tulis saat istirahat buat lima orang karakter baru kami. Mereka semua merupakan karakter yang eksentrik, dari cewek yang terlalu lengket sampai kepala Mohican. Meskipun bervariasi, aku tidak khawatir dengan kemampuan Iroha buat menyulih suara semuanya. Iroha sudah menyulihsuarakan seluruh karakter Koyagi lainnya dengan sempurna, tanpa pandang usia atau jenis kelamin.

Pertama, merupakan seorang preman yang tangguh dengan rambut mohak.

"Hei, orang bodoh! Ini wilayahku! Hyahah!"

"Hah?"

"Aku punya kepalan tangan baja dan api neraka yang membara dalam jiwaku! Aku punya kebanggaan yang lebih besar dari seluruh dunia dan penampilan yang paling mempesona! Kamu dengar?!"

"Apa...?"

"Kalau kamu mau aku menghajarmu, silakan saja! Gergajiku siap beraksi!"

Kalimat-kalimat itu kedengarannya jernih, lancar, dan tajam. Malahan, kalimat-kalimat itu terlalu jernih, terlalu bersih, dan yang terpenting, anggun dan anggun. Otoi-san mengangkat alis matanya karena terkejut. Aku tidak dapat berkata-kata. Otoi-san segera mematikan rekaman itu.

"Kohinata. Ada pertanyaan."

"Iya? Ada apa?"

"Mengapa preman ini berbicara kayak seorang Putri?"

Kalau kamu belum dapat menebaknya, Iroha menyampaikan dialognya dengan suara siswi teladannya. Cowok mohak ini pasti penjahat paling menggemaskan di blok ini kalau kayak gitulah suaranya.

"Ah? Apa ada yang salah dengan itu?" Tanya Iroha, wajahnya menunjukkan kebingungan yang sempurna.

"Eh... ...Kita akan kembali ke yang satu ini," Otoi-san memutuskan setelah jeda beberapa saat. "Pindah ke karakter berikutnya."

Iroha mengangguk dan mulai dengan adik cewek yang lengket, diikuti oleh nenek-nenek, dan seterusnya. Iroha membacakan semuanya dengan nada feminin yang sama. Setelah Iroha selesai, Otoi-san menghancurkan permen lolipop di mulutnya dengan suara kriuk. Otoi-san bersandar di bangkunya yang berderit di bawahnya, dan menoleh ke arahku.

"Apa yang sedang Kohinata mainkan?" Tanya Otoi-san pelan agar Iroha tidak mendengarnya.

"Entahlah... ...Iroha sebenarnya sangat berbakat, tetapi..."

"Euh, iya, dong. Euh, sungguh menyebalkan." Setelah menghancurkan Suckie sebelumnya, Otoi-san memasukkan Suckies baru ke dalam mulutnya dan mencondongkan tubuhnya ke depan. "Hei, Kohinata. Apa kamu benar-benar berpikir kamu telah melakukan pekerjaanmu dengan baik sekarang?"

Otoi-san menjaga nadanya tetap datar buat mencoba menyembunyikan kekesalannya.

"Tentu saja! Aku mengenal Produserku lebih baik ketimbang siapapun, dan ia senang saat aku tampil kayak gini! Aku tahu kalau itu merupakan apa yang Produser mau!" Meskipun Iroha menanggapi dengan nada bicara yang biasanya, namun suaranya mengandung sedikit sindiran.

Aku tidak percaya kalau Iroha bahkan membawa omong kosong ini ke dalam bilik rekaman bersamanya.

"Apa, maksudmu, kamu minta Kohinata buat tampil kayak gini, Aki?" Otoi-san merendahkan suaranya dan menyipitkan matanya ke arahku. "Kalau kalian mau menggunakan studioku buat merekam sampah kayak gini, keluarlah, sekarang juga."

"Aku bersumpah demi hidupku, Iroha bohong." Aku menoleh ke arah bilik. "Berhentilah main-main, Iroha."

Aku dengar kalau Iroha agak tersentak saat mendengar nada tajam di dalam suaraku. Di sisi lain dari kaca, ketidakpastian menyelimuti wajah Iroha.

Aku benar-benar marah pada Iroha saat ini. Aku tahu aku telah membuat Iroha marah, dan aku bersedia bertanggung jawab penuh atas itu. Aku bahkan bersedia mengabaikan fakta kalau Iroha juga membuat Otoi-san kesal.

Tetapi aku tidak dapat memaafkan Iroha karena membawa hal itu ke dalam pekerjaannya. Ini mestinya jadi cita-cita Iroha, dan dia meludahi wajahnya sendiri.

"Iroha," mulaiku, "Aku—"

"Sebentar."

Saat aku siap buat menunjukkan amarahku, sesuatu dimasukkan ke dalam mulutku. Benda itu keras dan bulat, dan saat itu juga rasa manis menyebar di lidahku. Itu merupakan Suckies yang ada di mulut Otoi-san beberapa detik sebelumnya. Setelah melirik sekilas ke arahku, Otoi-san berbalik ke bilik.

"Oke. Aku akan tutup dapur rekaman buat hari ini. Kita akan melanjutkannya lagi kalau semua orang sudah agak tenang."

"Oke..." Jawab Iroha dengan lemah.

Sesaat kemudian, Otoi-san membuka pintu bilik dan berlari menaiki tangga tanpa mampir ke ruang kendali.

"Benar-benar menyebalkan," gumam Otoi-san sambil melihat Iroha yang mundur ke belakang.

Aku tahu kalau Otoi-san tidak bermaksud jahat pada kami.

"Terima kasih, Otoi-san. Dan... ...Maafkan aku karena berakhir kayak gini."

Kalau bukan karena campur tangan Otoi-san, aku mungkin telah melakukan kesalahan fatal. Aku mungkin telah bilang sesuatu pada Iroha yang tidak akan pernah dapat aku batalkan. Sampai Otoi-san mesti menyumbat mulutku dengan permen lolipop cukup memang memalukan, kayak dia memberi tahuku betapa tidak berpengalamannya aku. Aku cuma dapat setuju, mengingat bagaimana aku hampir saja melampiaskan amarahku.

"Jadi, apa masalahnya?" Tanya Otoi-san. "Karena aku barusan memberimu ciuman secara tidak langsung, aku rasa aku berhak tahu."

"O-Oke..." Aku merendahkan bahuku kayak bocil yang sedang dalam masalah sambil mengisap permen di mulutku.

Secara teknis, ini memang ciuman tidak langsung. Sekarang setelah aku menyadarinya, jantungku mulai berdebar. Pada saat yang sama, pikiranku jadi sangat jernih. Aku tidak cukup bodoh buat jadi begitu terangsang karena air liur cewek lainnya di mulutku mengingat apa yang terjadi. Meskipun mungkin akan lebih mudah kalau aku melakukannya.

Aku menegakkan tubuh di bangkuku dan berbalik buat menatap mata Otoi-san. Aku akan menceritakan semuanya pada Otoi-san. Soal pernyataan cinta Mashiro juga. Semuanya.

***

"Kedengarannya memang menyebalkan."

Aku memulai ceritaku saat Tsukinomori-san memintaku buat jadi pacar palsunya Mashiro. Aku bercerita soal pernyataan cinta Mashiro padaku, dan bagaimana Mashiro tidak mengizinkanku buat memberikan tanggapan. Soal bagaimana aku mencoba meminta saran dari Iroha, cuma tidak lama kemudian membuat Iroha beralih ke mode siswi teladan permanen karena alasan apapun itu.

Setelah aku selesai, Otoi-san menghela napas. "Iya, bukannya kamu itu Tuan Populer?"

"Apa? Mustahil. Mungkin kalau memang iya, aku akan tahu apa yang mesti aku lakukan dengan kekacauan ini. Jujur saja, aku belum pernah mengalami hal kayak gini sebelumnya, dan aku tidak tahu bagaimana aku mesti menghadapinya."

"Itu sangat jarang terjadi padamu, ya? Itu membuatku kagum."

"Ayolah. Kamulah yang selalu berjalan dengan linglung."

"Iya, makanya lucu sekali kamu dapat memahaminya sekarang juga." Otoi-san menarik Suckies dari mulutnya dan mulai mengayun-ayunkannya kayak tongkat konduktor. Wajah Otoi-san bahkan tidak bergerak-gerak, jadi aku pun tidak tahu apa dia bercanda ataupun serius. "Wah, maaf, tetapi aku bukanlah ahli cinta. Aku juga tidak dapat membaca pikiran, jadi aku tidak tahu apa yang ada di dalam benak Kohinata. Tetapi kalau semua omong kosong ini berakhir dengan menghancurkan bakat Kohinata, aku tidak akan memaafkanmu."

Sebuah kegarangan yang tidak kayak biasanya berkobar dalam kata-kata terakhir Otoi-san, dan aku merasa diriku secara otomatis duduk lebih tegak.

"Kamu tahu kalau aku tidak dapat mengalihkan pandanganku dari Kohinata, bukan?" Lanjut Otoi-san.

"Iya, karena bakat Iroha."

Itulah alasan mengapa Otoi-san bersedia melindungi rahasia Iroha dan meminjamkan studionya pada kami.

"Aku suka musik, dan aku suka berkutat-kutit dengan suara. Aku tahu kedengarannya agak aneh buat bilang begini, tetapi aku rasa aku juga punya pendengaran yang bagus buat hal semacam itu. Tetapi bukan berarti aku berbakat buat jadi seorang penyanyi atau pianis atau semacamnya. Aku belum jago dalam hal pertunjukan... ...hal yang berhubungan dengan pertunjukan. Dan itu karena aku punya pendengaran yang bagus makanya aku dapat bilang begini."

Aku paham sepenuhnya; Aku juga sama. Rasanya kayak satu-satunya bakatku yaitu mengakui kalau aku tidak berbakat.

"Makanya aku menempatkan diriku dalam peran pendukung. Aku mau membantu mereka yang benar-benar berbakat. Membuat aktor-aktris yang cuma satu dari 1.000.000 jadi satu dari miliaran. Kamu tahu siapa yang aku bicarakan, ya?"

"Iroha."

"Yoi. Kebanyakan orang, cukup beri mereka latihan dan akting serta jangkauan vokal mereka akan jadi lebih bagus. Tetapi Kohinata itu kayak... ...entahlah, dia kayak bukan manusia."

"Iya, aku tahu."

Kita sering dengar soal aktor-aktris kelas satu yang secara harfiah jadi karakter mereka. Dalam beberapa hal, kita dapat membandingkannya dengan penyaluran roh, di mana jiwa-jiwa orang yang telah wafat mendiami tubuh orang-orang yang memanggil mereka.

Maksudku yaitu, bahwa ini lebih dari sekadar akting. Rasanya kayak kita merupakan wadah yang hidup dan bernapas buat orang dari dunia lain yang berbicara melalui kita. Kohinata Iroha sangat alami, sehingga dia membawakan semua karakter ini seakan-akan itu merupakan hal yang paling mudah di dunia.

"Kohinata itu sangat berbakat, aku tidak keberatan mendedikasikan seluruh sisa masa SMA-ku demi membantunya mewujudkan cita-citanya. Kamu tahu kalau aku tidak merasa kayak gitu, aku akan menagihmu lebih dari sekadar makanan manis buat menggunakan peralatanku ini."

Kami berdua benar-benar terpesona oleh bakat Iroha, dan mau mendukungnya dengan cara apapun yang kami bisa.

"Kalau kamu akan membiarkan semua omong kosong pernyataan cinta ini atau semacamnya yang menghalangi bakat Kohinata, aku akan membencimu seumur hidupku. Paham?"

Kata-kata Otoi-san menghantamku sampai ke inti. "Omong kosong" pernyataan cinta. Otoi-san memang benar. Ini tidak ada gunanya, tidak berharga. Ini memang hal yang sering dibicarakan oleh semua orang di kelas. Sebagian besar karena mereka terlalu sibuk "merayakan masa muda" buat membuat rencana ke depan. Aku selalu meremehkan mereka; Aku tidak akan bergabung dengan mereka.

"Jadi, si cewek Mashiro ini cantik atau semacamnya?"

"Eh, aku rasa begitu. Saat Mashiro mau jadi kayak gitu. Mungkin?"

"Ah, oke, sekarang aku tahu kalau si Mashiro pasti mau. Kamu selalu bilang, 'Aku tidak peduli dengan cewek, percintaan, dan semacamnya. Tetapi itu cuma butuh waktu lima detik, dan kamu sudah mulai terangsang. Dering mati buat 'Aki rasa si Mashiro itu imut'."

"Kamu tidak mendengarkan, bukan? Aku mesti pura-pura pacaran dengan cewek ini buat Calon Bosku, jadi mustahil aku dapat memberikan jawaban langsung. Selain itu, aku mesti memikirkan hubunganku dengan semua orang di sekitarku. Aliansi Lantai 05 dapat kehilangan motivasi kalau aku tidak melakukannya. Tentu saja hal ini membuatku khawatir."

"Kedengarannya kamu cuma mencari-cari alasan. Ada bukti yang mendukung pernyataanmu?"

"Eh..."

"Kayaknya otakmu mulai tergoreng. Kemarilah."

Otoi-san memberi isyarat padaku, dan aku tidak punya pilihan selain mengikutinya. Hal berikutnya yang aku tahu, Otoi-san mengulurkan tangannya dan memegang bagian belakang kepalaku, menarikku.

"He-Hei, tung-tunggu! Apa yang terjadi?!" Aku meronta-ronta dengan panik saat mendapati wajahku ditekan ke sesuatu yang lembut.

Aroma lembut kayak susu mengalir di hidungku. Tubuh Otoi-san jauh lebih panas dari yang aku bayangkan, mengingat betapa sedikitnya dia bergerak.

Tetapi mengapa Otoi-san tiba-tiba memelukku di gunungnya kayak gini? Otakku yang kebingungan hampir tidak dapat meraih potongan-potongan buat menyatukannya.

baca-imouza-jilid-2-bab-6-bahasa-indonesia-di-Lintas-Ninja-Translation

"Kebanyakan orang menyia-nyiakan masa remajanya buat hal-hal yang bodoh dan tidak berguna. Percintaan itu bodoh dan membuang-buang waktu. Itulah yang kamu pikirkan, bukan? Karena aku sangat setuju."

"Be-Benar. Makanya aku dan kamu sangat berhasil."

"Tetapi dengarkan saja. Kamu dapat mendengar suara detak jantungku sekarang, bukan?"

"Hah?"

Baru sekarang aku menyadari hal itu: Detak jantung Otoi-san yang berirama dan stabil.

"Sangat cepat, bukan?"

"Mengapa? Apa kamu gugup? Aku tidak menyangka kalau kamu dapat merasa cemas."

"Dengarkan, bahkan orang kayak aku dan kamu pun dapat bingung saat hal kayak gini terjadi, bukan? Meskipun aku cukup jago dalam menyembunyikannya."

Dengan begitu, Otoi-san melepaskanku. Aku menatap wajah Otoi-san, tetapi tidak ada sedikit pun ketegangan dalam ekspresinya. Kulit Otoi-san memang tampak agak merah muda, tetapi aku cuma menyadarinya karena aku menatapnya.

"Aku yakin kalau kamu juga merasakannya, bukan?"

"Hah?"

"Kamu memang tidak mau buang-buang waktumu buat hal semacam ini, tetapi saat hal itu terjadi, yah. Manusia punya naluri kayak binatang lainnya."

"Jadi, maksudmu... ...pernyataan cinta Mashiro padaku benar-benar mempengaruhiku? Dan saat aku bersama Iroha..."

"Iya. Mungkin." Otoi-san menoleh sambil menelusuri jari-jarinya di atas bingkai foto yang terletak di atas konsol di depan kami. Mata Otoi-san melembut. "Dan makanya semangat Kohinata begitu berpengaruh padamu, aku rasa."

Foto itu dari tahun lalu. Itu merupakan fotoku, Iroha dan Otoi-san, dengan cewek-cewek yang tampak agak lebih muda ketimbang sekarang. Kami berada di dalam bilik rekaman. Iroha mengangkat kedua tangannya ke atas sebagai tanda perdamaian, matanya penuh dengan kegembiraan. Aku berdiri di satu sisi, tampak kayak orang tua yang tidak puas, sementara Otoi-san menguap di sisi lainnya. Kami mengambil foto dengan tongkat swafoto buat mengenang rekaman pertama kami. Aneh rasanya, Iroha masih duduk di bangku SMP saat itu.

Aku ingat menghabiskan waktu lama buat meyakinkan Iroha agar mau datang ke studio, dan bahkan saat aku berhasil, dia menggerutu sepanjang perjalanan ke sini. Aku ingat betapa bersemangatnya Iroha melihat semua peralatan, dan mendengar suaranya sendiri yang diputar dalam kualitas yang tinggi. Itulah pertama kalinya aku melihat Iroha tersenyum dari lubuk hatinya yang paling dalam.

"Kecintaan Kohinata..."

Otoi-san mungkin sedang memikirkan sesuatu. Meskipun aku telah merencanakan buat membalas pernyataan cinta Mashiro dengan tenang dan kepala dingin, namun jauh di lubuk hatiku, ada bagian dari diriku yang merasa sangat senang karena ada yang menyatakan cintanya padaku. Bilang pada diriku sendiri kalau aku tidak dapat melakukan apa-apa karena Mashiro cuma akan mengobrol denganku lewat LIME cuma sebuah alasan. Ada banyak cara yang dapat aku lakukan buat membuat Mashiro mendengarkanku.

Mestinya aku mengambil pilihan yang paling efisien yang tersedia buatku, tetapi aku tidak melakukannya. Aku bahkan tidak mencobanya. Aku terlalu fokus buat memastikan tidak ada yang terluka — termasuk aku. Dengan melakukan itu, aku melupakan semua yang aku putuskan saat Aliansi dibentuk: Bahwa aku tidak keberatan kalau orang-orang membenciku; Aku bersedia mempertaruhkan waktuku, dan bahkan seluruh hidupku, pada bakat sekelompok kecil orang ini.

"Terima kasih, Otoi-san. Kamu telah membantuku mengingat apa yang paling penting buatku."

"Itulah yang mau aku dengar. Aku rasa kamu merasa cukup percaya diri buat berbicara dengan Kohinata sekarang, bukan?"

"Iya. Aku akan perbaiki hal ini."

Dengan pikiran yang sudah bersih dari kabut, pikiranku mulai menyatu. Semua masalah yang aku hadapi saat ini terhubung oleh satu benang merah. Solusinya sederhana, dan saat ini aku sedang menyalahkan diriku sendiri karena tidak memikirkannya lebih awal.

"Kalau begitu, aku akan pergi dulu. Maaf karena sudah merepotkanmu."

"Tidak apa-apa. Bukan berarti aku memberikanmu sesi ini secara cuma-cuma, sih." Otoi-san melambaikan tangan padaku.

"Bicara soal pikiran yang cuma satu jalur..."

Aku menghela napas panjang sebelum meninggalkan studio. Dalam perjalanan menaiki tangga, aku mengirim pesan LIME singkat. Inilah langkah pertamanya.

AKI: Mari kita makan malam bareng malam ini. Aku akan mengirimkan pesan waktu dan tempatnya sebentar lagi. Aku akan memberikan tanggapanku atas pernyataan cintamu padaku di sana, Mashiro.

Dan... ...kirim.

Kalau Mashiro menerimanya, bagus. Kalau tidak, tidak masalah. Kalau Mashiro mencoba menghindariku, aku akan mencari cara lain buat memaksanya menghadapiku. Aku tidak menghargai perasaan orang lain. Yang aku hargai cuma efisiensi. Efisiensi buat diriku sendiri. Penasaran apa yang dipikirkan atau dirasakan orang lain tidak masuk ke dalamnya.

***

Keheningan.

"Kamu... ...tidak akan bilang apa-apa?"

"Ini terlalu penting. Apapun yang aku bilang berisiko mengacaukannya. Apapun yang terjadi, Aki, ketahuilah kalau aku menghormati keputusanmu."

"Aku mengerti. Terima kasih."

Follow Channel WhatsApp Resmi Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F

←Sebelumnya           Daftar Isi          Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama